Anda di halaman 1dari 39

Kalam 26 / 2014

Gerimis Logam,
Mayat Oleander

Nirwan Dewanto

M
embaca puisi Goenawan Mohamad adalah berperkara
dengan pembacaan. Itulah puisi yang pada pembacaan
pertama dan kedua terlihat mustahil: ketika ia menuju
bentuknya yang terbaik, ada yang tetap tak terucapkan olehnya, ada
yang dihindarkannya dari kesempurnaan. Mencerap puisi demikian
adalah menghadapi “separuh ilusi”: setiap kali saya berharap bahwa
puisi yang cemerlang adalah yang merasuk ke dalam diri saya dalam
segenap keutuhannya, keseluruhannya, maka justru hal ini tidak
terjadi—atau tidak segera terjadi jika saja saya masih memberikan
diri kepadanya. Puisi adalah lukisan, tetapi lukisan yang urung: jika
lukisan rupa sejati membentangkan diri sekaligus, tanpa awal dan
akhir, maka puisi memberikan dirinya kepada kita tahap demi tahap,
frasa demi frasa, kalimat demi kalimat, bait demi bait. Namun begitu
saya selesai membacanya, saya pun segera sadar bahwa ia pun urung

Nirwan Dewanto adalah penyair, kurator, kritikus sastra. Ia juga menulis lirik
lagu. Buku puisinya Buli-Buli Lima Kaki (2010) dan Jantung Lebah Ratu (2008).
Keduanya memenangi Khatulistiwa Literary Award. Buku esainya Senjakala
Kebudayaan (1996).
Esai ini pernah disampaikan dalam cara Sebuah Hari untuk Goenawan Mohamad,
Teater Salihara, 03 Agustus 2011.

1
Kalam 26 / 2014

juga menjadikan dirinya sebagai urutan frasa, kalimat atau bait: ia


adalah kejadian yang tampil dalam keserentakannya. Sia-sia belaka
usaha saya untuk membacanya sebagai malihan cerita atau tamsil.
Atau, setiap kali kita mengira bahwa puisi yang baik
adalah yang unsur-unsurnya kait-mengait, saling memperkuat,
untuk membentuk semacam tata yang membuatnya kokoh, kita
mendapatkan yang sebaliknya. Bagi pemburu pesan, puisi akan jadi
fluida yang selalu luput dari genggaman. Demikianlah pokok kita
dengan puisi Goenawan Mohamad. Jika sebuah prosa mengantarkan
kita sampai ke tujuan sesuai janjinya, sekalipun jalan-jalan yang
harus kita lalui tidak lurus lempang, maka sebuah sajak tak pernah
melunasi janjinya, atau ia seakan menyeret kita ke dalam labirin
tanpa memberikan peta apa pun. Ia tidak membiarkan kita menjejak,
namun membuat kita mengambang; di akhir puisi, kita tak mencapai
apa pun, dan kita membacanya lagi dari awal, dan begitulah
seterusnya. Dengan semacam rasa teracuni atau terbius, kita mengais
ke balik unsur-unsurnya, mencoba mendapatkan intinya. Mengais
terus-menerus, tampaknya kita tak akan menemukan inti apa pun.
Di titik ini barangkali saya mengharapkan pembaca berpengalaman,
yakni pembaca yang merasa menguasai—atau dikuasai—tradisi
perpuisian tertentu, katakanlah puisi modern Indonesia. Semestinya
pengalaman ini memudahkannya dalam mencerap; namun ternyata
sejumlah puisi, saya kira termasuk puisi Goenawan Mohamad,
malah memperdayakannya dengan tradisi yang ditanggungnya itu.
Pengetahuan tentang khazanah termaksud, tapi yang hanya bekerja
dari luar, tidak berdaya menembus dalaman puisi yang justru
mencerminkan khazanah tersebut.

2
Kalam 26 / 2014

Saya berbicara tentang paradoks dalam membaca puisi—


atau paradoks dalam puisi itu sendiri. Jika anda mengira bahwa
saya menanggung derita dalam menghadapi puisi, sesungguhnya
saya merasa girang (meskipun, saya kira, tulisan ini mencoba selalu
menghindari kata sifat). Melalui puisi, bahasa meragukan dirinya
sebagai alat komunikasi, terutama ketika komunikasi hanya jadi
topeng bagi penghambaan si penerima ujaran kepada si pengujar.
Membaca puisi adalah mencurigai pembacaan itu sendiri, jika saja
pembacaan adalah jalan menuju pengertian dan konsensus. Puisi
berdusta, dan secara diam-diam menyatakan dirinya berdusta,
supaya kita tidak mengharapkan kebenaran apa pun darinya. Tetapi
kita tetap saja berharap, karena kita percaya bahwa bahasa telanjur
mengangkut sebagian pengalaman kita; sedangkan puisi, masih saja
mencoba mengambil apa-apa yang tak terangkut. Demikianlah, dalam
sebuah sajak, misalnya, saya mendengar orang berkata bahwa “di kota
itu gerimis telah jadi logam”, dan si penutur dalam sajak pun percaya
bahwa “kita akan sampai ke sana.” Maka kita berharap bahwa sajak itu
akan memberitahu bagaimana si kita, pengujar itu, menempuh jalan
ke sana, ke kota itu, sebagaimana kita berupaya mencapai isi sajak.
Tapi agaknya kita tersesat.

DI KOTA ITU, KATA ORANG, GERIMIS TELAH JADI LOGAM

Di kota itu, kata orang, gerimis telah jadi logam. Di bawah cahaya
hari pun bercadar, tapi aku tahu kita akan sampai ke sana.

Dan kita bercinta tanpa batuk yang tersimpan, membiarkan gumpal


darah di gelas itu menghijau. Dan engkau bertanya mengapa udara
berserbuk di antara kita?

3
Kalam 26 / 2014

Lalu pagi selesai, burung lerai dan sisa bulan tertinggal di luar, di atas
cakrawala aspal.

Jika samsu pun berdebu, kekasihku, juga pelupukmu. Tapi tutupkan


matamu, dan bayangkan aku menjemputmu, mautmu.

Setiap kalimat dalam puisi di atas seakan terkunci dalam


dirinya sendiri. Tidak ada hubungan, katakanlah hubungan sebab-
akibat, dari kalimat satu ke kalimat lainnya. Atau celah antarkalimat
terlalu lebar (sedangkan dalam prosa celah demikian begitu sempitnya,
bahkan sering tak ada). Barangkali juga kita harus membayangkan
setiap bait sebagai sebuah paragraf yang sebagian besar kalimatnya
sudah terhapus. Jika pun kita berupaya merekonstruksi paragraf-
paragraf itu menjadi semacam satuan-satuan rekaan, maka tidak
tersedia cukup peluang untuk itu. Puisi itu seperti melompat cepat
menuju akhirnya sendiri. Bahkan si penyair sendiri seperti tak punya
waktu untuk menyempurnakan ciptaannya: dua kalimat terakhir
(pada bait terakhir) adalah kalimat-kalimat yang menggantung dan
menunggu diselesaikan, di mana “tapi” jelas bukan jawaban terhadap
“jika”. Membaca lagi dan lagi sajak yang ditulis pada 1971 itu kita akan
mudah berpendapat bahwa itulah sajak yang tak koheren. Namun
terlalu banyak isyarat di dalamnya yang tak bisa kita biarkan; salah
satu yang terpenting buat saya adalah bahwa pengujar dalam puisi, si
kita, adalah sepasang pecinta. Dan mereka terjebak di antara konon
(“gerimis telah jadi logam”) dan pengalaman sendiri (“kita bercinta”),
antara hasrat (“akan sampai ke sana”, ke kota itu) dan kenyataan
(“pagi lerai”). Seperti sepasang kekasih itu, kita pun terombang-
ambing menangkap alam yang tak lagi di bawah kendali hukum

4
Kalam 26 / 2014

alam, menangkapnya dengan nalar kebahasaan kita. Perlahan-lahan


kita menyesuaikan diri dengan tatapan si penutur. Sebab, setidaknya
kita tahu bahwa mereka baru saja melewatkan malam (“sisa bulan
tertinggal di luar”) dan sedang menunggu siang (“jika samsu pun
berdebu”).
“Gerimis logam” hanya cara untuk membuat kita berjaga-
jaga untuk—bukan percaya akan—jukstaposisi yang berikutnya.
Membiarkan segala sesuatu tak terjelaskan bukan cara yang baik untuk
menangkap makna, namun “bercinta tanpa batuk yang tersimpan”
memang tak terjelaskan, kecuali “batuk” adalah pengganti “muntah”,
sehingga kita boleh mengatakan bahwa sepasang pecinta itu baru
memuntahkan sesuatu, katakanlah memuntahkan nafsu berahi. Dan
“gumpal darah di gelas itu” bisa saja anggur (kita ingat, dalam kosakata
Kristiani, anggur adalah simbol darah), yang dalam situasi muntah-
berahi terlihat hijau. Jika cinta itu buta, maka setidaknya ia buta-
warna—membutakan diri terhadap warna—agar ia bisa mencerap
aneka wujud lain dalam jukstaposisi juga, risiko dari “gerimis logam”
(yang sekadar konon itu). Maka “cadar” dalam “hari pun bercadar”
adalah cadar gerimis (logam); “serbuk” dalam “udara berserbuk” boleh
jadi serbuk gerimis yang sama; (dan saya membenarkan diri sendiri:
saya temukan juga “serbuk-serbuk hujan” dalam sajak “Pertemuan”
Sapardi Djoko Damono). Demikianlah, saya baru saja menarik sumbu
imaji antara tiga frasa yang sepintas lalu tak saling berhubungan.
Sumbu imaji ini bisa saja berlanjut ke bait terakhir. “Debu”
dalam “samsu pun berdebu” mungkin juga debu gerimis logam.
Usaha pembacaan saya adalah membuat puisi masuk akal menurut
tujuannya sendiri: “gerimis logam” yang sekadar konon itu, buat saya,
menghantui berbagai aneka citraan yang datang setelahnya. Pengujar

