Anda di halaman 1dari 4

Puisi ASA di Mata Wanita

Oleh Sainul Hermawan

“Puisi itu ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh pembaca.
Puisi tidak memiliki eksistensi yang nyata sampai ia dibaca”

Wolfgang Iser

“Khusus bagi siswa/siswi SMPN 11 Banjarbaru akan diberi hadiah buku Buku Setengah
Tiang bila mampu menguraikan apa dan bagaimana tentang isi puisi yang ditayangkan ini, pilih
satu atau seluruh puisinya, kemukakan juga bila ada kata-kata yang belum atau tidak dipahami
baik secara kamus atau bukan arti sebenarnya… Uraikan langsung di halaman ini agar terbaca
oleh semua yang melihatnya ya, santai saja kita hahahaha, panjang uraian minimal 15 baris, oke,
selamat mencoba.” Demikian bunyi undangan Ali Syamsudin Arsi dalam status facebook-nya
pada 17 Agustus 2015, dua hari setelah acara diskusi buku tersebut di halaman dalam sekolah
tempat ia mengajar. Tiga puisi yang ditawarkan untuk direspons yaitu “Patah Tangkai Bulir
Padi”, “Perempuan, Tersenyumlah”, dan “Ia Lekat di Pelupuk Mata”. Tiga hari berlalu respons
yang ia minta tak kunjung tiba.

Ada beberapa kemungkinan yang menjadi sebab mengapa respons terlalu lama. Pertama,
siswa takut salah. Kedua, siswa tidak paham. Tiga, siswa tidak punya waktu. Jika yang pertama
dan kedua alasannya itu wajar karena mereka mengenal penyairnya yang sekaligus gurunya
sendiri dan puisi ASA memang tampak tidak sesuai dengan tingkat intelektualitas dan
emosionalitas siswa SMP. Oleh karena itu saya tertarik untuk menguji salah satu dari tiga puisi
yang ditawarkan untuk diuji ke pembaca dewasa. Puisi yang saya pilih “Perempuan,
Tersenyumlah”.

PEREMPUAN, TERSENYUMLAH

tanah di telapak kaki-pijakmu masih terasa lembab dan basah embun sebelum lenyap kita
belum pernah berjumpa sampai engkau beranjak dewasa aku masih berada di hiruk pikuk
asap serta deru mesin kota-kota daun pohonan samping rumahmu sangat kuat melambai
agar aku berangkat menuju titik engkau berdiri dan melangkah selembut-lembutnya
sebuah langkah agar kersik daun kering tak tersimak oleh penangkap jerat suara aku
terselubung oleh bisingnya kota-kota aku terkepung oleh carut-marutnya simpang siur
langkah-langkah sangat tergesa-gesa aku lumpuh dicakar-cakar racun cuaca, perempuan
adalah engkau yang kini gemulai berdiri antara desau hembus angin di celah-celah hening
berdiri dengan gerai rambut di rona-rona, perempuan, tersenyumlah

perempuan, tersenyumlah

Puisi ASA di Mata Wanita | 1


rentangkan kedua kepak sayapmu
hingga aku terbebas dan mampu menjadi dewasa

Pada 20 Agustus, sajak ini saya kirim melalui inboks facebook ke sepuluh wanita yang
berlatar belakang pendidikan sarjana dan pascasarjana bahasa dan sastra dan menjadi guru di
beberapa tempat berbeda di Indonesia (Kotabaru, Pelaihari, Samarinda, Palembang, Wakatobi,
dan Bandung). Hanya satu responden yang mengenal ASA dan ia tak mengirim respons. Riset
spontan ini dengan sampel yang sangat terbatas cukup memadai untuk mengenal efek puisi karya
ASA terhadap pembacanya. Riset kecil ini dilakukan dengan penuh kejujuran. Profil lengkap
responden tidak diungkapkan secara rinci karena alasan etika. Dari 10 responden tersebut, hanya
6 yang menjawab atau memberikan respons. Respons mereka saya sajikan apa adanya setelah
kata-kata singkatan yang digunakan disunting. Kepada semua responden pada awalnya saya
menanyakan 5 pertanyaan yang sama sebagai berikut: (1) Siapa yang dimaksud perempuan
dalam puisi ini? (2) Siapa yang dimaksud aku dalam puisi ini? (3) Apa hubungan antara
perempuan dan aku? (4) Apakah maksud puisi ini langsung jelas bagimu? Apa alasannya? Dan
(5) Apakah kamu suka dengan puisi seperti ini? Apa alasanmu?

Namun pada beberapa responden saya perlu mendalami beberapa pertanyaan. Pertanyaan
ini diajukan untuk mengetahui efek teks puisi tersebut terhadap pembacanya. Pertanyaan ini
tentu tidak untuk membuktikan maksud puisi menurut penyairnya tetapi untuk mengetahui
bagaimana pembaca memproses puisi tersebut dalam pikirannya.

