Ini mah cerita pribadi, ditambah-tambahin sendiri aja sama si Amal biar
keliatannya rada bagus orangnya. Padahal mah nakal pisan aslinya.
Amir Hamzah
Ketua RW 01 Kasepuhan, Cirebon
Penulis
Bakhrul Amal
Penyunting
Tim Ellunar Publisher
Penerbit :
Ellunar Publisher
Jl. Randusari Utara No. 10 Antapani
Bandung 40291
Email: ellunar.publisher@gmail.com
Website: www.ellunarpublisher.weebly.com
Selamat Pagi
Bandung; Ellunar, 2015
xiv + 266hlm., 14.8 x 21 cm
ISBN:
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena
angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika
langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara
mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada
rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat
yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu. Bulan pun lamban dalam angin,
abai dalam waktu. Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan
wajahku, kulupakan wajahmu.
Goenawan Mohamad
Untuk:
Terima kasih
“Masa-masa itu, mungkin saja bisa hilang karena tersapu oleh ombak,
tertiup terbang oleh angin atau bahkan juga musnah ditelan oleh
kegelapan. Tetapi, dengan sebuah goresan pena sederhana, setidaknya,
masa-masa itu akan terus hidup dan abadi.”
(Bakhrul Amal)
Kata Pengantar
Dalam penulisan buku ini, bantuan secara penulisan dan syarat isi
cerita juga rasanya perlu untuk disebutkan sebagai tanda penghormatan:
kepada Haji Umuh Muchtar, Bung Rocky Gerung, Kakanda Yudi Latif,
Prof Erlyn, Prof Suteki, Prof Yos Johan Utama, Haji Pidi Baiq, Mas
Akhmad Sahal, Mba Sinta Ridwan, Kang Maman Imanulhaq, Bapak Jamali
Sahroji, Kang Said Aqil Siraj, Kang Mamang Haerudin, Abuya Husain
Muhammad. Tidak lupa juga penulis berterima kasih kepada Om Maman
Mahyana, terima kasih Om atas kritiknya di suatu senja yang begitu
menghanyutkan.
Akhirnya, tak ada suatu hal pun yang sempurna kecuali Tuhan. Tak
ada suatu hal pula yang tak berubah selain perubahan itu sendiri dan juga
Tuhan. Oleh karena itu, aku yakin, bila gading yang kokoh saja mampu
retak apalagi novel yang teramat remeh ini. Penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dalam pembacaan buku ini. Agar,
kedepannya nanti, kita bisa selalu menaruh harapan bahwa kita bisa
berjalan bersama-sama dalam kebaikan yang kita sepakati seluruhnya.
Amin.
- I Pembukaan 1
1. Bayang-Bayang
2. Seragam Baru Hasil Jahitan Ibu
3. Wejangan Sopir Angkot
4. Hari Pertama, Hampir Telat
5. Kantin, Teman SMP, dan Keributan!
6. Ayah
7. Tengok Sikitlah
8. Ruang Kelas dan Sahabat Baru
- IV Hikmah 192
29. Di Balik Pak Cegu
30. Ini Sulit Sam!
31. Marahnya Ibu
32. Terima Kasih Bah
- V Perpisahan 216
33. Makan Berdua
34. Harus Selesai Semua
35. Mulai Beda
36. Kacau
37. Pesan dari Abah
38. UKS
39. Tentang Sam
40. Menentukan Akhir
41. Napas Baru
Pembukaan
1
Bayang-Bayang
And, when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.
– Paulo Coelho
Ini bukan tentang cinta, ini soal bagaimana mengakhiri sesuatu yang sudah
dimulai dengan baik.
“Gitu gimana Mel? Aku kan udah bilang kalau ini soal waktu aja.”
“Kapan?”
2
“Udah!”
“Belum!”
“Udah Sam!”
“Belum!”
“Karena selama ini, kamu hanya tau aku itu seperti apa yang kamu
baca dalam surat. Itu padahal bukan aku, itu Heldy. Aku brutal, aku tak bisa
diatur, apalagi untuk bisa berpikir tenang seperti Heldy. Beda, Mel.”
“Tapi aku bakalan bisa kok nerima kamu yang bukan Heldy.”
“Belum tentu.”
“Bisa!”
“Belum tentu. Orang itu gak bisa suka sama dua orang yang sifatnya
berbeda. Itu pasti, apalagi orangnya gak pernah ada, cuma bayang-bayang.”
“Bukan jaminan, air matamu itu tetap untuk Heldy, bukan Samudra.”
“Biar aku yang tau jawabannya sendiri. Ada hal yang gak perlu
dijelaskan Mel, kamu harus paham itu, kata Heldy pun begitu.”
“Tapi Heldy lupa, ada perasaan juga yang tidak bisa dijelaskan. Dan
perasaan itu ketika tak sesuai, rasanya sakit sekali.”
3
“Ya mungkin kamu benar.”
Tiga jam lebih mereka bertukar kata, baru sekarang saling melihat.
Benar-benar aneh.
“Aku mau merasakan pelukanmu, yang nyata yang tak cuma sebatas
kata-kata dalam penutup surat.”
4
“Oke, ini pilihan yang sulit ditolak.”
Keduanya berpelukan.
Bulan dan cahaya-cahaya mengilap menjadi saksi bisu dari pertemuan
itu. Rasa haru bercampur aduk dengan gelisah dan rindu. Ini masih tetap
bukan cinta, ini hanya awal ataupun akhir yang tak satu pun dapat
menjawabnya. Mereka menikmati keraguan penuh suka duka dan air mata.
Baru sekitar dua puluh detik mereka berpelukan, tiba-tiba saja anak
kecil berlari ke arah mereka untuk mengambil bola. Bola itu jatuh tepat di
hadapan kedua anak SMA yang sedang dimadu kasih dan berpeluk tubuh.
“Sama-sama, Melina.”
5
“Ke mana pun Mel, asalkan itu bisa bikin kamu merasa tenang, aku
suka.”
“Kenapa?”
“Karena aku merasa tenang kalo ada di sampingmu, jadi untuk apa
aku pergi.”
“Ah kamu emang pinter ngerayu, pinter mengaduk-aduk perasaan
orang.”
Ini hanya pembuka. Ini juga akhir daripada cerita. Setelah perpisahan
kenaikan kelas, semua keadaannya telah jauh berbeda.
***
6
Seragam Baru Hasil Jahitan Ibu
Beginilah awalnya.
Senja telah pergi cukup lama. Selimut gelap mulai menutupi wajah
sebagian bumi. Bulan yang merekah terlihat begitu indah dan seakan
tersenyum. Malam semakin larut, bintang-bintang yang menari berkerlap-
kerlip pun kian terang-benderang. Cahaya-cahaya kecil seolah mengecup
7
kening Sam yang tengah tertidur. Mereka seraya berkata, “Sampai jumpa
esok hari.”
***
Kasepuhan, Cirebon
Awan-awan kelabu yang hampir sebulan penuh menyelimuti Kota
Cirebon perlahan telah menghilang. Menurut mitologi Yunani, hujan dan
petir adalah tindak-tanduk dari dewa bernama Zeus. Semenjak Zeus pergi,
tidak ada lagi tarian-tarian ikan penikmat hujan. Sang surya yang semula
bergumul dan tak kunjung memancarkan sinarnya, kini telah kembali. Bumi
Pantura pun menjadi cerah senyatanya. Tidak ada lagi dongeng dan sihir-
sihir di awal bulan Juni. Semua mulai bisa beraktivitas kembali.
Pagi itu benar-benar pagi yang sunyi. Cahaya matahari begitu irit
menyelinap dan menembus bagian dinding awan. Suara lantunan pujian
terdengar sayup saling berebut. Kokokan ayam belum lama pergi, gemanya
masih terngiang jelas di telinga. Dedaunan terlihat begitu segar dengan
tetesan embun sisa semalam.
“Ayo cepat!!”
“Iya, iya.”
“Siap komandan.”
Belum saja kakinya menjauh, kepala ibu-ibu dengan mata sipit itu
kembali menoleh. Lehernya dia tarik ke belakang, dia mengintip sedikit dari
pinggir daun pintu. Dia sempat menyajikan wajah kecutnya sebelum
akhirnya kembali pergi tak menghiraukan.
“Ini sudah Ibu siapkan padahal,” lengan kiri Sam ditarik cukup kuat,
“makan ya sebentar.”
“Ih Bu, ini kan hari pertama. Sam malu kalau sampe terlambat.”
9
“Haduh Ibu, kaya anak kecil aja, ya uda iya, Sam makan dulu,” Sam
kemudian menengok ke arah meja makan. “Ada lauk apa emang, Bu?”
“Iya, Bu.”
“Kok bisa?”
“Iya, lama sekali MOS-nya, banyak membuang-buang waktu dan
kesannya cuma sekadar ingin memberitahu kita, kalau kita ini hanya sebatas
anak ingusan yang harus nurut apa kata kaka kelasnya.”
“Loh, emang kenyataanya gitu kok, Bu,” Sam terlihat kesal, dia meng-
hentikan gerak tangannya. Sendok dan garpu yang semula dipegangnya
begitu erat, tiba-tiba saja dilepaskan. “Bener kan Bu tapi?”
“Ya suda, jangan berdebat ah, mau bener atau tidak yang penting itu
cepat dimakan lagi, katanya terlambat.”
“Ibu yang mulai, yeee,” Sam sedikit ngeyel, dia kemudian tertunduk
dan melanjutkan makannya.
“Abis kamu lucu, dari dulu gak berubah, selalu penasaran dan
sukanya marah kalo debat. Kalo udah diberitahu dan gak sesuai, pasti aja
keluar sifat gampang sekali marahnya.”
10
“Biarin ah, namanya juga khas.”
“Oiya Sam,” Ibu Sam bangun dari kursinya. Dia rapikan baju seragam
Sam, anaknya. “Hati-hati, dua kancing di bawah itu jangan kamu pegang
keras-keras.”
“Kenapa Bu?”
“Ibu dadak menjahitnya tadi malam karena Ibu tahu ternyata dua
kancing itu telah lepas.”
11
“Iya Bu, terima kasih.”
“Baik Bu, terima kasih juga Bu, telah menjahit baju baru ini sehingga
tidak rusak.”
Sam pun mulai menghilang jauh dari pandangan ibunya. Dia terlihat
tersenyum dan bangga dengan baju barunya. Dia pun (mungkin) merasa
sangat terkesan dengan perhatian ibunya. Dia juga bisa saja malu, ya, malu
karena ibunya begitu detail memperhatikan pakaiannya, sehingga kancing
yang copot pun masih sempat dijahit.
Ya, begitulah Ibu, seberapa kesalnya dia terhadap anaknya, dia tidak
akan berubah. Dia selalu ingin melihat anaknya tampil yang terbaik di
hadapan teman-temannya. Dia tak akan mungkin menelantarkan anaknya
dengan rasa malu. Dia bahkan tidak menghiraukan rasa kantuknya demi
menjahit dua buah kancing yang mungkin tidak dipikirkan sama sekali oleh
anaknya.
***
12
Wejangan Sopir Angkot
Kalimat singkat di atas cukup mewakili Sam pagi itu. Dia tahu bahwa
jamuan makan pagi Ibu bisa membuatnya terlambat, tetapi dia tidak peduli.
Dia selalu memilih untuk dapat pergi dengan tanpa meninggalkan perasaan
bersalah.
Jalan di gang rumah Sam tampak sedikit basah. Bau pasir yang
semerbak menemani langkah paginya. Beberapa kali Sam terlihat meloncat
kecil menghindari genangan air yang cukup dalam. Ya, memang begitulah
suasana kampung, boro-boro punya waktu untuk mengeluh, wong dibuatkan
jalan saja sudah sangat bersyukur.
Harapan Sam di hari pertamanya masuk kelas cuma satu, dia tidak
ingin datang terlambat. Dan seolah mengamini doa Sam, tak berselang lama
angkutan kota kemudian berhenti tepat di depannya. Sam pun menghilang,
jalan besar di ujung gang rumah Sam pun kini sepi.
13
“Oh, hehe. Ah, mana aku tau Pak, memang sih gosipnya begitu, tapi
jujur loh Pak, ini saja aku malah sudah malas sekolah.”
“Loh mengapa?”
“Iya, Pak.”
14
“Kamu murid baru ya?”
“Iya Nak, cap tangan itu yang Insya Allah akan membawamu pada
kesuksesan, cap itu pulalah doa-doa yang tak kamu sadari.”
“Maksudnya?”
“Ya dalam setiap jerih payah orang tuamu selalu terselip doa. Doa itu
berupa harapan agar anaknya bisa lebih baik dari orang tuanya.”
“Ya kalau kamu siapkan masa depanmu dari sekarang, ketika saatnya
tiba nanti kamu tidak akan pusing-pusing lagi harus melakukan apa.
Sedangkan kalau kamu tidak fokus atau bahkan tidak sama sekali
mempersiapkannya, kamu seperti seorang yang berusaha menangkap angin.”
“Yang ada masuk angin Pak bukan nangkap angin, dipikirnya bola.”
“Hahaha!”
15
Laki-laki berumur dan anak muda yang sedikit slenge’an itu mengobrol
ngalor-ngidul tak karuan. Dari mulai membicarakan harga beras sampai
selipan doa-doa dalam baju sekolah. Sebagian orang menganggap mereka
sedang berbasa-basi, tetapi tidak bagi Sam. Obrolan-obrolan kecil itu yang
nantinya akan membawa Sam pada pengalaman yang menakjubkan.
“Kiri-kiri, Pak.”
Bapak sopir angkot yang menggunakan topi merah dan baju safari itu
hanya tersenyum. Dia tidak marah, dia juga tidak menanggapi, dia justru
tertawa kecil tanpa perlawanan. Sebelum angkotnya berjalan jauh, dia malah
menyempatkan memberikan lambaian terakhir pada Sam.
16
kalbu terdalam seorang murid SMA kelas 1 yang tadi duduk tepat di kursi
samping kemudinya.
Hari ini adalah hari bersejarah bagi Sam. Setelah melewati tiga hari
masa orientasi sekolah, Sam akhirnya diperbolehkan memakai seragam SMA
kebanggaannya. Dia kini tak lagi anak-anak, dia telah menginjak masa remaja
yang tentunya masa-masa yang penuh dengan pergolakan.
***
17
Hari Pertama, Hampir Telat
“Iya, Pak.” Sam tersenyum lebar, dia merasa beruntung. “O iya Pak,
kelas sepuluh-tujuh di mana ya?”
“Masuk aja lewat pintu kiri itu, setelah melewati masjid, itu kelas
sepuluh-tujuh, Dek.”
18
“Oke Pak, terima kasih.”
Masjid kecil yang dikatakan oleh satpam tadi telah berhasil dia lewati.
Bangunan satu lantai dengan ukuran 7x7 itu menjadi titik awal di mana Sam
menuju kelas barunya.
19
Ayo maju Sam.
“Tok-tok!”
Pintu kelas sepuluh-tujuh bergetar. Suasana gaduh mendadak hening.
“Assalamualaikum.”
Sam telah berdiri tepat di depan kelas. Guru wanita berbaju muslim
dengan jilbabnya yang panjang telah menunggu kedatangan Sam. Badan ibu
guru yang gemuk itu seolah menakut-nakuti Sam. Tetapi Sam, lagi-lagi dia
tidak menunjukan kekhawatirannya, Sam begitu percaya diri.
“Walaikumsallam.” Seluruh kelas berteriak keras.
“Silakan.”
“Iya Bu?”
“Kamu boleh masuk, tapi belum boleh duduk. Jelaskan dulu, kenapa
kamu terlambat?”
“Ah, itu bukan alasan yang baik, sudahlah duduk sana, di pojok itu
kosong.”
20
“Iya Bu, maafkan saya.”
“Makasih Mas.”
Dia duduk tepat di samping anak muda berbadan tinggi dan berkulit
hitam. Wajah teman sebangkunya penuh berselimut jarawat. Celana lelaki
itu dilipat hingga menunjukkan dengkulnya. Sam hanya tersenyum kecil
melihat kejadian itu.
“Siapa namamu?”
“SMP 1.”
“Pantesan.”
21
“Oh gak papa kok, aku SMP 5.”
Tas Sam kini tak lagi membebani punggungnya. Sam telah duduk
rapi. Dia menahan lelah akibat berjalan jauh menuju kelas. Kedua tangannya
dia majukan ke depan sebagai bentuk peregangan. Oh Sam, banyak sekali
tingkahmu.
“Hey Sam, ngomong-ngomong kenapa kamu terlambat?”
“Kamu beruntung, guru bahasa Inggris kita ini orangnya baik, lain kali
kalau bukan Bu Ida, jangan coba-coba deh terlambat.”
“Loh mengapa?”
“Ibuku kebetulan guru bahasa Inggris juga di sini, tapi untuk kelas
sebelas. Dia bilang sama aku katanya di sini kalau terlambat harus siap-siap
saja dipermalukan di depan kelas,” Nawir dengan bangga menceritakan
ibunya.
“Oh begitu ya, pantes aja di depan pintu sekolah tadi tertulis kalimat
„AKU MALU DATANG TERLAMBAT‟, rupanya ini toh maksudnya.”
“Bukan begitu juga, tapi hukumannya yang akan buat kamu malu,
berdiri di depan kelas sampai jam pelajaran berakhir.” Nawir bercerita
dengan wajah histeris. Dia berusaha menakut-nakuti Sam. Dia belum tahu
kalau Sam orangnya begitu keras kepala. Sam bukan tipe yang mudah
percaya dengan orang lain.
Saat itu Sam, bisa jadi mulai menaruh kata-kata ini di dalam hatinya:
when you know the reason, there is no more surprise (ketika anda tahu alasannya,
maka itu bukan suatu kejutan lagi). Nawir telah memberi satu informasi
22
penting, informasi yang mungkin menjadi pegangan Sam ketika dia terlam-
bat nanti.
“Ya, kamu perlu tau ini, karena dilihat dari wajahnya, kamu ini orang
yang suka sekali mencari masalah.”
***
23
Kantin, Teman SMP, dan Keributan!
“Siapa ya?” Dia menunjuk sembari berjalan menuju arah teman yang
memanggilnya. “Apa pernah ketemu ya? Lupa aku.”
24
Lelaki itu berambut belah tengah. Tingginya sekitar lima centi di atas
Sam. Bajunya dikeluarkan dan celana begi-nya begitu ketat hingga memperli-
hatkan jelas bentuk kakinya.
“Owalah, Benjamin ya, SD Kebon Baru?” Sam menepuk punggung
seorang yang dia sendiri belum yakin betul itu Benjamin, sahabatnya sewak-
tu SD. Walaupun dalam posisi berhadapan, nuansa keakraban mereka
memang mulai kentara. “Benar kan?”
“Iya benar, untunglah kalau masih ingat. Aku kira kamu orangnya
cepat lupa, ternyata ingatanmu lumayan juga.”
“Satu hal yang tidak bisa kulupakan, kenangan masa kecil Ben.”
“Haha, jadi kamu pikir aku ini bagian dari kenanganmu itu?”
“Sedikit sih, hehe.”
“Siap!”
Aduh di mana ya, Sam bergumam dalam hati. Bola mata Sam begitu
sigap memperhatikan seisi kantin yang sungguh ramai.
25
Kantin yang menjadi destinasi Sam adalah kantin tengah. Kantin
tengah itu cukup menampung sekitar lima puluhan siswa dan siswi. Di
kantin itu terdapat aneka macam makanan, dari mulai soto, nasi ayam,
hingga mi orak-orak. Wajar saja jika kantin itu menjadi rebutan.
Pada tahun 2006 lalu, handphone belumlah menjadi suatu tren yang
siapapun bisa memilikinya. Anak-anak SMA pada zaman itu lebih suka
menggunakan fitur dan memainkan games yang ditawarkan, dibandingkan
bertukar pesan atau bermedia sosial seperti saat ini. Jadi, wajar saja, apabila
Sam saat itu masih mencari sahabatnya secara manual.
“Hey dari mana aja? Aku mencarimu keliling kantin ini, hampir saja
aku kesal dan kembali ke kelas.”
Cris, pria berdarah asli Batak itu kemudian menyudahi duduk silanya.
Kakinya dia turunkun dari kursi dan bergegas memperkenalkan temannya,
Jenny namanya.
***
27
Dalam istilah masyarakat Sparta, mereka yang berguna adalah mereka
yang kuat dan tangguh. Adigium tentang “seorang laki-laki belum disebut
laki-laki apabila belum bertarung” mungkin muncul dari berkembangnya
Sparta. Di Sparta, anak-anak yang sakit-sakitan dan lemah tidak diperhitung-
kan. Para bayi-bayi terbelakang itu ditinggalkan dan dibiarkan mati dengan
cara yang sungguh kejam.
Seorang sejarawan ahli Sparta, Barry Jacobsen mengatakan, "Spartans
weren't potters, they weren't artists—they did nothing but fight. By the time a Spartan
boy was eight years old, he was trained to do one thing, and that was kill his enemy."
Orang Sparta bukanlah seniman. Mereka (penduduk Sparta) adalah
sekelompok manusia yang fokus hidupnya mengutamakan perkelahian. Yang
mengejutkan lagi adalah ketika mereka berumur delapan tahun, mereka
telah diajari untuk membunuh musuh.
***
28
“Iyalah, sayangnya manusia banyak yang tidak jujur dan mereka lebih
milih sok-sokan jadi anak yang rajin.”
“Iya paham, kamu itu tidak mau diplonco dan ditertawakan orang
lain, betul?”
“Ya betul.”
Sam dan Cris memiliki beberapa kesamaan, mereka berdua egois dan
mau menang sendiri. Mereka juga tidak mau menuruti begitu saja apa yang
dikatakan oleh orang lain. Bila sudah terlalu naik darah, kadang-kadang
perkelahian menjadi jalan keluar terakhir bagi mereka.
29
“Siapa? Salah dengar mungkin.” Cris terlihat begitu tenang.
“Jangan ngelak, kamu itu emang dari SMP terkenal sok jagoan.”
“Memangnya orang tidak bisa berubah?”
Ketika semua mata terfokus pada Cris dan kakak senior yang angkuh
itu, tiba-tiba saja ….
“Braaaat!”
Suara hantaman datang dengan begitu keras. Satu orang senior secara
tak terduga datang lalu memukul kepala Cris dari belakang. Merasa dalam
posisi yang menguntungkan, Dede secepat kilat ikut menendang perut Cris.
