Anda di halaman 1dari 280

Alhamdulillah, selamat dan Mabruk.

Semoga menjadi awal bagi


penulisan novel berikutnya. Buya bangga sekali. Semakin banyak anak
muda yang menulis.
Husein Muhammad
Pendiri Fahmina Institute Cirebon, Ketua Dewan Kebijakan Fahmina
Komisioner Komnas Perempuan 2007-2014

Sekolah, Jalanan, dan Keluarga. Di tiga wilayah itulah masa remaja


terbentuk. Berupaya menemukan eksistensi melalui persahabatan, cinta,
petualangan dan pengetahuan, Novel ini "merawat" tokohnya dengan
sejumlah refleksi filosofis. Suatu upaya pedagogis dari si penulis untuk
mendekatkan pikiran-pikiran dunia kepada kalangan remaja. Saya
hargai upaya itu.
Rocky Gerung
Pengajar Filsafat, UI

Sebagai proses pembelajaran sang pemula, novel ini patut dihargai


karena niat dan tujuanya. Di dalamnya berisi pesan moral yang
mengajak remaja keluar dari lorong gelap menuju terang kehidupan.
Ada perlawan, ada kesendirian, ada contoh-contoh buruk dan gejolak,
akan tetapi ada pula persahabatan, cinta dan kasih sayang di dalamnya
yang layak dijadikan teladan.
Yudi Latif
Pengamat Politik dan Ketua Pelaksana Harian Pusat Studi Pancasila,
Universitas Pancasila
Menulis itu bukanlah perkara gampang. Kepada mereka yang mau dan
mampu menuangkan buah pikiran mereka ke dalam sebuah tulisan,
baik itu rubrik populer, telaah ilmiah, maupun karya sastra berupa
novel, layak diberikan apresiasi. Mereka merupakan segelintir anak
manusia yang terberkati untuk berjaya menembusi apa yang jamak
dirujuk sebagai 'the writer's block'.
Novel bertajuk 'Selamat Pagi' karya Bakhrul Amal ini boleh dibilang
mewakili gambaran mengenai kepiawaian seorang penulis dalam
mensiasati jerat 'the writer's block' sebagaimana disebutkan di atas. Tutur
yang lincah lagi jenaka dari si penulis nyatanya mampu menggugah
hasrat sekalian pembaca untuk terus menelusuri fase demi fase kiprah
Samudra, sang tokoh utama novel ini. Untaian tulisan yang menyapa
jujur, membuyarkan sekat yang memisahkan pembaca dari karsa dan
karya Samudra nan belia itu. Semuanya terasa begitu dekat, semuanya
terkesan begitu lekat. Kalau saja narasi yang berkenaan dengan konteks
ruang dan waktu dari segala peristiwa diperkaya, serta jika saja ilustrasi
yang mengiringi bergulirnya deretan bab satu ke bab lain diberi jiwa dan
makna, niscaya cerita tentang Samudra jadi kian membumi. Dan
pembaca-pun dIbuat tak lagi punya daya untuk begitu saja berpaling dari
jalinan pengalaman Samudra bersama rekan-rekannya.
Kepada penulis saya sampaikan selamat, dengan harapan terus berkarya
demi memenuhi damba pembaca akan pembelajaran hidup dari banyak
Samudra yang lain.
Prof. Erlyn Indarti Phd
Pengampu Mata Kuliah Filsafat Hukum UNDIP dan Anggota
KOMPOLNAS
Seperti nama tokoh utama dari novel ini, kita akan diajak mengarungi
luas „Samudra‟, Samudera kehidupan yang sebetulnya sederhana dan
umum dilakukan dalam keseharian, tetapi karena hasil kontemplasi
(permenungan) yang tinggi, kontemplasi mengenai kehidupan manusia
yang dinamis, tak pelak novel ini bernuansakan sastra berbeda dari
kebanyakan novelis yang ada. Benar, kita akan diajak untuk menyelami
hal-hal yang sebelumnya tak terpikirkan. Selamat kang Bakhrul Amal
atas novel yang „menguras‟ ini!
Mamang M. Haerudin
Kyai, Pengasuh Ponpes Raudlatut Thalibin Cirebon dan penulis buku ―Tuhan,
Mohon Izinkan Aku Mencintai Perempuan‖

Ini mah cerita pribadi, ditambah-tambahin sendiri aja sama si Amal biar
keliatannya rada bagus orangnya. Padahal mah nakal pisan aslinya.
Amir Hamzah
Ketua RW 01 Kasepuhan, Cirebon

Edan, mantap, novel bisa begini ya, menceritakan tahun 2006.


Keingetan jaman-jaman SMA jadinya.
Mohammad Gugus
Mahasiswa Fredrich Schiller Universitat, Jena, Austria
Bakhrul Amal
Selamat Pagi

Penulis
Bakhrul Amal

Penyunting
Tim Ellunar Publisher

Penata Letak dan Perancang Sampul


Hanung Norenza Putra

Penerbit :
Ellunar Publisher
Jl. Randusari Utara No. 10 Antapani
Bandung 40291
Email: ellunar.publisher@gmail.com
Website: www.ellunarpublisher.weebly.com

Selamat Pagi
Bandung; Ellunar, 2015
xiv + 266hlm., 14.8 x 21 cm
ISBN:

Cetakan pertama, Maret 2015

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak


sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta


Lingkup Hak Cipta
Pasal 2 :
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Asmaradana

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena
angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika
langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara
mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,


perjalanan, dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada
rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat
yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu. Bulan pun lamban dalam angin,
abai dalam waktu. Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan
wajahku, kulupakan wajahmu.

Goenawan Mohamad
Untuk:

Seluruh sahabatku di muka bumi ini

Terima kasih
“Masa-masa itu, mungkin saja bisa hilang karena tersapu oleh ombak,
tertiup terbang oleh angin atau bahkan juga musnah ditelan oleh
kegelapan. Tetapi, dengan sebuah goresan pena sederhana, setidaknya,
masa-masa itu akan terus hidup dan abadi.”

(Bakhrul Amal)
Kata Pengantar

Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Semenjak kata-kata itu


datang dan berhamburan bersama kenangan masa remaja, aku
mengikrarkan diri untuk menuliskan setiap bab dengan penuh
pengkhayatan. Kepingan-kepingan kecil itu kususun bak puzzle yang
kutemukan di rak mainan masa kecilku. Hingga akhirnya, kini, di
penghujung tahun 2014, naskah sederhanaku telah rapi dan siap disajikan
kepada khalayak.

Novel ini, bukanlah sebuah novel yang sekadar menceritakan


bagaimana bahwa gejolak-gejolak masa remaja itu berapi-api, tetapi juga,
novel yang menampilkan betapa di balik kegarangan anak muda selalu ada
sisi keromantisan yang tersembunyi. Entah itu karena cinta, karena
pengalaman yang berulang-ulang, atau juga karena ikatan batin yang erat.
Dan di sini, Samudra adalah kisah tak bertepi yang secara perlahan
menuntunku ataupun juga kita untuk terus belajar menikmati hal-hal unik
itu.

Tentu, dengan begitu banyak kesadaran, aku hanyalah sebuah


kelemahan tanpa kelebihan-kelebihan orang lain yang menjadikannya
sebuah kekuatan. Sama seperti Samudra juga, yang tak bisa hidup dengan
menafikan orang-orang sekitarnya. Untuk itu, rasanya, aku perlu berterima
kasih kepada Allah, Nabi Muhammad S.A.W, Ayah dan Ibu, serta Nenek
yang secara tak sadar berkolaborasi membentuk pribadiku. Terima kasih
pun kusematkan untuk kakak dan adikku, Salamah Agung, Muhammad
Alwi, dan Jiddi Adibia yang terus memberikan dukungan tak henti-henti.
Selanjutnya, untuk sahabatku Benny Suhada, Erwin, Ahmad Prayogi,
Hidayatul Ikhsan, Anto, dan segenap keluarga besar Solidaritas yang
menyenangkan masa mudaku bahkan sampai saat ini. Untuk Paman Alam
Darussalam suporter anarkis yang tidak peduli apapun pertandingannya
yang penting rusuh. Untuk komunitas Payung: Rashid, Husni, Fajar, dan
Febri. Untuk kawan peneliti di Satjipto Rahardjo Institute: Hasan, Bowok,
Mas Unu, Mas Said, Mas Luluk, Mas Syukron, Galang, dan seluruh
jajarannya. Untuk komunitas Dialog: Kris, Adryan, Jimmy, dan lainnya
yang perlahan mulai tak tampak batang hidungnya. Tentunya juga, terima
kasih kepada sahabat di Just A. Library. Tidak lupa juga komunitas Rumah
Kertas, Cirebonnews, Aboutcirebon, Cirebon Post, Cirebon-trust,
Semarangdaily, Satjiptorahardjo, Papernoise, JunkS4Charity, Paramonster,
SOFIInstitute, Koalisi Semarang, Perludem, Rumah Buku Simpul
Semarang, Sekolah Tan Malaka, komunitas Dewa Orga, IMMKN UNDIP,
KSS, Jingga Media, semuanya matursuwun sanget.

Dalam penulisan buku ini, bantuan secara penulisan dan syarat isi
cerita juga rasanya perlu untuk disebutkan sebagai tanda penghormatan:
kepada Haji Umuh Muchtar, Bung Rocky Gerung, Kakanda Yudi Latif,
Prof Erlyn, Prof Suteki, Prof Yos Johan Utama, Haji Pidi Baiq, Mas
Akhmad Sahal, Mba Sinta Ridwan, Kang Maman Imanulhaq, Bapak Jamali
Sahroji, Kang Said Aqil Siraj, Kang Mamang Haerudin, Abuya Husain
Muhammad. Tidak lupa juga penulis berterima kasih kepada Om Maman
Mahyana, terima kasih Om atas kritiknya di suatu senja yang begitu
menghanyutkan.

Akhirnya, tak ada suatu hal pun yang sempurna kecuali Tuhan. Tak
ada suatu hal pula yang tak berubah selain perubahan itu sendiri dan juga
Tuhan. Oleh karena itu, aku yakin, bila gading yang kokoh saja mampu
retak apalagi novel yang teramat remeh ini. Penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dalam pembacaan buku ini. Agar,
kedepannya nanti, kita bisa selalu menaruh harapan bahwa kita bisa
berjalan bersama-sama dalam kebaikan yang kita sepakati seluruhnya.
Amin.

Semarang, 1 Desember 2014


Daftar Isi

Puisi Asmaradana (Goenawan Mohammad) VI


Kata Pengantar IX
Daftar Isi XII

- I Pembukaan 1
1. Bayang-Bayang
2. Seragam Baru Hasil Jahitan Ibu
3. Wejangan Sopir Angkot
4. Hari Pertama, Hampir Telat
5. Kantin, Teman SMP, dan Keributan!
6. Ayah
7. Tengok Sikitlah
8. Ruang Kelas dan Sahabat Baru

- II Surat dan Percintaan 55


9. Tentang Surat
10. Siapa?
11. Menaruh Surat Balasan
12. Namamu Heldy
13. Heldy dan Engel dari Planet Lenski
14. Merokok
15. Surat Kedua Melina
16. Penasaran
17. Yang Teramat Cantik
18. Bahagia Mel,
19. Senin
20. Cinta

- III Persahabatan 132


21. Menegangkan!
22. Dua Rasa
23. Tenang
24. Tenda Tanda
25. Di Mana Mel
26. Pelangi
27. Merubuhkan Tenda dan Pertarungan
28. Kembali Lagi

- IV Hikmah 192
29. Di Balik Pak Cegu
30. Ini Sulit Sam!
31. Marahnya Ibu
32. Terima Kasih Bah

- V Perpisahan 216
33. Makan Berdua
34. Harus Selesai Semua
35. Mulai Beda
36. Kacau
37. Pesan dari Abah
38. UKS
39. Tentang Sam
40. Menentukan Akhir
41. Napas Baru

Profil Penulis 266


I

Pembukaan

1
Bayang-Bayang

And, when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.
– Paulo Coelho

Ini bukan tentang cinta, ini soal bagaimana mengakhiri sesuatu yang sudah
dimulai dengan baik.

Taman kota malam itu terlihat begitu indah. Sinar-sinar menyala di


antara hijaunya tumbuhan. Air mancur menjulang tinggi menambah
kesegaran.

Melina duduk tertunduk di kursi kayu yang panjang. Di atas


kepalanya tepat lampu taman yang menyala seperlunya. Pipinya penuh
butiran air mata. Tak diseka, tak pula diusap. Melina benar-benar sedang
menikmati rasa pedih itu.

Sam duduk di sebelahnya dengan tenang. Wajahnya ditadahkan ke


atas menatap ribuan bintang. Kakinya digoyang-goyangkan ke samping dan
ke bawah. Sam mungkin tak mengerti apa yang harus dia lakukan. Biarlah.

“Tapi Sam, kenapa kamu gitu?”

“Gitu gimana Mel? Aku kan udah bilang kalau ini soal waktu aja.”

“Kapan?”

“Sampai kamu mencintai Samudra, bukan Heldy. Aku tau, kamu


mikirnya aku ini Heldy dan kamu ini Engel. Ya, mereka mungkin emang
sudah pacaran, tapi untuk Samudra dan Melina itu belum.”

2
“Udah!”

“Belum!”
“Udah Sam!”

“Belum!”

Melina menghela napas. Suara udara dari hidung mancungnya


terdengar cukup keras. Dia mungkin menahan kesal.

“Sekarang kasih aku alesan kenapa belum?” Melina mulai sedikit


tenang.

“Karena selama ini, kamu hanya tau aku itu seperti apa yang kamu
baca dalam surat. Itu padahal bukan aku, itu Heldy. Aku brutal, aku tak bisa
diatur, apalagi untuk bisa berpikir tenang seperti Heldy. Beda, Mel.”

“Tapi aku bakalan bisa kok nerima kamu yang bukan Heldy.”

“Belum tentu.”
“Bisa!”

“Belum tentu. Orang itu gak bisa suka sama dua orang yang sifatnya
berbeda. Itu pasti, apalagi orangnya gak pernah ada, cuma bayang-bayang.”

“Aku bisa, air mataku sudah membuktikan bahwa aku bisa.”

“Bukan jaminan, air matamu itu tetap untuk Heldy, bukan Samudra.”

“Terus gimana aku ngeyakinin kamu?”

“Biar aku yang tau jawabannya sendiri. Ada hal yang gak perlu
dijelaskan Mel, kamu harus paham itu, kata Heldy pun begitu.”

“Tapi Heldy lupa, ada perasaan juga yang tidak bisa dijelaskan. Dan
perasaan itu ketika tak sesuai, rasanya sakit sekali.”

3
“Ya mungkin kamu benar.”

“Aku bakal berusaha Sam.”


“Semoga saja.”

Suasana mendadak hening kembali. Kini, keduanya sama-sama


tertunduk lesu dan tak bertenaga.

“Lalu kenapa kamu mau nemenin aku?” Melina memberanikan diri


untuk memulai perbincangan kembali. Suaranya begitu pelan dan lebih
lembut daripada sebelumnya.
“Itu bedanya Mel, aku mencintai Melina bukan Engel. Suratmu itu
hanya supaya aku tau bagaimana keseharianmu, kamu suka apa dan
bagaiamana. Aku gak sampe menyukai Engel.”

Mereka berbicara masih tak saling tatap. Tangan pun berjauhan


seperti orang yang tak saling mengenal. Kedua remaja itu memastikan hal-hal
yang rumit. Mereka sedang belajar menentukan apa yang pada akhirnya pun
tak jelas.

“Boleh aku minta satu hal kepadamu Sam?” Melina menoleh.


Jilbabnya terlihat kusut basah penuh keringat. Matanya sayu dan merah.

“Apa itu?” Sam pun menghadapkan wajahnya kepada Melina.

Tiga jam lebih mereka bertukar kata, baru sekarang saling melihat.
Benar-benar aneh.

“Aku mau merasakan pelukanmu, yang nyata yang tak cuma sebatas
kata-kata dalam penutup surat.”

“Hah? Kamu serius?”

“Serius dan ingin secepatnya.”

4
“Oke, ini pilihan yang sulit ditolak.”

Keduanya berpelukan.
Bulan dan cahaya-cahaya mengilap menjadi saksi bisu dari pertemuan
itu. Rasa haru bercampur aduk dengan gelisah dan rindu. Ini masih tetap
bukan cinta, ini hanya awal ataupun akhir yang tak satu pun dapat
menjawabnya. Mereka menikmati keraguan penuh suka duka dan air mata.

Tenanglah, tenanglah wahai manusia, alam raya menyapa dengan


khidmat. Kalian menikmati, kami akan memberikan senyuman padanya yang
saling berbagi cinta.
Desir angin datang dengan cukup. Bunga-bunga matahari bergerak
berhimpitan penuh keriangan. Tak ada suara, tak ada bising, tak ada gegap
gempita. Semuanya tampak baik dan romantis.

Baru sekitar dua puluh detik mereka berpelukan, tiba-tiba saja anak
kecil berlari ke arah mereka untuk mengambil bola. Bola itu jatuh tepat di
hadapan kedua anak SMA yang sedang dimadu kasih dan berpeluk tubuh.

“Iiiiiih Kakak-Kakak pacaraaaaaaaaaaan, pornooooooo!”

Sam dan Melina kemudian melepaskan pelukan. Keduanya tertawa


terbahak-bahak. Pipi mereka merona menampakan malu. Air mata Melina
kini hilang. Kebimbangan Sam juga sirna. Semoga saja tidak begitu cepat
mereka melupakan malam ini.

“Terima kasih ya, Sam.”

“Sama-sama, Melina.”

“Kamu mau kan nganter aku pulang?”

5
“Ke mana pun Mel, asalkan itu bisa bikin kamu merasa tenang, aku
suka.”

“Ya udah aku gak jadi pulang.”

“Kenapa?”
“Karena aku merasa tenang kalo ada di sampingmu, jadi untuk apa
aku pergi.”
“Ah kamu emang pinter ngerayu, pinter mengaduk-aduk perasaan
orang.”
Ini hanya pembuka. Ini juga akhir daripada cerita. Setelah perpisahan
kenaikan kelas, semua keadaannya telah jauh berbeda.

***

6
Seragam Baru Hasil Jahitan Ibu

A boy’s best friend is his mother - anonymous

Cirebon, awal Juli, 2006

Beginilah awalnya.

Namanya Samudra, seorang remaja yang baru saja terdaftar sebagai


salah satu murid SMA di Kota Cirebon. Tubuhnya kurus, rambutnya sedikit
ikal tak teratur, telingannya lebar dan matanya sipit. Dan saat ini, dia sedang
tertidur pulas dengan hanya mengenakan kaos Lekton beserta celana boxer
untuk menutupi kelaminnya.

Dia tidak memiliki nama panjang. Orang-orang biasa memanggilnya


dengan sebutan “Sam”. Ya, Sam, sekilas lebih mirip julukan sebuah negara
adidaya, Amerika Serikat.

Dia tinggal di rumah sederhana bersama dengan adik, nenek, dan


kedua orang tuanya. Tidak banyak barang mewah di kediaman kecil itu,
hanya meja-meja dan kursi serta beberapa lukisan kaligrafi. Jika memang
harus dicari yang berharga, sepertinya ribuan tumpuk buku milik ayahnya
adalah yang sangat istimewa.

Senja telah pergi cukup lama. Selimut gelap mulai menutupi wajah
sebagian bumi. Bulan yang merekah terlihat begitu indah dan seakan
tersenyum. Malam semakin larut, bintang-bintang yang menari berkerlap-
kerlip pun kian terang-benderang. Cahaya-cahaya kecil seolah mengecup

7
kening Sam yang tengah tertidur. Mereka seraya berkata, “Sampai jumpa
esok hari.”

***

Kasepuhan, Cirebon
Awan-awan kelabu yang hampir sebulan penuh menyelimuti Kota
Cirebon perlahan telah menghilang. Menurut mitologi Yunani, hujan dan
petir adalah tindak-tanduk dari dewa bernama Zeus. Semenjak Zeus pergi,
tidak ada lagi tarian-tarian ikan penikmat hujan. Sang surya yang semula
bergumul dan tak kunjung memancarkan sinarnya, kini telah kembali. Bumi
Pantura pun menjadi cerah senyatanya. Tidak ada lagi dongeng dan sihir-
sihir di awal bulan Juni. Semua mulai bisa beraktivitas kembali.

Pagi itu benar-benar pagi yang sunyi. Cahaya matahari begitu irit
menyelinap dan menembus bagian dinding awan. Suara lantunan pujian
terdengar sayup saling berebut. Kokokan ayam belum lama pergi, gemanya
masih terngiang jelas di telinga. Dedaunan terlihat begitu segar dengan
tetesan embun sisa semalam.

“Jam berapa ini, ayo bangun pemalas!”

“Iya, Bu, sebentar.”

“Ayo cepat!!”

“Iya, iya.”

Dengan masih menggunakan daster, seorang wanita kurus berambut


hitam secara tegas menarik-narik kaki anaknya. Sesekali dia tepuk-tepuk
pantat anak lelakinya itu dengan keras. Entahlah, mungkin memang karena
anaknya begitu malas, dia mulai jenuh dan akhirnya pergi meninggalkan
kamar.
8
“Bu, ini sudah bangun.”

“Halah terserahlah, masa depanmu itu kan untukmu bukan untuk


Ibu.”

“Siap komandan.”
Belum saja kakinya menjauh, kepala ibu-ibu dengan mata sipit itu
kembali menoleh. Lehernya dia tarik ke belakang, dia mengintip sedikit dari
pinggir daun pintu. Dia sempat menyajikan wajah kecutnya sebelum
akhirnya kembali pergi tak menghiraukan.

Suasana rumah yang sebelumnya sepi itu menjadi ramai. Adegan


antara ibu dan anak tadi berhasil membuat panik siapa pun yang
mendengarnya. Suara mereka berdua sama-sama keras dan tak mau
mengalah.

Satu per satu kegiatan mulai bermunculan. Kompor gas dengan


apinya yang besar menyambar teko. Terdengar juga bunyi deras air dari
gayung yang dikeluarmasukkan ke dalam bak berulang-ulang. Pintu rumah
dibuka dan “Brrrr,” udara dingin masuk perlahan menusuk dan menghujam
dada.

Dua puluh menit telah berlalu …

“Bu, Sam tidak makan ya, buru-buru sekali ini.”

“Ini sudah Ibu siapkan padahal,” lengan kiri Sam ditarik cukup kuat,
“makan ya sebentar.”

“Ih Bu, ini kan hari pertama. Sam malu kalau sampe terlambat.”

“Sebentar sajalah Sam, sedikit ya, Ibu suapin.”

9
“Haduh Ibu, kaya anak kecil aja, ya uda iya, Sam makan dulu,” Sam
kemudian menengok ke arah meja makan. “Ada lauk apa emang, Bu?”

“Ini nasi kuning sama dadar,” ibu Sam memberitahu sambil


menunjuk masakan yang telah siap disajikan. “Duduk sini di samping Ibu.”

“Iya, Bu.”

Sam kini duduk dengan rapi.


“Kamu kerasan gak ketika MOS kemarin?”

“Lumayanlah Bu, tidak begitu membosankan, hanya sedikit lelah aja.”

“Kok bisa?”
“Iya, lama sekali MOS-nya, banyak membuang-buang waktu dan
kesannya cuma sekadar ingin memberitahu kita, kalau kita ini hanya sebatas
anak ingusan yang harus nurut apa kata kaka kelasnya.”

“Jangan terlalu memakai perasaanmu, apalagi ujungnya cuma untuk


mikir negatif sama orang lain.”

“Loh, emang kenyataanya gitu kok, Bu,” Sam terlihat kesal, dia meng-
hentikan gerak tangannya. Sendok dan garpu yang semula dipegangnya
begitu erat, tiba-tiba saja dilepaskan. “Bener kan Bu tapi?”

“Ya suda, jangan berdebat ah, mau bener atau tidak yang penting itu
cepat dimakan lagi, katanya terlambat.”

“Ibu yang mulai, yeee,” Sam sedikit ngeyel, dia kemudian tertunduk
dan melanjutkan makannya.

“Abis kamu lucu, dari dulu gak berubah, selalu penasaran dan
sukanya marah kalo debat. Kalo udah diberitahu dan gak sesuai, pasti aja
keluar sifat gampang sekali marahnya.”

10
“Biarin ah, namanya juga khas.”

“Iya terserah apa kata kamu aja deh.”


Dari pagi buta hingga suara burung-burung kecil menghilang, kedua
orang itu masih saja saling tidak setuju. Ibunya sering sekali memancing
marah anaknya. Sementara anaknya tidak pernah hafal, dia selalu saja masuk
ke dalam jebakan ibunya. Sekilas memang mirip film Tom and Jerry.

Mereka duduk dalam posisi yang bersebelahan. Meja makan di depan


mereka hanya berisi dua piring nasi kuning dan satu telor dadar besar.
Sementara dua kursi yang berhadapan dengan mereka dibiarkan kosong.
Biasanya kursi itu diisi oleh ayah dan adik Sam. Ya, mungkin mereka masih
sibuk pagi itu sehingga hanya menyisakan dua orang yang selalu bersebe-
rangan.
Di ruang makan itu terdapat satu lukisan besar bergambar Kabah.
Lukisan itu konon didapatkan langsung dari Mekah dan telah ada sejak
puluhan tahun yang lalu.

“Bu sudah ya, sudah Sam habiskan seperti permintaan Ibu.”

“Iya Sam, salam dulu sini sama Ibu.”

“Iya Bu, Sam berangkat ya.”

“Oiya Sam,” Ibu Sam bangun dari kursinya. Dia rapikan baju seragam
Sam, anaknya. “Hati-hati, dua kancing di bawah itu jangan kamu pegang
keras-keras.”

“Kenapa Bu?”

“Ibu dadak menjahitnya tadi malam karena Ibu tahu ternyata dua
kancing itu telah lepas.”

11
“Iya Bu, terima kasih.”

“Hati-hati ya anakku, jangan bandel, jangan buat malu orang tua,


tuntut ilmu dengan rajin.”

“Baik Bu, terima kasih juga Bu, telah menjahit baju baru ini sehingga
tidak rusak.”

Sam pun mulai menghilang jauh dari pandangan ibunya. Dia terlihat
tersenyum dan bangga dengan baju barunya. Dia pun (mungkin) merasa
sangat terkesan dengan perhatian ibunya. Dia juga bisa saja malu, ya, malu
karena ibunya begitu detail memperhatikan pakaiannya, sehingga kancing
yang copot pun masih sempat dijahit.

Ya, begitulah Ibu, seberapa kesalnya dia terhadap anaknya, dia tidak
akan berubah. Dia selalu ingin melihat anaknya tampil yang terbaik di
hadapan teman-temannya. Dia tak akan mungkin menelantarkan anaknya
dengan rasa malu. Dia bahkan tidak menghiraukan rasa kantuknya demi
menjahit dua buah kancing yang mungkin tidak dipikirkan sama sekali oleh
anaknya.

***

12
Wejangan Sopir Angkot

Ada sebuah pepatah Arab yang berbunyi “Dzahabat haifun li-


adyaanihaa‖. Arti dari pepatah itu adalah “pergilah angin itu mengikuti
kebiasaanya”.

Kalimat singkat di atas cukup mewakili Sam pagi itu. Dia tahu bahwa
jamuan makan pagi Ibu bisa membuatnya terlambat, tetapi dia tidak peduli.
Dia selalu memilih untuk dapat pergi dengan tanpa meninggalkan perasaan
bersalah.

Jalan di gang rumah Sam tampak sedikit basah. Bau pasir yang
semerbak menemani langkah paginya. Beberapa kali Sam terlihat meloncat
kecil menghindari genangan air yang cukup dalam. Ya, memang begitulah
suasana kampung, boro-boro punya waktu untuk mengeluh, wong dibuatkan
jalan saja sudah sangat bersyukur.

Harapan Sam di hari pertamanya masuk kelas cuma satu, dia tidak
ingin datang terlambat. Dan seolah mengamini doa Sam, tak berselang lama
angkutan kota kemudian berhenti tepat di depannya. Sam pun menghilang,
jalan besar di ujung gang rumah Sam pun kini sepi.

“Dek, katanya SMA 1 itu SMA favorit, karena banyak orang-orang


besar itu lahir dari SMA itu?”

“Tau dari mana aku SMA 1?”

“Itu bet-mu ada penandanya!”

13
“Oh, hehe. Ah, mana aku tau Pak, memang sih gosipnya begitu, tapi
jujur loh Pak, ini saja aku malah sudah malas sekolah.”

“Loh mengapa?”

“Ya biasalah Pak, males aja.”


“Kamu harusnya bersyukur Dek, punya kesempatan sekolah dan
menempuh pendidikan yang lebih baik. Bayangkan, Bapak ini hanya lulusan
SD dan menyesalnya sampai seumur hidup.”

“Memangnya kenapa Pak, kok cuma sampai SD?”


“Ya dulu kan mana ada anak orang kere boleh sekolah tinggi. Duit
makan bisa buat beli beras aja sudah untung.”

“Kasihan sekali ya, Pak.”

“Iya, makanya kamu harus semangat, milikilah mimpi yang tinggi,


bangunlah negeri ini, jangan pernah lupa untuk tetap menengok ke bawah.”

“Iya Pak, amin.”

Sejak dari SMP memang, Sam selalu memilih duduk di depan, di


sebelah sopir angkot. Sam merasa lebih nyaman duduk di depan. Di
samping dia aman jikalau ketiduran, dia juga suka mendengarkan cerita-
cerita haru orang kecil. Untuk ukuran anak seumurannya, Sam mungkin
sudah memiliki pengalaman yang lebih maju daripada teman-temannya.

Perjalanan Sam menuju sekolah cukup jauh. Jarak rumah dan


tempatnya menimba ilmu sekitar 2 km lebih. Wajar, jika pagi itu dia banyak
sekali mengobrol dengan sopir angkot.

“Ini sebentar lagi sekolahmu sampai.”

“Iya, Pak.”

14
“Kamu murid baru ya?”

“Kok tau Pak?”


“Bajumu itu masih mengilap, masih kelihatan cap-cap perjuangan
tangan ibumu di bajumu itu.”
“Haha Bapak bisa aja.”

“Iya Nak, cap tangan itu yang Insya Allah akan membawamu pada
kesuksesan, cap itu pulalah doa-doa yang tak kamu sadari.”

“Maksudnya?”

“Ya dalam setiap jerih payah orang tuamu selalu terselip doa. Doa itu
berupa harapan agar anaknya bisa lebih baik dari orang tuanya.”

“Ah, Bapak ini bisa aja.”


“Benar loh ini, nanti kamu bakal tumbuh dewasa dan pasti mengerti.”

“Masih jauh Pak.”

“Ya memang, tapi bukankah mempersiapkan itu lebih daripada tidak


mempersiapkan sama sekali?”

“Aku gak ngerti, gimana?”

“Ya kalau kamu siapkan masa depanmu dari sekarang, ketika saatnya
tiba nanti kamu tidak akan pusing-pusing lagi harus melakukan apa.
Sedangkan kalau kamu tidak fokus atau bahkan tidak sama sekali
mempersiapkannya, kamu seperti seorang yang berusaha menangkap angin.”

“Yang ada masuk angin Pak bukan nangkap angin, dipikirnya bola.”

“Hahaha!”

15
Laki-laki berumur dan anak muda yang sedikit slenge’an itu mengobrol
ngalor-ngidul tak karuan. Dari mulai membicarakan harga beras sampai
selipan doa-doa dalam baju sekolah. Sebagian orang menganggap mereka
sedang berbasa-basi, tetapi tidak bagi Sam. Obrolan-obrolan kecil itu yang
nantinya akan membawa Sam pada pengalaman yang menakjubkan.

“Kiri-kiri, Pak.”

“Iya, iya, haduh.”


Mobil angkot itu mengerem dengan mendadak. Tiga penumpang
wanita yang duduk manis di kursi belakang pun terkejut.
“Hati-hati, Pak.” Wanita yang menggunakan jilbab putih menegur
dengan keras.
“Iya, makanya jangan mengobrol aja kalau nyetir mobil tuh.” Seorang
ramaja putri berbaju SMP tak ketinggalan berkomentar. Ada pula ibu-ibu tua
di samping anak SMP itu, wanita renta itu lebih memilih diam.

Bapak sopir angkot yang menggunakan topi merah dan baju safari itu
hanya tersenyum. Dia tidak marah, dia juga tidak menanggapi, dia justru
tertawa kecil tanpa perlawanan. Sebelum angkotnya berjalan jauh, dia malah
menyempatkan memberikan lambaian terakhir pada Sam.

“Semangat anak muda!”

“Iya Pak, sukses.”

Sam pun berjalan pergi menuju sekolah barunya.

Sopir angkot tadi adalah pantulan-pantulan wajah rakyat. Dia tidak


banyak berteori. Dia hanya menampilkan matanya yang sayu dan tangan
keriputnya untuk berpuisi. Wejangannya begitu mengena dan menyentuh

16
kalbu terdalam seorang murid SMA kelas 1 yang tadi duduk tepat di kursi
samping kemudinya.

Hari ini adalah hari bersejarah bagi Sam. Setelah melewati tiga hari
masa orientasi sekolah, Sam akhirnya diperbolehkan memakai seragam SMA
kebanggaannya. Dia kini tak lagi anak-anak, dia telah menginjak masa remaja
yang tentunya masa-masa yang penuh dengan pergolakan.

***

17
Hari Pertama, Hampir Telat

Orang bijak berkata, “Masalah itu harus dihadapi, tetapi alangkah


lebih baiknya lagi jika kita menghindari masalah.” Quote itu mungkin tepat
disampaikan kepada lelaki keras kepala berbadan kurus yang tengah berjalan
menuju sekolahnya. Dia sedang menghadapi suatu masalah baru, masalah
karena kemalasannya bangun pagi, masalah itu bernama TERLAMBAT.

Pohon-pohon pinus dari balik pagar sekolah menyambut kedatangan-


nya. Rumput-rumput kecil yang memenuhi halaman depan pun terlihat bak
penari yang anggun. Burung-burung geraja berterbangan menghindari
langkahnya. Hentakan kaki pemuda itu begitu kacau. Dia gelisah dan takut
akan kenyataan yang hendak dia hadapi.

“Pak belum terlambat, kan?”

Bapak tua dengan kumis lebar menyapa pandangannya. Bapak itu


memakai baju putih dan celana hitam penuh dengan kantong. Dia adalah
satpam sekolah. Dia juga menjadi wajah pertama yang dilihat Sam di hari
perdananya menggunakan seragam putih abu-abu.

“Belum, segera masuk ya.”

“Iya, Pak.” Sam tersenyum lebar, dia merasa beruntung. “O iya Pak,
kelas sepuluh-tujuh di mana ya?”

“Masuk aja lewat pintu kiri itu, setelah melewati masjid, itu kelas
sepuluh-tujuh, Dek.”

18
“Oke Pak, terima kasih.”

Langkah kakinya mulai dipercepat. Sam sadar, meskipun gerbang


belum tertutup, dua puluh menit sudah dia terlambat.

Beberapa murid dan guru-guru yang menggunakan seragam hijau PNS


terlihat membuntuti langkah Sam. Ternyata pagi itu bukan hanya Sam,
tetapi cukup banyak juga yang tidak mematuhi aturan. Namun Sam tak
menghiraukan itu, Sam tetap pada keyakinannya untuk segera sampai di
kelas.

Di usianya yang masih SMA itu, Sam mungkin belum sempat


membaca kata-kata Stepan Colbert. Stepan Colbert adalah pelawak kelahiran
Washington DC. Dia pernah berkata, “truthinnes.” Makna dari kata itu
adalah, “keyakinan tidak diperoleh dari buku, akan tetapi dari hati nurani”.
Seperti itulah Sam, dia tidak pernah gentar pada apa yang diyakininya meski
kadang itu tidak rasional.

Masjid kecil yang dikatakan oleh satpam tadi telah berhasil dia lewati.
Bangunan satu lantai dengan ukuran 7x7 itu menjadi titik awal di mana Sam
menuju kelas barunya.

Betul-betul tidak ada aktivitas di luar kelas, sepi nyenyap jalanan


mengiringi langkahnya. Semen retak yang mengelupas kadangkala
merumitkan laju kakinya.

Mata tipis Sam memandang begitu jeli. Apapun yang ada di


hadapannya tersapu dan terekam baik dalam otaknya. Telinga besar yang
menggantung di wajah lonjong itu begitu tajam mendengar riuh-riuh kecil
suara dari dalam kelas. Kali ini dia sepertinya mulai tenang, sedikit nyaman
atau mungkin bahkan tak lagi takut.

19
Ayo maju Sam.

“Tok-tok!”
Pintu kelas sepuluh-tujuh bergetar. Suasana gaduh mendadak hening.

“Assalamualaikum.”

Sam telah berdiri tepat di depan kelas. Guru wanita berbaju muslim
dengan jilbabnya yang panjang telah menunggu kedatangan Sam. Badan ibu
guru yang gemuk itu seolah menakut-nakuti Sam. Tetapi Sam, lagi-lagi dia
tidak menunjukan kekhawatirannya, Sam begitu percaya diri.
“Walaikumsallam.” Seluruh kelas berteriak keras.

“Boleh saya masuk Bu?” Sam menunduk dengan tangan sedikit


memohon.

“Silakan.”

“Terima kasih.” Sam berjalan melenggang memasuki kelas.


“Eh tunggu-tunggu!”

“Iya Bu?”

“Kamu boleh masuk, tapi belum boleh duduk. Jelaskan dulu, kenapa
kamu terlambat?”

“Hm a ekh hm …” Sam menggaruk-garuk kepala. Dia mencari ide


untuk membuat guru barunya itu merasa iba. “… kesiangan Bu.”

“Ah, itu bukan alasan yang baik, sudahlah duduk sana, di pojok itu
kosong.”

“Iya Bu, tidak apa-apa.”

“Lain kali jangan diulangi.”

20
“Iya Bu, maafkan saya.”

“Cepat sana ke tempatmu.”


“Iya Bu.”

Seluruh murid-murid kelas memandangi Sam dengan sinis. Sembari


mengucapkan permisi, Sam menuju kursi kosong di pojok kelas. Tasnya yang
besar berwarna hitam bergoyang-goyang menyentuh punggungnya yang
krempeng. Sam sudah seperti artis saja pagi itu, dia berhasil mencuri perhatian
kawan-kawan barunya.

“Sini duduk sini Mas.”

“Makasih Mas.”

Dia duduk tepat di samping anak muda berbadan tinggi dan berkulit
hitam. Wajah teman sebangkunya penuh berselimut jarawat. Celana lelaki
itu dilipat hingga menunjukkan dengkulnya. Sam hanya tersenyum kecil
melihat kejadian itu.

“Siapa namamu?”

“Nawir, kamu siapa?”

“Sam, panjangnya Samudraaaaa, hanya Samudra.”

“Oh tidak penting sekali namamu.”

“Ya tidak apa-apa.”

“Dari SMP mana?”

“SMP 1.”

“Pantesan.”

“Pantesan kenapa? Emang kamu dari SMP berapa?”

21
“Oh gak papa kok, aku SMP 5.”

Tas Sam kini tak lagi membebani punggungnya. Sam telah duduk
rapi. Dia menahan lelah akibat berjalan jauh menuju kelas. Kedua tangannya
dia majukan ke depan sebagai bentuk peregangan. Oh Sam, banyak sekali
tingkahmu.
“Hey Sam, ngomong-ngomong kenapa kamu terlambat?”

“Entahlah, aku bangun terlalu siang dan ibuku mengajakku makan


tadi, Wir.”

“Kamu beruntung, guru bahasa Inggris kita ini orangnya baik, lain kali
kalau bukan Bu Ida, jangan coba-coba deh terlambat.”

“Loh mengapa?”

“Ibuku kebetulan guru bahasa Inggris juga di sini, tapi untuk kelas
sebelas. Dia bilang sama aku katanya di sini kalau terlambat harus siap-siap
saja dipermalukan di depan kelas,” Nawir dengan bangga menceritakan
ibunya.

“Oh begitu ya, pantes aja di depan pintu sekolah tadi tertulis kalimat
„AKU MALU DATANG TERLAMBAT‟, rupanya ini toh maksudnya.”

“Bukan begitu juga, tapi hukumannya yang akan buat kamu malu,
berdiri di depan kelas sampai jam pelajaran berakhir.” Nawir bercerita
dengan wajah histeris. Dia berusaha menakut-nakuti Sam. Dia belum tahu
kalau Sam orangnya begitu keras kepala. Sam bukan tipe yang mudah
percaya dengan orang lain.

Saat itu Sam, bisa jadi mulai menaruh kata-kata ini di dalam hatinya:
when you know the reason, there is no more surprise (ketika anda tahu alasannya,
maka itu bukan suatu kejutan lagi). Nawir telah memberi satu informasi
22
penting, informasi yang mungkin menjadi pegangan Sam ketika dia terlam-
bat nanti.

“Terima kasih atas informasinya ya Wir.”

“Ya, kamu perlu tau ini, karena dilihat dari wajahnya, kamu ini orang
yang suka sekali mencari masalah.”

“Haha kamu ini, sok tau.”


“Ya, sedikit lebih tau darimu yang jelas.”

Jika Sam percaya bahwa yang pertama adalah penentuan dari


bagaimana hasil sebuah akhir, Sam mestinya cemas. Awal pertama Sam
dengan sekolah ini hampir saja dilaluinya dengan predikat buruk. Dia
terlambat dan harus berdiri mengutarakan alasannya di dalam kelas. Jadi,
jika awal pertama itu menjadi patokan, tentu kelanjutannya, Sam akan
menemukan suatu masalah lain yang lebih besar.
Sekali lagi Sam, ingat dan jadikan kata-kata ini sebagai alarm bangun
pagimu, “JANGAN MALAS DAN TERLAMBAT.”

***

23
Kantin, Teman SMP, dan Keributan!

It takes a long time to become young. – Pablo Picasso

Bel tanda istirahat telah berbunyi. Semua murid dari macam-macam


kelas berhamburan keluar seperti kucing yang dibebaskan dari gelapnya
karung. Tidak terkeculi, pada saat itu, Sam.

Sam merapikan terlebih dahulu buku-bukunya. Dimasukkannya satu


persatu buku-buku yang sempat dia keluarkan. Dia kemudian berlari untuk
segera keluar kelas.

“Sam, Sam, hey Sam!”

“Iya ada apa?”


Teman baru Sam memanggilnya dengan suara yang begitu kencang.
Dia mencoba menahan laju Sam yang tak terkendali.

Di depan pintu kelas, Sam berhenti.

“Siapa ya?” Dia menunjuk sembari berjalan menuju arah teman yang
memanggilnya. “Apa pernah ketemu ya? Lupa aku.”

“Masa kamu lupa Sam?”

“Bentar aku inget-inget dulu.”

Sam memandangi kawan kelasnya itu dengan seksama. Dari ujung


kaki hingga pangkal rambut dia susuri dengan begitu lincah. Matanya
merekam.

24
Lelaki itu berambut belah tengah. Tingginya sekitar lima centi di atas
Sam. Bajunya dikeluarkan dan celana begi-nya begitu ketat hingga memperli-
hatkan jelas bentuk kakinya.
“Owalah, Benjamin ya, SD Kebon Baru?” Sam menepuk punggung
seorang yang dia sendiri belum yakin betul itu Benjamin, sahabatnya sewak-
tu SD. Walaupun dalam posisi berhadapan, nuansa keakraban mereka
memang mulai kentara. “Benar kan?”

“Iya benar, untunglah kalau masih ingat. Aku kira kamu orangnya
cepat lupa, ternyata ingatanmu lumayan juga.”

“Satu hal yang tidak bisa kulupakan, kenangan masa kecil Ben.”

“Haha, jadi kamu pikir aku ini bagian dari kenanganmu itu?”
“Sedikit sih, hehe.”

“Mau ke mana kamu?”

“Ke kantin, ketemu temen SMP-ku, tinggal dulu ya, buru-buru.”

“Oh oke, sampe ketemu di kantin kalo gitu.”

“Siap!”

Percakapan dua pemuda itu berlangsung cukup singkat. Tidak banyak


hal yang mereka bicarakan. Bahkan terkesan hanya sebuah basa-basi-busuk
saja.

Sam melanjutkan kembali detak-detuk sepatunya menuju kantin.


Rona wajahnya terlihat bersinar dan gembira. Entahlah, mungkin teman
SMP yang hendak dia temui itu begitu istimewa baginya.

Aduh di mana ya, Sam bergumam dalam hati. Bola mata Sam begitu
sigap memperhatikan seisi kantin yang sungguh ramai.

25
Kantin yang menjadi destinasi Sam adalah kantin tengah. Kantin
tengah itu cukup menampung sekitar lima puluhan siswa dan siswi. Di
kantin itu terdapat aneka macam makanan, dari mulai soto, nasi ayam,
hingga mi orak-orak. Wajar saja jika kantin itu menjadi rebutan.

Dan kini Sam, di tengah-tengah kegaduhan itu. Dia gelisah serta


berkeringat. Dia mulai menyerah mencari teman dekatnya.

Dalam suasana hampir putus asa itu ....


“Sam, di sini Sam!”

Leher Sam menarik kepala lonjongnya untuk menoleh. Dilihatnya


Cris sedang melambaikan tangan sembari asik duduk bersila. Cris tidak
sendirian, di sampingnya ada seorang laki-laki yang bagi Sam, asing.
“Woy Cris! Aku ke situ.”

Pada tahun 2006 lalu, handphone belumlah menjadi suatu tren yang
siapapun bisa memilikinya. Anak-anak SMA pada zaman itu lebih suka
menggunakan fitur dan memainkan games yang ditawarkan, dibandingkan
bertukar pesan atau bermedia sosial seperti saat ini. Jadi, wajar saja, apabila
Sam saat itu masih mencari sahabatnya secara manual.

“Hey dari mana aja? Aku mencarimu keliling kantin ini, hampir saja
aku kesal dan kembali ke kelas.”

“Ah, lemah sekali, laki-laki itu jangan gampang nyerah, karena di


depan sana masih banyak hal-hal yang membuat kamu putus asa, kata
bapakku sih itu.”

“Tidak penting sekali kamu Cris, sok tua.”

“Hahaha. O iya kenalkan ini Jenny, teman kelasku. Dia sama


sepertimu, Slankers juga.”
26
“Oh masa iya? Senang berkenalan denganmu Jen, saya Samudra.”

