Membaca puisi-puisi Akhmad Tabrani tak dapat menampikkan saya dari pembacaan teks puisi
penyair-penyair Sumenep—salah duanya yang cukup besar—yaitu, D. Zawawi Imron dan Abdul Hadi
WM. Di samping karena berasal dari tempat yang sama, Sumenep, apa yang terbaca dalam puisi-puisi
Akhmad Tabrani berkecenderungan meneruskan pendahulu. Ini bukan sesuatu yang—katakanlah—
buruk. Tentu asumsi atas kecenderungaan bisa hadir lantaran Akhmad Tabrani merupakan seorang
santri yang senantiasa menakzimi pendahulu. Misal, dalam bait akhir pada puisi Untuk Mustofa Bisri
yang Sudah jadi Penyair kita bisa membaca nama Zawawi, Abdul Hadi, dan Mustofa, sedangkan aku-
lirik dalam puisi tersebut mengumpakan dirinya sebagai /dan aku yang pilu/ sebagai penutup dari tiga
nama tersebut. Ini merupakan sikap mutlak bahwa seorang santri semestinya senantiasa takzim dan
tawadhu.
Sebagai seseorang yang tak begitu sering mengirimkan puisi-puisinya baik ke media massa
maupun daring, Akhmad Tabrani termasuk yang tekun mencatat peristiwa-peristiwa, baik itu
peristiwa yang bersifat sangat personal maupun universal, seperti dapat kita lihat dalam puisinya yang
berjudul Berita dari Daun Bambu. Upayanya meneroka peristiwa bencana alam dan bencana sosial
dalam puisi tersebut Ia catat menjadi sebentuk teks puisi, yang pada akhirnya kita dihadapkan pada
kegetiran aku-lirik dalam puisi tersebut, karena dampak dari bencana mengakibatkan penyair berhenti
berpuisi/ karena puisi telah jadi banjir bandang/ terhanyut ke hilir bersama mayat-mayat/ yang tak
jelas asal-usulnya.
Kecenderungan Sufistik yang Menjadi Sikap Seorang Santri Menemukan Gaya dalam Berpuisi
Warsa 1980-an, Abdul Hadi W.M. secara terbuka menganjurkan tentang sastra bercorak sufi
atau transendental. Ia menilai sufi sebagai kekayaan khazanah sastra yang merupakan warisan dalam
sastra Melayu di zaman Islam. Ia khawatir jika sastra ini tak dipelihara dan dikembangkan maka akan
lenyap dari sejarah. Baginya, sastra sufi memiliki peran sebagai jembatan antara tradisi dengan
kehidupan masyarakat kosmopolitan.
Pada puisi-puisi Akhmad Tabrani, kecenderungan sufistik dapat hadir lantaran Ia merupakan
seorang santri dan masyarakat nahdliyin. ‘Santri’ dan ‘nahdliyin’ yang kerap melakukan tradisi syi’r di
pondok pesantren, menjadi identitas secara personal dalam tubuh kultural Akhmad Tabrani dan pada
akhirnya menjadi sebentuk bangunan puitik yang berkecenderungan sufistik yang dapat kita jumpai
dalam puisinya.
Misalnya kita bisa baca dalam puisinya yang berjudul Dalam Keteduhan:
Bila kasihmu ibarat langit dan samudera, maka aku bernaung dalam
teduhMu
Mu sebagai kau-lirik pada kata penutup dalam larik akhir puisi tersebut menegaskan hal yang
Esa, yang Transenden, sedangkan /langitmu adalah tanda kebesaranmu/ dan /samudera adalah
lambang jari kasihmu/ merupakan metafora yang seringkali hadir dalam puisi-puisi yang memiliki
kecenderungan sufistik. Seperti halnya anggur, meja perjamuan, kayu, dan mahkota dalam puisi-puisi
yang mentransformasikan narasi-narasi perjanjian lama.
Dalam Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (1999), Abdul Hadi W.M. menjelaskan bahwa
estetika sufi berdasarkan cinta. Dan cinta adalah tema sentral sastra sufi. Metafora langit dan
samudera dalam puisi Dalam Keteduhan merupakan sumber kasih terbesar dan kepadanya si aku-lirik
ingin bernaung, Bila kasihmu ibarat langit dan Samudera, maka aku bernaung dalam/ teduhMu./
Sufistik dalam puisi Indonesia bukanlah hal yang baru. Kita bisa membaca Hamzah Fansuri
melalui Syair Perahu-nya yang sejak abad ke enam belas telah mengelaborasi daya puitik dan
kerinduannya pada Yang Transenden melalui puisi.
