Anda di halaman 1dari 7

Prolog

Prinsip dan Konsep Dasar Kepenyairan


oleh Sofyan RH. Zaid

“Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan


Karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan.”
Umbu Landu Paranggi

1/
Secara filosofis, prinsip merupakan senerai nilai dasar yang dianut seseorang dalam
hidupnya. Nilai yang berasal dari pengalaman, pengetahuan, dan perenungan.
Entah itu terkait hal-hal yang bersifat sosial, agama, seni, dan sebagainya. Misal,
‘aku tidak boleh menyakiti orang lain’, prinsip dalam dalam ranah sosial.

Sementara itu, konsep merupakan rumusan prinsip yang siap diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, ketika kita bertemu dengan seorang
pengemis, kita segera tersenyum dan memberikan sesuatu, atau kita meminta maaf
ketika tidak mampu memberikan apa-apa. Itulah rumusan konsep yang berasal dari
nilai-nilai sosial di atas agar kita tidak sampai menyakit pengemis sebagai ‘orang
lain’ tersebut.

Dengan demikian, prinsip tidak lepas dari konsep yang pada akhirnya akan menjadi
pegangan hidup seseorang sampai mati. Lantas bagaimana prinsip dan konsep
dasar dalam ranah seni sastra puisi dan kepenyairan? Mari kita coba belajar pada
penyair Sam Mukhtar Chaniago (SMC) melalui buku Tembang Padang Ilalang ini.

2/
Biografi singkat kepenyairan SMC termaktub dalam buku Apa & Siapa Penyair
Indonesia (2017) yang disusun-terbit oleh Yayasan Hari Puisi. Dalam buku tebal
tersebut tertulis: Sam Mukhtar Chaniago Lahir di Sumatra Barat, 1 Mei 1960. Pernah
menjadi juara penulisan puisi di Radio Universitas Trisaksti (1977), Radio ARH
(1978), dan IKIP Jakarta (1981). Puisi-puisinya juga dimuat dalam antologi puisi
bersama; Kemarau dan Kemiskinan (1983), Nyanyian Pengembara (1988). Buku puisi
tunggalnya yang sudah terbit adalah Tembang Padang Senja, Derai Suara Ranting, dan
Tembang Padang Ilalang, Selain itu, dia juga aktif bermain teater dan mengajar di
berbagai Universitas.

Entah, sejak kapan SMC menulis sajak, tetapi ditilik dari usia, kiranya SMC sudah
sangat lama bergelut dalam sajak. Selain sebagai penyair, SMC juga dikenal sebagai
akademisi, dan pemerhati kesenian Betawi. SMC merupakan sosok pribadi yang
khas dengan keramahan dan penampilannya dalam pergaulan sastra, baik di
Indonesia maupun Asia tenggara.

Dalam buku ini, ada sebuah sajak SMC yang cukup mewakili bagaimana prinsip
dan konsep dasar kepenyairan menurutnya. Mari kita simak secara utuh sajak
tersebut:

sajak ini pernah bersajak

sajak ini kutujukan


buat seluruh kaki kaki telanjang yang
merancah pada cokelat tanahMu

sajak ini melontarkan sapa


pada lambaian tangkai padi
sajak ini menganga
tatkala wereng dan kepik
menghisap tandas bulir bulir padi yang tak bernas
sajak ini menancapkan tonggak harapan
pada sebidang tanah yang penuh kerikil

sajak ini juga tersenyum


pada bocah bocah yang riang
berlarian di antara ilalang
sambil mendendangkan sebuah tembang dolanan

sajak ini mengucapkan selamat tidur


ketika tangkai waktu telah
mengintai di balik gelapnya malam
di balik kelambu biru
di atas tikar bambu

sajak ini pernah membisikkan janji


pada damar yang kurang minyak
ketika embun jatuh menetes
dari helai daun singkong

sajak ini pernah bersajak

lampung, mei 1980

3/
Sajak tersebut begitu jelas menyimpan prinsip dan konsep dasar kepenyairan SMC
sebagai penulisnya:

sajak ini kutujukan


buat seluruh kaki kaki telanjang yang
merancah pada cokelat tanahMu

Mula-mula SMC menulis sajak sebagai salam kepada para salik yang menempuh
jalan kepada Tuhan dengan simbol ‘kaki kaki telanjang’. Tujuan dari ‘salam’
tersebut sebagai bentuk kecintaan SMC kepada mereka yang tidak lelah menempati
kebenaran dan sabar berbagi kebaikan di jalan Tuhan. Sajak semacam ini baginya
bisa sebagai ‘penyemangat’ atau ‘pengingat’ yang menyiratkan bahwa SMC sendiri
merupakan orang yang sama; berjalan menuju Tuhan.

Maka, wajar, jika sebagian sajak dalam buku ini berisi sajak-sajak yang bernapaskan
perjalanan ruhani. Kadang terbaca sebagai sajak sufistik, kadang hanya terbaca
sebagai sajak religius semata. Namun, apapun itu, SMC seperti telah memulai
sebuah usaha atau perjalanan denagn doa.

sajak ini melontarkan sapa


pada lambaian tangkai padi
sajak ini menganga
tatkala wereng dan kepik
menghisap tandas bulir bulir padi yang tak bernas
sajak ini menancapkan tonggak harapan
pada sebidang tanah yang penuh kerikil

Selanjutnya, SMC menulis sajak sebagai ‘sapa’ kepada alam semesta, terutama bumi
yang dia idiomkan menjadi ‘padi’ yang menyiratkan adanya sawah. Bumi tempat
dia tinggal, makan, hidup, tumbuh dan juga (akan) terkubur. Padi dalam filsafat
Jawa merupakan miniatur hidup manusia di bumi. Di mana ia tumbuh,
berkembang, berbuah, kemudian memberikan manfaat kepada orang lain. Namun
meski demikian, padi mengajarkan filosofi hidup rendah hati, yakni tetap rendah
hati “semakin berisi semakin merunduk”.