Cris, pria berdarah asli Batak itu kemudian menyudahi duduk silanya.
Kakinya dia turunkun dari kursi dan bergegas memperkenalkan temannya,
Jenny namanya.

“Hey Jen, kurus-kurus begini hati-hati, kalau berantem dia jagonya.”

“Bohong, si Cris itu yang mengajari.”


“Haha, sudahlah.”

“Nanti dia tunjukkan bagaimana caranya berantem Jen.”

“Sial kamu Sam, itu kan kamu Sam!”


Ketiganya kini telah saling berbaur, bercerita, dan bertukar pengala-
man. Naga-naganya akan ada persahabatan baru.
Semakin siang semakin bising, itulah ciri khas dari kantin tengah.

Murid-murid wanita yang pandai bergosip berdatangan dan


berkumpul menjadi satu. Mereka membicarakan style, sinetron, bahkan
kadang pria-pria tampan.

Gerombolan geng laki-laki juga kemudian tak ketinggalan ikut


meramaikan. Pemuda-pemuda itu berebut keras menunjukan tawa.

***

Dalam mitolagi Yunani, dikenal sebuah kawasan yang bernama


Sparta. Setelah runtuh dan menyerahnya Athena, Sparta menjadi kota
terpenting di Yunani. Sparta mengedepankan pasukan militernya sebagai
garda terdepan untuk menunjukan kekuatan. Tidak heran, pasukan Sparta
adalah pasukan yang ditakuti pada zaman dahulu kala.

27
Dalam istilah masyarakat Sparta, mereka yang berguna adalah mereka
yang kuat dan tangguh. Adigium tentang “seorang laki-laki belum disebut
laki-laki apabila belum bertarung” mungkin muncul dari berkembangnya
Sparta. Di Sparta, anak-anak yang sakit-sakitan dan lemah tidak diperhitung-
kan. Para bayi-bayi terbelakang itu ditinggalkan dan dibiarkan mati dengan
cara yang sungguh kejam.
Seorang sejarawan ahli Sparta, Barry Jacobsen mengatakan, "Spartans
weren't potters, they weren't artists—they did nothing but fight. By the time a Spartan
boy was eight years old, he was trained to do one thing, and that was kill his enemy."
Orang Sparta bukanlah seniman. Mereka (penduduk Sparta) adalah
sekelompok manusia yang fokus hidupnya mengutamakan perkelahian. Yang
mengejutkan lagi adalah ketika mereka berumur delapan tahun, mereka
telah diajari untuk membunuh musuh.

Budaya berkelahi selalu identik dengan laki-laki. Pada awalnya


memang hanya sekadar untuk menunjukan kekuatan agar dapat meminang
pasangan yang istimewa. Namun, lama-kelamaan menurut Lorenz, keinginan
berkelahi itu menjadi seperti sebuah insting (fighting instinct) yang kemudian
diwariskan pada generasi selanjutnya (inherited). Generasi laki-laki itu adalah
(salah satunya) Sam dan Cris.

***

“Bagaimana hari pertamamu Cris?”

“Ya, membosankanlah, sama seperti dulu, sekolah itu hanya menyita


waktu bermain saja, selebihnya tidak ada yang menarik.”

“Hahaha sebatas itu?”

28
“Iyalah, sayangnya manusia banyak yang tidak jujur dan mereka lebih
milih sok-sokan jadi anak yang rajin.”

“Gila, sembarang sekali omonganmu.”

“Ya fair-fairan aja ini mah.”


“Besok-besok paling kamu bolos lagi kaya pas MOS tiga hari kemarin.”

“Haha, iya, gimana gak males, kamu tau akulah Sam.”

“Iya paham, kamu itu tidak mau diplonco dan ditertawakan orang
lain, betul?”

“Ya betul.”
Sam dan Cris memiliki beberapa kesamaan, mereka berdua egois dan
mau menang sendiri. Mereka juga tidak mau menuruti begitu saja apa yang
dikatakan oleh orang lain. Bila sudah terlalu naik darah, kadang-kadang
perkelahian menjadi jalan keluar terakhir bagi mereka.

Pembicaraan mereka kemudian terpotong.

“Hey hey, kamu yang bernama Cris itukah?”

“Ya benar, gimana?”

“Sini berdiri, ikut aku.”

Seorang kakak kelas mendekati Cris dan mengajaknya berdiri ke


pojok. Matanya mlotot dan tangannya tak bisa diam. Berkali-kali dia mengu-
sap brewok-nya yang tebal. Dia diketahui bernama Dede.

“Kamu katanya menantang aku bertarung?” Meskipun tinggi badan-


nya lebih rendah daripada Cris, Dede terlihat tak gentar. “Benar tidak?
Jawab!”

29
“Siapa? Salah dengar mungkin.” Cris terlihat begitu tenang.

“Jangan ngelak, kamu itu emang dari SMP terkenal sok jagoan.”
“Memangnya orang tidak bisa berubah?”

“Banyak bicara memang!”

“Manusia punya mulut, ya pasti bicara.”


Sam hanya termangu, matanya terbelalak mendengarkan percakapan
yang begitu serius. Sam memang telah menduga kejadian ini sebelumnya.
Cris memang seringkali membuat onar. Tangan Sam kelihatan telah menge-
pal dan siap membantu Cris apabila terdesak.

Ketika semua mata terfokus pada Cris dan kakak senior yang angkuh
itu, tiba-tiba saja ….

“Braaaat!”

Suara hantaman datang dengan begitu keras. Satu orang senior secara
tak terduga datang lalu memukul kepala Cris dari belakang. Merasa dalam
posisi yang menguntungkan, Dede secepat kilat ikut menendang perut Cris.
Perkelahian pun menjadi tak berimbang, dua melawan satu.

Orang-orang yang berada dekat dengan posisi perkelahian itu segera


berlari untuk menghindar. Mereka tak mau terlibat.

Sam belum juga menentukan sikapnya, tetapi dari mimiknya, dia tak
lama lagi segera mengambil keputusan. Wajahnya menatap Jenny yang tepat
duduk di sampingnya.

“Gimana Jen?”

“Terserah Sam.”

Dan benar saja.


30
“Jebreet!” sambil menerbangkan diri, Sam memukul Agam, kakak
kelas yang datang terakhir, “brengsek kalau berani jangan kroyokan!”

“Apa-apaan ini?” Agam terkejut.

“Kalian kalau berani satu lawan satu!”


“Heh siapa kamu?” Dede berkata cukup keras.

“Aku Samudra, jika memang kamu dendam ingatlah wajahku ini!”


Sam berbicara sambil menunjuk mukanya sendiri.

“Sialan!! Dasar anak ingusan!”

“Lalu kamu mau apa jika aku ingusan?”


“Awas kamu! Tunggu!”

Dua kakak senior tadi, Agam dan Dede, lari tunggang-langgang. Dede
bahkan sempat terjatuh karena grogi.

Kantin tengah mendadak histeris, wanita-wanita menjerit dengan


keras. Ibu-ibu pedagang bahkan ada yang menangis memanggil nama Samud-
ra. Jenny tak terkecuali menjadi bagian dari mereka yang heboh itu. Dia yang
sebelumnya santai dan duduk tenang mendadak berdiri dan menampakkan
wajah seramnya. Semua mata di kantin tertuju pada Sam dan Cris.

“Heh sini kamu!”

Cris tampak kesal. Wajahnya semakin memerah. Tawa dan senyum


tipisnya hilang. Dia sepertinya ingin menyampaikan suatu hal yang begitu
penting.

“Apa kamu?”

“Udah sini.”

31
Cris terus menarik tangan sahabatnya menjauh dari kantin. Dia tidak
menghiraukan rasa sakit akibat tarikannya itu.

“Sudah kubilang, jangan lagi bentuk nama yang buruk di sekolah ini.”

“Bagaimana lagi, mereka terlanjur kurang ajar Cris.”


“Diamkan saja, tidak semua masalah perlu kita lawan dengan kekeras-
an lagi. Ada kalanya kita harus diam dan tidak melawan. Kamu perlu belajar
yang begini-begini.”

“Sejak kapan kamu jadi seperti ahli strategi begini?”


“Sejak semua orang menilai bahwa Cris adalah anak yang nakal dan
pembuat onar. Aku tidak mau mengulanginya, cukup.”

***

Hendrik perlahan berjalan mendekati Sam dan Cris. Wajah oriental


dengan rambut klimisnya selalu menjadi ciri khas. Pria dengan gaya modis
itu tersenyum kecil memandangi dua sahabat yang penuh amarah.

“Mau apa kamu ke sini?” Cris menyentak.

“Sabar, sabar, aku cuma nyampein pesan dari Dede dan Agam, kata-
nya kalian ditunggu kakak kelas di toilet dekat kantin kelas satu.”

“Di mana itu?”

“Di pojok, arah sepuluh-tujuh.”

Hendrik memang cukup akrab dengan mereka berdua. Dia kebetulan


satu almamater SMP dengan para trouble maker itu.

Beberapa hal kadang perlu diceritakan secara mendetail. Akan tetapi,


untuk bagian ini rasanya tidak perlu.

32
Sam dan Cris akhirnya menemui sekitar dua puluhan kakak kelas IPS
di toilet yang disampaikan Hendrik. Mereka kemudian bergumul, beradu
kepal, dan saling menyakiti satu sama lain. Seperti sudah menjadi sebuah
hukum alam, yang kecil selalu dikalahkan. Sam dan Cris harus menghadap
wakil kepala sekolah akibat ulahnya. Sementara itu, Dede dan dua puluh
kakak kelas lainnya dibebaskan tanpa hukuman dan sanksi apapun.
Sebagai hukumannya, Sam dan Cris didudukkan dalam kursi yang
sama. Mereka disuruh menunduk hingga jam pelajaran sekolah berakhir. Di
atas meja dekat kursi mereka, telah tersedia dua surat panggilan untuk orang
tua.

“Biarkan ini menjadi cerita ya Sam?”

“Cerita apa?”
“Cerita kalo kita ini pernah mengalami jahatnya sebuah ketidakadilan,
gak cuma fitnah tapi nama baik tercoreng loh.”
“Ya, sudah ajalah, memang ini risikonya, sialan memang si Hendrik.”

“Tapi kalau tidak mengalami hal ini, mungkin kita tidak belajar. Se-
engganya belajar untuk tidak mengulangi kejadian ini lagi.”

“Semoga saja.”

“Ya, semoga, namanya emosi kan datangnya kadang tak terduga, cuma
kita yang bisa mengontrolnya.”

“Tapi bukan berarti kalau kita dipukul diem aja kan?”

“Ya bukan gitu, seperti yang sudah kuceritakan di kantin tadi, semua
ada waktunya, semua ada waktunya.”

33
“Tapi yang terpenting, gelisahlah ketika melihat temanmu merasa
kesulitan, itu kata ayahku sih.”

“Ya tepat, aku rasa itu benar.”

“Kalau sudah begini, aku rindu pada satu hal.”


“Apa itu?”

“Bantal dan kasurku di rumah.”

***

34
Ayah

Jika yang tersurat itu ibu, maka yang tersirat itu adalah ayah. Cerita
ibu seringkali kita dengar, baca, dan resapi dalam tingkah laku yang jelas.
Namun ayah, pengorbanannya adalah cinta yang tak berbicara. Perjuangan-
nya adalah hati yang tanpa pernah kita ketahui. Sedikit yang bercerita
tentangnya, padahal, butir-butir keringat, embusan napas lelah, dan keriput-
keriput di sekeliling wajahnya, adalah cinta yang luas juga tak terbatas untuk
anak dan istrinya.
Tidak begitu banyak mungkin yang bernasib sama dengan Sam. Ketika
dia berangkat sekolah, ayahnya tak menyambutnya cukup lama. Pada saat dia
pulang hingga matanya hendak terpejam, ayahnya baru hadir.

Ayah Sam adalah ayah yang sibuk, bisa kita katakan ayahnya gila kerja.
Tetapi Sam, tak pernah berkomentar. Sam selalu menikmati keadaan itu.
Sam seolah percaya pada satu hal: tidak ada ayah yang tega menyengsarakan
darah dagingnya.

***

Kasepuhan, Cirebon

Kalender di tahun 2006 telah memasuki bulan Agustus.

Bulan Juli kemarin, beberapa pristiwa besar banyak terjadi. Selain


ditemukannya reruntuhan kapal induk milik NAZI di Laut Baltik, ada juga
kabar tragis mengenai peperangan antara Israel dan Lebanon. Imbas dari
peperangan itu tidak hanya terjadi di dunia Arab. Seorang pemuda muslim
35
bahkan menembak empat orang dengan satu luka parah di Washington,
tepatnya di Federasi Yahudi. Begitulah info mengenai bulan Juli di tahun
2006. Mencekam ….
Sam mungkin adalah orang yang sedikit beruntung. Gizi pengetahuan-
nya terpenuhi dengan baik. Ayahnya bak kamus berjalan yang selalu
menceritakan hal-hal baru kepada Sam, utamanya di pagi hari. Benar-benar
seperti pemaksaan ideologis, huh.

“Begitu Sam cerita bulan Juli-nya.”

“Wah seru ya, Bah.”


“Bukan seru atau tidak, tapi yang paling penting adalah wawasanmu
jangan sampai kering.”
“Gimana sih?”

“Ya di manapun kamu temukan kejadian aneh, pikirkan dan renung-


kan, ini mah cuma iseng-iseng Abah aja suka cerita ke kamu.”

“Owh iya.”

“Satu lagi, dua mata itu melihat lebih tajam dari satu mata.”

“Maksudnya?”

“Jangan pernah memandang orang lain ataupun suatu masalah itu


dengan sebelah mata, karena yang tampak kecil itu kadang besarnya luar
biasa, begitu juga sebaliknya.”

“Okeeeee, siap!”

“Ya udah Abah mau mandi, mau siap-siap. Jangan sampai terlambat
ya, Cung!”

36
Ayah Sam bernama Muhammad Iqbal. Dia bekerja di salah satu
perguruan tinggi agama di Kota Cirebon. Rambutnya sudah beruban dan
tidak memiliki tempat cukup banyak karena jidatnya yang begitu lebar.
Lelaki yang sudah menginjak umur hampir lima puluh tahun itu bersama
dengan istrinya, Rabiah, sama-sama bekerja keras membesarkan Sam.

Langkahnya masih cukup tegap dan gagah. Tinggi badannya pun


proposional meskipun perutnya sedekit menyembul.

“Bu, Sam langsung berangkat ya!”

“Eh, eh sebentar!”
Sam mengangkat tasnya. Dia begitu terburu-buru saat itu.

“Gak makan dulu?”

“Gak, langsung aja deh.”


“Deuh, pantesan kurus banget, dari dulu jarang sekali kamu makan
pagi.”

“Ya uda salam ah, assalamualaikum.”

“Walaikumsallam.”

Saat itu, Sam mungkin belum sadar betul tentang apa yang coba dita-
namkan ayahnya. Dia masih begitu kecil untuk menerima makna dari
sebuah pengajaran yang begitu dalam. Dia masih suka bermain, membuat
kerusuhan, dan bertindak sesuka hatinya. Namun, suatu saat nanti dia pasti
sadar betul bahwa ilmu serta wawasan dari ayahnya itu adalah senjatanya.

Ayah Sam mungkin tidak seheroik dan seketat Chris Gardner. Ayah
Sam juga bisa dikatakan tidak pernah menunjukkan jika dia berdarah-darah
membanting tulang. Ayah Sam adalah ayah yang sekadar menjadi sadar, yang

37
tahu anaknya malas membaca, maka dia mendongengkan bacaannya kepada
anaknya. Cukup bijaksana.

Daun jati di dekat rumah keluarga kecil itu berguguran. Angin-angin


pertanda datangnya musim hujan mulai berembus. Sisaan cetakan bulan di
langit terlihat begitu putih pucat namun seksi. Selendang merah ibunya
mengibas mendayu-dayu menyaksikan langkah Sam. Sam telah siap berang-
kat menuju sekolahnya.

***

38
Tengok Sikitlah

Woman is a ray of God. She is not that earthly beloved: she is creative, not
created. – Jalaluddin Rumi

Sampai juga pada bagian ini. Bagian di mana stasiun cinta seorang
Samudra dimulai.

Sam sebenarnya enggan untuk berbagi kisah cinta, dia lebih memilih
diam ketika berbicara itu. Dia ingin menikmati getaran-getaran hebat itu
sendiri ....

Hujan turun begitu irit. Tidak terlalu besar dan bergemuruh, tapi
cukup untuk membuat tanah yang kering menjadi basah. Banyak yang
mengatakan bahwa suasana seperti ini begitu indah untuk dilewatkan begitu
saja. Diiringi alunan instrumen Kiss the Rain dengan dentingan piano
Yiruma, sekat-sekat tersulit ini kemudian dituliskan.

Setiap manusia di dunia ini dianugerahi oleh Tuhan rasa cinta.


Anugerah itu begitu indah dan sempurna, di samping daripada anugerah
berpikir.

Cinta seringkali membolak-balikkan keadaan. Di satu sisi cinta juga


bisa mematikan bila kita telah diperdayanya. Di bagian yang lain, cinta juga
menjadi begitu sangat spesial ketika bertemu dengan orang yang tepat. Itulah
cara Tuhan menunjukkan kebesarannya.

Yang jelas, cinta adalah cara memperlakukan pujaannya seperti dia


memperlakukan dirinya sendiri.
39
***

Di kantin SMA N 1 Kota Cirebon, 2006


“Ah mana mungkin mana mungkin, jangan mengigau.”

Erwin adalah salah satu sahabat baru Sam di kelas. Badannya cukup
tinggi. Jika dia hendak mencuri mangga, dia tidak perlu mempergunakan
alat bantu untuk melakukannya. Tubuhnya kurus ceking, parasnya sedikit
mirip orang China. Tetapi, ampun, kata-katanya itu seringkali mematahkan
semangat orang yang sedang jatuh cinta. Ya, begitulah Erwin.

“Apa maksudmu tidak mungkin Win?”

“Dia itu salehah, cantik, dan anggun. Perbaiki dirimu dululah


sebelum berani mendekatinya. Daripada kamu menyesal.”

“Itu membutuhkan waktu yang lama Win, gak bisa sambil jalan ya?”
“Sepertinya sulit untuk seseorang melakukan dua pekerjaan sekali-
gus.”

Sam dan Erwin terlibat perdebatan yang cukup sengit.

Kantin pada waktu istirahat memang sangat ramai. Terkesan seperti


tempat pelelangan ikan di kampung nelayan. Siswa-siswi yang berebut
membeli makanan begitu cerewet dan tak terkendali. Suara Sam dan Erwin
yang sudah mengurat pun tak terdengar keras di situ.

Jika ingin menilai siapa yang salah, jawabannya adalah Sam. Dia
bertanya pada Erwin tentang kemungkinannya mendekati Melina, siswi kelas
sepuluh-tiga. Sam memang tidak pernah mengatakan kalau dia mencintai
Melina. Sam hanya sekadar bertanya tentang bagaimana tanggapan Erwin
bila dia berpacaran dengan Melina.

40
“Alah alah, itu orangnya datang Sam!”

“Mana, Win mana?”


“Itu!” Sambil melentangkan tangannya, Erwin menunjuk tepat ke
arah Melina. “Ituloh itu!”
“Wah iya.”

“Dari belakang aja sudah anggun ya, bagaimana dari depan?”

“Berlebihan kamu, biasa aja.”


“Tapi mungkin bener juga, aku ga bisa dapetin dia ya, Win.”

“Nah itu kamu tau.”

Melina masih saja memunggungi kedua orang itu. Ujung jilbabnya


menyelinap di antara puluhan kepala yang berebut nasi di warung paling
tengah. Sam dan Erwin yang kebetulan duduk di pojok kesulitan melihat
wajahnya.
“Sudahlah, nanti juga lewat sini.”

“Eh lama, keburu bel Win, kamu samperin dia sok.”

“Napa malah aku yang nyamperin?”

“Kamu itu bersahabat wajahnya, tenang sikapnya, dan lebih ganteng


juga.”

“Terus aku harus mewakili rasa sukamu ke dia?”

“Siapa yang suka? Cuma kagum aja.”

“Alesan.”

Lima menit berlalu begitu cepat.

41
Satu per satu warung di kantin mulai sepi. Anak-anak perempuan pun
tinggal beberapa saja, bisa dihitung pakai jari.

“Permisi.”

Pecahlah sudah ubun-ubun Sam. Wajahnya memerah tak karuan.


Suara sapaan itu datang dari Melina, wanita berkerudung yang disukainya.

Melina memang tidak begitu cantik, dia hanya lebih manis dari
teman-teman kelasnya. Matanya dilapisi kaca akibat dari kesukaannya
membaca buku. Sebelum ke kantin, Melina selalu menyempatkan diri salat
dhuha. Kebetulan arah menuju masjid melewati kelas sepuluh-tujuh, jadi
itulah awal di mana kemudian Sam mengenal Melina. Cantik Melina bukan
datang dari wajahnya, menurut Sam, cantik Melina hadir melalui
kelembutan hatinya yang pasrah pada Ilahhi Rabbi.
“Iya permisi juga.”

“Hehe, permisi, Mba.”

Erwin membalas sapaan Melina terlebih dahulu. Sam mengikutinya.


Melina pun berlalu dengan sisa-sisa senyum yang masih terekam jelas dalam
ingatan Sam.

“Ah pengecut.”

“Gimana Win, kaki sesemutan.”

“Kamu itu tipe orang yang beraninya kalo orangnya sudah pergi aja.”

“Bukan gitu Win, tapi ini beda suasananya. Makanya kamu jangan
care sama sesama jenis aja, belajar memperhatikan wanita juga.”

“Sialan, jaga tuh mulut.”

42
“Sudahlah, anggap saja kejadian ini tidak pernah ada. Anggap saja itu
bukan Melina, tapi Bu Nurhasanah yang galak itu.”

“Biar apa?”

“Biar aku takut dan tidak sibuk lagi membayangkan untuk


mendapatkannya.”

“Hahahaha!”
Ibu penjaga koperasi mungkin sudah amat hafal karakter kedua orang
ini. Kepalanya yang terbungkus jilbab hanya menggeleng-geleng tanpa suara.
Gelengan itu bisa saja diartikan sebagai rasa heran terhadap tema obrolan
Sam dan Erwin. Bisa juga, gelengan tadi bermakna kesal karena faktanya dua
pria berwajah oriental itu sama sekali tak memesan apapun. Ya, ya, ya,
sedikit mengurangi jatah tempat duduk memang.

***
Matahari tepat berada di atas SMA N 1 Kota Cirebon. Teriknya begitu
menyengat dan membakar. Jika kita berjalan di lapangan upacara tanpa
menggunakan sepatu, mungkin kaki kita akan kapalan. Ada pula efek negatif
dari sinar ultraviolet, menurut para ahli, pancarannya dapat mengubah
warna kulit menjadi hitam.

Semua ruangan kelas SMA favorit itu dulunya belum memakai mesin
pendingin. Jendelanya tidak mampu memberikan udara yang cukup. Kipas
angin yang kadang hidup, kadang mati adalah harapan terakhir. Jadilah,
setiap kelas layaknya seperti sauna dadakan, sumub1.

Satu per satu wajah siswa-siswi anggota sepuluh-tujuh mulai dipenuhi


keringat. Air asin mengucur dari kulit kepala hingga melewati telinga. Yang

1
Dalam bahasa jawa artinya panas
43
membawa handuk masih sempat mengusapnya. Sementara yang lainya,
mengipas-ngipas dengan buku pelajaran. Yang terakhir ini lebih banyak
dilakukan, maklumlah lebih irit dan efisien.
***

Seperti berdiri di atas catwalk, Sam mulai berjalan menuju kelas


sepuluh-tiga. Dadanya membusung tegak ke depan. Hatinya tak gentar.
Ikrarnya untuk memperkenalkan diri pada Melina telah bulat.
Erwin menemani Sam dari belakang. Tujuannya tidak lebih hanya
sebagai pengawal. Dia datang bersama pria berambut kribo. Pria yang raut
dan bentuk wajahnya mirip sekali dengan orang-orang Ambon itu bernama
Prayogi. Biasanya dia dipanggil Ogi.

Oke, gambaran suasana saat itu adalah, Erwin dan Ogi menunggu dari
depan kelas sepuluh-empat. Sementara Sam duduk manis di atas tembok
pembatas taman depan lapangan upacara, persis menghadap pintu sepuluh-
tiga.

Tidak ada yang mudah untuk cinta, Sam.

Ya Tuhan, permudahlah.

Sam berdoa terus dalam hati. Kakinya bergoyang-goyang menandakan


dia begitu gelisah.

“Ayo Sam ah, lama.”

“Iya, lama sekali gerakannya.”

“Sabar dong, sabar!”

Erwin dan Ogi mulai panas. Wajah Sam terlihat semakin menyanyah
menyaksikan hal itu.

44
“Hey, boleh tau namamu?” Tak begitu lama Melina keluar dari kelas-
nya. Tangan Sam langsung mengulur cepat mendekati Melina.

“Oh, hehe, Melina Castro, panggil saja Melin.” Melina tak berani
menatap lama-lama. Dia justru memasang wajah heran tak karuan. Tali
pengait tas birunya dipegang dengan erat.
“Aku Samudra, kelas sepuluh-tujuh.”

Kedua tangan Melina dan Sam bertemu cukup lama. Sam terlihat
sedikit menikmati pegangan tangan pertamanya. Dan Melina ...

“Hmm, sudah ya dilepas, aku tinggal pulang dulu ya.”

“Oh iya, iya. Astaghfirullah, maaf, maaf, silakan.”

“Tidak apa,” Melina menjawab sambil ngeluyur menjauhi Sam.

“Mel?”

“Apa?” Melina menoleh kembali ke belakang. “Gimana Samudra?”


“Gak apapa, e, eh, e terima kasih ya sudah mau berkenalan.”

Melina tidak menjawab, dia hanya tersenyum kecil.

Erwin dan Orgi terperanga. Tak percaya rasanya Sam benar-benar ne-
kat berkenalan dengan wanita yang katanya menjadi incaran banyak kakak
kelas itu. Bukan mimpi, bukan ilusi, namun hanya kenyataan yang sulit
diyakini sebagai suatu hal yang benar.

Di tempat yang lain. Tepatnya di ujung pintu arah keluar sepuluh-tiga.


Sesosok laki-laki kelahiran kasepuhan sedang terdiam bak patung. Darahnya
naik dari ujung kaki ke atas kepala. Posisi berdirinya gontai, tangan dan
kakinya gemetaran. Wajah Sam sedikit demi sedikit mulai berlumuran air
keringat.

45
Melina padahal telah pergi menjauh. Tak tampak lagi bidadari anggun
itu dalam pandangan Sam. Namun butuh tiga puluh detik untuk
mengembalikan Sam pada posisi sadarnya.
“Sam, Sam, hey Sam!” Erwin menggebuk punggung Sam.

“Eh iya, Win.”

“Ayo pulang Sam. Dia udah pergi itu.”


“Hah, yang benar Win, aku gak lagi mimpi kan? Aku benaran habis
berkenalan dengan dia kan?”
“Iya, kamu berhasil melewati langkah awal.”

“Serius kan Win, kamu tidak bohong?”

“Tidak perlu berlebihan, karena keberanianmu ini nanti selalu punya


dua risiko.”

“Apa itu?”
“Ya kalo dia ngerasa kamu baik, dia mungkin mau temenan sama
kamu. Tapi kalo dia ngerasa kamu ini hanya orang yang iseng, ya, kamu
harus siap mengakhiri perasaan bahagiamu.”

Sam tidak pernah menceritakan apapun kepada Erwin. Dia hanya


memberikan Erwin suguhan yang tampak. Padahal, di balik itu semua, Sam
menyimpan suatu perasaan yang besar, yang cukup membuat Sam risau.
Perasaan itu datang dari senyuman terakhir Melina ketika berpamitan
meninggalkan Sam. Senyuman itu membawa Sam jatuh ke lautan mimpi
yang cukup dalam.

46
“Tidak perlu menjadi sempurna, cukup menjadi kamu yang kukenal,
bagiku itu sudah cukup.” Sam berbisik kepada dirinya sendiri dengan penuh
keteguhan hati.
***

47
Ruang Kelas dan Sahabat Baru

Dulu, aturan-aturan di sekolah masih belum cukup ketat. Penilaian


afektif dan psikomotorik pun baru ada ketika Sam masuk sebagai siswa kelas
SMA. Seperti sewajarnya peraturan baru, maka adaptasi dalam hal
penerapannya pun masih lemah.
Sebelum adanya istilah afektif dan psikomotorik, siswa-siswi lebih
dahulu mengenal pelajaran tentang budi pekerti. Pelajaran itu meliputi
tingkah laku, bagaimana siswa merespon lingkungannya dan perkembangan
kreativitas. Aturan-aturan itu pun tidak tertulis secara rinci, aturan itu
muncul berupa kesadaran yang abstrak.
Penilaian tentang budi pekerti pun tak seketat penilaian afektif dan
psikomotorik. Dulu, siswa yang nakal namun pandai masih mendapatkan
nilai sesuai hasil ujiannya. Akan tetapi, pada era ini, pandai saja tidak cukup
apabila hal itu tak selaras dengan tingkah laku baiknya.

Sam dan teman-temannya yang masuk sebagai generasi yang sering


disebut generasi kelinci percobaan, masih belum paham betul tentang
adanya aturan baru itu. Tidak heran, ruang kelas sepuluh-tujuh begitu kotor
dan tak tampak bersih. Meja-mejanya penuh dengan coretan tipe-x dari mulai
gambar kartun sampai tulisan: A love B; aku kangen kamu; kapan
istirahatnya ini; dan lainnya. Dindingnya pun terdapat banyak lukisan-
lukisan kecil yang biasa dibuat ketika jenuh mendengarkan guru.

48
Ah, sungguh beruntungnya orang-orang yang hidup dalam generasi
Sam. Mereka bisa berekspresi sesuka hatinya. Mereka dapat memanfaatkan
fasilitas sekolah untuk kesenangannya. Bayangkan saat ini, mencoret-coret,
melempar kertas, menggodai anak perempuan hingga menangis, pasti
langsung dihukum bahkan diskorsing.

***

“Ada lagi yang mau ditanyakan?”


“…”

“Kalau guru bertanya itu menjawab, kalau tidak menjawab tandanya


sudah paham ya?”

“…”

“Paham belum?”
“Pahaaaaaaaaaaam.”

“Oke, kalau begitu sekarang kelas Ibu akhiri, assalamualaikum.”

“Walaikumsalaaaaaaam Bu Guru.”

Begitulah situasinya. Seluruh murid rata-rata takut apabila guru mulai


bertanya. Ingin menjawab paham, tapi takut ditanya. Ingin menjawab tidak
paham, ya takut dimarahi karena tidak mendengarkan.

Sam terlihat berlari ke barisan meja sebelah kiri. Dia langsung


memilih duduk di atas meja Erwin dan Ogi. Benjamin yang duduk di
barisan kanan bersama Sam, menyusul.

“Eh gimana, siapa yang menang?”

“Anjrit, kalah dua puluh ribu aku Sam!”

49
“Hahaha!”

“Si Anto mainnya jago banget, dia kayaknya udah belajar semaleman.”
“Yeee, kenapa bisa kalah Win?” Benjamin menyambar sambil menge-
lus punggung Erwin.
“Tanya Ogi aja.” Erwin menunjuk Ogi.

“Iya, si Anto hebat sekarang Ben mainnya, ga tau gimana ceritanya


bola gak masuk-masuk.”

“Mungkin kamu emang harus berhenti main judi biliar Win.” Sam
tersenyum kecil menyelesaikan ucapannya.

“Iya juga sih kayaknya.”

Percaya atau tidak, Erwin, Sam, Benjamin, Ogi, dan Anto suka sekali
beradu taktik bermain biliar. Pemenangnya akan mendapatkan uang yang
telah disepakati. Mereka tidak menganggap itu sebagai sebuah perjudian.
Mereka hanya merasa membayar jeri payah keahlian kepada yang lebih
tangguh bermain.

Oh iya, belum sempat diceritakan bagaimana si Anto itu.

Anto adalah remaja yang setiap lebaran selalu mudik ke Sidoarjo


bersama keluarganya. Tidak peduli bagaimanapun macetnya ruas jalan, Anto
akan tetap pulang kampung.

Anto sedikit mirip dengan Semar, tokoh pewayangan yang terkenal


itu. Anto memiliki tubuh yang gemuk dan kepala cukup besar. Dia tipe
orang yang tak banyak bicara dan tak banyak pula kerjaannya. Heran kan?
Sama.

“Wih Bos, makan-makan dong!” Sam menggoda Anto.

50
“Nanti ya pulang sekolah aja.”

Kelas sepuluh-tujuh tidak hanya dipenuhi oleh laki-laki yang suka


membuat onar. Di kelas itu ada pula wanita-wanita yang lagaknya mirip
sekali dengan ibu-ibu sosialita. Sebut saja wanita-wanita itu bernama Lia, Esa,
Adis, dan Kiky.
Mereka selalu pergi bersama. Tempat duduk mereka berhadapan
depan-belakang. Mereka belajar bersama. Belanja barengan dan entahlah
seringkali Sam dan kawan-kawan memergoki mereka ke toilet pun bersama.

“Kegemanaga nagaigih?” (ke mana nih?)


“Kagantigin agajaga yuuuk,” (kantin aja yuk)

“Yuuk, magaleges digi kegelagas tegerugus,” (males di kelas terus)

Kiky mengompori Lia dan Adis untuk pergi ke kantin. Tentu saja, Esa
pasti akan mengikutinya.

“Ikuuuut!”

“Ih Esa, pake bahasa aga-ege-nyaaaaaaaaa!”

Kiky mulai cerewet. Dia memarahi Esa karena berbahasa Indonesia.

“Pada ganjen-ganjen ya?”

Ogi memasang wajah sinis menyaksikan tingkah laku para perempuan


muda itu. Sam dan Benjamin pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala-
nya.

“Ya biarin aja sih ya, kalau kalian mau ikutan ya tinggal ikutan aja, ga
usah ngurusin orang.”

Itulah Erwin, dia selalu menampilkan kesan yang sok-sok bijaksana.

51
Perlahan-lahan kelas menjadi nyenyat. Semua telah pergi ke tempat
tujuannya masing-masing. Erwin, Sam, Benjamin, Anto, dan Ogi adalah sisa
terakhir yang belum meninggalkan kelas.
“O iya o iya, kemarin si Sam ini habis kenalan sama Melina anak
sepuluh-tiga.”
“Sial, bohong itu.”

“Alah ngaku Sam, ini ada Ogi saksinya.”

“Hahaha tidak bisa ya sebentar saja mengelak.”


Erwin menelanjangi sisi polos Sam. Benjamin dan Anto pun
terperanjat tak percaya.

“Yang beneeeeeeer!! Sam?”

“Iya deh iya, bener Ben kata si Erwin.”

“Terus gimana?”
“Ya biasa aja, kenalan temen sama temen aja gimana.”

“Heh bukan gitu, kalau orang udah suka sama lawan jenis itu
seringnya lupa sama temennya.”

“Maksudnya Ben?”

Erwin, Anto, Ogi, dan Sam tampak menyimak tausiyah dadakan


Benjamin.

“Nih ya, dia nantinya bakalan jaim, bakal sok-sokan jadi orang baik.”

“Ah, masa sih gak ah?”

“Eh bener Win, orang yang jatuh cinta itu kadang takut dalam
bersikap. Dia gak mau buruannya itu kabur.”

52
“Ya terus kenapa emangnya? Yang kamu khawatirin itu apa?” Sam
bertanya dengan sedikit mengelak.

“Ya gini Sam, Win, To, Gi. Aku sih gak melarang kalian suka sama
siapa, yang penting jangan sampe persahabatan sama temen itu dilupakan
cuma karena wanita.”
“Kekhawatiranmu berlebihan.”

“Ih dibilangin. Jangan gampang geer juga kalo wanita itu menanggapi
kamu. Bisa aja yang ada dipikirannya itu motor kamu yang bagus, dompet
kamu yang berisi, atau juga karena keluargamu yang kaya. Nah kalau temen,
mana ada ngeliat persahabatan dari hal-hal kaya gitu.”

“Emang kalo temen gimana?”


“Ya kalo temen itu tulus. Temen itu ga peduli kapan dan di mana dia
bertemu, yang mereka pikirin hanya satu hal, gimana caranya tetep sama-
sama dan saling mendukung dalam setiap keadaan. Satu dipukul semua
dipukul, satu sakit semua juga ikut ngerasain sakit.”

“Emang wanita kalo udah resmi pacaran gak gitu?”

“Belum tentu loh Win, Sam. Kadang-kadang tuh mereka cinta, tapi
cinta mereka itu cinta yang gimana caranya kalian bikin mereka seneng. Kalo
ngejengkelin ya putus. Nah kalo udah putus? Udah deh balik laginya pasti ke
temen lagi kan. Dan temen pertama itu adanya di ruangan kelasmu.”

Benjamin memang terkesan terlalu mendramatisir keadaan. Maklum-


lah anak muda, belum banyak hal yang mereka pikirkan.

Kalian tentu pernah mengalami kan masa-masa begini. Masa-masa di


mana kalian betul-betul sangat mementingkan persahabatan. Masa-masa di
mana bagi kalian sahabat itu adalah segalanya. Kalian bahkan bermain
53
dengan orang yang itu-itu saja yang menurut kalian sepaham. Lalu tanpa
sadar kalian saling membentuk geng-geng masing-masing.

Sebenarnya, antara laki-laki dan perempuan itu tidak ada bedanya,


semuanya sama. Cuma mungkin bagaimana mereka memandang kehidupan
yang kadang bertentangan.
Geng perempuan cenderung berani terbuka dan kerena keterbukaan-
nya itu kadang-kadang membuat mereka gampang musuhan. Geng perempu-
an lebih menunjukkan aspek finansialnya seperti, kemarin habis menonton
film apa, ada tas baru apa, model-model baju yang lagi tren gimana. Kalau
telat update sedikit saja, mereka langsung malu dengan geng perempuan yang
lainnya. Begitu jugalah Kiky, Adis, Esa dan Lia.

Benjamin, Anto, Ogi, Sam, Erwin, dan satu laginya Dayat, tergolong
geng laki-laki. Geng laki-laki sedikit lebih luwes dan bisa bergaul dengan geng
laki-laki lain dari kelas berbeda. Jika geng wanita beradu life style, geng laki-
laki lebih senang beradu otot. Mereka seringkali gampang tersulut emosinya
apabila melihat temannya disakiti. Apapun bentuk dan jenis kegiatannya,
geng laki-laki SMA pasti begitu.

Yah, tetapi apapun itu, semuanya pasti dimulai dari ruang kelas
terlebih dahulu. Sahabat di kelas adalah cerminan dari bagaimana seorang
siswa bertingkah laku menghadapi lingkungan sekolahnya. Menurutku ….

***

54
II
Surat dan Percintaan

55
Tentang Surat

Semenjak perkenalan itu, Sam mulai merasakan dirinya terbagi menja-


di dua. Diri yang pertama adalah Sam yang ingin bermain, bermain, dan
terus bermain. Sedangkan diri yang selanjutnya adalah diri yang dihantui
bayang-bayang wanita cantik anak sepuluh-tiga, Melina.
Sam tidak bisa memilih untuk menjadi yang mana karena keduanya
telah menyatu dalam raganya. Dia juga tidak pernah mencoba menjadi satu
di antara pilihan-pilihan itu. Jauh-jauh hari, Sam telah menetapkan untuk
menikmati dua peran itu dalam satu waktu. Dia termasuk remaja labil dalam
hal ini!
Suara kendaran mulai hilang. Desiran angin pun kini terdengar.
Jangkrik-jangkrik serta kodok bersautan membentuk irama pengantar tidur
di malam hari. Ketika jendela kamarnya yang terletak di lantai dua dia buka,
kunang-kunang dengan cantiknya berterbangan seolah-olah mengantikan
lampu taman. Wajahnya dia tadahkan ke atas, dia melihat bulan tampak
begitu sempurna malam itu.

Sam kemudian menarik meja belajarnya ke depan jendela kamar.

Secarik kertas dan bolpoin dia siapkan di atas meja itu. Dia mulai
menulis, tetapi lagi-lagi kertas yang berisi tulisannya itu di-kuwes-kuwes dan
dibuang ke lantai. Berulang-ulang Sam melakukan hal itu, dia tampaknya
risau. Entahlah, apa yang dia tulis dan untuk apa dia melakukan hal itu?

56
Cukup lama juga Sam merangkai kata. Dia tidak merasakan rindu
pada rasa kantuknya. Dia mengalir dan membiarkan raganya menuntunnya
tidur secara natural.
Benar saja, setelah satu jam berlalu, dia mengakhiri kegiatannya secara
tak sadar. Matanya terpejam, wajahnya telah jatuh di atas meja dengan
tangan kanan masih memegangi bolpoin.

“Hoook, hooook, hoook!”


Dia mendengkur karena lelah.

***

Pagi-pagi sekali Sam telah siap dengan segala macam peralatan


sekolahnya. Ibunya bahkan kaget bukan kepalang.

“Heh, tumben kamu pagi sekali sudah bangun?”


“Iya, pake alarm tadi malem.”

“Coba kalau setiap hari kaya gini, kan masakan Ibu jadi gak sia-sia.”

“Ah gak juga, ini aja udah mau langsung berangkat kok.”

“Heee, baru jam enam ini, abahmu saja belum selesai berzikir.”

“Iya, masalahnya penting ini Bu.” Sam menanggapi ucapan ibunya


sambil duduk di teras. Tangannya sibuk menali kedua sepatunya.

“Sambil Ibu sisirin ya rambutnya.” Ibu Sam langsung merapikan


rambut anaknya itu dengan tangan. Dibuatnya model belah pinggir.

“Ah, selesai.” Sam langsung berdiri.

Kini badan Sam telah tepat berhadapan dengan ibunya. Dia nyengar-
nyengir tak karuan.

57
“Bu, berangkat ya!”

“Iya, hati-hati!”
“Salam buat Abah, daaaaaah!”

Sam berlari secepat kilat. Wajahnya mantap ke arah depan. Ada apa
sebenarnya dengan anak ini, hmm, tak tahulah.

Sekitar dua puluh menit, Sam telah sampai di sekolah.

Sekolah masih sangat sunyi dan sepi. Belum banyak aktivitas


kelihatan. Speaker yang biasa menyalakan alunan ayat suci Alquran pun baru
dimulai. Waktu itu Al-Baqoroh baru sampai pada ayat ketiga.

Di tahun 2006, halaman depan sekolah Sam belum dipenuhi oleh


kendaraan bermotor. Tumbuhan kumis kucing, pinus muda, royal palm, dan
bunga ungu mandevila masih kelihatan mekar. Rumput-rumput pun masih
sangat hijau, belum seperti saat ini, semua telah berubah menjadi paving
block.

“Tumben sudah dateng?”

“Iya Pak, takut terlambat lagilah.”

“Bagus bagus kalau begitu, jarang sekali Bapak liat laki-laki yang
penuh semangat kaya gini.”

“Iya ya Pak, hehe. Masuk dulu ya Pak.”

Sam mulai memasuki gerbang sekolah. Bapak Satpam menyambutnya


dengan ramah. Mereka berdua terlihat sudah begitu akrab.

Kali ini Sam tidak masuk lewat pintu kanan. Sam memilih pintu
tengah untuk menuju ke kelasnya.

58
Kakinya mulai merindik melewati kelas sepuluh-satu. Setiap celah
jendela dia susuri, dia pastikan tidak ada orang di situ. Berlanjut ke kelas
sepuluh-dua pun sama, tingkahnya belum berubah. Hingga sampai di kelas
sepuluh-tiga, dia terhenti. Dia terlihat lebih teliti dan hati-hati.

“Krrreeeek!”
Jendela samping kelas sepuluh-tiga terbuka. Kepala Sam
mengiringinya. Kanan lalu kiri, clingak-clinguk cukup lama dia kelas itu. Persis
seorang pencuri yang sedang memastikan target buruannya.

“Nah itu.”
Tanpa pikir panjang, Sam segera masuk ke kelas sepuluh-tiga. Dia
berjalan cepat ke arah meja nomor dua di barisan tengah. Dia terlihat
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sepertinya itu sebuah surat dalam
amplop yang sangat kecil. Surat itu kemudian dia taruh ke kolong meja.

“Semoga saja berhasil.”

Sam berbisik kecil sambil mengepalkan tangannya bak petinju. Sam


buru-buru pergi, dia takut ada orang lain yang mengetahui rahasianya.

Meja itu kan meja di mana Melina biasa duduk. Apa sebenarnya isi
surat itu? Mengapa juga harus pagi-pagi sekali Sam menaruhnya? Bukankah
dia bisa memberikannya secara langsung di siang hari nanti?

***

59
Siapa?

“Des, kamu tau siapa yang menyimpan surat ini?”


“Gak tuh.”

“Yang bener ah?”

“Iya serius, gak tau.”


“Tadi pagi atau kemarin pas pulang sekolah ada yang masuk ke sini
gak?”
“Mana aku tau, emangnya aku harus memperhatikan semua orang
masuk ke kelas ini?”
“Lalu siapa ya?”

“Mungkin setan, atau mungkin juga …?”

“Mungkin apa?”

“Mungkin surat cinta Mel, ciyeeeee!”

“Ngarang kamu, gila!”

Melina telah menemukan surat yang sengaja ditaruh oleh Sam. Dia
terlihat ragu. Dibawa atau tidak? Dia sebenarnya enggan membawa surat itu.
Pengirimnya saja tidak jelas, apalagi isinya. Tapi dia juga penasaran. Kalau
surat itu penting bagaimana? Dia ingin tahu juga isi dalam surat tersebut.
Yang jelas Melina tidak memikirkan apa yang Desi katakan, mungkin surat
cinta.

60
Melina memunggungi Desi, sahabat sebangkunya. Sembunyi-sembunyi
dia masukkan surat itu ke dalam tasnya yang berwarna biru.

“Mana sih emang suratnya? Aku mau liat.”

“Udahlah lupain aja suratnya, udah aku buang.”


“Yah, lebih baik begitu.”

Melina menyeka tangan Desi. Ditolaknya rengkuhan tangan Desi yang


mulai mengorek-orek kolong mejanya. Baru kali ini Melina tidak mau
terbuka dengan Desi, biasanya dia begitu aktif bercerita tentang apapun yang
sedang dialaminya.

***

No matter how small you start. Start something that matters.

Brendon Burchard, seorang penulis buku best selling versi New York
Times “The Charge‖ mengatakan hal itu dalam suatu kesempatan. Brendon
berusaha meningkatkan stimulus kepada jiwa orang-orang yang pesimis.

