Anda di halaman 1dari 6

PAHLAWAN TAK DIKENAL

PAHLAWAN TAK DIKENAL


Oleh: Toto Sudarto Bachtiar
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda
(Siasat Th IX, No. 442 1955)

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka


Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala

Berdirilah di pesisir, matahari kan terbit dari laut


Dan angin zat asam panas dikipas dari sana
Bari daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi di malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan 3 ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Bari daku tanah tanpa pagar,luas tak terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh

Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu


Aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bila mana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas mulai dikipas dari sana
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossanova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak berkata, namanya Sumba

Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda


Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah-padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Saya jatuh cinta pada Sumba. Pada bacaan pertama. Savana. Panas. Bau rumput. Kuda liar.
Sumba seolah-olah berada di depan mata saya. Ah, Sumba
Sumba. Saya sebelumnya tidak tahu banyak tentang Sumba. Begitu juga sekarang. Atau lebih
tepatnya memilih untuk tidak tahu lebih banyak. Mencoba menjaga perspektif saya terhadap
Sumba tetap sama seperti puisi yang saya baca. Saat saya ke Sumba suatu hari nanti, mungkin
Sumba melampaui ekspektasi saya. Atau mungkin juga tidak. Tak apa. Itu bukan masalah. Saya
hanya ingin merasakan apa yang Taufiq Ismail rasakan terhadap Sumba.
Taufiq Ismail. Iya, beliaulah yang bertanggung jawab atas cinta saya pada Sumba. Melalui puisi
ini: Beri Daku Sumba. Puisi pertama yang langsung melekat di benak dari sekian banyak puisi
yang pernah saya baca. Ini adalah salah satu puisi favorit saya. Karya Taufiq Ismail ini sukses
membuat Sumba masuk dalam daftar place to go before i die saya.
Tapi, tahukah kalian, ternyata sewaktu membuat puisi ini, Taufiq Ismail pun belum pernah ke
Sumba sebelumnya! Puisi ini dibuat pada tahun 1970, sewaktu beliau berada di Uzbekistan.
Pemandangan saat itu membuat beliau teringat akan gambaran Sumba yang sering diceritakan
Umbu, sang Presiden Malioboro. Taufiq Ismail sendiri baru bisa ke Sumba 20 tahun setelah puisi
ini dibuat!
Iya, semoga penantian saya ke Sumba tidak selama Taufiq Ismail. Semoga saya bisa ke Sumba
dalam waktu dekat. Amin.

shang hai Sutardji Calzoum Bachri:


ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
sembilu jarakMu merancap nyaring
Saya tidak ingin membahas salah satu sajak terbaik Sutardji ini. Walau kuakui permaianan kode
leksikal (semantik) dan bunyi tanda dan hubunagan antar-tanda (semiotik) diatas sangat unik,
dan menarik untuk dikaji. Semacam gambaran hidup itu sendiri. Sebuah lukisan kemanusiaan
yang kerap merangkul paradoks dan kerap pula menjunjung cara pandang di dua kutub, dua titik
kulminasi hidup, ping dan pong. Kedua bunyi unik itu bisa kita gantikan dengan pengalaman
manusia: kekal-sementara, ingkar-setia, yin-yang, baik-buruk, ada-tiada, sedih-senang, dsb.
Marilah kita coba menekuni hermeneutika, mengamini Ignas Kleden, sebagai sebuah sublimasi
perjuangan hidup eksistensial, bermain ping pong dengan Sutardji melalui dua kutub perasaan
manusia, misalnya:
senang di atas sedih
sedih di atas senang

senang senang dibilang sedih


sedih sedih bilang senang
mau sedih? bilang senang
mau mau bilang sedih
mau senang? bilang sedih
mau mau bilang senang
ya sedih ya senang
ya senang ya sedih
tak ya sedih tak ya senang
ya tak senang ya tak sedih
Begitulah manusia, kerap terjebak dalam dualitas. Seperti sedih dan senang, sastra non sastra,
tekstual referensial, chaos-kosmos, dsb. Kadang membuat garis demarkasi yang tegas, ping dan
pong. Walau kita kerap juga menjalani hidup dengan paradoks: melempar ping saat
menyembunyikan pong. Kita katakan senang dalam kesedihan mendalam, mengatakan cinta
kepada seseorang dengan tetap menyimpan rasa benci, dan masih banyak contoh lain.
Apakah hidup hanya ditekuk kedalam dua titik ekstrim itu? Layaknya memandang permasalahan
hidup yang kompleks itu, sebaiknya kita tidak terjebak begitu saja dalam persepsi dikotomi tanpa
alasan. Masalah harus dilihat dengan multidimensi, multidisiplin. Misalnya dalam memandang
keberpihakan negara kepada rakyat (pendidikan, kesehatan, kemiskinan, dll) atau gagasan
kebenaran yang menjadi pencarian setiap individu. Bahwa hidup itu juga mengenal buram, abuabu, suam-suam kuku, seperti senja di perbatasan siang dan malam yang mengambang: Retak!
Bolehlah kita tikung sedikit karya kredo Sutardji ini.
pong
pRong pong pong
(jreng)
ping
pRing ping ping
Saya tambahkan R disana yang merujuk pada Retak, bisa juga dilihat sebagai resistensi.
Kesedihan dan kebahagiaan itu memang ada. Namun tak harus tak berujung. Ada sedih dan
senang yang biasa saja. Ada benci tapi rindu itu, atau kita menangis karena kebahagiaan yang
mendalam, atau kita tertawa karena begitu getir hidup. Ya boleh kita katakan itu kegilaan, namun
bukankah dunia ini butuh orang-orang gila? Hidup itu sepenuhnya retak. Ada tawar menawar,
tarik-menarik, ulur-mengulur, pemaknaan, keberpihakan dsb. Dan kadang kita hanyut dalam
zona bukan keduanya.

Dalam lirik sebuah lagu maupun syair puisi, tak salah bila subjektivitas ditonjolkan. Tentu
dengan harapan pendengar atau pembaca bisa masuk kedalam lirik lagu atau bait sajak puisi:
dengan simpati, empati sampai antipati sekalipun. Suka atau kesal, rindu dan benci, dll. Tak ada
namanya kesedihan tak berujung ataupun kebahagiaan tak berujung. Hanya ada keadaan yang
retak. Keadaan retak yang berarti membutuhkan pemakanaan, pola pikir, cara pandang
permasalahan. Seperti melihat gelas setengah berisi atau setengah kosong, memaknai hidup
dengan berselancar di zona pemaknaan keretakan itu: melihatnya bangunan itu masih bisa utuh
atau sudah pasti hancur. (Arrgh, ngebir yuk!)

Anda mungkin juga menyukai