5
Kalam 26 / 2014

utama dalam puisi ternyata lebih si aku daripada si kita, yang bisa
melihat lebih jernih ketimbang si kau (yang pelupuknya berdebu,
debu gerimis yang sama pula, meski masih “jika”). Jika latar sungguh-
sungguh terlumuri oleh fantasi tentang gerimis logam, tak ada yang
lebih baik daripada menutup mata, meski “menutup mata” dalam
kosa-idiom kita juga berarti kematian. Mungkin si kau akan sampai
juga ke “kota itu”, mungkin juga tidak. Si aku meminta si kau menutup
mata—apakah akan memberinya kematian atau membebaskannya
dari maut, sungguh kita tidak tahu. Percintaan hanya sarana
penjemputan—dan si aku hanya malaikat maut yang mencintai bakal
korbannya? Ataukah percintaan itu hanya terjadi dalam jika belaka,
sebab si aku masih harus menjemput si kau—artinya di sepanjang
puisi keduanya masih terpisah?
Usaha saya untuk membuat puisi itu bermakna ternyata
jauh lebih panjang dan berliku ketimbang panjang puisi dan
keserentakannya sendiri. Sesungguhnya saya hendak mengatakan
bahwa si penyair, mungkin sekali tanpa sengaja, menjadi mahir dalam
laku elipsis: dalam usahanya menyelesaikan puisi, ia hanya menjaring
imaji-imaji cemerlang-ganjil yang tanpa disadarinya berhubungan
satu sama lain, dan dengan demikian secara tak langsung ia menghapus
sebagian wacana. Atau, dalam usahanya menjelmakan diri sebagai
pengujar dalam sajak, si penyair memampatkan waktu (yakni “waktu
yang akan memperdayakan kita”) agar benda-benda, imaji-imaji—
sebagian kecil benda dan imaji belaka, sementara sebagian besar
lenyap ke dalam samudra ketiadaan—dapat meloloskan diri dari
peristiwa, dari cerita. Dalam sajak-prosa yang barusan kita bicarakan,
tindak elipsis itu bahkan begitu radikal, lebih daripada apa yang bisa
terjadi pada sajak yang bersandar pada tertib bentuk seperti kuatrin.

6
Kalam 26 / 2014

DI BERANDA INI ANGIN TAK KEDENGARAN LAGI

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi


Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar musim mendesak ke arah kita

Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat


Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Aku pun tahu: sepi kita semula


bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada

Baris pertama sajak bertitimangsa 1966 itu tak menyiapkan


kita berjaga-jaga. Seakan semuanya sudah jelas dan wajar: kita
menghadapi lanskap senjakala. Si penutur dalam sajak tak mendengar
angin di beranda; mungkin juga angin tak pernah sampai kepadanya.
Tapi kewajaran yang sebentar demikian urung oleh “langit terlepas”,
mungkin terlepas dari pandangan, seakan-akan ini (i)syarat bahwa si
aku atau kita tak lagi menguasai keadaan sepenuhnya; bahwa ruanglah,
dan bukan si penutur, yang menunggu malam hari. Tak jelas siapa yang
bermain di piano, tetapi jelaslah kita mendengar Rubayyat darinya,
dan saya segera tersadar bahwa rubai adalah kuatrin, sebagaimana
puisi yang sedang kita baca. Pernah kita mendengar si kau berkata
“pergilah sebelum malam tiba”, tapi ternyata di luar yang berangkat
adalah kereta dan detik; entahlah si aku tetap tinggal bersama si kau
atau tidak. Seakan-akan pengujar hanya lewat belaka dalam puisi, dan

7
Kalam 26 / 2014

menyilakan musim dan citraan apa pun mendesaknya keluar, keluar


dari puisi.
Saya pernah mengatakan bahwa kuatrin adalah penjara empat
seuntai; dengan kuatrin, penyair menyuling sejauh-jauhnya: ia hanya
bisa mengikutkan lima-enam kata setiap baris, dan ia meski mengikat
baris-barisnya dengan rima luar. Namun selalu ada yang lepas,
berangkat, sebelum bait jadi sempurna, sebelum kata menemukan
pasangannya yang benar. Dan inilah tampaknya watak puisi modern:
keteraturan bentuknya tak mampu mengatasi lompatan pelbagai
imajinya, rimanya tak mampu meredam deraunya. Demikianlah
lanskap senjakala menjadi sesuatu yang lain, yang tak tercerap. Kata-
kata berhenti sebagai penunjuk kenyataan. Penyair memadatkan,
bukan mengatur gerak, imaji-imaji yang berlesatan. Tapi ia harus
bergegas, menuju titik akhir, menyelesaikan lukisannya, sebelum
gelap malam turun, sebelum ia kehilangan daya indranya: bukankah
ia sudah merancukan “kapan” dengan “ke mana” pada “sebelum hari
tahu ke mana lagi akan tiba”? Si aku tidak menguasai waktu dan ruang,
dan ia seperti lenyap ke dalam lanskap di hadapannya, lanskap yang
bergerak menuju abstraksi. (Dengan “abstraksi”, saya maksudkan
adalah proses hilangnya kontur dan perspektif dalam lukisan. Jadi,
jika pun semula kita mengenali semacam latar dalam sajak, maka latar
itu menghilang ketika kita menuntaskan pembacaan.)
Barangkali saja puisi modern mesti kita tangkap dalam
keseluruhannya. Kerja kita mencari hubungan antarkalimat sia-sia
belaka. Dalam ketidaksempurnaan arti setiap kalimat, puisi tidak
menceritakan apa pun, tetapi menghadirkan sebentuk kalibut kecil.
Atau jika kita berusaha merekonstruksi sebentang lanskap atau
suasana, si penutur segera mendesakkan “sepi kita semula.” Sebelum

8
Kalam 26 / 2014

“selesai kata”—sebelum kita merangkai kata-kata yang tersedia


menjadi bahasa, yakni wahana komunikasi—kita, bersama si penyair,
sudah “bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata”. Mungkin juga
kita tak jadi kecewa, karena peran si penutur sudah diambil pohon-
pohon, yang bukan hanya “berbagi dingin di luar jendela”, tapi juga
ber-ide, yakni dengan “mengekalkan yang esok mungkin tak ada.”
Namun barangkali yang kekal bukan yang esok, tapi yang kemarin,
yakni lanskap senjakala yang lain, yang memudahkan sebuah puisi
terpahamkan, bermakna, di tengah sejarah sastra Indonesia.

DERAI-DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh


terasa hari jadi akan malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan


sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan


tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

Penutur dalam “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi”


dan “Derai-Derai Cemara” (1949) itu tahu; atau saya cenderung
mengatakan bahwa Goenawan Mohamad tak bisa menghindar
dari kata tahu yang sudah digunakan Chairil Anwar. Namun

9
Kalam 26 / 2014

“menghindar” dalam kalimat barusan tampaknya bukan kata yang


tepat; sesungguhnya penyair yang datang kemudian menggunakan
sejumlah kata dan imaji yang ditinggalkan pendahulunya. Angin
yang terpendam menjadi angin yang tak kedengaran lagi; cemara
yang menderai sampai jauh menjelma pohon-pohon yang berbagi
dingin di luar jendela. Dan seperti penutur dalam kedua puisi itu,
kita pun tahu bahwa “ada yang tetap tak terucapkan” adalah situasi
“tanpa kata-kata”, yakni sunyi yang menghantu dalam puisi. Puisi
memberi kita paradoks: ia hendak mencapai sunyi dengan kata-kata;
penyair tahu bahwa bahasa tidak bisa mengatakan segala-segalanya,
maka ia pun menjadikan apa yang tak terkatakan itu sebagai sunyi
sepi, “sepi kita semula”. Si aku yang “sudah berapa waktu bukan kanak
lagi” kemudian jadilah si aku yang lebih dewasa, lebih sadar bentuk,
tahu membandingkan kuatrin dengan rubai, tahu bahwa bentuk yang
teratur seperti kuatrin bisa mengandung selisih dan derau, sesuatu
yang menghalanginya untuk jadi indah.
Puisi modern berusaha mengosongkan isinya sendiri untuk
mencapai sepi, “sepi kita semula” (atau “sepi yang purba” dalam sajak
Sapardi Djoko Damono “Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka”), tetapi
penyair masih juga menyelundupkan semacam filsafat bahwa isi-
moral memang percuma. Ini sebuah paradoks lagi, bukan? “Hidup
hanya menunda kekalahan” jelaslah semacam pernyataan falsafi
yang diucapkan oleh ia yang baru saja menjauh dari “cinta sekolah
rendah” (dan juga dari kisaran Pujangga Baru) namun ia yang lebih
dewasa, yang lebih sadar bentuk, meminjam “mulut” pohon-pohon
untuk berfilsafat—atau melawan filsafat—yakni untuk “mengekalkan
yang esok mungkin tak ada”. Adapun “sebelum pada akhirnya kita
menyerah” mendapatkan padanannya pada “bersiap kecewa”: suara

10
Kalam 26 / 2014

penyair belum hilang; ia belum mencapai sepi, ia masih percaya


kepada kata sifat. “Bersedih” dan “kecewa” adalah dua pasangan
kata yang justru menghalangi kita untuk mendengar sepi, sunyi,
nyanyi sunyi. Puisi Indonesia adalah nyanyi sunyi. Kalaupun penyair
mencoba menyanyikan sesuatu yang lain, maka sepi—kita kutip dari
sajak “Hampa” Chairil Anwar—“terus ke dada, dan menanti, menanti”.
Nyanyi sunyi—seturut judul buku puisi Amir Hamzah,
1937—adalah tradisi puisi lirik Indonesia. Penyair bernyanyi untuk
mencapai sunyi, atau penyair berdekat-dekat dengan sunyi agar ia
cemerlang bernyanyi. Sejak Amir Hamzah, unsur paling mendasar
dari puisi adalah kata, dan serentak dengan itu pula penyair hendak
membebaskan kata dari beban pengertian. Kata mesti menjadi
organisme tersendiri, bukan sekadar alat komunikasi, dan ini hanya
terjadi jika ia berada dalam kalimat yang “gagal” jadi lengkap, kalimat
yang “terpaksa” jadi frasa sumbang-menggantung, frasa yang yang tak
lancar berpindah ke frasa berikutnya. Celah antarfrasa itu menjadi
celah bisu, sunyi, kosong yang seakan-akan jadi matriks puisi,
sementara kata terus berkelit dari semantik. Tetapi sering kali penyair
tak sabar untuk mencapai sunyi, maka ia terpaksa menggunakan kata
“sunyi” atau “sepi”, juga dengan berlebih-lebihan: “sunyi itu duka,
sunyi itu kudus, sunyi itu lupa, sunyi itu lampus” (Amir Hamzah);
“sepi menekan-mendesak”, “mampus kau dikoyak-koyak sepi” (Chairil
Anwar); “berperang bumi dan sepi”, “bunga di atas batu, dibakar
sepi” (Sitor Situmorang); “meriap sepi yang purba”, “sepi terbata-
bata menghardik berulang kali” (Sapardi Djoko Damono); “sepi
kita semula”, “senyap merayap antara sendi dan sprei” (Goenawan
Mohamad); “sebelas duri sepi”, “sepisau sepi sepisau nyanyi” (Sutardji
Calzoum Bachri). Atau puisi mesti mencoret, menghapuskan,

11
Kalam 26 / 2014

meninggalkan aneka bagiannya sendiri untuk mencapai yang sunyi,


yang kosong. Tapi sunyi dan kosong yang mutlak sungguh tak ada,
tak pernah ada, sehingga penyair pun terdorong juga membubuhkan
frasa “tak ada”.