Jangankan Sam yang masih begitu muda, orang yang sudah tua pun
kadang merasakan pesimis. Kita ingin memulai sesuatu, tetapi kita memikir-
kan lagi bagaimana akibatnya. Kita berencana melakukan hal yang besar
namun lagi-lagi bayangan akan ketidakberhasilan mengganggu kita.

Hal-hal yang sulit kita lakukan itu salah satunya adalah berusaha
mengungkapkan perasaan kita kepada orang lain. Sam nyatanya berbeda, dia
tidak peduli bagaimana nantinya, yang penting dia berusaha dulu. Dia sadar
jika Melina pun tahu kalau dia itu nakal, tapi dia hilangkan pikiran itu,
karena dia percaya kalau cinta yang tulus itu tidak pernah memandang masa
lalu.

Yang paling penting sebenarnya isi surat itu apa? Misteri ….


61
***

Wahidin, Cirebon
Hujan rintik mulai turun. Melina terlihat berlari memasuki kos. Dia
menyegerakan membuka dan menutup gerbang. Tasnya dinaikkan ke atas
menutupi kepala. Setelah teman lelaki yang mengantarnya pergi, Melina
langsung berjalan menuju kamarnya.

“Dari mana Melina, adikku yang cantik, malam-malam baru pulang?”

“Eh iya Kak Linda, ini habis belajar kelompok, besok ada ujian tes
fisika.”

“Cepat mandi, itu badanmu basak kuyup gitu cantik.”

“Iya Kak, Melina masuk duluan ya.”

Melina tidak memikirkan apapun di dalam kamarnya. Dia langsung


pergi ke kamar mandi dan membasuh seluruh tubuhnya.

Suara keran mulai terdengar.

Masalah tentang mengapa Melina tinggal di kos dan tidak tinggal di


rumahnya sendiri, akan kalian temukan mengalir bersama jalan cerita ini.

Kamar Melina tidak begitu mewah, hanya ada satu lemari baju, meja
belajar, dan kasur. Ukurannya sekitar 4 x 4, cukup untuk wanita bertubuh
kecil dengan tinggi 166 sentimeter. Dindingnya terpajang foto Fernsehturm
Berlin, sebuah menara televisi yang menjadi ciri khas negara Jerman. Foto
itu hasil pemberian ayahnya, dulu ayah Melina bercita-cita dapat menguliah-
kan anaknya di Universitas Bonn.

62
Melina suka sekali membaca buku. Meja belajarnya penuh dengan
modul-modul, LKS, novel, dan beberapa oret-oretan kecil. Hal itu yang
mungkin menjadi alasan mengapa mata Melina menjadi minus.
Kini Melina sudah wangi, bau sabun yang menempel di tubuhnya
begitu harum. Aroma sampo yang melekat di rambutnya pun menebarkan
wangi yang menyegarkan. Jilbabnya dia lepaskan jika di dalam kamar. Tak
lupa dia mengiris timun sebelum tidur.

“Hampir lupa, mana ya suratku tadi?”

Melina berdiri menentengkan tangannya. Dia mencari tasnya yang dia


taruh sembarangan tadi.

“Ahaaa, kutemukan kamu tasku yang lucuu, semoga suratnya tidak


basah.”

Melina membuka ritsleting bagian depan tasnya. Dia raih surat yang
dilapisi amplop berwarna putih polos. Dikibas-kibaskan sebentar surat
rahasia itu. Ah, wanita memang begitu ribet.

Dia telah duduk manis di kursi belajarnya. Dia pandangi surat itu.
Dipikir-pikir untuk apa juga dia membukanya, apakah dengan membuka
surat itu kehidupannya akan berubah? Tidak kan. Tapi, sepertinya surat itu
isinya menarik, sayang sekali jika tidak dibuka.

“Krrrresss!”

Tanpa ampun, Melina merobek bungkus surat itu. Dan kini dia mulai
siap membaca isinya.

Selamat malam Melina Castro

“Hah, bagaiamana mungkin dia tahu kalau aku membaca suratnya di


malam hari?”
63
Surat pertama ini adalah surat perkenalanku.

Kamu boleh panggil aku apapun sesuka yang kamu mau.


Kamu boleh menentukan tempat tinggalku sesuai yang kamu mau.

Tapi ada satu hal yang kamu tidak bisa berbuat sesuai keinginanmu, yaitu menolak
mencintaiku, nanti.

Terima kasih.

(taruh surat balasanmu di kolong mejamu ya)

“Benarkan dugaanku, surat ini pasti tidak jelas dan sialnya aku telah
terjebak oleh permainannya.”

Melina melemparkan surat yang sebelumnya dia pegang. Dia langsung


menarik rambutnya ke belakang. Ah sial.

Begitukah Mel, kamu seharusnya menyiapkan segala hal yang


berhubungan dengan parasmu yang begitu cantik, termasuk dapat surat
kaleng seperti ini. Nikmatilah perasaanmu yang kini dikoyak-koyak oleh
kebimbangan.

***

64
Menaruh Surat Balasan

Melina belum juga menemukan nama yang tepat untuk si pengirim


surat. Tempat tinggal yang baik pun belum dia tentukan. Yang jelas, dia
telah siap dengan permainan barunya itu. Bagaimanapun dia ingin tahu
siapa orangnya ….
“Kamu sedang memikirkan apa sih Mel?”

“Ga ada Des, emang apa yang kamu lihat dariku sampai kamu nanya
kaya gitu?”

“Aku tau kamu rajin baca buku, koran-koran pun kadang kamu
perhatikan beritanya, tapi aku rasa hari ini wajah pusingmu berbeda. Ada
yang aneh aja.”

“Perasaaaan aja itu mah.” Melina kemudian mengangkat tangannya


tinggi. “Bu, teh hangat satu ya!”

“Aku yang bersoda Bu,” Desi menyahut.

“Kamu suka minuman bersoda itu?”

“Iya, kenapa lagi, memang ada masalah!?”

“Engga, hanya saja aku sedikit heran, kemarin di koran aku baca kalau
minuman bersoda itu menyumbang sebagian besar dananya buat Israel.”

“Oh, lalu kenapa?”

65
“Ya artinya kalau berita itu benar, ini sih kalau benar ya, berarti kamu
adalah salah seorang yang ikut membunuh saudaramu di Palestina dan
utamanya di jalur Gaza.”
“Ahh seram sekali penjelasanmu, aku tidak sejauh itulah Mel.”

“Ya terserah, aku juga ga paham tentang hal itu. Aku hanya berusaha
untuk mengurangi saja. Untuk benar salahnya kan ada yang lebih taulah,
hehe, yang jelas bukan aku.”
“Hmmm, kamu mulai mengalihkan pembicaraanmu kan?” Desi me-
ngernyutkan bibirnya. Dia memalingkan wajahnya ke bawah. “Jawab dulu
mengapa wajahmu hari ini berbeda?”

“Ih beneran gak ada apa-apa.”


Selain taat beribadah, Melina juga seorang pembaca yang cukup
maniak. Ayahnya seringkali mengiriminya novel yang aneh-aneh, dari The
Stranger karya Albert Camus sampai Nausea yang ditulis oleh Sarte. Untuk
membekali hidup, ayahnya menitipkan buku tulisan Soekarno yang berjudul
Sarinah di dalam kamarnya. Ya, mungkin itu yang membuat Melina kadang
lebih dewasa sebelum waktunya.

“Neng Desi, maaf, yang sodanya udah habis.” Ibu Koperasi berteriak
cukup keras.

“Yah Ibu …”

“Ya uda sih Des, minum mah apa aja.”

“Bukan gitu Mel, tapi kan rasanya itu loh.”

“Duh ribet, mau rasanya, mau apanya juga, ujung-ujungnya sih sama,
ngilangin dahaga juga kan. Intinya aja udah, air putih juga sama kok enak.”

66
“Ya udah deh.” Desi berdiri sebentar. “Bu, air putih aja deh Bu.”

“Gini lo Des, sebenernya aku tuh suka heran kalau liat orang pada
rebutan beli minum merek ini, rasa ini, terus kadang-kadang sampe marah-
marah. Tujuan mereka minum kan padahal mah nantinya juga ngilangin rasa
haus itu. Aneh, ga habis pikir.”
“Kamu habis baca koran apa sih? Ngomongnya jadi berlebihan.”

“Baca koran Bapak kosku tadi pagi, engga tau nama korannya apa, aku
lupa.”

“Hahaha, pantesan.”

“Tapi bener kan?”

“Iya sih, tapi sedikit, cuma sedikit loh inget hahaha.”

Tak sampai lama mereka terduduk di kantin, paling sepuluh menit.


Setelah obrolan ini, mereka pergi. Bel istirahat pun kemudian berbunyi
dengan lantang. Seluruh siswa berlarian mengakhiri masa istirahatnya.

***

Kelas 10.7

Kertas-kertas berterbangan tak karuan. Suara obrolan para wanita


terdengar nyaring tak tertahan. Ada sedikit genjrengan kecil senar gitar yang
pelan-pelan suaranya menjadi fals. Sepertinya tidak layak disebut sebagai
sebuah kelas, tetapi lebih pantas bila kita menyebutnya dengan tempat
penitipan anak, ya, anak yang besar.

Seorang siswa berlari dari kejauhan menuju kelas itu. Sorak-sorai


gemuruh menyambut informasi yang baru saja disampaikannya.

“Horeeeeee, kelas kosonggg, horeeee!”

67
“Alhamdulillah gak jadi ulangan!”

“Lanjut ke kantin aja, yuuuk capcusss!”


“Yah ketinggalan pelajaran deh.”

“Asiiiik bisa tiduuuur!”

Sam hanya diam, tidak ikut berkomentar. Dia sedang asik duduk di
kursi paling belakang barisan kiri. Kakinya naik tinggi ke atas meja. Tangan
kanannya mengipasi dadanya dengan sebuah buku. Dua kancing bajunya dia
keluarkan. Kayaknya dia sedang tidak mood hari ini, kepanasan juga.
Benjamin, Anto, Erwin, Ogi, dan Dayat berkumpul di kursi belakang
deretan kanan. Mereka membentuk lingkaran mengerubung. Seperti biasa,
Anto dan Erwin berada di tengah.

“Yaaaaaah!”
“Asiiiiik!”

“Yaaaaaaaah!”

Ekspresi itu terdengar berulang-ulang seperti speaker rusak. Tentu tahu


apa yang mereka lakukan, mereka beradu kemampuan bermain biliar.

“Sam gabunglah sini!” Benjamin memanggil Sam untuk bergabung.


Sam hanya menengok sebentar, lalu kembali termangu.

Sam masih saja memikirkan tentang Melina. Dia gelisah dengan apa
yang akan terjadi ketika pulang sekolah nanti. Apakah suratnya dibalas? Atau
mungkin dibuang begitu saja.

“Ah sudahlah, nanti sore semua itu akan terjawab sudah!!”

Sam berdiri kemudian secepat kilat dia langsung berlari menuju


Benjamin dan teman-temannya.
68
***

“Eh Dek Melina, ga belajar?”


“Ini lagi izin ke belakang Bu.”

“Neng Desi gak ikut?”

“Masih di toilet dia mah.”


“Aku beli amplop ya Bu, tiga aja.”

“Oh iya Dek, sebentar ya Ibu ambilkan.” Ibu Koperasi kemudian


menunduk sejenak. Dia muncul kembali dengan senyuman khasnya. “Ini
neng, 600 ajah.”
“Ini Bu, terima kasih.”

“Sama-sama.”

“Buat apa sih amplop sebanyak itu?”


“Buat kalau ada keperluan kondangan atau sumbangan Bu.”

“Oh, iya bener juga ya Mel, praktis.”

“Iya Bu, ya uda ya Bu, Melina tinggal dulu ya Bu.”

“Iya Neng cantik, ati-ati.”

“Makasih Bu.”

Melina berlekas-lekas menuju toilet. Dia memasukkan tiga amplop


yang baru saja dia beli ke dalam saku roknya. Bahaya juga kalau Desi sampai
tahu, bisa gawat!

“Langsung ke kelas yuk, Des.”

“Ga beli jajan dulu?”

69
“Ga usalah, itu perutmu sudah gemuk begitu.”

“Ah gemuk kan karena bergaul sama kamu yang lebih kurus dariku,
jadi aku keliahatan besar.”

“Ayo ah cepet, nanti dimarahi Pa Usman.”


“Ah, aku sebenernya males belajar fisika tapi ya uda deh,” sambil
mengerutkan wajahnya, akhirnya Desi mengikuti kemauan Melina. Dia
berjalan dalam geretan tangan Melina yang terburu-buru.

***
Kelas 10.3 pada jam pulang sekolah

Obrolan keduanya berlanjut di ruang kelas.

“Ayo Mel pulang Mel cepet ah.”


“Sebentar Des, kamu duluan aja, tunggu di depan.”

“Ah, iya, aku ke depan duluan ya.”

Ruang kelas sepuluh-tiga sudah mulai sepi. Papan tulis masih penuh
coretan bekas jam pelajaran terakhir. Kursi-kursi terlihat begitu berantakan,
posisinya tak teratur, dan barisannya tak rapi. Lantai kelas penuh dengan
kertas dan plastik Chiki. Begitulah suasana kelas setelah selesai jam terakhir,
yang kebagian membersihkan adalah siswa yang piket esok hari, itu pun
siangnya kotor lagi.

“Kamu diam di sini ya, jadilah kata-kataku yang baik.” Melina


memberi pesan pada amplopnya. Diciumnya kertas itu sekali. Cuup! Srreeet!

Dia kemudian menaruhnya dalam-dalam. Ini rahasia, jadi tidak boleh


ada satu orang pun yang tau. Mengerti kan maksudku?

***
70
Namamu Heldy

Kota Cirebon sedang tidak bersahabat. Petir menyambar ke sana


kemari. Suaranya membuat telinga budeg2. Orang jaman dulu bilang, jika
petir datang terus-menerus tandanya ada setan yang mencoba masuk ke
surga. Setan itu kemudian ditembak oleh malaikat, maka muncullah petir
itu. Ah sudahlah, waktu kecil pun aku termasuk anak-anak yang percaya
akan dongeng itu.

Sam baru masuk ke dalam kamarnya. Jendela yang semula terbuka dia
tutup dengan rapat. Kini hanya suara air yang jatuh dari plafon saja yang
terdengar.
Radio perlahan dinyalakan. Seperti biasa, Sam selalu mendengarkan
lagu-lagu Gun n Roses. November Rain adalah lagu pertama yang memanjakan
telinga Sam.

Sam kini duduk menghadap meja. Meja itu biasa dia gunakan untuk
membaca buku. Sam terhitung anak yang malas kalau soal pelajaran sekolah.
Buku-bukunya pun lebih banyak novel, komik, dan buku kunci-kunci gitar.
Tidak heran, cara bergaulnya tidak pernah cocok dengan suasana yang serius
dan formal.

Sam sangat mengidolakan sosok Neil Amstrong, orang pertama yang


bisa datang ke bulan. Di kamarnya foto Neil Amstrong terpampang begitu
besar. Kakak wanitanya, yang saat itu berada di Belanda, seringkali

2
Dalam bahasa jawa artinya tuli
71
mengirimi buku tentang sejarah-sejarah planet. Alasan Sam sederhana, Sam
suka pada orang-orang pertama, orang-orang yang mau mengambil risiko,
dan orang-orang yang suksesnya diraih karena kerja keras. Di buku kenangan
SD-nya, Sam bahkan menulis jika dia bercita-cita ingin menjadi astronot.

Tetapi itu hanyalah bagian masa kecil, yang kemudian terbawa hingga
remaja namun dengan pemahaman yang lain.

Napas Sam terdengar memburu. Dia mencoba menenangkan diri.


Di hadapannya kini telah tersaji surat balasan dari Melina. Amplop
putih itu ditulis dengan kata pembuka yang anggun; untukmu.
“Baiklah, akan kubuka surat ini.”

Hay, siapapun kamu yang membuka surat ini.


Sebelumnya aku minta maaf ya, aku tidak pandai menulis surat.

Kamu mulai sekarang bisa panggil aku Engel. Dan bila tidak marah, aku ingin
memanggilmu Held, ya, Heldy dari planet Linke. Heldy adalah nama adikku yang dulu pernah
hidup namun kemudian meninggal karena dibunuh, aku harap kamu bisa menggantikannya.

Terima kasih telah datang untuk bicara.

Engel 

Sam hanya tersenyum kecil. Badannya mengentak ke belakang. Dia


duduk dengan memutar kursinya ke kanan dan kiri.

“Waw, harus balas apa aku? Suratnya keren sekali.”

72
Setiap orang kadang bingung untuk melanjutkan apa yang telah dia
mulai. Apalagi sesuatu yang dia mulai itu bentuknya bukanlah hal yang
serius. Sam kini terperangkap oleh permainan yang dia buat sendiri. Puas
kamu Sam, berlagak sih.

“Bagaimana mungkin aku harus menjadi Heldy, siapa dia? Bagaimana


dia menyikapi Melina yang begitu cerdas? Apa yang mesti kulakukan?”

Ini bukan waktunya Sam bertanya. Dia sepatutnya sadar kalau Melina
nantinya akan menanggapi surat pertamanya.

Sam, dengan mata yang serius meraih sebuah buku. Disobeknya


bagian tengah buku itu. Tangan kanannya telah siap memegang sebuah
bolpoin. Baiklah, sekarang kita biarkan dia serius menjadi Heldy. Semoga
kamu berhasil memikat Engel.
***

“Sam boleh Abah bertanya?”

“Apa itu Bah?”

“Abah lihat kamu jarang salat, mengaji pun tak pernah kedengeran,
mengapa?”

“Salat ah, mungkin saja memang kebetulan gak keliatan.”

“Ah, Ibu yang cerita begitu sama Abah, mana mungkin ibumu
berbohong Sam.”

“Ya em aaaa em …”

“Sudahlah, tidak perlu mencari alasan.” Ayah Sam kemudian


merangkul punggung anaknya. “Kamu memang masih muda, tetapi dalam
agama, kamu telah termasuk akhir balig, yang artinya kini salatmu itu telah

73
menjadi kewajibanmu. Kalau kamu tidak salat, kamu menanggung sendiri
dosanya.”

“Iya Bah, Sam salat kok.”

“Yee mengelak lagi, Abah sebagai ayahmu hanya bisa menasihati,


memberikan contoh yang baik padamu, pada akhirnya kamu sendirilah yang
menentukan. Pikirkan hal itu baik-baik Sam, kamu tidak pernah tahu kan
apa yang akan terjadi esok hari.”
“Iya Bah, Sam mengerti.”

“Apa kamu mulai tidak percaya pada Tuhan?”

“Percaya Bah percaya.”

“Jika kamu percaya, maka berdoalah padanya, agar doamu


dikabulkan, senangkanlah Tuhan dengan kamu menjalankan kewajibanmu.”
“Siaaaaap komandan!”

“Ya sudah sana, katanya mau langsung berangkat.”

“Iya, salam dulu sama komandan, assalamualaikum.”

“Heemm dasar.” Kepala Sam diusap-usap oleh ayahnya. “Walaikum-


sallam.”

Pagi itu tak terlihat Ibu menyambut Sam. Ibu tengah sibuk menyetrika
baju sehabis sebelumnya menyirami tanaman.

Matahari belum tampak. Daun pun masih bermanja dengan air-air


embun. Sam telah mantap melaksanakan perjalanan sucinya.

***

“Hey kamu lagi, tumben pagi sekali sekarang.”

74
“Iya Pak, angkotnya masih sepi ya?”

“Iyalah, ini baru putaran pertama Dek.”


“Owalah pantesan.”

“Paling tadi ada rame ibu-ibu ke pasar, tapi sudah berhenti di Pasar
Jagasatru, seratus meter dari sini.”

“Iya Pak tau.”

“Kirain kamu anak rumahan.”


“Hahaha salah orang berarti.”

Sam telah duduk dengan manis di samping sang sopir. Tak disangka,
sopir angkot itu adalah sopir angkot yang sama ketika Sam pertama kali ke
sekolah, tentunya sesudah memakai seragam putih abu-abu. Apalagi ya
wejangan yang dia berikan kali ini?

“Namamu siapa, Dek?”


“Samudra, Pak.”

“Wah Samudra, cinta seluas samudra, hati selapang samudra,


Samudra Hindia, Samudra Pasifik hahahaha!”

“Ah Bapak ini, lawakan orang tua.” Sam dan Pak Sopir tertawa
sedikit. “Kalau Bapak sendiri namanya siapa?”

“Wo aku namanya Coerul Goenawan, disingkat Cegu, biasa temen-


temen manggilnya Cegu.”

“Salam kenal Pak Cegu.”

“Salam kenal juga.” Pak Cegu kemudian meminggirkan angkotnya.


“Salaman dulu biar afdol, biar sah, nih.”

75
Kedua orang itu pun bersalaman.

Sam rupanya telah menemukan sahabat barunya kini. Umur kedua


orang tua itu memang berbeda, zaman yang mereka jalani pun tak sama, tapi
dalam teori jalanan, hal itu sungguh tidak berlaku.

“Ada yang salah lagi tidak Pak dengan bajuku?”

Baru saja mobil bercat biru muda itu jalan, Sam sudah memancing
obrolan lagi. Dia mungkin rindu wejangan kawan tuanya ini.

“Hmmm apa ya?”


“Apa hayo?”

“Nah! Ini, kalau kemarin dalam pakaian itu terdapat doa orang
tuamu, kini dalam pakaianmu, terdapat pula keringat para pembuatnya.”

“Boleh aku bertanya lagi maksudnya?”

“Ya, bajumu itu disumbangkan oleh keringat para pekerja yang


mengubah kapas menjadi kain. Ada pula benang-benang yang menyambung-
kan kain itu menjadi baju. Itu sumbangan lelah para penjahit-penjahit ulung.
Kancingmu itu hasil daripada mereka yang tidak tidur mendaur karet
menjadi kancing.”

“Lalu apalagi?”

“Ya lalu keringat-keringat itu berkumpul menjadi baju yang kamu


pakai ini.” Pak Cegu yang tetap menggunakan topi merahnya itu, menarik
sedikit baju Sam. “Baju ini terbentuk dari lelahnya mereka.”

“Terus aku harus gimana Pak membalas mereka?”

76
“Kamu harus bermimpi, suatu saat nanti kamu bisa menjadi pemim-
pin, buat kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan mereka. Minimalnya,
jangan pernah merendahkan merekalah, itu cukup.”
“Aduh Pak, masih jauh itu, tapi terima kasih saran dan ilmunya.”

“Ya bermimpi sajalah.”

“Tapi jujur, aku sama sekali tidak kepikiran akan hal itu sebelumnya,
benar juga ya Pak kalau dipikir-pikir.”

“Ya begitulah kenyataan, kadang yang bekerja itu lebih memilih diam
karena mereka malu dan sadar akan pekerjaanya yang kadang tak sempurna.
Sedangkan yang tidak bekerja, mereka lebih banyak bicara, untuk menutupi
kediamannya.”
Sam mengangguk-anggukan kepala. Tak habis pikir dia dengan apa
yang dikatakan oleh seorang sopir angkot. Itulah Sam, kenyataan itu selama-
nya tidak kamu dapatkan dari buku, turunlah ke bawah!

***

Sam kini telah berada di kelas sepuluh-tiga. Dia memilih mendek dan
membersihkan sedikit kolong meja Melina. Rupanya dia penasaran, mung-
kin saja dengan begitu, dia bisa tahu kesukaan Melina. Kasian sekali kamu
Sam.

“Heldy, sentuhlah perasaannya.”

Sam berlalu pergi meninggalkan sepucuk surat yang dia taruh dengan
begitu rapi. Kali ini dia menambahkan satu buah cokelat di atas surat itu.
Dadah Sam ….

***

77
Heldy dan Engel dari Planet Lenski

Murid-murid SMA Negeri 1 mulai berdatangan. Bapak dan ibu guru


pun terlihat mulai memasuki kantornya. Suasananya riuh-rendah tak karuan.
Memang seperti itu di mana pun sekolahnya, bukan?

Melina datang dengan kedua tangannya memeluk buku. Kakinya tak


terlihat, maklum, rok yang dia gunakan panjang.

Melina ini, kata teman-temannya, adalah seorang mualaf. Ayah dan


ibunya dulu atheis, tapi kini memeluk Islam. Kedua orang tuanya adalah
sisa-sisa anggota Partai Komunis dari Uni Soviet. Jadi wajar, wajahnya yang
sedikit ke-indo-indoan semakin lucu terbungkus jilbab.

Seorang laki-laki menemani langkah kakinya, tepat di samping. Sam


mungkin cemburu jika dia tahu ini. Tapi sepertinya belum mungkin dalam
waktu dekat ini, kelas Sam jauh ada di belakang dan tidak tergabung dalam
bangunan kelas Melina. Dan laki-laki itu, hmm.

“Kamu tadi malam belajar apa Mel?”

“Sedikit aja Kak, aku tidur sorean Kak.”

“Ah, sama sih Kakak juga, tapi lumayan sedikit menghafal beberapa
rumus algoritma.”

“Wah keren itu Kak, ajarin Melina kapan-kapan ya?”

“Boleh, dengan senang hati.”

78
Sayang sekali Sam, kamu kalah tampan. Biar aku yang menebak,
kakak kelas itu, ya kakak kelas, tinggi dan putih. Wajahnya bersih dan
tampan. Badannya pun berisi. Kelihatannya dia juga pandai. Dia sepertinya
anak orang berada. Sepatu, celana, jam, dan tasnya semua bermerek.
Pokoknya Sam, berbanding terbalik denganmu, kamu harus mulai berjaga
diri.
“Makasih ya sudah mau mengantar aku sampai ke kelas.”

“Ah tidak juga Mel, kebetulan aja arah kita sama.” Kakak kelas itu
tersenyum senang. Kedua tangannya memegangi pengait tas. “Besok bisa
bareng lagi kan Mel?”
“Bisa sekali Kak, sungguh bisa.”

“Okey, Kakak ke kelas ya.”

Desi langsung berlari menyambut kedatangan kedua remaja itu.


“Hey, aku Desi sahabat Mel!” langsung saja Desi menyodorkan
tangannya.

“Aku Indra, panggilnya Ndra.”

“Haha bisa aja.”

“Pacarnya Melina ya?”

“Bukan Desiiii, ih!” Melina tersipu malu.

“Bukan kok, tapi gak tau nanti.”

“Ciye, ciye, ciyeee, uhuy!” Desi menggoda Melina yang semakin malu.

“Pamit dulu ya Desi, Melina.”

79
Oh Sam, bersabarlah, tahan emosimu ya kalau sampai nanti kamu
harus tahu kenyataan ini. Cinta itu bukan soal ketampanan kok Sam, cinta
itu soal bagaimana kamu bisa membuatnya selalu bahagia. Dan kamu pasti
bisa melakukan itu.

Melina langsung duduk di kursi kesukaannya. Melina memang sedari


awal memilih kursi itu. Dia merasa bahwa di situlah tempat yang paling
ideal: bisa melihat guru mengajar, melihat semua teman kelas, dan tentunya
pemandangan yang indah yang tersaji lewat bunga-bunga di sekeliling
lapangan upacara.

Melina kini mulai menggerayangi kolong mejanya. Belum sempat Desi


melihat tingkahnya, Melina telah berhasil menaruh cokelat dan surat yang
dia tunggu-tunggu.

***

Langit begitu cerah. Awan mendung tak terlihat warnanya di atas


sana. Cuacanya begitu sejuk dan indah. Burung-burung kenari yang biasa
menempel di pohon pun bersiap membuat sarangnya. Pohon bergerak kecil
memberikan sepoian angin. Biasanya kalau begini, orang mudah terpancing
kantuknya dan tertidur pulas. Masalahnya, birunya angkasa menawarkan
kondisi yang pas.

Di kelas sepuluh-tujuh. Guru fisika menjadi pembuka pelajaran. Hari


itu, Rabu, ya Rabu, masih begitu polos wajah siswa-siswi yang baru saja hadir.
Perhatian itu kemudian tertuju pada meja nomor satu dari belakang, di
deretan pojok kanan. Sam, rupanya tak peduli, mimpinya semalam dia
lanjutkan di dalam kelas. Sam, bagaimana kamu ini, malah tertidur.

“Sam bangun Sam, Pak Ade sudah masuk!”

80
“Hmm, iya Wir, sebentar ah, capek sekali aku.”

“Apa semalaman kamu belajar?”


“Ah tidak Wir, ngantuk aja.”

“Ya sudah lanjutkan, biar kututupi kamu dengan buku.”

Pak Ade ini kebetulan adalah wali kelas Sam. Dia mengajar mata
pelajaran fisika. Mirip sekali wajahnya dengan Oo, penjual dvd di Glodok.
Kacamatanya yang tipis, tubuhnya yang sedikit gempal, caranya bicara, dan
muka layaknya Jackie Chan. Sungguh, tidak bohong.
Pak Ade ini orangnya begitu sabar. Dia jarang sekali marah. Cocoklah
menjadi bapak bagi anak-anak nakal kelas sepuluh-tujuh.

“Itu yang pojok siapa, maju ke sini?!” Pak Ade menunjuk tepat ke arah
buku yang menutupi Sam.
“Sam bangun Sam!” Nawir menyenggol keras kaki Sam.

“Hmmm, iya Pak hadir.”

“Maju sini, kerjakan soal ini.”

“Pak, tidak bisa Pak, maaf.”

“Ya suda sebelahnya saja, yang wanita itu, ya kamu maju.”

Itulah Pak Ade, dia tidak pernah memaksa siswanya yang memang
tidak mampu mengerjakan soal. Bukan berarti dia tidak tegas, dia pasti
menegur, namun dalam waktu dan kesempatan yang lain. Benar-benar guru
yang mengerti.

Kini tidur Sam pun berlanjut. Kepalanya kembali ditundukkan. Nawir


hanya geli dan tersenyum dengan tangan menutupi mulutnya. Beruntunglah
kamu Sam, beruntung sekali lagi, guru fisikamu orangnya baik.
81
***

Melina belum pulang ke kamarnya. Surat kecil dan cokelat yang mulai
mencair telah menunggunya di meja belajar. Kita tunggu sajalah dia.

“Haha, Kakak ini bisa saja melawak!”


“Lah memang iya kan, bayangin coba kan kalau kamu cari pacar yang
ternyata dia ga lebih pinter, kamu pasti malu.”
“Iya sih, tapi masa iya pacarannya makan cinta aja?”

“Ya iya, orang dia yang dipunyai cuma cinta aja kok, sedangkan
pacaran kan butuh nonton sama makan bareng juga. Pacaran butuh piknik
pokokna mah-lah.”

“Tapi percaya gak, bahwa ketika kebahagiaan itu telah hadir, uang
pun tidak dibutuhkan lagi.”
“Ya, tapi sayangnya uang itu yang membuat bahagia.”

“Yeee, ya gak melulu itu Kak, hati juga kan butuh kata-kata sama
perhatian yang benar-benar tulus. Percuma dong, kalo mikirnya uang aja,
sama aja kita menjual kebahagiaan kita dengan uang.”

“Ya mungkin, tapi kan tetep uang, hahaha!”

“Hahaha!” Melina tertawa sambil menahan bingung di dalam hatinya.

“Sudah malam ini ah, sudah jam sembilan, Kakak pulang ya, besok
kita lanjutkan lagi Mel.”

“Iya Kakak.”

Selang beberapa menit setelah kata perpisahan itu, motor sport yang
dipakai Indra pun berjalan kencang. Suaranya begitu keren dan istimewa.
Sangat mahal sepertinya.
82
Teras kos Melina pun menjadi sepi kembali. Bulan yang sudah
menampilkan wajahnya dengan cantik, kini tak lagi kesepian. Melina, adalah
penikmat bulan yang sangat taat. Melina selalu menyempatkan waktu
sepuluh menit sebelum tidurnya, hanya untuk menatap bulan dan menulis-
kan puisi. Kesunyian adalah harapan bulan mencuri perhatian Melina.

Kali ini dia telah santai di kursi kamarnya. Jilbabnya kembali dilepas.
Daster bergambar hello kitty menjadi penutup body-nya.

“Maaf Heldy, aku tau kamu menungguku, aku kini bersiap menjadi
Engel.”

Melina mengajak surat itu berbicara. Dia tak lupa membuka cokelat
yang mungkin rasanya telah bercampur dengan air.

Engel, Heldy-mu datang memberi senyum


Terima kasih atas surat balasanmu. Aku jauh-jauh dari planet Lenksi hanya untuk
menemuimu. Bumi jaraknya cukup membuat lelah ya dari sini.

Engel, hari ini apa saja yang kamu lakukan? Aku harap kamu bahagia ya, dengan
senyuman tentunya kamu baca surat ini.

Oh iya, aku tidak mau menggantikan adikmu. Aku yakin dia jauh lebih spesial
dariku. Aku mau menjadi sesuatu yang baru, yang datang menyapamu untuk membuatmu
senang sebelum tidur.

Terima kasih, kini kita berada dalam dunia yang sama, aku telah membawamu ke
Planet Lenski.

Heldy 

83
Melina mulai gembira dengan rutinitas barunya ini. Dia seperti
menemukan permainan yang baru.

“Aaah Heldy, siapa sih kamu sebenarnya? Mengapa tak kamu tunjuk-
kan saja wajahmu langsung di hadapanku?”

Melina cukup suka dengan apa yang ditulis Sam. Kata-kata yang
dipilih Sam menarik hatinya. Kini dia merasa bahwa Heldy dan Engel telah
saling mengenal dengan cukup baik, bahkan berdekatan.
Melina menyiapkan kertas berwarna biru yang tadi siang dia beli.
Bolpoinnya dia taruh tepat di sebelah kiri surat itu. Sebelum dia memberi-
kan balasan, dia ingin menghabiskan terlebih dahulu cokelatnya sambil
menatap purnama.

***

84
Merokok

Semenjak pertemuan di kantin dan berakhir di ruangan wakil kepala


sekolah, Sam tak pernah lagi bertemu dengan Cris. Peraturan telah memba-
tasi pertemanannya. Memang selalu ada hal yang harus dikorbankan dalam
setiap pilihan yang diambil.
Sam mau tidak mau harus berusaha kembali beradaptasi dengan ling-
kungan barunya. Untunglah, Sam orangnya tidak terlalu tertutup terhadap
perubahan. Benjamin, Anto, Ogi, Nawir, Erwin, dan Dayat telah berhasil
menjadi sahabat barunya sekarang. Mereka menggantikan Cris yang hilang.

Terhitung sekitar dua bulan teman-teman kelas itu bersama. Mereka


memang belum melewati banyak hal bersama-sama, tetapi sepertinya keak-
raban itu telah terbangun dan memancarkan cahaya yang terang. Sedikit
demi sedikit, perlahan tapi pasti.

Dalam setiap perubahan, tentu ada suatu hal yang baru. Sam kini
lebih bisa sedikit sabar, tidak terlalu emosian bahkan lebih sering tertawa.
Syukurlah Sam.

Ya, setiap manusia memang memiliki rahasianya sendiri. Sekalipun


Sam telah dekat dan mungkin bisa dikatakan seperti saudara, Sam tetap
menyembunyikan ketertarikannya pada Melina. Dia tidak mau rahasianya
menyeberang terlalu jauh.

85
Apa yang kamu lakukan sudah benar Sam, karena jika itu terjadi, siap-
siaplah menyebar luas dari jangkauanmu Sam. Setidaknya itu menurut Rumi
dalam Maswani bagian “Kelinci Menyembunyikan Rahasia Pikirannya”.
***

Rahasia itu tidak hanya berbentuk pribadi, kadangkala juga ada


rahasia bersama. Sampai dituliskannya cerita ini, ada rahasia Sam dan
teman-temannya yang belum pernah terbongkar. Rahasia itu adalah merokok
di jam istirahat.

Kantin tengah mulai sedikit sepi. Hari Jumat jam istirahat memang
tidaklah terlalu lama, hanya sekitar 25 menitlah. Sam dan gerombolannya
justru baru datang di saat anak-anak lain pergi. Seperti sudah menjadi
kebiasaan memang, mereka selalu telat pada hari Jumat.
“Bu, „panjang‟ tiga ya Bu.”

“Iya Mas Ogi.”

“Jangan lama-lama Bu, mumpung sepi.”

“Oke, tiga ribu saja Mas.”

“Ini Bu.” Ogi menyalami tangan ibu warung itu, duit seribuan tiga
dibuatnya kecil dan menjadi satu.

“Ini Mas,” perempuan tua bersanggul itu kemudian memberikan


sesuatu yang kelihatannya cukup rahasia.

“Terima kasih Bu.”

Ogi memang sudah kenal betul dengan ibu itu. Saking kenalnya, Ogi
beberapa kali makan tanpa perlu membayar. Tidak hutang, tidak minta juga,
hanya pemberian saja.

86
Pria dengan rambut kribo ini kemudian mengomandoi Sam,
Benjamin, Erwin, dan Dayat menuju kamar mandi.

Satu lagi yang hampir saja lupa, yaitu belum memperkenalkan Dayat.
Dayat adalah pria bermata sipit dengan tinggi badan seimbang dengan Sam,
sekitar 169 sentimeter. Rambutnya lurus rapi dan perwajahannya satu-dua
dengan VJ Daniel. Cukuplah untuk diimajinasikan.

Mereka berlima telah sampai di toilet.


Ogi masuk terlebih dahulu. Sam dan Benjamin menyusul namun
dengan kamar yang berbeda. Erwin ikut ke barisan Ogi. Dayat masih di luar.
“Aman Bro.”

Dayat menyelinap mencampuri kamar mandi di mana Sam dan


Benjamin telah berada di dalamnya. Pintu kamar mandi itu sedikit reyot,
hampir saja roboh ketika Dayat begitu kencang menutupnya.
“Eh Ya Allah, tolong ini Sam!”

“Aduh iya.”

“Eh cepetan ini, mau rubuh!”

“Iya!”

“Naaaah!”

Sam dan Dayat memegangi pintu yang hampir rubuh itu berdua. Ada-
ada saja.

Toilet laki-laki kelas satu hanya terdiri dari dua kamar mandi dan lima
tempat kencing di luar. Berbeda dengan toilet wanita, dari awal sampai
ujungnnya seluruhnya kamar mandi.

“Kita nyalakan ini?”


87
“Iya nyalain dong.”

“Merdeka ya!”
“Merdeka empat-lima!”

Sam bertanya kepada Benjamin dan Dayat. Keduanya mengangguk


dan setuju. Inilah rahasia itu, rahasia yang mungkin sampai sekarang pun
belum cukup diketahui.
Ogi, sebagai seorang pelaku utama bertugas untuk membeli amunisi.
Karena amunisi itu terlalu berbahaya, perlu dibentuk suatu kode, yaitu
“panjang”. Panjang adalah rokok. Pada waktu itu, rokok bagi anak SMA
standarnya hampir sama dengan haramnya narkoba saat ini, jadi perlulah
hati-hati. Itu yang pertama.
Kedua, mereka bersatu dan berkumpul di WC. Agar tidak memberi-
kan kesempatan pada orang lain memakai kamar mandi, maka semua (dua)
kamar mandi itu mereka isi. Dayat bertindak sebagai pengawas. Dia diberi
tugas untuk memastikan suasana kondusif dan aman. Setelah semua sesuai
dengan keinginan, Dayat baru ikut bergabung.

Begitulah caranya.

Muda dan tua adalah soal umur, dewasa dikategorikan sebagai


pilihan, tetapi yang namanya pengalaman itu abadi.

***

Kelas 10.3

“Mel, lama sekali sih beresin bukunya?”

“Iya Des, ini loh banyak sekali peralatannya tadi, dari praktek kimia
sampe fisika.”

88
“Ah ya sudahlah, aku tunggu di depan ya?”

“Iya, lebih baik begitu Des, daripada kamu kecewa karena menunggu.”
“Sudah kecewa.”

“Ya sudah cepet gih sanah.”

Desi melenyapkan diri dari sorotan mata Melina. Sepertinya dia punya
ilmu langkah seribu. Melina masih sibuk dengan barang-barangnya. Buku,
penggaris, tepak, bahkan botol-botol kimia dia masukkan satu per satu ke
dalam tas.
“Ah beres juga.” Melina menghela napas, ritsleting kantong besar
tasnya ditutup.

Dia tersenyum. Kantong kecil yang berada di bagian depan tasnya


dibuka pelan. Dia keluarkan amplop cantik berwarna biru. Amplop itu
dipegangnya cukup erat. Di dekat tutupnya tertulis, untukmu, Heldy.

“Kamu diam di sini ya, jadilah kata-kataku yang baik.”

Cukup dalam juga Melina memasukkan kedua tangannya ke kolong


meja. Dia sumringah dan berlari meloncat-loncat meninggalkan kelas
sepuluh-tiga.

***

89
Surat Kedua Melina

Greeengggg! Suara motor terdengar berhenti di depan rumah Sam.


“Assalamualaikum Bu!”

“Iya masuk aja gak dikunci!”

Sam membuka pintu perlahan. Ibu dan ayahnya menjadi pemandang-


an pertama yang Sam lihat. Pasangan suami-istri itu sedang asyik menyantap
makan.

“Bu maaf, ini Benjamin ngajak Sam keluar sampe malem.”

“Iya Ben gak papa.”


“Sudah makan belum Ben?”

“Belum Bu.”

“Aduuh ya uda sana cepet pulang gih makan dulu.”

“Hahaha iya Bu, mau langsung pulang ini juga.”

“Eh bercanda, Ya Allah, iya hati-hati.”

Ibu Sam kemudian berlari menyambut salam Benjamin.

“Besok-besok jangan malem-malem ah pulangnya.”

“Iya Bu, ada perlu tadi.”

Sam hanya menggaruk kepalanya melihat tingkah Ibu.

90
Benjamin kini telah pergi. Bau kenalpot motornya meruak sampai ke
dalam rumah. Ya, lumayanlah menggantikan pewangi ruangan.

Sam menaruh jaket jeansnya menggantung di ujung kursi makan. Sam


kemudian bergabung dengan ayahnya di meja makan. Setelah menutup
pintu, ibu Sam juga duduk bersama dengan dua orang tadi.
“Nok sudah tidur?” Sam biasa menyebut adiknya dengan sebutan
Nok.
“Sudah dari tadi.” Ibu menjawab sambil mengisi nasi ke piring
suaminya.
“Kamu dari mana Sam?” Ayah mulai membuka mulutnya.

“Habis kumpul di rumah Erwin, di Kanoman situh deket.”

“Untuk apa?”
“Ada ujian seni musik Bah, besok tuh.”

“Ga bisa siang latihannya?”

“Latihan sih emang siang, tadi bikin rencana besok gayanya gimana.”

“Selama itu, sampe jam sebelas malam?”

“Iya, banyak keseling ngobrolnya Abah.”

“Ooooo, lain kali jangan diulangi lagi yang begini, tidak baik pulang
sampai larut.”

“Iya Bah, terakhir kok ini.”

Ayah Sam terlihat cukup kesal. Tetapi, tidak juga sepertinya, dia
kemudian melanjutkan santapan lalapnya.

91
Ibu memang pintar mengambil peran. Ibu selalu diam dalam keadaan
seperti ini. Dia sepertinya urung ikut campur, apalagi dua pria di depannya
adalah orang yang dia cintai.
“Abah mah bukan ngelarang kamu pulang malam atau gimana, cuma
rada gak sebanding aja dengan belajarmu.”
“Maksudnya?”

“Ya, bolehlah kamu itu pulang malem, asalkan, inget asalkan loh ini,
nilai ujian kamu, nilai ulangan harian kamu, itu sudah di atas delapan
semua.”
“Insya Allah berusaha Bah.”

“Tugasmu itu tidak banyak, orang tuamu pun tak menuntut lebih,
cukup kamu tanggung jawab dengan apa yang sedang kamu jalani saat ini
orang tuamu sudah senang. Kamu saat ini sedang diamanahi untuk belajar
di SMA. Oleh karena itu tanggung jawabmu itu belajar agar dapat nilai ujian
yang terbaik, dan lulus masuk perguruan tinggi yang sesuai keinginanmu.”

“Iya Bah.”

“Jangan pikirkan yang lain, pikirkan saja apa yang sedang ada di
depanmu Nak.”

“Siaaap komandan!”

“Ya sudah sana, wudu lalu salat dan tidur.”

Sam langsung mengambil wudu. Setelah selesai salat di musala, Sam


secepat kilat naik ke lantai dua.

Breg! Suara pintu kamar terdengar ditutup.

***

92
Bulan rupanya sedang mencapai puncak purnama. Awan-awan di
sebelahnya menyingkir. Bintang-bintang pun terpandang malu. Indah sekali
pokoknya.
Sewaktu kecil, Sam pernah berbisik kepada ibunya. Dia terpukau
melihat malam yang begitu cantik. Dia meminta ibunya untuk menjaga agar
malam itu tidak tertidur. Ya, namanya anak kecil, imajinasinya kadang tak
masuk di akal.

Begitu sepi dan sunyi malam itu. Krikikan jangkrik pun begitu merdu
bak simfoni di tengah hari. Desiran angin kadangkala muncul membangkit-
kan bulu kuduk yang lesu.
Sam telah terbaring menghadap langit-langit kamarnya. Selimut
cokelatnya dibiarkan hanya sampai dengkul kaki. Tangannya meraba
mengambil amplop biru. Pelan-pelan surat itu dia angkat kemudian dia buka
pengaitnya dengan penuh keyakinan.

Aku mau tebak, kamu pasti Heldy kan, pria misterius itu.

Jika tebakanku benar, kamu boleh tersenyum sambil membayangkan wajahku, karena
aku juga sedang tersenyum.

Kemarin aku didatangi oleh seorang makhluk dari bumi. Dia mengantarku berangkat
sekolah. Malamnya, dia mengajakku bicara tentang sesuatu yang katanya cinta. Ah, cukup mena-
rik walau kadang membosankan. Untunglah ada cokelatmu yang mendaimakan perasaanku.

Kamu juga pernah dekat dengan seseorang?

Bagaimana harimu Heldy? Jangan lupa mampir ke Berlin ya kalau ke Bumi.

Terima kasih telah datang untuk bicara 

93
“Ah Melina, mengapa juga sampai kamu ceritakan masalah itu.
Suratmu yang bagus ini jadinya tampak jelek. Harus bagaimana ini aku?”

Hati Sam gundah. Dia berbincang cukup lama dengan nafsunya.


Semoga tidak ada nasib yang salah menyentuh hari-harimu.