Perkelahian pun menjadi tak berimbang, dua melawan satu.
Sam belum juga menentukan sikapnya, tetapi dari mimiknya, dia tak
lama lagi segera mengambil keputusan. Wajahnya menatap Jenny yang tepat
duduk di sampingnya.
“Gimana Jen?”
“Terserah Sam.”
Dua kakak senior tadi, Agam dan Dede, lari tunggang-langgang. Dede
bahkan sempat terjatuh karena grogi.
“Apa kamu?”
“Udah sini.”
31
Cris terus menarik tangan sahabatnya menjauh dari kantin. Dia tidak
menghiraukan rasa sakit akibat tarikannya itu.
“Sudah kubilang, jangan lagi bentuk nama yang buruk di sekolah ini.”
***
“Sabar, sabar, aku cuma nyampein pesan dari Dede dan Agam, kata-
nya kalian ditunggu kakak kelas di toilet dekat kantin kelas satu.”
32
Sam dan Cris akhirnya menemui sekitar dua puluhan kakak kelas IPS
di toilet yang disampaikan Hendrik. Mereka kemudian bergumul, beradu
kepal, dan saling menyakiti satu sama lain. Seperti sudah menjadi sebuah
hukum alam, yang kecil selalu dikalahkan. Sam dan Cris harus menghadap
wakil kepala sekolah akibat ulahnya. Sementara itu, Dede dan dua puluh
kakak kelas lainnya dibebaskan tanpa hukuman dan sanksi apapun.
Sebagai hukumannya, Sam dan Cris didudukkan dalam kursi yang
sama. Mereka disuruh menunduk hingga jam pelajaran sekolah berakhir. Di
atas meja dekat kursi mereka, telah tersedia dua surat panggilan untuk orang
tua.
“Cerita apa?”
“Cerita kalo kita ini pernah mengalami jahatnya sebuah ketidakadilan,
gak cuma fitnah tapi nama baik tercoreng loh.”
“Ya, sudah ajalah, memang ini risikonya, sialan memang si Hendrik.”
“Tapi kalau tidak mengalami hal ini, mungkin kita tidak belajar. Se-
engganya belajar untuk tidak mengulangi kejadian ini lagi.”
“Semoga saja.”
“Ya, semoga, namanya emosi kan datangnya kadang tak terduga, cuma
kita yang bisa mengontrolnya.”
“Ya bukan gitu, seperti yang sudah kuceritakan di kantin tadi, semua
ada waktunya, semua ada waktunya.”
33
“Tapi yang terpenting, gelisahlah ketika melihat temanmu merasa
kesulitan, itu kata ayahku sih.”
***
34
Ayah
Jika yang tersurat itu ibu, maka yang tersirat itu adalah ayah. Cerita
ibu seringkali kita dengar, baca, dan resapi dalam tingkah laku yang jelas.
Namun ayah, pengorbanannya adalah cinta yang tak berbicara. Perjuangan-
nya adalah hati yang tanpa pernah kita ketahui. Sedikit yang bercerita
tentangnya, padahal, butir-butir keringat, embusan napas lelah, dan keriput-
keriput di sekeliling wajahnya, adalah cinta yang luas juga tak terbatas untuk
anak dan istrinya.
Tidak begitu banyak mungkin yang bernasib sama dengan Sam. Ketika
dia berangkat sekolah, ayahnya tak menyambutnya cukup lama. Pada saat dia
pulang hingga matanya hendak terpejam, ayahnya baru hadir.
Ayah Sam adalah ayah yang sibuk, bisa kita katakan ayahnya gila kerja.
Tetapi Sam, tak pernah berkomentar. Sam selalu menikmati keadaan itu.
Sam seolah percaya pada satu hal: tidak ada ayah yang tega menyengsarakan
darah dagingnya.
***
Kasepuhan, Cirebon
“Owh iya.”
“Satu lagi, dua mata itu melihat lebih tajam dari satu mata.”
“Maksudnya?”
“Okeeeee, siap!”
“Ya udah Abah mau mandi, mau siap-siap. Jangan sampai terlambat
ya, Cung!”
36
Ayah Sam bernama Muhammad Iqbal. Dia bekerja di salah satu
perguruan tinggi agama di Kota Cirebon. Rambutnya sudah beruban dan
tidak memiliki tempat cukup banyak karena jidatnya yang begitu lebar.
Lelaki yang sudah menginjak umur hampir lima puluh tahun itu bersama
dengan istrinya, Rabiah, sama-sama bekerja keras membesarkan Sam.
“Eh, eh sebentar!”
Sam mengangkat tasnya. Dia begitu terburu-buru saat itu.
“Walaikumsallam.”
Saat itu, Sam mungkin belum sadar betul tentang apa yang coba dita-
namkan ayahnya. Dia masih begitu kecil untuk menerima makna dari
sebuah pengajaran yang begitu dalam. Dia masih suka bermain, membuat
kerusuhan, dan bertindak sesuka hatinya. Namun, suatu saat nanti dia pasti
sadar betul bahwa ilmu serta wawasan dari ayahnya itu adalah senjatanya.
Ayah Sam mungkin tidak seheroik dan seketat Chris Gardner. Ayah
Sam juga bisa dikatakan tidak pernah menunjukkan jika dia berdarah-darah
membanting tulang. Ayah Sam adalah ayah yang sekadar menjadi sadar, yang
37
tahu anaknya malas membaca, maka dia mendongengkan bacaannya kepada
anaknya. Cukup bijaksana.
***
38
Tengok Sikitlah
Woman is a ray of God. She is not that earthly beloved: she is creative, not
created. – Jalaluddin Rumi
Sampai juga pada bagian ini. Bagian di mana stasiun cinta seorang
Samudra dimulai.
Sam sebenarnya enggan untuk berbagi kisah cinta, dia lebih memilih
diam ketika berbicara itu. Dia ingin menikmati getaran-getaran hebat itu
sendiri ....
Hujan turun begitu irit. Tidak terlalu besar dan bergemuruh, tapi
cukup untuk membuat tanah yang kering menjadi basah. Banyak yang
mengatakan bahwa suasana seperti ini begitu indah untuk dilewatkan begitu
saja. Diiringi alunan instrumen Kiss the Rain dengan dentingan piano
Yiruma, sekat-sekat tersulit ini kemudian dituliskan.
Erwin adalah salah satu sahabat baru Sam di kelas. Badannya cukup
tinggi. Jika dia hendak mencuri mangga, dia tidak perlu mempergunakan
alat bantu untuk melakukannya. Tubuhnya kurus ceking, parasnya sedikit
mirip orang China. Tetapi, ampun, kata-katanya itu seringkali mematahkan
semangat orang yang sedang jatuh cinta. Ya, begitulah Erwin.
“Itu membutuhkan waktu yang lama Win, gak bisa sambil jalan ya?”
“Sepertinya sulit untuk seseorang melakukan dua pekerjaan sekali-
gus.”
Jika ingin menilai siapa yang salah, jawabannya adalah Sam. Dia
bertanya pada Erwin tentang kemungkinannya mendekati Melina, siswi kelas
sepuluh-tiga. Sam memang tidak pernah mengatakan kalau dia mencintai
Melina. Sam hanya sekadar bertanya tentang bagaimana tanggapan Erwin
bila dia berpacaran dengan Melina.
40
“Alah alah, itu orangnya datang Sam!”
“Alesan.”
41
Satu per satu warung di kantin mulai sepi. Anak-anak perempuan pun
tinggal beberapa saja, bisa dihitung pakai jari.
“Permisi.”
Melina memang tidak begitu cantik, dia hanya lebih manis dari
teman-teman kelasnya. Matanya dilapisi kaca akibat dari kesukaannya
membaca buku. Sebelum ke kantin, Melina selalu menyempatkan diri salat
dhuha. Kebetulan arah menuju masjid melewati kelas sepuluh-tujuh, jadi
itulah awal di mana kemudian Sam mengenal Melina. Cantik Melina bukan
datang dari wajahnya, menurut Sam, cantik Melina hadir melalui
kelembutan hatinya yang pasrah pada Ilahhi Rabbi.
“Iya permisi juga.”
“Ah pengecut.”
“Kamu itu tipe orang yang beraninya kalo orangnya sudah pergi aja.”
“Bukan gitu Win, tapi ini beda suasananya. Makanya kamu jangan
care sama sesama jenis aja, belajar memperhatikan wanita juga.”
42
“Sudahlah, anggap saja kejadian ini tidak pernah ada. Anggap saja itu
bukan Melina, tapi Bu Nurhasanah yang galak itu.”
“Biar apa?”
“Hahahaha!”
Ibu penjaga koperasi mungkin sudah amat hafal karakter kedua orang
ini. Kepalanya yang terbungkus jilbab hanya menggeleng-geleng tanpa suara.
Gelengan itu bisa saja diartikan sebagai rasa heran terhadap tema obrolan
Sam dan Erwin. Bisa juga, gelengan tadi bermakna kesal karena faktanya dua
pria berwajah oriental itu sama sekali tak memesan apapun. Ya, ya, ya,
sedikit mengurangi jatah tempat duduk memang.
***
Matahari tepat berada di atas SMA N 1 Kota Cirebon. Teriknya begitu
menyengat dan membakar. Jika kita berjalan di lapangan upacara tanpa
menggunakan sepatu, mungkin kaki kita akan kapalan. Ada pula efek negatif
dari sinar ultraviolet, menurut para ahli, pancarannya dapat mengubah
warna kulit menjadi hitam.
Semua ruangan kelas SMA favorit itu dulunya belum memakai mesin
pendingin. Jendelanya tidak mampu memberikan udara yang cukup. Kipas
angin yang kadang hidup, kadang mati adalah harapan terakhir. Jadilah,
setiap kelas layaknya seperti sauna dadakan, sumub1.
1
Dalam bahasa jawa artinya panas
43
membawa handuk masih sempat mengusapnya. Sementara yang lainya,
mengipas-ngipas dengan buku pelajaran. Yang terakhir ini lebih banyak
dilakukan, maklumlah lebih irit dan efisien.
***
Oke, gambaran suasana saat itu adalah, Erwin dan Ogi menunggu dari
depan kelas sepuluh-empat. Sementara Sam duduk manis di atas tembok
pembatas taman depan lapangan upacara, persis menghadap pintu sepuluh-
tiga.
Ya Tuhan, permudahlah.
Erwin dan Ogi mulai panas. Wajah Sam terlihat semakin menyanyah
menyaksikan hal itu.
44
“Hey, boleh tau namamu?” Tak begitu lama Melina keluar dari kelas-
nya. Tangan Sam langsung mengulur cepat mendekati Melina.
“Oh, hehe, Melina Castro, panggil saja Melin.” Melina tak berani
menatap lama-lama. Dia justru memasang wajah heran tak karuan. Tali
pengait tas birunya dipegang dengan erat.
“Aku Samudra, kelas sepuluh-tujuh.”
Kedua tangan Melina dan Sam bertemu cukup lama. Sam terlihat
sedikit menikmati pegangan tangan pertamanya. Dan Melina ...
“Mel?”
Erwin dan Orgi terperanga. Tak percaya rasanya Sam benar-benar ne-
kat berkenalan dengan wanita yang katanya menjadi incaran banyak kakak
kelas itu. Bukan mimpi, bukan ilusi, namun hanya kenyataan yang sulit
diyakini sebagai suatu hal yang benar.
45
Melina padahal telah pergi menjauh. Tak tampak lagi bidadari anggun
itu dalam pandangan Sam. Namun butuh tiga puluh detik untuk
mengembalikan Sam pada posisi sadarnya.
“Sam, Sam, hey Sam!” Erwin menggebuk punggung Sam.
“Apa itu?”
“Ya kalo dia ngerasa kamu baik, dia mungkin mau temenan sama
kamu. Tapi kalo dia ngerasa kamu ini hanya orang yang iseng, ya, kamu
harus siap mengakhiri perasaan bahagiamu.”
46
“Tidak perlu menjadi sempurna, cukup menjadi kamu yang kukenal,
bagiku itu sudah cukup.” Sam berbisik kepada dirinya sendiri dengan penuh
keteguhan hati.
***
47
Ruang Kelas dan Sahabat Baru
48
Ah, sungguh beruntungnya orang-orang yang hidup dalam generasi
Sam. Mereka bisa berekspresi sesuka hatinya. Mereka dapat memanfaatkan
fasilitas sekolah untuk kesenangannya. Bayangkan saat ini, mencoret-coret,
melempar kertas, menggodai anak perempuan hingga menangis, pasti
langsung dihukum bahkan diskorsing.
***
“…”
“Paham belum?”
“Pahaaaaaaaaaaam.”
“Walaikumsalaaaaaaam Bu Guru.”
49
“Hahaha!”
“Si Anto mainnya jago banget, dia kayaknya udah belajar semaleman.”
“Yeee, kenapa bisa kalah Win?” Benjamin menyambar sambil menge-
lus punggung Erwin.
“Tanya Ogi aja.” Erwin menunjuk Ogi.
“Mungkin kamu emang harus berhenti main judi biliar Win.” Sam
tersenyum kecil menyelesaikan ucapannya.
Percaya atau tidak, Erwin, Sam, Benjamin, Ogi, dan Anto suka sekali
beradu taktik bermain biliar. Pemenangnya akan mendapatkan uang yang
telah disepakati. Mereka tidak menganggap itu sebagai sebuah perjudian.
Mereka hanya merasa membayar jeri payah keahlian kepada yang lebih
tangguh bermain.
50
“Nanti ya pulang sekolah aja.”
Kiky mengompori Lia dan Adis untuk pergi ke kantin. Tentu saja, Esa
pasti akan mengikutinya.
“Ikuuuut!”
“Ya biarin aja sih ya, kalau kalian mau ikutan ya tinggal ikutan aja, ga
usah ngurusin orang.”
51
Perlahan-lahan kelas menjadi nyenyat. Semua telah pergi ke tempat
tujuannya masing-masing. Erwin, Sam, Benjamin, Anto, dan Ogi adalah sisa
terakhir yang belum meninggalkan kelas.
“O iya o iya, kemarin si Sam ini habis kenalan sama Melina anak
sepuluh-tiga.”
“Sial, bohong itu.”
“Terus gimana?”
“Ya biasa aja, kenalan temen sama temen aja gimana.”
“Heh bukan gitu, kalau orang udah suka sama lawan jenis itu
seringnya lupa sama temennya.”
“Maksudnya Ben?”
“Nih ya, dia nantinya bakalan jaim, bakal sok-sokan jadi orang baik.”
“Eh bener Win, orang yang jatuh cinta itu kadang takut dalam
bersikap. Dia gak mau buruannya itu kabur.”
52
“Ya terus kenapa emangnya? Yang kamu khawatirin itu apa?” Sam
bertanya dengan sedikit mengelak.
“Ya gini Sam, Win, To, Gi. Aku sih gak melarang kalian suka sama
siapa, yang penting jangan sampe persahabatan sama temen itu dilupakan
cuma karena wanita.”
“Kekhawatiranmu berlebihan.”
“Ih dibilangin. Jangan gampang geer juga kalo wanita itu menanggapi
kamu. Bisa aja yang ada dipikirannya itu motor kamu yang bagus, dompet
kamu yang berisi, atau juga karena keluargamu yang kaya. Nah kalau temen,
mana ada ngeliat persahabatan dari hal-hal kaya gitu.”
“Belum tentu loh Win, Sam. Kadang-kadang tuh mereka cinta, tapi
cinta mereka itu cinta yang gimana caranya kalian bikin mereka seneng. Kalo
ngejengkelin ya putus. Nah kalo udah putus? Udah deh balik laginya pasti ke
temen lagi kan. Dan temen pertama itu adanya di ruangan kelasmu.”
Benjamin, Anto, Ogi, Sam, Erwin, dan satu laginya Dayat, tergolong
geng laki-laki. Geng laki-laki sedikit lebih luwes dan bisa bergaul dengan geng
laki-laki lain dari kelas berbeda. Jika geng wanita beradu life style, geng laki-
laki lebih senang beradu otot. Mereka seringkali gampang tersulut emosinya
apabila melihat temannya disakiti. Apapun bentuk dan jenis kegiatannya,
geng laki-laki SMA pasti begitu.
Yah, tetapi apapun itu, semuanya pasti dimulai dari ruang kelas
terlebih dahulu. Sahabat di kelas adalah cerminan dari bagaimana seorang
siswa bertingkah laku menghadapi lingkungan sekolahnya. Menurutku ….
***
54
II
Surat dan Percintaan
55
Tentang Surat
Secarik kertas dan bolpoin dia siapkan di atas meja itu. Dia mulai
menulis, tetapi lagi-lagi kertas yang berisi tulisannya itu di-kuwes-kuwes dan
dibuang ke lantai. Berulang-ulang Sam melakukan hal itu, dia tampaknya
risau. Entahlah, apa yang dia tulis dan untuk apa dia melakukan hal itu?
56
Cukup lama juga Sam merangkai kata. Dia tidak merasakan rindu
pada rasa kantuknya. Dia mengalir dan membiarkan raganya menuntunnya
tidur secara natural.
Benar saja, setelah satu jam berlalu, dia mengakhiri kegiatannya secara
tak sadar. Matanya terpejam, wajahnya telah jatuh di atas meja dengan
tangan kanan masih memegangi bolpoin.
***
“Coba kalau setiap hari kaya gini, kan masakan Ibu jadi gak sia-sia.”
“Ah gak juga, ini aja udah mau langsung berangkat kok.”
“Heee, baru jam enam ini, abahmu saja belum selesai berzikir.”
Kini badan Sam telah tepat berhadapan dengan ibunya. Dia nyengar-
nyengir tak karuan.
57
“Bu, berangkat ya!”
“Iya, hati-hati!”
“Salam buat Abah, daaaaaah!”
Sam berlari secepat kilat. Wajahnya mantap ke arah depan. Ada apa
sebenarnya dengan anak ini, hmm, tak tahulah.
“Bagus bagus kalau begitu, jarang sekali Bapak liat laki-laki yang
penuh semangat kaya gini.”
Kali ini Sam tidak masuk lewat pintu kanan. Sam memilih pintu
tengah untuk menuju ke kelasnya.
58
Kakinya mulai merindik melewati kelas sepuluh-satu. Setiap celah
jendela dia susuri, dia pastikan tidak ada orang di situ. Berlanjut ke kelas
sepuluh-dua pun sama, tingkahnya belum berubah. Hingga sampai di kelas
sepuluh-tiga, dia terhenti. Dia terlihat lebih teliti dan hati-hati.
“Krrreeeek!”
Jendela samping kelas sepuluh-tiga terbuka. Kepala Sam
mengiringinya. Kanan lalu kiri, clingak-clinguk cukup lama dia kelas itu. Persis
seorang pencuri yang sedang memastikan target buruannya.
“Nah itu.”
Tanpa pikir panjang, Sam segera masuk ke kelas sepuluh-tiga. Dia
berjalan cepat ke arah meja nomor dua di barisan tengah. Dia terlihat
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sepertinya itu sebuah surat dalam
amplop yang sangat kecil. Surat itu kemudian dia taruh ke kolong meja.
Meja itu kan meja di mana Melina biasa duduk. Apa sebenarnya isi
surat itu? Mengapa juga harus pagi-pagi sekali Sam menaruhnya? Bukankah
dia bisa memberikannya secara langsung di siang hari nanti?
***
59
Siapa?
“Mungkin apa?”
Melina telah menemukan surat yang sengaja ditaruh oleh Sam. Dia
terlihat ragu. Dibawa atau tidak? Dia sebenarnya enggan membawa surat itu.
Pengirimnya saja tidak jelas, apalagi isinya. Tapi dia juga penasaran. Kalau
surat itu penting bagaimana? Dia ingin tahu juga isi dalam surat tersebut.
Yang jelas Melina tidak memikirkan apa yang Desi katakan, mungkin surat
cinta.
60
Melina memunggungi Desi, sahabat sebangkunya. Sembunyi-sembunyi
dia masukkan surat itu ke dalam tasnya yang berwarna biru.
***
Brendon Burchard, seorang penulis buku best selling versi New York
Times “The Charge‖ mengatakan hal itu dalam suatu kesempatan. Brendon
berusaha meningkatkan stimulus kepada jiwa orang-orang yang pesimis.
Jangankan Sam yang masih begitu muda, orang yang sudah tua pun
kadang merasakan pesimis. Kita ingin memulai sesuatu, tetapi kita memikir-
kan lagi bagaimana akibatnya. Kita berencana melakukan hal yang besar
namun lagi-lagi bayangan akan ketidakberhasilan mengganggu kita.
Hal-hal yang sulit kita lakukan itu salah satunya adalah berusaha
mengungkapkan perasaan kita kepada orang lain. Sam nyatanya berbeda, dia
tidak peduli bagaimana nantinya, yang penting dia berusaha dulu. Dia sadar
jika Melina pun tahu kalau dia itu nakal, tapi dia hilangkan pikiran itu,
karena dia percaya kalau cinta yang tulus itu tidak pernah memandang masa
lalu.
Wahidin, Cirebon
Hujan rintik mulai turun. Melina terlihat berlari memasuki kos. Dia
menyegerakan membuka dan menutup gerbang. Tasnya dinaikkan ke atas
menutupi kepala. Setelah teman lelaki yang mengantarnya pergi, Melina
langsung berjalan menuju kamarnya.
“Eh iya Kak Linda, ini habis belajar kelompok, besok ada ujian tes
fisika.”
Kamar Melina tidak begitu mewah, hanya ada satu lemari baju, meja
belajar, dan kasur. Ukurannya sekitar 4 x 4, cukup untuk wanita bertubuh
kecil dengan tinggi 166 sentimeter. Dindingnya terpajang foto Fernsehturm
Berlin, sebuah menara televisi yang menjadi ciri khas negara Jerman. Foto
itu hasil pemberian ayahnya, dulu ayah Melina bercita-cita dapat menguliah-
kan anaknya di Universitas Bonn.
62
Melina suka sekali membaca buku. Meja belajarnya penuh dengan
modul-modul, LKS, novel, dan beberapa oret-oretan kecil. Hal itu yang
mungkin menjadi alasan mengapa mata Melina menjadi minus.
