Seperti terlihat pada puisinya, bagaimana pun, puisi Cinta Sepucuk Pinang
merupakan sebuah puisi yang sangat berhasil. Puisi ini mengungkapkan rasa rindu
dan kecintaan penyair pada negeri Melayu tanah kelahirannya di Muara Bulian,
Batanghari, Jambi, bekas kerajaan Sriwijaya. Tema rindu akan kampung halaman
merupakan sebuah tema yang banyak digarap para penyair Indonesia. Kerinduan
itu kemudian menjadi representasi berbagai ekspresi kerinduan lainnya, seperti
telah disebutkan di atas. Berikut ini disajikan puisi maskot itu.
Cinta Sepucuk Pinang
Oleh A. Ria Puji Utami
Negeriku indah
Negeri penuh cinta
Negeriku kurindu
Negeri buah pinang masak
Mengukir sejarah negeri Melayu
Kerajaan Sriwijaya bertahtah
Di bantaran sungai Batanghari
Meninggalkan cerita lama
Kini kujauh darimu
Negeriku kurindu
Ingin kukembali
Bermain sampan
di huluan sungai
Pinang masak tlah membenam di ufuk senja
Memejamkan mataku di akhir cerita
Membawa rinduku ke dalam mimpi
Mimpi tentang cinta sepucuk pinang
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
01 Iksana Murib
(1) Sebasibisubisa
(2) A dan A
(3) Penampung
(4) Terbalik
(5) Sempit
(6) Catatan Gelap
(7) Liar
(8) Matahari Bungkam
(9) Tenggelam
(10) Lenyap
02 Eunike Zabrina AL
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Kembali Pulang
Cinta itu Sederhana
Sajak Cahaya
Sajak Lelaki Pecundang
Sepiku Satu
Sajak Kerinduan
Mimpi
03 Yulani Wonge
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Kejahatan
Burung-burung Kecil
Untuk Kekasihku
Takdir
Anugerah
04 Yulita Maizia
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Sajak Alam
Langit
Gadisku yang Malang
Sang Dewa Pencemburu
Di Sisa Jawaban
Alam pun Hidup
Menyerah
05 Rizki Valensi
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Jam Tua
Aku Kamu
Bangkai
Doa Untuk Pahlawan
Doa di Ambang Petang
Bintang yang Hilang
07 Bayang Kalbu
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Kutukku
Pohon Apel
Seorang Putri
Dia
Sajak Puzzle
09 Elizabeth Ratnasari
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Kekasihku
Berikan Hidupku
Sajak Adikku Malang
Merapiku
Perpisahan
Hilangmu, Dukaku
Denting Rindu
Kemiskinan
Jika Kau adalah Aku
Sanggupkah
11 Ludgerdius Beldi
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Segitiga Pekat
Ballada Badu dan Budi
Cuap-cuap Bro-Bra
Anjing!
Bee
Suaka Kuasa
Penguasa
Bocah Berbisa
Pantai
Koral Cinta
Kopi Secangkir
Ada-ada Sajak
Kuning
Tua Renta
Kaca Kerinduan
Sajak Tengkorak
(Bukan) Pendosa
Sajak Seonggok Mayat
Ujung
Pada Malam
Pintu
Sajak Kerinduanku
Ajari Aku
Tikus Negara
Kejamnya Dunia
Penyesalan Tak Berujung
Untukmu Ibu
Goresan-goresan Rindu
15 Wendy Nugroho
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
11002722013
23.19/16413
02034/18.09
1744 04032013
0613 04032013
22032013/2041
808.080513 k20
2105.070513
01 Iksana Murib
Iksana Murib, lahir 1 Agustus 1992 di Wamena, Papua. Tamat SD dan
SMP (2007) di Timika, SMA Masehi II PSAK (2011) di Semarang , Jawa
Tengah. Masuk Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas
Sanata Dharma (USD) Yogyakarta angkatan 2011. Sekarang sedang
menempuh kuliah di USD.
Sebasibisubisa
: Sutardji Calzoum Bachri
Sebisabisu luka sebisubisa memori
Sebasibisa hangan sebasibisu bayangan
Sebisabisu sakit sebisubisa mati
Sebisabasi hitam sebisubasi gelap
Sebisubisa sebasibisu
Sebisabisunya sebasibisa biasa
Sebisubisa sebasibisu
Sebisa bias menahan mati
Sebisubisa sebasibisu
Sebisabisu sebisubasi
Sebisubasi sebasibisa
Selesai bisanya menghantam usia
10
A dan A
Dari A harus ke Z
Dari Z tidak ke A
Aku tidak harus
Harus tidak aku
Dari 1 harus ke 100
Dari 100 tidak ke 1
Kau tidak harus
Harus tidak kau
Dari lalu harus ke depan
Dari depan tidak ke lalu
Hidup tidak mati
Mati tidak hidup
11
Penampung
12
Terbalik
Tahun yang tua menjadi muda
Lama menjadi baru
Tahun yang muda menjadi tua
Baru menjadi lama
Dulu negeri ini negeri perjuangan
Dulu negeri ini disanjung tinggi
Darah menjadi bayarannya
Kematian menjadi keharusan
Namun, kini negeri ini menjadi lemah
Dipermalukan dan dibodohkan
Korupsi menjadi budaya
Manipulasi menjadi motivasi
Dan kita hanya bisa menjerit
di dalam lubangnya.