Lokalitas bisa hadir dalam sebuah puisi baik sebagai estetika-pengucapan maupun upaya
membawa spirit kampung halaman. Menurut Damhuri Muhammad, lokalitas dalam kesusastraan kita
hadir lantaran kerinduan akan kampung halaman. Jenuh akibat kesemrawutan kota dengan
kepadatan penduduknya maupun kendaraannya, kemacetan tak berkesudahan, dan angka
kriminalitas yang cukup tinggi. Maka dari itu, kerinduan akan kampung halaman kita bawa masuk ke
dalam teks, dan jika berhasil, sesuatu yang personal tersebut dapat menjadi sesuatu yang siapa pun
membacanya, dapat turut merasakannya.
Kerap kali bangunan-bangunan yang menjadi ikon sebuah kota (kampung halaman) kita
temukan dalam puisi yang menghadirkan gairah lokalitas. Entah itu merupakan sesuatu yang langsung
bernama maupun perumpamaan-perumpamaan.
Akhmad Tabrani menghadirkan banyak ‘sesuatu’ yang Sumenep, seperti Asta Tinggi, Gunung
Payudan, Selopeng, Lombang, Dermaga Kalianget, dan lain-lain. Sesuatu tersebut bisa menjadi
sesuatu yang turistik, maupun sesuatu yang dirindukan. Tak hanya itu, gairah lokalitas dalam puisi
tersebut terlihat cukup kuat dari upayanya yang mencoba mewartakan kembali ihwal muasal nama
Songgeneph yang secara etimologi merupakan Bahasa Kawi/Jawa Kuno yang terjemahannya: kata
“Sung” mempunyai arti sebuah relung/cekungan/lembah, dan, kata “ènèb” yang berarti endapan yang
tenang. Sumenep dalam puisi tersebut menjadi palung rindu tempat pulang setelah letih dari sebuah
perjalanan panjang di kota.
Akhmad Tabrani merupakan seseorang yang lahir dari tanah Madura. Kerinduan akan, baik
Madura maupun Sumenep, sebagai muasal hadir sebagai hal yang kongkrit dalam puisi Akhmad
Tabrani. Ia beberapa kali dicitrakan melalui metafora lautnya, namun pun juga kerap kali hadir sebagai
sesuatu yang langsung.
Menjadikan air (asin) sebagai personifikasi yang berdialog bersama aku-lirik merupakan upaya
Akhmad Tabrani mendeskripsikan bahwa akibat dari perihnya samudera Madura ialah /ketika kakekku
mengayuh sampan, jauh ke seberang/. Seberang yang dimaksud dalam puisi tersebut tentu merantau,
baik itu untuk menuntut ilmu maupun mengadu nasib untuk membawa kabar kesuksesan pada
keluarga di kampung halaman. Kita semua tahu, bahwa masyarakat Madura merupakan masyarakat
perantau.
Hal menarik lainnya yang perlu diperhatikan sebagai pembaca ialah bagaimana absurdisme
turut bekerja dalam puisi Akhmad Tabrani. Kita bisa melihat beberapa kali Sisipus dihadirkan sebagai
umpama dalam puisinya. Hal ini merupakan pengejawantahan Sisipus ke dalam absurdisme peristiwa
dalam hidup baik itu tragedi maupun komedi, menjadi umpama dalam puisi.
Dalam puisi Kepodangku, aku-lirik mengumpamakan Ahasveros yang menjadi mimpi sisipus.
Ahasveros pertama kali hadir dalam puisi Indonesia melalui Tak Sepadan yang ditulis oleh Chairil
dengan sebegitu lirisnya lantaran cinta yang bertepuk sebelah tangan. Dan, pada akhirnya, absurdisme
dalam puisi Akhmad Tabrani ialah kita, manusia-manusia pengembara, musafir, di dunia ini, yang terus
berjalan menuju ujung hidup.
Akhmad Tabrani yang dalam berproses, tekun mencatat peristiwa-peristiwa baik yang personal
maupun universal. Aku hanya ranting masa silammu, maka biarkan ia berlepasan / bersama angin
dan berganti tunas baru/ Aku hanya bagian dari masa lalumu, sudah silam waktu kita, dan tak/ usah
kaulukis di beranda rumahmu, karena anak-anak kita terus/ beranjak dewasa. Biarkan mereka
menulis sendiri sejarahnya. Tugas penyair merupakan kerja-kerja melihat, merasakan, dan mencatat
sebuah peristiwa-peristiwa. Walau Akhmad Tabrani menolak dikatakan sebagai penyair,
ketekunannya dalam mencatat peristiwa-peristiwa merupakan salah satu dari laku seorang penyair.
Pada akhirnya, pembacalah yang dapat memutuskan.
Mandiri
1520015606706
Sudirman