PIKNIK

Untuk pikniknya yang terakhir Tiar menyiapkan telur dadar


dan sejumput mrica. Ia bangun pagi sekali. Di tempat mandi
dipandangnya sumur: sebuah liang hijau, seperti lorong hutan
yang memanggil. Ia tahu ia tak hendak pergi.

“Tapi aku mesti pergi,” bisiknya sambil menerjunkan timba.


Air terkoyak. Lorong itu mengembalikan bunyi.

35 tahun yang lalu untuk pikniknya yang pertama ia ingat


ia memilih topi katun putih. Si upik mengenakan gaun ros,
dan mengikuti anak-anak yang menari di tepi danau
dengan lagu angan-angan. Ibunya menyiapkan tikar,
menggumamkan sesuatu. Ia seperti dengar suara saluang.

Setelah itu mungkin 20 tahun menyela mereka, memisahkan,


sampai mereka bersua di kereta ke Solo. Mereka tak saling menyapa.
Ia pura-pura melihat ke luar gerbong: deretan pokok dadap,
kembang merah yang ranum, sisa tanggul yang runtuh.

“Kau masih sendiri?” ia bayangkan ia bertanya.

Tapi si upik yang tak ditatapnya akan selalu memandang ke depan,


dan dari ruang masinis seperti ia dengar seseorang berkata,
“Tak ada lagi.”

Pada pikniknya yang terakhir Tiar tahu apa artinya “tak ada lagi”.

12
Kalam 26 / 2014

Siapakah Tiar dalam “cerita” di atas, siapa pula si upik dan


ibunya? Sajak yang bertahun 2006 ini memang membatalkan semua
kisah yang mungkin (dan dengan “kisah” yang saya maksud adalah
hubungan antartokoh dan bagaimana hubungan demikian berubah
dalam waktu). Dua orang yang berada bersama Tiar dalam piknik
35 tahun yang lalu itu mungkin keluarganya, mungkin juga tidak.
Dan pertemuan kembali Tiar dengan si upik di dalam kereta menuju
Solo, 20 tahun setelah piknik yang “bahagia” itu, justru mengaburkan
hubungan antara keduanya: kenapa pula keduanya tak saling
menyapa, kenapa keduanya jadi orang asing yang memandang ke
arah yang berbeda-beda. Mungkin juga kita ingin mengubah frasa
“Kau masih sendiri?” dengan “Kau masih sendiri, anakku?”—namun
rekonstruksi cerita Tiar sudah pasti berlebih-lebihan, dan akan
merusak jukstaposisi puisi yang menonjolkan motif tentang “pergi”
dan “tak ada”. Adapun piknik yang akan dialami Tiar hanya penanda
akan sesuatu yang lain: piknik Tiar hari ini tak akan pernah kita
lihat—hanya pengujar di luar puisi yang menyatakan itulah piknik
Tiar yang terakhir. Kita tak tahu ke mana Tiar pergi: kita hanya tahu
ia tak hendak pergi namun ia harus pergi.
Bentuk prosa ialah untuk mewadahi frasa-frasa yang
memanjang dan bergerak sendiri, juga bercecabang tanpa kita tahu
arahnya—seperti juga Tiar yang kita tak tahu ke mana akan pergi.
Sesekali kita, seperti Tiar, menikmati rerinci yang muncul begitu
saja untuk menunda gambaran tentang piknik: apa pentingnya
adegan Tiar menimba air, dan siapa seseorang yang di ruang masinis
mengatakan “tak ada lagi.” Dan juga untuk apa sebenarnya kita harus
tahu bunyi saluang pada piknik yang pertama, deretan pokok dadap
dan sisa tanggul yang runtuh pada perjalanan dengan kereta ke Solo;

13
Kalam 26 / 2014

ya, rerinci ini hanya menunda kita menyimpulkan sesuatu. Menunda:


proses pembacaan memang menghapus kesan apa yang sudah terbaca;
membaca puisi ialah tertarik kepada segala arah dan kemungkinan;
sedangkan membaca prosa ialah tertawan pada satu tujuan belaka.
Pada dua bait-paragraf terakhir segera kita tergoda oleh frasa yang
berulang dua kali—“tak ada lagi”: jadi, si Tiar baru mengerti “tak
ada lagi”, setelah seseorang di kereta yang melaju ke Solo 15 tahun
sebelumnya mengatakan kalimat yang sama. Boleh jadi seseorang itu
adalah penyair sendiri, yang masuk ke dalam puisi, untuk membisiki
pembaca, kita, bahwa puisinya memang bicara tentang sesuatu yang
tak ada, sesuatu yang tak ada lagi; bahwa piknik itu mungkin sekali
hanya sarana untuk menuju ketiadaan dan kekosongan, bahkan
mungkin juga kematian? Setidaknya kita mengerti bahwa “pergi”
adalah sarana menuju “tak ada lagi”. Seperti juga yang dikatakan oleh
sajak Sapardi Djoko Damono di bawah ini:

KISAH

Kau pergi sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas


menoleh ke namamu sendiri yang tercetak di plat
aluminium itu. Hari itu musim hujan yang panjang
dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi.
Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut
sehingga tak terbaca lagi.
Hari ini seseorang yang mirip denganmu tampak berhenti di
depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari
sesuatu. Ia bersihkan lumut dari plat nama itu, lalu
dibacanya namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.

14
Kalam 26 / 2014

Seperti “Piknik”, “Kisah” juga mengatakan “pergi” sebagai


sesuatu yang “tak ada”: kita tak tahu ke mana dan mengapa si kau pergi
dari rumahnya. Seperti “Piknik”, rentang waktu yang dinyatakan oleh
“Kisah” juga sangat jelas—lewatnya satu musim penghujan, antara
“hari itu” dan “hari ini”. Puisi adalah sesuatu yang tidak berisi, atau
cenderung mengosongkan isi: ia adalah paradoks: ia hendak mencapai
kekosongan dengan kata, dengan kata-kata, yang telanjur terikat
kepada arti. Kita tak pernah mengenal seperti apa pengembaraan si
kau, meskipun si ia berkisah kepada si aku tentang itu; pun kita tak
pernah tahu apakah si ia sama dengan si kau. Baiklah, semua yang
tak pernah kita kenal ini kita sebut saja misteri. Namun, jika “Kisah”
cukup lurus dan terang menyampaikan misteri itu, tidak demikian
halnya dengan “Piknik”: yang pertama, bertahan dalam dua-tiga imaji
pokok, seakan mempertahankan sebuah inti; sedangkan pada yang
kedua, imaji-imaji berlesatan ke sana ke mari, saling berbentur dan
mungkin juga saling menindih, dan hanya berhenti oleh semacam
pernyataan semu-falsafi “tak ada lagi”. Juga, pada “Kisah”, setiap
bait-paragraf cukup berdisiplin mengikatkan diri pada satuan waktu
peristiwa; sedangkan pada “Piknik”, pembaca harus berhati-hati
untuk tidak tersesat pada alur.
Sesungguhnya saya berbicara tentang dua jenis pembacaan.
Yang pertama, adalah pembacaan yang bisa mulai begitu saja: katakan
saja, saya adalah pembaca yang tak memerlukan bekal: puisi masih
memiliki sisa-sisa karakter prosa—frasa-frasanya masih lurus-teratur,
membimbing ke satu arah tertentu, dan saya hanya terkejut ketika,
pada akhir puisi, saya beroleh penutup yang tak saya harapkan.
(Dalam pembacaan kedua dan seterusnya, penutup demikian itu
terasa semakin masuk akal juga.) Pembacaan yang kedua, seperti

15
Kalam 26 / 2014

perjalanan yang menyesatkan (dan hanya bekal termaksud yang bisa


membuat perjalanan itu mengasyikkan): inilah jika puisi menarik
saya ke banyak arah, frasa-frasa sama sekali tidak mirip prosa—
membelok dan melesat tiba-tiba—dan puisi “terlalu cepat” berakhir
sebelum kita berhasil mengendalikannya. Tetapi saya kira tak ada
pembaca polos: setiap pembaca puisi sesungguhnya seperti anggota
serikat rahasia yang mencerna tradisi tertentu. Apabila sang penyair
dihantui para pendahulunya, maka pembaca puisi juga menanggung
beban yang saya maksud di depan, yaitu pengetahuan akan sejumlah
puisi tertentu (dan pengetahuan, sebagaimana kita tahu, bisa juga
bekerja di lingkup bawah sadar kita). Demikianlah frasa “tidak ada
lagi” dalam “Piknik” menghubungkan saya dengan frasa serupa yang
pernah ada jauh sebelumnya:
SENJA DI PELABUHAN KECIL1
Tentang “Senja di Pelabuhan Kecil”, saya pernah menulis: “Kita tidak lagi mencari isi
1

puisi, karena kita sudah dipuaskan oleh baris pertama, ‘Ini kali tidak ada yang mencari
cinta’ (sehingga kita tak akan sampai hati menyimpulkan bahwa puisi itu bercerita
tentang si jantan yang patah hati, misalnya). Frasa ‘pada cerita’ dari baris kedua di
bait pertama, menyela begitu saja urutan gudang, rumah tua, tiang dan temali. Selaan
ini hanya pembuka saja, pengantar pada dua gambar berturutan yang tak saling
berhubungan, kecuali bahwa keduanya dihubungkan oleh pengulangan bunyi di ujung
baris ketiga dan keempat, yakni ‘berlaut’ dan ‘berpaut’. Atau boleh saja kedua baris
ini berhubungan, jika kapal dan perahu ternyata menghembus(kan) diri; dan jika
demikian halnya, maka ‘menghembus’ adalah sebentuk pemiuhan fungsi kata kerja.
Lagipula, bagaimana kita mendudukkan ‘mempercaya mau berpaut’: bukan hanya
bahwa ‘mempercaya’ itu sebuah bentukan yang ganjil, namun juga bahwa ‘mau berpaut’
itu sesungguhnya menuntut obyek sasaran—pada apa, pada siapa. Frasa mengambang
juga membuat kita bebas mempertautkannya dengan frasa sebelum atau sesudahnya;
atau, ia lebih berfungsi visual, yakni untuk menggenapkan montase yang kita hadapi.
Frasa ‘tidak bergerak’ pada baris ketiga bait kedua bisa melekat pada ‘pangkal akanan’
atau ‘tanah dan air’; sementara itu frasa ‘tiada lagi’ pada awal bait ketiga mungkin tidak
berhubungan dengan apa pun, kecuali mengosongkan apa-apa yang sudah kita tatap
pada dua bait sebelumnya. Sekali si aku, yakni dia yang mencari cinta, muncul, kita
tahu semuanya kian kabur saja: kenapa harus ada ‘pantai keempat’ (dan kita tak tahu
pantai-pantai yang sebelumnya, atau sesudahnya). Tak berjawab, masih juga kita bersua
dengan keganjilan semantik yang lain di pengujung, yaitu bahwa ‘sedu penghabisan bisa
terdekap’—siapa bisa mendekap sedu sedan, ataukah justru dalam jukstaposisi ekstrem