Kini Melina sudah wangi, bau sabun yang menempel di tubuhnya
begitu harum. Aroma sampo yang melekat di rambutnya pun menebarkan
wangi yang menyegarkan. Jilbabnya dia lepaskan jika di dalam kamar. Tak
lupa dia mengiris timun sebelum tidur.
Melina membuka ritsleting bagian depan tasnya. Dia raih surat yang
dilapisi amplop berwarna putih polos. Dikibas-kibaskan sebentar surat
rahasia itu. Ah, wanita memang begitu ribet.
Dia telah duduk manis di kursi belajarnya. Dia pandangi surat itu.
Dipikir-pikir untuk apa juga dia membukanya, apakah dengan membuka
surat itu kehidupannya akan berubah? Tidak kan. Tapi, sepertinya surat itu
isinya menarik, sayang sekali jika tidak dibuka.
“Krrrresss!”
Tanpa ampun, Melina merobek bungkus surat itu. Dan kini dia mulai
siap membaca isinya.
Tapi ada satu hal yang kamu tidak bisa berbuat sesuai keinginanmu, yaitu menolak
mencintaiku, nanti.
Terima kasih.
“Benarkan dugaanku, surat ini pasti tidak jelas dan sialnya aku telah
terjebak oleh permainannya.”
***
64
Menaruh Surat Balasan
“Ga ada Des, emang apa yang kamu lihat dariku sampai kamu nanya
kaya gitu?”
“Aku tau kamu rajin baca buku, koran-koran pun kadang kamu
perhatikan beritanya, tapi aku rasa hari ini wajah pusingmu berbeda. Ada
yang aneh aja.”
“Engga, hanya saja aku sedikit heran, kemarin di koran aku baca kalau
minuman bersoda itu menyumbang sebagian besar dananya buat Israel.”
65
“Ya artinya kalau berita itu benar, ini sih kalau benar ya, berarti kamu
adalah salah seorang yang ikut membunuh saudaramu di Palestina dan
utamanya di jalur Gaza.”
“Ahh seram sekali penjelasanmu, aku tidak sejauh itulah Mel.”
“Ya terserah, aku juga ga paham tentang hal itu. Aku hanya berusaha
untuk mengurangi saja. Untuk benar salahnya kan ada yang lebih taulah,
hehe, yang jelas bukan aku.”
“Hmmm, kamu mulai mengalihkan pembicaraanmu kan?” Desi me-
ngernyutkan bibirnya. Dia memalingkan wajahnya ke bawah. “Jawab dulu
mengapa wajahmu hari ini berbeda?”
“Neng Desi, maaf, yang sodanya udah habis.” Ibu Koperasi berteriak
cukup keras.
“Yah Ibu …”
“Duh ribet, mau rasanya, mau apanya juga, ujung-ujungnya sih sama,
ngilangin dahaga juga kan. Intinya aja udah, air putih juga sama kok enak.”
66
“Ya udah deh.” Desi berdiri sebentar. “Bu, air putih aja deh Bu.”
“Gini lo Des, sebenernya aku tuh suka heran kalau liat orang pada
rebutan beli minum merek ini, rasa ini, terus kadang-kadang sampe marah-
marah. Tujuan mereka minum kan padahal mah nantinya juga ngilangin rasa
haus itu. Aneh, ga habis pikir.”
“Kamu habis baca koran apa sih? Ngomongnya jadi berlebihan.”
“Baca koran Bapak kosku tadi pagi, engga tau nama korannya apa, aku
lupa.”
“Hahaha, pantesan.”
***
Kelas 10.7
67
“Alhamdulillah gak jadi ulangan!”
Sam hanya diam, tidak ikut berkomentar. Dia sedang asik duduk di
kursi paling belakang barisan kiri. Kakinya naik tinggi ke atas meja. Tangan
kanannya mengipasi dadanya dengan sebuah buku. Dua kancing bajunya dia
keluarkan. Kayaknya dia sedang tidak mood hari ini, kepanasan juga.
Benjamin, Anto, Erwin, Ogi, dan Dayat berkumpul di kursi belakang
deretan kanan. Mereka membentuk lingkaran mengerubung. Seperti biasa,
Anto dan Erwin berada di tengah.
“Yaaaaaah!”
“Asiiiiik!”
“Yaaaaaaaah!”
Sam masih saja memikirkan tentang Melina. Dia gelisah dengan apa
yang akan terjadi ketika pulang sekolah nanti. Apakah suratnya dibalas? Atau
mungkin dibuang begitu saja.
“Sama-sama.”
“Makasih Bu.”
69
“Ga usalah, itu perutmu sudah gemuk begitu.”
“Ah gemuk kan karena bergaul sama kamu yang lebih kurus dariku,
jadi aku keliahatan besar.”
***
Kelas 10.3 pada jam pulang sekolah
Ruang kelas sepuluh-tiga sudah mulai sepi. Papan tulis masih penuh
coretan bekas jam pelajaran terakhir. Kursi-kursi terlihat begitu berantakan,
posisinya tak teratur, dan barisannya tak rapi. Lantai kelas penuh dengan
kertas dan plastik Chiki. Begitulah suasana kelas setelah selesai jam terakhir,
yang kebagian membersihkan adalah siswa yang piket esok hari, itu pun
siangnya kotor lagi.
***
70
Namamu Heldy
Sam baru masuk ke dalam kamarnya. Jendela yang semula terbuka dia
tutup dengan rapat. Kini hanya suara air yang jatuh dari plafon saja yang
terdengar.
Radio perlahan dinyalakan. Seperti biasa, Sam selalu mendengarkan
lagu-lagu Gun n Roses. November Rain adalah lagu pertama yang memanjakan
telinga Sam.
Sam kini duduk menghadap meja. Meja itu biasa dia gunakan untuk
membaca buku. Sam terhitung anak yang malas kalau soal pelajaran sekolah.
Buku-bukunya pun lebih banyak novel, komik, dan buku kunci-kunci gitar.
Tidak heran, cara bergaulnya tidak pernah cocok dengan suasana yang serius
dan formal.
2
Dalam bahasa jawa artinya tuli
71
mengirimi buku tentang sejarah-sejarah planet. Alasan Sam sederhana, Sam
suka pada orang-orang pertama, orang-orang yang mau mengambil risiko,
dan orang-orang yang suksesnya diraih karena kerja keras. Di buku kenangan
SD-nya, Sam bahkan menulis jika dia bercita-cita ingin menjadi astronot.
Tetapi itu hanyalah bagian masa kecil, yang kemudian terbawa hingga
remaja namun dengan pemahaman yang lain.
Kamu mulai sekarang bisa panggil aku Engel. Dan bila tidak marah, aku ingin
memanggilmu Held, ya, Heldy dari planet Linke. Heldy adalah nama adikku yang dulu pernah
hidup namun kemudian meninggal karena dibunuh, aku harap kamu bisa menggantikannya.
Engel
72
Setiap orang kadang bingung untuk melanjutkan apa yang telah dia
mulai. Apalagi sesuatu yang dia mulai itu bentuknya bukanlah hal yang
serius. Sam kini terperangkap oleh permainan yang dia buat sendiri. Puas
kamu Sam, berlagak sih.
Ini bukan waktunya Sam bertanya. Dia sepatutnya sadar kalau Melina
nantinya akan menanggapi surat pertamanya.
“Abah lihat kamu jarang salat, mengaji pun tak pernah kedengeran,
mengapa?”
“Ah, Ibu yang cerita begitu sama Abah, mana mungkin ibumu
berbohong Sam.”
“Ya em aaaa em …”
73
menjadi kewajibanmu. Kalau kamu tidak salat, kamu menanggung sendiri
dosanya.”
Pagi itu tak terlihat Ibu menyambut Sam. Ibu tengah sibuk menyetrika
baju sehabis sebelumnya menyirami tanaman.
***
74
“Iya Pak, angkotnya masih sepi ya?”
“Paling tadi ada rame ibu-ibu ke pasar, tapi sudah berhenti di Pasar
Jagasatru, seratus meter dari sini.”
Sam telah duduk dengan manis di samping sang sopir. Tak disangka,
sopir angkot itu adalah sopir angkot yang sama ketika Sam pertama kali ke
sekolah, tentunya sesudah memakai seragam putih abu-abu. Apalagi ya
wejangan yang dia berikan kali ini?
“Ah Bapak ini, lawakan orang tua.” Sam dan Pak Sopir tertawa
sedikit. “Kalau Bapak sendiri namanya siapa?”
75
Kedua orang itu pun bersalaman.
Baru saja mobil bercat biru muda itu jalan, Sam sudah memancing
obrolan lagi. Dia mungkin rindu wejangan kawan tuanya ini.
“Nah! Ini, kalau kemarin dalam pakaian itu terdapat doa orang
tuamu, kini dalam pakaianmu, terdapat pula keringat para pembuatnya.”
“Lalu apalagi?”
76
“Kamu harus bermimpi, suatu saat nanti kamu bisa menjadi pemim-
pin, buat kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan mereka. Minimalnya,
jangan pernah merendahkan merekalah, itu cukup.”
“Aduh Pak, masih jauh itu, tapi terima kasih saran dan ilmunya.”
“Tapi jujur, aku sama sekali tidak kepikiran akan hal itu sebelumnya,
benar juga ya Pak kalau dipikir-pikir.”
“Ya begitulah kenyataan, kadang yang bekerja itu lebih memilih diam
karena mereka malu dan sadar akan pekerjaanya yang kadang tak sempurna.
Sedangkan yang tidak bekerja, mereka lebih banyak bicara, untuk menutupi
kediamannya.”
Sam mengangguk-anggukan kepala. Tak habis pikir dia dengan apa
yang dikatakan oleh seorang sopir angkot. Itulah Sam, kenyataan itu selama-
nya tidak kamu dapatkan dari buku, turunlah ke bawah!
***
Sam kini telah berada di kelas sepuluh-tiga. Dia memilih mendek dan
membersihkan sedikit kolong meja Melina. Rupanya dia penasaran, mung-
kin saja dengan begitu, dia bisa tahu kesukaan Melina. Kasian sekali kamu
Sam.
Sam berlalu pergi meninggalkan sepucuk surat yang dia taruh dengan
begitu rapi. Kali ini dia menambahkan satu buah cokelat di atas surat itu.
Dadah Sam ….
***
77
Heldy dan Engel dari Planet Lenski
“Ah, sama sih Kakak juga, tapi lumayan sedikit menghafal beberapa
rumus algoritma.”
78
Sayang sekali Sam, kamu kalah tampan. Biar aku yang menebak,
kakak kelas itu, ya kakak kelas, tinggi dan putih. Wajahnya bersih dan
tampan. Badannya pun berisi. Kelihatannya dia juga pandai. Dia sepertinya
anak orang berada. Sepatu, celana, jam, dan tasnya semua bermerek.
Pokoknya Sam, berbanding terbalik denganmu, kamu harus mulai berjaga
diri.
“Makasih ya sudah mau mengantar aku sampai ke kelas.”
“Ah tidak juga Mel, kebetulan aja arah kita sama.” Kakak kelas itu
tersenyum senang. Kedua tangannya memegangi pengait tas. “Besok bisa
bareng lagi kan Mel?”
“Bisa sekali Kak, sungguh bisa.”
“Ciye, ciye, ciyeee, uhuy!” Desi menggoda Melina yang semakin malu.
79
Oh Sam, bersabarlah, tahan emosimu ya kalau sampai nanti kamu
harus tahu kenyataan ini. Cinta itu bukan soal ketampanan kok Sam, cinta
itu soal bagaimana kamu bisa membuatnya selalu bahagia. Dan kamu pasti
bisa melakukan itu.
***
80
“Hmm, iya Wir, sebentar ah, capek sekali aku.”
Pak Ade ini kebetulan adalah wali kelas Sam. Dia mengajar mata
pelajaran fisika. Mirip sekali wajahnya dengan Oo, penjual dvd di Glodok.
Kacamatanya yang tipis, tubuhnya yang sedikit gempal, caranya bicara, dan
muka layaknya Jackie Chan. Sungguh, tidak bohong.
Pak Ade ini orangnya begitu sabar. Dia jarang sekali marah. Cocoklah
menjadi bapak bagi anak-anak nakal kelas sepuluh-tujuh.
“Itu yang pojok siapa, maju ke sini?!” Pak Ade menunjuk tepat ke arah
buku yang menutupi Sam.
“Sam bangun Sam!” Nawir menyenggol keras kaki Sam.
Itulah Pak Ade, dia tidak pernah memaksa siswanya yang memang
tidak mampu mengerjakan soal. Bukan berarti dia tidak tegas, dia pasti
menegur, namun dalam waktu dan kesempatan yang lain. Benar-benar guru
yang mengerti.
Melina belum pulang ke kamarnya. Surat kecil dan cokelat yang mulai
mencair telah menunggunya di meja belajar. Kita tunggu sajalah dia.
“Ya iya, orang dia yang dipunyai cuma cinta aja kok, sedangkan
pacaran kan butuh nonton sama makan bareng juga. Pacaran butuh piknik
pokokna mah-lah.”
“Tapi percaya gak, bahwa ketika kebahagiaan itu telah hadir, uang
pun tidak dibutuhkan lagi.”
“Ya, tapi sayangnya uang itu yang membuat bahagia.”
“Yeee, ya gak melulu itu Kak, hati juga kan butuh kata-kata sama
perhatian yang benar-benar tulus. Percuma dong, kalo mikirnya uang aja,
sama aja kita menjual kebahagiaan kita dengan uang.”
“Sudah malam ini ah, sudah jam sembilan, Kakak pulang ya, besok
kita lanjutkan lagi Mel.”
“Iya Kakak.”
Selang beberapa menit setelah kata perpisahan itu, motor sport yang
dipakai Indra pun berjalan kencang. Suaranya begitu keren dan istimewa.
Sangat mahal sepertinya.
82
Teras kos Melina pun menjadi sepi kembali. Bulan yang sudah
menampilkan wajahnya dengan cantik, kini tak lagi kesepian. Melina, adalah
penikmat bulan yang sangat taat. Melina selalu menyempatkan waktu
sepuluh menit sebelum tidurnya, hanya untuk menatap bulan dan menulis-
kan puisi. Kesunyian adalah harapan bulan mencuri perhatian Melina.
Kali ini dia telah santai di kursi kamarnya. Jilbabnya kembali dilepas.
Daster bergambar hello kitty menjadi penutup body-nya.
“Maaf Heldy, aku tau kamu menungguku, aku kini bersiap menjadi
Engel.”
Melina mengajak surat itu berbicara. Dia tak lupa membuka cokelat
yang mungkin rasanya telah bercampur dengan air.
Engel, hari ini apa saja yang kamu lakukan? Aku harap kamu bahagia ya, dengan
senyuman tentunya kamu baca surat ini.
Oh iya, aku tidak mau menggantikan adikmu. Aku yakin dia jauh lebih spesial
dariku. Aku mau menjadi sesuatu yang baru, yang datang menyapamu untuk membuatmu
senang sebelum tidur.
Terima kasih, kini kita berada dalam dunia yang sama, aku telah membawamu ke
Planet Lenski.
Heldy
83
Melina mulai gembira dengan rutinitas barunya ini. Dia seperti
menemukan permainan yang baru.
“Aaah Heldy, siapa sih kamu sebenarnya? Mengapa tak kamu tunjuk-
kan saja wajahmu langsung di hadapanku?”
Melina cukup suka dengan apa yang ditulis Sam. Kata-kata yang
dipilih Sam menarik hatinya. Kini dia merasa bahwa Heldy dan Engel telah
saling mengenal dengan cukup baik, bahkan berdekatan.
Melina menyiapkan kertas berwarna biru yang tadi siang dia beli.
Bolpoinnya dia taruh tepat di sebelah kiri surat itu. Sebelum dia memberi-
kan balasan, dia ingin menghabiskan terlebih dahulu cokelatnya sambil
menatap purnama.
***
84
Merokok
Dalam setiap perubahan, tentu ada suatu hal yang baru. Sam kini
lebih bisa sedikit sabar, tidak terlalu emosian bahkan lebih sering tertawa.
Syukurlah Sam.
85
Apa yang kamu lakukan sudah benar Sam, karena jika itu terjadi, siap-
siaplah menyebar luas dari jangkauanmu Sam. Setidaknya itu menurut Rumi
dalam Maswani bagian “Kelinci Menyembunyikan Rahasia Pikirannya”.
***
Kantin tengah mulai sedikit sepi. Hari Jumat jam istirahat memang
tidaklah terlalu lama, hanya sekitar 25 menitlah. Sam dan gerombolannya
justru baru datang di saat anak-anak lain pergi. Seperti sudah menjadi
kebiasaan memang, mereka selalu telat pada hari Jumat.
“Bu, „panjang‟ tiga ya Bu.”
“Ini Bu.” Ogi menyalami tangan ibu warung itu, duit seribuan tiga
dibuatnya kecil dan menjadi satu.
Ogi memang sudah kenal betul dengan ibu itu. Saking kenalnya, Ogi
beberapa kali makan tanpa perlu membayar. Tidak hutang, tidak minta juga,
hanya pemberian saja.
86
Pria dengan rambut kribo ini kemudian mengomandoi Sam,
Benjamin, Erwin, dan Dayat menuju kamar mandi.
Satu lagi yang hampir saja lupa, yaitu belum memperkenalkan Dayat.
Dayat adalah pria bermata sipit dengan tinggi badan seimbang dengan Sam,
sekitar 169 sentimeter. Rambutnya lurus rapi dan perwajahannya satu-dua
dengan VJ Daniel. Cukuplah untuk diimajinasikan.
“Aduh iya.”
“Iya!”
“Naaaah!”
Sam dan Dayat memegangi pintu yang hampir rubuh itu berdua. Ada-
ada saja.
Toilet laki-laki kelas satu hanya terdiri dari dua kamar mandi dan lima
tempat kencing di luar. Berbeda dengan toilet wanita, dari awal sampai
ujungnnya seluruhnya kamar mandi.
“Merdeka ya!”
“Merdeka empat-lima!”
Begitulah caranya.
***
Kelas 10.3
“Iya Des, ini loh banyak sekali peralatannya tadi, dari praktek kimia
sampe fisika.”
88
“Ah ya sudahlah, aku tunggu di depan ya?”
“Iya, lebih baik begitu Des, daripada kamu kecewa karena menunggu.”
“Sudah kecewa.”
Desi melenyapkan diri dari sorotan mata Melina. Sepertinya dia punya
ilmu langkah seribu. Melina masih sibuk dengan barang-barangnya. Buku,
penggaris, tepak, bahkan botol-botol kimia dia masukkan satu per satu ke
dalam tas.
“Ah beres juga.” Melina menghela napas, ritsleting kantong besar
tasnya ditutup.
***
89
Surat Kedua Melina
“Belum Bu.”
90
Benjamin kini telah pergi. Bau kenalpot motornya meruak sampai ke
dalam rumah. Ya, lumayanlah menggantikan pewangi ruangan.
“Untuk apa?”
“Ada ujian seni musik Bah, besok tuh.”
“Latihan sih emang siang, tadi bikin rencana besok gayanya gimana.”
“Ooooo, lain kali jangan diulangi lagi yang begini, tidak baik pulang
sampai larut.”
Ayah Sam terlihat cukup kesal. Tetapi, tidak juga sepertinya, dia
kemudian melanjutkan santapan lalapnya.
91
Ibu memang pintar mengambil peran. Ibu selalu diam dalam keadaan
seperti ini. Dia sepertinya urung ikut campur, apalagi dua pria di depannya
adalah orang yang dia cintai.
“Abah mah bukan ngelarang kamu pulang malam atau gimana, cuma
rada gak sebanding aja dengan belajarmu.”
“Maksudnya?”
“Ya, bolehlah kamu itu pulang malem, asalkan, inget asalkan loh ini,
nilai ujian kamu, nilai ulangan harian kamu, itu sudah di atas delapan
semua.”
“Insya Allah berusaha Bah.”
“Tugasmu itu tidak banyak, orang tuamu pun tak menuntut lebih,
cukup kamu tanggung jawab dengan apa yang sedang kamu jalani saat ini
orang tuamu sudah senang. Kamu saat ini sedang diamanahi untuk belajar
di SMA. Oleh karena itu tanggung jawabmu itu belajar agar dapat nilai ujian
yang terbaik, dan lulus masuk perguruan tinggi yang sesuai keinginanmu.”
“Iya Bah.”
“Jangan pikirkan yang lain, pikirkan saja apa yang sedang ada di
depanmu Nak.”
“Siaaap komandan!”
***
92
Bulan rupanya sedang mencapai puncak purnama. Awan-awan di
sebelahnya menyingkir. Bintang-bintang pun terpandang malu. Indah sekali
pokoknya.
Sewaktu kecil, Sam pernah berbisik kepada ibunya. Dia terpukau
melihat malam yang begitu cantik. Dia meminta ibunya untuk menjaga agar
malam itu tidak tertidur. Ya, namanya anak kecil, imajinasinya kadang tak
masuk di akal.
Begitu sepi dan sunyi malam itu. Krikikan jangkrik pun begitu merdu
bak simfoni di tengah hari. Desiran angin kadangkala muncul membangkit-
kan bulu kuduk yang lesu.
Sam telah terbaring menghadap langit-langit kamarnya. Selimut
cokelatnya dibiarkan hanya sampai dengkul kaki. Tangannya meraba
mengambil amplop biru. Pelan-pelan surat itu dia angkat kemudian dia buka
pengaitnya dengan penuh keyakinan.
Aku mau tebak, kamu pasti Heldy kan, pria misterius itu.
Jika tebakanku benar, kamu boleh tersenyum sambil membayangkan wajahku, karena
aku juga sedang tersenyum.
Kemarin aku didatangi oleh seorang makhluk dari bumi. Dia mengantarku berangkat
sekolah. Malamnya, dia mengajakku bicara tentang sesuatu yang katanya cinta. Ah, cukup mena-
rik walau kadang membosankan. Untunglah ada cokelatmu yang mendaimakan perasaanku.
93
“Ah Melina, mengapa juga sampai kamu ceritakan masalah itu.
Suratmu yang bagus ini jadinya tampak jelek. Harus bagaimana ini aku?”
Sedih dan bahagiamu itu Sam, tergantung sebagai siapa kamu malam
ini. Jika kamu memposisikan dirimu sebagai Sam, kurasa mungkin kamu
sedih. Andaikata kamu saat ini adalah Heldy, ini sinyal terbaik yang perlu
kamu lanjutkan.