Sedih dan bahagiamu itu Sam, tergantung sebagai siapa kamu malam
ini. Jika kamu memposisikan dirimu sebagai Sam, kurasa mungkin kamu
sedih. Andaikata kamu saat ini adalah Heldy, ini sinyal terbaik yang perlu
kamu lanjutkan.

Sam, Sam, hey Sam, apakah kamu tak mendengar?


Sam rupanya telah memejamkan matanya rapat-rapat. Dia tertidur
tanpa lupa mendengkur. Dasar kamu Sam ….
***

94
Penasaran

Kita tidak berjauhan, tidak pula saling mengabaikan. Kita hanya menunggu
Tuhan menentukan takdirnya, sederhana bukan - Bakhrul Amal

Setiap manusia di dunia ini selalu dikaruniai satu rasa oleh Tuhan,
rasa itu adalah rasa penasaran.

Manusia selalu ingin tahu. Manusia selalu ingin bisa seperti manusia
yang lainnya. Manusia selalu kepingin dapat mengerti tentang arti kehidupan
ini. Manusia selalu mencari rahasia bagaimana caranya agar dia dapat hidup
tenang dan damai. Dan pada akhirnya, manusia selalu penasaran.
Sam, sebagai dirinya yang tentu manusia, Sam merasakan apa yang
dinamakan penasaran itu. Sam memang tidur begitu cepat, akan tetapi Sam
menaruh cemas dalam pejaman matanya. Lelaki muda itu menerka-nerka,
siapa laki-laki yang sedang dekat dengan Melina itu? Apakah Sam sedang
cemburu? Ya, tidak ada yang tahu tentang hal itu.

Jika berkaca pada kenyataan, Melina sewajarnya tidak cukup sulit


memilih Sam atau Kak Indra. Sambil menutup mata pun Melina tahu, dia
pastinya memilih Kak Indra. Namun dunia itu teka-teki, segala persoalannya
tidak bisa ditakar melalui prinsip untung-rugi, apalagi soal cinta. Cinta itu
berbeda dengan kenyataan, cinta itu abstrak, cinta itu bisa dirasakan tetapi
wujudnya tak dapat kita lihat.

Tenanglah Sam ….

95
Cinta itu tak bertanya siapa kamu, cinta itu hanya sekumpulan alasan
mengapa dia merasa nyaman bersamamu.

Jadi Sam, jika memang kamu penasaran, kamu juga semestinya harus
mempersiapkan hati dan pribadimu. Itu sih saran saja, selebihnya buktikan
sendiri.
***

Ketika Sam kecil, Sam mungkin masih disuguhi cerita tentang nama
sembilan planet. Salah satu dari sembilan planet itu bernama Pluto. Planet
yang letaknya paling jauh dari matahari.
Hari itu, 26 Agustus tepatnya, dunia astronomi mengeluarkan suatu
trobosan baru mengenai definisi planet. Planet haruslah memenuhi tiga
kategori yang terdiri dari, is massive enough to be rounded by its own gravity, is
not massive enough to cause thermonuclear fusion, and has cleared its neighbouring
region of planetesimals. Planet, kata para astronomi itu, adalah benda
astronomi yang mengorbit sebuah bintang atau sisa bintang yang cukup
besar untuk memiliki gravitasi sendiri, tidak terlalu besar untuk menciptakan
fusi termonuklir, dan telah "membersihkan" daerah sekitar orbitnya yang
dipenuhi planetesimal.

Entah bagaimana cara para astronom itu mengklasifikasikanya, Pluto


mulai saat itu tidak dianggap lagi sebagai planet. Setidaknya ada dua alasan,
Pluto terlalu sulit dideteksi dan letaknya amatlah jauh dari matahari.

“Kamu harus tau itu, supaya nanti kelak kamu bisa bercerita pada
anakmu soal Pluto ini.”

96
Ayah Sam merangkul anak laki-lakinya dengan tangan kanan. Tangan
kirinya dia arahkan ke langit sembari menunjuk. Sarungnya terlihat sedikit
melorot karena tak dipegangi. Ada-ada saja memang ayah Sam.
“Oh begitu ya Bah.”

“Iya begitu.”

“Manusia pun sama berarti, kalau dia ngelakuin hal-hal yang jauh dari
kategori manusia, seperti memakan teman sendiri, membunuh layaknya
binatang, maka dia bukan manusia.”

“Ya betul, bisa seperti itu.”

Sam merangkai jauh kata-kata ayahnya. Dia terlihat cukup segar


menanggapi obrolan penting pagi ini.

“Ya udah, Sam mau berangkat Bah.”


“Iya, sudah dihabisin belum makannya tadi?”

“Sudah kok.”

“Ya uda, hati-hati, nanti Abah yang salamin ke Ibu.”

“Asalamualaikum Bah.”

“Walaikumsalam.”

Rasanya alam raya ikut bahagia memperhatikan momen langka ini.


Sam dan ayahnya saling memberikan masukan yang sehat.

Alam seolah menunjukan kebahagiaannya itu dengan cuaca. Matahari


tak cepat muncul. Sinarnya hanya kecil menembus awan yang bergumul dari
arah pantai utara. Langit begitu biru, pekat dengan penuh makna yang
dalam. Sisaan bulan tercetak rapi di pojok kiri. Oh terima kasih Tuhan atas
keindahan yang Kau suguhkan pagi ini.
97
Sam pun begitu tenang meninggalkan rumah tercintanya. Kepalanya
tegak dengan jalan yang begitu percaya diri. Bajunya dimasukkan sehingga
sabuk celananya terlihat menantang. Siulan kecil dia keluarkan dalam
perjalanan itu. Selamat berangkat ke sekolah Sam.

***
Kantin sekolah masih seperti biasanya, selalu ramai dan penuh
dengan segala macam transaksi jual-belinya. Sepertinya jajanan yang ada di
situ tidak pernah membosankan. Atau juga, karena apapun makanannya
semua memang rasanya menjadi enak ketika lapar? Mungkin itu bisa
menjadi salah satu alasan.
Hari itu, putih abu-abu tidak ada, yang ada hanyalah cokelat muda
dan tua. Ya, setiap hari Sabtu, seluruh siswa diwajibkan menggunakan
seragam pramuka. Entahlah, sejak kapan aturan itu dimulai, yang jelas
angkatan Sam ikut mengalaminya.

Mungkin tidak banyak yang tahu juga sejarah mengapa seragam


pramuka itu berwarna cokelat muda dan tua. Pak Ruslani, guru matematika
Sam, mengibaratkan dua corak warna itu adalah representasi dari tanah dan
air. Sementara dalam buku kecil pramuka, dijelaskan jika warna itu dipilih
berdasarkan warna yang paling banyak digunakan oleh pejuang kita. Ya, yang
benar yang mana, hanya pelaku sejarah itulah yang tahu.

Kini kita kembali lagi ke kantin.

“Win, anak-anak pada ke mana?”

“Ga tau Sam, katanya sih pada siap-siap buat ulangan nanti habis
istirahat.”

“Emang ada ya?”

98
“Ya, kayaknya sih pelajaran matematika.”

“Kok kayaknya sih? Gimana kamu ini.”


“Hahaha, buku pelajaran itu sama sekali belum pernah aku sentuh
Sam, maklumlah.”
“Untuk hal ini kita sama Win, aku juga.”

“Hahaha!”

Sam dan Erwin begitu asik berbincang. Mereka berdua tak sadar
sudah lebih dari delapan gorengan mereka makan. Nasi kuning yang semula
berada di atas meja pun telah lenyap dan menyisakan piring yang bersih.

“Aku pinjem duit ya Sam, kayaknya bakal habis banyak.”

“Gampanglah Win, ngutang juga kan boleh.”


“Ah ga enak ah, katanya kalo ngutang tuh pahala kita gak diitung,
diberikan buat orang di mana kita ngutang.”
“Aturan dari mana itu? Emang pahala bisa ya dipindah-pindah?”

“Kata orang tua sih gitu Sam.”

“Semoga saja orang tuamu tidak sedang mengkhayal.”

“Semoga sih iya, amin Ya Allah.”

Sam kemudian mengecilkan volume suaranya.

“Katanya si Melina itu sudah pacaran?” Sam mencoba memancing.

“Mana kutahu Sam, coba tanyakan sama Desi, dia lebih paham
tentang hal ini.”

“Aku gak deket sama Desi.”

“Apalagi aku. Ya coba kenalanlah, usaha sedikit kenapa Bro?”


99
“Kalau buat Melina, jangankan sedikit, banyak pun aku kasih Win.”

“Nah, nah kan, suka ya kamu sama dia?”


“Kaya gak tau aku aja Win, bercandalah hehe.”

“Hehe, ya tapi ga usah grogi juga Sam.”

“Aku mah santai Win, kan selama janur kuning belum melengkung
semua masih punya kesempatan, hehe.”

“Iya kalau kesempatan itu datang buat kamu, kalau datangnya untuk
orang lain?”

“…”
Sam kemudian mendadak saja terdiam. Matanya menyorot jauh ke
kursi pojok yang jaraknya sekitar tujuh meter dari tempatnya duduk. Sam
berada di depan koperasi, sementara kursi itu ada di ruko makanan nomor
tiga. Gorengan yang ada di tangan Sam bahkan tak tersentuh akibat itu.

Di kursi yang menjadi perhatian Sam, ada dua orang wanita dan satu
laki-laki sedang berbincang. Dua orang wanita duduk membelakangi Sam,
yang laki-laki berhadapan mata dengan Sam dan Erwin. Jika menelisik dari
jilbabnya, salah satu wanita itu adalah Melina. Lalu, laki-laki itu siapa?

Belum sempat Sam memperhatikan lebih jauh Kak Indra, Erwin buru-
buru mengajak Sam balik ke kelas.

“Sam, hey Sam!”

“Eh, iya Win?”

“Ke kelas yuk!” Erwin telah berdiri.

“Oke deh.” Sam ikut berdiri.

100
Kedua orang ini seperti raksasa dan kurcaci apabila sudah sejajar.
Tinggi Sam hanya sekitar 169 senti sementara Erwin 180 sentian. Ada gap
yang cukup jauh. Kasihan sekali kamu Sam.
“Yuk ah!”

“Iya, dibayar dulu Win sebentar.”

“Bu, itu semuanya di Sam ya Bu.”


“Iya Win.” Ibu Koperasi menjawab.

“Sialan. Ini Bu, kembalinya besok lagi aja.” Sam menyerahkan sejum-
lah duitnya kepada Ibu Koperasi.

“Siap Mas Sam.”

Perlahan-lahan kedua manusia itu enyah dari kantin. Tatapan dua


bola mata Sam sempat menoleh sejenak ke belakang. Dia mencetak wajah
kakak kelas yang duduk bersama dengan Melina.

Sudahlah Sam, nanti juga kamu akan mengerti. Meskipun mungkin


pengertian itu kamu dapatkan dari kebenaran yang akan menyakitimu.

***

101
Yang Teramat Cantik

Kota Cirebon yang ada pada cerita ini adalah Kota Cirebon yang
masih begitu sepi. Belum banyak mal ataupun cafe yang bisa didatangi.
Jumlahnya masih sangatlah sedikit. Tidak jarang tempat seperti Mesanin di
Grage Mal, Lesehan Kartini, Mi GET, serta kedai susu murni menjadi
tempat yang laris dan dikenal. Jika sedikit bosan maka bioskop adalah obat
penawarnya. Meskipun begitu, dahulu selalu saja lebih indah dari saat ini,
entah kenapa.
Taburan bintang di langit begitu memesona. Putih-putih awan bak
kapas menghiasi dinding penutup bumi. Bulan menampakkan sabitnya yang
tipis seperti ujung pedang yang melengkung. Kerlip-kerlip cahaya dari
pesawat yang melintas pun tak urung ikut memanjakan.

Lampu-lampu jalan menuju kos Melina telah menyala. Taman kecil di


depan rumah bertingkat dua dan berisi sepuluh kamar itu sungguh indah di
malam hari. Ada sekitar sepuluh kunang-kunang yang terlihat lincah
menciumi ujung kamboja. Ah, romantis sekali.

Melina masih di dalam kamar. Dia belum beranjak. Baju pramuka


yang dari tadi pagi dia pakai pun masih melekat. Lucu sekali wanita berkulit
putih berpancar itu.

Jarak memang jauh tapi hati keluarga selalulah dekat. Melina amat
merindukan ayahnya di Rusia. Sudah lama juga mereka tak bertemu.

“Ayah kapan ke Cirebon? Mel kangen.”


102
“Sabar ya Mel, nanti Ayah beri kamu kabar kalau mau pulang.
Gimana sekolahmu Mel?”

“Lancar Ayah, semua ulangan kemarin aku dapet sepuluh. Aneh kan
Yah? Mudah-mudah soalnya.”

“Jangan lengah, mungkin saja itu baru permulaan, ke depannya justru


sangat teramat rumit. Tetep belajar!!”

“Iya Ayah.”

“Novel „Dunia Sophie‟ yang Ayah kirim sudah kamu baca?”


“Belum sampai selesai Ayah, rumit sekali ah, sama seperti Ayah yang
kadang tidak jelas.”

“Heeey, seenaknya aja kalau ngomong, ga jadi pulang nih Ayah.”

“Aaaah Ayah, bercandaan, jangan marah.”

“Hehe, iya, ya udah kamu sana mandi ah, katanya belum mandi.”
“Iya Ayah.”

“Gak malam mingguan emang?”

“Belum tahu, tapi nanti Melina ceritakan.”

“Malu-malu nih, sudah punya pacar ya kamu di sana?”

“Belum Ayah, tapi mungkin nanti ingin, sekarang belum.”

“Yang bener, ah masaa?”

“Benerlaaaah, emang Ayah suka bohong, hari ini bilang pulang tapi
baru bulan depan beneran pulangnya.”

“Dasar ABG, ya sudah ya, selamat malam, muaaach!”

“Ih Ayah ganjen cium-cium, bilangin Mamah!”


103
“Hahaha, kan sama anak.”

“Iya selamat malam juga, selamat tidur Ayah.”


“Iya Mel, terima kasih.”

Tututututututut … telepon pun terputus.

Melina langsung meloncat dari kasurnya. Diambilnya handuk yang


sudah menyantol di balik pintu masuk. Lekaslah mandi Mel, badanmu
sudah bau kecut.

***

Depan SMA 1 Cirebon


Malam itu adalah malam minggu. Malam yang sebagian orang
menyebutnya sebagai malam yang panjang. Ya, mungkin karena esoknya
adalah hari libur, makanya malam itu bisa dilewati sampai pagi hari.

Sehabis terdengarnya azan isya, jalanan di Kota Cirebon mulai ramai.


Motor-motor beradu cepat berburu keindahan malam. Mobil-mobil jenis city
car pun memadati tiap sudut kota. Sungguh ramai dan membuat bising.

Cafe-cafe mulai bersiap menyajikan aneka macam hiburan. Layar lebar


pun dibentangkan untuk menampilkan acara yang luar biasa. Barista-barista
terlihat sibuk meramu jamuan kopi terbaik. Meja-meja pun dihiasi lilin dan
aneka macam pernak-pernik unik menarik hati. Lampu-lampunya warna-
warni mengundang penasaran.

Jauh di atas sana. Bulan hanya bisa tersenyum lebar. Bintang-bintang


seperti bergandengan menyiarkan cahayanya. Langit juga mendadak biru
begitu pekat. Awan-awan putih menambah lukisan angkasa menjadi tampak
sempurna.

104
Beruntungnya mereka yang mempunyai tujuan malam ini. Bahagianya
mereka yang tahu dengan siapa mereka harus menyusuri setiap detik momen
ini.
“Gi, katanya ada anak-anak di sini, kok kosong?”

“Sabar Sam, tadi bilang udah pada di jalan.”

“Wah ya berarti baru mulai siap-siap kalo gitu.”


“Kok malah siap-siap?”

“Iya Gi, kalau lagi di jalan itu tandanya masih siap-siap, lagian kamu
kesorean jemput aku.”

“Ya kalo terlalu malem aku gak boleh keluar Sam.”

Sesosok pria berbadan kurus terlihat baru saja melepaskan helmnya.


Sahabatnya yang berambut kribo masih berdiri di atas kemudi motor. Kedua-
nya berbincang tepat di depan warung SMA N 1 Cirebon.

“Ya uda cepetlah.”

Laki-laki itu adalah Sam dan Ogi. Sam memulai duduk di kursi
warung terlebih dahulu. Ogi kemudian menguntiti tingkah laku Sam.

“Kopi item satu Pak.”

“Rokoknya setengah aja Pak.”

“Iya Dek, siap.”

Sam mengacungkan tangan memesan kopi. Ogi menimbrung ikut


memesan setengah bungkus rokok.

“Udah ah, rambut mau diputer-puter gimana pun gak bakal lurus Gi.”

105
“Ye, usah Sam.” Ogi tak sempat menoleh. Dia teruskan usahanya
merapikan rambutnya yang kribo. “Lurus kan?”

“Iya lurus, ujungnya doang.”

Bapak warung tak perlu waktu lama datang menghampiri dua anak
muda itu. Sekalipun memakai sarung, dia terlihat tak repot membawa satu
gelas kopi hitam.

“Ini nih Mas Sam, ini juga Mas Ogi.”

“Pak, gak malam mingguan?”


Seperti biasa, Ogi selalu melontarkan pertanyaan yang tak masuk akal.
Dia sudah tahu orang tua itu memiliki istri yang sekarang tinggal di kam-
pung. Mana mungkin dia bermalam minggu, yang ada mencari nafkah Gi.

“Cari duit Mas, buat masa depan.”


“Malam minggu juga gitu?”

“Lah iya, kalo warung tutup Mas Ogi mau nongkrong di mana?”

“Di WC aja Pak, gak buang duit.”

“Hahahahaha!”

Creep, sambil menelan langsung air kopi, Sam ikut tertawa.

“Bapak kan udah tua ya Pak, maaf Ogi lupa Pak hahaha!”

“Loh-loh, malah ngomongin umur. Gini loh Mas Ogi, tua dan muda
itu bukan perkara hitungan tahun, tapi soal pikiran. Selama yang dipikirin
orang itu masa depan, sekalipun umurnya tua kaya Bapak ini, dia tandanya
masih muda. Tapi misalkan ada anak muda ngobrolinnya masa lalu, itu dia
kayaknya sih bukan muda lagi, tapi udah tua. Jadi selama masih berpikir dan
kerja buat masa depan, Bapak masih muda.”
106
“Bilang aja mau disebut awet muda, muter-muternya jauh banget
Pak.”

“Haha, bukan Bapak yang bilang loh ya.”

“Anak muda biasanya malem mingguan Pak?” Sam kemudian


menyambut. “Ya kan Pak?”

“Iya, tapi malam mingguannya yang bermanfaat buat masa depan,


contohnya dagang ini.”

“Hahahahaha!” semuanya tertawa.


Bapak penjaga warung pun ngeluyur meninggalkan keduanya.

Sam dan Ogi rasanya kedinginan. Jaket yang mereka kenakan sama
sekali tak dilepaskan. Dua sahabat itu pun memakai celana panjang yang
kelihatannya jeans tebal.
Benjamin, Erwin, Dayat, dan Anto belum juga hadir. Sudah setengah
jam lebih. Kopi Sam bahkan hampir menyentuh dasar gelas. Rokok milik
Ogi juga tinggal tersisa dua batang. Dari dulu sampai sekarang tak pernah
berubah, hal yang menjengkelkan itu tetap sama namanya, yaitu menunggu.

***

Di tempat lain, di salah satu kos daerah Wahidin.

Melina terlihat begitu rapi. Dia berdiri di depan gerbang kos. Baju
merah dengan poldakot putih menutupi auratnya. Jilbab abu-abunya mem-
bungkus dengan manis. Celananya yang hitam dan sedikit mengatung
terlihat sungguh serasi.

Melina tidak pernah menggunakan make up. Wangi di tubuhnya


hanya datang dari sedikit semprotan parfum. Wajahnya yang bersih dan

107
putih dibiarkan polos apa adanya. Kacamatanya tak dia gunakan malam itu.
Kecantikannya sungguh terpancar.

Tak terlalu lama Melina menunggu. Sinar-sinar lampu tiba-tiba menyi-


laukan pandangannya. Tangannya diangkat ke ujung alis.

“Heey maaf Mel, Kak Indra lama.”

“Gak apa-apa Kak.”


Motor sport berwarna merah berhenti tepat di hadapannya. Kak Indra
tak sempat turun. Melina langsung naik dalam boncengannya.
“Mau ke mana ini Kak?”

“Kita makan di Grage aja yuk, abis itu kita nonton.”

“Oh ya uda, emang mal gak rame ya malem minggu gini?”


“Hem gak tau juga Mel, semoga aja enggak.”

“Oke Kak.”

Melina dan Kak Indra sudah sangat-sangat akrab. Tidak ada yang tahu
dari kapan mereka mulai berkenalan. Bahkan Desi pun tak pernah mengerti
soal ini.

Melina tak lagi merasa kesepian. Malam minggunya bertabur perasaan


cinta yang sedikit pasti mulai tumbuh. Melina mulai berpikir tentang Kak
Indra selalu ada waktunya. Kak Indra jugalah yang membuat Melina seolah
menjadi wanita paling istimewa karena perhatiannya.

Laju motor Kak Indra semakin cepat. Arah kendaraannya menuju


depan sekolah Melina. Artinya, jika tidak ada aral melintang, Sam dan
Melina akan bertemu tepat ketika motor Kak Indra melewati sekolahan.

Benar saja.
108
“Saaaaaammmmudra, Sam!” Melina berteriak begitu keras ketika
melewati SMA N 1 Cirebon.

“Sam, itu ada yang manggil!” Ogi memukul kepala Sam.

“Mana Gi?”
“Itu!”

Sam mencari arah suara wanita itu.

“Oh, iya Mel!”


Melina tersenyum kecil. Tangannya melambai-lambai ke arah Sam.
Sam membalas lambaian itu secukupnya. Wajahnya ikut tersenyum
meskipun terpaksa. Mimpi apa dia kemarin sampai harus bertemu dengan
kejadian ini.

“Anjriiiit cantik sekali dia Gi!”

“Dia siapa?”
“Melina Gi.”

“Oh anak sepuluh-tiga itu ya? Dia mah emang istimewa.”

“Ah parah cantik sekali.”

“Iya. Dia berada di atas jok motor yang tepat sepertinya.”

“Maksudmu?”

“Iya, orang cantik dengan motor yang cantik juga.”

“Hahaha!”

“Jadi kelihatan makin cantik kan, bener?”

“Iya Gi, bener.”

109
Sam tidak berpikir terlalu jauh. Melina masih ingat dengan dia pun
dia sudah senang. Tidak mudah bagi seseorang mengingat perkenalan
singkat satu minggu yang lalu.
Malam ini seolah menjadi “kelam bagai malam 27”. Satu kebahagiaan
datang dengan masalah yang belum terungkap. Siapa lelaki itu? Statusnya
siapa di hadapan Melina? Itulah teka-teki yang harus kamu segera pecahkan
Sam. Tapi sejenak berbahagialah dulu.

“Iya Gi. Dia cantik, teramat-amat cantik.”

“Kamu suka?”
“Insya Allah sepertinya.”

Ogi menatap wajah Sam yang terus memandang jalan. Heran di bola
matanya tak tertutupi ketika Sam menjawab kata suka dengan Insya Allah.
Tidak nyambung. “Kadang memang ada hal yang kita suka, tetapi tidak bisa
kita miliki Sam, termasuk dia.”

“Tetapi kadang bukan berarti tak mungkin, kan Gi.”

Remang-remang itu menyisakan luka meredam harap. Kayu-kayu kecil


penyangga warung menyaksikan bisu tak berkutik. Sam kehilangan kata-kata.
Dia mulai berharap, bila segala yang tak bisa dia ungkapkan itu akan mene-
mukan jalurnya yang indah. Jangan biarkan kunang-kunang malam itu mere-
dup karena kesedihan hatimu Sam.

***

110
Bahagia Mel,

Tak tahulah film apa yang mereka (Kak Indra dan Melina) tonton
malam itu, yang jelas, di tahun 2006 rasanya tidak ada film yang lebih
menarik daripada “Realita Cinta Rock n Roll”. Titik.

“Terima kasih ya Kak, aku jadi gak enak.”

“Iya Mel gak apa-apa, Kakak juga seneng kok bisa jalan sama kamu.”
“Iya Kak sama-sama.”

“Sama seneng?”

“Bukan, sama-sama bisa jalan juga akhirnya, kalau seneng-engganya


nanti malam mungkin Melina pikirin lagi.”

“Haha bisa aja kamu Mel!”

“Hehe.”

“Ya uda, Kak Indra langsung pulang ya.”

“Gak mampir?”

“Udah jam sepuluh, waktunya Tuan Putri masuk kamar dan tidur
nyenyak.”

“Ya uda Kak, hati-hati ya.”

“Iya.”

Dan, gruuuuuuuuung. Motor Kak Indra melaju cepat menerabas angin.

111
Bagaimanapun Melina menutupinya, semua pasti tahu kalau Melina
tampak bahagia. Kakinya sangat riang dan tanpa beban. Tangga-tangga kecil
dia naiki sambil berdendang. Oh, Mel, semoga saja kegembiraanmu ini tak
merisaukan Sam.

“Aku pulang istanaku!”


Melina membuka pintu kamarnya. Dia selalu tak berani segera masuk.
Dia cek di bawah kasur, ke atas lemari, bahkan bercak-bercak lantainya harus
dipastikan bersih. Setelahnya, dia baru menutup pintu dari dalam.

Tak perlu waktu lama untuk Melina berganti kostum. Jilbabnya kini
tak lagi menutupi rambutnya yang kemerah-merahan. Matanya indah bak
mentari yang berpendar. Hidungnya yang mancung menguang-nguap
memancing mulut tipisnya mesem.
Melina tidak mungkin lupa pada tugasnya. Dia tipe orang yang tidak
pernah mau menunda pekerjaan. Melakukan hal itu, kata Melina, sama
dengan menumpuk beban pada pundak yang terlanjur berat. Dan tugasnya
malam ini adalah, membaca dengan sukacita surat dari Sam.

“Aku penasaran, apa lagi yang kamu ceritakan padaku surat rahasia?”

Engel, Heldy-mu datang memberi senyum.

Aku sungguh terkejut membaca pengakuanmu.

Berbahagialah Engel, karena ada orang yang mau mendekatimu yang tentunya
pasti untuk membuatmu bahagia, harapku.

Aku selama ini belum pernah merasakan seperti apa yang kamu rasakan. Aku
hanya bisa mengintip dalam keraguan. Aku belum berani menjadi seorang pengungkap
cinta yang baik.
112
Hari-hariku sepertinya mulai kini akan dipenuhi oleh rasa penasaran. Aku sendiri
tak tahu penasaran untuk apa.

O iya, aku belum sempat ke Berlin, pesawatku tiba-tiba saja kehabisan bensin. Dan
kamu tau Engel, aku bersyukur karena dengan begitu aku bisa lebih lama diam di Cirebon,
memperhatikanmu.
Semoga kamu dalam keadaan yang bahagia.

Heldy 

Isi dari bungkus surat yang sederhana itu teramat spesial bagi Melina.
Kata-kata memang ajaib, dia mampu memainkan perasaan pembacanya.
Melina begitu beruntung, kegembiraannya malam ini berlipat tanpa perlu
dia memesannya.

Seandainya aku bisa langsung membalas suratmu, kamu pasti akan tahu
kalau malam ini aku teramat bahagia. Kak Indra dan suratmu telah mengisi
kesepian malamku. Aku harus adil, namun aku tak tau bagaimana harus
membaginya. Terima kasih. Melina mengendapkan kata-kata itu tepat di dalam
hatinya. Dia menyimpannya sampai Senin tiba.

Kini, malam telah berlabuh jauh menawarkan senyap. Kodok yang


berdiri tenang di atas daun eceng gondok pun mengongok berulang-ulang.
Di antara rerumputan yang padat, jangkrik kecil merdu bersuara. Tak ada
suasana yang menghalangi kesenangan Melina.

“Terima kasih Tuhan.”

Selimut kecilnya ditarik perlahan ke atas. Lampu kamar mulai padam.

***

113
Tidak ada hari yang sia-sia bagi Melina. Termasuk hari libur. Jika ada
orang yang paling sibuk di kosan pada hari minggu, mungkin Melina
jawabannya.
Semua penghuni masih tertidur. Kamar-kamar pun terkunci rapat tak
bersuara. Melina telah siap dengan peralatan bersih-bersihnya.
Sekitar jam delapan pagi. Handuk telah melingkari kepala Melina.
Celana jeans pendek dipakainya. Kaosnya kini bukan seragam, tapi oblong
hitam bertuliskan “caliban”. Tangannya memegang sapu.

“Ayo kita mulai bertarung debu-debu!”


Seprai putihnya dia lepas diganti dengan warna cream yang kalem.
Jendela kamar yang menatap badan jalan dibersihkan. Debu-debu di atas
meja, lemari, dan kursinya, dia kibas-kibas sampai tampak mengilap.
Keramiknya pun dipel sampai bisa digunakan untuk bercermin.

Sigap sekali kelakuannya pagi itu.

“Aduh Mel, Mel, masih pagi Mel.”

“Eh Kak Linda.”

“Sekalian kamarku boleh nggak Mel?”

“Uuuuh enak aja, capek Kak ini juga.”

“Ayolah Mel.”

“Gak mau ah.”

Kal Linda menggoda Melina. Mereka duduk bersebelahan di teras


depan kamar Melina.

“Berapa lama nunggu lantainya kering?”

114
“Paling sepuluh menit Kak Linda, terus udah deh baru bisa masuk.”

“Lama juga ya.”


“Iya Kak.”

Kak Linda kemudian menyeruput teh yang ada di atas meja. Meja itu
berada di tengah sehingga memisahkan kursinya dengan Melina. Kak Linda
sengaja membawa teh itu dari kamarnya.
“Hmm, o iya Mel, kamu gak keluar hari ini?”

“Gak deh Kak kayaknya, panas juga sepertinya Kak.”

“Loh kenapa? Cowomu gak jemput apa?”


“Cowo yang mana?”

“Itu yang biasa pake motor Ninja itu?”

“Itu mah cuma temen Kak, dia senior di sekolah.”


“Ya semuanya juga temen dululah Mel, ihiiy!”

Tubuh Melina geli digelitiki jari-jari lentik Kak Linda.

“Melina dapet tugas dari Ayah untuk selesain dua novel ini, kayaknya
ini lebih penting daripada main gak jelas Kak.” Melina menunjuk buku yang
ada di atas meja. Dia juga memperlihatkan buku yang ada di tangannya.

“Wuiih, apa ini „Dunia Sophie‟? Ini satunya apa, „Dr. Zhivago‟,
penulisnya siapa itu Mel? Kakak gak bisa kebaca.” Kak Linda memelototi
salah satu buku yang Mel tunjukkan. Dia ingin tahu penulis dari buku
tersebut. “Ah siapa itu Mel? Tidak terbaca.”

“Oh ini, Boris Pasternak, penulis Rusia Kak.”

“Ah sudahlah tidak penting, pusing baca-baca buku.”

115
“Ih enak tau Kak!”

“Enaknya?”
“Kita bisa berimajinasi dan berjalan-jalan ke tempat yang kita sendiri
gak tau itu di mana tapi kita seneng. Ya, menyenangkan pokoknyalah.”
“Tapi kan orang beda-beda Mel. Jangan harap kamu bisa membujuk
Kakak untuk jadi pembaca juga.”
“Coba deh baca ini „Dr. Zhivago‟, Kakak bisa tau kondisi Rusia ketika
revolusi. Dr. Zhivago ini salah satu orang yang digambarkan menjadi saksi
bagaimana mencekamnya keadaan Rusia saat itu.”

“Mel sudah ya Mel, Kakak balik kamar dulu.”

“Hahaha Kakaaaak ih!” Melina menarik baju Kak Linda.

“Bercanda, udah sih Mel jangan ngomongin buku ah, pusing-pusing.”

Kakak-beradik yang ketemu besar itu terus saja mengobrol hingga azan
zuhur berkumandang. Mereka tertawa berbagi cerita. Tema yang diangkat
bermacam-macam, dari mulai keluarga, cinta, bahkan teman. Ya, wanita
memang seperti sudah menjadi takdirnya, suka bicara dan doyan cerita.

***

116
Senin

Bendera merah putih mulai naik, sedikit demi sedikit. Lagu Indonesia
Raya berkumandang begitu keras dan merdu. Suara wanita serta laki-laki,
baik tua dan muda, saling bersautan dengan irama nada yang sama. Sungguh
kompak dan membuat bulu kuduk merinding.
Siswa berbaris cukup rapi. Mereka berdiri lurus mengikuti kelasnya
masing-masing. Kepala mereka ditutupi topi abu-abu. Baju-bajunya dimasuk-
kan sehingga sabuknya muncul mencolok. Celananya pun begitu mengilap
dan serasi dengan sepatu hitam putih.

Guru-guru membentuk barisan sendiri di sebelah kelas sepuluh-satu.


Baju PNS dan topi hijau menjadi pakaian resmi kebanggaan mereka. Ada
pula beberapa guru yang ditugaskan menjaga. Mereka berdiri tegak di
belakang barisan setiap kelas sepuluh hingga kelas dua belas.

“Istirahat di tempaaat graaaak!”

Pemimpin upacara berteriak begitu keras. Bajunya berwarna putih-


putih. Lehernya dilingkari syal dengan motif merah dan putih.

Pembina upacara kemudian memberikan arahannya.

“Ben, kedengaran gak suara orang ngomongnya?”

“Gak tau ah, panas ini, lama sekali sih.”

“Iya ya.”

117
Ogi dan Benjamin berdiri saling bersebelahan. Mereka sama dengan
murid-murid lainnya, mengeluh dan mengumpat apabila sudah waktunya
pembina upacara bicara.
“Heh jangan ngobrol, tegak-tegak!”

Pak Heri menendang kaki Benjamin dan Ogi dari belakang. Guru
olahraga yang memiliki badan kekar ini tak lupa menjewer kecil telinga Ogi.

“Aduh Pak sakit Pak!”

“Kamu ngobrol aja, hargai orang bicara.”


“Iya Pak.”

“Kalau mau bicara di depan.”

“Iya Pak maaf Pak.”


Pak Heri memarahi Ogi tanpa ampun. Ogi hanya bisa pasrah tanpa
berani menghadap wajah Pak Heri.
“Hihihihi!”

Erwin dan Sam tertawa tanpa menampakkan giginya.

Ya, itulah sebagian dari suasana sekolah pada Senin pagi.

Upacara itu tidak hanya diisi oleh cerita murid dambleg seperti
kelompok sepuluh-tujuh saja, kadangkala juga ada beberapa murid yang
pingsan karena lelah berdiri. Tidak sedikit pula yang bersiul-siul ketika
pembina upacara menyampaikan pidato yang menarik. Ada juga yang diseret
ke depan lapangan karena tidak membawa topi atau karena memakai sepatu
warna-warni. Benar-benar seru.

***

118
“Sam, Sam, itu Sam!”

“Apa Win, gimana?”


“Itu Melina mau lewat!”

“Hah?”

“Cepet ah sini!”
“Iya, iya!”

Sam berlari cukup kencang. Kertas gambarnya dia tinggal. Meja-meja


kelas dinaiki dengan penuh semangat.

“Eeeh jangan lewat meja sih!”

“Iya ah, cerewet!”


“Dasar anak nakal!”

Kiky memarahi Sam, namun itu tak menjadi masalah. Sam tetap saja
melompat satu demi satu sampai ke meja Erwin yang ada di bagian kanan.

“Kamu atau aku duluan yang nyapa?”

“Kamu aja, aku cukup memperhatikan.”

“Ya udah.”

Dari kejauhan, Melina berjalan ke arah kelas Sam. Wajahnya yang


lonjong seolah bercahaya. Langkahnya pelan dan teratur. Kakinya kini tak
terbalut sepatu, hanya sendal jepit menjaga alasnya. Seperti biasanya, setiap
Senin Melina selalu melaksanakan salat dhuha.

Sam selalu menunggu momen-momen ini. Dia begitu suka.

“Win, manggilnya nanti ya kalau emang udah deket aja.”

“Kenapa?”
119
“Biar bisa lebih jelas aku menatap wajahnya.”

“Okelah, buat temen apa sih yang engga?”


Sam mulai membenarkan bajunya. Rambutnya pun disisir mengguna-
kan tangan. Dia naga-naganya ingin menampilkan Sam yang sempurna di
mata Melina.

“Siap ya?”
“Iya.”

Erwin memberi komando kepada Sam.

“Melinaaaa!”
“Heeey, assalamualaikum!”

Angin berembus entah dari mana. Sam merasakan kesejukan itu. Dia
tak membalas salam, namun membalas senyum Melina.

“Hey Sam!”

“Ekh e ekh, hey juga Mel!”

“Duluan ke masjid ya!”

“Iyaaaaa!” Erwin dan Sam kompak membalas ajakan Melina.

Seolah tak terjadi apa-apa, Melina melanjutkan perjalanannya ke


masjid.

“Mel, Mel!”

Tiba-tiba dia, Kak Indra, berlari sambil berteriak mengejar Melina.

“Tunggu Mel!!!”

120
Sam dan Erwin hanya melongo. Para pengagum Melina itu menunggu
apa yang hendak dikatakan Kak Indra. Mereka masih setia menonton di
balik jendela.
“Iya Kak, kenapa?” Melina menjawab pelan penuh kelembutan. Halus
sekali suaranya.
“Aku ikut ya?”

“Oh, silakan, Kak Indra.”

Sam menyimpan nama itu di dalam pikirannya. Dia mulai tahu nama
kakak kelas itu, yang biasa mendekati Melina, adalah Indra.

“Iya,” Kak Indra menjawab sambil tersenyum. “Ayo yuk!”

“Eh eh eh, tapi jangan ikutin Mel, ini kan ke arah tempat perempuan,
Kakak lurus aja, Kakak kan laki-laki.”
“Oh beda tempat ya, lupa.”

“Keciri jarang ke masjid nih.”

“Hehe, ngetes aja Mel,” Kak Indra menggaruk kepalanya. Keringat


kecil mulai turun memenuhi jidatnya. “Ya uda Kakak lurus ya.”

“Iya Kak.”

Kak Indra ternyata ingin ikut melaksanakan salat dhuha bersama


Melina. Dia lupa kalau bagian tempat salat perempuan dan laki-laki
dibedakan. Namun dia tidak malu, namanya juga usaha.

Sam dan Erwin tak lagi menghiraukan. Keduanya sudah kembali


anteng menggambar dan melanjutkan tugas pelajaran animasi.

121
Jangan emosi Sam, salahmu diajak salat tidak mau. Kamu sendiri yang
membuang kesempatan itu, masa kamu tega memarahi dirimu sendiri yang
kamu cintai.
***

Kelas 10.7

Bel waktu selesainya istirahat berbunyi. Semua murid telah duduk


dengan rapi di kelas masing-masing.

“Selamat siang Paaaaaaaaaaaak!”


Begitu menggema dan memekikkan telinga. Saat itu, seluruh siswa
kelas sepuluh-tujuh membalas salam dari guru sejarah yang bernama Pak
Haris.

“Mohon maaf, Bapak ganggu waktunya sebentar, laki-laki semuanya


maju ya ke depan kelas.”

Jreg jreg jreg!

Murid laki-laki kemudian berdiri dan menuju ke depan kelas.

Pak Haris mengelus-elus kecil jenggotnya menunggu seluruh mangsa


berada di depan kelas. Tangannya telah siap dengan gunting cukur berga-
gang hitam. Pak Haris kemudian berjalan dan memperhatikan satu per satu.

“Oh ini panjang, maaf ya Bapak gunting.”

“Jangan Pak jangan!”

“Engga.”

“Oh ini bajunya sok-sokan lengannya ketat, gunting.”

“Aduh Pak, tolong Pak ga usah.”

122
“Aduh, laki-laki pake poni, mampus ilang ponimu sekarang.”

“Ini udah dinaikkan Pak, ga usah dipotong Pak!”


“Ah engga-engga, gunting.”

Selain upacara dan melihat Melina salat dhuha, hari Senin juga
seringkali menyisakan hal yang menyedihkan bagi sebagian siswa. Sebagian
siswa itu adalah mereka yang berambut panjang dan berpakaian tidak sesuai
standar aturan.

Para pelanggar yang rambutnya panjang, harus siap kehilangan


jambang atau poninya. Sementara yang berpakaian slenge’an, celana serta
bajunya akan digunting. Meskipun hukumannya itu-itu saja, tetap selalu
membuat hati kesal. Yang melanggar pun tak pernah belajar, mereka seperti
terus-terusan jatuh di lubang yang sama.

“Sudah ya, terima kasih atas waktunya.”


“Terima kasih Pak.”

Salam kepergiannya selalu saja tak lebih ramai daripada salam ketika
menyambut kedatangannya.

***

123
Cinta

Dimulai dari kelas sepuluh-tiga …


Melina menarikan tangannya di atas meja. Dia menggenggam tipe-x.
Dia kemudian menuliskan sesuatu. HLD, ya, mungkin saja itu Heldy.
“H-L-D!!!???”

“Kenapa Des?”

“Emang apa H-L-D itu?”


“Oh, itu high level Desi, hehehe.”

“Maksudnya apa Mellllll?”

“Kamu, ya kamu itu lebay.”

“Huuuu, dasar!”

“Hahaha!”

Melina menolak jujur. Bukan Melina yang Desi kenal.

“Eh, Kak Indra gimana?”

“Gimana apanya?”

“Dia udah nembak kamu belum?”

“Aaah, nembak, nanti aku mati dong Des, jahat kamu.”

“Ih, maksudku menyatakan cinta gitu, ciye ciye!”

“Terlalu cepat Desi, aku belum kenal lebih jauh juga.”


124
Kelas sepuluh-tiga memang sedang tidak ada pelajaran. Guru fisika
yang harusnya mengajar malah tidak hadir. Kata penjaga piket, guru fisika
itu sakit. Pantas Melina dan Desi begitu tenang mengobrol.
“Jangan lama-lama, keburu nanti dia bosen sama kamu.”

“Ya kalau bosen ya udah, baru PDKT aja udah bosen, gimana nanti
kalau dia sama aku lebih lama?”

“???”

“Kamu tau kan aku orangnya cuek, Des.”


“Iya paham Mel, tapi kamu yakin mau nunggu lama lagi?”

“Cinta itu bukan cepat atau lama, tapi cinta itu soal kenyamanan.
Sejauh ini aku belum menemukan alasan yang tepat kalo dia bisa buat aku
nyaman.”
“Tapi kan …”

“Tapi kan dia udah nganter aku pulang, jemput aku berangkat, ngajak
aku jalan malam minggu. Itu Des?” Melina menyeka ucapan Desi.

“Iya itu,” telunjuk Desi diangkat kecil.

“Ah, itu mah jangankan Kak Indra, Mang Sabar tukang becak depan
kosku juga bisa. Cinta itu ga segampang itu Des. Dia belum bisa buat hatiku
ngerasa beda dengan kehadirannya. PDKT-nya masih umum.”

“Ya uda buat aku aja kalo gitu, boleh?”

“Ya kalau dia suka sama kamu gak papa, sayangnya enggak deh
kayaknya.”

“Siaaaaaaaal kamu Mel!” Desi mendorong tubuh Melina. Melina


sedikit bergoyang ke kiri. “Owh, owh, owh aku gak peduli, terserah apa
125
katamu Melina Castro sang pujaan Indra Siregar. Udah ah, aku mau buang
sampah dulu ya Mel, bentar.”

“Iya Des silakan, aku siap-siap pulang ah.”

“Sekalian masukin bukuku yak, plissss!”


“Iya Nyonya Lebay.”

Desi keluar kelas untuk membuang sampah di sekitar meja miliknya


dan Melina. Melina tidak sia-siakan kesempatan ini. Dia segera mengeluar-
kan surat yang ada di dalam tas. Dikecupnya kecil surat itu.
“Kamu diam di sini ya, jadilah kata-kataku yang baik.”

***

Matahari sedang lucu-lucunya kalau kata Erwin. Neraka bocor


menurut Ogi. Ya, itulah gambaran bagaimana-betapa panasnya siang itu.

Angkutan kota sampai kapan pun mungkin tak akan pernah


menggunakan AC. Suhu di dalamnya panas dan menyerbakan bau keringat
yang bercampur lelah. Jika beruntung angin akan masuk dengan kencang.
Namun jika tidak, kita akan mendapati diri kita seperti berada dalam
panggangan. Maklumlah, mesin panas, cuaca juga sedang kemarau.

“Tumben ya ketemu Bapak siang-siang.”

“Iya Pak Cegu, untung juga kursi depan kosong.”

“Itu namanya takdir, sesuatu yang tidak direncanakan.”

“Mungkin ya Pak.”

“Bukan mungkin, tapi pasti.”

126
Sam sudah duduk manis di sebelah Pak Cegu, sopir angkot
andalannya. Saat itu Pak Cegu hanya menggunakan baju putih polos.
Topinya tetap, warna merah dengan bintang kuning di tengahnya.
Sepertinya topi itu sudah menjadi patennya.

“Sudah punya pacar belum Nak?”


“Alah Bapak pertanyaannya …”

“Loh, sudah dua bulan lebih masih sendiri, SMA kamu itu cewenya
cantik-cantik.”

“Bapak aja sok yang pacaran sana sama temen SMA-ku, mau ngga?”

“Bapak kan sudah tua.”

“Aku juga sudah tua Pak, bagi adikku, hehehe.”

“Sebentar ya,” Pak Cegu menghentikan laju mobilnya. Dia kemudian


mengeluarkan tangan kanannya. “Ayo Bu! Ciperna, Ciperna, Penggung,
Drajat Bu, ayo!”

Sopir angkutan kota memang semuanya sama. Mereka suka sekali


membuat penumpangnya bosan dengan berhenti terlalu lama. Kejar setoran
mungkin.

“Ah sudahlah lanjut aja.”

“Loh, gak papa padahal Pak, santai aja.”

“Ya kamu santai, itu ada Mbak di belakang cemberut terus, kayaknya
buru-buru.”

Sam menengokkan wajahnya ke kursi belakang. Dia melihat wanita


berpakaian suster sedang gelisah.

“Oh iya ya Pak.”


127
“Sampai mana tadi obrolannya?”

“Sampe pacaran.”
“Aaa iya, anak SMA itu minimalnya harus merasakan pacaran.”

“Untuk?”

“Untuk merasakan kalau cinta masa-masa SMA itu lebih indah dari
masa-masa apapun.”

