Anda di halaman 1dari 2

Cinta Ibu dalam Puisi Nurdin Abu

---Catatan dari Tadarrus Sastra di Pangkep--IBU Telah bertahun tahun kau pahatkan Di kening wajah matahari Lelah hidupmu meleleh
kepada tujuh mutiara hatimu
Menuntut kami memecah belenggu kemiskinan Zikir dan doa lirih membahana ke langit arasy
Juga air mata tumpah diam diam disela tahajjud pengaduan Lalu tenggelam bersama tangan
kurusmu Menggetarkan separoh isi jiwa bumi ini Meski matamu kelam, cahaya semangat Tak
pernah redup di sana Ketulusan cintamu mampu meredam Semua kelok getiran hidup tanpa
suami disisimu Masih kudengar suaramu samar dipagi dini hari Bercampur dingin dan selimut
menuntun shalat dan sekolah Mata dan telingaku masih terasa basah Oleh percikan air untuk
segera gegas menyibak pagi Sementara aku masih setia pada warna mimpi Dan bermain petak
umpet bersama teman sebaya Masa itu bertahun lama berlalu Kini cahaya dari lipatan kerut di
wajahmu Kau kisahkan diantara cucu dan cicitmu Separoh hidupmu tumpah ruah membesarkan
Putra putri yang masih kecil kecil Sepertiga malam kau habiskan bekal esok hari Sepertiga
malam kau hambakan pengaduan di depan sang khalik Sepertiga siang kau habiskan menjual sop
ubi Sepertiga sore kau habiskan di lumpur kebun warisan sang suami Lalu kapan nenek istirahat
tanya cucu suatu hari ? Matamu menerawang jauh Dengan lirih terucap kata Nenek istirahat pada
saat bekerja Di depan kabbah Al Mukarrama Jelas tergambar wajah syukurmu Saat putra
putrimu berebut kursi roda Menuntun bertawaf mengelilingi pusaran pusat bumi Di tiang langit
matahari lantunan zikir dan syukur menggema sepanjang safa dan marwa Rabbigfirli wali
walidayya warhamhuma kama rabbayani sagira.
Mekkah, 5 Februari 2012
Puisi diatas terpublish di facebook pada wall group Komunitas Sastra Pangkep, ditulis oleh
seorang penyair dan perupa Pangkep, Nurdin Abu. Keseharian pak Haji Nurdin, begitu saya
menyapanya, adalah sebagai Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Bungoro Pangkep. Adalah
sastrawan, esais dan seniman Asdar Muis RMS yang mula mula berinisiatif untuk membedah
puisi IBU karya Nurdin Abu tersebut. Jadilah kami melakukan kegiatan ---sebut saja namanya
Tadarrus Sastra---pada Rabu malam (1/8) Pukul 23.00 sampai Jelang sahur, Kamis (2/8) Pukul
03.15 di kediaman Nurdin Abu di Labakkang Pangkep, salah satu agendanya adalah membedah
IBU, puisi karya Nurdin Abu tersebut.
Penulis : Etta AdiL

Pertemuan pertama Tadarrus Sastra di rumah penyair Nurdin Abu di Labakkang Pangkep, Rabu
(1/8). (foto : ist/badauni ap).
Hadir pada malam Tadarrus Sastra tersebut selain tuan rumah H. Nurdin Abu, Asdar Muis
RMS, Yusri Yusuf (seniman dari Maros), Abdul Kadir (seniman dan perupa dari Barru), Ahmad
Anshari (seniman dan perupa dari Pangkep), Silmi Jafar (Praktisi Pendidikan), Alfian Muis
(mantan Anggota DPRD Pangkep), kru redaksi Majalah Sastra Lentera Pangkep dan saya sendiri,
seorang penikmat sastra.
Menulis puisi, boleh jadi gampang boleh jadi pula susah. Puisi bisa menjadi mudah karena tidak
ada dan tidak perlu ada pembatasan tentang bagaimana itu puisi. Sedang susahnya sangat
tergantung dari bagaimana proses kreatif itu terjadi. Puisi bisa lahir secara spontan karena adanya
desakan emosional yang mendorongnya, namun dapat pula memakan waktu yang sangat lama
karena aspek logika bahasa dan kekangan rasa yang menyelimutinya. Puisi merupakan
kristalisasi dari tulisan yang panjang, yang mewakili pikiran dan rasa terhadap sesuatu, dan itu
adalah salah satu bentuk ekspresi jiwa dari penulisnya.
Hal tersebut diungkapkan H. Nurdin Abu menanggapi penanya usai membacakan puisinya.
Sementara Asdar Muis RMS menanggapi bahwa suatu puisi tidak perlu penjelasan dari
penulisnya tentang makna dari puisi yang dilahirkannya. Puisi tidak perlu penjelasan. Ketika
suatu puisi sudah terpublish, di media apapun itu, maka puisi tersebut sudah milik publik dan
biarkanlah pembaca atau pendengarnya sendiri yang memaknainya, ujarnya. Hal yang sama
diungkapkan Silmi Djafar, Ketika suatu puisi sudah terpublish, maka sudah tidak ada alasan lagi
untuk mengatakan puisi tersebut belum jadi atau masih perlu disempurnakan. Ketika sudah
terpublish, puisi tersebut sudah jadi dan sempurna. Mengenai makna dan rasa yang terkandung
didalamnya, itu bukan lagi milik penulis atau penyairnya, tapi sudah menjadi milik publik
tambahnya.

Anda mungkin juga menyukai