94
Penasaran
Kita tidak berjauhan, tidak pula saling mengabaikan. Kita hanya menunggu
Tuhan menentukan takdirnya, sederhana bukan - Bakhrul Amal
Setiap manusia di dunia ini selalu dikaruniai satu rasa oleh Tuhan,
rasa itu adalah rasa penasaran.
Manusia selalu ingin tahu. Manusia selalu ingin bisa seperti manusia
yang lainnya. Manusia selalu kepingin dapat mengerti tentang arti kehidupan
ini. Manusia selalu mencari rahasia bagaimana caranya agar dia dapat hidup
tenang dan damai. Dan pada akhirnya, manusia selalu penasaran.
Sam, sebagai dirinya yang tentu manusia, Sam merasakan apa yang
dinamakan penasaran itu. Sam memang tidur begitu cepat, akan tetapi Sam
menaruh cemas dalam pejaman matanya. Lelaki muda itu menerka-nerka,
siapa laki-laki yang sedang dekat dengan Melina itu? Apakah Sam sedang
cemburu? Ya, tidak ada yang tahu tentang hal itu.
Tenanglah Sam ….
95
Cinta itu tak bertanya siapa kamu, cinta itu hanya sekumpulan alasan
mengapa dia merasa nyaman bersamamu.
Jadi Sam, jika memang kamu penasaran, kamu juga semestinya harus
mempersiapkan hati dan pribadimu. Itu sih saran saja, selebihnya buktikan
sendiri.
***
Ketika Sam kecil, Sam mungkin masih disuguhi cerita tentang nama
sembilan planet. Salah satu dari sembilan planet itu bernama Pluto. Planet
yang letaknya paling jauh dari matahari.
Hari itu, 26 Agustus tepatnya, dunia astronomi mengeluarkan suatu
trobosan baru mengenai definisi planet. Planet haruslah memenuhi tiga
kategori yang terdiri dari, is massive enough to be rounded by its own gravity, is
not massive enough to cause thermonuclear fusion, and has cleared its neighbouring
region of planetesimals. Planet, kata para astronomi itu, adalah benda
astronomi yang mengorbit sebuah bintang atau sisa bintang yang cukup
besar untuk memiliki gravitasi sendiri, tidak terlalu besar untuk menciptakan
fusi termonuklir, dan telah "membersihkan" daerah sekitar orbitnya yang
dipenuhi planetesimal.
“Kamu harus tau itu, supaya nanti kelak kamu bisa bercerita pada
anakmu soal Pluto ini.”
96
Ayah Sam merangkul anak laki-lakinya dengan tangan kanan. Tangan
kirinya dia arahkan ke langit sembari menunjuk. Sarungnya terlihat sedikit
melorot karena tak dipegangi. Ada-ada saja memang ayah Sam.
“Oh begitu ya Bah.”
“Iya begitu.”
“Manusia pun sama berarti, kalau dia ngelakuin hal-hal yang jauh dari
kategori manusia, seperti memakan teman sendiri, membunuh layaknya
binatang, maka dia bukan manusia.”
“Sudah kok.”
“Asalamualaikum Bah.”
“Walaikumsalam.”
***
Kantin sekolah masih seperti biasanya, selalu ramai dan penuh
dengan segala macam transaksi jual-belinya. Sepertinya jajanan yang ada di
situ tidak pernah membosankan. Atau juga, karena apapun makanannya
semua memang rasanya menjadi enak ketika lapar? Mungkin itu bisa
menjadi salah satu alasan.
Hari itu, putih abu-abu tidak ada, yang ada hanyalah cokelat muda
dan tua. Ya, setiap hari Sabtu, seluruh siswa diwajibkan menggunakan
seragam pramuka. Entahlah, sejak kapan aturan itu dimulai, yang jelas
angkatan Sam ikut mengalaminya.
“Ga tau Sam, katanya sih pada siap-siap buat ulangan nanti habis
istirahat.”
98
“Ya, kayaknya sih pelajaran matematika.”
“Hahaha!”
Sam dan Erwin begitu asik berbincang. Mereka berdua tak sadar
sudah lebih dari delapan gorengan mereka makan. Nasi kuning yang semula
berada di atas meja pun telah lenyap dan menyisakan piring yang bersih.
“Mana kutahu Sam, coba tanyakan sama Desi, dia lebih paham
tentang hal ini.”
“Aku mah santai Win, kan selama janur kuning belum melengkung
semua masih punya kesempatan, hehe.”
“Iya kalau kesempatan itu datang buat kamu, kalau datangnya untuk
orang lain?”
“…”
Sam kemudian mendadak saja terdiam. Matanya menyorot jauh ke
kursi pojok yang jaraknya sekitar tujuh meter dari tempatnya duduk. Sam
berada di depan koperasi, sementara kursi itu ada di ruko makanan nomor
tiga. Gorengan yang ada di tangan Sam bahkan tak tersentuh akibat itu.
Di kursi yang menjadi perhatian Sam, ada dua orang wanita dan satu
laki-laki sedang berbincang. Dua orang wanita duduk membelakangi Sam,
yang laki-laki berhadapan mata dengan Sam dan Erwin. Jika menelisik dari
jilbabnya, salah satu wanita itu adalah Melina. Lalu, laki-laki itu siapa?
Belum sempat Sam memperhatikan lebih jauh Kak Indra, Erwin buru-
buru mengajak Sam balik ke kelas.
100
Kedua orang ini seperti raksasa dan kurcaci apabila sudah sejajar.
Tinggi Sam hanya sekitar 169 senti sementara Erwin 180 sentian. Ada gap
yang cukup jauh. Kasihan sekali kamu Sam.
“Yuk ah!”
“Sialan. Ini Bu, kembalinya besok lagi aja.” Sam menyerahkan sejum-
lah duitnya kepada Ibu Koperasi.
***
101
Yang Teramat Cantik
Kota Cirebon yang ada pada cerita ini adalah Kota Cirebon yang
masih begitu sepi. Belum banyak mal ataupun cafe yang bisa didatangi.
Jumlahnya masih sangatlah sedikit. Tidak jarang tempat seperti Mesanin di
Grage Mal, Lesehan Kartini, Mi GET, serta kedai susu murni menjadi
tempat yang laris dan dikenal. Jika sedikit bosan maka bioskop adalah obat
penawarnya. Meskipun begitu, dahulu selalu saja lebih indah dari saat ini,
entah kenapa.
Taburan bintang di langit begitu memesona. Putih-putih awan bak
kapas menghiasi dinding penutup bumi. Bulan menampakkan sabitnya yang
tipis seperti ujung pedang yang melengkung. Kerlip-kerlip cahaya dari
pesawat yang melintas pun tak urung ikut memanjakan.
Jarak memang jauh tapi hati keluarga selalulah dekat. Melina amat
merindukan ayahnya di Rusia. Sudah lama juga mereka tak bertemu.
“Lancar Ayah, semua ulangan kemarin aku dapet sepuluh. Aneh kan
Yah? Mudah-mudah soalnya.”
“Iya Ayah.”
“Hehe, iya, ya udah kamu sana mandi ah, katanya belum mandi.”
“Iya Ayah.”
“Benerlaaaah, emang Ayah suka bohong, hari ini bilang pulang tapi
baru bulan depan beneran pulangnya.”
***
104
Beruntungnya mereka yang mempunyai tujuan malam ini. Bahagianya
mereka yang tahu dengan siapa mereka harus menyusuri setiap detik momen
ini.
“Gi, katanya ada anak-anak di sini, kok kosong?”
“Iya Gi, kalau lagi di jalan itu tandanya masih siap-siap, lagian kamu
kesorean jemput aku.”
Laki-laki itu adalah Sam dan Ogi. Sam memulai duduk di kursi
warung terlebih dahulu. Ogi kemudian menguntiti tingkah laku Sam.
“Udah ah, rambut mau diputer-puter gimana pun gak bakal lurus Gi.”
105
“Ye, usah Sam.” Ogi tak sempat menoleh. Dia teruskan usahanya
merapikan rambutnya yang kribo. “Lurus kan?”
Bapak warung tak perlu waktu lama datang menghampiri dua anak
muda itu. Sekalipun memakai sarung, dia terlihat tak repot membawa satu
gelas kopi hitam.
“Lah iya, kalo warung tutup Mas Ogi mau nongkrong di mana?”
“Hahahahaha!”
“Bapak kan udah tua ya Pak, maaf Ogi lupa Pak hahaha!”
“Loh-loh, malah ngomongin umur. Gini loh Mas Ogi, tua dan muda
itu bukan perkara hitungan tahun, tapi soal pikiran. Selama yang dipikirin
orang itu masa depan, sekalipun umurnya tua kaya Bapak ini, dia tandanya
masih muda. Tapi misalkan ada anak muda ngobrolinnya masa lalu, itu dia
kayaknya sih bukan muda lagi, tapi udah tua. Jadi selama masih berpikir dan
kerja buat masa depan, Bapak masih muda.”
106
“Bilang aja mau disebut awet muda, muter-muternya jauh banget
Pak.”
Sam dan Ogi rasanya kedinginan. Jaket yang mereka kenakan sama
sekali tak dilepaskan. Dua sahabat itu pun memakai celana panjang yang
kelihatannya jeans tebal.
Benjamin, Erwin, Dayat, dan Anto belum juga hadir. Sudah setengah
jam lebih. Kopi Sam bahkan hampir menyentuh dasar gelas. Rokok milik
Ogi juga tinggal tersisa dua batang. Dari dulu sampai sekarang tak pernah
berubah, hal yang menjengkelkan itu tetap sama namanya, yaitu menunggu.
***
Melina terlihat begitu rapi. Dia berdiri di depan gerbang kos. Baju
merah dengan poldakot putih menutupi auratnya. Jilbab abu-abunya mem-
bungkus dengan manis. Celananya yang hitam dan sedikit mengatung
terlihat sungguh serasi.
107
putih dibiarkan polos apa adanya. Kacamatanya tak dia gunakan malam itu.
Kecantikannya sungguh terpancar.
“Oke Kak.”
Melina dan Kak Indra sudah sangat-sangat akrab. Tidak ada yang tahu
dari kapan mereka mulai berkenalan. Bahkan Desi pun tak pernah mengerti
soal ini.
Benar saja.
108
“Saaaaaammmmudra, Sam!” Melina berteriak begitu keras ketika
melewati SMA N 1 Cirebon.
“Mana Gi?”
“Itu!”
“Dia siapa?”
“Melina Gi.”
“Maksudmu?”
“Hahaha!”
109
Sam tidak berpikir terlalu jauh. Melina masih ingat dengan dia pun
dia sudah senang. Tidak mudah bagi seseorang mengingat perkenalan
singkat satu minggu yang lalu.
Malam ini seolah menjadi “kelam bagai malam 27”. Satu kebahagiaan
datang dengan masalah yang belum terungkap. Siapa lelaki itu? Statusnya
siapa di hadapan Melina? Itulah teka-teki yang harus kamu segera pecahkan
Sam. Tapi sejenak berbahagialah dulu.
“Kamu suka?”
“Insya Allah sepertinya.”
Ogi menatap wajah Sam yang terus memandang jalan. Heran di bola
matanya tak tertutupi ketika Sam menjawab kata suka dengan Insya Allah.
Tidak nyambung. “Kadang memang ada hal yang kita suka, tetapi tidak bisa
kita miliki Sam, termasuk dia.”
***
110
Bahagia Mel,
Tak tahulah film apa yang mereka (Kak Indra dan Melina) tonton
malam itu, yang jelas, di tahun 2006 rasanya tidak ada film yang lebih
menarik daripada “Realita Cinta Rock n Roll”. Titik.
“Iya Mel gak apa-apa, Kakak juga seneng kok bisa jalan sama kamu.”
“Iya Kak sama-sama.”
“Sama seneng?”
“Hehe.”
“Gak mampir?”
“Udah jam sepuluh, waktunya Tuan Putri masuk kamar dan tidur
nyenyak.”
“Iya.”
111
Bagaimanapun Melina menutupinya, semua pasti tahu kalau Melina
tampak bahagia. Kakinya sangat riang dan tanpa beban. Tangga-tangga kecil
dia naiki sambil berdendang. Oh, Mel, semoga saja kegembiraanmu ini tak
merisaukan Sam.
Tak perlu waktu lama untuk Melina berganti kostum. Jilbabnya kini
tak lagi menutupi rambutnya yang kemerah-merahan. Matanya indah bak
mentari yang berpendar. Hidungnya yang mancung menguang-nguap
memancing mulut tipisnya mesem.
Melina tidak mungkin lupa pada tugasnya. Dia tipe orang yang tidak
pernah mau menunda pekerjaan. Melakukan hal itu, kata Melina, sama
dengan menumpuk beban pada pundak yang terlanjur berat. Dan tugasnya
malam ini adalah, membaca dengan sukacita surat dari Sam.
“Aku penasaran, apa lagi yang kamu ceritakan padaku surat rahasia?”
Berbahagialah Engel, karena ada orang yang mau mendekatimu yang tentunya
pasti untuk membuatmu bahagia, harapku.
Aku selama ini belum pernah merasakan seperti apa yang kamu rasakan. Aku
hanya bisa mengintip dalam keraguan. Aku belum berani menjadi seorang pengungkap
cinta yang baik.
112
Hari-hariku sepertinya mulai kini akan dipenuhi oleh rasa penasaran. Aku sendiri
tak tahu penasaran untuk apa.
O iya, aku belum sempat ke Berlin, pesawatku tiba-tiba saja kehabisan bensin. Dan
kamu tau Engel, aku bersyukur karena dengan begitu aku bisa lebih lama diam di Cirebon,
memperhatikanmu.
Semoga kamu dalam keadaan yang bahagia.
Heldy
Isi dari bungkus surat yang sederhana itu teramat spesial bagi Melina.
Kata-kata memang ajaib, dia mampu memainkan perasaan pembacanya.
Melina begitu beruntung, kegembiraannya malam ini berlipat tanpa perlu
dia memesannya.
Seandainya aku bisa langsung membalas suratmu, kamu pasti akan tahu
kalau malam ini aku teramat bahagia. Kak Indra dan suratmu telah mengisi
kesepian malamku. Aku harus adil, namun aku tak tau bagaimana harus
membaginya. Terima kasih. Melina mengendapkan kata-kata itu tepat di dalam
hatinya. Dia menyimpannya sampai Senin tiba.
***
113
Tidak ada hari yang sia-sia bagi Melina. Termasuk hari libur. Jika ada
orang yang paling sibuk di kosan pada hari minggu, mungkin Melina
jawabannya.
Semua penghuni masih tertidur. Kamar-kamar pun terkunci rapat tak
bersuara. Melina telah siap dengan peralatan bersih-bersihnya.
Sekitar jam delapan pagi. Handuk telah melingkari kepala Melina.
Celana jeans pendek dipakainya. Kaosnya kini bukan seragam, tapi oblong
hitam bertuliskan “caliban”. Tangannya memegang sapu.
“Ayolah Mel.”
114
“Paling sepuluh menit Kak Linda, terus udah deh baru bisa masuk.”
Kak Linda kemudian menyeruput teh yang ada di atas meja. Meja itu
berada di tengah sehingga memisahkan kursinya dengan Melina. Kak Linda
sengaja membawa teh itu dari kamarnya.
“Hmm, o iya Mel, kamu gak keluar hari ini?”
“Melina dapet tugas dari Ayah untuk selesain dua novel ini, kayaknya
ini lebih penting daripada main gak jelas Kak.” Melina menunjuk buku yang
ada di atas meja. Dia juga memperlihatkan buku yang ada di tangannya.
“Wuiih, apa ini „Dunia Sophie‟? Ini satunya apa, „Dr. Zhivago‟,
penulisnya siapa itu Mel? Kakak gak bisa kebaca.” Kak Linda memelototi
salah satu buku yang Mel tunjukkan. Dia ingin tahu penulis dari buku
tersebut. “Ah siapa itu Mel? Tidak terbaca.”
115
“Ih enak tau Kak!”
“Enaknya?”
“Kita bisa berimajinasi dan berjalan-jalan ke tempat yang kita sendiri
gak tau itu di mana tapi kita seneng. Ya, menyenangkan pokoknyalah.”
“Tapi kan orang beda-beda Mel. Jangan harap kamu bisa membujuk
Kakak untuk jadi pembaca juga.”
“Coba deh baca ini „Dr. Zhivago‟, Kakak bisa tau kondisi Rusia ketika
revolusi. Dr. Zhivago ini salah satu orang yang digambarkan menjadi saksi
bagaimana mencekamnya keadaan Rusia saat itu.”
Kakak-beradik yang ketemu besar itu terus saja mengobrol hingga azan
zuhur berkumandang. Mereka tertawa berbagi cerita. Tema yang diangkat
bermacam-macam, dari mulai keluarga, cinta, bahkan teman. Ya, wanita
memang seperti sudah menjadi takdirnya, suka bicara dan doyan cerita.
***
116
Senin
Bendera merah putih mulai naik, sedikit demi sedikit. Lagu Indonesia
Raya berkumandang begitu keras dan merdu. Suara wanita serta laki-laki,
baik tua dan muda, saling bersautan dengan irama nada yang sama. Sungguh
kompak dan membuat bulu kuduk merinding.
Siswa berbaris cukup rapi. Mereka berdiri lurus mengikuti kelasnya
masing-masing. Kepala mereka ditutupi topi abu-abu. Baju-bajunya dimasuk-
kan sehingga sabuknya muncul mencolok. Celananya pun begitu mengilap
dan serasi dengan sepatu hitam putih.
“Iya ya.”
117
Ogi dan Benjamin berdiri saling bersebelahan. Mereka sama dengan
murid-murid lainnya, mengeluh dan mengumpat apabila sudah waktunya
pembina upacara bicara.
“Heh jangan ngobrol, tegak-tegak!”
Pak Heri menendang kaki Benjamin dan Ogi dari belakang. Guru
olahraga yang memiliki badan kekar ini tak lupa menjewer kecil telinga Ogi.
Upacara itu tidak hanya diisi oleh cerita murid dambleg seperti
kelompok sepuluh-tujuh saja, kadangkala juga ada beberapa murid yang
pingsan karena lelah berdiri. Tidak sedikit pula yang bersiul-siul ketika
pembina upacara menyampaikan pidato yang menarik. Ada juga yang diseret
ke depan lapangan karena tidak membawa topi atau karena memakai sepatu
warna-warni. Benar-benar seru.
***
118
“Sam, Sam, itu Sam!”
“Hah?”
“Cepet ah sini!”
“Iya, iya!”
Kiky memarahi Sam, namun itu tak menjadi masalah. Sam tetap saja
melompat satu demi satu sampai ke meja Erwin yang ada di bagian kanan.
“Ya udah.”
“Kenapa?”
119
“Biar bisa lebih jelas aku menatap wajahnya.”
“Siap ya?”
“Iya.”
“Melinaaaa!”
“Heeey, assalamualaikum!”
Angin berembus entah dari mana. Sam merasakan kesejukan itu. Dia
tak membalas salam, namun membalas senyum Melina.
“Hey Sam!”
“Mel, Mel!”
“Tunggu Mel!!!”
120
Sam dan Erwin hanya melongo. Para pengagum Melina itu menunggu
apa yang hendak dikatakan Kak Indra. Mereka masih setia menonton di
balik jendela.
“Iya Kak, kenapa?” Melina menjawab pelan penuh kelembutan. Halus
sekali suaranya.
“Aku ikut ya?”
Sam menyimpan nama itu di dalam pikirannya. Dia mulai tahu nama
kakak kelas itu, yang biasa mendekati Melina, adalah Indra.
“Eh eh eh, tapi jangan ikutin Mel, ini kan ke arah tempat perempuan,
Kakak lurus aja, Kakak kan laki-laki.”
“Oh beda tempat ya, lupa.”
“Iya Kak.”
121
Jangan emosi Sam, salahmu diajak salat tidak mau. Kamu sendiri yang
membuang kesempatan itu, masa kamu tega memarahi dirimu sendiri yang
kamu cintai.
***
Kelas 10.7
“Engga.”
122
“Aduh, laki-laki pake poni, mampus ilang ponimu sekarang.”
Selain upacara dan melihat Melina salat dhuha, hari Senin juga
seringkali menyisakan hal yang menyedihkan bagi sebagian siswa. Sebagian
siswa itu adalah mereka yang berambut panjang dan berpakaian tidak sesuai
standar aturan.
Salam kepergiannya selalu saja tak lebih ramai daripada salam ketika
menyambut kedatangannya.
***
123
Cinta
“Kenapa Des?”
“Huuuu, dasar!”
“Hahaha!”
“Gimana apanya?”
“Ya kalau bosen ya udah, baru PDKT aja udah bosen, gimana nanti
kalau dia sama aku lebih lama?”
“???”
“Cinta itu bukan cepat atau lama, tapi cinta itu soal kenyamanan.
Sejauh ini aku belum menemukan alasan yang tepat kalo dia bisa buat aku
nyaman.”
“Tapi kan …”
“Tapi kan dia udah nganter aku pulang, jemput aku berangkat, ngajak
aku jalan malam minggu. Itu Des?” Melina menyeka ucapan Desi.
“Ah, itu mah jangankan Kak Indra, Mang Sabar tukang becak depan
kosku juga bisa. Cinta itu ga segampang itu Des. Dia belum bisa buat hatiku
ngerasa beda dengan kehadirannya. PDKT-nya masih umum.”
“Ya kalau dia suka sama kamu gak papa, sayangnya enggak deh
kayaknya.”
***
“Mungkin ya Pak.”
126
Sam sudah duduk manis di sebelah Pak Cegu, sopir angkot
andalannya. Saat itu Pak Cegu hanya menggunakan baju putih polos.
Topinya tetap, warna merah dengan bintang kuning di tengahnya.
Sepertinya topi itu sudah menjadi patennya.
“Loh, sudah dua bulan lebih masih sendiri, SMA kamu itu cewenya
cantik-cantik.”
“Bapak aja sok yang pacaran sana sama temen SMA-ku, mau ngga?”
“Ya kamu santai, itu ada Mbak di belakang cemberut terus, kayaknya
buru-buru.”
“Sampe pacaran.”
“Aaa iya, anak SMA itu minimalnya harus merasakan pacaran.”
“Untuk?”
“Untuk merasakan kalau cinta masa-masa SMA itu lebih indah dari
masa-masa apapun.”
