Anda di halaman 1dari 3

DSempurna itu Menyakitkan

i pagi hari yang tak petang, aku menatap langit-langit berhias awan, sesekali memandang
pohon rambutan kecil di depan rumah yang sempoyongan tertiup angin. Kali ini udaranya
begitu dingin, mirip dengan awal puasa bulan lalu. Di teras rumah aku menikmati kicauan
burung, lengkap dengan balutan angin sepoi-sepoi yang menerbangkan pucuk rambut.
Ditemani sebungkus biskuit dan segelas air putih kusibukkan diri mengarang sebuah cerita.
Berlarut-larut jiwaku terjebak dalam lubang pengacau yang bernamakan, bingung.

Aku benar-benar tidak punya peristiwa yang bisa kutulis sekarang, atau mungkin,
belum terpikirkan. Benar … minggu ini diadakan lomba Agustusan. Lomba yang seharusnya
berangsur meriah dan penuh semangat, nyatanya harus menjadi sebuah angan-angan saja
karena wabah covid. Tapi tidak masalah, apapun situasinya kita masih bisa memperingatinya
dengan semangat, seperti yang aku lakukan. Aku Sea siswi SMA yang gemar menulis. Sejak
diumumkannya adanya lomba cerpen untuk acara Agustusan, aku semangat sekali. Tidak
peduli bahwa tugas daringku menumpuk, pikirku tetap ingin mengikutinya, karena tujuanku
ingin menjadi sempurna. Kadang kala pikiranku cukup terganggu dengan notifikasi ponsel
yang mengalihkan pusat perhatianku, salah satunya, notifikasi pelajaran daring yang
membuatku kelabakan mencari buku catatan demi menyelesaikan semua tugas. Lalu aku
kembali lagi, menyelami dunia fiksi dan berfokus pada naskah cerpen yang sebenarnya
belum lengkap, alias hanya sebatas judul saja. Biasanya aku mudah mendapatkan ide, tentu
saja karena aku seorang pengarang yang handal. Aku biasa mengarang alur semauku, lalu
membuatnya menjadi sesuatu yang sempurna. Namun, kali ini sangat sulit. Tapi aku yakin
aku bisa, aku bisa menyelesaikannya tanpa melewati tenggat yang ditetapkan panitia dan
menciptakan kesempurnaan.

***

Tepat pukul delapan malam aku mendapat kabar dari ibuku yang dirawat di rumah sakit
karena covid, katanya kondisinya kian membaik, syukurlah. Aku tidak berpikir macam-
macam, kugerakkan tanganku untuk kembali menulis dalam sebuah buku catatan, tapi
hanya sekedar coretan saja, belum sepenuhnya menjadi alinea sempurna, niatku akan
kutunjukkan pada ibu dulu, baru kuketik rapi. Oh iya, Ibuku jauh lebih pandai dalam menulis
lo … terbukti saat mengirim pesan atau menulis surat untukku, tanda baca dan ejaannya
tertata sempurna, tentu saja bakatku itu diturunkan olehnya.

***

Berkali-kali aku mencoba, ternyata menulis tidak semudah itu, tenggatnya makin dekat
dan jadwalku bertabrakan, aku menyesalinya berkali-kali, tapi aku sadar, itu tidak akan
menyelesaikan masalah, aku tetap lanjut menyelesaikan tugas, lalu kembali mengarang,
meski banyak naskah yang berakhir di tempat sampah, aku tidak menyerah. Kuulangi lagi
dan lagi, namun, hasilnya tetap sama. Coretan itu tidak mendapatkan tempat di hatiku
walau hanya sedikit, aneh sekali rasanya, padahal aku yang mulai mengarangnya. Aku tidak
tahu lagi harus bagaimana. Mungkin menunggu ibu pulang adalah cara yang tepat, tapi
kapan ibu pulang? Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh, kurang dua jam lagi
tengah malam menetap, terpaksa aku harus menarik selimut dan menutup mataku rapat-
rapat, memanjakan sang kantuk.

Esok harinya aku terbangun, meski pulas tidurku, kantung mataku tetap hadir,
membuat perasaanku sedikit sebal. Aku terkejut saat pintu depan rumah digedor, ternyata
tetanggaku datang, membawa sekotak makanan untuk sarapan dan sepucuk surat, itu dari
ibuku katanya. Memang agak kuno tapi begitulah caraku berkomunikasi dengan ibu.
Kuterima lalu kutinggalkan amplop merah muda itu di laci kamar. Siang harinya aku belajar
cukup keras, saking kerasnya aku belajar, tiba-tiba aku tertidur. Bangun-bangun ternyata
sang fajar sudah datang. Kali ini dia tak datang dengan tenang, dia datang dengan sebuah
kabar. Kabar yang sangat mengejutkan untukku. Tepat matahari tenggelam, tepat itu pula
kesempurnaan itu lenyap. Sulit mengatakan ini, tapi … ibuku meninggal hari ini, dan sulit
untuk melewati sepersekian detik ini di hidupku. Rasanya aku ingin lari dari situasi ini, pergi
jauh seperti debu yang terhempas angin.