13
Sempit
Wajah memucat
Mulut gementar
Hati gelisa
Keringat membasahi baju
Ayah tergeletak di atas darah
Rumah hitam
Matahari dan bunga tak lagi bicara
Ayah, diam tanpa kata
Beku semuanya
Angin tak lagi menari
Rumah asam diikat
Kanan buntut
Kiri buntut
Pintu-pintu tak mau konfomi
Kunci tanpa bunyi
Jendela patung
Dan hanya bisa bergetar
14
Catatan Gelap
Tersimpan
Lalu memori
Memori kemudian simpan
Hati dan pikiran
Bumi
Matahari
Diam
Kau menyapa diriku
Cukup hanya aku
Andaikan bibir tak kaku
Cukup untuk aku
Andaikan hati bertindak
15
Liar
Dendam membara
Cemburu pemburu
Dan kau puas menjadi serigala
Rasamu mati
Otak hilang
Kejar darah sampai puas
Manusia menjadi makanan
Dimana nilainya?
Tidak kah kau puas
Serigala
16
Matahari Bungkam
17
Tenggelam
Rasa terpendam
Bayangan gelap
Tak begitu nampak
Dan rasa ini mulai tak tentu
Kau akan ada dalam bungkusan hati
Yang selalu diam
Di pikirkan
Kau mengalir dalam pikiranku
Bunga sakura berguguran
Aku di bawa
Rasa akan terungkap
Di sini
18
Lenyap
19
02 Eunike Zabrina AL
Eunike Zabrina AL, lahir di Semarang, 3 Juli 1993. Tinggal
di Jl. Soka No. 36 Baciro, Yogyakarta. No.telp/e-mail
081804107375/ninalolo71@gmail.com. Beragama Katolik.
Hobiku nonton TV, baca novel, baca majalah, tidur. Cita-cita
menjadi penulis, editor. Moto
Jangan
pernah
menutup bolpoin sebelum ujian selesai! Kini menjadi
mahasiswi USD dan belum menikah.
Pendidikan (1)
SD Tarakanita 1, Jakarta; (2) SMP
Tarakanita 5, Jakarta dan SMP Kalam Kudus Jayapura,
Papua; (3) SMA Stella Duce 1, Yogyakarta; dan kini (4)
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
20
Kembali Pulang
Jika kau datang lagi
Dengan tulus hati
Aku masih setia
Kau yang dulu tlah bermetamorfosis
menjadi seorang yang kukagumi
Bagai ulat yang menjadi kupu-kupu
tataplah wajahku
Jika kau datang lagi
Hanya untukku
cintamu kauberi
Dengan kaca pun
aku tak mau berbagi
21
22
Sajak Cahaya
Aku berdiri seorang diri
Diantara ribuan laki-laki pembunuh
Aku berteriak sekencang-kencangnya
Tapi tak seorang pun mendengar
Malam begitu dingin dan mencekam
Aku melihat ayahku sudah tak berdaya
Ku goyang-goyangkan badannya
Tapi tak ada reaksi
Aku berteriak lagi sekencang-kencangnya
Dan tak seorang pun mendengar
Kali ini bintang pun tak mau menampakkan dirinya
Aku takut!
Aku mencoba melarikan diri
Tapi selalu gagal
Mereka bagaikan tameng yang sulit dihancurkan
Sekali lagi aku berteriak
Kali ini aku sadar
Ada seseorang yang mendengarku
Aku melihat ke langit
Ada setitik cahaya yang muncul
Aku tahu aku akan terbebas
Dari kerumunan pembunuh ayahku
Semakin kencang aku berteriak
Semakin banyak cahaya yang timbul
Ah,
Aku sadar akan satu hal
Aku melihat wajah ayahku
Dalam cahaya itu
23
24
Sepiku Satu
Malam seperti membisikkan
sesuatu padaku
Tetapi yang kudengar
hanya gumaman sendu
Kulihat bintang
Tetapi bintang menundukkan kepalanya
Seakan malu melihatku
Kulihat bulan
Bulan pun membalikkan badannya
Agar tidak melihatku
Malamku terasa pahit
Berteman pada bulan
dan bintang pun tak mungkin
Aku mencium bau melati di sekitarku
Ah! untuk apa aku hidup
25
Sajak Kerinduan
Setiap detik kutengok layar ponselku
Waktu berjalan sangat lamban
Jantungku berdebar tak karuan
Menunggu kabar darimu
Jam dinding seakan menertawakanku
Aku tak peduli !
Tawanya semakin keras
Aku makin tak peduli !