“Bukan playboy Nak Sam, tapi emang rasanya itu istimewa. Nungguin
di depan kelas, nemenin makan di kantin, ngerjain tugas bareng. Nah, yang
serunya kalau sudah ada yang deketin, pasti berantem.”
“Aku kira Bapak lahir langsung tua, pernah muda juga ternyata ya.”
“Bapak dulu ceritanya gimana bisa punya pacar sampe tiga kali itu?”
“Bagi Bapak cinta itu sederhana. Ketika kamu merasa ada seorang
wanita yang membuat kamu gelisah, membuat kamu ngerasa gak bisa tidur,
membuat kamu takut kalo sehari saja gak denger kabarnya, ketika itu kamu
kudu segera nyatakan perasaanmu. Itu namanya cinta.”
128
Sam melamun saja. Dia menerima tanpa penolakan. Kata-kata Pak
Cegu mengiang-ngiang terus di telinganya. Sam mengetuk-ngetuk hati kecil-
nya, itu Melina, Sam. Itu Melina, Sam. Wanita itu, yang seperti diceritakan Pak
Cegu, itu Melina, Sam. Hati Sam terkoyak-koyak kebimbangan.
***
Ruang makan itu selalu saja sepi jika sore menjelang. Sam dan ibunya
duduk berdua berhadapan. Suara sendok ting, ting, ting kedengaran menjadi
pengiringnya.
Menu sore hari tak pernah berubah. Sam selalu dimasakkan ibunya
sop ayam. Ibunya menganggap Sam begitu kurus, sehingga daging dinilai
sebagai solusinya. Tetap saja sih, walaupun sudah sering disuguhi makanan
berlemak, Sam masih saja kurus ceking.
Wajah ibu Sam begitu teduh. Rambutnya dibiarkan terurai pendek,
tak sampai leher daster kembang melati berwarna hitam dan putih
andalannya.
“Kalau ada Abah jangan pake pakaian kaya gini, bisa disemprot
kamu.”
129
Sam selalu saja ngeyel. Dia pantas dikatakan ndableg3.
“Karena orang baik untuk orang baik dan orang jahat untuk orang
jahat.”
“Bukan begitu juga, jahat mah engga, cuma gak bisa rapi dan gak bisa
ngurus diri sendiri.”
“Pacar Bu.”
“Lah, lalu kenapa kamu nyuruh dia ngurusin kamu? Yang ada saling
melengkapi, saling menyayangi, dan saling membahagiakan.”
3
Dalam istilah jawa diartikan orang yang susah diatur dan nakal.
130
“Kalau itu kesadaran masing-masing.”
“Seandainya kamu cinta sama dia karena alasan, maka cinta itu akan
hilang seiring dengan hilangnya alasan-alasan itu.”
“Maksud Ibu?”
“Ya misalkan kamu suka sama perempuan karena dia ngurusin kamu,
pas dia ga ngurusin kamu lagi, pasti cinta kamu itu akan hilang juga, mini-
malnya marah dan sewot.”
“Ya iya, jangan ngajarin orang tua soal beginian, Ibu lebih ngerti.”
“Iya, iya Bu.”
Sam, luar biasa harimu. Dua pesan cinta menyeli-muti Sam dalam satu
hari. Yang pertama ungkapan dari Pak Cegu. Kedua dari tutur kata ibunya
yang meskipun kesal namun benar.
Sam mungkin akan memikirkan banyak hal nanti malam. Dia tidak
bisa tidur. Dia akan bayangkan pesan yang amat banyak itu, sampai dia
memilih satu yang paling tepat. Yang pasti, tentang cinta itu tidak jauh juga
dari isi surat ketiga yang diberikan oleh Melina.
***
131
III
Persahabatan
132
Menegangkan!
Dua batang rokok telah habis dibakar Sam. Wajahnya masih saja
muram tak jelas.
Surat Melina tampak bersih di atas meja. Biru menyala. Surat itu tak
terbang diterpa angin dan tak goyah ditimpa kebimbangan perasaan. Surat
itu siap membolak-balikkan hati Sam malam itu.
“Aku buka tidak ya?” Sam menggumam sedikit. “Jujur, baru kali ini
aku takut menerima kenyataan. Kenapa juga sih malam minggu kemarin
harus ketemu dengan Melina? Ah, bersama laki-laki lagi. Kacau.”
133
“Jika isi surat ini memang membuat aku harus melupakan Melina, aku
belum siap. Jika surat ini berisi kabar bahagia pun, untuk apa sebenarnya?
Apakah alasan seorang Samudra lahir itu untuk wanita sesempurna Melina?”
Neil Amstrong ikut mengomentari kegelisahan tuannya. Fotonya yang
memegangi tiang bendera Amerika, seperti bicara. Bagaimana nasib penga-
gumnya itu, dia ikut merasakan kegundahannya.
Jangan marah bila aku menyebutmu begitu, karena kamu memang orang asing.
PELANGI
134
Oh iya, kemarin aku akhirnya jalan dengan laki-laki itu, ya, laki-laki yang sudah satu
bulan ini mendekatiku.
Aku tak tau, aku heran, belum juga muncul perasaanku padanya. Padahal aku lihat dia
begitu serius.
***
Masih pagi memang, tapi tak sepagi biasanya. Suara sepatu bisa
terdengar, walaupun mulai tertutup alunan ayat suci dari speaker masjid.
“Belum, nanti biar aku tanya saja ke Ali, aku pergi ya.”
“Oke, hati-hati.”
“Iya.”
135
Sam berlanjut menuju kelasnya. Kepalanya berkeringat. Badannya
begitu dingin dan pucat. Dia pusing tujuh keliling. Tingkahnya diketahui
oleh salah seorang murid kelas sepuluh-tiga.
“Ah sial, kalau orang itu tau gimana ya? Bisa bocor semua rahasia ini.
Untung aku sudah tidak berada di mejanya.”
Ceroboh sekali. Hari itu Sam berangkat kesiangan dan nekat menaruh
suratnya.
Semoga saja niat baikmu itu terlindungi Sam. Untunglah seorang
yang memergoki tingkahmu itu tak mengenalimu.
***
“Mang, aku pesen mi goreng kering, sayurnya banyak ya. O ia, basonya
dua, tapi cekernya cukup satu aja.”
Manis sekali wajah Melina pagi itu. Setelan olahraga kini menjadi
penutup auratnya. Jilbabnya putih bersih seperti baru dibeli dari toko. Benar-
benar wanita yang rapi dan pandai menjaga kebersihan.
“Tau gak, tadi itu ngapain sebenernya kita disuruh kayang tuh? Aneh
kan?”
“Ya namanya juga pelajaran olahraga Desi, kayang kan bagian dari
olahraga.”
“Iya, tapi apa mungkin nanti pas di kelas kita kayang-kayang di depan
guru kalo lagi pegel-pegel, paling kan peregangan aja.”
Melina selalu berusaha menjadi pendengar yang baik. Desi tidak kalah
terus berperan sebagai komentator. Kedua wanita muda itu serasi karena
136
saling melengkapi. Perbedaan yang mereka miliki bukan berarti dipermasa-
lahkan, akan tetapi justru dipersatukan.
“Ga tau Des, semenjak baca buku „Becoming Vegan’ karya Brenda Davis
dan Vesanto Melina, aku jadi belajar menyukai sayur.”
“Gak banyak sih, jadi penyuka vegatarian itu namanya vegan. Di buku
itu ditulis gimana caranya menjadi vegan, salah satunya menghindari susu
dan telur.”
“Aku juga belum bisa sih Des, makanya belajar. Yang aku tau buku itu
bilang kalau jadi vegan kamu juga sudah menjadi pendiet yang baik.”
“Hahahaha!”
“Des aku mau tanya deh sama kamu, gantian, ini agak serius, boleh?”
137
“Boleh sih, apa yang gak buat kamu Mel?” Desi memeluk Melina dari
samping. “Kita kan sahabat.”
“Makasih ya. Tadi malem aku mikir ya, setiap malem kita selalu nyetel
alarm kan?”
“Padahal kan kita belum tau jika besok kita masih hidup atau gak.”
“Iya sih.”
“Apa emang?”
“Ya itulah yang disebut dengan harapan.”
“Aku kan gak pernah tau Kak Indra itu serius atau engga sama aku,
aku juga gak tau sampe kapan dia mau terus ngejer aku, tapi dia gak pernah
nyerah, padahal kan dia tau bisa aja aku gak suka sama dia.”
“Tapi ada hal yang selalu menguatkan dia, bahwa siapa tau esok aku
bakal suka sama dia.”
138
Tiba-tiba saja Ibu Koperasi telah berdiri tepat di belakang mereka
berdua. “Hayo, hayoooo, mulai pacar-pacaran.”
“Gini loh gini Non, Non, yang cantik. Ibu tau Dek Melina itu
orangnya kalem, pintar, dan rajin sembahyang.”
“Loh ada anak kelas satu yang suka memperhatikan Dek Melina, mesti
gak sadar toh?” logat jawa Ibu Koperasi terdengar medok. Maklum, dia
berasal dari Banyumas.
“Ya gaklah Bu, kalo sadar juga Mel gak bakal tanya, hehe.”
139
“Siapa sih Bu?” Desi penasaran. “Melina itu sok laku ya Bu, sok jual
mahal.”
“Sudah, sudah, malah berantem lagi nanti, pokoknya anak itu tau
betul tentang Melina, siapa dia, nanti kamu bakal tau sendiri. Dadah, Ibu
pergi dulu.”
“Buuuuuu!” Melina menjerit meminta Ibu Koperasi kembali.
“Iseng aja tuh dasar ibu-ibu biang gosip,” Desi melempar sedotan
sambil memaki.
Dua wanita itu kesal dengan penuh rasa penasaran di dalam hati.
***
Suatu ketika Bunda Teresa pernah berkata, jika kamu suka mengha-
kimi seseorang maka kamu tidak memiliki waktu untuk mencintainya.
Artinya, berikanlah ruang pada kesalahan itu kebaikan dan kebaikan itu
140
kesalahan, sehingga kita dapat objektif. Lalu kapan kita mulai melakukan
sikap mulia itu? Bunda Teresa menyuruhnya untuk segera hari ini juga kita
lakukan kebaikan itu, “karena kemarin telah hilang, besok pun belum
datang, kita hanya punya hari ini.”
“Kamu membantu?”
“Itu yang jadi intinya, ketika kamu melihat, tapi tidak melakukan
apapun, itu sama saja dengan kamu tidak melihat. Apa bedanya, tidak ada!”
141
“Iya juga sih ya, Bah.”
“Seperti menolong orang yang mungkin aja dia jahat sama kita, kaya
modus pencurian akhir-akhir ini tuh?”
“Nantilah, kata hatimu akan dengan sendirinya paham soal kaya gitu,
sekarang lakukan yang sederhana saja dulu. Misalnya bantu nyuci piring,
ngepel rumah, dan banyak lagi Sam.”
“Oh iya, membantu juga bisa membuat hatimu tenang, coba aja.”
“Iya Bah.”
***
142
Dua Rasa
Melina mengalami dilema itu malam ini. Dia begitu lemas-lesu ketika
Indra terus mengejar dan surat dari Heldy tak kunjung henti berdatangan.
Indra dan Heldy menunjukan mereka yang terbaik, mereka yang pantas
mendampingi Melina. Keadaan tentu menuntutnya memilih, tapi hati
Melina bebas, bahkan untuk memilih menolak keduanya.
Andai kata ini bukan campur tangan Tuhan, mungkin Melina sudah
jauh meninggalkan hal-hal ini. Melina begitu taat, hidupnya mengalir dan
percaya sudah ditentukan. Setiap titik dalam tulisan pun menurutnya adalah
143
isyarat Tuhan. Semua serba harus penuh makna baginya. Mungkin
mengakhiri salah satu pria yang getol merebut hatinya pun harus dengan
kesan yang istimewa. Melina, Melina, bersabarlah, semua yang terburu-buru
pasti tidak akan pernah baik.
“Iya Kak.”
Kak Linda dan Melina kini sudah duduk berdampingan di atas kasur
kamar Melina.
“Kakak dipaksa nikah sama orang tua Kakak, tapi Kakak ga mau.”
“Alah, kamu masih kecil Mel, jadi belum banyak tau. Biar Kakak
cerita dulu, kamu dengerin aja.”
144
“Iya Kak iya.” Melina hanya bisa pasrah. Rambut kemerah-
merahannya dia ikat. “Ya uda cerita sok.”
“Kakak bukannya ga mau nurut sama orang tua. Cuma, Kakak itu
udah punya pasangan lain yang menurut Kakak lebih baik. Kamu tau kan
Kakak udah punya cowo?”
“Iya tau Kak.”
“Nah, kamu tau juga kan suka ada cowo yang datang ke sini bawa-
bawain oleh-oleh?”
“Kak Rudi?”
“Tapi kan cowo yang satunya itu baik Kak, kasian dia.”
“Nah dia baik kan karena dia mau sama Kakak. Mungkin karena
Kakak cantik, Kakak baik.”
“Mau Kakak, ya, Kakak sama si Rudi.” Kak Linda sedikit tersenyum.
“Rudi itu bisa ngertiin Kakak, dia lebih dewasa, dia tau kekurangan Kakak,
dia juga udah lama kenal Kakak.”
145
“Emang kenapa sih Kak, ribet banget? Cowo pilihan keluarga Kakak
juga pasti gitu juga. Baik, suka bawain oleh-oleh, dan lain-lain deh.”
“Ya, tapi cinta itu bukan sekadar kaya gitu Mel. Cinta itu masalah
kenyamanan. Ketika kamu ngerasa bahwa dia datang karena alasan, kamu
pasti gak tenang karena kamu akan dituntut untuk menjadi alasannya terus.
Tapi ketika cinta itu datang dengan ketulusan, cinta itu tidak perlu alasan,
dia hanya ingin melengkapi hidup kamu aja.”
“Ada beberapa alasan kenapa kamu perlu orang yang cuma bisa
ngedenger dan memahami curhat kamu. Bukan orang yang sok-sokan
memberikan solusi, tapi gak jelas.”
“Hehehe.”
Pintu kamar kembali tertutup. Dua pasang bola mata yang semula
ramai, saat ini kembali menjadi satu pasang. Melina sendiri lagi.
146
Dia kini merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk. Langit-langit
kamarnya yang putih dia pandangi. Pusing, cemas, dan keraguan muncul
bergumul dalam pelukan guling.
***
Cintaku tak pernah beralasan, datang dan bangun dengan sendirinya. Sama seperti
harapan yang seringkali kita taruh pada jam beker. Gak jelas.
Aku selalu berdoa yang terbaik untukmu. Doa memang barang paling murah dan
sederhana, tapi doa itu akan mengiringi langkahmu dengan harapan-harapan yang baik.
Heldy
Suka atau tidak suka, Melina harus membalas surat dari Heldy.
Surat itu tergeletak bersih di atas meja belajar Melina. Amplopnya di-
buka rapi dan tepat berada di sampingnya. Buku-buku berserakan di antara
keduanya. Sungguh indah dan menyejukkan orang yang memandangnya.
“Na na na na …”
147
Rambut Melina masih basah. Melina mengusapinya dengan handuk,
cukup keras, cukup memaksa.
***
“Ih keren!”
148
pun harus sama dengan Kak Linda, segera mengambil keputusan. Hanya
waktunya saja sepertinya belum tepat.
Melina sedikit kepikiran tentang Kak Linda. Benar juga ya, cinta yang
dengan alasan itu tak berujung baik.
“Belum Kak, lagian siapa yang mau sama cewe kampungan kaya gini?”
“Kampungan gimana? Kamu itu smart, lucu, dan banyak hal-lah yang
bisa bikin orang gampang terpikat.”
“Sabar, orang baik pasti akan datang pada waktu yang tepat Mel.
Mungkin sekarang, mungkin besok, mungkin juga nanti.”
149
“Amiiin.”
“Dadah Melina!”
“Daaah!”
***
150
Tenang
Adrien Brody cukup senang pada malam Oscar tahun 2003. Film The
Pianist mengantarkannya menjadi aktor terbaik kala itu. Senyum dan tangis-
an haru mewarnai kesuksesannya.
Sebagian orang mungkin ingin menjadi Adrien Brody pada saat itu.
Mereka kemudian mengecat rambut, menyisir, dan berpenampilan layaknya
pemecah rekor termuda pemenang Oscar itu. Mereka kadang lupa, bahwa di
balik kesuksesan itu ada pengalaman yang mahal, yang tak bisa diuangkan.
151
Penghargaan nyatanya menciptakan dua hal, yang pertama adalah
kebahagiaan dan yang kedua kesedihan. Adrien Brody merasakannya malam
itu. Pengalaman yang dia lalui selama membuat film itu membuatnya sadar,
di belahan dunia sana, ada kesedihan yang mendalam yang tak sama dengan
kebahagiaannya malam itu. Dia mengajak kepada seluruh penonton, tidak
peduli agama, suku, dan dari mana mereka datang, mereka diminta untuk
berdoa demi perdamaian.
***
Jika kalian pernah datang ke Kota Cirebon pada tahun 2006, maka
kalian beruntung. Kota Cirebon dulu belum seramai saat ini. Bangunan-
bangunan tinggi belum berdiri. Aneka tempat makanan siap saji pun masih
terbatas. Suasananya begitu asri dan menyegarkan meskipun sama panas.
Ada beberapa tempat yang sangat indah untuk dinikmati di Kota Cire-
bon. Selain Puncak Gronggong, Pelabuhan Cangkol adalah salah satu yang
terbaik. Dahulu masyarakat bisa bebas masuk. Sekarang sudah tidak lagi.
152
Rutinitasnya berlanjut. Sam tidak pernah berubah. Setiap kali kesedih-
an datang menyapanya, dia selalu memilih luasnya lautan sebagai tempat
berkeluh-kesah. Kadang berteriak, kadang hanya tertunduk lesu dalam
khayalan.
Baju seragam putih dan abu-abu masih melekat. Sandal jepit menjadi
alasnya.
Mereka kini duduk berpangku batu. Mata mereka lurus tajam meman-
dang birunya lautan. Sesekali ada perahu nelayan melintas mengganggu ta-
tapan mereka yang serius. Ah, meskipun begitu, tetap menyenangkan kok …
153
“Tentang apa emang?”
“Coba dulu, baru kamu bicara lagi sama aku.” Mus sedikit tertunduk.
Kemudian kepalanya naik lagi. “Gini ya Sam, cinta itu bukan perkara kamu
melihat lalu kamu suka. Cinta itu lebih jauh daripada soal senang dan tidak.
Cinta melibatkan perasaan yang kadang kamu sendiri ga bisa sadar kalau itu
namanya cinta.”
154
“Ah sudahlah, lupain aja Mus, bercanda lagian.”
“Intinya cinta tuh ketenangan. Kamu kudu siap sedih karena di balik
kebahagiaan itu pasti selalu beriringan dengan datangnya kesedihan. Jangan
lupa.”
“Iya Mus iya.”
Mustopha umurnya lebih jauh sepuluh tahun di atas Sam. Sam sudah
menganggapnya seperti Kakak sendiri. Itulah kehidupan di jalanan, tak pe-
duli kapan mereka bertemu, tak peduli seberapa jauh batas umur, tak ada
kegilaan untuk dihormati, semua dianggap rata dan sama.
“Maksud kamu?”
155
“Ya cinta gak ada hubungannya sama buru-buru atau lama-lama, cinta
itu kecocokan. Sekalipun kamu membuat keputusan kalo nyatanya gak
cocok ya ga bakal bisa barenglah. Ya kan?”
“Iya sih.”
“Iya, cinta itu bukan kata dia, bukan kata kamu, bukan juga kata
mereka, cinta itu kata hati Sam.”
“Ya benar, tidak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak melibatkan
hati.”
“Cukuplah Mus, lebih baik kita lanjutkan ngobrolin hal lain.”
“Ya, sudah males juga aku Sam, cinta lagi, cinta lagi.”
156
***
Heldy,
Mungkin malam ini kamu tengah bersandar di kursimu. Puisiku di dinding kamarmu
memandangimu. Dia melihat kamu membuka amplop, dan kamu mendapati kertas putih yang
hanya secarik. Matamu lalu menelisik setiap katanya, menjadi kalimat dan membentuk paragraf.
Heldy,
Aku harus jujur padamu. Kamu sudah menjadi salah satu bagian yang baik buat
hidupku. Aku jadi lebih suka menulis dan berkhayal tentang hal-hal yang indah semenjak
suratmu yang pertama.
Heldy,
Aku tidak tahu kapan waktunya nanti kita bertemu. Tapi aku harap secepatnya.
Heldy,
Aku ingin menyampaikan sesuatu, semoga saja kamu suka. Aku sedang mencintai
seseorang saat ini.
157
Heldy,
Kamar mungil Sam mendadak sunyi. Tidak ada suara Axl Roses
ataupun Kaka Slank malam itu. Cuma sedikit gesekan putaran kipas saja.
Tidak meriah, tidak pula gemerlap, malam itu.
Sam terkejut. Dia hanya bisa tersenyum kecil tanpa kata membaca
surat dari Melina. Bibirnya terkunci.
***
158
Tenda Tanda
“Ah nanya terus, repot Ben masalahnya. Harus ada satu orang yang
mau berkorban meskipun ujung-ujungnya juga kan buat bareng.”
“Okee deh, kalo gak ada yang mulai emang gak bakalan jalan. Pemim-
pin harus berani ngambil inisiatif.”
“Betul!!”
159
Elf-elf berjejer dari depan sekolah hingga seratus meter ke belakang.
Menghitung kelas, maka ada sepuluh elf setidaknya pagi itu. Setiap kaca elf
itu ditulisi informasi mengenai tujuan dan kelas mana yang boleh masuk ke
elf itu. Sungguh rapi dan tertata.
“Ayo Ben!”
“Berat ya?”
“Hahaha iya.”
***
Erwin, Dayat, Sam, dan Ogi sekuat tenaga menarik ujung tali dari
tenda yang hendak mereka bangun. Warna biru tua dan jendela yang hitam
menjadi kesukaan bersama. Cukup megah memang tenda itu ketika mulai
berdiri.
“Masuk Ben.”
161
“Oke.”
162
“Ah mainannya yang bener ah.”
