Anda di halaman 1dari 2

Namaku Najwa Aulina Zulfa, lahir di cilacap kota kecil di pesisir pantai yang biasanya

dikenal dengan pulaunya yang konon katanya, tempat dimana ratusan narapidana dan tahanan
politik menjalani hukumannya, lahir di penghujung hari di awal bulan april setelah pemilu
tahun 2004, aku lahir sebagai anak perempuan pertama dari lima bersaudara, ada sedikit
cerita unik saat aku lahir, ayah tidak sedang bersama ibu, karena urusan pekerjaan beliau
yang mengharuskan beliau untuk pergi ke luar pulau hari itu, beliau menitipkan ibu pada
nenek, mengingat saat itu usia kandungan ibu sudah mendekati hari-hari menuju kelahiran,
ibu pernah bercerita padaku, kalau sebenarnya, ayah ingin menunda kepergiannya, karena
aku adalah anak pertamanya dan ini adalah momen besar bagi beliau sebagai seorang ayah
untuk menyambut putrinya, namun sayangnya, dengan berat hati hari itu ayah harus pergi,
dan terpaksa meninggalkan ibu, sehingga aku lahir, ditemani nenek dan sanak keluarga ibu
dan ayah.

Setengah usiaku, dihabiskan dengan berpindah dari satu kota ke kota lainnya, mulai dari
tinggal di kota kelahiranku, hingga berpindah ke kota tempat tinggalku sekarang, alasannya
simpel saja, ibarat sebuah kapal ayahku adalah nahkoda keluarga kami, dimanapun beliau
pergi, kami akan selalu mengikuti beliau kemanapun beliau mengarahkan kami. kota
tempatku lahir adalah rumah pertama keluarga kami, namun setelah usiaku mencapai 3 bulan,
ayah memutuskan untuk pindah ke yogyakarta dan menyewa sebuah kontrakan, kami tinggal
di jogja sekitar empat tahun, lalu kembali berpindah, ke sebuah di pesisir selat jawa timur,
Gresik namanya, di kota inilah aku tumbuh dan menempuh pendidikan.

Menulis dan membaca menjadi salah satu kegiatan yang selalu aku sukai sejak kecil,
memegang buku dan membalik setiap lembarnya, menelaah setiap huruf dan kata yang
terangkai, tenggelam dalam imaji fantasi sang penulis selama berjam-jam lama kelamaan
berubah dari sekadar hobi menjadi minat dan mimpi yang selalu ingin aku tekuni, iya,
cita-citaku adalah menjadi seorang penulis. menjelajah rimba serat kertas dan mengisinya,
menciptakan dunia di atas dunia, mengurai kata menjadi lebih dari sekedar huruf tak
bermakna menjadi sebuah mimpi dan keinginan yang selalu ingin aku raih sepanjang
hidupku. pernah terbesit dalam diriku, sebuah mimpi semu, kalau kelak, aku akan
menemukan namaku terpajang di rak berlabelkan “penjualan terbaik” di toko buku favoritku.

Namun layaknya impian masa kecil lainnya, menjadi seorang penulis kini cuma angan
belaka, ketika keinginan dan mimpi bertemu dengan kesediaan dan restu orang tua,
keinginanku untuk meneruskan studi ke jurusan sastra setelah aku lulus dari SMA di tolak
mentah mentah oleh ayahku, katanya dalam suatu perdebatan panjang malam itu “buat apa
masuk sastra? mau makan apa pakai tulisan?”, dan aku memilih untuk diam, aku tidak ingin
memperumit keadaan dan aku sudah cukup lelah, orang tuaku ingin aku masuk kedokteran
dan aku merasa sudah cukup menyulitkan mereka selama ini maka aku mengalah, aku
berhutang banyak selama mereka hidup, maka biarlah mimpi kekanakan itu terkubur
dalam-dalam. kini setiap aku meragukan pilihanku, dan mulai menanyakan alasan apa yang
harus kugunakan untuk bertahan, mereka cuma bilang “jadi dokter itu mulia, pekerjaannya
mapan juga” begitu alasannya, selalu sama, dimanapun aku mendengarnya, dan jujur saja
semuanya terasa sangat klise dan basi bagiku.
Maka setelah satu tahun enam bulan lamanya berdebat dan menangis setiap malam, aku
akhirnya mengalah, toh inipun agar mereka bahagia, aku berhasil masuk ke jurusan yang
mereka inginkan meski bukan di kedokteran umum yang jelas punya pamor lebih tinggi dari
jurusanku, setidaknya, jurusanku punya nama kedokteran di depannya, iya benar, kedokteran,
tapi kedokteran gigi. dan aku tidak pernah menyesal berhasil masuk ke jurusan ini,
setidaknya kini orangtuaku mengerti inilah batas kemampuanku, aku tidak cukup jenius dan
beruntung untuk meraih jurusan setinggi kedokteran dan aku bangga bisa bertahan sejauh ini.

Tak terasa, kini sudah dua semester lamanya, aku menempuh studi di jurusan ini, keringat
dan airmata jadi saksi bisu aku menangis tiap malam karena merasa gagal dan tidak mampu
menjalani semuanya, ilmu faal, anatomi dan antropologi dental terasa begitu menyiksa
bagiku, ingin rasanya keluar dan menyerah, tapi pikiranku selalu melayang pada
bayang-bayang kelak, betapa bahagianya kedua orangtuaku saat namaku disebut dan
melihatku maju di podium sebagai wisudawan, aku cuma ingin membalas budi, itu saja tak
lebih. untuk setiap airmata dan jerih payah yang mereka usahakan agar aku bisa hidup hingga
kini. Kalau kini ditanya soal masih ingin menulis, tentu saja, jawabannya adalah selalu iya,
dan tidak pernah berubah. sedalam apapun lubang yang kugali demi mengubur semua
mimpi-mimpi konyol itu, konon biji yang sudah ditanam akan selalu menemukan tempatnya
untuk terus tumbuh, begitupula dengan keinginanku untuk terus menulis dan berkarya,
menulis sudah menjelma nafas buatku, dan apapun yang akan kuhadapi dalam hidup
selanjutnya, tidak akan menjadi penghalang untukku terus menulis dan mengarungi rimba
serat kertas dan lautan tinta.

Anda mungkin juga menyukai