16
Kalam 26 / 2014

Senja di Pelabuhan Kecil1

Ini kali tidak ada yang mencari cinta


di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang


menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan


menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

kita boleh menanggalkan pengertian?” —Baca esai saya “Titik Tengah”, yang pernah saya
ceramahkan di Teater Salihara, 26 Maret 2010, dan kemudian dimuat dalam Riris K.
Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta (penyunting), Membaca Sapardi (Jakarta: Pustaka
Obor Indonesia dan HISKI, 2010). Esai ini membicarakan puisi Sapardi Djoko Damono,
juga kaitannya dengan Chairil Anwar dan avantgardisme Indonesia.
Dalam kesempatan lain, saya juga menulis: “Kesetiaan Chairil Anwar terhadap bentuk-
bentuk puisi lama sesungguhnya lebih besar daripada yang kita duga. ‘Senja di Pelabuhan
Kecil’ juga memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun: bait pertama dan kedua
adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap
murni, yang seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang
pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tapi bergumam lembut,
menggarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu. Pola sampiran-
isi ini muncul kembali dalam kuatrinnya yang lain ‘Derai-derai Cemara’: bait pertama
merupakan sampiran murni, bait ketiga isi, dan bait kedua setengah-sampiran, atau kait
yang memperantarai kedua bait. Sementara itu, sajak ini juga tampak lebih setia kepada
bentuk syair: setiap baris adalah kalimat lengkap, dan setiap kalimat berusaha bertahan
dengan jumlah maksimum enam kata. Variasi lain dari perluasan kuatrin-syair adalah
sajak ‘Yang Terampas dan Yang Putus’: tetapi di situ Chairil memisahkan baris keempat
dari setiap bait menjadi bait-sebaris tersendiri.” —Baca esai saya “Situasi Chairil Anwar”,
kata pembuka dalam kumpulan sajak lengkap Chairil Anwar edisi terbaru, Aku Ini
Binatang Jalang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011).

17
Kalam 26 / 2014

“Tiada lagi” pada bait ketiga sajak Chairil Anwar bertahun


1946 itu dapat dipandang sebagai frasa yang berdiri sendiri,
bisa juga tidak—ia mengulangi, atau menegaskan, “tak ada” pada
bait pertama. Demikian pula frasa-frasa yang lain: semuanya
mengambang dalam tubuh puisi, masing-masing bisa menyambung
atau memisah dengan yang sebelum atau sesudahnya. Puisi adalah
montase, dan hanya masuk akal dalam keseluruhannya, sementara
unsur-unsurnya sendiri terlihat sumbang. Saya pernah mengatakan
bahwa puisi di atas memelihara tegangan antara yang spasial dan
temporal: kita melihat lukisan, lanskap yang begitu saja tersaji di
hadapan kita, dan kita menyerap keseluruhannya; namun pada saat
yang sama kita harus membacanya dari awal dan akhir—frasa demi
frasa, urutan peristiwa, betapa pun urutan itu lebih tepat dikatakan
sebagai lompatan. Sementara itu, apa-apa yang sumbang—frasa-
frasa yang menggantung tak selesai, sejumlah kata kerja yang terpiuh
(atau bentukan baru yang tetap terasa ganjil hingga hari ini, seperti
“mempercaya”), persambungan yang tak pasti antarkalimat atau
antarfrasa, arti kalimat yang tak terjangkau seperti “sedu penghabisan
bisa terdekap”)—justru membesarkan tenaga kata, membuat setiap
kata hidup sebagai dirinya sendiri, bukan sekadar pembangun kalimat.
Paradoksnya: yang sumbang itu seketika pula menggenapkan—atau
digenapkan—oleh rima, yang bukan sekadar pola bunyi di ujung baris
dalam bait, namun cetusan spontan dari tenaga kata itu sendiri.
“Tiada lagi” barangkali hadir untuk membatalkan apa yang
sudah kita dapat pada dua bait sebelumnya: lanskap yang sudah
kita lihat, bunyi yang sudah kita dengar—semua yang dalam kaidah
pantun disebut sampiran, pendahuluan, yang tak (selalu) relevan
dengan isi. Dalam dua bait pertama kita seakan mendapatkan

18
Kalam 26 / 2014

pengujar yang berdiri di luar puisi, semacam pengamat obyektif,


namun ternyatalah di bait ketiga kita mendapatkan si aku, tampaknya
ia yang tak lagi mencari cinta, dan agaknya bait terakhir ini adalah
isi. Namun “tiada lagi” bisa juga tersambung dengan “aku sendiri”,
untuk menggambarkan ketidakmampuan si aku mencerap alam
yang mengitarinya; dengan demikian gambaran tumpang tindih dari
pelabuhan saat gerimis itu adalah cerminan dari ketidakmampuan
ini. Kita tak tahu kenapa si aku menyatakan “pantai keempat” (kita
bertanya di mana pantai pertama, kedua, ketiga), “sedu penghabisan
bisa terdekap” (kita bertanya bagaimana tangis bisa terdekap, atau
mungkinkah ada satu-dua kata yang tercoret dari frasa itu). Maka,
“tiada lagi”, di samping membatalkan isi, juga pernyataan sadar diri
dari puisi itu sendiri: penanda untuk selisih atau rumpang yang
besar di dalam frasa dan antarfrasa: kekosongan atau sunyi untuk
mempersambungkan pelbagai anasir dalam tubuh puisi.
“Tak ada” atau “tiada lagi” bergema lagi jauh ke depan, dan
kini saya ingin mengutip (dan memiuhkan) dua baris dari “Kuatrin
tentang Sebuah Poci” Goenawan Mohamad (1973): “Mataku belum
tolol ternyata, untuk sesuatu yang tak ada.” Seperti sebuah poci
dari tanah liat, bahasa adalah “sesuatu yang kelak retak”, dan kita,
bersama penyair, mencoba “membikinnya abadi”, yakni dengan
menyelamatkannya dari kamus dan denotasi. Mata dan telinga kita
tak hendak menjadi tolol untuk menyelamatkan bahasa ke sesuatu
yang mengandung sunyi dan kekosongan, ke dalam puisi. Puisi
adalah “separuh ilusi”, seperti poci tanah liat itu, dan separuhnya
lagi adalah upaya kita membuatnya bermakna, membuatnya nyata
(atau “nyata”)—dengan jalan menghubungkannya dengan khazanah
persajakan yang mengitarinya. Puisi masuk ke dalam diri kita

19
Kalam 26 / 2014

dalam keseluruhannya: tapi tidak, tidaklah sesederhana itu, sebab


sesungguhnya ia menampilkan diri sebagai paradoks: dengan segala
selisih dan rumpang yang dikandungnya, justru ia menunjukkan
keutuhannya, kesatuan “rancang bangun”-nya—dan inilah warisan
Chairil Anwar kepada para penyair sesudahnya. Dan puisi yang
demikian itu—puisi yang baik, puisi yang tak kunjung layu—adalah
puisi hari ini kapan saja kita membacanya. Dan si penyair harus
tahu kapan sajaknya harus berhenti—selesai ditulis—supaya ia tak
menguasainya, meringkusnya. Supaya sajak itu tetap berada di hari
ini untuk—saya kutip sefrasa dari sajak “Di Beranda Ini Angin Tak
Kedengaran Lagi”—“mengekalkan yang esok mungkin tak ada”.

Di bawah bulan Marly


dan pohon musim panas
Ada seribu kereta-api
menjemputmu pada batas

Mengapa mustahil mimpi


mengapa waktu memintas
Seketika berakhir berahi
begitu bergegas

Lalu jatuh daun murbei


dan air mata panas
Lalu jatuh daun murbei
dan engkau terlepas

Yang sampai pertama-tama kepada kita adalah musik, dan


musik dalam bentuknya yang paling murni tak hendak memberi

20
Kalam 26 / 2014

arti. Namun musik yang terbentuk dari kata-kata seperti puisi selalu
seperti hendak menyurung kita ke dalam arti sekaligus menarik kita
menuju nirarti. Puisi merenggut kata-kata dari arti kamusnya dan
melemparkannya ke dalam alkimia yang reaksinya harus diselesaikan
sendiri oleh pembaca. Namun jelas, pembaca yang berpengalaman
akan segera mempersandingkan kuatrin di atas dengan (mungkin
tanpa sadar) kuatrin-kuatrin yang pernah ada dalam khazanah bahasa
kita, misalnya pantun-pantun lama atau sajak-sajak Amir Hamzah
dan Chairil Anwar, dan tahu bahwa “Z” (1971) meradikalkan elipsis
dalam persajakan Indonesia. Tapi ini bukan berarti bahwa pembaca
bisa menutup pelbagai rumpang dalam sajak dan merekonstruksi
fragmen-fragmennya menjadi sejenis cerita. Penyair menyerahkan
dirinya ke dalam tradisi perpuisian yang melingkupinya, menjadi
pengujar-dalam-sajak yang, seraya terus menghindarkan diri
dari tatapan pembaca, memunguti imaji-imaji secara acak seperti
anak-anak dan merangkainya menjadi dunia serbamungkin.
Dengan menuruti bunyi kata, penyair menghilangkan dirinya—
mengosongkan puisi dari riwayat dirinya—supaya puisinya menjadi
“obyektif”. Dengan begitu pula sajak seperti “Z” menjadi lawan dari
komunikasi, yakni tatkala tiba-tiba kita menyadari bahwa komunikasi
bersifat “subyektif”—yaitu bahwa subyek yang satu meleburkan diri
ke dalam maksud Subyek yang lain berdasarkan seperangkat klise.
Sedangkan puisi bersifat “obyektif” karena kita tak bisa bertanya apa
maksud si penyair, dan perhubungan kita dengan puisi adalah—saya
pinjam kata-kata Amir Hamzah—“bertukar tangkap dengan lepas”.
Judul sajak, “Z”, menyarankan sebuah akhir, kita belum tahu
akhir apa. Bait pertama mendorong kita “menggambar” dengan
membebaskan diri dari perspektif dan gaya tarik bumi; dengan kata