Dua hari setelahnya aku masih sama. Sea si rapuh tanpa kesempurnaan. Dulu kupikir
kesempurnaan hadir untuk digapai, nyatanya aku salah. Kamu akan kehilangan sesuatu yang
lebih berarti untuk memenuhi kerakusanmu sendiri. Ada hal berharga yang harus
dikorbankan, demi hal berharga lain. Kubuka amplop merah muda itu dengan tangan yang
masih gemetar. Ini bukan pertama kali, tapi berulang kali aku membacanya. Sudah kubilang
ibuku paling handal dalam menulis, ia pandai merangkai seperkata demi kata yang
membuatku menangis setiap kali membaca tulisannya.

Untuk Sea putriku, kuberi nama kamu, agar kamu selalu mengerti. Anakku, jadi
sempurna itu tidaklah salah, tapi, tidak semuanya perihal sempurna. Kuselipkan nama Sea
pada dirimu, agar kamu ingat, kamu harus sama sepertinya, seperti laut yang mengalir luas,
semakin tergenggam erat, semakin mengalir bebas. Ibu menyukai setiap kebiasaan kecil
darimu, kamu orang yang tak pernah menyerah dan selalu berusaha. Tapi, ada kalanya
kamu pasti jatuh. Ada kalanya kamu pastipun sendiri, dan kesendirian itu mulai mengeruh
semangatmu. Bila kamu sedang di fase itu, ibu minta kamu tetap menjadi dirimu,
mengalirlah bebas, seperti kisah pahlawan yang ibu ceritakan setiap malam. Bedanya,
mereka berjuang mendapatkan apa yang sudah Sea lakukan kini, dan kini Sea harus
berjuang atas apa yang mereka dapatkan. Kebebasan, Sea harusnya bersyukur, Sea bebas
melakukan apapun. Sea bebas menulis dan belajar, maka itu Sea harus memperingati
kemerdekaan tahun ini, dengan gembira dan semangat, meski tanpa ibu. Masih sama, aku
masih terisak hebat setiap kali membacanya. Oh Tuhan … aku rindu ibu.

***
Besok hari adalah pengumpulan cerpen, temanku terus menghubungiku dalam pesan,
mereka benar-benar tidak tahu aku sedang berduka. Tapi, mana mungkin aku bisa
menyelesaikannya secepat itu, aku bahkan belum menentukan alurnya. Hari ini aku ingin
menghubungi temanku untuk memberitahunya, bahwa aku tidak ingin mengikuti lomba,
namun, saat tanganku ingin memencet tombol send, tiba-tiba aku teringat pesan ibu. Ya
Tuhan … mengapa pikiranku sekacau ini, makhluk hidup di dalam otakku mulai berdebat,
mempermasalahkan langkahku selanjutnya. Namun, saat kumiringkan badan, eksitensi surat
di laci mendorongku untuk tetap berjuang. Baik, aku akan tetap berusaha seperti halnya
para pahlawan berjuang, aku akan berjuang melawan rasa malasku. Seperti halnya ibuku
pernah menceritakan tentang peristiwa Rengasdengklok, akan kuikuti tindakan itu, di mana
naskah proklamasi hanya dibuat dalam sehari, seperti itu pula aku bisa menulis ceritaku
dalam sehari juga. Meski kadang hatiku terasa sedih dan nyeri, aku tetap ingat, bahwa hidup
harus tetap berjalan. Aku masih punya kewajiban sebagai pelajar dan pribumi yang harus
merayakan kemerdekaannya, aku tahu itu tak mudah, tapi itu pilihanku, melupakan hal yang
telah berlalu dan berjuang di era kemerdekaan.

Lima hari setelahnya adalah pengumuman lomba, aku tak bisa berharap banyak karena
keterbatasan waktuku dalam mengerjakannya, tapi aku bersyukur bisa mengikuti perayaan
kemerdekaan tahun ini dengan restu ibu yang terakhir kali. Beberapa lama aku menunggu
hasilnya, akhirnya diumumkan juga. Namun, saat melihat pengumuman itu, otakku seakan
berhenti sesaat, bagaimana aku harus mengekspresikan apa yang aku lihat sekarang?

Anda mungkin juga menyukai