Gerimis Logam,
Mayat Oleander
Nirwan Dewanto
M
embaca puisi Goenawan Mohamad adalah berperkara
dengan pembacaan. Itulah puisi yang pada pembacaan
pertama dan kedua terlihat mustahil: ketika ia menuju
bentuknya yang terbaik, ada yang tetap tak terucapkan olehnya, ada
yang dihindarkannya dari kesempurnaan. Mencerap puisi demikian
adalah menghadapi “separuh ilusi”: setiap kali saya berharap bahwa
puisi yang cemerlang adalah yang merasuk ke dalam diri saya dalam
segenap keutuhannya, keseluruhannya, maka justru hal ini tidak
terjadi—atau tidak segera terjadi jika saja saya masih memberikan
diri kepadanya. Puisi adalah lukisan, tetapi lukisan yang urung: jika
lukisan rupa sejati membentangkan diri sekaligus, tanpa awal dan
akhir, maka puisi memberikan dirinya kepada kita tahap demi tahap,
frasa demi frasa, kalimat demi kalimat, bait demi bait. Namun begitu
saya selesai membacanya, saya pun segera sadar bahwa ia pun urung
Nirwan Dewanto adalah penyair, kurator, kritikus sastra. Ia juga menulis lirik
lagu. Buku puisinya Buli-Buli Lima Kaki (2010) dan Jantung Lebah Ratu (2008).
Keduanya memenangi Khatulistiwa Literary Award. Buku esainya Senjakala
Kebudayaan (1996).
Esai ini pernah disampaikan dalam cara Sebuah Hari untuk Goenawan Mohamad,
Teater Salihara, 03 Agustus 2011.
1
Kalam 26 / 2014
2
Kalam 26 / 2014
Di kota itu, kata orang, gerimis telah jadi logam. Di bawah cahaya
hari pun bercadar, tapi aku tahu kita akan sampai ke sana.
3
Kalam 26 / 2014
Lalu pagi selesai, burung lerai dan sisa bulan tertinggal di luar, di atas
cakrawala aspal.
4
Kalam 26 / 2014
5
Kalam 26 / 2014
utama dalam puisi ternyata lebih si aku daripada si kita, yang bisa
melihat lebih jernih ketimbang si kau (yang pelupuknya berdebu,
debu gerimis yang sama pula, meski masih “jika”). Jika latar sungguh-
sungguh terlumuri oleh fantasi tentang gerimis logam, tak ada yang
lebih baik daripada menutup mata, meski “menutup mata” dalam
kosa-idiom kita juga berarti kematian. Mungkin si kau akan sampai
juga ke “kota itu”, mungkin juga tidak. Si aku meminta si kau menutup
mata—apakah akan memberinya kematian atau membebaskannya
dari maut, sungguh kita tidak tahu. Percintaan hanya sarana
penjemputan—dan si aku hanya malaikat maut yang mencintai bakal
korbannya? Ataukah percintaan itu hanya terjadi dalam jika belaka,
sebab si aku masih harus menjemput si kau—artinya di sepanjang
puisi keduanya masih terpisah?
Usaha saya untuk membuat puisi itu bermakna ternyata
jauh lebih panjang dan berliku ketimbang panjang puisi dan
keserentakannya sendiri. Sesungguhnya saya hendak mengatakan
bahwa si penyair, mungkin sekali tanpa sengaja, menjadi mahir dalam
laku elipsis: dalam usahanya menyelesaikan puisi, ia hanya menjaring
imaji-imaji cemerlang-ganjil yang tanpa disadarinya berhubungan
satu sama lain, dan dengan demikian secara tak langsung ia menghapus
sebagian wacana. Atau, dalam usahanya menjelmakan diri sebagai
pengujar dalam sajak, si penyair memampatkan waktu (yakni “waktu
yang akan memperdayakan kita”) agar benda-benda, imaji-imaji—
sebagian kecil benda dan imaji belaka, sementara sebagian besar
lenyap ke dalam samudra ketiadaan—dapat meloloskan diri dari
peristiwa, dari cerita. Dalam sajak-prosa yang barusan kita bicarakan,
tindak elipsis itu bahkan begitu radikal, lebih daripada apa yang bisa
terjadi pada sajak yang bersandar pada tertib bentuk seperti kuatrin.