21
Kalam 26 / 2014

lain, menggambar seperti anak-anak: di bawah bulan, di bawah


pohon (ya, satu, bukan banyak pohon) di sebuah musim panas, ada
seribu kereta api (alangkah banyaknya dan alangkah kecilnya, maka
bukankah ini hanya terjadi dalam mimpi!), menjemput si kau yang
kita tak tahu siapa. Namun sifat kekanak-kanakan ini juga pada saat
yang sama terlepas, karena sejak awal kita sudah berbenturan dengan
acuan yang tak terpegang: apa itu Marly, dan jika pun kita tahu itu
nama sebuah tempat di Prancis atau Jerman misalnya, lukisan kita
tak akan pernah jadi realisme. Dan “batas” pada baris keempat bait
pertama memiliki konotasi yang terlalu lebar, atau sesuatu yang dekat
kepada abstraksi, batas mimpi misalnya, terutama bila kita perkaitkan
dengan baris apa yang dikatakan berikutnya. (Tetapi kita bisa juga
mengancang pembacaan yang lebih “nonsens”: yaitu bahwa dua
baris pertama adalah sampiran, seperti sampiran pada pantun, yang
tidak berisi. Atau pembacaan yang lebih “dewasa”: di bawah langit
malam yang berbulan, di antara pohon-pohon musim panas, ada
berbaris kereta api menjemput si kau. Sayang sekali pembacaan yang
lebih “nonsens” maupun yang lebih “dewasa” ini harus urung karena
munculnya frasa “pada batas”.) Pada bait kedua, sajak menunjukkan
sifat “sadar diri”-nya, paradoksnya: bahwa lukisan mimpi memang
tak mustahil (karena puisi bukan tawanan cerita), bahwa lukisan
hanya jadi masuk akal secara spasial, bukan temporal (artinya, sajak
menjadi lukisan dengan menghapus alur waktu). Seperti berahi (dan
persetubuhan), sajak harus segera berakhir: sebelum menampilkan diri
(sebelum sempat mengatakan “aku”), artinya sebelum menceritakan
pengalamannya, si pengujar dalam sajak harus kembali menjadi
penyair (yakni ia yang berdiri di luar puisi) untuk melancarkan
elipsis. Barangkali tak ada cara yang lebih baik dalam mengakhiri

22
Kalam 26 / 2014

sajak dengan mengosongkannya: baik lukisan naif atau abstraksi pada


akhirnya terselewengkan—terbatalkan, atau terhapuskan—dengan
semacam close-up: jatuhnya daun murbei dan air mata—air mata yang
jadi panas, atau air mata musim panas (dan perhatikanlah “panas”
yang bisa jadi sumbu antara akhir dan awal puisi). Seperti si engkau,
pengertian selalu terlepas, dan sajak selalu kembali lagi sebagai musik,
untuk menggarisbawahi yang kosong, yang “tak ada”. Namun sesekali
puisi harus juga kembali menggunakan “tak ada” secara harfiah.

DI PEKARANGAN

Di pekarangan itu ia siapkan pemakaman. Ia tak sampai hati melihat


oleander putus.

Ia tunggu hujan pada terik 31° Celsius, ketika ia seakan mendengar tetes
pertama pada daun damar, kemudian tetes kedua, kemudian tak ada.

Di daun itu, seperti di putik-putik, memang tersirat yang tak ada.

Sebab itu pada cangkulan pertama ada gema dari humus yang menghitam,
seperti tawa, seperti tanda, dan ia pun berhenti menggali. Oleander itu
putus, perdu itu kehilangan merah, aku ingin melupakannya!

Tapi tak ada hujan yang akan menghapus sisa akar, dan ketika ia coba
panggil angin, angin tak menyahut.

Mungkin dengan tudung yang pucat ia bisa membujuk siang jadi ramah.

Atau lebih baik pergi. Tapi di luar sana sawah telah dituai, petak seperti
kulit tua yang memaparkan pori-pori yang lelah, dan pada warna yang
hilang dari jerami, hanya hinggap tiga punai.

23
Kalam 26 / 2014

Ia tak sampai hati melihat jerami rebah dan punai pergi.


Maka ia bayangkan ia melayang di angin pasif, seperti asap sampah yang
sabar.

Ia percaya yang khayal akan kekal, seperti langit, dan yang hilang akan
hilang seperti percakapan, dan yang kangen akan kangen kepada ada, yang
kata orang mungkin tak di sana.

Pekarangan yang hampir mustahil: pekarangan dengan batang-


batang oleander dan damar, dan sawah di depannya. Dengan itu sajak
di atas hendak bicara tentang “yang khayal”, “yang kangen kepada
ada”. Batang oleander itu bukan patah atau rubuh, tapi putus. Dan si
ia hendak memakamkannya. Kita lihat: “putus” dan “memakamkan”
mendapat artinya yang baru, yang mustahil (sesungguhnya kita tak
yakin, apakah si ia hendak memakamkan oleander atau sesuatu yang
lain). Manakala mungkin, di setiap tahap, sajak itu berbelok ke arah
yang lain: adegan selalu tertunda, dan pemandangan lain muncul
ganti-berganti: pemakaman si oleander putus tak pernah terjadi, dan
si ia tertarik-tarik ke arah yang lain. Tapi kita tak yakin kalau si ia
melihat dan mendengar: ia hanya seakan mendengar dan melihat,
misalnya “seakan mendengar tetes pertama pada daun damar”; dan
terhadap kenyataan apa pun yang ditatapnya, si ia “tak sampai hati”
atau “hendak melupakannya”. Sementara rumpang antarkalimat
begitu lebar, nyaris tak terjembatani (lihat itu, misalnya, di antara
dua kalimat pertama pada bait-paragraf pertama), sejumlah kalimat
memanjang dan mengabur; kalimat “Mungkin dengan tudung yang
pucat ia bisa membujuk siang jadi ramah” barangkali bisa kita tulis
ulang jadi “Dengan bertopi ia melindungi dirinya dari terik ganas
siang”—tapi mungkin juga tidak, jika “tudung”, “pucat” dan “ramah”

24
Kalam 26 / 2014

hendak menggelincir dari komunikasi.


Sejak mula, “Di Pekarangan” (2006) menyelimuti dirinya
dengan—saya pinjam istilah dari khazanah teater modern—semacam
“efek pengasingan”: lukisan yang disajikan bukan representasi alam,
justru mempersoalkan representasi tersebut. “Oleander” bukan nama
yang seharusnya hadir dalam latar yang (akan) dihadirkan dalam
sajak, dan mestinya bukan juga yang dikenal oleh si ia, kecuali bila
penyair mengidentifikasi diri dengannya; dan “putus” seharusnya tak
terpakai, keculi bila kita boleh mengatakan “seutas”, bukan “sebatang”,
oleander; dan “putus” bisa juga berarti “putus nyawa”, meski ini
terpaksa berlaku untuk tumbuhan. Penyair masuk sebentar-sebentar
ke dalam sajak dengan menyisipkan “tak ada”, untuk menunda kerja
indrawi si ia dan mencegah pembaca melebur ke dalam sajak. (Dalam
pembacaan yang biasa, yang tanpa efek pengasingan, pembaca-
pemirsa melebur ke dalam karya seni, menyamakan representasi
dengan kenyataan.) Penyair “membujuk” si ia bahwa yang dilihatnya
atau didengarnya (dan dikerjakannya) hanya khayal; atau penyair
membentangkan tabir pengasingan di hadapan si ia. Adapun bagi
kita, yang tak ada itu tersirat di permulaan, dan secara perlahan
jadi tersurat menuju akhir sajak, akhir pembacaan kita. Atau, suara
penyair membuat pekarangan itu ranah “separuh ilusi”, tempat
si ia “kangen kepada ada”, dan di luarnya adalah sawah yang dituai
(bukankah “sawah” mengantar kepada sesuatu yang kita miliki?),
kenyataan yang dialami pembaca (dan untuk melihat kenyataan itu
pun, si ia juga “tak sampai hati”), kenyataan yang membuat kita masih
percaya kepada komunikasi, percaya (bukan hanya kangen) kepada
ada, kepada wujud. Tetapi penyair sendiri tak yakin jika ada itu berada
di sana: ia membubuhkan “kata orang”—yang dicurinya dari sajaknya

25
Kalam 26 / 2014

yang lain “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam”—dan
“mungkin”. Barangkali penyair ingin suaranya tak terdengar, ada-nya
sendiri tak terlihat, supaya sajaknya “obyektif”. Jika saja pembacaan
kita malih jadi proses intelektual (karena sajak terlihat berupaya
mengadopsi ontologi), maka itu dibatalkan oleh disonansinya sendiri,
paradoksnya sendiri: untuk mempersoalkan “yang tak ada”, ia justru
tumbuh menjalar ke mana-mana, tergelincir dalam rerincinya sendiri,
menutup intinya sendiri.
Membaca puisi adalah “bersandar pada mungkin”. Pembacaan
yang barusan kita amalkan untuk sejumlah sajak di atas tidak lain
ketimbang upaya mengudar anasir puisi dan merangkai mereka
kembali seturut isyarat yang diberikan puisi itu sendiri. Namun
tampaknya tak terlalu mudah bagi kita menangkap isyarat itu bila kita
tak dihantui oleh tradisi sastra yang mestinya juga menghantui penyair.
Adapun kita yang saya sebut barusan adalah seakan anggota-anggota
perkumpulan rahasia lirisisme Indonesia, tetapi ini pun masih lebih
berjumlah daripada apa yang pernah dikatakan Sapardi Djoko Damono
bahwa pembaca puisi Goenawan Mohamad adalah diri si penyair
sendiri. Mungkin saya telah berlebih-lebihan. Barangkali ada juga
jenis pembaca lain, misalnya pembaca polos-telanjang yang sanggup
meloloskan diri dari perangkap konsensus dan komunikasi, membuka
dirinya terhadap kemungkinan berpisahnya antara rupa kata, bunyi
kata dan arti kata (atau antara penanda, tinanda, dan dunia, jika saya
boleh memakai konsep linguistik Saussurean); ketika membaca ulasan
A. Teeuw di penutup buku Goenawan Mohamad Asmaradana—Pilihan
Sajak 1961-1991 (terbit 1992), saya mungkin girang bahwa pembaca
jenis ini berpotensi ada. Jenis pembaca yang lain lagi barangkali adalah
penggandrung filsafat: dan saya bertanya-tanya bisakah mereka