***
Apakah itu hujan atau embun yang perlahan turun tak tahu, karena
memang sulit untuk membedakannya. Yang jelas, seluruh siswa berlarian
berebut cepat masuk ke dalam tenda. Api unggun yang menyala kecil pun
mati tersapu angin bercampur air. Perkemahan seketika menjadi suatu hal
yang tidak lagi menyenangkan.
“Iya, tapi masih sore kok. Cukuplah kalau nanti jam sembilan hujan-
nya reda.”
“Cukup untuk?”
“Hey hey hey, enakan di tenda Bro, api unggun tuh emang mau
ngapain? Gak seru.”
“Ya harus pake alesan, gak serunya napa, jangan gak jelas.”
“Gak usahlah Win, kasian. Mereka gantian nanti malem aja jaga
tenda.”
“Apa Win?”
“Sadar apa?”
164
Benjamin sedikit penasaran. Duduknya dirapikan dan wajahnya
semakin serius.
“Nih ya, misalkan ada tanda P disilang, terus kita gak parkir. Ada
jarum jam mengarah ke angka lima, kita buru-buru ambil wudu terus salat.
Kita tuh kaya diatur-atur sama benda, aku sih ngerasanya konyol.”
“Ya itu kan tanda Win, pengingat kita yang barangkali aja lupa.”
“Iya, tapi kan itu cuma benda sih Ben, Yat. Benda itu ga bisa
ngomong, ga bisa hidup, sekadar tanda aja yang kita juga gak tau kenapa
alesannya kan. Kok kita nurut? Aku sampe mikir kalo semua tanda-tanda itu
dibuang aja, biar orangnya suruh ngomong langsung aja, ga usah diwakilin
tanda-tanda lagi.”
“Sekarang sih gini aja, mau nurut sama tanda ya gak papa, gak nurut
ya terserah.” Benjamin mencoba menengahi.
“Ah pusinglah, sama-sama gak ngerti juga Ben, iseng doang sih.”
“Asem, hahahahaha!”
165
“Yang pasti, kita semua ini udah memberikan tugas pada tanda-tanda
itu untuk menghukum kita kalau kita ga menaatinya, ya kan?”
“Ya benar sih. Hei tanda, hukum aku jika tidak menaatimu! Gitu ya,
hehehe.”
“Ya besok kan mencari jejak, ada soal-soal tentang semafurnya Ben.”
“Oh, yang gerakin tangan pake bendera itu ya?”
“Iya, yang kita terus nebak huruf-hurufnya dan jadi kata apa, gitu?”
“Nah kan, kamu mulai asing kan sama tanda-tanda itu? Kita kok mau
dan pasrah gitu aja loh.”
“Kalo kata aku sih Win, pasti awalnya karena perbedaan bahasa, biar
semuanya paham makanya diwakili tanda itu. Tapi ga tau juga sih, nebak
doang.”
“Ah, sudahlah males mikirin itu, aku gak ngerti Win.” Benjamin
mengayunkan tangannya tanda bosan.
166
“Iya, gak penting emang obrolannya.” Dayat ikut kesal. “Nih rokok-
nya, siapa yang mau?”
“Iya Ben.”
***
167
Di Mana Mel
Subuh baru saja selesai. Matahari mulai tampak kecil sedikit ujungnya.
Masih gelap, belum terang. Masih sunyi, belum ramai.
Melina, tendanmu yang mana ya? Kamu udah bangun belum? Ah, tapi
sudahlah, mungkin memang Kak Indra itu yang lebih baik bersamamu, bukan aku
Mel. Palingan malam tadi pun kamu mimpi tentang Kak Indra, kamu lalu
mengigau dan kamu kemudian kangen sama Kak Indra itu. Sam mengatakan
gumamannya lewat kedip mata dan getaran penuh gelisah. Mulutnya
terkunci rapat.
Sam duduk bersila. Tangan kirinya menjaga dagu agar tak jatuh.
Pahanya memangku siku tangan. Posisinya menyiratkan bahwa dia sedang
memikirkan sesuatu dengan dalam.
Hati Sam mulai galau. Dia ingin, tapi tak mampu. Tuhan mungkin
juga kemudian menjadi menunggu.
“Emang Sam, anak-anak kaya kita ini, umur segini maksudnya, paling
enak pacaran dan bersenang-senang sama cewe sendiri.”
169
“Iya Ben bener.”
“Tapi apa daya, yang katanya orang cinta itu buta tuh bohong.
Buktinya cinta tau nilai bahasa Inggris, berapa nilai PKN.”
“Soak ah, lagi serius dengerin juga tuh, malah bercanda lagi.”
“Ya itu serius, kalo emang buta kan pastilah minimalnya ada satu
orang yang nyantol karena gak peduli nilai-nilai kita di kelas Sam. Dan ga
peduli juga kelakuan kita di kelas.”
Banyak hal yang mungkin anak ingusan itu tidak ketahui soal cinta.
Tapi biarlah, lepaskan saja mereka tumbuh dengan pengalamannya sendiri.
Toh, nanti juga mereka akan merasakan jatuh bangunnya merangkai
kehidupan.
***
170
Pelangi
Pagi, di lapangan upacara. Riuh dan tak teratur, itulah gambaran dari
siswa dan siswi berbaju pramuka dari SMA N 1 Cirebon.
Tidak ada suatu yang kebetulan, yang ada hanyalah usaha yang kita
tidak sadari mengantarkan kita pada suatu peristiwa. Seperti pagi itu,
kelompok Sam berada tepat di belakang kelompok Melina.
“Ya kalau Melinanya tau kan, yang ada aku malah dijauhin.”
“Ya gara-gara kamu norak, dia pasti malu nanti sama temen-temennya,
ngerti!” Sam sedikit menggertak. “Ngerti kan?”
“Wah ini sih bisa meringankan tugas namanya Gi, To, Win, Yat,”
Benjamin berkata sambil memanggil Ogi, Anto, Erwin, dan Dayat.
Tiba-tiba saja.
“Eh awas!” Sam bersiap berlari. Tongkat yang dia pegang dilemparkan
entah ke mana.
173
“Hah?” Melina hanya menoleh sebentar.
“Meeeeel!”
“Sam awas Sam, jangan Sam!” seluruh teman kelompok Sam berteriak
histeris.
“Meeeel, jangan lewat situuuu!”
***
Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tidak takut akan kematian.
Orang sakit diusahakan sampai bermiliar-miliar untuk sembuh kembali.
Orang hilang dicari hingga mengeluarkan dana berjuta-juta, dengan harapan
nyawanya masih selamat. Orang yang sembahyang berdoa agar dipanjangkan
umurnya. Ya, semua merasa bahwa kehidupan adalah lebih baik dari
kematian, setidaknya untuk memperbaiki kehidupan sebelumnya.
174
Sam membersihkan bajunya yang kotor penuh lumpur, begitu pula
Melina. Jilbab Melina cokelat penuh bekas tanah liat yang basah karena
siraman hujan. Ini kali pertama Sam berhadapan langsung dengan Melina,
lucu.
“Yang lain udah nunggu di depan, mereka gak berani ke sini, kamu
taulah Mel.”
175
“Kenapa Des?”
“Sam terima kasih ya,” sambil berdiri, Melina mengulangi pesan rasa
terima kasihnya, kali ini pesan itu disampaikan dengan menambah sedikit
senyum kecil.
Matahari tiba-tiba saja muncul sesaat setelah aksi heroik Sam. Gerimis
yang semula mengguyur sudah tidak turun lagi. Dari ujung sana, dari celah-
celah kecil batang pohon yang begitu rapat, pelangi muncul dengan begitu
indah. Benar, ketika kita jatuh cinta, maka seluruh alam membantu untuk
mewujudkannya.
***
176
Merubuhkan Tenda dan Pertarungan
177
Tenda sepuluh-delapan letaknya tepat berdampingan dengan tenda
Sam dan kawan-kawan. Mungkinkah rombongan begundal yang meroboh-
kan tenda itu? Tidak tahu juga.
Sam dan Ogi berjalan cekikikan. Teriakan dari tenda sepuluh-delapan
tak dihiraukan. Mereka berdua tetap saja berjalan menuju ke tengah
lapangan.
Tangan kiri Sam terlihat membawa pisau, begitu pun Ogi. Kedua
sahabat itu bak mafia yang mengerikan. Sepertinya memang ini kerjaan
mereka berdua. Dasar kurang ajar.
***
Barisan melingkar siswa tak lagi tampak. Begitu aneh dan tak teratur
posisinya. Suatu kejadian besar telah terjadi, menurutku.
178
“Heh Sam, bilangin sama temen-temen kamu, kalau berani jangan
keroyokan!”
Baju Sam dipegangi cukup kuat oleh Hendrik. Semua peserta perke-
mahan Jumat, Sabtu, dan Minggu memperhatikan. Sam tampak malu, dia se-
perti sedang dihakimi. Semoga saja Melina tak sempat melihat kejadian ini.
“Apa-apaan ini Hen, saya tidak tahu apa-apa!!!”
“Ga tau!”
“Besok tak buat perhitungan!”
“Oh iya.”
***
179
“Hahaha, itu si Ridwan mukulin Hendrik, Sam. Ya udah ikutan aja.”
Benjamin menjawab sembari tertawa terbahak-bahak.
Dayat ikut tertawa. Erwin masih diam. Anto tetap santai dengan
handphone-nya.
“Hahahaha!”
“Bagus, bagus!”
***
Hope for the best and prepare for the worst. Berharap untuk yang terbaik
dan bersiaplah untuk yang terburuk. Sekiranya begitu arti dari kalimat
mutiara itu.
180
Kehidupan menurut Joy Papasan adalah seperti sebuah jejeran
domino. Diawali oleh domino kecil dan berlanjut kepada domino-domino
lain yang ukurannya terus-menerus lebih besar. Domino kecil itu ketika
dijatuhkan maka akan mampu menjatuhkan domino-domino yang ukuran-
nya semakin besar. Percaya deh!
Setiap tenda kini telah tertutup rapat. Senior dan guru-guru sebagai
pembina, stand by di tengah lapang. Begitu sepi tanpa suara sedikit pun.
Mengerikan.
***
181
Kembali Lagi!
The soul is the prison of the body (Jiwa adalah penjara dari tubuh) –
Michel Foucault
182
Semua pasti tidak percaya, laki-laki itu adalah Sam. Dia sepertinya
tengah memendam begitu banyak persoalan dalam hatinya. Tak ada kawan
bercerita, tak ada pula orang yang memahami. Tuhan adalah tempat
mengeluh satu-satunya. Iya kan, Sam?
Tidak ada yang bisa diceritakan lebih lanjut dari fenomena langka ini.
Isi hatinya pada waktu itu tak terungkap. Hanya dia dan apa yang diyakini-
nya yang tahu.
Memang, ketika tidak ada satu pun yang bisa kamu andalkan, kamu
masih punya satu hal yang bisa mengerti kamu, yaitu Tuhan.
Ali bin Abi Thalib pernah berujar, “Bukan kesulitan yang membuat
kita takut, tapi ketakutan yang membuat kita sulit. Karena itu, jangan pernah
mencoba untuk menyerah dan jangan pernah menyerah untuk mencoba.
Maka jangan katakan pula pada Allah aku punya masalah, tetapi katakan
pada masalah AKU PUNYA ALLAH Yang Maha Segalanya.”
***
Januari, 2007
183
Waktu itu pertengahan Januari 2007. Libur panjang semester ganjil
telah berakhir. Aneka petasan yang menyala dan meledak-ledak di atas langit
sudah tak tampak. Seberapa enaknya liburan, waktu akan menuntut kita
kembali pada kesibukan.
Sudah sangat lama Sam tidak bertatap muka dengan Melina. Sudah
lama juga surat-surat di antara keduanya tidak menjadi bahasan. Dia rindu,
tetapi tidak tahu bagaimana caranya untuk melawan kerasnya rasa itu.
Kabar buruk tersiar setiap hari. Makin lama makin seperti sebuah
kenyataan meskipun kebenarannya belum jelas betul. Kabar itu adalah soal
Melina yang katanya telah menjadi kekasih Kak Indra!
Hmmmm.
Mengapa kau bersedih Sam? Kau kan yang bilang tak peduli bagaima-
napun keadaanya, asalkan Melina bahagia kau juga ikut bahagia.
Mengapa kau juga harus kesal Sam? Kau pernah berkata kan dalam
suratmu, dengan siapapun kau tersenyum Engel, aku suka.
Mengapa kau murung sih, Sam? Kau dulu berjanji, bahwa kau tidak
akan pernah marah pada rasa cinta Melina, sekalipun itu bukan untukmu.
“Ah sialan, kaget aku. Engga Ben, ini bentar lagi UAS bingung aku,
belum belajar.”
“Aduh boong, biasanya juga kan emang gak pernah mikirin. Ada
sesuatu yang lain kayaknya, lagi suka perempuan?”
184
“Ya dari dulu juga suka perempuan Ben. Emangnya si Erwin, suka
sama laki-laki tuh.”
“Haha, bisa aja ngelaknya. Ini serius Sam, gak baik dipendem.”
“Bener Ben, mikirin masalah UAS aja aku, takut gak naik.”
“Takutnya kenapa? Kamu kan masuk terus, rajin.”
“Iya, tapi kan buat keributan terus aku kalo masuk. Nilainya gede loh
psikomotor itu.”
“Iya Sam, tapi bener nih gak ada urusan lain selain itu?”
“Bener Ben, kapan aku gak pernah cerita sama kamu?”
Sam tampak pucat. Dia tak terbiasa berbohong. Tapi bagaimana lagi,
dia malu sepertinya mengakui cintanya pada Melina.
185
“Di SCTV, acara Buser tuh.”
“Ben.”
“Iya Sam?”
“Kalo misalkan ya, ada orang yang kamu suka, tapi syaratnya harus
berubah gimana?”
“Nah, nah kan,” Benjamin menunjuk wajah Sam, “bener kan apa
yang jadi dugaanku?”
186
“Engga, ini murni pertanyaan biasa ajah.”
“Alah.”
“Jawab deh cepet.”
“Ya aku gak mau, lebih baik aku jadi diriku, tapi dia gak suka daripada
aku harus berubah untuk nyenengin orang.”
“Iya, tapi gak untuk orang lain, untuk diriku sendiri aja Sam.”
“Oke deh.”
“Percuma lagian, kalo sesuatu itu gak dateng dengan sendirinya, pasti
gak akan lama Sam. Itu kata ibuku sih.”
***
Charlaine Harris adalah seorang penulis buku best selling dari The New
York Times. Dia begitu suka menulis puisi hantu, sebagian orang bahkan
menganggap bahwa hal itu adalah ciri khasnya. Pada tahun 2001 dia
menerbitkan sebuah buku yang berjudul Dead until Dark. Dalam buku itu dia
187
menulis suatu kalimat yang sungguh menarik, “Hidup dimulai pada malam
hari.” Itulah kata-kata yang membuat Charlaine Harris kian terkenal.
Sam bukanlah Melina yang begitu rajin membaca buku. Sam hanya
orang yang malas, kemauannya tergantung pada keadaan, dia angin-anginan.
Bahkan Sam pun dapat disangsikan tak akan mengenal Charlaine.
Malam itu sisa hujan bulan Desember turun tanpa permisi. Tak
terlalu banyak, hanya rintik-rintik beserta angin. Jendela Sam tertutup rapat.
Daun-daunan yang basah di luar sana tak kelihatan dari kamarnya. Hanya
suara genting terguyur saja sedikit terdengar sampai ke dalam.
Hy Heldy
Maaf ya, bukan aku tidak mau menjawab, tapi pertanyaanmu itu untuk Melina bukan
untuk Engel. Aku tidak berhak memberitahumu soal hubungannya saat ini. Kamu paham kan,
Heldy?
Aku hanya sarankan sedikit padamu, jangan pernah percaya apa yang belum kamu lihat
sendiri. Sama seperti tentang Melina, gak baik Heldy.
Oh iya, Engel ingin bilang makasih ya untuk hadiah hiasan kerang dan pasir pantainya.
Itu indah sekali Heldy. Bagaimana aku harus menggantinya?
188
Jika kamu memandang bulan malam ini, maka aku juga.
Jika kamu sedang menikmati bintang-bintang dan mungkin juga komet yang seketika
kadang jatuh, aku juga.
Jika kamu merasa bahwa malam ini begitu indah, ah Heldy, aku juga.
Tetap semangat ya, terus berprestasi Heldy.
Engel.
Sedang apapun kamu, Melina, kamu harus tanggung jawab. Sam tak
bisa tidur karena suratmu yang mengambang. Ingin sekali dia remas-remas
dan membuang surat itu ke tengah guyuran hujan, tapi tidak mungkin.
Sungguh kasihan lelaki muda itu.
***
189
“Ya Sam, intinya, wanita yang agung itu adalah dia yang tau caranya
membuat kita jatuh cinta pada saat kita ingin membencinya. Dia tahu
caranya menjadikan tertawa di kala kita ingin menangis.”
“Kata siapa itu? Pasti bukan dari Abah kan kata-kata itu?”
“Iya memang bukan, itu kata Socrates, salah satu filsuf terkenal
Yunani.”
“Oh, kata-kata Socrates itu juga yang menjadi alasan Abah memilih
Ibu? Benar emangnya Bah?”
“Iya tepat sekali dan itu terbukti Sam, awet. Ibu kamu itu orangnya
sabar dan memiliki seribu alasan untuk setiap laki-laki langsung jatuh cinta
sama dia.”
“Mungkin.”
190
Ada koran dan piring bekas makan pagi di antara mereka. Tumbuhan
kamboja, kumis kucing, dan rumput-rumput hijau tersaji di depan mereka.
***
191
IV
Hikmah
192
Di Balik Pak Cegu
Satu hal yang tidak bisa ditebak, yaitu jalannya kehidupan. Kadang
kita senang, kadang juga sesekali kita sedih. Kadang kita punya banyak uang,
kadang juga kita bokek-kere enggak bisa beli apa-apa. Tapi itulah uniknya,
dengan begitu manusia terus berusaha untuk kembali lagi mencari yang
lebih baik.
“Itu yang sering gak kita sadari Sam.” Pak Cegu berbicara cukup lugas.
Tangannya memegang gigi mobil dengan lincah. “Kamu paham kan maksud
Bapak?”
Pada kenyataannya, toh hidup terus berlanjut. Pak Cegu tetap saja
menyopir angkutan kota, anaknya kembali sekolah, dan istrinya tetap
menjadi binatu. Benar-benar unpredictable.
“Ya emangnya berbagi kebaikan itu harus sama orang yang dekat atau
sedarah sama kita aja Sam? Gak kan, sama semuanya harus berbuat baik itu.”
“Tapi seandainya orang yang kita baikin itu ternyata jahat sama kita
Pak, gimana?”
“Waduh Sam, kamu nanya sama Bapak yang biasa di jalan. Bapak itu
sudah hafal mana kelinci mana serigala, mana buaya mana bunglon. Jadi
menghadapi yang gitu-gitu itu udah bosen. Tapi satu hal Sam, kebaikan itu
universal tak terbatas, sedangkan kejahatan itu individual. Mereka yang jahat
itu akan dibuat mati oleh perasaannya sendiri. Percaya deh.”
“Panjang lebar Pak Cegu jelasin juga Sam mah gak ngerti Pak, belum
pengalaman masalahnya. Yang singkat-singkat aja.”
Pak Cegu sedikit kesal. Laju mobilnya kemudian pelan tak bertenaga.
Mumpung penumpang tidak ada, Pak Cegu ingin berbicara lebih lama
dengan Sam.
“Gini loh Sam, berbuat baik aja, jangan pedulikan bagaimana nanti
orang membalas kebaikanmu itu. Biarkan Tuhan saja yang melihat ketulus-
anmu.”
“Iya Pak ya, tapi kenapa kok banyak orang sukanya sama gosip yang
jelek?”
“Ya setiap orang pada dasarnya suka melihat orang lain itu terluka,
sedih, dan berada di bawahnya. Kamu mah jangan begitu.”
“Iya Pak, gak sampai hati aku mah kalo mau berbuat kaya gitu.”
194
“Ya sekarang kamu mungkin bilang begini karena kamu lagi gak ada
masalah, nah nanti kalau masalah itu datang kamu baru pusing.”
Pak Cegu belum tahu kalau Sam juga sedang begitu banyak memen-
dam masalah. Dia hampir diskorsing dari sekolahannya karena tragedi perke-
mahan. Dia juga sedang pusing karena Melina saat ini sepertinya sudah jadi-
an sama Kak Indra. Sam tidak bisa melakukan apapun, tidak bisa mengubah
semuanya menjadi baik secara cepat, dia hanya berpasrah diri pada Illahi.
“ … Oh begitu ya. Nak Sam yang sabar, itu bagian dari proses kamu
menuju dewasa nanti.”
“Perasaan anak muda itu perasaan yang rentan yang selalu aja merasa
„aku cinta sama kamu karena aku butuh sama kamu‟, sedangkan kalau
pengalamanmu sudah banyak kamu pasti bakal mikir lain.”
“Kamu bakal mikir kalo aku butuh kamu karena aku mencintaimu.
Gitu. Cinta itu sesuatu yang alami Sam, butuh konsentrasi, kedisiplinan,
dan utamanya kesabaran. Sekarang kamu baru sampai pada tahap kesabaran,
sedangkan disiplin dan konsentrasimu masih suka maju mundur.”
“Adaaah, itu bener sekali Pak. Bagaimana Bapak bisa paham dan
mengerti sejauh itu, Bapak peramal ya hayo?”
“Bukan gitu, manusia kan emang sejak lahirnya saja udah membawa
masalah dan masalah itu kemudian dia pecahkan sendiri solusinya. Bapak
mah cuma berbagi aja, Nak.”
***
Iya Sam, semoga saja apa yang menjadi tujuanmu itu berhasil, amin.
***
196
Ini Sulit Sam!
“Ah, sial, siapa sih sebenarnya kamu Mel? Sampai-sampai bisa membu-
atku begini?”
“Ah, ah, beg, beg, beg!” Nada kesal dan pukulan tangannya terdengar.
“Besok harus segera kupastikan kabar itu. Bisa gila aku kalau tidak segera
mengambil keputusan. Konyol sekali keadaannya, aku marah pada orang
yang bukan milikku, bukan hakku, sial!”
Kini posisi kepalanya menengadah ke atas (lagi). Tidak ada sedikit pun
kenyamanan dalam gejolak perasaan Sam.
