Di batas desa
pagi-pagi
dijemput truk
dihitung seperti pesakitan
diangkut ke pabrik
begitu seterusnya
dan berbisik-bisik
Solo, 1986
DALAM KAMAR 6 X 7 METER
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri
bisu
andai benar
untuk menentangmu
24 januari 97
GENTONG KOSONG
parit susut
tanah kerontang
gentong kosong
pakis-pakis hijau
atas jawabanmu
gentong kosong
airmu kering
gentong kosong
botol kosong
marilah menyanyi
6 Januari 97
NONTON HARGA
ayo
keluar kita keliling kota
tak perlu ongkos tak perlu biaya
masuk toko perbelanjaan tingkat lima
tak beli tak apa
lihat-lihat saja
ayo
kita keliling kota
hari ini ada peresmian hotel baru
berbintang lima
dibuka pejabat tinggi
dihadiri artis-artis ternama dari ibukota
lihat
mobil para tamu berderet-deret
satu kilometer panjangnya
besok pagi
kita ke pabrik
kembali kerja
sarapan nasi bungkus
ngutang
seperti biasa
18 Nopember 96
BAJU LOAK SOBEK PUNDAKNYA
harganya murah
di pedagang loak
untukmu bojoku
kucuci bojoku
kutitip ke kawan
diburu penguasa
di bawah bantal
22 Januari 96
kutundukkan kepalaku
di timur sana
di hati rakyatmu
di hatiku
a luta continua
kutundukkan kepalaku
ke penjara negara
sangat dalam
kutundukkan kepalaku
kepadamu ibu-ibu
kutundukkan kepalaku
kepada penindas
4 juli 1997
CATATAN
ingat
saat pergi
kucium
khawatir
waktu itu
di depan pintu
kaulepas aku
dan langkahku
pasti
dan mungkin
tapi jangan
kau tunggu
karena hak
telah dikoyak-koyak
tidak di kampus
tidak di pabrik
tidak di pengadilan
katakan
oleh penguasa
yang sewenang-wenang
haknya
15 januari 97
AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA
aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat
penguasa
di sini terbaring
pak Pin
yang mati terkejut
karena rumahnya tergusur
di tanah ini
terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terhisap dan menanggung hutang
di sini
gali-gali
tukang becak
orang-orang kampung
yang berjasa dalam setiap Pemilu
terbaring
dan keadilan masih saja hanya janji
di sini
kubaca kembali
: sejarah kita belum berubah!
jagalan, kalangan
solo, 25 oktober 88
SUTI
batuknya memburu
dahaknya berdarah
Suti kusut-masai
pulang petang
hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan
loyo tenaganya
bertahun-tahun dihisap kerja
ia ingat kawannya
Suti meludah
Suti meludah
solo, 27 februari 88
TONG POTONG ROTI*
tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
kini datang gantinya
Semarang, 6 maret 86
CATATAN HARI INI
Solo, juni 86
CATATAN SURAM
diikuti bayang-bayang
melepaskan pukulan
ke perut orang!
Solo, 1987
DARMAN
kota keras
ya merataplah Tukini
kepada: kun
dengan kalimat:
sebuah gerakan
kalau diam?
1989
OTOBIOGRAFI
selalu saja ada yang datang dan pergi hingga hari ini
mereka dapat
menawarkannya
Wiji Thukul lahir 26 Agustus 1963 di kampung Sorogenen, Solo, yang mayoritas
penduduknya tukang becak dan buruh. Dia sendiri datang dari keluarga tukang becak.
Anak tertua dari tiga bersaudara, berhasil menamatkan SMP (1979) dan masuk SMKI
(Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) jurusan tari, tapi tidak tamat alias DO
(1982). Selanjutnya ia berjualan koran, kemudian oleh tetangganya diajak bekerja di
sebuah perusahaan meubel antik menjadi tukang pelitur. Di sini lah Wiji yang dikenal
pelo (cadel) sering mendeklamasikan puisinya buat teman-teman sekerjanya. Menulis
puisi mulai sejak di bangku SD, dunia teater dimasuki ketika SMP. Lewat seorang
teman sekolah dia ikut sebuah kelompok teater JAGAT (singkatan Jagalan Tengah).
Bersama rekan-rekannya di teater inilah ia keluar masuk kampung ngamen puisi
diiringi instrumen musik: rebana, gong, suling, kentongan, gitar, dll. Tidak hanya di
wilayah solo, tapi juga sampai ke Yogya, Klaten, Surabaya, Bandung, Jakarta. Juga
pernah ke Korea dan kota-kota besar Australia. Tidak hanya di kampung-kampung,
juga masuk kampus, selain warung dan restoran. Dalam sebuah wawancara dikatakan
bahwa awalnya ia dianggap gila. Akhirnya menurut Wiji, sebelum ngamen puisi, dia
ngamen musik (nyanyi) terlebih dahulu. Setelah empunya rumah siap, baru dia
ngamen puisi. Tahun 1988 pernah menjadi wartawan MASA KINI meski cuma tiga
bulan. Untuk menyambung hidup, di samping membantu isteri membuka usaha jahitan
pakaian, Wiji Thukul juga menerima pesanan sablonan kaos, tas, dll. Saat mengontrak
rumah di kampung Kalangan, Solo, ia menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis
untuk anak-anak. Tahun 1992, sebagai penduduk Jagalan-Purungsawit ikut
memprotes pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik tekstil. Wiji Thukul menerima
WERTHEIM ENCOURAGE AWARD di negeri Belanda. Bersama Rendra ia adalah
penerima award pertama sejak yayasan itu didirikan untuk menghormati sosiolog dan
ilmuwan Belanda W.F. Wertheim. (Selanjutnya saya mengutip biografi Wiji
dalam Rahasia Membutuhkan Kata-nya Harry Aveling) Semenjak serangan atas
markas besar PDI-P Megawati Soekarnoputi pada (27) Juli 1996, Wiji merupakan
salah seorang dari sejumlah buruh yang menentang melawan rezim Suharto (1966-98)
yang kemudian mendadak “hilang”, dan tak dapat ditemukan lagi. Sajak Wiji
dikumpulkan dan diterbitkan saat dia diperkirakan sudah meninggal, oleh sebuah
penerbit kecil yang cukup mencuat, Indonesia Tera, pada Juni 2000 dengan judul Aku
Ingin jadi Peluru.