26
Kalam 26 / 2014

mencerap sajak-sajak yang menggarap motif “tak ada” juga sekiranya


mereka sudah mahir mencerna kritik terhadap apa yang disebut dalam
dekonstruksionisme disebut “metafisika kehadiran”?
Filsuf berkilah dengan jargon, “datang ke mari untuk
menggugat”, yakni menggugat sistem, sedangkan penyair menari,
“mengekalkan teka-teki dan mengelak dari ujung setiap argumentasi”,
meraih apa yang tak termaktub oleh sistem. Nyanyi sunyi Indonesia
mulai dengan munculnya si aku yang sumbang dalam nada-nada merdu
yang “terdaduhkan di selendang dendang”, berlanjut dengan si aku
yang lebih sumbang lagi dalam nada-nada disonan yang mengandung
“apa yang tak terucapkan”, dan berlanjut lagi dengan lenyapnya si aku
dalam disonansi yang lebih “tak kedengaran lagi”; dengan kata lain,
nyanyi sunyi memuncak dengan hilangnya tonalitas, hilangnya pusat
nada. “Romantisisme” Amir Hamzah berlanjut ke “ekspresionisme”
Chairil Anwar2 berlanjut terus ke apa yang dalam modernisme
Bahkan “ekspresionisme” Chairil Anwar tak dapat dianggap begitu saja sebagai cetusan
2

diri-biografisnya. Tapi arus umum kritik sastra kita, juga pandangan di kalangan
pembaca, menganggap bahwa puisi adalah pantulan hidup si penyair; menurut penyair
cum kritikus Subagio Sastrowardoyo, misalnya, sajak adalah persaksian pengalaman si
penyair, terutama pengalaman batinnya, yang mengacu pribadinya. Untuk menipiskan
pandangan semacam ini, saya menulis:
“Chairil Anwar bukanlah sebuah monumen, melainkan situasi, yakni situasi yang
membuat kita, untuk menggunakan kata-katanya sendiri, ‘menimbang, memilih,
mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang’—dan ini tentu berlaku bilamana
kita membaca puisi Chairil sendiri. Yakni bahwa tidak seluruh sajaknya berhasil atau
hangat dibaca di zaman kita, tapi dari kompleks kekaryaannyalah para penyair dan
pengupas—juga kita, pembaca—selalu bisa memilih model mana untuk diperihalkan,
ditandingi, bahkan ditolak: melalui Chairil kita tahu apa-apa yang belum dikerjakan
sastra Indonesia. Saya sendiri ingin berkata bahwa sejumlah sajaknya masih terasa sulit
hingga hari ini—dan inilah kesulitan yang justru menggarisbawahi bahwa puisi memang
hendak mengatakan apa-apa yang mustahil dikatakan oleh bahasa. Chairil Anwar
menularkan kesulitan itu kepada kita semua: yakni bahwa penyair harus memiliki, untuk
mengutip ungkapan W.B. Yeats, fascination with the difficult, untuk mencapai tenaga
bahasa yang belum terbayangkan sebelumnya. Seorang penyair yang unggul menempuh
kesulitan tersebut bukan hanya untuk menguji keterampilan dan kegandrungannya akan
bahasa, tapi juga untuk memperkaya cara pandang kita terhadap dunia.

27
Kalam 26 / 2014

dunia disebut an escape from personality, jika saya boleh meminjam


ungkapan T.S. Eliot. Dalam membuat disonansi termaksud, penyair
memotong tata bunyi dengan, antara lain, menyeruakkan, bermain-
main dengan, sepotong ide. Kita ingat, misalnya, frasa-frasa Chairil
Anwar seperti “hidup hanya menunda kekalahan”, “pembatasan cuma
tambah menyatukan kenang”; atau sejumlah kata benda abstrak
seperti “kecemasan derita, kecemasan mimpi”. Chairil diikuti Sitor
Situmorang dan Goenawan Mohamad: demikianlah, penyair bukan
menghindari filsafat, tapi bermain-main dengannya, untuk membuat
“pesan negatif”, antipoda terhadap pesan positif yang dijajakan sastra
terlibat. Goenawan bermain dengan pesan negatif itu lebih jauh:
dengan “sunyi” dan “tak ada” berulang kali, misalnya, puisi seakan-
akan memang tidak mengandung kehadiran atau kebenaran apa
pun di balik kata-kata yang membentuknya. Atau, puisi bisa juga
menyajikan “atonalitas” sekaligus “kontrafilsafat” dengan rima dalam
dan rima luar yang tetap terjaga sekalipun.

“Situasi Chairil Anwar juga memungkinkan kita bersikap tajam terhadap arus umum
yang menyatakan bahwa puisi adalah pantulan riwayat penyairnya. Bagi saya kini,
Chairil adalah kerja sastra dengan banyak fasetnya, yang kita tafsirkan terus-menerus;
pada suatu ketika kita harus ‘membunuh’ si penyair, karena riwayat penyair hanya
memiskinkan tindak pemaknaan kita. Memelihara mitos tentang si binatang jalang
hanya menjerumuskan sastra kita ke dalam nostalgia dan kelisanan. Melalui Chairil,
puisi kita kini telah bercabang ke sejumlah arah, di mana si aku atau si ia dalam puisi
bukan lagi sosok penyair; atau, melalui puisi, penyair hendak membunuh dirinya yang
sehari-hari, supaya bahasa leluasa menampilkan keajaibannya. Seperti Chairil, setiap
penyair mestinya bergulat dengan bahasa dan tradisi sastra yang ada sebelum ia: ia
tak menghamburkan keseorangannya, tapi menjalinkan diri dengan para pendahulu
yang diciptakannya dari tanah airnya sendiri maupun aneka belahan bumi. Dengan
tradisi yang dikembangkannya, puisi Chairil Anwar adalah puisi hari ini kapan saja kita
membacanya.” —Baca esai saya “Situasi Chairil Anwar”, dalam Aku Ini Binatang Jalang.

28
Kalam 26 / 2014

BARANGKALI TELAH KAUSEKA NAMAKU

Barangkali telah kuseka namamu


dengan sol sepatu
Seperti dalam perang yang lalu
kauseka namaku

Barangkali kau telah menyeka bukan namaku


Barangkali aku telah menyeka bukan namamu
Barangkali kita malah tak pernah di sini
Hanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi

Dalam sajak di atas, semua kemungkinan semantik yang


pernah ada pun gugur. “Menghapus nama” mempunyai arti yang jelas,
tapi tidak demikian halnya dengan “menyeka nama”. (Pemain alkimia
kata kerja seperti ini yang sebelumnya tentu saja Chairil Anwar;
kita ingat frasa-frasanya seperti “desir hari lari berenang”, “menemu
bujuk pangkal akanan”). Dengan susunan demikian, kata-kata telah
kehilangan isinya yang selama ini dipelihara kamus dan komunikasi.
Tapi baiklah, kita tuangkan muatan baru ke dalam penanda-penanda
kosong mengambang itu: “menyeka” boleh jadi “upaya menghapus
yang sia-sia”: nama kita tetap tertera, tetap terbaca meski terlindas
oleh sesuatu yang sepele (“sol sepatu”) atau sesuatu yang besar
(“perang yang lalu”); mengikuti kaum dekonstruksionis, kita letakkan
setiap penanda di bawah coretan, sambil membayangkan tinanda yang
belum termaktub olehnya. Tetapi puisi itu sendiri tak menghendaki
stabilitas: pada saat kita mulai memahaminya (atau hanya berupaya
memahaminya, karena kita masih percaya kepada “barangkali”), ia
menampik kita lagi: yang terseka barangkali bukan nama kita, atau
bukan nama siapa pun juga. Lebih daripada itu, untuk membatalkan

29
Kalam 26 / 2014

semua rekonstruksi arti yang mungkin, si pengujar sendiri mengingkari


suara dan kehadirannya: “barangkali kita malah tak pernah di sini.”
(Alkimia Chairil Anwar sering kali mudah kita ikuti, karena kita masih
bisa menangkap latar yang disajikannya; adapun kini kita tengah
membicarakan sajak yang sama sekali tak bersifat representasional,
sajak yang terlucut total dari latar mana pun.) Penyair menjalankan an
escape from personality dengan cara yang bertakik-takik (bandingkan,
misalnya, dengan cara yang lurus lempang Sapardi Djoko Damono:
“dan cermin menangkapmu sia-sia”, misalnya). Di pengujung, bahkan
sajak membeberkan sifat sadar dirinya: bahwa kata menipu mata dan
telinga sekaligus; bahwa hutan adalah juga “hutan” dan hujan “hutan”;
bahwa hutan dan hujan juga penanda kosong yang bisa malih rupa dan
malih suara (dan malih arti) dengan hanya bertukar sebuah konsonan.
Saya kutipkan sebuah sajak Sapardi Djoko Damono (dari 1969) yang,
seperti “Barangkali Telah Kuseka Namamu”, juga berbicara tentang
dirinya sendiri, tentang tidak mungkinnya isi dalam sajak, tapi dengan
cara yang lebih “merdu” dan lurus-langsung.