“Dih, kok gitu Pak?”


“Ya, dulu Bapak ini pacaran sampe tiga kali. Nyesel juga, mau empat,
tapi keburu lulus.”
“Playboy nih hayo!”

“Bukan playboy Nak Sam, tapi emang rasanya itu istimewa. Nungguin
di depan kelas, nemenin makan di kantin, ngerjain tugas bareng. Nah, yang
serunya kalau sudah ada yang deketin, pasti berantem.”
“Aku kira Bapak lahir langsung tua, pernah muda juga ternyata ya.”

“Loh ngeceeee malah.”

Sam tertawa kencang menyaksikan kekesalan Pak Cegu. Pak Cegu


hanya mesem-mesem saja. Pak Cegu mungkin tahu bagaimana caranya mem-
bawa emosi anak muda.

“Bapak dulu ceritanya gimana bisa punya pacar sampe tiga kali itu?”

“Bagi Bapak cinta itu sederhana. Ketika kamu merasa ada seorang
wanita yang membuat kamu gelisah, membuat kamu ngerasa gak bisa tidur,
membuat kamu takut kalo sehari saja gak denger kabarnya, ketika itu kamu
kudu segera nyatakan perasaanmu. Itu namanya cinta.”

128
Sam melamun saja. Dia menerima tanpa penolakan. Kata-kata Pak
Cegu mengiang-ngiang terus di telinganya. Sam mengetuk-ngetuk hati kecil-
nya, itu Melina, Sam. Itu Melina, Sam. Wanita itu, yang seperti diceritakan Pak
Cegu, itu Melina, Sam. Hati Sam terkoyak-koyak kebimbangan.

***
Ruang makan itu selalu saja sepi jika sore menjelang. Sam dan ibunya
duduk berdua berhadapan. Suara sendok ting, ting, ting kedengaran menjadi
pengiringnya.

Menu sore hari tak pernah berubah. Sam selalu dimasakkan ibunya
sop ayam. Ibunya menganggap Sam begitu kurus, sehingga daging dinilai
sebagai solusinya. Tetap saja sih, walaupun sudah sering disuguhi makanan
berlemak, Sam masih saja kurus ceking.
Wajah ibu Sam begitu teduh. Rambutnya dibiarkan terurai pendek,
tak sampai leher daster kembang melati berwarna hitam dan putih
andalannya.

Sam terlihat baru bangun tidur. Matanya masih lebam menampakkan


kantuk. Celana boxer Slank dan kaos dalam putih menjadi busananya. Sam
tidak pernah kapok, padahal ayahnya sudah sering memarahi caranya
berpakaian. Maklum, dalam agama aurat itu sangat dijaga.

“Kalau ada Abah jangan pake pakaian kaya gini, bisa disemprot
kamu.”

“Iya Bu ngerti, tanggung ah, makan doang sebentar.”

“Ya, kalau Ibu mah masih maklum, walau risi juga.”

“Yeee, gini doang risi.”

129
Sam selalu saja ngeyel. Dia pantas dikatakan ndableg3.

“Kalo Sam pacaran boleh gak Bu?”


“Hah!”

“Boleh gak Bu?”

“Pacaran-pacaran apa sih, kamu benerin dulu kelakuanmu baru


pacaran.” Ibu Sam tampak kaget mendengar permohonan anaknya.

“Apa hubungannya pacaran sama kelakuan, suka aneh Ibu tuh.”


“Bukan begitu, kalau kamu pacaran sekarang, kamu pasti gak dapet
yang baik.”
“Kenapa?”

“Karena orang baik untuk orang baik dan orang jahat untuk orang
jahat.”

“Jadi maksud Ibu, Sam jahat?”

“Bukan begitu juga, jahat mah engga, cuma gak bisa rapi dan gak bisa
ngurus diri sendiri.”

“Ya makanya cari pacar biar diurusin.”

“Kamu nyari pacar atau nyari pembantu?”

“Pacar Bu.”

“Lah, lalu kenapa kamu nyuruh dia ngurusin kamu? Yang ada saling
melengkapi, saling menyayangi, dan saling membahagiakan.”

“Ya dengan mengurusi pacarnya itu salah satunya kan, Bu?”

3
Dalam istilah jawa diartikan orang yang susah diatur dan nakal.
130
“Kalau itu kesadaran masing-masing.”

“Emang gimana maksudnya?”


“Cinta itu Sam, ketika kamu punya alasan untuk mencintainya,
sebenernya kamu gak bener-bener mencintainya.”
“Kok bisa, cinta kan harus pake alesan, gabisa ujug-ujug.”

“Seandainya kamu cinta sama dia karena alasan, maka cinta itu akan
hilang seiring dengan hilangnya alasan-alasan itu.”

“Maksud Ibu?”

“Ya misalkan kamu suka sama perempuan karena dia ngurusin kamu,
pas dia ga ngurusin kamu lagi, pasti cinta kamu itu akan hilang juga, mini-
malnya marah dan sewot.”

“Iya juga sih ya, Bu.”

“Ya iya, jangan ngajarin orang tua soal beginian, Ibu lebih ngerti.”
“Iya, iya Bu.”

Sam menggelengkan kepalanya sambil menunduk. Ibunya menatap


dengan senyuman kecil.

Sam, luar biasa harimu. Dua pesan cinta menyeli-muti Sam dalam satu
hari. Yang pertama ungkapan dari Pak Cegu. Kedua dari tutur kata ibunya
yang meskipun kesal namun benar.

Sam mungkin akan memikirkan banyak hal nanti malam. Dia tidak
bisa tidur. Dia akan bayangkan pesan yang amat banyak itu, sampai dia
memilih satu yang paling tepat. Yang pasti, tentang cinta itu tidak jauh juga
dari isi surat ketiga yang diberikan oleh Melina.

***
131
III
Persahabatan

132
Menegangkan!

Jangan pernah memikirkan apapun yang sesungguhnya belum tentu terjadi.


Hal itu bisa membuatmu gelisah tak karuan. – Bakhrul Amal

Dua batang rokok telah habis dibakar Sam. Wajahnya masih saja
muram tak jelas.

Langit menjadi tampak gemetar menyaksikan Sam. Geludug kecil


pertanda akan datangnya hujan terdengar menggelegar. Bintang-bintang tak
tampak, bulan pun urung menampilkan senyumannya.

Angin terdengar begitu keras. Jendela sedikit bergetar. Hordeng terbang


ke kanan dan ke kiri, tak jelas arahnya.

Jangkrik tak ada. Suara kodok apalagi. Kesunyian dan sedikit


nyinyiran lagu Slank yang terdengar. Entahlah, mungkin malam ini benar-
benar sedang begitu buruk cuacanya. Baik itu alamnya maupun hati Sam.

Surat Melina tampak bersih di atas meja. Biru menyala. Surat itu tak
terbang diterpa angin dan tak goyah ditimpa kebimbangan perasaan. Surat
itu siap membolak-balikkan hati Sam malam itu.

“Aku buka tidak ya?” Sam menggumam sedikit. “Jujur, baru kali ini
aku takut menerima kenyataan. Kenapa juga sih malam minggu kemarin
harus ketemu dengan Melina? Ah, bersama laki-laki lagi. Kacau.”

Sam tak tenang. Duduknya pun tak rapi. Kakinya bergoyang-goyang


tak karuan.

133
“Jika isi surat ini memang membuat aku harus melupakan Melina, aku
belum siap. Jika surat ini berisi kabar bahagia pun, untuk apa sebenarnya?
Apakah alasan seorang Samudra lahir itu untuk wanita sesempurna Melina?”
Neil Amstrong ikut mengomentari kegelisahan tuannya. Fotonya yang
memegangi tiang bendera Amerika, seperti bicara. Bagaimana nasib penga-
gumnya itu, dia ikut merasakan kegundahannya.

“Baiklah aku buka.”


“Baiklah aku akan siap.”

“Baiklah inilah waktunya.”

Selamat malam alien.

Jangan marah bila aku menyebutmu begitu, karena kamu memang orang asing.

Aku mau menulis puisi ya, sedikit kok, judulnya:

PELANGI

Ketika hujan mengguyur basah bumi.

Ketika petir membuat tegang penghuninya.

Rintik kecil mengiringi.

Matahari kemudian malu-malu mulai tampak.

Dan kamu, menyempurnakan kesedihan itu dengan keindahan warnamu.

Hehe, bagus kan bagus. Harus bagus ya.

134
Oh iya, kemarin aku akhirnya jalan dengan laki-laki itu, ya, laki-laki yang sudah satu
bulan ini mendekatiku.

Aku tak tau, aku heran, belum juga muncul perasaanku padanya. Padahal aku lihat dia
begitu serius.

Kamu bisa membantuku Heldy?

Terima kasih telah datang untuk bicara 

***

Masih pagi memang, tapi tak sepagi biasanya. Suara sepatu bisa
terdengar, walaupun mulai tertutup alunan ayat suci dari speaker masjid.

“Hey, sedang apa di kelasku?”


“E, e, e, ini aku cari penggaris yang hilang, dipenjem si Ali.”

“Oh, meja Ali kan bukan di situ.”

“Iya, siapa tau jatuhnya di sini.”

“Ya sudahlah, sudah ketemu?”

“Belum, nanti biar aku tanya saja ke Ali, aku pergi ya.”

“Oh iya, nanti aku kasih tau Ali.”

“Ga usah, ga usah, makasih.”

“Oke, hati-hati.”

“Iya.”

Sam berlari kencang menjauhi kelas sepuluh-tiga. Anjrit hampir saja!

135
Sam berlanjut menuju kelasnya. Kepalanya berkeringat. Badannya
begitu dingin dan pucat. Dia pusing tujuh keliling. Tingkahnya diketahui
oleh salah seorang murid kelas sepuluh-tiga.
“Ah sial, kalau orang itu tau gimana ya? Bisa bocor semua rahasia ini.
Untung aku sudah tidak berada di mejanya.”
Ceroboh sekali. Hari itu Sam berangkat kesiangan dan nekat menaruh
suratnya.
Semoga saja niat baikmu itu terlindungi Sam. Untunglah seorang
yang memergoki tingkahmu itu tak mengenalimu.
***

“Mang, aku pesen mi goreng kering, sayurnya banyak ya. O ia, basonya
dua, tapi cekernya cukup satu aja.”

Manis sekali wajah Melina pagi itu. Setelan olahraga kini menjadi
penutup auratnya. Jilbabnya putih bersih seperti baru dibeli dari toko. Benar-
benar wanita yang rapi dan pandai menjaga kebersihan.

Dia selalu datang satu paket bersama Desi, sahabat karibnya.

“Tau gak, tadi itu ngapain sebenernya kita disuruh kayang tuh? Aneh
kan?”

“Ya namanya juga pelajaran olahraga Desi, kayang kan bagian dari
olahraga.”

“Iya, tapi apa mungkin nanti pas di kelas kita kayang-kayang di depan
guru kalo lagi pegel-pegel, paling kan peregangan aja.”

Melina selalu berusaha menjadi pendengar yang baik. Desi tidak kalah
terus berperan sebagai komentator. Kedua wanita muda itu serasi karena

136
saling melengkapi. Perbedaan yang mereka miliki bukan berarti dipermasa-
lahkan, akan tetapi justru dipersatukan.

“Neng ini pesenannya.” Mang Warkad, pedagang mi baso di SMA N 1


datang memotong obrolan mereka. Dia membawa mi pesanan Melina.

“Makasih Mang.” Melina membalas senyum. Diraihnya mangkuk


berisi mi yang penuh sayuran itu.

“Banyak sekali sayurannya Mel, itu mi apa sop sayur jadinya?”

“Ih Desi, dari dulu kan aku suka makan sayur.”


“Iya sih Mel, kenapa sih kamu suka banget sayur ketimbang daging?”

“Ga tau Des, semenjak baca buku „Becoming Vegan’ karya Brenda Davis
dan Vesanto Melina, aku jadi belajar menyukai sayur.”

“Emang apa yang ditulis buku itu sampe kamu tertarik?”

“Gak banyak sih, jadi penyuka vegatarian itu namanya vegan. Di buku
itu ditulis gimana caranya menjadi vegan, salah satunya menghindari susu
dan telur.”

“Haduh gak deh, gak deh, ga mungkin bisa aku.”

“Aku juga belum bisa sih Des, makanya belajar. Yang aku tau buku itu
bilang kalau jadi vegan kamu juga sudah menjadi pendiet yang baik.”

“Ooooh pantessss, biar singset langsing.”

“Hahahaha!”

Melina dan Desi membuka mulut lebar-lebar. Keduanya tertawa tanpa


henti. Benar-benar, selalu ada maksud di balik tindakan itu.

“Des aku mau tanya deh sama kamu, gantian, ini agak serius, boleh?”

137
“Boleh sih, apa yang gak buat kamu Mel?” Desi memeluk Melina dari
samping. “Kita kan sahabat.”

“Makasih ya. Tadi malem aku mikir ya, setiap malem kita selalu nyetel
alarm kan?”

“Hooh, iya, kenapa?”

“Padahal kan kita belum tau jika besok kita masih hidup atau gak.”
“Iya sih.”

“Nah itu Des yang ingin aku katakan sama kamu.”

“Apa emang?”
“Ya itulah yang disebut dengan harapan.”

“Terus hubungannya apa dengan kamu?”

“Aku kan gak pernah tau Kak Indra itu serius atau engga sama aku,
aku juga gak tau sampe kapan dia mau terus ngejer aku, tapi dia gak pernah
nyerah, padahal kan dia tau bisa aja aku gak suka sama dia.”

“Ya bener, bener.”

“Tapi ada hal yang selalu menguatkan dia, bahwa siapa tau esok aku
bakal suka sama dia.”

“Dan nyatanya bagaimana Mel?”

“Rahaaaassiiiiaaa dong, mau tau aja nih.”

“Iiiih Melina, curang, ngapain cerita-cerita coba kalau ujungnya


rahasia. Males ah sama kamu.”

“Ahaha, satu orang kena ketipuuuu!”

138
Tiba-tiba saja Ibu Koperasi telah berdiri tepat di belakang mereka
berdua. “Hayo, hayoooo, mulai pacar-pacaran.”

“Eh Ibu, iya si Melina nih,” Desi memukul tangan Melina.

“Apaan, Desi tuh Bu, mau tau aja urusan orang.”


“Loh, loh, malah pada berantem. Lagian kan gak popo anak muda
pacaran, sah-sah aja.” Ibu Koperasi itu berbicara sambil memisahkan duduk
dua wanita yang mulai tegang.

“Tuh Mel denger, sah-sah aja.”


Ibu Koperasi bernama Bu Dewi. Dia hampir selalu tau gosip terbaru
anak-anak sekolah. Siapa berpacaran dengan siapa, orang ini putusnya
kapan, yang itu sukanya sama siapa, Ibu Koperasi tau semua. Beruntungnya
murid-murid SMA N 1 Cirebon, Ibu Koperasi orangnya pandai menyimpan
rahasia, walau kadang ember juga sih.
Di antara PNS yang ada di sekolah, Ibu Koperasi adalah yang paling
formal. Setiap hari wanita berhijab hijau itu selalu memakai pakaian
berwarna hijau. Kacamata minusnya yang tebal menjadi ciri khas. Tahi lalat
di atas bibirnya pun memudahkan orang mengenali dirinya. Dia cantik
meskipun mungkin sudah berumur lima puluh tahunan.

“Gini loh gini Non, Non, yang cantik. Ibu tau Dek Melina itu
orangnya kalem, pintar, dan rajin sembahyang.”

“Tau dari siapa?” Melina bingung.

“Loh ada anak kelas satu yang suka memperhatikan Dek Melina, mesti
gak sadar toh?” logat jawa Ibu Koperasi terdengar medok. Maklum, dia
berasal dari Banyumas.

“Ya gaklah Bu, kalo sadar juga Mel gak bakal tanya, hehe.”
139
“Siapa sih Bu?” Desi penasaran. “Melina itu sok laku ya Bu, sok jual
mahal.”

“Sudah, sudah, malah berantem lagi nanti, pokoknya anak itu tau
betul tentang Melina, siapa dia, nanti kamu bakal tau sendiri. Dadah, Ibu
pergi dulu.”
“Buuuuuu!” Melina menjerit meminta Ibu Koperasi kembali.

“Ih Ibu selesain ceritanya,” Desi ikut merengek.

“Hahaha, ayo tebak sendiri ayo!”


Desi dan Melina tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Ibu Koperasi.
Sam-kah itu? Bisa saja pria lain. Tapi siapa lagi kalau bukan Sam, Ibu
Koperasi kan taunya cuma dia. Bahaya sekali Ibu Koperasi ini, bisa merusak
rahasia orang.

“Iseng aja tuh dasar ibu-ibu biang gosip,” Desi melempar sedotan
sambil memaki.

“Hus, gak sopan.” Melina menegur.

Dua wanita itu kesal dengan penuh rasa penasaran di dalam hati.

***

Bulan Agustus adalah bulan di mana seorang Bunda Teresa


dilahirkan. Seorang wanita yang separuh hidupnya diwakafkan untuk
menolong orang miskin, sakit, sekarat, dan yatim-piatu. Dia mendirikan
Misionaris Cinta Kasih sebagai tempat pengabdian hidupnya.

Suatu ketika Bunda Teresa pernah berkata, jika kamu suka mengha-
kimi seseorang maka kamu tidak memiliki waktu untuk mencintainya.
Artinya, berikanlah ruang pada kesalahan itu kebaikan dan kebaikan itu

140
kesalahan, sehingga kita dapat objektif. Lalu kapan kita mulai melakukan
sikap mulia itu? Bunda Teresa menyuruhnya untuk segera hari ini juga kita
lakukan kebaikan itu, “karena kemarin telah hilang, besok pun belum
datang, kita hanya punya hari ini.”

Kadangkala, manusia seringkali menunda melakukan kebaikan sehing-


ga kebaikan itu tinggallah seperti pasir yang terbang entah ke mana. Terka-
dang juga, manusia meremehkan niat baik dengan anggapan jika kebaikan
itu belum tentu diterima. Oleh karenanya, tidak jarang, manusia kemudian
terjebak untuk melakukan tingkah laku yang umum saja. Padahal dunia
justru membutuhkan manusia yang berani, manusia yang tegas menyuarakan
hal-hal baik.

“Kamu tau Sam?”

“Apa Bah?” Sam terlihat bingung mendengarkan penjelasan ayahnya.

“Kamu pernah melihat orang kesulitan kan, entah itu menyeberang


ataupun kekurangan makanan.”

“Iya pernah Bah.”

“Kamu membantu?”

“Tergantung, tapi enggak juga sih, jarang.”

“Nah, Bunda Teresa itu bilang, „bagaimana mungkin kamu ingin


melihat Tuhan yang tak terlihat jika kesengsaran yang ada di depan matamu
saja tidak mampu kamu lihat?‟ ”

“Kalo liat sih liat, tapi engga bantu.”

“Itu yang jadi intinya, ketika kamu melihat, tapi tidak melakukan
apapun, itu sama saja dengan kamu tidak melihat. Apa bedanya, tidak ada!”

141
“Iya juga sih ya, Bah.”

“Makanya, mulai besok, jangan menunda niat baik, lakukanlah.”


“Sekalipun itu membahayakan Sam, Bah?”

“Seperti apa contohnya Sam?”

“Seperti menolong orang yang mungkin aja dia jahat sama kita, kaya
modus pencurian akhir-akhir ini tuh?”

“Nantilah, kata hatimu akan dengan sendirinya paham soal kaya gitu,
sekarang lakukan yang sederhana saja dulu. Misalnya bantu nyuci piring,
ngepel rumah, dan banyak lagi Sam.”

“Siap, Insya Allah Sam bakalan berusaha.”

“Oh iya, membantu juga bisa membuat hatimu tenang, coba aja.”
“Iya Bah.”

“Okeee, sekarang tidurlah, sudah malam juga.”

“Iya Bah, Sam tidur duluan ya.”

Malam telah menutup mata Sam dengan sejuta pertanyaan. Rasa


penasarannya kini telah hilang bersama dengan mimpi. Wajah Sam pun
sudah tak tegang lagi seperti tadi pagi. Selamat tidur Sam.

***

142
Dua Rasa

Kebebasan bukanlah memilih apa yang sudah ditentukan. Kebebasan


adalah memilih apa saja yang menurut kita benar. Jika ada pilihan-pilihan
kemudian kita diwajibkan memilih salah satu di antaranya, itu bukan
kebebasan, melainkan menentukan pilihan dari luar diri kita. Kebebasan
sejatinya menentukan apa yang ada dalam diri kita sendiri tanpa pengaruh
orang lain.

Melina mengalami dilema itu malam ini. Dia begitu lemas-lesu ketika
Indra terus mengejar dan surat dari Heldy tak kunjung henti berdatangan.
Indra dan Heldy menunjukan mereka yang terbaik, mereka yang pantas
mendampingi Melina. Keadaan tentu menuntutnya memilih, tapi hati
Melina bebas, bahkan untuk memilih menolak keduanya.

Jam dinding di kamar Melina berdetak keras.

Tak, tok, tak, tok, tak, tok, tak, tok.

Berulang dan berulang.

Petang dan tak bersuara. Bulan bergelantungan menunaikan tugasnya.


Kunang-kunang mencumbu daun seperti kebiasaannya. Kerikikan jangkrik
panjang melengking memekikkan telinga. Angin meniupkan kesegaran uda-
ra, tak panas juga tak dingin. Pas sekali dengan kegundahan hati Melina.

Andai kata ini bukan campur tangan Tuhan, mungkin Melina sudah
jauh meninggalkan hal-hal ini. Melina begitu taat, hidupnya mengalir dan
percaya sudah ditentukan. Setiap titik dalam tulisan pun menurutnya adalah
143
isyarat Tuhan. Semua serba harus penuh makna baginya. Mungkin
mengakhiri salah satu pria yang getol merebut hatinya pun harus dengan
kesan yang istimewa. Melina, Melina, bersabarlah, semua yang terburu-buru
pasti tidak akan pernah baik.

Tak tak tak!


“Mel, Mel, Mel!” suara panggilan dan ketukan pintu itu mengganggu
Melina.
“Iya sebentaaar Kak!” suara Melina terdengar malas. “Ada apa sih Kak
Linda?”
“Buka dulu aja, Kakak mau cerita.”

“Iya Kak.”

Kak Linda dan Melina kini sudah duduk berdampingan di atas kasur
kamar Melina.

“Ini, tapi jangan bilang siapa-siapa ya.”

“Iya Kak, kenapa?”

“Kakak dipaksa nikah sama orang tua Kakak, tapi Kakak ga mau.”

“Loh, kenapa gak mau, kan enak nikah tuh katanya?”

“Alah, kamu masih kecil Mel, jadi belum banyak tau. Biar Kakak
cerita dulu, kamu dengerin aja.”

“Aku gak boleh komentar?”

“Gak!” Kak Linda sedikit menyentak. “Kamu cuma cukup dengerin


aja, siapa tau bisa jadi pelajaran juga buat kamu ke depannya.”

144
“Iya Kak iya.” Melina hanya bisa pasrah. Rambut kemerah-
merahannya dia ikat. “Ya uda cerita sok.”

“Kakak bukannya ga mau nurut sama orang tua. Cuma, Kakak itu
udah punya pasangan lain yang menurut Kakak lebih baik. Kamu tau kan
Kakak udah punya cowo?”
“Iya tau Kak.”

“Nah, kamu tau juga kan suka ada cowo yang datang ke sini bawa-
bawain oleh-oleh?”

“Iya tau juga Kak.”

“Cowo yang suka bawain barang-barang itu cowo pilihan keluarga


Kakak. Dia baik sih, tapi gimana ya, Kakak gak pernah suka Mel. Kakak
udah ngerasa lebih pas dengan cowo pilihan Kakak sendiri.”

“Kak Rudi?”

“Iya Kak Rudi Mel.”

“Tapi kan cowo yang satunya itu baik Kak, kasian dia.”

“Nah dia baik kan karena dia mau sama Kakak. Mungkin karena
Kakak cantik, Kakak baik.”

“Idiiiih pede banget Kak Linda!” Melina berekspresi layaknya orang


hendak muntah. “Hueeeks!”

“Intinya gitu deh Mel.”

“Terus mau Kakak gimana?”

“Mau Kakak, ya, Kakak sama si Rudi.” Kak Linda sedikit tersenyum.
“Rudi itu bisa ngertiin Kakak, dia lebih dewasa, dia tau kekurangan Kakak,
dia juga udah lama kenal Kakak.”
145
“Emang kenapa sih Kak, ribet banget? Cowo pilihan keluarga Kakak
juga pasti gitu juga. Baik, suka bawain oleh-oleh, dan lain-lain deh.”

“Ya, tapi cinta itu bukan sekadar kaya gitu Mel. Cinta itu masalah
kenyamanan. Ketika kamu ngerasa bahwa dia datang karena alasan, kamu
pasti gak tenang karena kamu akan dituntut untuk menjadi alasannya terus.
Tapi ketika cinta itu datang dengan ketulusan, cinta itu tidak perlu alasan,
dia hanya ingin melengkapi hidup kamu aja.”

“Aaaaaaah Kakak, bisa aja!”

“Bener, kenyataannya gitu, kamu pasti ngerasain deh.”


“Hmmm gitu ya Kak, terus Kakak harus gimana dong ngadepin
persoalan yang segini rumit?”
“Itulah Mel, Kakak sekarang bingung, tapi cepat atau lambat Kakak
harus memberikan keputusan!!!”
“Nah iya Kak gitu.”

“Oke, udah ya Kakak balik ke kamar lagi.”

“Hah cukup gitu aja?”

“Iya, udah plong sih, hehehe.”

“Aneh,” Melina mengangkat alisnya tinggi.

“Ada beberapa alasan kenapa kamu perlu orang yang cuma bisa
ngedenger dan memahami curhat kamu. Bukan orang yang sok-sokan
memberikan solusi, tapi gak jelas.”

“Hehehe.”

Pintu kamar kembali tertutup. Dua pasang bola mata yang semula
ramai, saat ini kembali menjadi satu pasang. Melina sendiri lagi.
146
Dia kini merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk. Langit-langit
kamarnya yang putih dia pandangi. Pusing, cemas, dan keraguan muncul
bergumul dalam pelukan guling.
***

Engel, Heldy-mu datang memberi senyum.


Puisimu bagus sekali Engel. Aku akan memajangnya di dinding kamarku, boleh
kan?
Aku tidak mengerti soal cinta dan teman-temannya. Aku hanya tau dan belajar
bagaimana caranya membuat orang bahagia. Jadi aku tidak bisa membantumu Engel.

Cintaku tak pernah beralasan, datang dan bangun dengan sendirinya. Sama seperti
harapan yang seringkali kita taruh pada jam beker. Gak jelas.
Aku selalu berdoa yang terbaik untukmu. Doa memang barang paling murah dan
sederhana, tapi doa itu akan mengiringi langkahmu dengan harapan-harapan yang baik.

Semoga kamu dalam keadaan yang bahagia.

Heldy 

Suka atau tidak suka, Melina harus membalas surat dari Heldy.

Surat itu tergeletak bersih di atas meja belajar Melina. Amplopnya di-
buka rapi dan tepat berada di sampingnya. Buku-buku berserakan di antara
keduanya. Sungguh indah dan menyejukkan orang yang memandangnya.

“Na na na na …”

147
Rambut Melina masih basah. Melina mengusapinya dengan handuk,
cukup keras, cukup memaksa.

Buliran air mengalir di sekujur tubuhnya. Dia belum kering betul,


harum sabunnya masih semerbak. Kaos putih dan celana pink pendek
menutupi seluruh benda sensitifnya. Melina benar-benar masih sangat
natural. Cantik sekali ….

Alarm kembali terdengar di kamar kecil Melina. Ini pertanda bahwa


dia harus segera berganti baju. Melina begitu menghargai waktu. Benar-benar
tingkah laku yang melampaui umurnya.

***

Melina berjalan menuju kelas sepuluh-tiga. Kini jilbab dan rok


panjangnya telah menutupi seluruh hal yang cantik, yang ada padanya. Pelan
dan begitu teratur gerak langkahnya. Senyum-senyum kecil pun keluar
taktala iya bertegur sapa dengan kawannya. Melina, Melina.
“Tadi malam tidur jam berapa?”

“Biasa Kak, jam setengah sebelas. Kakak sih?”

“Owh, Kakak jam dua belas, belajar conversation sama nambah-nambah


vocab Mel.”

“Ih keren!”

Kak Indra berdiri di sampingnya. Mereka berdua memang sudah


sebulan ini hampir selalu berangkat bersama. Tidak sedikit yang menganggap
mereka sudah berpacaran.

Kata-kata Kak Linda tiba-tiba saja menyelimuti pikiran Melina. Dia


tidak bisa mentupi itu, wajahnya bingung. Dia mungkin sadar bahwa dia

148
pun harus sama dengan Kak Linda, segera mengambil keputusan. Hanya
waktunya saja sepertinya belum tepat.

“Kakak pernah pacaran belum?”

“Udah Mel, kenapa hayooo?”


“Ih gak papa kok, cuma tanya.”

“Ah gak papa jujur aja.”

Suara mereka terdengar berbisik. Malu juga Melina kalau sampai


teman-temannya ada yang mendengar.

“Terus kenapa putus Kak?”


“Ya banyaklah Mel. Dia udah gak kaya yang Kakak kenal lagi, beda,
dan itu yang buat Kakak ngerasa gak cocok.”
“Oh, gitu ya Kak.”

“Iya Mel, orang kan harus konsisten ya.”

“Hehe, iya Kak.”

Melina sedikit kepikiran tentang Kak Linda. Benar juga ya, cinta yang
dengan alasan itu tak berujung baik.

“Kalau kamu sudah pernah pacaran Mel?”

“Belum Kak, lagian siapa yang mau sama cewe kampungan kaya gini?”

“Kampungan gimana? Kamu itu smart, lucu, dan banyak hal-lah yang
bisa bikin orang gampang terpikat.”

“Ya, tapi buktinya masih terus sendiri kok.”

“Sabar, orang baik pasti akan datang pada waktu yang tepat Mel.
Mungkin sekarang, mungkin besok, mungkin juga nanti.”
149
“Amiiin.”

Mereka berdua terus berbincang hingga sampai di depan kelas


sepuluh-tiga.

Teeeeeeet, teeeeeeet! Bel tanda masuk berbunyi cukup nyaring. Semua


murid terlihat berlarian masuk ke kelas. Terburu-buru dan menegangkan.
Mereka sembari membenarkan rambut, memasukan baju, dan mengikat
sepatu.
“Kakak ke kelas ya, ada ulangan.”

“Iya Kak, cepetan lari sanah.”

“Iya, ngebut disemangatin kamu.”

“Bisa aja, dasar.”

“Dadah Melina!”

“Daaah!”
***

150
Tenang

Adrien Brody cukup senang pada malam Oscar tahun 2003. Film The
Pianist mengantarkannya menjadi aktor terbaik kala itu. Senyum dan tangis-
an haru mewarnai kesuksesannya.

Sebagian orang mungkin ingin menjadi Adrien Brody pada saat itu.
Mereka kemudian mengecat rambut, menyisir, dan berpenampilan layaknya
pemecah rekor termuda pemenang Oscar itu. Mereka kadang lupa, bahwa di
balik kesuksesan itu ada pengalaman yang mahal, yang tak bisa diuangkan.

Adrien Brody kemudian menaiki panggung. Seperti biasanya, peme-


nang selalu diberi kesempatan untuk menyampaikan perasaannya. Momen
ini kemudian digunakan dengan baik oleh Adrien untuk menumpahkan
segala keluh-kesahnya. Berikut petikan pidatonya yang sangat menggugah itu:

―And, you know, my experiences in making this film made me very


aware of the sadness and the dehumanization of people at times of war,
and the repercussions of war. And whomever you believe in, if it's God or
Allah, may He watch over you. And let's pray for a peaceful and swift
resolution.‖

―Dan, kamu tau, pengalamanku membuat film ini bikin aku


sadar akan kesedihan dan dehumanisasi manusia di masa perang,
dan dampak dari perang tersebut. Dan kepada siapapun kamu per-
caya, baik itu Tuhan atau Allah, mungkin Dia mengawasimu. Sege-
ralah berdoa untuk perdamaian dan percepat tercapainya resolusi.‖

151
Penghargaan nyatanya menciptakan dua hal, yang pertama adalah
kebahagiaan dan yang kedua kesedihan. Adrien Brody merasakannya malam
itu. Pengalaman yang dia lalui selama membuat film itu membuatnya sadar,
di belahan dunia sana, ada kesedihan yang mendalam yang tak sama dengan
kebahagiaannya malam itu. Dia mengajak kepada seluruh penonton, tidak
peduli agama, suku, dan dari mana mereka datang, mereka diminta untuk
berdoa demi perdamaian.

Kesimpulannya: apapun yang menjadi tujuan kita, pada akhirnya kita


hanya butuh ketenangan.

***
Jika kalian pernah datang ke Kota Cirebon pada tahun 2006, maka
kalian beruntung. Kota Cirebon dulu belum seramai saat ini. Bangunan-
bangunan tinggi belum berdiri. Aneka tempat makanan siap saji pun masih
terbatas. Suasananya begitu asri dan menyegarkan meskipun sama panas.

Ada beberapa tempat yang sangat indah untuk dinikmati di Kota Cire-
bon. Selain Puncak Gronggong, Pelabuhan Cangkol adalah salah satu yang
terbaik. Dahulu masyarakat bisa bebas masuk. Sekarang sudah tidak lagi.

Hujan belum juga turun. Matahari mengerjakan tugasnya dengan


baik. Gelembung air dalam awan tertahan. Hanya terik dan udara panas
yang menyelimuti Kota Cirebon.

Sam berjalan kecil melewati garis-garis pantai. Ombak kadang


menyentuh ujung celananya yang tak dilipat. Air berkejar-kejaran, melipat,
dan tinggi menjulang. Gemuruhnya menambah kegetiran yang sedang
dialami oleh Sam.

152
Rutinitasnya berlanjut. Sam tidak pernah berubah. Setiap kali kesedih-
an datang menyapanya, dia selalu memilih luasnya lautan sebagai tempat
berkeluh-kesah. Kadang berteriak, kadang hanya tertunduk lesu dalam
khayalan.

Baju seragam putih dan abu-abu masih melekat. Sandal jepit menjadi
alasnya.

Mata Sam sesekali terpejam, dikucaknya. Debu pasir pantai memang


terlalu sering datang. Rambutnya terbang ke atas bersamaan dengan deru
angin yang begitu kencang.

Siapa ya yang tega melukiskan luka kepadanya?

“Hey Sam, udah lama ya?”


“Baru kok Mus.”

“Syukurlah Sam, maaf aku terlambat ya.”

“Iya gak papa kok.”

“Sini duduk di sini aja, enak memandangi laut.”

Sahabat Sam tiba-tiba datang. Model sisirannya dibiarkan belah


tengah. Matanya besar dan tak bisa diam. Ada sedikit kumis di atas bibirnya.
Hidungnya lumayan mancung, lebih mancunglah daripada Sam yang pesek.
Dia bernama Mustopha.

Mereka kini duduk berpangku batu. Mata mereka lurus tajam meman-
dang birunya lautan. Sesekali ada perahu nelayan melintas mengganggu ta-
tapan mereka yang serius. Ah, meskipun begitu, tetap menyenangkan kok …

“Ada apa Sam, tumben banget ngajakin ke pelabuhan?”

“Iya, banyak urusan nih, bingung.”

153
“Tentang apa emang?”

“Kalo tanyanya ke kamu, pasti itu tentang cinta Mus.”


“Hahaha dasar!”

“Lagi jatuh cinta adikmu ini Mus.”

“Wajar, anak muda.”


Mustopha mengeluarkan satu bungkus rokok dari jaketnya. Dia terse-
nyum kecil. Kepalanya digeleng-gelengkan. Benar-benar tak menyangka dia
kalau Sam sedang jatuh cinta. Katanya wajar Mus?

Puuuh. Asap putih menggelembung tinggi ke udara. Ujung rokok telah


menyala. Mus kini tengah menggenggam ujung sebatang rokok dengan ke-
dua jari dari tangan kanannya.

“Berapa lama kamu suka sama cewe itu?”

“Baru aja Mus, paling sekitar satu bulan yang lalu.”


“Sebentar itu namanya.”

“Ya, tapi aku sudah suka Mus, gimana lagi?”

“Kamu belum pernah untuk tenang sedikit, menikmati kesendirian-


mu, merenung, mungkin aja bayangan dia nanti ilang.”

“Belum sih, tapi nanti tak coba deh.”

“Coba dulu, baru kamu bicara lagi sama aku.” Mus sedikit tertunduk.
Kemudian kepalanya naik lagi. “Gini ya Sam, cinta itu bukan perkara kamu
melihat lalu kamu suka. Cinta itu lebih jauh daripada soal senang dan tidak.
Cinta melibatkan perasaan yang kadang kamu sendiri ga bisa sadar kalau itu
namanya cinta.”

154
“Ah sudahlah, lupain aja Mus, bercanda lagian.”

“Kampret, dikira serius, anjrit!”


“Hahaha!”

“Intinya cinta tuh ketenangan. Kamu kudu siap sedih karena di balik
kebahagiaan itu pasti selalu beriringan dengan datangnya kesedihan. Jangan
lupa.”
“Iya Mus iya.”

Mustopha umurnya lebih jauh sepuluh tahun di atas Sam. Sam sudah
menganggapnya seperti Kakak sendiri. Itulah kehidupan di jalanan, tak pe-
duli kapan mereka bertemu, tak peduli seberapa jauh batas umur, tak ada
kegilaan untuk dihormati, semua dianggap rata dan sama.

“Jadi maksud kamu bercanda kaya gitu tuh apa Sam?”


“Cuma pengen tau aja sih, gimana tanggapan kamu soal cinta itu, sapa
tau beda sama Ibu dan Pak Sopir yang pernah kutemui.”

“Emang mereka bilang apa?”

“Ya intinya mah jangan buru-buru mengambil keputusan dan jangan


terlalu lama juga membuat keputusan. Cinta itu soal hati, ketika kamu yakin
maka kamu sendiri yang menentukan jawabannya. Itu sih intinya.”

“Salah mereka itu, sok tau.”

Sam mengundurkan kepalanya ke belakang. Dia bingung. Dia heran


dan terpaku.

“Maksud kamu?”

155
“Ya cinta gak ada hubungannya sama buru-buru atau lama-lama, cinta
itu kecocokan. Sekalipun kamu membuat keputusan kalo nyatanya gak
cocok ya ga bakal bisa barenglah. Ya kan?”
“Iya sih.”

“Makanya tenang, cinta itu adalah ketidaktahuanmu mengapa kamu


ketika berada di sampingnya itu merasa nyaman.”

“Ya, kalo menurutmu begitu aku setuju kok.”

“Iya, cinta itu bukan kata dia, bukan kata kamu, bukan juga kata
mereka, cinta itu kata hati Sam.”

“Jadi harus menuruti kata hati?”

“Ya benar, tidak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak melibatkan
hati.”
“Cukuplah Mus, lebih baik kita lanjutkan ngobrolin hal lain.”

“Ya, sudah males juga aku Sam, cinta lagi, cinta lagi.”

“Hahaha, risiko playboy Mus!”

Tttttooooooooootttt! Suara klakson kapal batu bara kemudian terdengar


keras. Mustopha dan Sam kaget bukan kepalang.

Langit sedikit demi sedikit menjadi gelap. Warna merah di pojok


angkasa terlihat keoranye-oranyean. Burung-burung pun berterbangan kem-
bali ke rumah masing-masing.

Sam dan Mustopha hilang berbarengan dengan hilangnya sinar


matahari. Ombak semakin mengecil, namun teratur dan tak jarang kembali
tinggi. Angin bertiup semakin kencang menggoyangkan pepohonan. Pela-
buhan mulai sepi dari orang-orang ….

156
***

Untuk pertama kalinya, Sam kembali mengambil air wudu. Wajahnya


bersinar dan terang malam itu. Bak pesona terang bulan. Dia sepertinya
memang sedang butuh ketenangan. Nasihat orang tuanya akhirnya didengar.
Kalo pengen tenang, ambilah air wudu Sam. Syukurlah.
Namun, dia belum juga sembahyang. Dia malah duduk di atas kursi
belajarnya. Tahulah, tugasnya setiap malam menjelang.

Heldy,

Mungkin malam ini kamu tengah bersandar di kursimu. Puisiku di dinding kamarmu
memandangimu. Dia melihat kamu membuka amplop, dan kamu mendapati kertas putih yang
hanya secarik. Matamu lalu menelisik setiap katanya, menjadi kalimat dan membentuk paragraf.

Heldy,

Aku harus jujur padamu. Kamu sudah menjadi salah satu bagian yang baik buat
hidupku. Aku jadi lebih suka menulis dan berkhayal tentang hal-hal yang indah semenjak
suratmu yang pertama.

Heldy,

Aku tidak tahu kapan waktunya nanti kita bertemu. Tapi aku harap secepatnya.

Heldy,

Aku ingin menyampaikan sesuatu, semoga saja kamu suka. Aku sedang mencintai
seseorang saat ini.

157
Heldy,

Aku akan mengabarimu lagi. Aku butuh sedikit ketenangan.


Terima kasih telah datang untuk bicara 

Kamar mungil Sam mendadak sunyi. Tidak ada suara Axl Roses
ataupun Kaka Slank malam itu. Cuma sedikit gesekan putaran kipas saja.
Tidak meriah, tidak pula gemerlap, malam itu.

Sam terkejut. Dia hanya bisa tersenyum kecil tanpa kata membaca
surat dari Melina. Bibirnya terkunci.

Seperti malam-malam sebelumnya, semenjak surat sering datang silih


berganti, Sam selalu gelisah menatap esok. Dia kadang cemburu, kadang juga
bahagia, dan kadang seringkali juga, dia biasa saja. Itulah Sam, gambaran
remaja yang sedang jatuh cinta.

Kaca jendela masih terbuka lebar. Angin malam masuk sedikit-sedikit


menenggelamkan imajinasi Sam. Posisinya berubah. Sam mulai terpejam
menghadap barat. Rambutnya tipis jatuh menutupi mata. Sabar Sam, nanti
akan datang waktunya kamu merasakan bahagia itu.

***

158
Tenda Tanda

Nothing is more valuable than freedom and independence. – Ho Chi Minh

“Sam ke mana kita?”

“Ini Ben, ikat tongkat pramuka, udah ikut aja.”

“Yang lain di mana?”


“Udah pada di dalem elf, bantuin aku ah, bakalan berat ini Ben.”

“Kenapa gak bawa sendiri-sendiri sih?”

“Ah nanya terus, repot Ben masalahnya. Harus ada satu orang yang
mau berkorban meskipun ujung-ujungnya juga kan buat bareng.”

“Okee deh, kalo gak ada yang mulai emang gak bakalan jalan. Pemim-
pin harus berani ngambil inisiatif.”

“Betul!!”

Sam dan Benjamin berjalan ke arah masjid. Mereka berdua mengikat


sekitar dua puluhan tongkat dari bambu yang telah dicat merah-putih.
Tangan keduanya begitu sigap. Tak perlu waktu lama, semua tongkat itu
telah siap digotong ke dalam elf.

SMA N 1 Cirebon selalu mengadakan kegiatan perkemahan Sabtu-


Minggu setiap tahunnya. Pengembangan diri dan kepemimpinan menjadi
tujuan dari acara tersebut. Anak-anak kelas sepuluh diwajibkan ikut. Entah-
lah, tidak pernah ada alasan yang jelas tentang kewajiban ini.

159
Elf-elf berjejer dari depan sekolah hingga seratus meter ke belakang.
Menghitung kelas, maka ada sepuluh elf setidaknya pagi itu. Setiap kaca elf
itu ditulisi informasi mengenai tujuan dan kelas mana yang boleh masuk ke
elf itu. Sungguh rapi dan tertata.

Ratusan siswa berseragam pramuka terlihat lalu-lalang. Mereka masuk


ke sekolah, ke dalam elf, dan ada pula yang berdiri di depan gerbang. Topi
bareta cokelat secara serentak dipakai. Tidak ada satu pun yang luput.

Tempat perkemahan untuk tahun itu adalah Waduk Darma. Waduk


Darma terletak di Kota Kuningan, Jawa Barat. Perbukitan memang masih
memiliki daya tarik tersendiri untuk berkemah.
“Ayo berangkat!”

“Ayo Ben!”

“Kamu pegang belakangnya ya, aku depannya.”


“Iya.”

“Oke, satu, dua, tiiiiiiiiga!”

“Gaaaa!” sambil mengangkat tongkat Benjamin meneruskan hitungan


Sam. “Mantap.”

“Berat ya?”

“Hahaha iya.”

Sam dan Benjamin berjalan menuju elf kelas sepuluh-tujuh. Tongkat


pramuka kini mengayun di tangan keduanya.

***

Setiap kegiatan yang berurusan dengan anak-anak SMA, pasti tidak


akan lepas dari apa yang namanya aturan. Aturan itu seolah seperti momok
160
yang menakutkan karena apabila dilanggar maka akan mendapatkan sanksi
yang berat.

“Tidak boleh ada yang membuang sampah sembarangan. Tidak boleh


ada yang keluar dari tenda selepas jam delapan tanpa izin. Tidak boleh
membawa petasan. Tidak boleh berpacaran. Tidak boleh absen salat
berjamaah, bagi yang muslim. Tidak boleh absen dalam setiap kegiatan.
Semuaaaanyaaa siap!!!!????”

Pembina upacara yang menggunakan pakaian pramuka lengkap,


menegakkan kepalanya, sombong kali. Ingin rasanya mencomot mulutnya
yang komat-kamit.
Di tengah lapang yang luas, murid-murid yang berbaris serentak
menjawab. “Siaaaaap Pakkk!”
Ada pula yang berkelakar, “Insya Allah Pak, jika Allah mengizinkan.”

Setelah dua puluh menit pembina upacara menyampaikan pesan,


barisan kemudian bubar. Semua kini sibuk memasang tenda masing-masing.

“Win patoknya dipegang. Sam, Dayat, Ogi bareng Erwin, patok


talinya pake palu ke pojok kanan.”

“Nah kamu Ben?” Erwin bertanya kepada Benjamin.

“Aku liatin, pas engga.”

Erwin, Dayat, Sam, dan Ogi sekuat tenaga menarik ujung tali dari
tenda yang hendak mereka bangun. Warna biru tua dan jendela yang hitam
menjadi kesukaan bersama. Cukup megah memang tenda itu ketika mulai
berdiri.