Respons dari Bandung

Sebelum menjawab, pembaca dari Bandung (dosen sastra di UPI) menanyakan siapa
penyairnya. Saya jawab bahwa puisi itu karya penyair dari kota saya. Inisial namanya ada di
bawah puisinya. Hanya dia yang mengajukan pertanyaan itu. Pertanyaan ini menyiratkan posisi
subjektivitas dan objektivitasnya. Lantas ia menjawab, “Perlu waktu untuk mencerna puisinya,
karena penyairmu itu tak mencantumkan tanda baca, jadinya enjabement-nya susah dimengerti
untuk menghentikan titik atau koma, dalam menjeda kalimat-kalimatnya. “
Beberapa jam kemudian ia mengirim jawaban. Menurut pembacaannya, (1) Perempuan itu
bisa jadi teman kecilnya aku di masa lalu, mereka mempunyai rasa yang sama. (2) aku adalah
subjek lirik yang berkata-kata dengan liris pada perempuan, dan (3) Mereka mempunyai
hubungan hati yang rahasia yang ingin diwujudkan oleh si aku dalam kedewasaannya. Aku
berada pada kegalauan ruang dan waktu urban.
Maksud puisi itu tidak langsung jelas baginya karena tidak ada tanda baca yang membantu
penciptaan makna. Akibatnya ia mengaku tidak suka dengan puisi ini. “Kalau disunting lagi, bisa
jadi suka, saya menangkapnya semacam balada dalam rindunya pencarian. Kalau pun seperti ini
ya itulah mungkin kemampuan penyairnya seperti itu. Kreativitas penyair dalam tataran logika
belum tertata rapi. Tulisannya yang acak tanpa tanda baca (kecuali tiga koma). Hal ini juga
memperlihatkan keegoisan penyair yang tidak mau membangun komunikasi dengan pembaca.
Bahwa karya adalah 'bagaimana saya saja, di mana saya menyimpan kata-kata, itu terserah
saya'.”

Puisi ASA di Mata Wanita | 2


Respons dari Palembang

Responden dari Palembang ini seorang guru bahasa Inggris di SMP. Jawabannya sebagai
berikut: (1) Siapa saja perempuan yang kelak menjadi calon istri yang disinyalir hidup di
pedesaan, (2) Seorang lelaki yang hidup di kota dan sibuk bekerja, (3) Masih misteri karena
belum pernah jumpa/saling kenal. (4) Tidak, karena perlu beberapa kali membaca baru agak
paham (5) Suka,karena penasaran dengan isinya dan juga bisa untuk sarana "penyegaran" otak.
Untuk mendalami pengetahuannya lebih jauh saya tanyakan puisi karya siapa di Indonesia
yang ia sukai? Jawabnya, “Saya sendiri tidak begitu memahami masalah puisi, hanya sekedar
suka saja kalau ada yang pandai membuat/membaca puisi. Kemudian saya dalami lagi
jawabannya yang nomor 2 dengan bertanya bagian mana dari puisi itu yang menjadi dasar
simpulannya bahwa aku itu laki-laki? Jawabnya, “Dari kalimat "Perempuan, tersenyumlah", di
situ saya menangkap kalau yang menulis adalah laki".

Respons dari Samarinda

Responden berikutnya adalah guru SMA di Samarinda. Jawabannya: (1) Perempuan:


mantan kekasih aku (2) Aku: Seseorang yang sangat mencintai perempuan. (3). Dulunya
sepasang kekasih. (4). Cukup jelas karena banyak makna denotasi. Dan (5). Kurang suka. Kata-
katanya masih kurang romantis.
Karena jawabannya sangat singkat, saya kembali bertanya pada bagian teks yang mana
yang menunjukkan aku sangat mencintai si perempuan? Jawabnya, “ Aku berada ... sangat kuat
melambai menuju titik engkau berdiri. Perempuan, tersenyumlah. Mana ada orang jatuh cinta
yang rela orang yang dicintainya menangis. Kayaknya hampir seluruh bagian puisi.” Saya coba
ajukan pertanyaan lain, “Kalau yang menunjukkan mantan kekasih itu baris yang mana?” Ia tak
menjawab. Saya coba ajukan pertanyaan lain, “Apakah aku dalam puisi itu pasti laki-laki?”
Jawabnya, “Tentu saja. Kecuali dia lesbian.”
Dengan kata lain, diskusi ini menunjukkan betapa teks puisi tersebut menyediakan isyarat
yang memadai untuk mengantarkan pembaca pada pemahaman yang lebih meyakinkan.

Respons dari Kendari


Responden dari Sulawesi Tenggara ini sedang menempuh studi doktoral di UGM, Jogja.
Responsnya sangat singkat: (1) perempuan, harapan, cita-cita, 2. aku adalah individu yang ingin
meraih cita-cita atau harapan itu, (3) perempuan merupakan keinginan terbesar yang ingin diraih
oleh si aku, (4) maksud puisi tidak langsung jelas pada saya, butuh energi untuk menafsirkannya
karena ia menggunakan kata-kata, kalimat yang ambigu, kurang tanda baca, sehingga membaca
dan menangkap makna menjadi sulit, dan (5) kurang suka puisi seperti ini karena sangat ambigu.