KETIKA BERHENTI DI SINI

ketika berhenti di sini ia mengerti


ada yang telah musnah. Beberapa patah kata
yang segera dijemput angin
begitu diucapkan, dan tak sampai kepada siapa pun

Bagi saya, Sapardi telah memilih sisi “merdu” dan tertib


dari Chairil Anwar, sementara Goenawan mengambil sisi disonan
dan rumpangnya. Baik Goenawan maupun Sapardi menggunakan
kuatrin-kuatrin Chairil sebagai model, dengan aspirasi masing-

30
Kalam 26 / 2014

masing. Boleh dikatakan bahwa Sapardi menolak segi avantgardis


Chairil dan memilih sisinya yang konvensional: “Keunggulan seorang
penyair, dan seniman pada umumnya, tidak terletak pada usahanya
untuk membebaskan diri dari kungkungan konvensi, tetapi pada
keberhasilannya dalam menciptakan ruang gerak untuk melaksanakan
kebebasan dalam kungkungan konvensi.” Dengan ini pula Sapardi
menolak puisi bebas Chairil, dan mencairkan—menghalau derau
dan menutup rumpang yang ada dalam—bentuk kuatrin (dan sonet)
Chairil. Adapun Goenawan menyerap segi avantgardis Chairil:
mengambil puisi bebasnya, juga mempertinggi unsur-unsur disonan
dari kuatrin-kuatrin Chairil. Ada baiknya kalau kita lakukan kilas
balik di sini. Amir Hamzah memperbesar tenaga kata dengan
rumpang antarbaris sajak; Chairil melanjutkannya dengan rumpang
di dalam baris. Seperti saya sudah katakan, rumpang ini menyarankan
sunyi dan kekosongan, tetapi sekaligus menjadi sejenis matriks yang
mempertautkan fragmen-fragmen sajak. Disonansi yang ditimbulkan
oleh rumpang ini diperbesar oleh Chairil Anwar dengan kalimat-
kalimat yang “keliru” dan ganjil susunannya. Dalam puisi Goenawan,
rumpang dan disonansi ini justru membesar dengan kalimat-kalimat
yang bersih dan sempurna. Sementara itu, boleh dikatakan baik puisi
Sapardi Djoko Damono maupun Goenawan Mohamad sudah bebas
dari “ekspresionisme”: si pengujar dalam puisi bukan lagi—atau tak
perlu lagi—sosok penyair.3
Baru-baru ini saya menulis, “Penyair, lebih daripada seseorang, adalah tempat di mana
3

puisi bermula. Puisi berpisah dari kepribadian si pembuat, untuk menjadi milik bahasa
dan tradisi sastra.” Seseorang (yang punya biografi) memilih pendahulu yang bisa
mengalasi lelakunya menulis puisi, dan ia memperkokoh alas ini dengan menulis kredo
puisi dalam prosa, untuk mengubah dirinya jadi penyair (dan pada tahap ini ia masih
percaya kepada komunikasi). Ketika menulis puisi, ia, yang sudah jadi penyair (yang tak
lagi punya biografi) pun berbantahan dengan komunikasi, yakni bahwa baginya “bahasa

31
Kalam 26 / 2014

Tentu saja, kita bisa membaca secara lebih indrawi. Membaca,


sebagaimana melihat, adalah mengenali sesuatu di dalam konteks
tertentu. Kita mengenali seekor kuda, misalnya, di tengah lanskap
luas; sesungguhnya yang terjadi adalah, mata kita memerangkap
obyek-obyek di dalam skema dan menyusun mereka ke dalam
hierarki: kuda itu berada di puncak hierarki pencerapan kita. Tapi
jika tiba-tiba sebuah kamera mengambil hak pandang kita, lalu
melakukan zoom in secara ekstrem, dan menyajikan gambar close-
up kulit kuda itu, akankah kita mengenalinya? Seperti kamera itu,
puisi menghancurkan konteks dan hierarki termaksud, mengambil
sebagian saja citra obyek-obyek itu dan membuat montase darinya.
Tetapi montase tidak berhenti dengan hanya menyejajarkan obyek-
obyek, ia sendiri sering “terjerumus” ke “kedalaman” obyek tertentu,
sehingga mata kita tersesat. Dan “tersesat” ini adalah terhentinya
proses rekonstruksi, proses membaca dengan “bersandar pada
mungkin”, bersandar pada penanda yang tampak paling dominan yang
kita kenali acuannya, misalnya saja “Kunthi” atau “Aung San Suu Kyi”.
Tetapi rekonstruksi itu terhenti mungkin untuk sejenak belaka: “kata
yang terpesona pada luas lumut” lupa bahwa ia harus membangun
pemandangan danau; “kulit langit kembali jadi biru” mungkin untuk
membuat kita lupa akan kulit dua pesetubuh yang harus berpisah
lekas; seekor gagak “berangkat di gagang gurun” boleh jadi untuk

yang bersifat publik itu menindas dengan cara tersendiri”. Dan terjadilah transformasi
berikutnya: penyair menjelma jadi pengujar dalam puisinya. Demikianlah, “menulis puisi
adalah gabungan yang ganjil antara kemahiran berbahasa dan penyerahan diri kepada
tradisi sastra. Inilah gabungan kimiawi yang membuat si pengujar dalam puisi bukan lagi
ia yang hidup sehari-hari dan bukan juga ia yang berkomunikasi dengan prosa.” —Baca
tulisan saya, “Penyair”, dalam Hamid Basyaib (penyunting), Goenawan Mohamad Enak
Dibaca dan Perlu (Jakarta: R&W Publishing, 2011).

32
Kalam 26 / 2014

membuat kita sebagai orang asing yang melihat tema Oedipus sebagai
retas belaka; dan sehelai “tandan di pohon saputangan” mengosongkan
penanda tentang sang pejuang kebebasan di Myanmar.
Kulit langit, gagang gurun, pohon saputangan (dan, tentu
saja, frasa-frasa yang mengandung pasangan kata itu)—semua adalah
montase permulaan. Juga “bulan adalah gelandangan”—dan A.
Teeuw pernah menulis bahwa hanya pembaca yang bersedia menjadi
sesama gelandangan yang bisa mengarak bulan itu. Tetapi jangan
lupa, dalam puisi bulan adalah “bulan” atau bulan dan gelandangan
adalah “gelandangan” atau gelandangan: dalam puisi kata bermain
tangkap dan lari dengan arti dan dunia. Menjadi gelandangan adalah
terus “bersandar pada mungkin”: tidak berumah (dan rumah adalah
sumber arti), pun tidak ada kepastian bahwa kita akan menemukan
rumah, rumah-ada. Di sepanjang jalan tempat kata-kata dan benda-
benda bertukar tempat, maka “lupa akan membebaskan kita”.
Komunikasi ternyata menjadi topeng bagi penghambaan subyek
yang satu kepada Subyek yang lain: komunikasi ialah pengertian
yang sedang “menghapuskan kita”. Dalam proses hendak terhapus
itulah kita menghadapi montase yang dibuat si penyair, montase
yang sepintas lalu mengasingkan kita dari komunikasi. Gerimis yang
jadi logam di kota sana, sebatang oleander yang putus nyawa, seribu
kereta api di bawah bulan Marly—inilah montase tingkat berikutnya
yang memaksa kita berpisah dari konsensus, dan menatap dunia
yang kekartun-kartunan dan surreal sekaligus. Menjadi gelandangan
adalah melakukan “hijrah dari bahasa publik”4, dan mencoba melihat—
Saya kutip frasa ini sambil agak melepaskannya dari konteks yang dipasang si penulis
4

esai, Goenawan Mohamad, “. . .tak menulis adalah sebuah kemustahilan. Tak menulis
sama artinya dengan yakin, bahwa diam memadai, bahwa diam adalah sebuah hijrah
dari bahasa publik (cetak miring dari ND). Tapi itulah yang terjadi. Apa yang saya tulis

33
Kalam 26 / 2014

saya malihkan kata-kata Walter Benjamin—puing-puing dari bahasa


publik yang sering kali bersifat represif itu bahkan sebelum ia runtuh.
Tetapi bahasa tidak pernah runtuh, dan arti tidak pernah
menyingkir dari kata, sehingga si gelandangan-pembaca, seperti
halnya penyair, tidak pernah menemukan bahasa yang bersifat privat
sama sekali. Puisi selalu menjadi jalan ketiga, mungkin jalan tengah, di
antara bahasa publik (jalan pertama) dan bahasa privat (jalan kedua).
Jika bahasa publik bisa melakukan represi atas nama komunikasi
dan bahasa privat hanya berlaku bagi mereka yang mencintai
kegelapan, maka puisi menyejajarkan apa yang tak bisa disejajarkan
dan mengatakan apa yang tak bisa dikomunikasikan. Maka kita pun
menghadapi montase tingkat lanjut: di luar ruang detik dan kereta
telah berangkat; gerimis yang seperti jejarum jatuh di atas seng dan
subuh; sebuah metropol terkunci dalam gelas pagi. Maka gelandangan
yang bosan menatap fragmen-fragmen yang mengambang dan
“menumpuk” itu mencoba menggirangkan diri untuk menangkap
penjajaran asimetris antara citraan ruang dan citraan waktu: ia menjadi
semacam pejalan kota yang sambil tersenyum kecut memandang
kemajuan dan modernitas, menciptakan jukstaposisi antara yang lama
dan yang baru, yang lampau dan yang akan datang, yang retak-mati
dan yang abadi, yang temporal dan yang spasial. Ia tahu bahwa lanskap
urban melucuti dirinya, menekan ia dengan tata, maka ia mencoba
menata ulang, merebut berbagai subversi—sub-versi, versi bawah-
permukaan—yang belum diringkus oleh semantik dan komunikasi.
akhirnya hanyalah sebuah kompromi dengan keniscayaan yang tak bisa dielakkan
oleh bahasa, hasil laku pragmatis, dan bersifat sementara. Dengan kata lain, fragmen.
Tapi diam pun satu bentuk fragmen lain. Diam juga sebuah karya.”—Baca esai-pidato
Goenawan Mohamad, “Fragmen: Peristiwa”, untuk penerimaan Penghargaan Achmad
Bakrie 2004 untuk Kesusastraan, Agustus 2004. (Penghargaan ini dikembalikannya pada
Juli 2010.)

