Anda di halaman 1dari 4

MENUJU JALAN PULANG

Hari ini ada kenangan mengusik peristiwa silam, terbentang di bawah atap langit yang bolong
meresahkan. Penat bagai mabuk. Mengantarkanku meraih impian, melewati jalan setapak
beralaskan wadas berkarang tajam. Aku yang bersimbah airmata, menelusuri jejak kebesaran
sang waktu, yang tiba-tiba berujung pada jalan buntu dan pintu tertutup rapat.

“Terlalu Hampa. Hidup ini terasa bagaikan suatu ruang tanpa jendela, membuka cakrawala
baru, hari depan yang mengalirkan udara-udara pengharapan bening”. Gumamku.

Pandangan mata kami amat sendu. Luka hati dan tubuh kami menyatu dalam lamunan. Aku
mengambil pena dan selembar kertas dari tasku lalu menulis,

MAN Ende

Tinggal harapan yang menatap kehampaan, segalanya bagai getaran Khafila dimusim panas
yang membingungkan.

Penderitaan sepertinya mencekam disetiap waktu. Tetapi sesungguhnya, kita bukanlah manusia
yang yang bersalah. Sadarilah bahwa manusia rela menderita adalah mereka yang ingin
mengalahkan kebencian dengan cinta. Ketika naluriku berdiri menatap kegelapan ruang, aku tak
mampu lagi merangkul pesan kehadiran masa silam.

Kita tumbuh bersama sepi yang bisa membunuh dan membuat damai...

Aku tersandar lemas di kursi. Awan yang kelabu terus menggelatuk, mencatatkan memori yang
memucatkan anak manusia di pagi menjelang siang ini. Aku berdiri memohon pamit pada ibu,
pada bapak, pada abang dan saudariku yang lain yang hadir dalam ruangan itu. Aku beranjak
pergi dengan hati gundah gulana.

Masa baktiku pada MAN Ende telah berakhir, kerinduanku pada Ibu, Istri dan anak-anakku
semakin membara. Aku terus berjalan tanpa henti.

Aku telah sudah melewati beberapa beberapa tikungan tanjakan juga turunan sebelum akhirnya
terpuruk di sebuah sudut kota maumere. Nafasku terengah-engah. Aku kelelahan mengendarai
vixionku. Aku duduk diam, kemarahan masih merajai diriku dan mendengarkan jantungku yang
berdetak kencang. Aku belum pernah mengalami kegalauan seperti ini. Akupun tertunduk
resah.

Sulit mengawali dari mana aku harus bertutur tentang sebuah arti, sebuah makna dan apa yang
tersirat dari penggalan kisah setengah perjalanan ini. Namun dengungan itu selalu bergema
alam pikirku. Matahari Maumere terasa membakar. Hanya sesekali angin bertiup,
menerbangkan debu-debu yang memerihkan mata. Membuat diriku kerepotan menunggangi
vixion melewati jalur Ende - Larantuka

Namun, hatiku sedikit tenang. Vixion yang kutunggangi masih kuat dan fit. Aku berharap
kendaraan ini sanggup untuk menempuh perjalanan jauh. Karena masih ada separuh perjalanan
lagi yang harus aku tempuhi.
BENCANA DI PERTEMUAN PERTAMA
Kegalauan atau entahlah apa yang tepat untuk membahasakannya. Ketika segala keindahan itu
lenyap, orang atau apa saja merasa betapa pentingnya kata itu dalam mengiringi irama nafas,
kata sesal. Mungkin yang paling tepat walau bernada cengeng dan itulah hidup.

Kebaikan dan keburukan diciptakan bersama, tapi pada penempatannya yang tidak. Keduanya
sadar dan tahu diri berbagi tempat dan waktu pada jasad. Nasib, mungkin itulah wakil terbaik.

Ketika cinta sebagai anugerah hakiki yang dibaringkan Tuhan pada sisi tergelap dalam hidup,
orang lalu merintih tentang pentingnya cinta. Orang atau tepatnya aku lalu rutin menyebutnya
dalam setiap manisnya doa.

Anandaku, Adindaku,,,

Dalam galau yang seakan tak pernah bertepi, kita telah bertemu dalam asa yang terjanji dan aku
kagum padamu, tulus, sungguh. Mungkin itulah pengakuanku teramat polos dan terkesan
munafik tapi itulah aku. Aku yang tak berharap banyak agar dirimu percaya, aku yang hanya
punya perintah sebagai pendidik untuk kusodorkan sebagai awal perjumpaan kita.

Aku yang kemudian menjunjung asa untuk kau rabah, aku yang terlampau yakin sebagai
seorang guru dan juga kakandamu yang berniat mengantarmu memegang ijazah pada madrasah
ini saat terakhir nanti.

Anandaku, Adindaku...

Maaf, kalau aku memaksamu dan lantas menelantarkanmu. Aku yang telah membuat dirimu tak
punya pilihan selain mengangkat kaki dari tempat ini. Kepasrahan kami pada adab budi pekerti
yang kau berikan, kau tanamkan pada telapak kakimu telah mengubur segalanya diatas norma
tata tertib yang selama ini kita banggakan.

Aku telah lulus, jujur berkata tentang janji. Entahlah kalau esok ada elegi. Namun aku berharap
canda selalu ada dan esok pun telah menjadi kini dan segera menjadi kemarin. Kenyataan yang
hanya sanggup kuingat atau setidaknya mengingatkan aku, kalau madu itu manis dari lebah
yang penuh bisa. Sayangnya, aku tak terlalu memahami dirimu hingga seperti ini. Aku sudah
berusaha menjadi orang terbaik tapi itulah aku. Segalanya indah hanya dalam kenangan. Aku
ingin memohon maaf, tapi rasanya tidak ada yang perlu untuk dimaafkan. Memberi maaf ?. aku
tak punya cukup kemurahan untuk kuberikan padamu, karena hanya untuk memaafkan diriku
saja aku belum bisa, bukan lantaran tak mau tapi tak bisa. Aku sedang berusaha, semoga
berhasil pada anakku yang lain, 610 siswa.


BIONARASI PENULIS
Syainudin Kasim NK atau yang lebih disapa Din puNK
merupakan seorang penulis berita, puisi juga cerpen kelahiran
Adonara, 05 Maret 1987. Menulis ternyata juga sudah menjadi
hobinya sejak di bangku sekolah dasar. Baik meja, dinding
ataupun sampul buku siswa lain pun menjadi sasaran goresan
penanya. Kegiatan menulis sempat terhenti sejak ayahnya
meninggal dunia saat ia baru mulai masuk Sekolah Menengah
Atas. Ia pun memulai kembali setelah melanjutkan studinya
pada Fakultas Keguruan Ilmu Pengetahuan Jurusan PJKR
Universitas PGRI NTT Kupang.

Saat ini, pria yang hobi olahraga sepakbola dan beladiri silat ini juga berprofesi sebagai penulis
artikel berita pada website Kanwil Kemenag NTT untuk madrasah tempat kerjanya sampai
sekarang. Cerita yang ia tulis diangkat dari kisah perjalanan hidupnya yang ia kemasi dengan
diksi yang membuat para pembaca akan larut dalam suasana yang dialaminya. Di sela
kesibukannya sebagai guru olahraga dan juga pelatih tim sepak bola, ia juga berperan aktif di
Rumah Belajar untuk anak-anak yang buta Al-Quran maupun baca tulis di tempat asalnya
sekarang.

Anda mungkin juga menyukai