Respon dari Kotabaru


“Semakin diulang membaca semakin liar, maknanya jadi berubah mengikuti khayalan. Untuk
alasan ini, subyektif sekali, ulun jadinya kurang suka. Pertama ulun kira itu perempuan ibu yang
melepas anak yang merantau ke kota besar, lalu bisa jadi perempuan itu cinta masa kecilnya si
aku. Berikutnya ulun pikir aku itu pengemis. Perempuan adalah wanita yang sudah meninggal.
Aku pernah melihat ketika masih kecil.... Kalau ulun baca lagi bisa berubah pulang nih
kisahnya.” Demikian respons guru bahasa SMP di Kotabaru yang kini studi pascasarjana di

Puisi ASA di Mata Wanita | 3


Universitas Negeri Malang. Respons tersebut saya coba dalami dengan menanyakan puisi seperti
apa yang ia sukai? Seperti karya siapa misalnya jika dalam sastra Indonesia? Jawabnya, “Ulun
suka puisi ini kalau dibaca. Kayak cerpen. Deskripsinya kuat menurut ulun. Puisi memang
curhatan penulis, tapi pada akhirnya kan supaya orang lain membaca... kalau yang baca kada
paham, keapa handak suka... ulun suka puisi yang kada terlalu rumit, keapa bentuknya kada
masalah... Kada penting nama besar, yang penting puisinya keren, ulun paham. Demikian
mudahan kada pa'iya'nya.

Respons dari Pelaihari


Guru bahasa di SMAN 1 Batu Ampar, Tanah Laut menjawab pertanyaan nomor 5 terlebih
dahulu. “Saya suka model puisi seperti ini dengan alasan sederhana. Saya dahaga dengan puisi
yang menggunakan bahasa serius, karena murid-murid saya selalu menggunakan bahasa lebay
untuk puisi-puisinya...Sayangnya sulit buat saya yang dangkal pengetahuan puisinya untuk
membatasi kapan saya berhenti atau memberi jeda ketika membacanya, bahkan khawatir menjadi
ambigu..
Kemudian, ia menjawab nomor 4 untuk sekaligus menjawab nomor 1, 2, dan 3. Katanya,
“Maksud puisi ini bagi saya cukup membuat saya ragu mengartikan, dari deskripsi-deskripsi
tentang si perempuan dan si aku kadang saya menganggap itu real tentang dua anak manusia
yang mempunyai hubungan tertentu, tapi pada kalimat pohon samping rumahmu sangat kuat
melambai agar aku berangkat menuju... membuat saya berubah pikiran: jangan-jangan si
perempuan yang dimaksud adalah sebuah tujuan dunia (baca: hingar bingar kota besar).

Simpulan
Respons pembaca atas sajak ASA tersebut menunjukkan beberapa fakta sebagai berikut.
Pertama, meskipun membingungkan, sebagian resonden mengakui menyukai sajak ini karena
alasan bisa menyegarkan pikiran, enak untuk dibaca, sumber pengetahuan tentang diksi-diksi
sastra yang dianggap serius, dan berpotensi menjadi sajak yang enak untuk dipanggungkan.
Kedua, responden yang tidak suka dengan puisi ini menilainya sebagai puisi yang rumit,
logikanya tidak tertata rapi dan liar, tanpa tanda baca yang bisa membantu mengurangi ambigu
dan mempermudah pemahaman, serta anti komunikasi. Ketiga, sajak ini memungkinkan
pembaca menemukan beragam kemungkinan makna tapi sekaligus tidak menemukan apa-apa
dalam pengertian sajak ini tak terlalu jelas maksudnya bagi pembaca meskipun mungkin sangat
jelas bagi penulisnya.
Dalam kondisi inilah, sajak seperti ini sulit menjadi imajinasi kolektif. Fakta ini sebagian
atau seluruhnya dapat ditemukan pada sebagian puisi karya ASA yang lain. Keempat, tafsir
pembaca yang berbeda atas sajak ini membuktikan bahwa pembaca bukan penerima teks yang
pasif. Di hadapan kedaulatan pembaca, teks dan pengarang tak berdaulat untuk menentukan
makna teks. Dalam kasus ini, bukan teks dan pengarang yang menghasilkan makna tapi pembaca.
Suksesnya komunikasi puisi dan pembaca tergantung pada (1) pengetahuan pembaca tentang
sistem puisi dan (2) kemampuan pembaca untuk melengkapi yang tak lengkap, atau memilih apa
yang penting dan mengabaikan apa yang tidak. Jika ada pembaca yang menilai beberapa puisi
karya ASA gelap dan karenanya pembaca tidak suka dengan puisi yang seperti itu, ASA tidak
perlu langsung kalap. Mungkin teksnya sendiri memang gelap atau pembacanya yang gelap
wawasannya. Hikmahnya, keduanya perlu terus saling mendekat jika yang diharapkan adalah
komunikasi puitik yang berhasil.

Puisi ASA di Mata Wanita | 4

Anda mungkin juga menyukai