197
Baju yang menutupinya dilepas, celana pendeknya dibiarkan tak
berselimut. Tubuhnya lebih sejuk dengan kaos dalam sebagai penutup satu-
satunya.
Kamar Sam terkunci rapat. Jendelanya pun tak bercelah, sulit udara
untuk masuk. Lembab dan tak jelas aromanya.
Kegalauannya bukan karena kamar, bukan juga karena tidak ada
hiasan, tapi karena apa yang ada di dalam hatinya. Kegalauanya karena resah
yang menggumul, yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Tidak akan selesai Sam urusanmu, bahkan sampai tak ada sehelai
benang pun yang menutupi tubuhmu, kekalutan itu akan terus menghantui-
mu. Satu-satunya cara adalah mengubah sudut pandangmu.
***
Wahidin, Cirebon
“Besok aku jemput ya, Sayang?”
“Iya Sayang, tapi aku masuk pagi. Kamu gak papa dari perum pagi-
pagi?”
“Gak papa kok, deket segitu mah. Malah yang jauh itu kalo aku
berangkat sendiri, gak bareng kamu.”
“Ya udah.”
“Kamu langsung tidur ya, jangan lupa belajar sebentar, tiga puluh
menitlah cukup.”
198
“Iyaaaa baweeel, cepet gih, nanti dimarahin Mamah.”
“Iyaaaaa.”
Greeeeeng, greeeeeeeeeenggggg …!
Sementara itu, di bagian Cirebon yang lainya, dua anak remaja yang
tengah jatuh cinta sedang kesulitan menahan pulang. Keduanya masih ingin
bersama, tak mau berpisah. Apa daya, waktu sudah larut malam.
“Hayooooo ketangkep basah sayang-sayangaaan!”
“Berani ngeledek Kakak? Berani nih, bener nih berani?” Kak Linda
mencubit perut Melina.
“Udah ah sana mandi, bau bau, hus hus!” Kak Linda mengebaskan
tangannya pada Melina. Dia berlagak seperti orang yang sedang mengusir
kucing.
199
ingin memilikinya. Langkah kakinya mulai dia arahkan menuju kamar de-
ngan begitu riang.
“Iya sahabat Cirebon FM, masih bersama saya Sinta di acara Request
Asik, saya tunggu teleponnya di 0231 ….”
Suara radio terdengar begitu keras. Keran kamar mandi pun menjadi
begitu kecil tertutup nyaringnya.
Ttttttuuuuuut, tuuuuuuuttt!
Keran air tiba-tiba saja mati. Gayungan tidak lagi secepat sebelumnya.
Melina serius mendengarkan radio dari dalam kamar mandi.
“Hah Samudra?”
Dia diam tak mau mengganggu apa yang sedang menjadi fokus
pendengarannya.
“Ada salam gak Mas? Mungkin buat pacar atau siapa, ciyeee!”
200
“Gak ada Mba, udah itu aja.”
“Okeee terima kasih Mas Samudra, lagunya sebentar lagi siap kami
putar, tetap dengarkan terus Cirebon FM!”
Tinggallah mimpi
***
201
amplopnya dengan warna lain. Maksudnya apa belum tahu, karena belum
dibuka isi suratnya.
Ah, Engel tidak seru, kamu terlalu menjaga rahasia yang nantinya pun akan
diketahui umum Engel.
Aku kadang berpikir, jika akan ada waktu dan saat di mana nanti aku akan
menemuimu tidak lagi sebagai Heldy, tetapi sebagai diriku yang asli.
Waktu itu makin lama makin sempit, semakin hari semakin dekat. Aku tidak
semestinya meminjam nama orang lain untuk mengetuk hatimu.
Heldy
“Ah, Heldy, sekarang kamu tidak lagi seru, ini surat paling datar yang
pernah aku terima darimu. Payah.”
***
202
Marahnya Ibu!
Setelah selesai keluar membuang air besar, Sam kaget bukan kepalang.
Bungkus rokok dari saku bajunya telah keluar. Koreknya hilang dan buku-
buku dalam tasnya berserakan. Kamarnya terlihat berantakan. Sam tahu
bahwa ada suatu hal buruk yang tengah menantinya. Ibunya pasti baru saja
melakukan pengecekan.
“Sudah Sam jangan mengelak lagi, ini sudah cukup menjadi bukti!!!”
“Iya Bu, maafkan Sam Bu, Sam benar-benar menyesal.” Sam bersujud
di bawah kaki ibunya.
“Berapa kali kamu berjanji kaya gini, tapi lagi-lagi gak terbukti, kamu
mengulanginya lagi!!”
Air mata Sam sudah sampai pelupuk, tinggal menunggu waktu saja
untuk jatuh. Ibunya terlihat marah, wajahnya merah, dan matanya melotot
hampir keluar. Kedua orang itu sedang berdebat seru.
“Sam, kamu bakar uang yang udah Ibu cari dengan susah payah, kamu
bakar itu Sam!!!”
203
“Nggak, maaf-maaf terus tapi cuma di mulut!”
“Sekarang terserah Ibu aja, Sam siap dihukum Bu, tapi Ibu maafkan
Sam …”
“Apakah Ibu pernah punya anak yang sok-sokan kaya gini!!!? Ibu gak
pernah merasa membesarkan preman!”
“Buu …”
“Ibu kecewa besar Sam, kecewa!! Selama ini Ibu kira kamu tuh gak
pernah macem-macem. Ya Allah taunya, merokok!!!!”
204
Sam merasa sangat berdosa. Jantungnya ditusuk-tusuk perasaan bersa-
lah yang dalam. Mulutnya tak bisa berbicara panjang. Dia terus menangis
sesenggukan.
Ibu Sam justru mulai pergi meninggalkan Sam di dalam kamarnya.
Belum sempat dia menerima maaf Sam, dia sudah menghilang dari
pandangan Sam.
“Itu, itu baca semuanya, itu suratmu Sam, surat-surat perjanjian yang
kemudian kamu langgar lagi, kamu langgar lagi!!!”
“Ibu, Sam janji Bu, ini yang terakhir, Ibu maafkan Sam.”
“Ibu sudah tidak butuh janji Sam, bukti!!!!”
Ibu Sam kembali pergi dan menutup keras pintu kamar Sam.
Brrrreeeeeeg!
205
Siapapun juga pasti pernah melakukan kesalahan sepertimu Sam.
Siapapun pernah melakukan sesuatu yang bahkan lebih parah daripada apa
yang kamu lakukan. Tapi mengapa mereka bangkit Sam? Karena mereka
yakin bahwa akan ada hari esok yang lebih baik setelah selesainya masalah
hari ini. Jika kamu punya itu Sam, kembalilah ke jalan yang baik, segera!!
Bukan malah menangisi dirimu sendiri.
***
“Bu salam dulu Bu. Bu, jangan marah terus Bu. Bu … Ibuuu?”
Tangan Sam tidak disambut oleh ibunya. Wajah senyum Sam pun
tidak sedikit pun membuat ibunya bahagia. Rupanya, kemarahan itu masih
begitu dalam, begitu terekam sebagai suatu memori yang buruk.
“Assalamualaikum Bu.”
“Walaikumsallam.”
***
206
Terima Kasih Bah
Seorang anak, sudah menjadi kebiasaannya, jika dia jauh dari ibunya
maka ayahnya adalah teman terbaik, begitu pun sebaliknya. Mengapa demiki-
an? Karena anak hanya memiliki dua orang yang dengannya dia merasa
bahagia, tiada lain adalah orang tua jawabannya.
Pagi itu Sam dan ayahnya tak saling bicara. Sam duduk dengan
seluruh perlengkapan sekolahnya. Sepatunya sudah terpasang, tasnya pun
sudah di pundak. Ayahnya asyik membaca koran. Dibolak-balik kertas tipis
itu, dilihat-lihat, dan dibaca seluruh beritanya.
“Apa Sam?”
207
“Maafkan Sam ya, Bah,” Sam menjulurkan tangannya, wajahnya
memelas.
“Ah, gak perlu diminta, Abah sudah memaafkan kamu Sam. Laki-laki
gak boleh lemah dengan pilihannya.” Ayah Sam menatap Sam. Tangannya
memegang dagu Sam dan dihadapkan wajah Sam ke wajahnya.
“Kenapa Bah?”
“Abah punya anak yang namanya Samudra. Tapi Sam yang menjadi
anak Abah itu bukan Sam yang lemah!”
“Maksud Abah?”
“Siaaap Bah!!”
“Iya Bah.”
“Terima kasih ya, Bah.” Sam menyalami ayahnya yang sudah berada
tepat di depannya. Posisinya seperti pembina upacara dan pemimpin
upacara. Mirip sekali.
208
“Iya sama-sama, Sam.” Ayah Sam mengangguk kecil. “O iya, kamu
mau Abah suruh gak?”
“Habis magriblah.”
***
209
Sam dan Ogi pusing tujuh keliling. Alamat yang disampaikan oleh
ayah Sam tak kunjung ketemu. Sam beberapa kali turun dari motor;
bertanya, memberi penjelasan, dan mencari tahu tentang alamatnya. Ogi
masih tetap di atas motor. Dia siap mengantarkan Sam ke manapun Sam
pergi. Benar-benar sahabat karib.
“Iya Sam.”
Sam dan Ogi memutuskan untuk sejenak berhenti di sebuah warung
rokok. Keduanya memesan es kopi dan satu batang rokok.
“Gi, tau gak, semalem abis dimarahin Ibu gara-gara ketahuan nih.”
Sam menunjukkan rokok yang sudah dalam genggamannya.
“Gara-gara rokok?”
“Iya Gi.”
“Parah, aku juga pernah sih Sam, tapi ya gimana ya, susah berhentinya
Sam.”
“Nah itu dia Gi, sama, biarlah waktu aja yang menjawabnya.”
“Hahaha!”
“O iya Pak, di sini aja.” Sam menunjukkan meja di mana kopi itu
harus ditaruh. “Pak.”
“Apa Mas?”
210
“Tau alamat ini gak Pak?” Sam mengeluarkan kertas dari saku
celananya.
“Owalaaaaaah, ini mah itu Dek. Rumah itu, dua rumah dari sini nih,
yang tingkat itu loh.”
Ogi tidak menyaksikan adegan itu. Dia sibuk menyeruput es kopi yang
rasanya begitu nikmat.
“Sam.”
“Apa Gi?”
“Ya udah Gi, biar kamu gak bosen juga, sapa tau lama.”
“Oke Sam.”
211
Sam berdiri tepat di samping Ogi yang masih saja duduk. Sam
kemudian berjalan kecil melawan keraguaannya. Dia menuju rumah yang
sebelumnya telah ditunjukkan oleh penjaga warung.
Matanya clingak-clinguk, Sam masih ragu untuk mengetuk gerbang
rumah teman ayahnya. Dia diam sebentar, menenangkan diri. Tangan
kirinya membawa bungkusan buku yang dititipkan oleh ayahnya. Tangan
kanannya telah menyentuh gerbang.
Tidak ada suara menyahut sedikit pun. Masih sepi dan sunyi. Padahal
lampu menyala cukup terang.
“Assalamualaikum!!”
“Walaikumsallam.”
Pintu kamar lantai dua terbuka. Wanita dengan hijab putih polkadot
hitam tiba-tiba muncul. Wajahnya sedikit mengantuk. Sedikit malas dan
sedikit tak rela wanita itu meninggalkan kamarnya.
“Sebentar ya!!”
Wanita itu ternyata adalah Melina Castro. Sam kaget bukan kepalang.
“Eh, Mel, aku sampe lupa ya ini kosmu, padahal waktu awal masuk
aku pernah lewat sini. Maaf ya salah alamat.”
212
“Oh itu Bapak kosku, iya bener di sini, tapi lagi keluar kayaknya.”
“Tungguin aja, susah lagi loh nanti. Duduk di teras aja, ditemenin kok
Sam!”
Waduh, justru ditemenin itu yang membuat Sam takut. Mel, Mel, tega
sekali kamu. Harus bagaimana dia bersikap di depan Melina? Sam sepertinya
benar-benar tidak memprediksi keadaan ini.
“Duduk sini!”
Sam telah duduk di teras depan rumah kos Melina. Sam berada di
kursi kayu jati sebelah kiri, sementara Melina menemaninya di sebelah
kanan.
“Mulai apa?”
“Mulai obrolan.”
213
“Hayoooo, yang tinggi sedikit brewokan.”
“Heeeem maunya apa Sam, udah apa belum?” Melina tersenyum, dia
meledek kekikukan Sam. Mukanya ditutup, tawanya tak terlihat jelas.
“Ah udah aja deh, masa cewe secantik kamu gak cepet-cepet dipacarin,
hehehe.”
“Bener ya?”
“Iya Sam bener, jam istirahat ya tapi, bukan jam bolos pelajaran loh,
hehehe.”
“Aduh nyindir.”
“Ngapain sih kamu cepet-cepet jadian tuh Mel?” Sam bertanya dengan
serius.
214
“Gak tau Sam, suka aja sama perjuangan Kak Indra, gak ada yang
berjuang lagi sih, kaya dia gitu.”
“Bukannya gak ada Mel, tapi mungkin kamunya aja terlalu cepet milih
Kak Indra.”
Tidak perlu ditanya lagi, Sam menutup malam itu dengan ucapan,
“Terima kasih, Bah.”
***
215
V
Perpisahan
216
Makan Berdua
Hari ini langit begitu cerah. Warnanya biru, awannya cukup, dan
matahari tak terlalu bersinar. Hujan sepertinya tidak akan turun, panas pun
tak terlalu menyengat. Indah sekali, paling indah di antara langit-langit yang
pernah dilalui oleh Sam.
Wajah Sam melihat tinggi ke atas. Dia berlaku bak orang gila yang tak
jelas maunya. Sebentar-sebentar dia tersenyum, tak lama berselang dia diam.
Ah, kenapa sih Sam?
“Iya bentar lagi, Sam lagi ngeliatin ciptaan Allah dulu. Indah sekali
Bah.”
“Oh, ya emang biasanya juga begitu Sam langit mah, kamu aja jarang
memperhatikan.”
217
“Sering kok Bah, gak tau kenapa hari ini kayaknya beda aja.”
“Heem, pasti lagi senang, jangan terlalu seneng Sam, jangan terlena.
Semua itu ada masanya.”
“Terlalu untuk hal-hal yang positif itu wajib Bah hukumnya, hehehe.”
“Ah terserahlah.” Ayah Sam tak menggubris berlebihan. “Ya udah ya
Abah masuk dulu, kamu hati-hati.”
“Iya Bah.”
Sam tak menengok ayahnya yang hendak masuk ke dalam rumah. Dia
terus memandangi tiap sudut langit yang indah. Burung-burung yang lewat
dalam kilasan matanya pun tak luput. Sam, semoga saja kamu tak menjadi
gila.
***
Kantin sekolah sudah mulai ramai. Suara-suara sudah tak jelas lagi
ungkapannya. Semua saling berebut keras dan mendominasi.
Semua kursi kantin hampir penuh seperti biasanya, saat itu. Hanya
ada satu kursi yang tersisa. Kursi itu sengaja dipesan seorang wanita untuk
sahabat barunya. Wanita itu adalah Melina.
218
Glotrak! Suara buku dijatuhkan ke atas meja terdengar keras, tapi
masih kalah keras dengan suara orang-orang yang ramai berbicara di kantin.
“Eee iya Sam, tadi eee aku yang pesenin, kelamaan sih, takut habis.”
“Inisiatif juga ya kamu? Gak salah kepala sekolah ngasih kamu piala
murid berprestasi.”
“Lah, inisiatif aja masa gak tau? Inisiatif itu misalkan nama kamu
Melina, berarti inisiatif-nya huruf M.”
“Itu inisial Sam, inisial bukan inisiatif. Inisiatif tuh misalkan ada
Ujang sama Latif lagi jalan bareng, terus temennya dateng manggil si Latif,
padahal yang dipanggilnya itu malah Ujang. Ujang pasti bilang, „Ini sih
Latif.‟ Itu inisiatif tuh.”
“Haddduh, bukan itu juga Mel, inisiatif itu misalkan kamu ngangkat
telepon suaranya gak dikenal tuh.”
219
Sam mengubah cara duduknya. Kakinya kini naik dan diangkat ke
atas kursi. Persis seperti orang sedang bersila, namun di atas kursi. Tangan-
nya cekatan memasukkan mi ke dalam mulutnya. Bunyi sendoknya tak
terdengar, cukup rapi juga caranya meraih makanannya.
“Mel, enak loh ini, kalau mau ambil aja.” Sam menawarkan
makanannya kepada Melina. Sedikit sok-sokan sih, tapi ya begitulah Sam.
220
“Yaah, jadi gimana dong? Padahal kalau menang duitnya mau aku
pake buat umroooh.”
“Apa Sam?”
“Sudah berapa lama kamu jadian?”
“Mel, seandainya aku culik kamu, Kak Indra marah gak ya?”
“Aaaih, ngapain nyulik-nyulik, iseng aja tuh!”
“Nah iya kalo pusing, kalo ternyata dia malah cari pacar baru gimana
hayoooo?” Melina membuat Sam bingung dengan lambaian penolakan
tangannya.
“Ya kalo cari pacar baru berarti kamu juga harus cari dong.”
“Ahahaha, maunya!”
“Usahanya minta.”
“Gak mau kalaaaaah!” Melina memukul Sam dengan LKS yang dia
bawa.
222
“Kalo disenyumin kamu Meliiiiina!” Sam menarik tubuhnya ke bela-
kang. Dia takut Melina memukulnya kembali.
Tak lama setelah itu bel selesainya istirahat berbunyi. Melina dan Sam
berpisah. Keduanya melewati arah yang berbeda untuk sampai di kelas
masing-masing.
“Hey Mel!!” Sam sempat memanggil Melina sebentar. Melina
menoleh. “Terima kasih ya.”
“Iya Sam.”
Satu hal yang perlu dicatat. Dalam perjalanan itu, Melina selalu
tersenyum bahagia. Wajahnya tak berhenti memancarkan sinar positif.
***
223
Harus Selesai Semua
Sam, ayah, dan ibunya duduk mengelilingi meja bundar itu. Semua
matanya tegang. Ucapan yang keluar pun tidak ada yang tak serius.
Semuanya demi kebaikan.
“Sam janji akan masuk IPA seperti apa yang Abah dan Ibu pengen.”
224
“Sanksinya Sam akan dimasukkan ke sekolah manapun terserah Abah
dan Ibu.” Sam menjawab tertatih. Baju polos putihnya dia pegangi tegang.
Sarungnya bergoyang-goyang mengikuti kakinya yang gugup.
Ibunya memangku dagu dengan kedua tangan. Daster hitamnya
membuat Sam merinding dan tak berkutik.
“Sam itu merokok, bolos, berantem, semua dilakukan!!!!” Ibunya
mulai bicara.
“Mau jadi apa sih cita-citanya?”
“Maaf terus.”
Ayah Sam masih diam. Dia memberi kesempatan pada istrinya untuk
bergantian memarahi Sam.
“Cobalah Sam itu sadar sedikit, sekolah itu mahal jangan buat main-
main Sam.”
Semua mendadak menjadi sepi. Nada bicara ayah Sam cukup tinggi.
“Sepakat semuanya?!!”
“Sepakaaat!”
225
“Sudah salaman.”
***
226
Mulai Beda
“Oh, dia orangnya baik, dia temenku Kak. Jangan ngatain dia
brengsek dong.” Melina sedikit kesal. “Sendirinya dikatain gitu pasti gak
mau kan?”
“Ya jelas.” Kak Indra meninggikan nada ucapannya. “Aku kan murid
berprestasi, brengsek dari mananya? Sedangkan dia berantem, bolos, dan
buat onar terus kerjaanya, Yang.”
“Ya sama Sayang, semua orang itu sekalipun dia nakal, dia pasti gak
mau dibilang nakal. Ada alasan mereka semua melakukan hal itu.”
227
“Jangan ke aku,” Melina cemberut, “ke Samudra dong sana.”
“Gak papa sih, pantesan udah akrab, kirain aku baru kenal.”
“Oh, hehehe.”
Kata-kata di antara keduanya tiba-tiba lenyap ditelan malam. Terdiam
cukup lama dua insan itu. Melina sibuk membolak-balikkan halaman
novelnya. Kak Indra asyik sendiri dengan gadget mahalnya. Betapa ruginya
waktu yang disia-siakan.
***
Hari berlalu begitu cepat. Malam yang gelap kini perlahan terang
benderang. Matahari memang tak muncul, tapi sinarnya cukup membuat
seluruh isi bumi bagian Cirebon terlihat. Cuaca yang cukup mendukung
untuk melanjutkan tidur.
228
Melina mengambil satu buah double tip (lem yang bisa merekatkan
depan belakang itu loh). Dia kemudian menempelkan surat Sam atas nama
Heldy itu di dinding kamarnya.
Hy Engel
Entah kamu tahu atau tidak, malam ini aku sedang berusaha mencintaimu, dengan
cara yang tidak sama sekali engkau tahu. Percayalah, engkau tidak akan tahu Engel.
Ini puisiku, supaya impas dan aku tidak lagi berhutang sajak padamu.
Malam
Jangan kau rekatkan apa yang sudah hampir menyatu.
Heldy
Sreeeeeeeeeeek!
Melina merobek bagian puisi dalam surat tersebut. “Ini aja, yang
lainnya gak penting. Maaf ya Heldy.”
229
Seperti orang gila saja, Melina berbicara sendiri.
“Kayaknya sih begitu, aku gak bisa bedain marahan sama baikan itu
gimana, sih? Hehe.”
“Aaaaah, kamu mah emang gitu, jarang sekali peka terhadap perasaan
orang lain. Ga boleh kaya gitu Mel!” Desi menepuk kecil punggung Mel.
“Salah ya Des?”
“Termasuk kamu?”
“Kadang sih gitu. Yang jelas ya Mel, manusia itu semua sama kaya
kamu, mereka itu punya hati, punya pikiran, jadi, mereka juga pasti merasa
dan mikir sama kaya kamu juga.”
“Deeeeees!” Melina memeluk erat tubuh Desi. “Maafin aku kalo se-
ring gak peka sama kamu.”
230
“Aaah Mel!” Desi balas memeluk Melina. “Udah ah lepasin malu.”
Kemudian Desi melepaskan pelukannya dan tentu, pelukan tangan Melina
pun disingkirkan.
“Ih, kenapa Desi disingkirin gitu tanganku?”