6
Kalam 26 / 2014
7
Kalam 26 / 2014
8
Kalam 26 / 2014
DERAI-DERAI CEMARA
9
Kalam 26 / 2014
10
Kalam 26 / 2014
11
Kalam 26 / 2014
PIKNIK
Pada pikniknya yang terakhir Tiar tahu apa artinya “tak ada lagi”.
12
Kalam 26 / 2014
13
Kalam 26 / 2014
KISAH
14
Kalam 26 / 2014
15
Kalam 26 / 2014
puisi, karena kita sudah dipuaskan oleh baris pertama, ‘Ini kali tidak ada yang mencari
cinta’ (sehingga kita tak akan sampai hati menyimpulkan bahwa puisi itu bercerita
tentang si jantan yang patah hati, misalnya). Frasa ‘pada cerita’ dari baris kedua di
bait pertama, menyela begitu saja urutan gudang, rumah tua, tiang dan temali. Selaan
ini hanya pembuka saja, pengantar pada dua gambar berturutan yang tak saling
berhubungan, kecuali bahwa keduanya dihubungkan oleh pengulangan bunyi di ujung
baris ketiga dan keempat, yakni ‘berlaut’ dan ‘berpaut’. Atau boleh saja kedua baris
ini berhubungan, jika kapal dan perahu ternyata menghembus(kan) diri; dan jika
demikian halnya, maka ‘menghembus’ adalah sebentuk pemiuhan fungsi kata kerja.
Lagipula, bagaimana kita mendudukkan ‘mempercaya mau berpaut’: bukan hanya
bahwa ‘mempercaya’ itu sebuah bentukan yang ganjil, namun juga bahwa ‘mau berpaut’
itu sesungguhnya menuntut obyek sasaran—pada apa, pada siapa. Frasa mengambang
juga membuat kita bebas mempertautkannya dengan frasa sebelum atau sesudahnya;
atau, ia lebih berfungsi visual, yakni untuk menggenapkan montase yang kita hadapi.
Frasa ‘tidak bergerak’ pada baris ketiga bait kedua bisa melekat pada ‘pangkal akanan’
atau ‘tanah dan air’; sementara itu frasa ‘tiada lagi’ pada awal bait ketiga mungkin tidak
berhubungan dengan apa pun, kecuali mengosongkan apa-apa yang sudah kita tatap
pada dua bait sebelumnya. Sekali si aku, yakni dia yang mencari cinta, muncul, kita
tahu semuanya kian kabur saja: kenapa harus ada ‘pantai keempat’ (dan kita tak tahu
pantai-pantai yang sebelumnya, atau sesudahnya). Tak berjawab, masih juga kita bersua
dengan keganjilan semantik yang lain di pengujung, yaitu bahwa ‘sedu penghabisan bisa
terdekap’—siapa bisa mendekap sedu sedan, ataukah justru dalam jukstaposisi ekstrem
16
Kalam 26 / 2014
kita boleh menanggalkan pengertian?” —Baca esai saya “Titik Tengah”, yang pernah saya
ceramahkan di Teater Salihara, 26 Maret 2010, dan kemudian dimuat dalam Riris K.
Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta (penyunting), Membaca Sapardi (Jakarta: Pustaka
Obor Indonesia dan HISKI, 2010). Esai ini membicarakan puisi Sapardi Djoko Damono,
juga kaitannya dengan Chairil Anwar dan avantgardisme Indonesia.