“Masuk Ben.”

161
“Oke.”

Ogi menyuruh Benjamin masuk ke dalam tenda. Ogi hanya meme-


gang sekadarnya, belum dipaku, belum pula diikat ke dahan pohon. Satu
tangan dia pegangi tali penyangga tenda itu, satu tangannya lagi mengusapi
keringat. Dan …
“Wah, bagus Gi, keren! Megah tendanya!” Benjamin begitu berse-
mangat melihat luasnya tempat dia dan kawan-kawannya tidur.
“Lepas ya?” Ogi menatapi Erwin, Sam, dan Dayat. Dia meminta perse-
tujuan. Suaranya begitu kecil penuh bisik-bisik.
“Sip!”

Breeeeg! Terdengar suara seperti benda yang semula berangin menjadi


kempes.

“Wwwwwoooooy anjriiit tarik woy!”

Benjamin rupanya dijebak. Dia berada di dalam tenda yang sengaja


dirubuhkan.

“Hahahahahahahaha!” Dayat, Sam, Erwin, dan Ogi tertawa keras.


Benar-benar jahat mereka berempat.

“Tarik sih cepet, panas ini!” suara Benjamin sepertinya marah.

“Ya lumayan lima menit lagi Ben.”

“Ah cepetan ah, panas Gi, Ya Allah, toloong!” Benjamin berontak,


tangannya bahkan mengancam untuk melubangi tenda.

Keempat sahabat itu pun akhirnya menuruti Benjamin. Tak lama


berselang, tubuh keringat basah dan penuh air nongol dari pintu tenda
tersebut. Kasihan sekali Benjamin.

162
“Ah mainannya yang bener ah.”

“Ya abisnya, kaya mandor aja kamu.”


“Harus ada bagi tugas dong, itu kan aturan tim.”

***

Apakah itu hujan atau embun yang perlahan turun tak tahu, karena
memang sulit untuk membedakannya. Yang jelas, seluruh siswa berlarian
berebut cepat masuk ke dalam tenda. Api unggun yang menyala kecil pun
mati tersapu angin bercampur air. Perkemahan seketika menjadi suatu hal
yang tidak lagi menyenangkan.

“Semoga saja sih cepet reda ya.”

“Iya Win, ke sini kan mau seneng-seneng ya?”

“Iya, tapi masih sore kok. Cukuplah kalau nanti jam sembilan hujan-
nya reda.”

“Cukup untuk?”

“Ya cukup untuk ngelanjutin sampe malem.”

“Hey hey hey, enakan di tenda Bro, api unggun tuh emang mau
ngapain? Gak seru.”

Benjamin tiba-tiba saja memotong obrolan Dayat dan Erwin.

“Bagi kamu gak seru, bagi yang lain seru.”

“Biasa, gitu aja serius si Erwin mah.”

“Ya harus pake alesan, gak serunya napa, jangan gak jelas.”

“Iya Win, alesannya ngantuk.”

“Nah, itu kan mending tuh.”


163
Dayat menggaruk-garuk kepala. Dia sepertinya pusing.

“Aduuuh, begituan aja jadi ribet, mending ngerokok aja dulu.”


“Jangan macem-macem ah, kalau ketauan bisa kena sanksi Yat.”
Benjamin menolak.
“Siapa yang tau? Ini di dalem tenda gini kok, lagian juga kan ujan.”

“Iya Ben, udahlah, nyalain aja.” Erwin setuju ajakan Dayat.

Sam, Anto, dan Ogi tengah tertidur pulas. Mereka sepertinya


kelelahan karena memasang tenda tadi siang. Air kecil yang jatuh dari langit
menidurkan mereka.

“Ini pada dibangunin dulu gak Yat?”

“Gak usahlah Win, kasian. Mereka gantian nanti malem aja jaga
tenda.”

“Oh iya bener, ya uda deh.”


Benjamin mulai menyalakan rokok. Erwin tak tahan dan ikut
memenuhi mulutnya dengan kepulan asap. Dayat hanya menunggu operan
rokok dari keduanya.

“Eh pengen nanya nih ya?”

“Apa Win?”

Erwin menghadap Dayat dan Benjamin. Dia sepertinya ingin memper-


tanyakan suatu hal yang begitu penting. Tak tahulah, tapi sepertinya tidak
mungkin, sih.

“Kalian sering sadar gak sih?”

“Sadar apa?”

164
Benjamin sedikit penasaran. Duduknya dirapikan dan wajahnya
semakin serius.

“Nih ya, misalkan ada tanda P disilang, terus kita gak parkir. Ada
jarum jam mengarah ke angka lima, kita buru-buru ambil wudu terus salat.
Kita tuh kaya diatur-atur sama benda, aku sih ngerasanya konyol.”
“Ya itu kan tanda Win, pengingat kita yang barangkali aja lupa.”

“Iya bener Win.”

Benjamin dan Dayat sedikit sulit menjawab keluhan Erwin. Mereka


hanya sekadar menolak tanpa alasan jelas.

“Iya, tapi kan itu cuma benda sih Ben, Yat. Benda itu ga bisa
ngomong, ga bisa hidup, sekadar tanda aja yang kita juga gak tau kenapa
alesannya kan. Kok kita nurut? Aku sampe mikir kalo semua tanda-tanda itu
dibuang aja, biar orangnya suruh ngomong langsung aja, ga usah diwakilin
tanda-tanda lagi.”

“Ya uda, duluan mana hayo, tanda apa omongan?”

“Duluan manusialah, kalo gak ada manusia gak ada dua-duanya,


pertanyaanya itu loh.”

“Sekarang sih gini aja, mau nurut sama tanda ya gak papa, gak nurut
ya terserah.” Benjamin mencoba menengahi.

“Tapi napa ada sanksinya kalo ga nurutin?” Erwin memulai lagi.

“Ya ga tau, mungkin udah jadi kesepakatan dari sananya gitu.”

“Ah pusinglah, sama-sama gak ngerti juga Ben, iseng doang sih.”

“Asem, hahahahaha!”

165
“Yang pasti, kita semua ini udah memberikan tugas pada tanda-tanda
itu untuk menghukum kita kalau kita ga menaatinya, ya kan?”

“Ya benar sih. Hei tanda, hukum aku jika tidak menaatimu! Gitu ya,
hehehe.”

Obrolan soal tanda-tanda itu kini hanya menyisakan dua orang,


Benjamin dan Erwin. Dayat lebih asik dengan rokoknya.

“Emang kenapa sih Win tiba-tiba bahas soal tanda?”

“Ya besok kan mencari jejak, ada soal-soal tentang semafurnya Ben.”
“Oh, yang gerakin tangan pake bendera itu ya?”

“Iya, yang kita terus nebak huruf-hurufnya dan jadi kata apa, gitu?”

“Bener itu Ben, mikir gak coba?”


“Iya juga, siapa yang pertama kali awalnya bikin tanda gitu ya?”
Benjamin sedikit mempraktikkan gerakan semafur dengan tangannya. “A itu
begini gerakannya, B itu gini ya?”

“Nah kan, kamu mulai asing kan sama tanda-tanda itu? Kita kok mau
dan pasrah gitu aja loh.”

“Kalo kata aku sih Win, pasti awalnya karena perbedaan bahasa, biar
semuanya paham makanya diwakili tanda itu. Tapi ga tau juga sih, nebak
doang.”

“Bisa jadi Ben.”

“Ah, sudahlah males mikirin itu, aku gak ngerti Win.” Benjamin
mengayunkan tangannya tanda bosan.

“Aku juga Ben.”

166
“Iya, gak penting emang obrolannya.” Dayat ikut kesal. “Nih rokok-
nya, siapa yang mau?”

“Aku duluan ya Win!” Benjamin menyerobot rokok yang semula


berada di tangan Dayat.

“Iya Ben.”

Mereka bertiga menyerah. Obrolan menjadi buntu tak berarah.


Itulah awal dari perkemahan. Keakraban di antara teman kelas
semakin muncul dan hidup. Sekolah memang tahu bagaimana caranya
mempersatukan perbedaan. Sudah sepatutnya, sih.

***

167
Di Mana Mel

Subuh baru saja selesai. Matahari mulai tampak kecil sedikit ujungnya.
Masih gelap, belum terang. Masih sunyi, belum ramai.

Sam telah bangun dan berdiri di depan tenda kelompoknya. Kawan-


kawannya tak ada satu pun yang menemaninya. Merenung dan melamun
saja dia.

Jatuh cinta rasanya mulai menghantui Sam. Tidak di rumah, tidak di


sekolah, tidak pula di perkemahan, Melina selalu ada di pikirannya. Melina
memutari sel-sel otaknya, meracuni merah hatinya, dan menambah degup
jantungnya. Apa yang kamu pikirkan Sam?

Melina, tendanmu yang mana ya? Kamu udah bangun belum? Ah, tapi
sudahlah, mungkin memang Kak Indra itu yang lebih baik bersamamu, bukan aku
Mel. Palingan malam tadi pun kamu mimpi tentang Kak Indra, kamu lalu
mengigau dan kamu kemudian kangen sama Kak Indra itu. Sam mengatakan
gumamannya lewat kedip mata dan getaran penuh gelisah. Mulutnya
terkunci rapat.

Sam duduk bersila. Tangan kirinya menjaga dagu agar tak jatuh.
Pahanya memangku siku tangan. Posisinya menyiratkan bahwa dia sedang
memikirkan sesuatu dengan dalam.

Sarungnya terkibas sedikit ke atas. Angin pagi mulai sepoi menggerak-


kan rambutnya dan membuat berdiri bulu kuduknya. Baju pramukanya
sengaja tak dikancing, kaos hitam dia tonjolkan sebagai penutup tubuhnya.
168
Kamu tau Mel? Kalau saja aku ini pandai, aku punya kendaraan, aku bisa
bahasa Inggris dan matematika, aku pasti akan datang ke kosmu tanpa malu Mel.
Sayangnya aku tidak punya itu semua, aku juga tidak mau belajar untuk bisa
karena kamu. Aku yakin kesadaran itu pasti datang, tapi tidak sekarang.

Hati Sam mulai galau. Dia ingin, tapi tak mampu. Tuhan mungkin
juga kemudian menjadi menunggu.

“Seandainya saja!” Sam mengeluarkan celetuk cukup keras.


“Hayooooo seandainya apa?”

Benjamin tiba-tiba saja menepuk punggung Sam. Kaget bukan


kepalang Sam. Dia grogi dan gugup. Tubuhnya gemetaran, bibirnya tak bisa
diam, gelisah intinya.
“Seandainya kalo perkemahan ini gak jadi Ben, kan enak di rumah
tidur.”
“Alaaah bohong, seandainya bisa memliki seseorang ya? Hayoooo, ciye
ngaku Sam!”

Benjamin kemudian mengambil posisi duduk tepat di sebelah Sam.


Rambutnya naik ke atas. Matanya masih sayu dan mengantuk. Ada sedikit
kotoran di matanya, ih jorok.

“Gimana mau ngaku, emang buktinya gak ada.”

“Udah aja, percuma boong juga.”

“Hehe.” Sam tak ingin melanjutkan. Dia memilih senyum sebagai


penutup obrolan.

“Emang Sam, anak-anak kaya kita ini, umur segini maksudnya, paling
enak pacaran dan bersenang-senang sama cewe sendiri.”

169
“Iya Ben bener.”

“Tapi apa daya, yang katanya orang cinta itu buta tuh bohong.
Buktinya cinta tau nilai bahasa Inggris, berapa nilai PKN.”

“Soak ah, lagi serius dengerin juga tuh, malah bercanda lagi.”
“Ya itu serius, kalo emang buta kan pastilah minimalnya ada satu
orang yang nyantol karena gak peduli nilai-nilai kita di kelas Sam. Dan ga
peduli juga kelakuan kita di kelas.”

“Hahahaha bisa aja Ben!”


Sam tak lagi murung. Rasa sedihnya telah berubah menjadi senyum
yang mekar. Benjamin begitu pandai merekayasa kekhawatiran Sam menjadi
semangat yang berkobar-kobar.

Banyak hal yang mungkin anak ingusan itu tidak ketahui soal cinta.
Tapi biarlah, lepaskan saja mereka tumbuh dengan pengalamannya sendiri.
Toh, nanti juga mereka akan merasakan jatuh bangunnya merangkai
kehidupan.

***

170
Pelangi

Pagi, di lapangan upacara. Riuh dan tak teratur, itulah gambaran dari
siswa dan siswi berbaju pramuka dari SMA N 1 Cirebon.

Setiap siswa diwajibkan mengikuti acara mencari jejak. Masing-masing


kelompok akan diminta berbaris rapi. Yang mendapat giliran pertama
berangkat lebih awal, disusul kemudian kelompok lainnya yang berarti ada
di giliran kedua. Tujuan dari kelompok-kelompok itu adalah menjalankan
aturan pencarian jejak menuju ke arah hutan, dan sampai tepat pada
waktunya di perkemahan. Begitulah aturannya.

Tidak ada suatu yang kebetulan, yang ada hanyalah usaha yang kita
tidak sadari mengantarkan kita pada suatu peristiwa. Seperti pagi itu,
kelompok Sam berada tepat di belakang kelompok Melina.

Sudah menjadi kebiasaan, teman-teman Sam kemudian mengejek


Sam. “Cie cieeeee!”

“Win, jangan sih, malu ya.”

“Malu napa lagi?”

“Ya kalau Melinanya tau kan, yang ada aku malah dijauhin.”

“Lah, urusan dia apa sampe ngejauhin kamu?”

“Ya gara-gara kamu norak, dia pasti malu nanti sama temen-temennya,
ngerti!” Sam sedikit menggertak. “Ngerti kan?”

“Iya sip, sorry Sam.”


171
Erwin meraih tangan Sam. Mereka tak pernah lama berdebat.

Semua kelompok kini telah memulai petualangannya. Perjalanan


semakin jauh, pos satu, pos dua, dan pos tiga sudah dilewati. Hutan sudah
semakin terlihat. Batang-batang pohon yang besar begitu menyeramkan.
Sinar matahari sulit masuk, tidak ada penerangan. Meskipun siang tetap saja
gelap. Itulah sedikit gambaran rute yang sebentar lagi akan dilewati oleh
setiap peserta perkemahan SMA N 1 Kota Cirebon.

Dalam perlombaan itu, Sam mengeluarkan seluruh kemampuannya.


Gerak-gerak semafur yang tak pernah dia pelajari, dia jawab tuntas. Setiap
ada games yang dimainkan, Sam selalu ingin menjadi pemimpinnya. Parade
baris-berbaris juga dia jalani dengan baik. Ya, mungkin rasa kagum Melina
adalah alasan Sam mengapa dia begitu berani.

“Sam kok kamu bisa ya ternyata soal-soal pramuka. Belajar kapan?”

“Ah, waktu SMP aku mainnya sama anak-anak pramuka Ben.”


“Yang bener?”

“Wah ini sih bisa meringankan tugas namanya Gi, To, Win, Yat,”
Benjamin berkata sambil memanggil Ogi, Anto, Erwin, dan Dayat.

“Iya bener Ben, enak,” Erwin menimpali sedikit.

Kelompok Sam tengah beristirahat sejenak. Teras rumah warga menja-


di tempatnya. Tongkat-tongkat bergeletakan di sekitar tempat mereka duduk.
Napas mereka begitu ngos-ngos-an. Dasar perokok, bagaimana kalian punya
tenaga untuk memanjat? Perjalanan masih panjang woy, payah.

Sam sedikit mencuri pandang. Dia melihat Melina yang berjalan


paling belakang di antara kelompoknya. Malu-malu dia, tak berani lama.

“Mel, cepetaaaan ah, lamban!”


172
“Iya Des, lelah sekali aku, mau pingsan.”

Dari kejauhan, Melina terlihat mengusapi keringat. Desi sudah


berulang-ulang meneriakinya untuk segera.

Tak lama kegiatan itu Sam lakukan. Bosan juga dia.


“Ben ayo lanjut yuk!”

“Ayo yuk semua lanjut!”

Kelompok Sam kemudian berdiri dan melanjutkan perjalanan.


Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, hutan sangat-sangatlah
gelap. Jika mata kita minus mungkin kita dalam bahaya, karena seketika saja
kita bisa terjerembab jatuh ke dasar jurang. Dan saat ini, kelompok Sam dan
Melina mulai melewati jalan setapak menuju masuk ke dalam hutan.

Sam terus memperhatikan Melina. Meskipun sebatas punggung, Sam


sudah cukup senang. Langkah gontai Melina pun tak luput dari perhatian.
Sam tak bisa melakukan apa-apa. Dia ingin menggendong wanita yang
kelelahan itu. Tapi gimana? Pacar bukan, teman juga tidak dekat.

Tiba-tiba saja.

“Eh awas!” Sam bersiap berlari. Tongkat yang dia pegang dilemparkan
entah ke mana.

“Kenapa Sam?” Benjamin kaget.

“Sam hati-hati Sam!” Erwin mencoba menghalangi Sam berlari.


Namun terlambat.

Kaki Sam begitu kencang. Dia memasang wajah yang menegangkan.

“Mel, awas Mel bahaya!”

173
“Hah?” Melina hanya menoleh sebentar.

“Jangan kesitu Mel!”


Sam berlari sambil terus memanggil Melina. Melina tak sadar dia
dalam bahaya. Mata Melina tak dapat melihat jelas. Di depannya sudah
menunggu jurang yang siap mengantarkannya pada akhirat.

“Meeeeel!”
“Sam awas Sam, jangan Sam!” seluruh teman kelompok Sam berteriak
histeris.
“Meeeel, jangan lewat situuuu!”

Brraaaaaak! Suara dua orang terjatuh kemudian terdengar.

***
Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tidak takut akan kematian.
Orang sakit diusahakan sampai bermiliar-miliar untuk sembuh kembali.
Orang hilang dicari hingga mengeluarkan dana berjuta-juta, dengan harapan
nyawanya masih selamat. Orang yang sembahyang berdoa agar dipanjangkan
umurnya. Ya, semua merasa bahwa kehidupan adalah lebih baik dari
kematian, setidaknya untuk memperbaiki kehidupan sebelumnya.

Gandhi dikenal karena berhasil membuat gerakan yang menyelamat-


kan nyawa banyak orang. Nabi Isa memiliki mukjizat menyembuhkan orang
sakit dan membangunkan orang mati. Nabi Muhammad membawa cahaya
agar manusia tidak bar-bar dan membunuh satu dengan lainnya. Mereka
kemudian disebut penyelemat dan utusan Allah yang spesial.

“Terima kasih ya, Sam.”

“Ah tidak apa-apa, Mel.”

174
Sam membersihkan bajunya yang kotor penuh lumpur, begitu pula
Melina. Jilbab Melina cokelat penuh bekas tanah liat yang basah karena
siraman hujan. Ini kali pertama Sam berhadapan langsung dengan Melina,
lucu.

“Tidak apa-apa kan Sam?”


“Engga Ben nyantai aja.”

“Ini kakimu kayaknya kekilir.”

“Iya gampang deh.”


Benjamin mendekat ke arah Sam. Dia membantu Sam duduk dan
sedikit mengurut-urut kaki Sam.

“Sam, makasih yooo!”

“Oh, iya Des.”

Desi datang menyalami tangan Sam. Dia sedikit berkaca-kaca. Perasa-


an bersalah karena gagal menjaga temannya tak bisa dia tutupi.

“Mel kamu gak papa kan?”

“Engga papa Des.”

“Ayo sini bangun,” Desi meraih tangan Melina, “hiyaah!”

“Uhhh!” Melina terangkat dengan cepat. Dia berdiri sekarang.


“Makasih Des!”

“Yang lain udah nunggu di depan, mereka gak berani ke sini, kamu
taulah Mel.”

“Ya ampun, emang kelompok Sam ini kenapa sampe begitu?”

“Ya susah dijelasin, yuk langsung!”

175
“Kenapa Des?”

“Ya mereka kan preman semua, walaupun kenyataanya engga.”


“Jangan cepat-cepat menghakimi orang, tidak baik Des.”

“Bukan aku, tapi yang lain.”

Melina kini memangku tangannya ke pundak Desi. Langkahnya masih


kaku. Mereka berdua mulai jalan berbarengan.

“Sam terima kasih ya,” sambil berdiri, Melina mengulangi pesan rasa
terima kasihnya, kali ini pesan itu disampaikan dengan menambah sedikit
senyum kecil.

“Iya Mel sama-sama, hehe.”

“Aku duluan ya Sam.”


“Hati-hati Mel, jangan sampe keulang lagi ya!”

Desi kemudian menghadap ke arah Sam. “Tenang Sam, aku yang


jagain Mel sekarang.” Desi ikut menimpali perbincangan Sam dan Melina.
Dia menepuk-nepuk dadanya sendiri.

“Terima kasih Des.”

Melina telah menghilang masuk lebih jauh ke dalam hutan. Siulan


kenari mengiringi kepergiannya dari pandangan Sam.

Matahari tiba-tiba saja muncul sesaat setelah aksi heroik Sam. Gerimis
yang semula mengguyur sudah tidak turun lagi. Dari ujung sana, dari celah-
celah kecil batang pohon yang begitu rapat, pelangi muncul dengan begitu
indah. Benar, ketika kita jatuh cinta, maka seluruh alam membantu untuk
mewujudkannya.

***
176
Merubuhkan Tenda dan Pertarungan

“Eh eh eh, ini napa ini eh!”


“Yaaaa Allaaaaah, astagfirullahhhh, ini tenda rubuhhhh!”

“Tolongggg woy, tolong!”

Tidak tahu bagaimana awalnya, tenda kelas sepuluh-delapan tiba-tiba


saja rubuh. Dua orang yang sedang menunggu tenda, Rangga dan Junior,
terbekap di dalamnya. Mereka kaget bahkan hampir saja kehilangan napas.

“Aduh-aduh, iya sabar-sabar!”

“Cepet woy, mau mati ini, Ya Allah Ibuuuu!”


“Iya Rangga sebentar, ini talinya ada yang mutus.”

“Sabar gimana? Ini sesek napasnya.”

“Lagi pada berusaha ini juga.”

Murid-murid dari tenda sepuluh-sembilan kalang kabut. Semuanya


membantu dan mencoba membuat tenda kelas sepuluh-delapan berdiri
kembali. Suasananya sungguh, ah, ricuh sekali pokoknya.

Terlihat beberapa mencoba mengeluarkan Rangga dan Junior dari


tenda. Ada pula yang mematoki tali tenda. Benar-benar kasihan Rangga dan
Junior di dalam.

177
Tenda sepuluh-delapan letaknya tepat berdampingan dengan tenda
Sam dan kawan-kawan. Mungkinkah rombongan begundal yang meroboh-
kan tenda itu? Tidak tahu juga.
Sam dan Ogi berjalan cekikikan. Teriakan dari tenda sepuluh-delapan
tak dihiraukan. Mereka berdua tetap saja berjalan menuju ke tengah
lapangan.

Tangan kiri Sam terlihat membawa pisau, begitu pun Ogi. Kedua
sahabat itu bak mafia yang mengerikan. Sepertinya memang ini kerjaan
mereka berdua. Dasar kurang ajar.

***

Malam kedua api unggun benar-benar kacau.


Sam dan Ogi tak sempat berlari. Mereka hanya terdiam menyaksikan
keributan yang telah terjadi di tengah.
“Brengseeeeeeek, kalau berani jangan keroyokan!”

Mata Sam menusuk jauh ke tengah. Sam mencoba memastikan siapa


laki-laki yang berteriak itu. Ya, lelaki itu adalah Hendrik. Murid yang menyu-
ruh Sam dan Cris ke WC untuk dipukuli oleh anak kelas dua belas.

Barisan melingkar siswa tak lagi tampak. Begitu aneh dan tak teratur
posisinya. Suatu kejadian besar telah terjadi, menurutku.

Benjamin, Dayat, Anto, Erwin, dan Ridwan berlarian menghindari


keramaian api unggun. Cris pun kabur masuk ke dalam tenda wanita. Ada
apa sebenarnya?

Hendrik tiba-tiba saja berlari ke arah Sam. Wajahnya merah, matanya


berair. Begitu marah dia.

178
“Heh Sam, bilangin sama temen-temen kamu, kalau berani jangan
keroyokan!”

Baju Sam dipegangi cukup kuat oleh Hendrik. Semua peserta perke-
mahan Jumat, Sabtu, dan Minggu memperhatikan. Sam tampak malu, dia se-
perti sedang dihakimi. Semoga saja Melina tak sempat melihat kejadian ini.
“Apa-apaan ini Hen, saya tidak tahu apa-apa!!!”

“Ya bilangin pokoknya!”

“Ga tau!”
“Besok tak buat perhitungan!”

“Terserah, silakan aja!”

“Oke, sori Sam, aku kesel sama temen-temenmu.”


“Iya, tapi gak gini, lepaskan dulu Hen!”

“Oh iya.”

Ogi hanya terdiam menyaksikan Sam dan Hendrik berbincang.

Hendrik mulai meredam emosinya. Kawan-kawannya berdatangan


untuk melerai. Jarang yang tahu kalau sesungguhnya Hendrik dan Sam telah
berkawan sedari SD.

Dua puluh menit kemudian kondisi kembali kondusif. Pembina


pramuka dan para senior membuat barikade melindungi Hendrik. Amarah
tak lagi ada, semua telah bersih dan bersiap memasuki tenda kembali.

***

“Ada apa sih sebenernya ini?”

179
“Hahaha, itu si Ridwan mukulin Hendrik, Sam. Ya udah ikutan aja.”
Benjamin menjawab sembari tertawa terbahak-bahak.

“Emang edan, kayaknya ini baru pertama kali terjadi ya di SMANSA?


Heboh banget!”

“Ya edaaaan, pasti hebohlah!”

“Tapi keren kan?”


“Keren dari mana? Aku yang diancem, bingung mau jawab apa.”

Dayat ikut tertawa. Erwin masih diam. Anto tetap santai dengan
handphone-nya.

“Kamu sendiri habis dari mana Sam?”

“Tanya Ogi aja.”


“Habis apa Gi?” Wajah Benjamin kini menghadap ke arah lelaki
hitam berambut kribo.
“Ya biasa, tenda sebelah dirubuhin. Dari kemarin berisik bau-rokok
bau-rokok aja.”

“Hahahaha!”

“Kudu diberi pelajaran kan ya?”

Dayat memukul-mukul kecil punggung Ogi.

“Bagus, bagus!”

***

Hope for the best and prepare for the worst. Berharap untuk yang terbaik
dan bersiaplah untuk yang terburuk. Sekiranya begitu arti dari kalimat
mutiara itu.

180
Kehidupan menurut Joy Papasan adalah seperti sebuah jejeran
domino. Diawali oleh domino kecil dan berlanjut kepada domino-domino
lain yang ukurannya terus-menerus lebih besar. Domino kecil itu ketika
dijatuhkan maka akan mampu menjatuhkan domino-domino yang ukuran-
nya semakin besar. Percaya deh!

Layaknya domino kecil, Sam adalah pionir dari kenakalan semua


teman-teman kelasnya, mungkin. Dia beradu fisik di WC melawan kakak
kelas dua belas. Malam ini, domino yang lebih besar kemudian jatuh juga.
Benjamin, Dayat, Ridwan, dan entah siapa lagi membuat keributan yang
lebih ekstrem. Mereka semua merusak malam api unggun dengan memukuli
Hendrik.

Setiap tenda kini telah tertutup rapat. Senior dan guru-guru sebagai
pembina, stand by di tengah lapang. Begitu sepi tanpa suara sedikit pun.
Mengerikan.

Bulan dan bintang tak tampak. Sinar-sinar kecil di angkasa pun


sepertinya malas dengan pertarungan, mereka murung di balik awan. Gelap
sekali langit malam itu.

***

181
Kembali Lagi!

The soul is the prison of the body (Jiwa adalah penjara dari tubuh) –
Michel Foucault

Pernahkah kamu dituduh melakukan apa yang sebenarnya tidak kamu


lakukan?

Pernah jugakah kamu dianggap sebagai yang bersalah, sedangkan


kamu sendiri tidak tahu tentang hal itu? Jika pernah, maka apa yang kamu
rasakan sama dengan apa yang Sam rasakan.

Perkemahan telah usai. Seluruh murid kelas sepuluh telah kembali


kepada rutinitasnya di kelas. Belajar dan mengerjakan tugas.

Suasananya sedikit berbeda. Masing-masing kawan kelas telah semakin


akrab. Tidak ada lagi perpisahan geng laki-laki dan perempuan. Kini semua
telah bersatu dan bersama menjadi keluarga kecil. Keharmonisan yang
ditunggu-tunggu.

Bel istirahat berbunyi panjang. Seperti biasa, kantin dan masjid


sekolah adalah tempat favorit bagi warga SMA N 1 Kota Cirebon.

Dari arah kelas Sam, seorang laki-laki berjalan dengan wajah


menunduk. Poninya menutup jidat dan menyentuh alisnya yang tipis.
Bajunya dibiarkan keluar; ikatan sepatunya tak teratur, lepas, dan kotor.
Celananya sedikit mengangkat memperlihatkan mata kakinya. Dia menuju
ke arah masjid.

182
Semua pasti tidak percaya, laki-laki itu adalah Sam. Dia sepertinya
tengah memendam begitu banyak persoalan dalam hatinya. Tak ada kawan
bercerita, tak ada pula orang yang memahami. Tuhan adalah tempat
mengeluh satu-satunya. Iya kan, Sam?

Lantai masjid menjadi pemangku bokongnya, saat ini. Sepatu dan


kaos kakinya sudah lepas. Sam, ada angin apa sampai kamu mau salat? Salat
dhuha lagi.

Tidak ada yang bisa diceritakan lebih lanjut dari fenomena langka ini.
Isi hatinya pada waktu itu tak terungkap. Hanya dia dan apa yang diyakini-
nya yang tahu.
Memang, ketika tidak ada satu pun yang bisa kamu andalkan, kamu
masih punya satu hal yang bisa mengerti kamu, yaitu Tuhan.
Ali bin Abi Thalib pernah berujar, “Bukan kesulitan yang membuat
kita takut, tapi ketakutan yang membuat kita sulit. Karena itu, jangan pernah
mencoba untuk menyerah dan jangan pernah menyerah untuk mencoba.
Maka jangan katakan pula pada Allah aku punya masalah, tetapi katakan
pada masalah AKU PUNYA ALLAH Yang Maha Segalanya.”

***

Januari, 2007

Di Eropa, sebuah kelompok ekstrem kanan baru saja terbentuk.


Allesandra Mussolini, cucu dari Benito Mussolini menjadi salah satu
pemimpinnya. Satu hari setelah itu, di Amerika Latin, kondisi Fidel Castro
dikabarkan semakin memburuk. Dalam laporan berita negara Kuba, Fidel
Castro tengah mempersiapkan peralihan kekuasaan yang telah dibangunnya
selama kurang lebih empat puluh tahun itu.

183
Waktu itu pertengahan Januari 2007. Libur panjang semester ganjil
telah berakhir. Aneka petasan yang menyala dan meledak-ledak di atas langit
sudah tak tampak. Seberapa enaknya liburan, waktu akan menuntut kita
kembali pada kesibukan.

Sudah sangat lama Sam tidak bertatap muka dengan Melina. Sudah
lama juga surat-surat di antara keduanya tidak menjadi bahasan. Dia rindu,
tetapi tidak tahu bagaimana caranya untuk melawan kerasnya rasa itu.

Kabar buruk tersiar setiap hari. Makin lama makin seperti sebuah
kenyataan meskipun kebenarannya belum jelas betul. Kabar itu adalah soal
Melina yang katanya telah menjadi kekasih Kak Indra!
Hmmmm.

Mengapa kau bersedih Sam? Kau kan yang bilang tak peduli bagaima-
napun keadaanya, asalkan Melina bahagia kau juga ikut bahagia.

Mengapa kau juga harus kesal Sam? Kau pernah berkata kan dalam
suratmu, dengan siapapun kau tersenyum Engel, aku suka.

Mengapa kau murung sih, Sam? Kau dulu berjanji, bahwa kau tidak
akan pernah marah pada rasa cinta Melina, sekalipun itu bukan untukmu.

“Sam, hey Sam, Saaaaaaam!!”

“Woy, iya Ben!”

“Napa kamu ngelamun? Banyak utang?”

“Ah sialan, kaget aku. Engga Ben, ini bentar lagi UAS bingung aku,
belum belajar.”

“Aduh boong, biasanya juga kan emang gak pernah mikirin. Ada
sesuatu yang lain kayaknya, lagi suka perempuan?”

184
“Ya dari dulu juga suka perempuan Ben. Emangnya si Erwin, suka
sama laki-laki tuh.”

“Haha, bisa aja ngelaknya. Ini serius Sam, gak baik dipendem.”

“Bener Ben, mikirin masalah UAS aja aku, takut gak naik.”
“Takutnya kenapa? Kamu kan masuk terus, rajin.”

“Iya, tapi kan buat keributan terus aku kalo masuk. Nilainya gede loh
psikomotor itu.”

“Tau dari mana?”

“Dari Pak Ade, katanya gitu sih, tapi gak tau.”


“Ga usah terlalu dipikirin. Santai aja sih kaya biasanya.”

“Iya Ben, tapi tetep pentinglah, masa depan.”

“Iya Sam, tapi bener nih gak ada urusan lain selain itu?”
“Bener Ben, kapan aku gak pernah cerita sama kamu?”

“Mungkin ya sekarang Sam.”

Benjamin dan Sam memang sedang waktunya duduk bersama. Kursi


kedua dari belakang menjadi favorit mereka. Letaknya yang tepat di pojok
kanan membuat mereka terlihat begitu kecil dari pandangan guru. Tingkah
laku mereka yang mengobrol jadi tak terlihat jelas.

Sam tampak pucat. Dia tak terbiasa berbohong. Tapi bagaimana lagi,
dia malu sepertinya mengakui cintanya pada Melina.

“Kemarin aku liat di TV ada berita orang memendam persoalan


sampe bunuh diri Sam.”

“Di mana itu?”

185
“Di SCTV, acara Buser tuh.”

“Ya, tapi gak semuanya.” Sam menjawab lugas, tapi, “bentar-bentar,


maksudnya apa kamu?”

“Hahaha! Ya barangkali aja, kan takut aku duduk di sebelah bangku


kosong.”

Jebret! Pukulan kecil jatuh ke lengan Benjamin. “Sialaaan kamu, aneh-


aneh aja, ucapan itu doa loh!”

“Biasa, bercanda, jangan diambil hati ya?”


“Iya.”

“Eh, tapi bener kan gak ada apa-apa?”

“Bener Ben, yakiiin.”


“Okeeee.”

Keduanya kembali menatap ke arah papan tulis. Pak Ade terlihat


sibuk menerangkan aneka macam rumus-rumus fisika yang rumit. Pantas saja
Benjamin dan Sam tak memperhatikan, pelajarannya sukar dicerna.

“Ben.”

“Iya Sam?”

“Kalo misalkan ya, ada orang yang kamu suka, tapi syaratnya harus
berubah gimana?”

“Nah, nah kan,” Benjamin menunjuk wajah Sam, “bener kan apa
yang jadi dugaanku?”

Jenuh juga ternyata mereka. Pelajaran yang sedang disampaikan Pak


Ade kembali tak dihiraukan. Anak-anak memang.

186
“Engga, ini murni pertanyaan biasa ajah.”

“Alah.”
“Jawab deh cepet.”

“Ya aku gak mau, lebih baik aku jadi diriku, tapi dia gak suka daripada
aku harus berubah untuk nyenengin orang.”

“Tapi mungkin kan kamu berubah? Masa mau gini terus?”

“Iya, tapi gak untuk orang lain, untuk diriku sendiri aja Sam.”
“Oke deh.”

“Percuma lagian, kalo sesuatu itu gak dateng dengan sendirinya, pasti
gak akan lama Sam. Itu kata ibuku sih.”

“Iya, ibuku juga suka bilang kaya gitu.”

“Nah tuh kan tau.”


“Tapi sampai kapan ya?”

“Engga tau juga Sam masalah itu, hehehe.”

Sam mencatat pesan-pesan yang disampaikan sahabat karibnya. Pikir-


annya mulai sedikit terbuka. Pilihan hidupnya bertambah. Lumayan buat
modal melawan kekecewaan.

***

Life begins at night – Charlaine Harris

Charlaine Harris adalah seorang penulis buku best selling dari The New
York Times. Dia begitu suka menulis puisi hantu, sebagian orang bahkan
menganggap bahwa hal itu adalah ciri khasnya. Pada tahun 2001 dia
menerbitkan sebuah buku yang berjudul Dead until Dark. Dalam buku itu dia

187
menulis suatu kalimat yang sungguh menarik, “Hidup dimulai pada malam
hari.” Itulah kata-kata yang membuat Charlaine Harris kian terkenal.

Sam bukanlah Melina yang begitu rajin membaca buku. Sam hanya
orang yang malas, kemauannya tergantung pada keadaan, dia angin-anginan.
Bahkan Sam pun dapat disangsikan tak akan mengenal Charlaine.
Malam itu sisa hujan bulan Desember turun tanpa permisi. Tak
terlalu banyak, hanya rintik-rintik beserta angin. Jendela Sam tertutup rapat.
Daun-daunan yang basah di luar sana tak kelihatan dari kamarnya. Hanya
suara genting terguyur saja sedikit terdengar sampai ke dalam.

Berkali-kali Sam terlihat menarik rambutnya ke belakang. Karet merah


bekas nasi bungkus dia gunakan sebagai pengikat rambutnya. Cukup risih
dia dengan rambutnya yang panjang.
Matanya terus menatapi amplop yang berisi surat dari Melina.
Warnanya putih, di bagian depannya ditulis dengan spidol biru, untukmu.
Penasaran ya Sam apa isinya? Tidak lama, sebentar lagi Sam juga pasti
membukanya.

Hy Heldy 

Maaf ya, bukan aku tidak mau menjawab, tapi pertanyaanmu itu untuk Melina bukan
untuk Engel. Aku tidak berhak memberitahumu soal hubungannya saat ini. Kamu paham kan,
Heldy?

Aku hanya sarankan sedikit padamu, jangan pernah percaya apa yang belum kamu lihat
sendiri. Sama seperti tentang Melina, gak baik Heldy.

Oh iya, Engel ingin bilang makasih ya untuk hadiah hiasan kerang dan pasir pantainya.
Itu indah sekali Heldy. Bagaimana aku harus menggantinya?
188
Jika kamu memandang bulan malam ini, maka aku juga.

Jika kamu sedang menikmati bintang-bintang dan mungkin juga komet yang seketika
kadang jatuh, aku juga.

Jika kamu merasa bahwa malam ini begitu indah, ah Heldy, aku juga.
Tetap semangat ya, terus berprestasi Heldy.

Terima kasih telah datang untuk bicara 

Engel.

Sedang apapun kamu, Melina, kamu harus tanggung jawab. Sam tak
bisa tidur karena suratmu yang mengambang. Ingin sekali dia remas-remas
dan membuang surat itu ke tengah guyuran hujan, tapi tidak mungkin.
Sungguh kasihan lelaki muda itu.

Kembali kepada ungkapan Charlaine Harris, kehidupan dimulai pada


malam hari. Sam, mau tidak mau keputusanmu untuk tetap atau pergi dari
hubungan ini adalah dimulai dari sekarang. Jika memang Melina pantas
kamu perjuangkan, berjuanglah. Jika kamu rasa sudah tidak ada lagi yang
penting, tinggalkan dia dengan baik. Malam ini Sam, segera putuskan!

***

Ayam-ayam telah keluar dari sarangnya. Tugasnya berkokok telah


selesai. Bintang berkaki dua itu mengorek-ngorek sampah, mencari cacing
dalam tanah dan sesekali mengibaskan sayapnya. Jenggernya menggelantung
taktala berjalan. Macam-macam keajaiban Tuhan itu.

189
“Ya Sam, intinya, wanita yang agung itu adalah dia yang tau caranya
membuat kita jatuh cinta pada saat kita ingin membencinya. Dia tahu
caranya menjadikan tertawa di kala kita ingin menangis.”
“Kata siapa itu? Pasti bukan dari Abah kan kata-kata itu?”

“Iya memang bukan, itu kata Socrates, salah satu filsuf terkenal
Yunani.”

“Fisuf itu apa sih, Bah?”

“Ya filsuf, orang yang bekerja memaknai hidup dan mengambil


kesimpulan yang bijaksana terhadapnya.”

“Oh, kata-kata Socrates itu juga yang menjadi alasan Abah memilih
Ibu? Benar emangnya Bah?”

“Iya tepat sekali dan itu terbukti Sam, awet. Ibu kamu itu orangnya
sabar dan memiliki seribu alasan untuk setiap laki-laki langsung jatuh cinta
sama dia.”

“Haha, dan Abah adalah yang beruntung memilikinya.”

“Mungkin.”

Kedengaran suara tertawa terbahak.

“Baiklah Bah, udah ya, Sam berangkat ke sekolah dulu.”

Anak dan Bapak terlihat melakukan obrolan yang cukup serius.


Rumah dengan halaman luas di belakang masjid agung itu tak tampak sepi.
Lelaki tua menggunakan kaos oblong dan sarung cokelat. Lelaki muda telah
sigap dengan seragam sekolah menengahnya. Benar-benar pemandangan
menarik yang dirindukan oleh setiap keluarga.

190
Ada koran dan piring bekas makan pagi di antara mereka. Tumbuhan
kamboja, kumis kucing, dan rumput-rumput hijau tersaji di depan mereka.

Anak lelakinya, kini tengah berdiri.

“Salam dulu, Bah.”


“Iya, hati-hati ya, inget pesennya, jangan dulu jatuh cinta.”

“Iya siap, diusahakan ya?”

“Yeeee!” Ayahnya menampakan wajah kecut, “ngeyel kalo dibilangin.”


“Iya ah, terlambat ini.”

“Sanah berangkat,” salam tangan Sam dilepaskan oleh ayahnya, “nanti


langsung pulang Sam.”

“Iya Bah, siap!!”

“Hati-hati!” Ayah Sam melambaikan tangan ketika melihat anaknya


menjauh dari rumah. Sam membalasnya kecil. Seketika kemudian hilang.

***

191
IV
Hikmah

192
Di Balik Pak Cegu

Satu hal yang tidak bisa ditebak, yaitu jalannya kehidupan. Kadang
kita senang, kadang juga sesekali kita sedih. Kadang kita punya banyak uang,
kadang juga kita bokek-kere enggak bisa beli apa-apa. Tapi itulah uniknya,
dengan begitu manusia terus berusaha untuk kembali lagi mencari yang
lebih baik.

“Itu yang sering gak kita sadari Sam.” Pak Cegu berbicara cukup lugas.
Tangannya memegang gigi mobil dengan lincah. “Kamu paham kan maksud
Bapak?”

Pak Cegu memberi sedikit perumpamaan. Tempo hari dia sedang


gembira karena anaknya berhasil mendapatkan rangking satu di kelas.
Sekeluarga makan-makan di restoran, makan enak merayakan kesuksesan
anaknya. Eh, tiba-tiba besoknya, mobilnya keserempet motor sampai lecet.
Bingung tujuh keliling Pak Cegu mencari pinjaman untuk memperbaiki
mobilnya.

Pada kenyataannya, toh hidup terus berlanjut. Pak Cegu tetap saja
menyopir angkutan kota, anaknya kembali sekolah, dan istrinya tetap
menjadi binatu. Benar-benar unpredictable.

“Iya juga ya Pak, kadang-kadang bikin bingung.”

“Nah itulah Sam, Bapak kenapa sering sekali ngasih motivasi ke


kamu. Biar kamu tuh semangat dan gak gampang nyerah. Baik soal wanita
ataupun hidup.”
193
“Loh, tapi kenapa harus aku Pak? Kan aku sama Bapak aja kenalnya
baru, aku bukan anak atau saudara Pak Cegu lagi, hehe.”

“Ya emangnya berbagi kebaikan itu harus sama orang yang dekat atau
sedarah sama kita aja Sam? Gak kan, sama semuanya harus berbuat baik itu.”

“Tapi seandainya orang yang kita baikin itu ternyata jahat sama kita
Pak, gimana?”

“Waduh Sam, kamu nanya sama Bapak yang biasa di jalan. Bapak itu
sudah hafal mana kelinci mana serigala, mana buaya mana bunglon. Jadi
menghadapi yang gitu-gitu itu udah bosen. Tapi satu hal Sam, kebaikan itu
universal tak terbatas, sedangkan kejahatan itu individual. Mereka yang jahat
itu akan dibuat mati oleh perasaannya sendiri. Percaya deh.”

“Panjang lebar Pak Cegu jelasin juga Sam mah gak ngerti Pak, belum
pengalaman masalahnya. Yang singkat-singkat aja.”

Pak Cegu sedikit kesal. Laju mobilnya kemudian pelan tak bertenaga.
Mumpung penumpang tidak ada, Pak Cegu ingin berbicara lebih lama
dengan Sam.

“Gini loh Sam, berbuat baik aja, jangan pedulikan bagaimana nanti
orang membalas kebaikanmu itu. Biarkan Tuhan saja yang melihat ketulus-
anmu.”

“Iya Pak ya, tapi kenapa kok banyak orang sukanya sama gosip yang
jelek?”

“Ya setiap orang pada dasarnya suka melihat orang lain itu terluka,
sedih, dan berada di bawahnya. Kamu mah jangan begitu.”

“Iya Pak, gak sampai hati aku mah kalo mau berbuat kaya gitu.”

194
“Ya sekarang kamu mungkin bilang begini karena kamu lagi gak ada
masalah, nah nanti kalau masalah itu datang kamu baru pusing.”

Pak Cegu belum tahu kalau Sam juga sedang begitu banyak memen-
dam masalah. Dia hampir diskorsing dari sekolahannya karena tragedi perke-
mahan. Dia juga sedang pusing karena Melina saat ini sepertinya sudah jadi-
an sama Kak Indra. Sam tidak bisa melakukan apapun, tidak bisa mengubah
semuanya menjadi baik secara cepat, dia hanya berpasrah diri pada Illahi.

“ … Oh begitu ya. Nak Sam yang sabar, itu bagian dari proses kamu
menuju dewasa nanti.”

“Jadi aku harus gimana Pak? Menurut Bapak loh ya.”

“Perasaan anak muda itu perasaan yang rentan yang selalu aja merasa
„aku cinta sama kamu karena aku butuh sama kamu‟, sedangkan kalau
pengalamanmu sudah banyak kamu pasti bakal mikir lain.”