“Malu ah Mel, lagian ini bukan sama aku, peluk tuh Kak Indra. Abis
kamu apain sih sampe dia ga mau nganter sekolah?”
“Gak tau Des, tadi malem dia cuma marah soal aku nraktir Samudra.”
“Ya Samudra itu kan anak nakal, kamu taulah dia. Kak Indra pasti
kesel kamu deket sama anak nakal.”
“Itu kebetulan!!”
“Iya mungkin, tapi itu gak bisa jadi alesan buat kamu nilai orang itu
baik.”
“Iyalah, kamu juga pasti marah kan kalo liat Kak Indra sama cewe
lain?”
231
“Selama alasannya masuk akal sih, aku gak bakal marah Des.”
“Ya, itu karena belum terjadi, nanti coba kalau sudah terjadi, pasti
kamu bicara hal yang beda.”
Kini tugas lain telah menanti Melina. Tas pink andalannya dia buka
sedikit. Surat dengan tulisan tangan rapi, untukmu Heldy, telah berada di
pangkuannya. Dimasukkanlah surat itu ke dalam meja.
***
“Meeeel, mellllll!”
232
Melina sibuk mengerjakan tugasnya. Dia tidak sempat menampilkan
ekspresi kekagetan yang sama dengan Desi. Dia sepertinya kembali tidak
peka. Mel, Mel, dasar kamu ini.
“Akuuuu lihat Kak Indra makan bareng cewe lain tadiiii.”
“Yang bener!!???”
“Iya Meeeel.”
“Di mana Des? Antar aku ya!”
“Iya ayo cepet ah!” Desi menarik tangan Melina. Dibawanya Melina
menjauh dari kelas. Terus dan terus sampai ke kantin. “Tuh Mel!”
“Iya ya.” Melina melihat kejadian itu. Dia hanya bisa mengungkapkan
keheranannya dengan datar.
“Maksudmu?”
233
“Jelas menurut apa yang di pikiranmu, tapi belum secara masalahnya.
Jangan pancing aku untuk emosi, santai aja.” Melina terus saja berjalan.
“Ayo ke kelas cepet.”
***
234
Kacau
Love without risk is an impossibility, like war without death. – Alain Badiou
“Untuk apa aku jadi kamu Sam?” Melina memasang wajah yang
teramat heran.
“Ya itu sih kalo kamu mau, kalo gak ya udah.” Sam mulai sedikit jual
mahal.
Sam, Ogi, dan Melina duduk bersama di teras kos Melina. Sam dan
Ogi sedang menunggu kedatangan Pak Ghazali, seorang teman ayah Sam.
Melina bertugas menemani keduanya menanti kehadiran Pak Ghazali.
235
Sam menggunakan celana pendek bercorak tentara. Kantong-kantong
yang berada di kanan dan kiri celananya cukup untuk menaruh seluruh kue
yang disuguhkan Melina. Dia juga memakai baju bergambar wajah Nelson
Mandela. Lagaknya sudah seperti buronan perang yang sedang kabur.
“Ya udah, sekarang aku tanya, kenapa aku harus jadi kamu Sam?”
“Kenapa ya?”
“Yeeee malah balik tanya, jawab ah!” Melina kesal ingin segera tahu.
“Ya karena cuma itu satu-satunya cara untuk tau bagaimana rasanya
mengagumi kamu. Kamu harus jadi aku.” Sam menatap teduh mata Melina.
Dia berbicara melibatkan segenap hatinya. “Begitulah Mel.”
236
“Hahahahaha satu kosong, satu kosong!” Sam meledek sambil menari-
nari kecil.
Selalu ada duka dalam setiap bahagia. Selalu ada bahagia pula sehabis
datangnya duka. Sama seperti malam itu, di tengah tawa dan canda yang
terlontar, tiba-tiba saja …
Gruuuung, gruuuuuung, ngeeek!
Motor Ninja hijau parkir tepat di depan pagar kos Melina. Melina
mulai gugup, tak lagi tenang. Dia menyuruh Sam dan Ogi untuk menjauh
dari kursi yang disediakan Melina.
“Udah kalian ke sana aja, ke deket taman.”
“Iya Gi.”
237
“Ya gak mau keciri aja.”
Sekitar sepuluh menit, Melina dan Kak Indra berbincang serius. Kak
Indra tak juga turun dari motornya yang keren itu. Tidak tahu juga apa yang
menjadi alasannya begitu. Mungkin karena ada laki-laki lain yang sudah
menghampiri Melina. Mungkin juga dia merasa gengsi kalau harus terpaksa
minta maaf pada Sam.
Gruuuuuung, gruuuuuuung!
Motor Kak Indra kemudian pergi. Asap-asap kepulan dari mesin dua-
tak berterbangan tak karuan. Baunya mengganggu penciuman dan tak
menyehatkan paru-paru.
“Gak ah, udah kalian sini, duduk lagi di sini, mau denger ceritanya
gak?”
238
“Aku duluan Sam ah!”
Memang seperti anak-anak saja kedua orang itu. Berebut kursi dan
saling tak mau mengalah. Sam akhirnya dipangku di atas paha Ogi.
“Masa sih?”
“Iya Mel, bener kata Ogi.” Sam membenarkan ucapan Ogi. “Iya kan,
Gi?”
“Iya Sam.”
Malam mulai bertambah larut. Bintang sudah bersinar semakin
terang. Bulan yang purnama pun terlihat bundar seperti uang koin seratus
rupiah. Sungguh malam yang mengasyikan waktu itu.
239
“Ya gak papa, aku sebenernya suka sama cowo, namanya Heldy, Sam,
Gi. Tapi aku ga pernah ketemu dia, nanti kalo udah ketemu aku kenalin
deh.”
“Heldy?” Ogi tampak bingung. “Seumur-umur aku baru denger nama
itu Mel?”
“Iya aku juga Mel.” Sam pura-pura tidak tahu. Dia mengimbangi Ogi
dan menjaga rahasia pribadinya.
“Pokoknya dia itu orang romantis yang pernah masuk ke dalam hidup
aku.”
“Kembali lagi deh ke awal, napa kamu seneng padahal kan kamu baru
putus?” Ogi mencoba tetap fokus pada hal yang sebelumnya mereka
bicarakan.
“Ya, gak papa Ogi, napa emangnya? Ogi maunya Mel terus sama Kak
Indra gitu?”
“Ya bukan gitu Mel, hebat aja, putus bukannya nangis malah seneng,
hehe. Kasih alesan dong.”
“Iya Mel, kasih alesan.” Sam ikut meminta jawaban Melina. Dia
memasang wajah memelas.
“Gini ya, pacaran itu kan sesuatu yang kita gak pernah tau seberapa
besar dia suka aku. Aku beruntung dong kalau dia mutusin aku sekarang,
aku jadinya tau kalau dia itu suka sama aku gak tulus. Dia itu maunya aku
jadi apa yang kaya dia mau aja, sedangkan aku kan punya keinginan sendiri
Gi, Sam. Iya gak?”
“Iya sih.”
240
“Nah itu, makanya pas putus aku seneng, aku seneng dijauhin dari
orang yang pura-pura baik karena dia emang mau dapetin hati aku. Awalnya
aja kaya yang iya, ujung-ujungnya mah nuntut juga.”
“Hmm gituuu ya.” Sam merespon jawaban Melina dengan sederhana.
Di antara ketiga orang itu, Sam mungkin adalah orang yang paling
serius mendengarkan Melina. Dari percakapan yang dilakukan, dia menjadi
lebih tahu siapa Melina, lebih paham mengenai sifat Melina dan lebih
mengerti bagaimana dia harus menghadapi Melina. Suatu bocoran ilmu yang
didapat dengan cuma-cuma. Memang bagus rezekimu Sam.
***
241
Pesan dari Abah
“Wah, berarti pas kemarin Sam lemah itu menunjukkan aslinya Sam
ya Bah?”
“Iya Bah.”
242
“Besi yang panas itu paling asik untuk ditempa, sedang besi yang
lembek itu dikilo saja kadang tak laku.”
Sam selalu merasa bahagia bila ayahnya sudah bercerita. Daya tahan
tubuhnya terasa meningkat tajam, tanpa perlu vitamin. Mungkin benar kata
ayah Sam, “Ilmu adalah sumber kesehatan manusia sesungguhnya.”
“Assalamualaikum!”
“Walaikumsalam!”
***
243
UKS
Tidak ada tempat bolos pelajaran terbaik selain UKS (Unit Kesehatan
Sekolah). Setiap kita bertemu dengan guru yang killer, membosankan, dan
tak dimengerti pelajarannya, maka UKS adalah jawabannya. Pura-pura
pusing, sakit perut, atau tidak enak badan menjadi modalnya. Setelah surat
sakit turun, bebaslah kita tidur sepanjang hari di UKS.
Trik itu pun seringkali dilakukan oleh Sam pada waktu itu. UKS di
sekolah Sam letaknya persis di samping masjid sekolah. Sam berjalan
tergopoh diantar oleh Benjamin dan Ogi. Ya, meskipun acting tapi harus
kelihatan sebaik mungkin, tujuannya agar tidak ketahuan.
“Gi, Ben, titip absen ya. Aku di sini aja, tugas agamaku belum
dikerjain.”
“Makasih ya.”
“Oke siap!”
Sam terlihat mulai tiduran lelah tanpa sepatu menjadi alasnya, hanya
bersisa kaos kaki saja. Bajunya keluar dari dalam celana. Benar-benar sepi
244
dan sendiri dia di dalam UKS. Hanya barang-barang kesehatan dan obat-
obatan yang menjadi kawannya.
Jika ada istilah tidak ada suatu yang kebetulan, maka itu mungkin saja
benar, tapi tidak berlaku untuk siang itu. Kebetulan itu kadang memang
seringkali ada. Melina tiba-tiba saja datang menyusul Sam. Tentu bukan
hendak membolos, tapi dia benar-benar sakit. Mukanya pucat dan matanya
merah lebam. Melina diantar oleh Desi.
“Iya Des.” Dan breeeg, ambruk sudah tubuh Melina di atas kasur.
“Makasih ya Desi, kamu baik sekali.”
245
“Iya Mel, kalau si badung itu gangguin kamu teriak aja ya, okeh?”
Kini, di dalam ruangan berukuran sekitar 5x4 itu hanya tersisa Melina
dan Sam. Keduanya bermimpi dalam satu tempat sama. Tidurlah yang
nyenyak.
***
Kedua orang itu duduk di atas kasur yang berbeda. Di UKS itu
memang terdapat dua kasur. Bukan kasur khusus untuk pria dan wanita,
tetapi kasur untuk siapapun yang merasa sakit. Sam bersila, begitu pula
Melina. Keduanya saling berhadapan.
“Ah gak Sam, ini kecapean aja, aku gak pake kacamata makanya
keliatan merah.”
“Ah boong ih, kemarin-kemarin gak pake kacamata aja biasa ajah.”
“Eh, eh maaf Mel, bukannya gak percaya,” Sam mencoba turun dan
sedikit mendekat.
“Iya Mel maaf, aku bukan gak percaya cuma heran aja,” Sam berkata
sambil kembali menaiki kasurnya.
“Gak papa sih, udah ga usah minta maaf, udah aku maafin kok.”
Sam berhenti, bibirnya tak lagi berucap. Dia takut ada kesalahan yang
tak disengaja yang justru menyebabkan Melina menjauh darinya. Kini dia
hanya memainkan bantal yang dipegangnya.
247
“Sam.” Melina kemudian memulai.
“Apa, belum pernah Mel, kalo suka sama orang sih pernah.”
“Terus apa yang kamu lakuin?”
“Ngeliatin aja Mel, udah. Cukup kok untuk bikin hati aku ngerasa
seneng.”
“Bener, masa kamu gak ada niat buat memiliki wanita itu?”
“Bener deh, suer. Pertanyaanmu itu sedikit nyindir ya? Kamu tau kan
aku jombo, hehe.”
“Belajar apa?”
“Belajar kalau hidup tuh jangan terlalu dibawa serius, santai aja.
Bahkan putus dari pacar pun laluilah dengan ketawa, simple.”
“Hahaha, iya sih ya, kenapa malah aku yang sedih sih ya sekarang?”
“Ya sedih aja Sam.” Melina mengusap sedikit matanya. Air dari bulat
matanya hampir jatuh. Wanita itu memang pandai menyembunyikan perasa-
annya. Pandai sekali.
248
“Siapa juga yang mau cerita?” Melina meledek dengan memeletkan
lidahnya. “Geer.”
“Biasanya ya, biasanya ini sih. Orang yang sedang gundah hatinya itu
mencoba menghibur diri dengan menertawakan orang lain. Kaya kamu
sekarang ini.”
“Hahaha, aku kena lagi deh!”
“Mel, pernah gak sekali waktu kamu mikirin tentang orang tua kita?”
“Iya Mel, aku kan sekarang sudah berjanji berubah karena aku sayang
orang tuaku.”
249
“Kamu mau melanjutkan pembahasanku soal cinta dan orang tua tadi
Mel?”
“ „Aku cinta kamu‟ terus udah jadian? Bercanda kamu Mel. Ini mah
pengalaman pribadi kan, hayooo Kak Indra ya?”
“Tapi untuk Kak Indra tidak cuma itu kok Sam, ada hal yang jauh
lebih penting, komitmen namanya.”
“Oh iya, komitmen pada alasannya suka sama kamu, mungkin itu.”
Sam mulai keluar sifat aslinya. Ngeyel.
“Maksudnya Mel?”
“Ya kaya sekarang, kamu mikir aku baik hanya karena aku ganteng.”
250
“Makanya Mel, nikmati aja semuanya, jangan buru-buru. Cinta yang
datang karena tiba-tiba itu justru lebih asik daripada cinta yang ada karena
harus dipaksakan dengan jadian.”
“Aku suka kalimatmu.”
***
251
Tentang Sam
Cinta tidak pernah memandang usia. Anak kecil, remaja, dan bahkan
orang yang sudah kolot sekalipun bisa merasakan indah perasaan itu. Jika
tirai daripada cinta itu telah terbuka pada satu hati, maka seluruh anggota
tubuh pemilik hati itu akan ikut juga merasakannya. Itulah keajaiban apa
yang disebut dengan cinta.
Kos Melina kelihatan begitu sepi. Seluruh pintu terkunci rapat. Tidak
ada lalu-lalang seorang pun di sekitaran kos-kosan berlantai dua itu.
Penghuninya tengah dilanda kesibukan masing-masing.
Melina dan Kak Linda ada di balik pintu berwarna putih itu. Mereka
berdua memang suka sekali bertukar cerita. Keduanya terlalu banyak saling
menyimpan rahasia, sudah seperti kakak dan adik.
“Lalu gimana tanggapan kamu ke dia Mel?” Kak Linda bertanya cukup
serius. Dia tidak peduli dengan tanktop hitam dan celana pendek cokelat
yang dia pakai. Ribuan nyamuk yang menggigit tubuhnya tak menyurutkan
niatnya membantu Melina. “Jawab Mel?”
“Aku belum tau Kak, dia belum jujur sepenuhnya sama aku. Tapiii …”
252
“Tapi Mel yakin, Samudra itu suka denganku Kak. Dia datang dan
membuat Mel bisa dengan mudah melupakan Kak Indra. Dia memeluk
tubuh Mel tidak dengan tangannya Kak, tapi dengan kelembutan sikapnya.”
“Apa kamu yakin dia seperti itu?”
“Mel yakin, yakin sekali. Sejauh ini firasat Melina gak pernah salah.
Apalagi Melina udah menatap langsung matanya.”
“Kalo memang kamu sudah yakin, cobalah kamu ajak dia ngobrol
sedikit tentang hal yang lebih serius.”
“Kamu bilang dan tanya soal gimana seandainya ada seorang wanita
yang suka sama dia Mel, gitu.”
“Tadi siang aja dia bilang gak pernah mau nembak cewe Kak. Dia mau
cinta datang dengan sendirinya. Dia gak mau cinta yang dipaksakan dengan
jadian.”
“Hah, seumur-umur baru deh Kakak nemu orang yang kayak gini.”
253
Melina kemudian pergi ke meja belajarnya. Dia buka laci yang berada
tepat di bawah meja belajarnya itu. Setumpuk surat Heldy kini dibawanya ke
kasur.
“Nih Kak.” Dia melepaskan semua surat itu ke atas kasur.
“Apalagi ini?”
“Samudra itu orang yang menurut Mel paling cepat merebut hati Mel.
Dia berhasil menguasai sebagian hati Mel yang hampir saja dikuasai Heldy.
Mel jatuh Kak.”
“Iya Kak. Mel juga baru melihat Mel kaya gini. Tapi emang sulit
keadaannya.”
“Sulit karena kalian berdua tidak ada yang mau inisiatif saling memu-
lai. Butuh kesabaran dan keseriusan.”
“Maksudnya Kak?”
“Berani Kak.”
“Mulai besok kamu pancing dan tanya terus dia soal perasaannya.
Kamu mulai berganti memenuhi harinya dengan kehadiranmu. Kamu rebut
juga perasaan-perasaan kecilnya itu. Kamu bisa Mel!”
“Kakak dulu sama si Rudi juga begitu. Kakak yang pancing dia,
akhirnya sekarang … kita sama-sama saling tidak bisa jauh.”
“Sama-sama Mel.”
***
255
Menentukan Akhir
Sam, Benjamin, Dayat, Ridwan, Ogi, dan Anto selalu menjadi tim
andalan futsal. Mereka pasti saja menjadi orang-orang terpilih kelas untuk
bermain sepak bola. Beberapa pertandingan berhasil mereka lewati. Pada
akhirnya, kelompok anak nakal itu hanya memperoleh juara kedua.
Selain perlombaan, ada pula acara pembagian hasil dan remidial bagi
murid-murid yang mendapat nilai rendah. Sam yang sebelumnya disangka
akan mengalami banyak remidial ternyata lolos. Seluruh nilainya baik dan
bisa mengantarkannya bersama dengan Ogi masuk ke kelas IPA di tingkat
kedua nanti. Sementara rombongannya: Benjamin, Erwin, Dayat, Ridwan,
dan Anto di kelas IPS.
Sam sedikit banyak berubah dan menutup akhir masa kelas satunya
dengan cukup baik. Dia tidak banyak menjadi keluhan orang tuanya kala itu.
“Tapi gimana lagi ya Ben, harus misah gini. Nanti tetep main bareng
ya?”
“Pastilah Sam, masa hanya perkara beda jurusan terus kita gak main
bareng, kan lucu.”
“Mana Erwin?”
“Itu di belakang Sam.” Ogi menjawab sambil menjatuhkan kacang,
minuman bersoda, dan satu buah spidol.
“Hahahaha!”
“Wiiin cepet sini!” Dayat memanggil Erwin cukup keras. “Sini ah!”
257
“Coba tiap hari sepi gini ya, kan bebas.”
“Oke.”
258
“Kalau aku bilang „Sam‟ dan begitu juga yang lainya, semua jawab ciri
khasnya ya!”
Yang kedua.
“Daaaayat!”
“Penuh rahasia!” Erwin semangat.
“Oke, boleh.”
Yang ketiga.
“Samudra!”
“Melina!” Ogi terus terang.
“Yang bahkan uang pun tidak bisa membelinya.” Erwin sedikit lebih
tegas.
“Persahabatan itu suatu yang tanpanya kita tidak bisa hidup.” Dayat
menadahkan kepalanya ke atas. Dia sombong dengan jawabannya.
***
Gelap mulai datang. Tidak ada perjanjian pertemuan di luar untuk
malam ini. Sam sudah santai duduk di kursi kamarnya.
Bulan tak begitu terlihat, sinarnya tertutup awan. Bintang
menggantikan tugasnya untuk menerangi bumi.
Sam mulai siap membaca isi dari surat yang bisa saja menjadi surat
terakhir dari Melina.
261
Heldy, hai Heldy.
Ini mungkin surat terakhirku di kelas satu. Besok-besok kita libur dan aku sudah
naik menjadi kelas dua. Senangnya.
Heldy, aku hari ini ingin menuntut janjimu. Besok kita tepat pukul 19.00 bertemu di
taman kota ya.
Terima kasih karena sudah mencintaiku dengan sangat baik Heldy. Terima kasih
telah merawat rasa sayangku dengan sempurna. Terima kasih karena terus menyirami
cintaku dengan air perhatian yang indah.
Engel
Hy Melina.
262
Aku mulai berani menampakkan diriku sebagai Samudra. Hari ini, hari di mana
kau mungkin akan terlambat membaca surat ini, kau akan menemukan dua hal, yaitu
kebahagiaan atau kekecewaan.
Percayalah Mel, bahwa dalam sebuah pertemuan itu pasti ada akhir yang mau tidak
mau kau juga harus menjalaninya.
Aku minta maaf atas cintaku yang terlalu padamu.
Aku minta maaf andai pada kenyataannya, suratku mampu menghantui hari-
harimu, pikiranmu, dan apapun yang menurutmu merugikanmu.
Samudra
263
Napas Baru
Abaikan kepedihan, atau kau tidak akan pernah merasa bahagia – Imam
Ali ibn Abi Thalib
Menurut Jean Paul Sartre, masa lalu itu selalu memiliki apa yang
dikenal dengan “FAKTISITAS”, yaitu ada fakta-fakta tertentu di masa lalu
yang tidak dapat diubah. Misalkan tempat lahir, bagaimanapun kita
mencoba mengubahnya, kita tidak akan pernah bisa melakukan perubahan
keadaan itu. Tetapi ikatan akan masa lalu itu tidak dapat menyebabkan
alasan apapun, tentang mengapa kita melakukan sesuatu hal sekarang.
Kejadian malam itu telah menjadikan luka bagi Sam dan terutama lagi
bagi Melina. Pertemuan pun sudah semakin jarang. Berbalas surat pun kini
tak ada lagi.
***
264
Seorang anak muda berambut kriting dan bertubuh kurus keluar dari
kamarnya. Dibawanya satu robekan kertas berisi nomor telepon yang dia
dapat dari jejaring sosial. Dia berlari kencang menuju ruang keluarga di
rumahnya.
Kini dia telah tepat berada di depan telepon. Dipencetlah satu persatu
nomor telepon itu sesuai dengan apa yang tertulis di kertas kecil yang dia
bawa.
“Ini Mutia?”
“Halooooooo?”
Dan.
***
265
Profil Penulis
266