Dalam kesempatan lain, saya juga menulis: “Kesetiaan Chairil Anwar terhadap bentuk-
bentuk puisi lama sesungguhnya lebih besar daripada yang kita duga. ‘Senja di Pelabuhan
Kecil’ juga memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun: bait pertama dan kedua
adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap
murni, yang seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang
pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tapi bergumam lembut,
menggarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu. Pola sampiran-
isi ini muncul kembali dalam kuatrinnya yang lain ‘Derai-derai Cemara’: bait pertama
merupakan sampiran murni, bait ketiga isi, dan bait kedua setengah-sampiran, atau kait
yang memperantarai kedua bait. Sementara itu, sajak ini juga tampak lebih setia kepada
bentuk syair: setiap baris adalah kalimat lengkap, dan setiap kalimat berusaha bertahan
dengan jumlah maksimum enam kata. Variasi lain dari perluasan kuatrin-syair adalah
sajak ‘Yang Terampas dan Yang Putus’: tetapi di situ Chairil memisahkan baris keempat
dari setiap bait menjadi bait-sebaris tersendiri.” —Baca esai saya “Situasi Chairil Anwar”,
kata pembuka dalam kumpulan sajak lengkap Chairil Anwar edisi terbaru, Aku Ini
Binatang Jalang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011).
17
Kalam 26 / 2014
18
Kalam 26 / 2014
19
Kalam 26 / 2014
20
Kalam 26 / 2014
arti. Namun musik yang terbentuk dari kata-kata seperti puisi selalu
seperti hendak menyurung kita ke dalam arti sekaligus menarik kita
menuju nirarti. Puisi merenggut kata-kata dari arti kamusnya dan
melemparkannya ke dalam alkimia yang reaksinya harus diselesaikan
sendiri oleh pembaca. Namun jelas, pembaca yang berpengalaman
akan segera mempersandingkan kuatrin di atas dengan (mungkin
tanpa sadar) kuatrin-kuatrin yang pernah ada dalam khazanah bahasa
kita, misalnya pantun-pantun lama atau sajak-sajak Amir Hamzah
dan Chairil Anwar, dan tahu bahwa “Z” (1971) meradikalkan elipsis
dalam persajakan Indonesia. Tapi ini bukan berarti bahwa pembaca
bisa menutup pelbagai rumpang dalam sajak dan merekonstruksi
fragmen-fragmennya menjadi sejenis cerita. Penyair menyerahkan
dirinya ke dalam tradisi perpuisian yang melingkupinya, menjadi
pengujar-dalam-sajak yang, seraya terus menghindarkan diri
dari tatapan pembaca, memunguti imaji-imaji secara acak seperti
anak-anak dan merangkainya menjadi dunia serbamungkin.
Dengan menuruti bunyi kata, penyair menghilangkan dirinya—
mengosongkan puisi dari riwayat dirinya—supaya puisinya menjadi
“obyektif”. Dengan begitu pula sajak seperti “Z” menjadi lawan dari
komunikasi, yakni tatkala tiba-tiba kita menyadari bahwa komunikasi
bersifat “subyektif”—yaitu bahwa subyek yang satu meleburkan diri
ke dalam maksud Subyek yang lain berdasarkan seperangkat klise.
Sedangkan puisi bersifat “obyektif” karena kita tak bisa bertanya apa
maksud si penyair, dan perhubungan kita dengan puisi adalah—saya
pinjam kata-kata Amir Hamzah—“bertukar tangkap dengan lepas”.
Judul sajak, “Z”, menyarankan sebuah akhir, kita belum tahu
akhir apa. Bait pertama mendorong kita “menggambar” dengan
membebaskan diri dari perspektif dan gaya tarik bumi; dengan kata
21
Kalam 26 / 2014
22
Kalam 26 / 2014
DI PEKARANGAN
Ia tunggu hujan pada terik 31° Celsius, ketika ia seakan mendengar tetes
pertama pada daun damar, kemudian tetes kedua, kemudian tak ada.
Sebab itu pada cangkulan pertama ada gema dari humus yang menghitam,
seperti tawa, seperti tanda, dan ia pun berhenti menggali. Oleander itu
putus, perdu itu kehilangan merah, aku ingin melupakannya!
Tapi tak ada hujan yang akan menghapus sisa akar, dan ketika ia coba
panggil angin, angin tak menyahut.
Mungkin dengan tudung yang pucat ia bisa membujuk siang jadi ramah.