“Apa Pak yang bakal aku pikirin itu?”

“Kamu bakal mikir kalo aku butuh kamu karena aku mencintaimu.
Gitu. Cinta itu sesuatu yang alami Sam, butuh konsentrasi, kedisiplinan,
dan utamanya kesabaran. Sekarang kamu baru sampai pada tahap kesabaran,
sedangkan disiplin dan konsentrasimu masih suka maju mundur.”

“Adaaah, itu bener sekali Pak. Bagaimana Bapak bisa paham dan
mengerti sejauh itu, Bapak peramal ya hayo?”

“Bukan gitu, manusia kan emang sejak lahirnya saja udah membawa
masalah dan masalah itu kemudian dia pecahkan sendiri solusinya. Bapak
mah cuma berbagi aja, Nak.”

Jedaaaaar, jidat Sam rupanya sedang ditimpuk-timpuk oleh teori Erich


Fromm tentang cinta. Yang Pak Cegu katakan tidak kurang dan tidak lebih
195
adalah apa yang tertulis dalam buku The Art of Loving. Buku karya Erich
Fromm yang terkenal itu.

Semenjak perkemahan berakhir, Sam memang lebih banyak diam dan


sendiri. Dia menyimpan segalanya secara rapi dalam brankas hatinya. Ada
masukan yang datang, ada pengalaman yang pergi berlalu, dan ada juga hal-
hal baru yang datang. Pak Cegu merangkumnya dengan sangat baik. Terima
kasih Pak Cegu!!

***

Seperti biasanya, Sam datang begitu cepat ke sekolah. Langit-langit


masih biru. Awan-awan menghilang tanpa jejak. Sisaan bulan yang biasa
muncul pun tak tampak. Hanya tanah-tanah basah bekas hujan semalam.

Dia telah berdiri tepat di samping meja Melina. Surat andalannya


keluar dari tas hitam. Ada satu buah cokelat yang ikut tampak. Tangannya
kemudian masuk dalam ke bawah kolong meja. Kepalannya masih sama
seperti saat pertama kali dia menaruh surat. Dia berkata lantang tak takut
terdengar orang.

“Semoga saja berhasil!!!!”

Iya Sam, semoga saja apa yang menjadi tujuanmu itu berhasil, amin.

***

196
Ini Sulit Sam!

Self-knowledge is no guarantee of happiness, but it is on the side of happiness


and can supply the courage to fight for it. – Simone de Beauvoir

Semenjak mendengar kabar Melina sudah memiliki tambatan hati,


tidur Sam tidak pernah tenang. Dia kadang ngedumel sendiri, kadang juga
melamun tak jelas. Posisi tidurnya pun tak lagi menghadap kiblat seperti
yang disuruh orang tuanya. Dia jumpalitan tak teratur, ke kiri lagi kemudian
ke kanan lagi.

“Ah, sial, siapa sih sebenarnya kamu Mel? Sampai-sampai bisa membu-
atku begini?”

Tatapannya kembali kosong. Langit-langit kamarnya serasa tembus


pandang menampilkan wajah Melina dengan berbagai pose.

Tengkurap adalah pilihan terakhirnya. Tangannya memukul-mukul


kasur secara keras.

“Ah, ah, beg, beg, beg!” Nada kesal dan pukulan tangannya terdengar.
“Besok harus segera kupastikan kabar itu. Bisa gila aku kalau tidak segera
mengambil keputusan. Konyol sekali keadaannya, aku marah pada orang
yang bukan milikku, bukan hakku, sial!”

Kini posisi kepalanya menengadah ke atas (lagi). Tidak ada sedikit pun
kenyamanan dalam gejolak perasaan Sam.

197
Baju yang menutupinya dilepas, celana pendeknya dibiarkan tak
berselimut. Tubuhnya lebih sejuk dengan kaos dalam sebagai penutup satu-
satunya.
Kamar Sam terkunci rapat. Jendelanya pun tak bercelah, sulit udara
untuk masuk. Lembab dan tak jelas aromanya.
Kegalauannya bukan karena kamar, bukan juga karena tidak ada
hiasan, tapi karena apa yang ada di dalam hatinya. Kegalauanya karena resah
yang menggumul, yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Tidak akan selesai Sam urusanmu, bahkan sampai tak ada sehelai
benang pun yang menutupi tubuhmu, kekalutan itu akan terus menghantui-
mu. Satu-satunya cara adalah mengubah sudut pandangmu.

***

Wahidin, Cirebon
“Besok aku jemput ya, Sayang?”

“Iya Sayang, tapi aku masuk pagi. Kamu gak papa dari perum pagi-
pagi?”

“Gak papa kok, deket segitu mah. Malah yang jauh itu kalo aku
berangkat sendiri, gak bareng kamu.”

“Gooooombbbaaalll ah, yang bener? Jangan dipaksain, aku masih bisa


kok berangkat sendiri sama Desi.”

“Bener kok, Sayang.”

“Ya udah.”

“Kamu langsung tidur ya, jangan lupa belajar sebentar, tiga puluh
menitlah cukup.”

198
“Iyaaaa baweeel, cepet gih, nanti dimarahin Mamah.”

“Iyaaaaa.”
Greeeeeng, greeeeeeeeeenggggg …!

Sementara itu, di bagian Cirebon yang lainya, dua anak remaja yang
tengah jatuh cinta sedang kesulitan menahan pulang. Keduanya masih ingin
bersama, tak mau berpisah. Apa daya, waktu sudah larut malam.
“Hayooooo ketangkep basah sayang-sayangaaan!”

“Ah Kak Lindaaaa, ketauan deh.”

“Haha malu-malu nih Mel ceritanya?”


“Jangan ceritain sapa-sapa dong Kak, aku baru dua hari jadian sama si
Indra.”
“Eh, kakak kelasmu itu, manggil pake „si‟ ajah.”

“Ih, kan kalo pacaran mah jadinya setara, yeeeeee!”

“Bener juga ya.”

“Nah tuh kan bener kan, yeeees!”

“Berani ngeledek Kakak? Berani nih, bener nih berani?” Kak Linda
mencubit perut Melina.

“Aaaah, maaf, maaf Kak!”

“Udah ah sana mandi, bau bau, hus hus!” Kak Linda mengebaskan
tangannya pada Melina. Dia berlagak seperti orang yang sedang mengusir
kucing.

Dengan kerudung merah dan kemeja garis-garis putih, Melina terlihat


begitu cantik. Kacamatanya memperlihatkan kepandaian yang siapapun

199
ingin memilikinya. Langkah kakinya mulai dia arahkan menuju kamar de-
ngan begitu riang.

Benda-benda langit bersemarak menyambut senyumannya. Bulan


mencerahi warna-warni sahabat malamnya dengan sisa sinar matahari.
Bintang-bintang berkilauan penuh dengan isyarat, isyarat itu bernama cinta.
***

“Iya sahabat Cirebon FM, masih bersama saya Sinta di acara Request
Asik, saya tunggu teleponnya di 0231 ….”

Suara radio terdengar begitu keras. Keran kamar mandi pun menjadi
begitu kecil tertutup nyaringnya.

Ttttttuuuuuut, tuuuuuuuttt!

“Iya haloooo, siapa ini? Jangan lupa password-nya.”


“Request Asik, minta dong lagunya.”

“Iya, dengan siapa Mas?”

“Dengan Samudra di Kasepuhan.”

Keran air tiba-tiba saja mati. Gayungan tidak lagi secepat sebelumnya.
Melina serius mendengarkan radio dari dalam kamar mandi.

“Hah Samudra?”

Dia diam tak mau mengganggu apa yang sedang menjadi fokus
pendengarannya.

“Request lagu apa Mas Samudra?”

“Oke Mba, saya mau „Terlalu Manis‟ dari Slank.”

“Ada salam gak Mas? Mungkin buat pacar atau siapa, ciyeee!”

200
“Gak ada Mba, udah itu aja.”

“Okeee terima kasih Mas Samudra, lagunya sebentar lagi siap kami
putar, tetap dengarkan terus Cirebon FM!”

Di Kasepuhan sana, Samudra rupanya belum bisa juga tidur. Dia


malah iseng menjadi seorang penelepon radio, ckckck.

Sambungan telepon sudah mati. Penyiar radio hilang tak berbicara


lagi. Lagu Slank kini tengah diputar untuk menemani Melina yang sedang
membasuh badan.

Terlalu manis, untuk dilupakan

Kenangan yang indah bersamamu

Tinggallah mimpi

Terlalu manis, untuk dilupakan

Walau kita memang, tak saling cinta


Takkan terjadi

***

“Apalagi ya yang Heldy tulis, hmmh.”

Sambil tiduran Melina memegangi surat yang ditulis oleh Samudra


untuknya. Sebentar lagi diri Melina hilang, Engel akan menggantikannya.
Samudra juga tak lama berselang menyusul berubah menjadi Heldy. Kebiasa-
an yang rumit, mengapa sih tidak menyurati atas nama diri sendiri saja?
Aneh.

“Tumben sekali lucu.” Melina bergumam. Dia memandangi surat


dengan amplop biru muda. Baru kali ini Heldy mengubah warna putih

201
amplopnya dengan warna lain. Maksudnya apa belum tahu, karena belum
dibuka isi suratnya.

Sreeeeeeeek! Suara kertas dirobek terdengar.

Hy Engel Heldy-mu datang memberi senyum 

Ah, Engel tidak seru, kamu terlalu menjaga rahasia yang nantinya pun akan
diketahui umum Engel.

Engel, kamu tau?

Aku kadang berpikir, jika akan ada waktu dan saat di mana nanti aku akan
menemuimu tidak lagi sebagai Heldy, tetapi sebagai diriku yang asli.

Waktu itu makin lama makin sempit, semakin hari semakin dekat. Aku tidak
semestinya meminjam nama orang lain untuk mengetuk hatimu.

Semoga saja malammu indah Engel.


Aku titipkan rinduku pada kunang-kunang di depan halaman kosmu. Aku salami
kamu lewat embusan angin yang perlahan mencumbumu dan membawamu tidur.

Heldy 

“Ah, Heldy, sekarang kamu tidak lagi seru, ini surat paling datar yang
pernah aku terima darimu. Payah.”

Harapannya tak sesuai dengan kenyataan. Melina kesal. Tak seperti


biasanya, dia langsung tidur begitu cepat. Selamat malam.

***

202
Marahnya Ibu!

Setelah selesai keluar membuang air besar, Sam kaget bukan kepalang.
Bungkus rokok dari saku bajunya telah keluar. Koreknya hilang dan buku-
buku dalam tasnya berserakan. Kamarnya terlihat berantakan. Sam tahu
bahwa ada suatu hal buruk yang tengah menantinya. Ibunya pasti baru saja
melakukan pengecekan.

“Sudah Sam jangan mengelak lagi, ini sudah cukup menjadi bukti!!!”

“Iya Bu, maafkan Sam Bu, Sam benar-benar menyesal.” Sam bersujud
di bawah kaki ibunya.
“Berapa kali kamu berjanji kaya gini, tapi lagi-lagi gak terbukti, kamu
mengulanginya lagi!!”

“Bener, ini yang terakhir Bu, gak lagi-lagi …”

Air mata Sam sudah sampai pelupuk, tinggal menunggu waktu saja
untuk jatuh. Ibunya terlihat marah, wajahnya merah, dan matanya melotot
hampir keluar. Kedua orang itu sedang berdebat seru.

Biasanya Sam langsung menulis surat perjanjian untuk tidak meng-


ulangi kesalahannya lagi, tapi kali ini tidak. Ibunya sudah bosan dengan
janji-janji palsu Sam.

“Sam, kamu bakar uang yang udah Ibu cari dengan susah payah, kamu
bakar itu Sam!!!”

“Iya Bu, Sam minta maaf Bu.”

203
“Nggak, maaf-maaf terus tapi cuma di mulut!”

“Sekarang terserah Ibu aja, Sam siap dihukum Bu, tapi Ibu maafkan
Sam …”

“Gak, Ibu bener-bener kecewa.”


Ibu Sam tidak pernah mau menengokkan wajahnya ke arah Sam.
Puncak kekesalannya telah tumpah-ruah tak karuan. Dia bahkan sampai
mempertanyakan status anak kepada Sam.

“Apakah Ibu pernah punya anak yang sok-sokan kaya gini!!!? Ibu gak
pernah merasa membesarkan preman!”

“Buu …”

“Ibu gak pernah memelihara penjahat!”

“Bu … sudah Bu.”

“Ibu kecewa besar Sam, kecewa!! Selama ini Ibu kira kamu tuh gak
pernah macem-macem. Ya Allah taunya, merokok!!!!”

“Buuu,” Sam tidak bisa berkata panjang. Tertunduk wajahnya


menciumi kaki ibunya.

“Ibu dari dulu kamu kecil itu berusaha membesarkanmu dengan


makanan yang baik, memberikan susu yang berkualitas tinggi. Semua itu
dilakukan supaya kamu jadi anak yang sehat dan kuat. Tapi Sam, apa yang
udah Ibu bangun itu, kamu merusaknya sendiri sekarang dengan rokok,
kamu sadar gak Sam?!”

“Buuu liat Sam Bu, maafkan Sam.”

“Gak … pikirkan sendiri salahmu, Ibu sudah capek!!!”

204
Sam merasa sangat berdosa. Jantungnya ditusuk-tusuk perasaan bersa-
lah yang dalam. Mulutnya tak bisa berbicara panjang. Dia terus menangis
sesenggukan.
Ibu Sam justru mulai pergi meninggalkan Sam di dalam kamarnya.
Belum sempat dia menerima maaf Sam, dia sudah menghilang dari
pandangan Sam.

Setiap orang tua, di manapun mereka berada, dari keluarga manapun


mereka hidup, tidak peduli latar belakang, tidak peduli agamanya, semuanya
sama-sama menginginkan hal terbaik untuk anaknya.

Braaaaaaat! Satu tumpuk kertas jatuh di dekat Sam.

“Itu, itu baca semuanya, itu suratmu Sam, surat-surat perjanjian yang
kemudian kamu langgar lagi, kamu langgar lagi!!!”

“Ibu, Sam janji Bu, ini yang terakhir, Ibu maafkan Sam.”
“Ibu sudah tidak butuh janji Sam, bukti!!!!”

Di dekat pintu terlihat seonggok tubuh mengintip. Adik Sam rupanya


tak mau ketinggalan momen mengharukan ini.

“Kunci pintumu sekarang, pikirkan sendiri kesalahanmu!”

Ibu Sam kembali pergi dan menutup keras pintu kamar Sam.

Brrrreeeeeeg!

Sam, apakah itu benar kamu Sam?

Lelaki yang terkenal garang dan penuh dengan cerita-cerita heroik


tiba-tiba runtuh di hadapan kemarahan ibunya. Sam tidak mampu melawan.
Dia hanya pasrah dengan apa yang sudah dikatakan ibunya kepadanya. Rasa
hormatnya masih ada meskipun keadaannya sudah begitu terdesak.

205
Siapapun juga pasti pernah melakukan kesalahan sepertimu Sam.
Siapapun pernah melakukan sesuatu yang bahkan lebih parah daripada apa
yang kamu lakukan. Tapi mengapa mereka bangkit Sam? Karena mereka
yakin bahwa akan ada hari esok yang lebih baik setelah selesainya masalah
hari ini. Jika kamu punya itu Sam, kembalilah ke jalan yang baik, segera!!
Bukan malah menangisi dirimu sendiri.
***

Sam memulai paginya seperti biasa.

“Bu … Bu … Bu, Sam berangkat Bu.”


Sapaan Sam tak digubris. Ibunya terus memasak dengan serius.

“Bu salam dulu Bu. Bu, jangan marah terus Bu. Bu … Ibuuu?”

Tangan Sam tidak disambut oleh ibunya. Wajah senyum Sam pun
tidak sedikit pun membuat ibunya bahagia. Rupanya, kemarahan itu masih
begitu dalam, begitu terekam sebagai suatu memori yang buruk.

“Assalamualaikum Bu.”

“Walaikumsallam.”

Sekian banyaknya kata dan perkacapakan, hanya seuntai salam yang


ibu Sam jawab. Sabarlah Sam, sabarlah Bu, semoga banyak hikmah dari
kejadian ini.

***

206
Terima Kasih Bah

Kau nikmati wajahnya. Kau renungkan lekuk keriput di pipi dan


jidatnya. Kau gambarkan pundak kuatnya. Kau bayangkan langkah penuh
semangat kakinya. Kau pikirkan bagaimana lincah tangannya. Sadarkah
engkau, jika semuanya itu tertuju pada satu hal, yaitu kau. Itulah ayah.
Sejauh apapun perginya raga. Serumit apapun jalan yang sudah
dilalui. Sesulit apapun medan yang berhasil ditaklukan. Tempat dan tujuan
itu tetap satu, yaitu tangisan dalam dekap dada orang tua.

Seorang anak, sudah menjadi kebiasaannya, jika dia jauh dari ibunya
maka ayahnya adalah teman terbaik, begitu pun sebaliknya. Mengapa demiki-
an? Karena anak hanya memiliki dua orang yang dengannya dia merasa
bahagia, tiada lain adalah orang tua jawabannya.

Pagi itu Sam dan ayahnya tak saling bicara. Sam duduk dengan
seluruh perlengkapan sekolahnya. Sepatunya sudah terpasang, tasnya pun
sudah di pundak. Ayahnya asyik membaca koran. Dibolak-balik kertas tipis
itu, dilihat-lihat, dan dibaca seluruh beritanya.

“Bah. Bah …” Sam memanggil lembut.

“Apa Sam?”

“Ibu sudah cerita soal masalah rokok itu Bah?”

“Owh, sudah Sam, gimana?”

207
“Maafkan Sam ya, Bah,” Sam menjulurkan tangannya, wajahnya
memelas.

“Ah, gak perlu diminta, Abah sudah memaafkan kamu Sam. Laki-laki
gak boleh lemah dengan pilihannya.” Ayah Sam menatap Sam. Tangannya
memegang dagu Sam dan dihadapkan wajah Sam ke wajahnya.
“Kenapa Bah?”

“Abah punya anak yang namanya Samudra. Tapi Sam yang menjadi
anak Abah itu bukan Sam yang lemah!”

“Maksud Abah?”

“Ketika kamu sedih, kamu memohon kepada Allah. Ketika kamu


kekurangan, kamu memohon kepada Allah. Ketika kamu tak berdaya, kamu
memohon kepada Allah. Tetapi namanya manusia Sam, kadang lupa.”

“Lupa gimana Abah?”

“Lupa bahwa permohonan yang lebih penting dari segalanya adalah


permohonan maaf akan dosa-dosa yang diperbuatnya. Bangkit Sam.”

“Siaaap Bah!!”

“Sudah, jangan mencla-mencle, hadapi persoalannya, berubah.”

“Iya Bah.”

Sam menjadi bersemangat kembali. Kusut yang semula menyelimuti


gairah hidupnya, kini hilang. Tubuhnya seketika berdiri.

“Terima kasih ya, Bah.” Sam menyalami ayahnya yang sudah berada
tepat di depannya. Posisinya seperti pembina upacara dan pemimpin
upacara. Mirip sekali.

208
“Iya sama-sama, Sam.” Ayah Sam mengangguk kecil. “O iya, kamu
mau Abah suruh gak?”

“Dengan senang hati, Bah.”

“Nanti tolong mampir ke rumah Pak Ghazali ya di Wahidin, mau?”


“Nanti kapan Bah?”

“Habis magriblah.”

“Sam disuruh ngapain Bah emangnya?”


“Bawain buku-buku pesenan dia, itu sudah Abah ikatkan di balik
pintu. Kamu tinggal bawa ajah. O iya, Wahidin nomor XX (disamarkan) ya.”
“Oke Bah, Sam akan menuruti Abah dan Ibu sekarang.”

“Hem, sudah sanah berangkat.” Ayah Sam mengelus-elus kepala Sam.


Posisi pandangan Sam diubahnya ke depan. Entahlah, ada maksud apa dari
pemindahan posisi itu. Mungkin, Sam harus kembali menatap ke depan
yang lebih baik.

***

Nabi Muhammad pernah bersabda, “Setiap diri dibimbing menuju


untuk apa dia diciptakan. Maka teruslah berjalan mencapai harapan-
harapanmu.” Segala hal itu telah dituliskan oleh Allah SWT baik sadar
ataupun tidak. Oleh karena itu, libatkan Allah dalam segela urusanmu,
Insha Allah jalan keluar itu akan datang dengan baik.

“Ya Allah yang mana ya rumahnya?”

“Bener gak Sam alamatnya? Tanya lagi coba deh.”

“Ini bener Gi, cuma di sini nomernya aja gak jelas.”

209
Sam dan Ogi pusing tujuh keliling. Alamat yang disampaikan oleh
ayah Sam tak kunjung ketemu. Sam beberapa kali turun dari motor;
bertanya, memberi penjelasan, dan mencari tahu tentang alamatnya. Ogi
masih tetap di atas motor. Dia siap mengantarkan Sam ke manapun Sam
pergi. Benar-benar sahabat karib.

“Udalah istirahat dulu aja Gi.”

“Iya Sam.”
Sam dan Ogi memutuskan untuk sejenak berhenti di sebuah warung
rokok. Keduanya memesan es kopi dan satu batang rokok.
“Gi, tau gak, semalem abis dimarahin Ibu gara-gara ketahuan nih.”
Sam menunjukkan rokok yang sudah dalam genggamannya.
“Gara-gara rokok?”

“Iya Gi.”

“Parah, aku juga pernah sih Sam, tapi ya gimana ya, susah berhentinya
Sam.”

“Nah itu dia Gi, sama, biarlah waktu aja yang menjawabnya.”

“Hahaha!”

Seketika obrolan mereka kemudian terhenti. Penjaga warung datang


membawa pesanan.

“Ini Mas es kopinya.”

“O iya Pak, di sini aja.” Sam menunjukkan meja di mana kopi itu
harus ditaruh. “Pak.”

“Apa Mas?”

210
“Tau alamat ini gak Pak?” Sam mengeluarkan kertas dari saku
celananya.

“Sini Bapak liat dulu.” Penjaga warung itu meraihnya. Ditatapinya


jelas kertas putih kecil itu.

“Tau gak Pak?”

“Owalaaaaaah, ini mah itu Dek. Rumah itu, dua rumah dari sini nih,
yang tingkat itu loh.”

“Addddduuuuh, dari tadi muter-muter situ.”


“Iya bener itu Dek, rumahnya gabung kos-kosan jadi gak jelas.”

“Wah, makasih ya Pak, makasih banyak, saya kasih bonus.”

“Bonus apa Dek?”


“Nih bayarannya Pak, 20 ribu.”

“Ah jangan, Dek.” Penjaga warung menolak uang yang hendak


diberikan Sam. Tangan Sam dimundurkan ke kebelakang berulang kali.

“Udah Pak, nih.” Sam memaksa memasukkan uang itu ke celana


penjaga warung.

Ogi tidak menyaksikan adegan itu. Dia sibuk menyeruput es kopi yang
rasanya begitu nikmat.

“Sam.”

“Apa Gi?”

“Kamu jalan kaki aja ya? Aku tungguin di sini.”

“Ya udah Gi, biar kamu gak bosen juga, sapa tau lama.”

“Oke Sam.”
211
Sam berdiri tepat di samping Ogi yang masih saja duduk. Sam
kemudian berjalan kecil melawan keraguaannya. Dia menuju rumah yang
sebelumnya telah ditunjukkan oleh penjaga warung.
Matanya clingak-clinguk, Sam masih ragu untuk mengetuk gerbang
rumah teman ayahnya. Dia diam sebentar, menenangkan diri. Tangan
kirinya membawa bungkusan buku yang dititipkan oleh ayahnya. Tangan
kanannya telah menyentuh gerbang.

Krecek, krecek. Pintu gerbang bergoyang. Sam berteriak secukupnya,


“Assalamualaikum!! Assalamualaikum!!”

Tidak ada suara menyahut sedikit pun. Masih sepi dan sunyi. Padahal
lampu menyala cukup terang.

“Assalamualaikum!!”

“Walaikumsallam.”
Pintu kamar lantai dua terbuka. Wanita dengan hijab putih polkadot
hitam tiba-tiba muncul. Wajahnya sedikit mengantuk. Sedikit malas dan
sedikit tak rela wanita itu meninggalkan kamarnya.

“Sebentar ya!!”

Wanita itu ternyata adalah Melina Castro. Sam kaget bukan kepalang.

“Eh si Sam, ada apa Sam?”

“Eh, Mel, aku sampe lupa ya ini kosmu, padahal waktu awal masuk
aku pernah lewat sini. Maaf ya salah alamat.”

“Eeeh, nyari siapa emang?” Melina memanggil Sam. Tangannya


menahan laju Sam.

“Pak Ghazali rumahnya di sini Mel?”

212
“Oh itu Bapak kosku, iya bener di sini, tapi lagi keluar kayaknya.”

“Ya uda deh.”


“Tunggu aja, masuk dulu ayo!” Melina bergegas turun dan membuka
gerbang.
“Pulang aja deh Mel, ga usah Mel.”

“Tungguin aja, susah lagi loh nanti. Duduk di teras aja, ditemenin kok
Sam!”

Waduh, justru ditemenin itu yang membuat Sam takut. Mel, Mel, tega
sekali kamu. Harus bagaimana dia bersikap di depan Melina? Sam sepertinya
benar-benar tidak memprediksi keadaan ini.

“Duduk sini!”

Sam telah duduk di teras depan rumah kos Melina. Sam berada di
kursi kayu jati sebelah kiri, sementara Melina menemaninya di sebelah
kanan.

“Aku harus mulai dari mana ya Mel?”

“Mulai apa?”

“Mulai obrolan.”

“Ya gak tau Sam.”

Sam sangat grogi. Dia menggaruk-garuk rambutnya, padahal tidak


gatal.

“Ah iya!” Sam mengangkat telunjuknya ke atas. “Katanya kamu sudah


jadian ya sama kakak kelas yang suka bareng kamu di kantin itu ya?”

“Yang mana ah, Sam suka ngarang nih.”

213
“Hayoooo, yang tinggi sedikit brewokan.”

“Oh Kak Indraaaaa.”


“Nah iya, Indra.”

“Heeeem maunya apa Sam, udah apa belum?” Melina tersenyum, dia
meledek kekikukan Sam. Mukanya ditutup, tawanya tak terlihat jelas.

“Ah udah aja deh, masa cewe secantik kamu gak cepet-cepet dipacarin,
hehehe.”

“Alhamdulillah udah Sam,” sambil menengok wajah Sam, Melina


sedikit tersipu malu.

“Waah, selamat, selamat ya Mel! Ikut seneng loh dengarnya.” Sam


tertawa sambil menjulurkan tangannya. Melina segera menyambut. “Tinggal
traktirannya aja dong belum?”
“Mau apa emang traktirannya?”

“Ya besok aja baso dan mi Mang Warkad.”

“Okeee deh, besok ya?”

“Bener ya?”

“Iya Sam bener, jam istirahat ya tapi, bukan jam bolos pelajaran loh,
hehehe.”

“Aduh nyindir.”

“Bukan nyindir, tapi emang gitu kenyataannya. Hahaha!” Melina


tertawa menutupi mulutnya.

“Ngapain sih kamu cepet-cepet jadian tuh Mel?” Sam bertanya dengan
serius.

214
“Gak tau Sam, suka aja sama perjuangan Kak Indra, gak ada yang
berjuang lagi sih, kaya dia gitu.”

“Bukannya gak ada Mel, tapi mungkin kamunya aja terlalu cepet milih
Kak Indra.”

“Udah lama tau Sam, satu semester.”

“Kan sekolah masih tiga tahuuun Mel?”


Di tengah obrolan yang terkesan akrab itu, Sam menutupi rasa
sakitnya. Kalem dan tak ditunjukkan sama sekali putus harapannya. Sabar-
kan hatimu, balutlah kecewamu, bahagiakan perasaanmu sendiri, santai saja
Sam.

Tidak perlu ditanya lagi, Sam menutup malam itu dengan ucapan,
“Terima kasih, Bah.”

***

215
V
Perpisahan

216
Makan Berdua

Make haste slowly.

Semua rumah di Kota Cirebon (mungkin) telah membuka pintunya.


Masing-masing memiliki aneka macam kesibukan dan tujuannya sendiri. Ibu
rumah tangga bersiap memasak. Kepala rumah tangga memakai kemeja
untuk ke kantor. Anak-anaknya ada yang masih tidur atau sudah berkerja.
Semuanya yang pasti berebut cepat menyelesaikan tugasnya.

Hari ini langit begitu cerah. Warnanya biru, awannya cukup, dan
matahari tak terlalu bersinar. Hujan sepertinya tidak akan turun, panas pun
tak terlalu menyengat. Indah sekali, paling indah di antara langit-langit yang
pernah dilalui oleh Sam.

Wajah Sam melihat tinggi ke atas. Dia berlaku bak orang gila yang tak
jelas maunya. Sebentar-sebentar dia tersenyum, tak lama berselang dia diam.
Ah, kenapa sih Sam?

“Sam belum berangkat?”

“Sebentar lagi Bah.”

“Biasanya sudah ngluyur, tumben.”

“Iya bentar lagi, Sam lagi ngeliatin ciptaan Allah dulu. Indah sekali
Bah.”

“Oh, ya emang biasanya juga begitu Sam langit mah, kamu aja jarang
memperhatikan.”

217
“Sering kok Bah, gak tau kenapa hari ini kayaknya beda aja.”

“Heem, pasti lagi senang, jangan terlalu seneng Sam, jangan terlena.
Semua itu ada masanya.”

“Terlalu untuk hal-hal yang positif itu wajib Bah hukumnya, hehehe.”
“Ah terserahlah.” Ayah Sam tak menggubris berlebihan. “Ya udah ya
Abah masuk dulu, kamu hati-hati.”
“Iya Bah.”

Sam tak menengok ayahnya yang hendak masuk ke dalam rumah. Dia
terus memandangi tiap sudut langit yang indah. Burung-burung yang lewat
dalam kilasan matanya pun tak luput. Sam, semoga saja kamu tak menjadi
gila.

“Aku harus siap nanti siang.”


Oh, iya, nanti siang kan Melina janji untuk mentraktir Sam. Pantas
saja, dia sangat sumringah pagi-pagi buta.

***

Kantin sekolah sudah mulai ramai. Suara-suara sudah tak jelas lagi
ungkapannya. Semua saling berebut keras dan mendominasi.

Semua kursi kantin hampir penuh seperti biasanya, saat itu. Hanya
ada satu kursi yang tersisa. Kursi itu sengaja dipesan seorang wanita untuk
sahabat barunya. Wanita itu adalah Melina.

Melina masih asyik membaca buku LKS-nya. Samudra, orang yang


paling ditunggunya siang itu belum datang juga.

“Mel, sudah lama menunggu?”

218
Glotrak! Suara buku dijatuhkan ke atas meja terdengar keras, tapi
masih kalah keras dengan suara orang-orang yang ramai berbicara di kantin.

“Oh, barusan Sam.”

“Sorry ya aku telat, ada ulangan agama dulu.”


“Eee eee enggak papa kok.” Melina sedikit merapikan posisi duduk-
nya. Jilbabnya diseka-seka agar kelihatan pas.
“Eh, ini sudah dipesenin sih.”

“Eee iya Sam, tadi eee aku yang pesenin, kelamaan sih, takut habis.”

“Inisiatif juga ya kamu? Gak salah kepala sekolah ngasih kamu piala
murid berprestasi.”

“Aaaaaah,” Melina terlihat malu. Hidungnya mekar, “apasiiih ah Sam,


bahasamu juga gegayaan. Inisiatif, kaya tau artinya aja.”

“Lah, inisiatif aja masa gak tau? Inisiatif itu misalkan nama kamu
Melina, berarti inisiatif-nya huruf M.”

“Itu inisial Sam, inisial bukan inisiatif. Inisiatif tuh misalkan ada
Ujang sama Latif lagi jalan bareng, terus temennya dateng manggil si Latif,
padahal yang dipanggilnya itu malah Ujang. Ujang pasti bilang, „Ini sih
Latif.‟ Itu inisiatif tuh.”

“Haddduh, bukan itu juga Mel, inisiatif itu misalkan kamu ngangkat
telepon suaranya gak dikenal tuh.”

“Itu mah „halo, ini siapa?‟ bukan inisiatif … Sam, Sam.”

“Hahaha! Ngomong-ngomong aku makan ya ini?”

“Iya Sam sok dimakan.”

219
Sam mengubah cara duduknya. Kakinya kini naik dan diangkat ke
atas kursi. Persis seperti orang sedang bersila, namun di atas kursi. Tangan-
nya cekatan memasukkan mi ke dalam mulutnya. Bunyi sendoknya tak
terdengar, cukup rapi juga caranya meraih makanannya.

Melina mengodek-godekan kepalanya. Tidak banyak hal yang bisa dia


lakukan. Heran juga dia, mengapa bisa-bisanya ketemu dengan orang seperti
Sam.

“Mel, enak loh ini, kalau mau ambil aja.” Sam menawarkan
makanannya kepada Melina. Sedikit sok-sokan sih, tapi ya begitulah Sam.

“Engga Sam, tadi aku udah duluan makan kok.”

“Yang bener? Jangan malu-malu Mel.”


“Bener, bener kok Sam.” Melina mendorong suapan Sam. Iseng sekali
memang lelaki itu. “Ihhh maluuu Sam ah.”
Pengunjung kantin semua menatap sinis. Ingin ketawa, ingin merasa
jijik, tetapi tidak bisa diungkapkan. Nyinyirlah yang terjadi. Sam, Sam, sebe-
gitu mengerikannyakah dirimu sampai semua jadi takut?

Sam terus menikmati mi pemberian Melina. Melina tidak berhenti


memperhatikan.

“Habiiiiiis!” kedua tangan Sam diangkat tinggi-tinggi. “Berapa


waktunya?”

“Eeeee, tiga puluh menit, kamu kalah!”

“Haaaaah yang bener?”

“Iya bener, kamu kalaaaaaaah.”

220
“Yaah, jadi gimana dong? Padahal kalau menang duitnya mau aku
pake buat umroooh.”

“Hahahahaha ada-ada aja ih si Sam!”

Melina terbahak-bahak. Giginya kini terlihat. Putih, rapi, dan bersih.


Sam hanya melongo menyaksikan keindahan wanita pujaannya.

“Eh eh Mel, aku mau tanya.”

“Apa Sam?”
“Sudah berapa lama kamu jadian?”

“Aaaah cemburu nihhhh, hehe.”

“Hueeeeek, enggalah,” ekspresi seperti orang hendak muntah darah


dipraktikkan Sam.

“Iiih jorok!” Melina mengibas angin di depan hidung dan mulutnya.


“Emm, aku jadian sudah hampir sebulan lebih Sam.”

“Haaaah, lama banget, kok aku baru tau sekarang sih?”

“Kan kamu mah emang gaulnya di pedalaman.”

“Huuuu, pedalaman hatimu ya?”

“Hahaha, pedalaman karakter?”

“Itu pendalaman Mel, mungkin pedalaman alam yang indah


sekaaliiiii!” Sam melentangkan tangannya.

“Itu pemandangaaaaan Sam!” Melina memukul kecil tangan Sam.


“Kemarin tuh, di kosku ada pedalaman listriiik.”

“Aaaah itu pemadaman, hahaha! Pedalaman China tuh serem ya kalo


malem, hiii!” Ekspresi Sam dibuat-buat, seolah dia sedang ketakutan.
221
“Pemakaaaaman itu mah!”

“Hahahaha udah ah, gak serius ngobrol sama Melina tuh.”


Keduanya semakin akrab, semakin dekat, dan semakin menghilang-
kan sekat-sekat yang sebelumnya begitu tinggi. Sam sukses menampilkan
dirinya yang baik di pertemuan pertama. Selamat ya Sam. Hehe.

“Mel, seandainya aku culik kamu, Kak Indra marah gak ya?”
“Aaaih, ngapain nyulik-nyulik, iseng aja tuh!”

“Ya ga papa, biar Kak Indra pusing aja.”

“Nah iya kalo pusing, kalo ternyata dia malah cari pacar baru gimana
hayoooo?” Melina membuat Sam bingung dengan lambaian penolakan
tangannya.

“Ya kalo cari pacar baru berarti kamu juga harus cari dong.”

“Kan aku diculik, gimana aku carinya?”


“Ya kamu sama aku, karena gak ada orang lagi di situ.”

“Ahahaha, maunya!”

“Mau dong, gratis sih!”

“Hiiii, sukanya gratisan aja, ga ada usahanya.”

“Usahanya minta.”

“Gak mau kalaaaaah!” Melina memukul Sam dengan LKS yang dia
bawa.

“Aku kalah kok, kalo …”

“Kalo apa? Awas aneh-aneh.”

222
“Kalo disenyumin kamu Meliiiiina!” Sam menarik tubuhnya ke bela-
kang. Dia takut Melina memukulnya kembali.

Tak lama setelah itu bel selesainya istirahat berbunyi. Melina dan Sam
berpisah. Keduanya melewati arah yang berbeda untuk sampai di kelas
masing-masing.
“Hey Mel!!” Sam sempat memanggil Melina sebentar. Melina
menoleh. “Terima kasih ya.”
“Iya Sam.”

Satu hal yang perlu dicatat. Dalam perjalanan itu, Melina selalu
tersenyum bahagia. Wajahnya tak berhenti memancarkan sinar positif.

***

223
Harus Selesai Semua

Di antara bisingnya kota. Di antara riuh gemuruhnya malam. Dalam


ruangan kecil itu, hanya tersisa tiga orang manusia yang sedang serius
membicarakan suatu hal. Hal itu berkaitan dengan hari ini, esok, dan
bagaimana seterusnya nanti akan dijalani.
Di tengah meja itu ada lampu damar yang menyala. Tak terang, tapi
tak juga redup, hanya bisa dikatakan cukup. Tidak ada benda lain yang
mengiringi di sekitarnya, hanya damar itu.

Dinding dengan lukisan Kabah besar tak kelihatan putihnya. Pantulan


merah yang menyala-nyala menjadi gantinya. Menyeramkan.

Sam, ayah, dan ibunya duduk mengelilingi meja bundar itu. Semua
matanya tegang. Ucapan yang keluar pun tidak ada yang tak serius.
Semuanya demi kebaikan.

“Jadi kamu ingin terus melanjutkan atau bagaimana?”

“Ingin terus Bah, Sam yakin bisa memperbaiki semuanya.”

“Bohong.” Ibu Sam memotong.

“Jangan dipotong dulu Bu, biarkan.”

“Sam janji akan masuk IPA seperti apa yang Abah dan Ibu pengen.”

“Benar? Kalau tidak apa sanksinya?”

224
“Sanksinya Sam akan dimasukkan ke sekolah manapun terserah Abah
dan Ibu.” Sam menjawab tertatih. Baju polos putihnya dia pegangi tegang.
Sarungnya bergoyang-goyang mengikuti kakinya yang gugup.
Ibunya memangku dagu dengan kedua tangan. Daster hitamnya
membuat Sam merinding dan tak berkutik.
“Sam itu merokok, bolos, berantem, semua dilakukan!!!!” Ibunya
mulai bicara.
“Mau jadi apa sih cita-citanya?”

“Iya Bu, maafkan Sam.”

“Maaf terus.”

“Sam janji Bu ini yang terakhir.”

Ayah Sam masih diam. Dia memberi kesempatan pada istrinya untuk
bergantian memarahi Sam.

“Cobalah Sam itu sadar sedikit, sekolah itu mahal jangan buat main-
main Sam.”

“Iya Bu iya, Sam minta maaf.”

“Sudah, sudah.” Ayah Sam angkat bicara. “Sam, sekarang kamu


sebagai lelaki harus bertanggung jawab. Laki-laki itu yang dipegang apanya
sih selain janjinya? Tepati janjimu!! Ibu, sekarang Ibu jaga Sam seperti dulu,
kalau Ibu lihat Sam melanggar, laporkan ke Abah.”

Semua mendadak menjadi sepi. Nada bicara ayah Sam cukup tinggi.

“Sepakat semuanya?!!”

“Sepakaaat!”

225
“Sudah salaman.”

Akhirnya selesai sudah masalah keluarga itu. Tidak ada pertempuran


yang berlarut-larut, semuanya dengan cepat diselesaikan. Benar-benar unik
mereka bertiga itu, gampang sekali marahan dan gampang sekali saling
memaafkan.
“Sekarang Ibu, ayo ambilkan makan.”

Ibu Sam pun berjalan jauh menuju dapur.

“PLN kurang ajar ya Bah, mati lampu lama sekali.”


“Iya, terus-terus begini, tapi listrik tambah naik.”

***

226
Mulai Beda

Malam di tempat yang lain.


Ada pot bunga, mungkin juga jam dinding besar yang terpajang di
teras sebagai saksinya.
Melina duduk berdampingan dengan Kak Indra. Tidak ada meja yang
menyekatnya. Sengaja sepertinya.
“Yang, kamu kok tadi siang makan di kantin sama preman itu gak
bilang?”
“Preman? Aku gak punya temen preman, Yang.”

“Ya itu, si Samudra brengsek itu.”

“Oh, dia orangnya baik, dia temenku Kak. Jangan ngatain dia
brengsek dong.” Melina sedikit kesal. “Sendirinya dikatain gitu pasti gak
mau kan?”

“Ya jelas.” Kak Indra meninggikan nada ucapannya. “Aku kan murid
berprestasi, brengsek dari mananya? Sedangkan dia berantem, bolos, dan
buat onar terus kerjaanya, Yang.”

“Ya sama Sayang, semua orang itu sekalipun dia nakal, dia pasti gak
mau dibilang nakal. Ada alasan mereka semua melakukan hal itu.”

“Oke, maaf kalo aku keterlaluan.” Kak Indra merendahkan kembali


intonasi suaranya. “Aku gak seharunya bilang gitu.”

227
“Jangan ke aku,” Melina cemberut, “ke Samudra dong sana.”

“Iya, tapi kenapa sih kok kamu belain dia?”


“Sayang gak tau kan? Dia yang ada saat aku hampir mati di perkemah-
an itu, gak ada orang lain.”
“Oh, jadi laki-laki baik yang kata kamu itu si Samudra itu?”

“Iya,” Melina melihat ke arah Kak Indra. Matanya membesar menyam-


paikan kesan keluguan, “kenapa emang?”

“Gak papa sih, pantesan udah akrab, kirain aku baru kenal.”

“Oh, hehehe.”
Kata-kata di antara keduanya tiba-tiba lenyap ditelan malam. Terdiam
cukup lama dua insan itu. Melina sibuk membolak-balikkan halaman
novelnya. Kak Indra asyik sendiri dengan gadget mahalnya. Betapa ruginya
waktu yang disia-siakan.

***

Hari berlalu begitu cepat. Malam yang gelap kini perlahan terang
benderang. Matahari memang tak muncul, tapi sinarnya cukup membuat
seluruh isi bumi bagian Cirebon terlihat. Cuaca yang cukup mendukung
untuk melanjutkan tidur.

Melina baru saja selesai dengan urusannya di kamar mandi. Baju


sekolah yang dia pakai pun belum mampu mengubur wewangian sabun yang
melekat pada tubuhnya. Hati siapa yang tidak bergetar melihat parasnya yang
masih segar itu. Sepertinya sih tidak ada satu orang pun yang tidak
meliriknya.

“Aha, surat Heldy tadi malam aku pajang ah!”

228
Melina mengambil satu buah double tip (lem yang bisa merekatkan
depan belakang itu loh). Dia kemudian menempelkan surat Sam atas nama
Heldy itu di dinding kamarnya.

Hy Engel

Entah kamu tahu atau tidak, malam ini aku sedang berusaha mencintaimu, dengan
cara yang tidak sama sekali engkau tahu. Percayalah, engkau tidak akan tahu Engel.
Ini puisiku, supaya impas dan aku tidak lagi berhutang sajak padamu.

Malam
Jangan kau rekatkan apa yang sudah hampir menyatu.

Diamlah, lihat apa yang terjadi selanjutnya.

Jangan kau bisukan apa yang terlanjur lantang.

Merenunglah, nikmati apa yang akan dilakukan.

Begitu saja ya, Engel.

Heldy 

Sreeeeeeeeeeek!

Melina merobek bagian puisi dalam surat tersebut. “Ini aja, yang
lainnya gak penting. Maaf ya Heldy.”

229
Seperti orang gila saja, Melina berbicara sendiri.

Melina sudah melupakan kejadian semalam. Dia tertawa dengan


kegembiraan yang sampai kapan pun tidak akan pernah diketahui oleh Kak
Indra. Kebahagiaan itu adalah berbagi surat, berbagi cerita dengan seseorang
yang Melina kenal dengan nama Heldy.
***

“Kok kamu berangkat sendiri Mel?”

“Iya Des, Kak Indra gak tau ke mana.”


“Loh kok gak tau sih, lagi musuhan?”

“Kayaknya sih begitu, aku gak bisa bedain marahan sama baikan itu
gimana, sih? Hehe.”

“Aaaaah, kamu mah emang gitu, jarang sekali peka terhadap perasaan
orang lain. Ga boleh kaya gitu Mel!” Desi menepuk kecil punggung Mel.

“Salah ya Des?”

“Salah bangetlah. Bayangin coba, berapa banyak orang yang ngerasa


dirugiin gara-gara sikap gak pekanya kamu?”

“Termasuk kamu?”

“Kadang sih gitu. Yang jelas ya Mel, manusia itu semua sama kaya
kamu, mereka itu punya hati, punya pikiran, jadi, mereka juga pasti merasa
dan mikir sama kaya kamu juga.”

“Deeeeees!” Melina memeluk erat tubuh Desi. “Maafin aku kalo se-
ring gak peka sama kamu.”

230
“Aaah Mel!” Desi balas memeluk Melina. “Udah ah lepasin malu.”
Kemudian Desi melepaskan pelukannya dan tentu, pelukan tangan Melina
pun disingkirkan.
“Ih, kenapa Desi disingkirin gitu tanganku?”

“Malu ah Mel, lagian ini bukan sama aku, peluk tuh Kak Indra. Abis
kamu apain sih sampe dia ga mau nganter sekolah?”

“Gak tau Des, tadi malem dia cuma marah soal aku nraktir Samudra.”

“Hah, nraktir Samudra? Yang benerrrrr aja, ya jelas dia marah!”


“Kok bisa?”

“Ya Samudra itu kan anak nakal, kamu taulah dia. Kak Indra pasti
kesel kamu deket sama anak nakal.”

“Ih,” Melina cemberut, “kenapa sih pada bilang Samudra nakal,


kenyataanya kan dia baik sama aku. Dia yang nyelametin nyawa aku.”