Dengan menulis sajak semacam ini, SMC kiranya berharap kehidupan di bumi
berjalan damai, alami, dan indah. Maka, wajar, jika sajak-sajak dalam buku ini
banyak bicara soal alam, entah sebagai realita atau metafora. Hal itu, menunjukkan
bahwa SMC begitu mencintai bumi sebagai bentuk syukur yang puitis.

sajak ini juga tersenyum


pada bocah bocah yang riang
berlarian di antara ilalang
sambil mendendangkan sebuah tembang dolanan

Kemudian, kehidupan sosial kemanusiaan yang dia simbolkan sebagai ‘bocah yang
riang’ juga menjadi sasaran sajaknya. Sebagian sajak dalam buku ini bicara soal
kemanusiaan. SMC seakan membenarkan Wonhyo –filsuf Korea- ketika dia
bertanya; “Apa yang membuat kita bertahan sebagai manusia? Adalah rasa
kemanusiaan kita”. Demikianlah sajak, keberadaannya tidak bisa lepas dari rasa
kemanusiaan, setidak-tidaknya yang dirasakan oleh SMC.

Sajak-sajak SMC yang berbau kemanusiaan, tentu saja mengusung nilai-nilai


perdamian. Rumusan nilai perdamaian tersebut tercipta ketika ‘sedewasa-
dewasanya seorang manusia, harusnya dia tetaplah anak-anak yang bermain
dengan riang gembira. Kalau pun terjadi pertingkaian di antara mereka, segera
saling memaafkan dan bermain kembali dalam balutan rasa kegembiraan,’
sebagaimana diucapkan Rumi.

sajak ini mengucapkan selamat tidur


ketika tangkai waktu telah
mengintai di balik gelapnya malam
di balik kelambu biru
di atas tikar bambu

Sajak kepada orang-orang tercinta dalam bentuk ucapan mesra ‘selamat tidur’ juga
tidak luput dari perhatian SMC. Iya, cinta dalam arti yang luas, banyak disuarakan
sajak-sajak dalam buku ini. Entah, sajak cinta kepada istri, anak, orang tua, dan sajak
cinta kepada lokalitas kampung halaman. Sajak-sajak sejenis ini cukup kental dan
dominan dengan sejumlah diksi dan idiom yang SMC pakai dalam sajak-sajaknya.

Kiranya, SMC hendak menyimpan dan mengabadikan momen penting terkait


kampung halaman beserta orang-orang tercinta sebagai kenangan. Kecurigaan
tersebut semakin menguat ketika faktanya, kini SMC telah menetap kota. Maka,
kerinduan terhadap kampung halaman menjadi niscaya adanya.
sajak ini pernah membisikkan janji
pada damar yang kurang minyak
ketika embun jatuh menetes
dari helai daun singkong

Semakin dalam kita membaca sajak-sajak dalam buku ini, semakin sadar kita bahwa
SMC banyak menulis sajak tersirat terkait peradaban dan kebudayaan umat
manusia. Nilai-nilai yang dia coba rahasiakan dalam idiom ‘damar’ dan ‘minyak’.
Dalam literatur filsafat Muhammad Iqbal misalnya, peradaban dia tamsilkan sebagai
‘raga’, dan kebudayaan adalah ‘jiwa’. Demikian juga dalam istilah SMC, di mana
‘damar’ sebagai peradaban, dan ‘minyak’ sebagai kebudayaan. Itu artinya,
peradaban dan kebudayaan tidaklah bisa dipisahkan. Ia harus menyatu agar bisa
menyala serupa damar yang menebarkan pencerahan.

sajak ini pernah bersajak

Terakhir dan yang terpenting, kepada apa dan siapa pun sajak SMC ditujukan, dia
tetaplah menulisnya sebagai sajak dengan prinsip dan konsep dasar yang ada.
Artinya, SMC tidak menulisnya sebagai sajak yang cengeng atau teriakan
kemarahan, apalagi teks orasi yang disuarakan orator dalam demo berbayar. SMC
tetap menulis sajak yang ‘lirih tetapi lantang’.

Apa tujuan SMC menulis sajak tetap sebagai sajak? Tentu saja, agar dia tidak
berkhianat terhadap kepenyairannya sendiri!

4/
Demikianlah prinsip dan konsep dasar kepenyairan SMC dalam menulis sajak yang
kita temukan dalam buku Tembang Padang Ilalang ini. Mulai dari Perjalanan kepada
Tuhan, Alam semesta, kemanusiaan, orang tercinta dan kampung halaman,
kebudayaan dan peradaban, serta sajak itu sendiri.
Setelah membaca prolog ini, mungkin pembaca timbul pertanyaan: ‘Prinsip dasar
kepenyairan SMC jelas terbaca. Namun, apakah konsep dasarnya juga jelas terbaca?’
Bagi Subagio Sastrowardoyo, sajak adalah sari pati filsafat yang dipuitiskan. Oleh
karenanya, kita tidak bisa menuntut konsep yang diusung sajak selalu jelas dan
terang terlihat. Sajak adalah sajak. Kita hanya bisa berharap ia sanggup menuntun
kita ke tanah yang bijak untuk berpijak, atau ke padang ilalang untuk menembang.

Bogor, 29 Februari 2020

Anda mungkin juga menyukai