Atau lebih baik pergi. Tapi di luar sana sawah telah dituai, petak seperti
kulit tua yang memaparkan pori-pori yang lelah, dan pada warna yang
hilang dari jerami, hanya hinggap tiga punai.
23
Kalam 26 / 2014
Ia percaya yang khayal akan kekal, seperti langit, dan yang hilang akan
hilang seperti percakapan, dan yang kangen akan kangen kepada ada, yang
kata orang mungkin tak di sana.
24
Kalam 26 / 2014
25
Kalam 26 / 2014
yang lain “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam”—dan
“mungkin”. Barangkali penyair ingin suaranya tak terdengar, ada-nya
sendiri tak terlihat, supaya sajaknya “obyektif”. Jika saja pembacaan
kita malih jadi proses intelektual (karena sajak terlihat berupaya
mengadopsi ontologi), maka itu dibatalkan oleh disonansinya sendiri,
paradoksnya sendiri: untuk mempersoalkan “yang tak ada”, ia justru
tumbuh menjalar ke mana-mana, tergelincir dalam rerincinya sendiri,
menutup intinya sendiri.
Membaca puisi adalah “bersandar pada mungkin”. Pembacaan
yang barusan kita amalkan untuk sejumlah sajak di atas tidak lain
ketimbang upaya mengudar anasir puisi dan merangkai mereka
kembali seturut isyarat yang diberikan puisi itu sendiri. Namun
tampaknya tak terlalu mudah bagi kita menangkap isyarat itu bila kita
tak dihantui oleh tradisi sastra yang mestinya juga menghantui penyair.
Adapun kita yang saya sebut barusan adalah seakan anggota-anggota
perkumpulan rahasia lirisisme Indonesia, tetapi ini pun masih lebih
berjumlah daripada apa yang pernah dikatakan Sapardi Djoko Damono
bahwa pembaca puisi Goenawan Mohamad adalah diri si penyair
sendiri. Mungkin saya telah berlebih-lebihan. Barangkali ada juga
jenis pembaca lain, misalnya pembaca polos-telanjang yang sanggup
meloloskan diri dari perangkap konsensus dan komunikasi, membuka
dirinya terhadap kemungkinan berpisahnya antara rupa kata, bunyi
kata dan arti kata (atau antara penanda, tinanda, dan dunia, jika saya
boleh memakai konsep linguistik Saussurean); ketika membaca ulasan
A. Teeuw di penutup buku Goenawan Mohamad Asmaradana—Pilihan
Sajak 1961-1991 (terbit 1992), saya mungkin girang bahwa pembaca
jenis ini berpotensi ada. Jenis pembaca yang lain lagi barangkali adalah
penggandrung filsafat: dan saya bertanya-tanya bisakah mereka
26
Kalam 26 / 2014
diri-biografisnya. Tapi arus umum kritik sastra kita, juga pandangan di kalangan
pembaca, menganggap bahwa puisi adalah pantulan hidup si penyair; menurut penyair
cum kritikus Subagio Sastrowardoyo, misalnya, sajak adalah persaksian pengalaman si
penyair, terutama pengalaman batinnya, yang mengacu pribadinya. Untuk menipiskan
pandangan semacam ini, saya menulis:
“Chairil Anwar bukanlah sebuah monumen, melainkan situasi, yakni situasi yang
membuat kita, untuk menggunakan kata-katanya sendiri, ‘menimbang, memilih,
mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang’—dan ini tentu berlaku bilamana
kita membaca puisi Chairil sendiri. Yakni bahwa tidak seluruh sajaknya berhasil atau
hangat dibaca di zaman kita, tapi dari kompleks kekaryaannyalah para penyair dan
pengupas—juga kita, pembaca—selalu bisa memilih model mana untuk diperihalkan,
ditandingi, bahkan ditolak: melalui Chairil kita tahu apa-apa yang belum dikerjakan
sastra Indonesia. Saya sendiri ingin berkata bahwa sejumlah sajaknya masih terasa sulit
hingga hari ini—dan inilah kesulitan yang justru menggarisbawahi bahwa puisi memang
hendak mengatakan apa-apa yang mustahil dikatakan oleh bahasa. Chairil Anwar
menularkan kesulitan itu kepada kita semua: yakni bahwa penyair harus memiliki, untuk
mengutip ungkapan W.B. Yeats, fascination with the difficult, untuk mencapai tenaga
bahasa yang belum terbayangkan sebelumnya. Seorang penyair yang unggul menempuh
kesulitan tersebut bukan hanya untuk menguji keterampilan dan kegandrungannya akan
bahasa, tapi juga untuk memperkaya cara pandang kita terhadap dunia.