“Itu kebetulan!!”

“Gak Des, refleks seseorang dengan persahabatan yang tinggi.”

“Iya mungkin, tapi itu gak bisa jadi alesan buat kamu nilai orang itu
baik.”

“Mungkin, tapi nyatanya aku ngerasa dia baik.”

“Ya uda deh terserah.” Desi memutar tangannya ke atas, kesal.


“Sekarang kamu harus bener-bener minta maaf sama Kak Indra.”

“Ya Allah, perkara gitu doang?”

“Iyalah, kamu juga pasti marah kan kalo liat Kak Indra sama cewe
lain?”

231
“Selama alasannya masuk akal sih, aku gak bakal marah Des.”

“Ya, itu karena belum terjadi, nanti coba kalau sudah terjadi, pasti
kamu bicara hal yang beda.”

“Gak, itu udah prinsip.”


“Selalu kembalinya ke prinsip, bosan aku ah.” Desi meninggalkan
Melina. Dia sepertinya ingin memberi pelajaran terhadap rasa cuek Melina.
Paling mudah menyingkirkan wajah orang lain dari hadapan muka
kita memang begitu, katakanlah jika apa yang menjadi jawaban kita itu
prinsip, seperti yang Melina lakukan pada Desi. Hehe.

Melina hanya melongo. Matanya melotot memperhatikan kepergian


Desi. Dia kemudian melepaskan tasnya. Tak tahulah, dia juga bingung harus
melakukan apa. Pasrah saja Mel.

Kini tugas lain telah menanti Melina. Tas pink andalannya dia buka
sedikit. Surat dengan tulisan tangan rapi, untukmu Heldy, telah berada di
pangkuannya. Dimasukkanlah surat itu ke dalam meja.

“Kamu diam di sini ya, jadilah kata-kataku yang baik.”

***

“Meeeel, mellllll!”

Desi berlari kencang dari luar kelas. Keringatnya bercucuran,


berjatuhan ke lantai. Bajunya basah sedikit. Benar-benar sepertinya ada
berita yang begitu mencekam.

“Deees, ada apaaa ah heboooh deh?”

232
Melina sibuk mengerjakan tugasnya. Dia tidak sempat menampilkan
ekspresi kekagetan yang sama dengan Desi. Dia sepertinya kembali tidak
peka. Mel, Mel, dasar kamu ini.
“Akuuuu lihat Kak Indra makan bareng cewe lain tadiiii.”

“Yang bener!!???”

“Iya Meeeel.”
“Di mana Des? Antar aku ya!”

“Iya ayo cepet ah!” Desi menarik tangan Melina. Dibawanya Melina
menjauh dari kelas. Terus dan terus sampai ke kantin. “Tuh Mel!”

“Iya ya.” Melina melihat kejadian itu. Dia hanya bisa mengungkapkan
keheranannya dengan datar.

“Marahin dia Mel.”

“Ih, barangkali itu temennya.”


“Temen masa senyum-senyuman bareng, pegang-pegang tangan tuh
liat!”

“Ya temen deketlah berarti.”

“Ya gak sampe segitu juga Mel!”

“Jangan pancing aku Des, aku gak mau kampungan!”

“Maksudmu?”

“Ada waktunya nanti aku marah setelah sudah jelas.” Melina


memalingkan wajahnya. Melina berganti menarik tangan Desi kencang.
“Udah ah kembali ke kelas lagi.”

“Mel, tapi kan itu udah jelas Mel?”

233
“Jelas menurut apa yang di pikiranmu, tapi belum secara masalahnya.
Jangan pancing aku untuk emosi, santai aja.” Melina terus saja berjalan.
“Ayo ke kelas cepet.”
***

234
Kacau

Love without risk is an impossibility, like war without death. – Alain Badiou

Alain Badiou adalah seorang filsuf Prancis kelahiran Maroko 17


Januari 1963. Dia juga dikenal sebagai matematikawan dan pemikir teolog.
Garis-garis pemikirannya dipengaruhi oleh ahli psikoanalisis, Jacques Lacan.
Saat ini dia mengajar di University of Paris VII.

Badiou berbeda dengan filsuf kebanyakan. Dia mencoba menggali


kembali esensi kebenaran dalam dunia filsafat yang sudah sangat jarang
sekali dibahas. Salah satu ungkapannya mungkin cocok pada apa yang
sedang Sam coba lakukan di bawah ini, yaitu ―singular truth has its origin in an
event‖. Kebenaran tunggal (akan) memperlihatkan keasliannya dalam sebuah
kejadian.

“Kamu mungkin harus jadi aku Mel?”

“Untuk apa aku jadi kamu Sam?” Melina memasang wajah yang
teramat heran.

“Ya itu sih kalo kamu mau, kalo gak ya udah.” Sam mulai sedikit jual
mahal.

Sam, Ogi, dan Melina duduk bersama di teras kos Melina. Sam dan
Ogi sedang menunggu kedatangan Pak Ghazali, seorang teman ayah Sam.
Melina bertugas menemani keduanya menanti kehadiran Pak Ghazali.

235
Sam menggunakan celana pendek bercorak tentara. Kantong-kantong
yang berada di kanan dan kiri celananya cukup untuk menaruh seluruh kue
yang disuguhkan Melina. Dia juga memakai baju bergambar wajah Nelson
Mandela. Lagaknya sudah seperti buronan perang yang sedang kabur.

Sementara Melina, meskipun di sekitaran kosnya sendiri, dia tetap


menutup rapi auratnya. Jilbab putihnya dia pakai pas dengan baju tidur
berwarna biru. Kacamata yang menjadi andalannya tidak dia gunakan.
Melina tetaplah cantik meskipun penampilannya sedang sederhana.
“Emang kenapa sih Sam?” Ogi ikut bertanya. Dia rupanya mulai
penasaran juga. Kemeja cokelatnya ikut merekat ketika tubuhnya dia
majukan.

“Jangan Gi, nanti jawabannya gak nyambung, mending Melina aja


yang nanya.” Sam menolak menjawab pertanyaan Ogi.

“Ya udah, sekarang aku tanya, kenapa aku harus jadi kamu Sam?”
“Kenapa ya?”

“Yeeee malah balik tanya, jawab ah!” Melina kesal ingin segera tahu.

“Ya karena cuma itu satu-satunya cara untuk tau bagaimana rasanya
mengagumi kamu. Kamu harus jadi aku.” Sam menatap teduh mata Melina.
Dia berbicara melibatkan segenap hatinya. “Begitulah Mel.”

“Aaaaaaaaah so sweet.” Melina terpukau dengan apa yang telah


diungkapkan Sam.

“Huaak cccuuuuuh!” Ogi meludah. Wajah muak bercampur tawa dia


suguhkan dalam suasana penuh dengan keharmonisan itu. “Gombal busuuk,
murahan!”

236
“Hahahahaha satu kosong, satu kosong!” Sam meledek sambil menari-
nari kecil.

Selalu ada duka dalam setiap bahagia. Selalu ada bahagia pula sehabis
datangnya duka. Sama seperti malam itu, di tengah tawa dan canda yang
terlontar, tiba-tiba saja …
Gruuuung, gruuuuuung, ngeeek!

Motor Ninja hijau parkir tepat di depan pagar kos Melina. Melina
mulai gugup, tak lagi tenang. Dia menyuruh Sam dan Ogi untuk menjauh
dari kursi yang disediakan Melina.
“Udah kalian ke sana aja, ke deket taman.”

“Mel napa Mel?” Ogi berontak. “Napa Mel?”

“Udah nurut aja, sanah cepet ah.”


“Emang siapa dia Mel?”

Pengendara motor itu belum juga membuka helmnya. Hanya menatap


dan kemudian menggelengkan kepala. Melina kemudian keluar mengham-
piri pengendara motor tersebut. Dan …

“Kak Indraaaa Sam,” Ogi berbisik kecil.

“Iya Gi.”

Kedua orang itu mencuri-curi pandang tanpa mendekat. Mereka pun


tak mendengar apa yang menjadi topik pembicaraan antara Melina dan Kak
Indra. Biasalah, hanya menebak-nebak yang tak pasti saja.

“Marahan kayaknya Sam?”

“Gak ah, santai gitu Gi mukanya.”

237
“Ya gak mau keciri aja.”

Sekitar sepuluh menit, Melina dan Kak Indra berbincang serius. Kak
Indra tak juga turun dari motornya yang keren itu. Tidak tahu juga apa yang
menjadi alasannya begitu. Mungkin karena ada laki-laki lain yang sudah
menghampiri Melina. Mungkin juga dia merasa gengsi kalau harus terpaksa
minta maaf pada Sam.

Gruuuuuung, gruuuuuuung!
Motor Kak Indra kemudian pergi. Asap-asap kepulan dari mesin dua-
tak berterbangan tak karuan. Baunya mengganggu penciuman dan tak
menyehatkan paru-paru.

Melina kembali pada tempat duduknya. Dia tersenyum lebar meman-


dangi Sam dan Ogi yang pura-pura mencabuti dedaunan.

“Eh lagi pada apa, abis ngintipiiin ya hayo?”


“Eeeh ga Mel, ini ada ulet.”

“Iya Sam, banyak ya uletnya?”

“Iya Mel banyak banget ini, pasti ga pernah disiramin ya?”

Melina tambah tertawa terbahak-bahak.

“Hahaha kalian itu dasar, bohong ajah ah!”

“Ih bener deh, coba sini!”

“Gak ah, udah kalian sini, duduk lagi di sini, mau denger ceritanya
gak?”

Sam dan Ogi berlarian menuju ke tempat duduk di sebelah Melina.

“Gi geser Gi, awas aku dulu!”

238
“Aku duluan Sam ah!”

Memang seperti anak-anak saja kedua orang itu. Berebut kursi dan
saling tak mau mengalah. Sam akhirnya dipangku di atas paha Ogi.

“Ih duduknya jangan pangkuan.”


“Gak papa Mel, udah biasa, di kelas juga kaya gini kok.”

“Masa sih?”

“Iya Mel, bener kata Ogi.” Sam membenarkan ucapan Ogi. “Iya kan,
Gi?”

“Iya Sam.”
Malam mulai bertambah larut. Bintang sudah bersinar semakin
terang. Bulan yang purnama pun terlihat bundar seperti uang koin seratus
rupiah. Sungguh malam yang mengasyikan waktu itu.

“Apa ceritanya?” Sam memulai.


“Tadi aku dong, habis diputusin sama Kak Indraaaa, yeeeeeeeeee!”

“Hah? Diputusiiiin? Kok bisa Mel?”

“Iya, gara-gara kalian berdua, terutama kamu Sam.”

“Kok nyalahin aku?” Sam terheran-heran.

“Iya, minta traktiran gak jelas sih, apa banget coba?”

“Hahahaha ya syukuran jadian!”

“Iya, syukuran sekalian putus juga.” Melina nyeletuk menyambung


ucapan Sam.

“Hmmmm bisa-bisa, kamu kenapa putus kok malah seneng sih?”

239
“Ya gak papa, aku sebenernya suka sama cowo, namanya Heldy, Sam,
Gi. Tapi aku ga pernah ketemu dia, nanti kalo udah ketemu aku kenalin
deh.”
“Heldy?” Ogi tampak bingung. “Seumur-umur aku baru denger nama
itu Mel?”
“Iya aku juga Mel.” Sam pura-pura tidak tahu. Dia mengimbangi Ogi
dan menjaga rahasia pribadinya.
“Pokoknya dia itu orang romantis yang pernah masuk ke dalam hidup
aku.”
“Kembali lagi deh ke awal, napa kamu seneng padahal kan kamu baru
putus?” Ogi mencoba tetap fokus pada hal yang sebelumnya mereka
bicarakan.

“Ya, gak papa Ogi, napa emangnya? Ogi maunya Mel terus sama Kak
Indra gitu?”

“Ya bukan gitu Mel, hebat aja, putus bukannya nangis malah seneng,
hehe. Kasih alesan dong.”

“Iya Mel, kasih alesan.” Sam ikut meminta jawaban Melina. Dia
memasang wajah memelas.

“Gini ya, pacaran itu kan sesuatu yang kita gak pernah tau seberapa
besar dia suka aku. Aku beruntung dong kalau dia mutusin aku sekarang,
aku jadinya tau kalau dia itu suka sama aku gak tulus. Dia itu maunya aku
jadi apa yang kaya dia mau aja, sedangkan aku kan punya keinginan sendiri
Gi, Sam. Iya gak?”

“Iya sih.”

240
“Nah itu, makanya pas putus aku seneng, aku seneng dijauhin dari
orang yang pura-pura baik karena dia emang mau dapetin hati aku. Awalnya
aja kaya yang iya, ujung-ujungnya mah nuntut juga.”
“Hmm gituuu ya.” Sam merespon jawaban Melina dengan sederhana.

Di antara ketiga orang itu, Sam mungkin adalah orang yang paling
serius mendengarkan Melina. Dari percakapan yang dilakukan, dia menjadi
lebih tahu siapa Melina, lebih paham mengenai sifat Melina dan lebih
mengerti bagaimana dia harus menghadapi Melina. Suatu bocoran ilmu yang
didapat dengan cuma-cuma. Memang bagus rezekimu Sam.

***

241
Pesan dari Abah

Buruh-buruh berjalan memadati kota. Aneka macam bendera


organisasi berkibar berebut tinggi. Seperti biasa, tanggal 1 Mei tidak akan
luput dengan demo besar-besaran memperingati hari buruh.

Berbicara mengenai buruh, artinya berbicara juga mengenai Karl


Marx. Pemikir sosialis ini terkenal sebagai pembela kaum buruh yang paling
radikal. Dia pernah mengeluarkan satu teori mengenai M-C-M1 yang berarti
modal-commodity-modal1. Pada intinya, seorang pengusaha mengeluarkan uang
sekecil mungkin untuk mendapat uang yang lebih banyak dan besar. Hal itu
sah-sah saja, yang kemudian jadi soal adalah ketika kekayaan itu hanya
terbagi pada satu orang dan sementara buruh semakin sengsara. Itulah
anggapan Marx. Tidak adil!!

Di sela-sela pagi. Mencuri suara di antara burung-burung yang asik


bernyanyi, ayah Sam mengutip satu kalimat Karl Marx yang terkenal,
“Sesuatu akan terlihat bentuk aslinya ketika dia dalam tekanan.”

“Wah, berarti pas kemarin Sam lemah itu menunjukkan aslinya Sam
ya Bah?”

“Ya, maka dari itu, berlatihlah terus jadi kuat Sam.”

“Iya Bah.”

“Paham kan mengapa Abah tidak mau kamu lemah?”

“Paham Bah sekarang!!!!”

242
“Besi yang panas itu paling asik untuk ditempa, sedang besi yang
lembek itu dikilo saja kadang tak laku.”

“Benar juga ya Bah.”

Sam selalu merasa bahagia bila ayahnya sudah bercerita. Daya tahan
tubuhnya terasa meningkat tajam, tanpa perlu vitamin. Mungkin benar kata
ayah Sam, “Ilmu adalah sumber kesehatan manusia sesungguhnya.”

Kini mentari pagi mulai benderang. Bising kendaraan sudah


terdengar. Tidak kondusif lagi untuk bertukar ilmu dalam suasana yang
mulai gaduh. Artinya, Sam harus lekas berbegas menuju sekolahnya.
“Sampai jumpa Abah.”

“Sampai jumpa Sam.”

“Assalamualaikum!”
“Walaikumsalam!”

***

243
UKS

Tidak ada tempat bolos pelajaran terbaik selain UKS (Unit Kesehatan
Sekolah). Setiap kita bertemu dengan guru yang killer, membosankan, dan
tak dimengerti pelajarannya, maka UKS adalah jawabannya. Pura-pura
pusing, sakit perut, atau tidak enak badan menjadi modalnya. Setelah surat
sakit turun, bebaslah kita tidur sepanjang hari di UKS.

Trik itu pun seringkali dilakukan oleh Sam pada waktu itu. UKS di
sekolah Sam letaknya persis di samping masjid sekolah. Sam berjalan
tergopoh diantar oleh Benjamin dan Ogi. Ya, meskipun acting tapi harus
kelihatan sebaik mungkin, tujuannya agar tidak ketahuan.
“Gi, Ben, titip absen ya. Aku di sini aja, tugas agamaku belum
dikerjain.”

“Tenang Sam, gampang itu mah.”

“Makasih ya.”

“Iya, tinggal dulu ya!”

“Oke siap!”

Biasanya satu orang teman mengikuti tidur di UKS. Alasannya satu,


menemani siapa tahu yang sakit itu butuh bantuan. Tak logis memang, tapi
terkadang berhasil juga. Namun kali ini, Sam sendiri.

Sam terlihat mulai tiduran lelah tanpa sepatu menjadi alasnya, hanya
bersisa kaos kaki saja. Bajunya keluar dari dalam celana. Benar-benar sepi

244
dan sendiri dia di dalam UKS. Hanya barang-barang kesehatan dan obat-
obatan yang menjadi kawannya.

Suara-suara murid di dalam kelas di sekitar ruangan kesehatan itu


terdengar. Beberapa siswa yang mengaji dari sekitaran masjid pun melintasi
kuping Sam, meski sayup. Tidak banyak udara yang masuk, hanya kecil saja
namun cukup. Menjenuhkan memang, tapi bagaimana lagi, daripada harus
dihukum.

Jika ada istilah tidak ada suatu yang kebetulan, maka itu mungkin saja
benar, tapi tidak berlaku untuk siang itu. Kebetulan itu kadang memang
seringkali ada. Melina tiba-tiba saja datang menyusul Sam. Tentu bukan
hendak membolos, tapi dia benar-benar sakit. Mukanya pucat dan matanya
merah lebam. Melina diantar oleh Desi.

“Aiih, janjian ya ini?” Desi menyentak sedikit. Dia kaget melihat


adanya Sam di dalam UKS. “Haduh.”

“Hah janjian gimana Des?” Melina bingung. “Janjian sama siapa?”

“Tuh, si anak bandel, Sam.”

“Mana, mana dia?” Melina melongok.

“Itu lagi ngorok.”

“Aduuuh suaranya berisik!”

“Udah ah tidur aja di kasur sebelahnya, daripada sakit.” Desi memak-


sa Melina. Dia membukakan sepatu Melina. Merapikan kasur yang akan
ditiduri oleh Melina. “Nih cepet tidur.”

“Iya Des.” Dan breeeg, ambruk sudah tubuh Melina di atas kasur.
“Makasih ya Desi, kamu baik sekali.”

245
“Iya Mel, kalau si badung itu gangguin kamu teriak aja ya, okeh?”

“Iyaaaaaaa Des, siaaaap!”


Desi kembali ke kelasnya. Dia berjalan begitu cepat. Sepertinya ada
pelajaran penting yang memang menuntutnya untuk masuk ke kelas sesegera
mungkin.

Kini, di dalam ruangan berukuran sekitar 5x4 itu hanya tersisa Melina
dan Sam. Keduanya bermimpi dalam satu tempat sama. Tidurlah yang
nyenyak.

***

Kahlil Gibran suatu ketika pernah melantunkan syairnya yang teramat


indah. Saking indahnya syair itu, tidak sedikit orang yang terlena lalu
mengutipnya. Begini bunyi syairnya, “… seorang saja, yang membuat harimu
bertambah cerah, membuat kegembiraanmu semakin semarak, dan mem-
buat hatimu semakin ringan … seseorang saja, seorang saja yang kamu ingin
hidup baginya. Maka kamu memiliki sesuatu yang disebut cinta.”

Setiap manusia, selalu ingin kehidupannya penuh dengan cinta.


Setiap manusia, ingin hari-harinya dihiasi oleh bunga-bunga semerbak
layaknya taman cinta. Setiap manusia, ingin jejak langkah dan tari jemarinya
menari di pusara cinta. Kebetulan Sam adalah seorang manusia, Sam
tentunya ingin pula merasakan hal itu.

Bel pelajaran terakhir telah berbunyi, tinggal menunggu satu nada


lagi, maka berhentilah seluruh kegiatan yang ada di SMA N 1 Kota Cirebon.

“Mel, kamu sakit apa sampai ada di sini?”

“Ah engga Sam biasa aja, pusing.”

“Kok merah matanya, nangis?”


246
Jauh dari keramaian kelas. Jauh dari tumpuk-tumpukan tugas. Jauh
dari pusing dalam kegiatan mengerjakan ulangan. Di UKS, Sam dan Melina
tengah beristirahat menyembuhkan sakitnya. Sam hanya alibi dan seolah-
olah sakit. Melina nyata tampak dalam wajahnya lelah tak berdaya.

Kedua orang itu duduk di atas kasur yang berbeda. Di UKS itu
memang terdapat dua kasur. Bukan kasur khusus untuk pria dan wanita,
tetapi kasur untuk siapapun yang merasa sakit. Sam bersila, begitu pula
Melina. Keduanya saling berhadapan.
“Ah gak Sam, ini kecapean aja, aku gak pake kacamata makanya
keliatan merah.”
“Ah boong ih, kemarin-kemarin gak pake kacamata aja biasa ajah.”

“Udah ah kalo gak percaya mah.” Melina kemudian mengubah


pandangannya. Sam tidak lagi menjadi objek yang dilirik.

“Eh, eh maaf Mel, bukannya gak percaya,” Sam mencoba turun dan
sedikit mendekat.

“Berhenti, naik ke kasurmu lagi Sam!! Jangan mendekat ke kasurku!”


Melina keburu menahan.

“Iya Mel maaf, aku bukan gak percaya cuma heran aja,” Sam berkata
sambil kembali menaiki kasurnya.

“Gak papa sih, udah ga usah minta maaf, udah aku maafin kok.”

Sam berhenti, bibirnya tak lagi berucap. Dia takut ada kesalahan yang
tak disengaja yang justru menyebabkan Melina menjauh darinya. Kini dia
hanya memainkan bantal yang dipegangnya.

Melina tertunduk. Dia pun sama seperti Sam, terdiam.

247
“Sam.” Melina kemudian memulai.

“Hah, apa Mel?”


“Kamu pernah jatuh cinta Sam?”

Pertanyaan Melina cukup dalam dan serius.

“Apa, belum pernah Mel, kalo suka sama orang sih pernah.”
“Terus apa yang kamu lakuin?”

“Ngeliatin aja Mel, udah. Cukup kok untuk bikin hati aku ngerasa
seneng.”

“Bener, masa kamu gak ada niat buat memiliki wanita itu?”

“Bener deh, suer. Pertanyaanmu itu sedikit nyindir ya? Kamu tau kan
aku jombo, hehe.”

“Hehe, kamu emang bisa bikin orang ketawa.”


“Aku kan belajar dari kamu.”

“Belajar apa?”

“Belajar kalau hidup tuh jangan terlalu dibawa serius, santai aja.
Bahkan putus dari pacar pun laluilah dengan ketawa, simple.”

“Hahaha, iya sih ya, kenapa malah aku yang sedih sih ya sekarang?”

“Emang sedih kenapa?”

“Ya sedih aja Sam.” Melina mengusap sedikit matanya. Air dari bulat
matanya hampir jatuh. Wanita itu memang pandai menyembunyikan perasa-
annya. Pandai sekali.

“Ohhhh, udahlah ga usah diceritain Mel.”

248
“Siapa juga yang mau cerita?” Melina meledek dengan memeletkan
lidahnya. “Geer.”

“Biasanya ya, biasanya ini sih. Orang yang sedang gundah hatinya itu
mencoba menghibur diri dengan menertawakan orang lain. Kaya kamu
sekarang ini.”
“Hahaha, aku kena lagi deh!”

“Mel, pernah gak sekali waktu kamu mikirin tentang orang tua kita?”

“Pernah Sam, sering malah.”


“Aku mikir ya, mereka itu baik banget membesarkan anaknya,
mempersiapkan pendidikan dan segalanya, untuk pada akhirnya kemudian
diambil sama orang lain. Nikah maksudnya.”

“Iya juga ya Sam.”


“Tapi mereka tetep aja ikhlas. Bahkan ikut seneng.”

Melina terdiam. Wajahnya penuh dengan tatapan kosong.

“Makanya Sam, jangan kecewakan orang tua.”

“Iya Mel, aku kan sekarang sudah berjanji berubah karena aku sayang
orang tuaku.”

“Bener?” Melina memasang wajah keraguan. “Alah paling cuma


promosi di depan aku.” Melina kemudian melempar bantal ke arah Sam.

“Aw sakit Mel!” Sam mengusap-usap kepalanya sendiri. “Beneran


deh.”

“Ya uda deh aku percaya Sam.”

249
“Kamu mau melanjutkan pembahasanku soal cinta dan orang tua tadi
Mel?”

“Aku tambahin sedikit ya?” Melina mendadak bersemangat. “Nah, iya


bener kata kamu Sam, terus kadang kita sebagai seorang anak ketipu sama
orang yang bilang „aku sayang kamu‟ terus kita jadian.” Melina sepertinya
sedang mencurahkan isi hati pribadinya.

“ „Aku cinta kamu‟ terus udah jadian? Bercanda kamu Mel. Ini mah
pengalaman pribadi kan, hayooo Kak Indra ya?”

“Tapi untuk Kak Indra tidak cuma itu kok Sam, ada hal yang jauh
lebih penting, komitmen namanya.”

“Oh iya, komitmen pada alasannya suka sama kamu, mungkin itu.”
Sam mulai keluar sifat aslinya. Ngeyel.

“Jangan mojoki aku ah, aku gak suka!!!”


“Bukan mojokin, aku mau tau aja alesannya emang apa gitu?”

“Alasannya udah ilang Sam, sisanya tinggal kecewa aja.”

“Maksudnya Mel?”

“Ya kecewa, karena aku terlalu terburu-buru menilai orang. Baru


denger kata orang dia jahat, aku langsung mikir dia jahat. Padahal belum
ketemu. Baru dibaikin sedikit, aku pikir dia tulus.”

“Ya kaya sekarang, kamu mikir aku baik hanya karena aku ganteng.”

“Hhhhhiiiiiiiiiiii malesssssiiiin!” Melina menutup wajahnya. “Malesin


ah malesin!”

250
“Makanya Mel, nikmati aja semuanya, jangan buru-buru. Cinta yang
datang karena tiba-tiba itu justru lebih asik daripada cinta yang ada karena
harus dipaksakan dengan jadian.”
“Aku suka kalimatmu.”

Hari itu Sam menang.

Sam kemudian berkata dalam hati. Entahlah Mel, apapun yang


kulakukan, asalkan bersamamu aku merasa senang.

***

251
Tentang Sam

Cinta tidak pernah memandang usia. Anak kecil, remaja, dan bahkan
orang yang sudah kolot sekalipun bisa merasakan indah perasaan itu. Jika
tirai daripada cinta itu telah terbuka pada satu hati, maka seluruh anggota
tubuh pemilik hati itu akan ikut juga merasakannya. Itulah keajaiban apa
yang disebut dengan cinta.

Kos Melina kelihatan begitu sepi. Seluruh pintu terkunci rapat. Tidak
ada lalu-lalang seorang pun di sekitaran kos-kosan berlantai dua itu.
Penghuninya tengah dilanda kesibukan masing-masing.

Pintu kamar Melina pun tertutup. Tulisan “bissmillahirohmanirohim”


terpajang jelas dan siap menyambut siapapun yang hendak masuk. Satu
sticker bergambar bendera Russia menempel di bawah kalam suci tersebut.

Melina dan Kak Linda ada di balik pintu berwarna putih itu. Mereka
berdua memang suka sekali bertukar cerita. Keduanya terlalu banyak saling
menyimpan rahasia, sudah seperti kakak dan adik.

“Lalu gimana tanggapan kamu ke dia Mel?” Kak Linda bertanya cukup
serius. Dia tidak peduli dengan tanktop hitam dan celana pendek cokelat
yang dia pakai. Ribuan nyamuk yang menggigit tubuhnya tak menyurutkan
niatnya membantu Melina. “Jawab Mel?”

“Aku belum tau Kak, dia belum jujur sepenuhnya sama aku. Tapiii …”

“Tapi apa Mel??”

252
“Tapi Mel yakin, Samudra itu suka denganku Kak. Dia datang dan
membuat Mel bisa dengan mudah melupakan Kak Indra. Dia memeluk
tubuh Mel tidak dengan tangannya Kak, tapi dengan kelembutan sikapnya.”
“Apa kamu yakin dia seperti itu?”

“Mel yakin, yakin sekali. Sejauh ini firasat Melina gak pernah salah.
Apalagi Melina udah menatap langsung matanya.”

“Kalo memang kamu sudah yakin, cobalah kamu ajak dia ngobrol
sedikit tentang hal yang lebih serius.”

“Caranya?” Melina merapikan daster Hello Kitty-nya. Begitu lucu


wanita itu.

“Kamu bilang dan tanya soal gimana seandainya ada seorang wanita
yang suka sama dia Mel, gitu.”

“Kalo dia nanggepinnya biasa aja?”

“Gak bakal, sedikit-sedikit dia pasti cerita.”

“Tadi siang aja dia bilang gak pernah mau nembak cewe Kak. Dia mau
cinta datang dengan sendirinya. Dia gak mau cinta yang dipaksakan dengan
jadian.”

“Hah, seumur-umur baru deh Kakak nemu orang yang kayak gini.”

“Mel juga Kak.”

Mendadak obrolan di antara keduanya hilang. Suara dan kata yang


berserakan tak terdengar lagi. Suasana saling menatapi diri satu sama lain
menjadi gantinya.

253
Melina kemudian pergi ke meja belajarnya. Dia buka laci yang berada
tepat di bawah meja belajarnya itu. Setumpuk surat Heldy kini dibawanya ke
kasur.
“Nih Kak.” Dia melepaskan semua surat itu ke atas kasur.

“Apalagi ini?”

“Ini surat dari Heldy, seorang yang misterius.”


“Kamu sudah pernah ketemu sama dia?”

“Belum Kak,” Melina menggeleng. Rambut pirangnya ikut terbang ke


kanan dan ke kiri.

“Sudah, nanti lagi. Yakinkan dulu tentang Samudra, Samudra itu …”

“Samudra itu orang yang menurut Mel paling cepat merebut hati Mel.
Dia berhasil menguasai sebagian hati Mel yang hampir saja dikuasai Heldy.
Mel jatuh Kak.”

“Dia benar-benar berhasil merebutmu Mel. Kak Linda baru melihat


kamu kaya gini.”

“Iya Kak. Mel juga baru melihat Mel kaya gini. Tapi emang sulit
keadaannya.”

“Sulit karena kalian berdua tidak ada yang mau inisiatif saling memu-
lai. Butuh kesabaran dan keseriusan.”

“Maksudnya Kak?”

“Cinta itu intinya terbiasa. Cinta itu seringnya kamu mendengar.


Cinta itu yang pada saat sudah mulai kamu merasa mendengar namanya saja
bergetar, kamu harus memperjuangkannya.”

“Mel sudah gitu Kak.”


254
“Ya tinggal kamu memulainya Mel. Berani?!”

“Berani Kak.”
“Mulai besok kamu pancing dan tanya terus dia soal perasaannya.
Kamu mulai berganti memenuhi harinya dengan kehadiranmu. Kamu rebut
juga perasaan-perasaan kecilnya itu. Kamu bisa Mel!”

“Pasti bisa Kak!” Melina kini bersemangat. Dia merasa mendapat


dukungan.

“Kakak dulu sama si Rudi juga begitu. Kakak yang pancing dia,
akhirnya sekarang … kita sama-sama saling tidak bisa jauh.”

“Romaaaantis!” Melina memeluk Kak Linda erat.

“Semua yang berkaitan dengan perasaan itu Mel, haruslah melibatkan


hatimu. Apa yang dikatakan dengan pikiran maka akan diterima oleh
pikiran. Apa yang dikatakan dengan hati maka akan diterima dengan hati.
Itu kuncinya. Ayo semangat ah!”

“Iyaaaa Kak!! Terima kasih selalu ada buat Mel.”

“Sama-sama Mel.”

Melina sudah tak tampak gusar. Hatinya sudah penuh dengan


siraman kata-kata penyemangat dari Kak Linda. Dia mulai yakin tentang
adanya hari esok yang lebih baik, hari esok yang bagaimanapun tidak akan
lagi ada Kak Indra yang menghiasi hari-harinya. Setiap keinginan selalu
mengantarkan kita pada satu risiko pengorbanan. Melina sudah paham itu.

***

255
Menentukan Akhir

Ujian sekolah telah usai.


Menjelang kenaikan, seluruh kelas di SMA N 1 Kota Cirebon
diwajibkan mengikuti lomba pekan olahraga sekolah. Ada berbagai macam
cabang olahraga yang dipertandingkan, seperti tenis meja, bulu tangkis,
catur, dan sepak bola. Tentu kita tahu, sepak bola selalu menjadi ajang
paling menarik. Namun dalam pekan olah raga sekolah, semuanya harus-
wajib diikuti.

Sam, Benjamin, Dayat, Ridwan, Ogi, dan Anto selalu menjadi tim
andalan futsal. Mereka pasti saja menjadi orang-orang terpilih kelas untuk
bermain sepak bola. Beberapa pertandingan berhasil mereka lewati. Pada
akhirnya, kelompok anak nakal itu hanya memperoleh juara kedua.

Selain perlombaan, ada pula acara pembagian hasil dan remidial bagi
murid-murid yang mendapat nilai rendah. Sam yang sebelumnya disangka
akan mengalami banyak remidial ternyata lolos. Seluruh nilainya baik dan
bisa mengantarkannya bersama dengan Ogi masuk ke kelas IPA di tingkat
kedua nanti. Sementara rombongannya: Benjamin, Erwin, Dayat, Ridwan,
dan Anto di kelas IPS.

Sam sedikit banyak berubah dan menutup akhir masa kelas satunya
dengan cukup baik. Dia tidak banyak menjadi keluhan orang tuanya kala itu.

“Sam selamat ya masuk IPA!” Benjamin mengulurkan salam memberi-


kan selamat.
256
“Ah apa Ben, enak IPS.”

Kedua orang itu tengah duduk di lantai dua dekat perpustakaan.


Mereka asyik memandang lapangan upacara yang penuh dengan kenangan.

“Aku bakal kangen Ben, sumpah, kangen sekali.”


“Iya Sam sama.”

“Tapi gimana lagi ya Ben, harus misah gini. Nanti tetep main bareng
ya?”

“Pastilah Sam, masa hanya perkara beda jurusan terus kita gak main
bareng, kan lucu.”

“Hehe kali ajah.”

“Hey, hey, heeeeeey pesenanann datang teman-teman!” Ogi dan Dayat


kemudian menghampiri Sam dan Benjamin.

“Mana Erwin?”
“Itu di belakang Sam.” Ogi menjawab sambil menjatuhkan kacang,
minuman bersoda, dan satu buah spidol.

“Ini spidol segala buat apa Gi?” Sam bertanya heran.

“Corat-coret, biasa kenang-kenangan.”

“Hahahaha!”

“Wiiin cepet sini!” Dayat memanggil Erwin cukup keras. “Sini ah!”

“Iya Yat bentar!”

Suasana sekolah sudah sepi. Tidak lagi ada aktivitas belajar-mengajar.


Mereka bebas berteriak. Mengeluarkan baju sekolah dari celananya. Bersepa-
tu dengan warna yang sesuai pilihan hati. Merdeka pokoknya.

257
“Coba tiap hari sepi gini ya, kan bebas.”

“Iya Ben, enak ya?” Dayat menanggapi Benjamin.


“Banyak hal, banyak cerita yang kita tulis di kelas satu yang belum
tentu bisa diulangi sama kelas satu yang baru nanti. Heboh pokoknya kelas
satu kita mah!” Erwin ikut bergabung.

Sam tidak sama sekali mengikuti perbincangan. Dia sedang menatapi


seorang wanita dengan rambut hitam terurai sedang bermain basket. Wanita
itu tersenyum mengarah jelas ke wajah Sam. Wanita itu bukan Melina,
wanita itu wajah baru yang sama sekali tak pernah terlintas dalam keseharian
hidup Sam. Siapa wanita itu?

“Sam sini dulu ah.”


“Apa Ben? Bentar deh, kamu yang ke sini.”

“Gimana?” Benjamin berdiri dan melangkah mendekati Sam.

“Itu siapa ya Ben?”

“Ah itu, Mutia anak sepuluh-lima kayaknya.” Benjamin menjawab


sambil berlalu dan kembali ke tempat di mana dia duduk.

“Owh, lucu ya.”

“Ya lumayanlah, udah ah sini duduk gabung sama temen-temen.”


Benjamin menarik tangan Sam yang sepertinya mulai menentukan pilihan
yang baru. “Ini mau ada pengakuan nih.”

“Oke.”

Mereka berlima kini duduk bersila. Benjamin mulai mengutarakan


permainan pengakuan yang dimaksud.

258
“Kalau aku bilang „Sam‟ dan begitu juga yang lainya, semua jawab ciri
khasnya ya!”

“Okeeee!” serentak Dayat, Ogi, Sam, dan Erwin menjawab.

“Sekarang aku mulai ya, Erwin!”


“Ee eee suka berlebihan!” Ogi memulai.

“Sok tegar!” Sam menyusul.

“Pintaaaaar!” Dayat mencoba objektif.


“Tinggi!” Benjamin mengakhiri.

Yang kedua.

“Daaaayat!”
“Penuh rahasia!” Erwin semangat.

“Tidak jelas!” Benjamin menimpali.

“Suka marah-marah!” Sam sedikit jujur.

“Ee ee gak tau!” Ogi tertawa.

“Yeeee ga boleh gak tau Ogi.” Benjamin menolak jawaban Ogi.

“Sipit!” Ogi mengulangi jawabannya.

“Oke, boleh.”

Yang ketiga.

“Ogi! Keribo!” Benjamin langsung menjawab sendiri.

“Takut belalang!” Sam cukup hafal hal ini.

“Males!” Erwin memang paling tahu soal Ogi.

“Gilain!” Dayat tanpa basa-basi langsung mengomentari.


259
Yang Keempat.

“Samudra!”
“Melina!” Ogi terus terang.

“Ngekek!” Erwin menambahkan secara cepat.

“Berantem!” Dayat sepertinya puas dengan jawabannya.


“Pembuat onar!” Benjamin ikut memberikan komentar pedasnya.

“Udaaaaaah seleesaaai!” Benjamin berdiri dan mengakhiri permainan


pengakuan.

“Woi curang sendirinya belum!”

“Curang!” Sam pertama karena ingin membalas Benjamin.


“Pinter, menang sendiri!” Erwin ikut-ikutan menyumpahi.

“Sok pemimpin!” Dayat acuh tak acuh menyampaikan keluhannya.

“Terserah maunya apa!” Ogi menutup sambil memakan kacang.

“Sekaraaaang, apa itu persahabatan? Sesuatu yang tidak akan pernah


berakhir.” Benjamin memulai menjawab pertanyaan yang dia buat sendiri.

“Yang bahkan uang pun tidak bisa membelinya.” Erwin sedikit lebih
tegas.

“Saling melengkapi dan ada dalam setiap keadaaan.” Sam memiliki


cara pandangnya sendiri.

“Persahabatan itu suatu yang tanpanya kita tidak bisa hidup.” Dayat
menadahkan kepalanya ke atas. Dia sombong dengan jawabannya.

“Keadaan di mana kita merasa bahwa kita dihargai.” Ogi menjawab


sambil sedikit tersipu.
260
“Mungkin hari ini bisa kita rayakan sebagai hari di mana kita bersaksi
untuk saling bersahabat selamanya!” Benjamin menjulurkan tangannya ke
depan. Ogi, Erwin, dan Dayat menyusul.
“Sam ayo sini!” Erwin menarik baju Sam yang kembali memandangi
wanita misterius bernama Mutia.
“Siap!” lima tangan itu telah lengkap dalam lingkaran yang indah.

Yel penutup “hore” pun bergema seiring dengan diangkatnya kelima


tangan yang berbeda itu. Sebuah akhir dari awal persahabatan yang baru
nanti di kisah selanjutnya telah resmi dimulai. Semoga saja tetap
dipersatukan.

***
Gelap mulai datang. Tidak ada perjanjian pertemuan di luar untuk
malam ini. Sam sudah santai duduk di kursi kamarnya.
Bulan tak begitu terlihat, sinarnya tertutup awan. Bintang
menggantikan tugasnya untuk menerangi bumi.

Suara kodok, jangkrik, dan hewan-hewan malam bersautan tak


karuan.

Surat pemberian Melina tergeletak dengan tidak rapi di atas meja


belajarnya. Amplop dan isinya tak berada dalam posisi yang saling pas.
Semuanya telah berjauhan.

Sam mulai siap membaca isi dari surat yang bisa saja menjadi surat
terakhir dari Melina.

Ini isi dari surat tersebut.

261
Heldy, hai Heldy.

Ini mungkin surat terakhirku di kelas satu. Besok-besok kita libur dan aku sudah
naik menjadi kelas dua. Senangnya.

Heldy, aku hari ini ingin menuntut janjimu. Besok kita tepat pukul 19.00 bertemu di
taman kota ya.

Terima kasih karena sudah mencintaiku dengan sangat baik Heldy. Terima kasih
telah merawat rasa sayangku dengan sempurna. Terima kasih karena terus menyirami
cintaku dengan air perhatian yang indah.

Selamat malam Heldy.

Sampai jumpa esok. Jangan telat!

Engel 

Semua yang telah dimulai, pada akhirnya harus diakhiri.


Sam tidak bisa lagi beralasan jika dia merasakan kebingungan yang
begitu dalam. Dia tidak lagi mampu menolak pertemuan yang amat-sangat
menakutkan baginya. Dia harus menghadapi kenyataan itu dengan penuh
lapang dada. Besoklah waktunya Sam, waktu yang akan menjadi penentuan
dari semua cerita yang telah kamu mulai.

Sebelumnya Sam sempat menuliskan satu buah surat untuk Melina:

Hy Melina.

Aku sudah tidak lagi datang sebagai Heldy.

262
Aku mulai berani menampakkan diriku sebagai Samudra. Hari ini, hari di mana
kau mungkin akan terlambat membaca surat ini, kau akan menemukan dua hal, yaitu
kebahagiaan atau kekecewaan.
Percayalah Mel, bahwa dalam sebuah pertemuan itu pasti ada akhir yang mau tidak
mau kau juga harus menjalaninya.
Aku minta maaf atas cintaku yang terlalu padamu.

Aku minta maaf jika aku terlambat menghampirimu.

Aku minta maaf andai pada kenyataannya, suratku mampu menghantui hari-
harimu, pikiranmu, dan apapun yang menurutmu merugikanmu.

Samudra 

[DILANJUTKAN PADA JUDUL BAYANG-BAYANG DI AWAL


CERITA]

263
Napas Baru

Abaikan kepedihan, atau kau tidak akan pernah merasa bahagia – Imam
Ali ibn Abi Thalib

Menurut Jean Paul Sartre, masa lalu itu selalu memiliki apa yang
dikenal dengan “FAKTISITAS”, yaitu ada fakta-fakta tertentu di masa lalu
yang tidak dapat diubah. Misalkan tempat lahir, bagaimanapun kita
mencoba mengubahnya, kita tidak akan pernah bisa melakukan perubahan
keadaan itu. Tetapi ikatan akan masa lalu itu tidak dapat menyebabkan
alasan apapun, tentang mengapa kita melakukan sesuatu hal sekarang.

Kejadian malam itu telah menjadikan luka bagi Sam dan terutama lagi
bagi Melina. Pertemuan pun sudah semakin jarang. Berbalas surat pun kini
tak ada lagi.

Bagaimana kelanjutannya? Apakah Melina dan Samudra pada


akhirnya melanjutkan kisah cintanya yang semula bayang-bayang kemudian
menjadi nyata? Atau justru ada kisah cinta yang baru di antara keduanya?

Semua menjadi tanda tanya.

Benjamin pun mengabarkan suatu hal yang baru. Dia mengatakan


kelompok anak band sekarang berada dalam satu kelas yang sama.
Perlawanan kini tak lagi dengan kakak kelas dua belas yang telah lulus, tapi
dengan teman seangkatan yang berbeda pergaulan. Mungkinkah musuh
bersama ini menjadikan teman yang berbeda jurusan kembali bersatu?

***
264
Seorang anak muda berambut kriting dan bertubuh kurus keluar dari
kamarnya. Dibawanya satu robekan kertas berisi nomor telepon yang dia
dapat dari jejaring sosial. Dia berlari kencang menuju ruang keluarga di
rumahnya.

Kini dia telah tepat berada di depan telepon. Dipencetlah satu persatu
nomor telepon itu sesuai dengan apa yang tertulis di kertas kecil yang dia
bawa.

“Halooooo, haloooo?” suara wanita dari gagang telepon tiba-tiba saja


terdengar.

“Ini Mutia?”

“Iya, dengan siapa ini?”


Suara tiba-tiba saja hilang. Padahal telepon belum mati.

“Halooooooo?”

Dan.

Tuuuut, tuuuut, tuuuuut.

Meninggalkan tanda tanya. Menutup kata tanpa suara. Membuat


resah dengan tatapan mata yang tajam. Samudra, itu seakan menjadi gaya
berkomunikasimu yang baru, yang muncul karena pengalaman.

***

265
Profil Penulis

Penulis lahir pada tanggal 24


Februari 1991 di Kota Cirebon, saat ini
penulis terdaftar sebagai Mahasiswa
Universitas Diponegoro. Sembari kuliah dia
sesekali mengunjungi Pondok Pesantren Al-
Futuhiah Meranggen untuk belajar kitab Al-
Ghazali dan Pondok Pesantren Pabelan
Magelang belajar Ilmu Hikmah. Penulis juga
memiliki prestasi yang di antaranya
menjuarai penelitian unggulan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
tahun anggaran 2012-2013, pernah menjadi Managar termuda di Jari Al-
Jabar Cirebon. Penulis pernah mengisi acara talk show hukum di RRI
Semarang dan RCTV Cirebon dengan tema “Bagaimana menjadi penulis
yang baik?” Biodatanya pernah direview oleh Radar Cirebon di kolom
inspirator. Dia pun aktif mengisi di beberapa media online dan cetak (Radar
Cirebon, Kabar Cirebon, dll). Saat ini penulis sedang melanjutkan studi di
Magister Kenotariatan UNDIP, Semarang, penulis di Semarangdaily
(Pandiva Media) dan menjadi peneliti di Satjipto Rahardjo Institute.

Info lebih lanjut. Twitter: @bakhrulamal | Email: bakhrulamal@ymail.com

266

Anda mungkin juga menyukai