34
Kalam 26 / 2014

Namun laku si gelandangan pejalan kota menghanyutkan


diri ke dalam leisure dan hedonisme yang tanpa tujuan—betapa pun
subversifnya—itu selalu tak cukup, karena puisi memaksanya “kangen
kepada ada”. Atau puisi menjanjikan “ada”, meskipun ini adalah “ada”
yang lain, yang akan menipu para pemburu pesan. Meski “ada” itu
berada dalam montase juga—waktu adalah mesin hitung; yang
berguna adalah gangsa; bulan adalah gelandangan; cinta kami adalah
dua nomor telepon yang hilang; kematian adalah kerat waktu. Si
gelandangan pejalan kota terpaksa mendekat kepada filsafat, meski
dengan setengah hati: ia mencari kehadiran di sebalik puisi, mungkin
kebenaran sementara yang menjadi alternatif dari Kebenaran di luar
sana. Atau setidaknya ia berharap bahwa puisi bicara tentang sesuatu,
bukan sekadar nyanyi sunyi. Namun puisi Goenawan Mohamad
ternyata hanya memecah perhatian kita ke pinggir-pinggir; padahal
mengenali sesuatu adalah menetapkan pusat dari seluruh penanda
yang bekerja dalam puisi. Walhasil, si pembaca pengejar filsafat
mengambang belaka, tidak berdiri berjejak. Atau jika pun ia berhasil
sejenak menggenggam sejumput kebenaran, maka puisi segera
membubuhkan “tak ada”: seseorang akan bebas dan surga jadi tak ada;
tiap fonem adalah liang di mana harap tak jadi ada; pohon-pohon
mengekalkan yang esok mungkin tak ada; cicak itu berbicara tentang
kita, yaitu nonsens; di daun itu memang tersirat yang tak ada.
Sesungguhnya, dengan melukis pembaca-gelandangan,
saya hendak berbicara tentang apa yang untuk sementara ini saya
sebut “etika pembacaan”. Bagi saya, “etika” semacam ini, sambil
menuntaskan kenikmatan membaca, juga menyangkal bahwa
kenikmatan itu datang serta-merta dengan keseluruhan puisi yang
masuk ke dalam diri saya pada momen yang tepat; bahwa yang

35
Kalam 26 / 2014

indah justru tidak datang ketika kita mengharapkannya. Membaca


sebagai gelandangan adalah membiarkan puisi dalam sifat fluidanya—
mengalir, mungkin membanjir, mengelak dari setiap tangkapan.
Inilah puisi dalam bentuknya yang paling sensual, puisi yang
menumbuhkan sulur-sulur di dalam dirinya, rerinci yang menggeser
pusatnya sendiri, supaya ia tampak selalu lebih ketimbang yang
nyata. Si gelandangan tampaknya mengikuti jalan si penyair yang
mengamalkan an escape from personality—si penyair sebagai Malin
Kundang, penari topeng, atau muhajir dari ranah bahasa publik.5
Tetapi, dengan membubuhkan “ada” dan “tak ada” ke dalam dirinya,
puisi hendak menghentikan apa-apa yang hampir surreal tersebut,
memangkas sensualitasnya sendiri: ia hendak menetapkan sifatnya
sebagai sesuatu yang terbatas, membatasi diri, dan masih berutang
5
—Penyair sebagai Malin Kundang adalah ia yang menulis bukan bahasa-ibunya, tapi
dalam bahasa Indonesia, ia yang merasa bahwa “ia telah menjadi penyair tanpa suatu
tradisi. Di belakang puisi yang dituliskannya, tidak ada suatu perbendaharaan sejarah
sastra yang mantap untuk menopangnya. Jika pun kesusastraan Chairil Anwar bisa
dianggap sebagai perbendaharaan semacam itu, maka mungkin hanya itu tradisinya,
meskipun jarak antara dirinya dengan penyair tahun 40-an itu tidak sampai separuh
abad. [...] Ia telah telanjur berpangkal pada puisi modern, puisi yang tidak berbicara atas
nama institusi apa pun, tapi atas nama seorang yang bersendiri kepada pembaca yang
bersendiri. . .ia begitu saja berpegang pada prinsip ‘keseorangan yang betul-betul utuh.”
Baca Goenawan Mohamad, “Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang”
(1971), yang dimuat kembali dalam kumpulan esainya Kesusastraan dan Kekuasaan
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
—“. . .seorang penyair memang ibarat seorang penari topeng. Puisi itu—umumnya
tertulis, dan pembaca biasanya tak mengenal sang penggubah—adalah topengnya. Di atas
pentas, kita tak sepenuhnya bisa tahu apakah sang penyair. . .sedang mengekspresikan
dirinya sendiri ataukah mengekspresikan karakter pada topeng itu. Pada akhirnya kita
mafhum bahwa yang kita hadapi bukanlah sebuah diri, bukan pula sebuah kesimpulan,
yang selesai, melainkan sebuah tarian: sebuah sosok atau sebuah pernyataan dalam
proses. Ada di sana senantiasa yang tidak atau belum final, dan yang selalu dipertanyakan
berkali-kali. Itulah pasemon: ia menampik pingitan ‘pengetahuan’.” Baca Goenawan
Mohamad, “Kesusastraan, ‘Pasemon’”, esai-pidato untuk penerimaan Hadiah A. Teeuw,
Mei 1992, yang dimuat kembali dalam Kesusastraan dan Kekuasaan.
—Tentang penyair sebagai muhajir dari ranah bahasa publik, lihat catatan kaki
sebelumnya.

36
Kalam 26 / 2014

kepada kebenaran. Sambil bertegangan dengan filsafat, puisi hendak


mengambil cara apa yang belum diambil filsafat.
Puisi juga mencoba mendekati filsafat untuk menghindarkan
ekspresi—untuk menjadi impersonal. Atau penyair masih memerlukan
filsafat untuk menandai proses menghilangnya subyek(tivitas) itu.
Surutnya ekspresi dan subyektivitas ini perlu dinyatakan, diverbalkan,
bukan dilukiskan. Kalau puisi bisa meraih puing-puing modernitas,
maka ia pun bisa mengambil reruntuhan filsafat juga (tapi mengapa
bukan reruntuhan ilmu?). Ia melawan ekspresi, karena ekspresi
cenderung kepada estetisasi, luapan perasaan yang sering dipentaskan
oleh si subyek, yang di zaman komunikasi ini sering kali bernama
subyek kolektif. Kekerasan dan tindasan terhadap subyek kolektif yang
lain adalah puncak ekspresi semacam ini. Itulah sebabnya mengapa puisi
hijrah dari bahasa publik—dan hijrah ini, buat saya, bukan untuk menjadi
bahasa privat, tapi untuk menciptakan bahasa ketiga, yakni bahasa yang
bisa menolak potensi kekerasan dan fundamentalisme. Persis di titik
inilah pembaca-gelandangan berhenti sebagai gelandangan.
Seorang pembaca-gelandangan juga tidak bisa terus-menerus
jadi gelandangan sebab ia tak punya privilese yang dimiliki si penyair—
privilese bahwa ia bisa melenyapkan dirinya, menjelmakan diri jadi
pengujar dalam puisi. Ia yang membaca puisi sesungguhnya bukan ia
yang berbeda dari pribadinya sehari-hari, ia hanya memperbesar daya
negatifnya. Lebih tepat lagi: seorang pembaca puisi memperantarai
komunikasi (nun di luar sana) dengan anarkisme (di dalam puisi).
Demikianlah si pembaca menjadi sejenis—untuk sementara ini
saya sebut—konstruktor. Sementara konsensus menggerogoti
subyektivitasnya, ia melalui puisi mencoba menyelamatkan sisa
subyektivitasnya. Pembaca-konstruktor juga bisa terharu, tapi ia segera

37
Kalam 26 / 2014

mencurigai keharuannya sendiri. Ia tahu bahwa puisi adalah bentuk,


dan bentuk selalu menjadi tegangan antara yang konservatif dan yang
tak terduga, yang fluida dan yang terstruktur, yang ajaib dan yang
terbahasakan—tegangan yang memperluas tradisi sastra. Pembaca-
konstruktor berselisih jalan dengan si penyair: jika penyair menekankan
segi fluida, maka konstruktor, sesuai sebutan yang disandangnya,
lebih hendak menemukan tata, “rancang bangun”. Bagi pembaca-
konstruktor, puisi hanya bermakna dan lebih bermakna lagi jika ia
berhasil menghubungkan—menjalin, merancang pola yang masuk akal
dari—fragmen-fragmen puisi yang sepintas lalu saling mengambang
dan saling beradu itu; ia menghadapi semua tingkat montase sekaligus,
dan menganggap bahwa yang ajaib selalu memiliki nalar tersendiri.
Bagi pembaca-konstruktor, transformasi penyair menjadi
pengujar dalam puisi tidak pernah mulus. Di sebuah tanah air tanpa
filsuf, inilah yang terjadi: di ranah nyanyi sunyi, penyair juga tergoda
menjadi semacam filsuf (sementara di ranah sastra terlibat, sastrawan
hendak jadi guru dan pahlawan). Seperti sudah saya katakan di
depan, puisi dengan ringan hati memungut reruntuhan filsafat:
sekalipun berusaha mengosongkan pesan, puisi masih memberat
juga dengan pernyataan semu-falsafi. Pelarian dari kepribadian tidak
menghasilkan puisi yang sepenuhnya impersonal. Aku-penyair masih
juga berusaha masuk ke dalam puisi, meski dengan berbagai samaran,
dan seperti tak sabar—tak sadar—untuk membubuhkan “tak ada”.
Tetapi bagi saya, yang merasa sebagai pembaca-konstruktor di titik
ini, puisi demikian hanya menarik kolase falsafi ke dalam dirinya,
untuk menciptakan disonansi. Ia tidak pernah menjadi parodi filsafat.
Juga, dengan “pesan negatif” demikian, puisi yang mencoba bebas dari
ekspresionisme tetaplah lukisan manusia, bukan lukisan alam benda.

38
Kalam 26 / 2014

Pada saat-saat lain, montase dengan jejak filsafat itu juga seperti
menciptakan cedera ganda: puisi hanya menjadi setengah fluida pun
setengah tata. Maka posisi pembaca-konstruktor bukanlah yang final.
Membaca puisi Goenawan Mohamad adalah bermain di antara kutub
gelandangan dan kutub konstruktor.
Goenawan Mohamad adalah penyair penutup nyanyi sunyi—
dan dengan “penyair” saya maksudkan ia yang selalu mampu melahirkan
dirinya kembali, memilih berbagai topeng untuk berbagai tariannya
yang lain. Jika ia memuncaki nyanyi sunyi dengan melankoli filsafat,
sesungguhnya ia juga mengancang kepolosan faal benda-benda, paling
tidak ia sudah menunjukkan potensinya. Bagi pembaca yang writerly,
puisinya bukan lagi separuh ilusi, tetapi raga sepenuhnya—tulisan
yang menyadari diri sebagai tulisan, tulisan yang membedakan diri
dari dunia, supaya pembaca tak jera menggambarkan dunia secara
baru. Si raga, puisi itu, akan menggirangkan pembaca yang berlaku
seperti sungai yang “mengalir ke muara yang mustahil” dan akan
membunuh mereka yang mengharapkan pahlawan atau guru dari
puisi. Tidak ada penyair yang mampu menutup nyanyi sunyi di tanah
air yang menggandrungi kelisanan ini, kecuali jika ia bisa bernyanyi
dengan berbagai cara; dan tidak ada puisi yang jadi raga sepenuhnya,
kecuali jika si penyair tahu bahwa filsafat (yang dipertuan oleh sang
jiwa) sudah jadi reruntuhan. Demikianlah paradoks yang nikmat dari
puisi Goenawan Mohamad. Penyair yang mampu mengubah konsepsi
kita—saya pinjam kata-kata Jorge Luis Borges—tentang masa lalu dan
masa depan sastra dan bahasa adalah ia yang tahu bahwa “sajak-sajak
tetap terbuang dan laki-laki itu tetap menuliskannya.”

Jakarta, 25 Juli 2011

39

Anda mungkin juga menyukai