27
Kalam 26 / 2014
“Situasi Chairil Anwar juga memungkinkan kita bersikap tajam terhadap arus umum
yang menyatakan bahwa puisi adalah pantulan riwayat penyairnya. Bagi saya kini,
Chairil adalah kerja sastra dengan banyak fasetnya, yang kita tafsirkan terus-menerus;
pada suatu ketika kita harus ‘membunuh’ si penyair, karena riwayat penyair hanya
memiskinkan tindak pemaknaan kita. Memelihara mitos tentang si binatang jalang
hanya menjerumuskan sastra kita ke dalam nostalgia dan kelisanan. Melalui Chairil,
puisi kita kini telah bercabang ke sejumlah arah, di mana si aku atau si ia dalam puisi
bukan lagi sosok penyair; atau, melalui puisi, penyair hendak membunuh dirinya yang
sehari-hari, supaya bahasa leluasa menampilkan keajaibannya. Seperti Chairil, setiap
penyair mestinya bergulat dengan bahasa dan tradisi sastra yang ada sebelum ia: ia
tak menghamburkan keseorangannya, tapi menjalinkan diri dengan para pendahulu
yang diciptakannya dari tanah airnya sendiri maupun aneka belahan bumi. Dengan
tradisi yang dikembangkannya, puisi Chairil Anwar adalah puisi hari ini kapan saja kita
membacanya.” —Baca esai saya “Situasi Chairil Anwar”, dalam Aku Ini Binatang Jalang.
28
Kalam 26 / 2014
29
Kalam 26 / 2014
30
Kalam 26 / 2014
puisi bermula. Puisi berpisah dari kepribadian si pembuat, untuk menjadi milik bahasa
dan tradisi sastra.” Seseorang (yang punya biografi) memilih pendahulu yang bisa
mengalasi lelakunya menulis puisi, dan ia memperkokoh alas ini dengan menulis kredo
puisi dalam prosa, untuk mengubah dirinya jadi penyair (dan pada tahap ini ia masih
percaya kepada komunikasi). Ketika menulis puisi, ia, yang sudah jadi penyair (yang tak
lagi punya biografi) pun berbantahan dengan komunikasi, yakni bahwa baginya “bahasa
31
Kalam 26 / 2014
yang bersifat publik itu menindas dengan cara tersendiri”. Dan terjadilah transformasi
berikutnya: penyair menjelma jadi pengujar dalam puisinya. Demikianlah, “menulis puisi
adalah gabungan yang ganjil antara kemahiran berbahasa dan penyerahan diri kepada
tradisi sastra. Inilah gabungan kimiawi yang membuat si pengujar dalam puisi bukan lagi
ia yang hidup sehari-hari dan bukan juga ia yang berkomunikasi dengan prosa.” —Baca
tulisan saya, “Penyair”, dalam Hamid Basyaib (penyunting), Goenawan Mohamad Enak
Dibaca dan Perlu (Jakarta: R&W Publishing, 2011).
32
Kalam 26 / 2014
membuat kita sebagai orang asing yang melihat tema Oedipus sebagai
retas belaka; dan sehelai “tandan di pohon saputangan” mengosongkan
penanda tentang sang pejuang kebebasan di Myanmar.
Kulit langit, gagang gurun, pohon saputangan (dan, tentu
saja, frasa-frasa yang mengandung pasangan kata itu)—semua adalah
montase permulaan. Juga “bulan adalah gelandangan”—dan A.
Teeuw pernah menulis bahwa hanya pembaca yang bersedia menjadi
sesama gelandangan yang bisa mengarak bulan itu. Tetapi jangan
lupa, dalam puisi bulan adalah “bulan” atau bulan dan gelandangan
adalah “gelandangan” atau gelandangan: dalam puisi kata bermain
tangkap dan lari dengan arti dan dunia. Menjadi gelandangan adalah
terus “bersandar pada mungkin”: tidak berumah (dan rumah adalah
sumber arti), pun tidak ada kepastian bahwa kita akan menemukan
rumah, rumah-ada. Di sepanjang jalan tempat kata-kata dan benda-
benda bertukar tempat, maka “lupa akan membebaskan kita”.
Komunikasi ternyata menjadi topeng bagi penghambaan subyek
yang satu kepada Subyek yang lain: komunikasi ialah pengertian
yang sedang “menghapuskan kita”. Dalam proses hendak terhapus
itulah kita menghadapi montase yang dibuat si penyair, montase
yang sepintas lalu mengasingkan kita dari komunikasi. Gerimis yang
jadi logam di kota sana, sebatang oleander yang putus nyawa, seribu
kereta api di bawah bulan Marly—inilah montase tingkat berikutnya
yang memaksa kita berpisah dari konsensus, dan menatap dunia
yang kekartun-kartunan dan surreal sekaligus. Menjadi gelandangan
adalah melakukan “hijrah dari bahasa publik”4, dan mencoba melihat—
Saya kutip frasa ini sambil agak melepaskannya dari konteks yang dipasang si penulis
4
esai, Goenawan Mohamad, “. . .tak menulis adalah sebuah kemustahilan. Tak menulis
sama artinya dengan yakin, bahwa diam memadai, bahwa diam adalah sebuah hijrah
dari bahasa publik (cetak miring dari ND). Tapi itulah yang terjadi. Apa yang saya tulis
33
Kalam 26 / 2014
34
Kalam 26 / 2014
35
Kalam 26 / 2014
36
Kalam 26 / 2014
37
Kalam 26 / 2014
38
Kalam 26 / 2014
Pada saat-saat lain, montase dengan jejak filsafat itu juga seperti
menciptakan cedera ganda: puisi hanya menjadi setengah fluida pun
setengah tata. Maka posisi pembaca-konstruktor bukanlah yang final.
Membaca puisi Goenawan Mohamad adalah bermain di antara kutub
gelandangan dan kutub konstruktor.
Goenawan Mohamad adalah penyair penutup nyanyi sunyi—
dan dengan “penyair” saya maksudkan ia yang selalu mampu melahirkan
dirinya kembali, memilih berbagai topeng untuk berbagai tariannya
yang lain. Jika ia memuncaki nyanyi sunyi dengan melankoli filsafat,
sesungguhnya ia juga mengancang kepolosan faal benda-benda, paling
tidak ia sudah menunjukkan potensinya. Bagi pembaca yang writerly,
puisinya bukan lagi separuh ilusi, tetapi raga sepenuhnya—tulisan
yang menyadari diri sebagai tulisan, tulisan yang membedakan diri
dari dunia, supaya pembaca tak jera menggambarkan dunia secara
baru. Si raga, puisi itu, akan menggirangkan pembaca yang berlaku
seperti sungai yang “mengalir ke muara yang mustahil” dan akan
membunuh mereka yang mengharapkan pahlawan atau guru dari
puisi. Tidak ada penyair yang mampu menutup nyanyi sunyi di tanah
air yang menggandrungi kelisanan ini, kecuali jika ia bisa bernyanyi
dengan berbagai cara; dan tidak ada puisi yang jadi raga sepenuhnya,
kecuali jika si penyair tahu bahwa filsafat (yang dipertuan oleh sang
jiwa) sudah jadi reruntuhan. Demikianlah paradoks yang nikmat dari
puisi Goenawan Mohamad. Penyair yang mampu mengubah konsepsi
kita—saya pinjam kata-kata Jorge Luis Borges—tentang masa lalu dan
masa depan sastra dan bahasa adalah ia yang tahu bahwa “sajak-sajak
tetap terbuang dan laki-laki itu tetap menuliskannya.”
39