26
27
Mimpi
Mimpiku pada bulan
Mimpiku pada malam
Larut dalam cahaya lilin yang meredup
28
03 Yulani Wonge
Yulani Wonge lahir di Jara-jara, Halmahera Timur, Propinsi Maluku
Utara, tanggal 16 Oktober 1993.
Pendidikan:
SD: Sekolah Dasar Negri , Kec. Maba. Kab, Halmahera Timur,
Prov. Maluku Utara (1999-2004)
SMP: Sekolah Menengah Pertama Negri Kec. Maba. Kab,
Halmahera Timur, Prov. Maluku Utara (2005-2007)
SMEA: Sekolah Menengah Ekonomi Atas, Tobelo Halmahera
Utara, Prov. Maluku Utara (2008-2011),
Kuliah pada tahun 2011 di Universitas Sanata DharmaYogyakarta, jurusan Sastra, prodi Sastra Indonesia hingga saat ini.
29
Kejahatan
Ketika jiwa-jiwaku terus menari-nari dan tenggelam
Membawa diri ku hanyut dalam keheningan
Tanpa terasa waktu terus bergulir menggrogoti duniaku
Menelan perlahan-lahan semua impianku
Satu per satu jiwa berguguran meninggalkan nama
Meneteskan air mata yang mengalir deras ke bumi
Menancapkan batu nisan yang termakan oleh kejahatan
Datangnya kegelapan dan kehampaan
Menyelimuti hati dan melenyapkan cahayaku
Menggemparkan Bumi yang hangus dengan gelora kekejaman
Yang terus berjalan membuntuti raksasa-raksasa dunia
Sang mentari dan rembulan tak harmonis lagi
Ketika kelembutan cinta terenggut keganasan nafsu
Ketika kehangatan kasih sayang tercabik oleh kebencian
Membutakan kebenaran dan berkuasanya kejahatan
Raksasa-raksa telah menelan jiwa-jiwa kebenaran
Mengikuti alur kehidupan yang mengarah pada kehancuran
Menghembuskan suasana kehinaan yang merambat ke jiwa
dan menusuk jiwa dengan kesedihan dan kepahitan hidup
30
Burung-burung Kecil
Burung kecil yang selalu hinggap
di ranting pohon dalam taman kampus
entah dari jenis dan kelompok mana
riang berkicau menatap hari pagi
selalu memberi salam pada matahari
burung-burung kecil terbang di sore hari
menuju arah selatan bersama-sama
adakah sesuatu yang menarik di sana
sepertinya tidak ada yang ingin mengetahui
bukankah alam terbentang semesta
semata semua adalah milik-Nya
31
32
Takdir
Telah kutuliskan bahwa air itu dingin
bahwa api itu panas dan keduanya
selalu berlawanan.
Telah kutuliskan bahwa siang pasti terang
bahwa malam selalu gelap
dan keduanya saling berganti peran.
Telah kutuliskan bahwa bumi seperti ibu
dan matahari sebagai ayah dan keduanya
meniupkan nafas kehidupan.
Telah kutuliskan bahwa kepalsuan dan pengkhianatan
adalah milik manusia, orang yang terpercaya,
yang menyimpan rencana dan perhitungan.
Telah kutuliskan bahwa sejarah akan berulang tanpa disadari,
tanpa dimengerti, dia datang tanpa ada kemampuan
dan tanpa mungkin dipahami
Karena takdir merupakan suatu kejadian
suatu peristiwa yang sejak lama telah kutuliskan.
33
Anugerah
Tuhan melihatku lapar
Dia hamparkan sawah seluas pandanganku
Tuhan melihatku dahaga
Dia sediakan laut lepas yang tidak terjangkau
Tuhan melihatku dalam kegelapan
Dia ciptakan matahari dan bulan
Tuhan melihatku penuh persoalan
Dia mengajariku arti kesabaran
34
04 YULITA MAIZIA
Yulita Maizia, lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, pada
tanggal 19 Mei 1993. Mulai tahun 2011 ia menjalani pendidikan di
Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma.
Hobinya mendengarkan musik, bernyanyi, nonton film, browsing,
dan isengin orang. Cita-citanya ingin menjadi seorang yang
terkenal. Motto hidupnya adalah Kebahagiaan yang kamu
dapatkan akan jauh lebih bermakna jika diawali dengan kejujuran.
35
Sajak Alam
Riuh rendah suara ombak
Terasa tenang bila kumenikmatinya
Burung camar pun ikut bersua menyambutnya
Sambil menerobos langit yang terkoyak
Sayup-sayup sasando berkumandang
Sambil diliputi serbuan angin lembut yang datang
Memaksaku untuk menyimaknya dengan seksama
Suara yang begitu indah dan menyejukkan di dada
Nyiur melambai-lambai bagaikan penari hula-hula
Mengajakku untuk bergoyang dan berdendang
Tak habis kupikir mereka mengajakku dengan penuh gembira
Saling berpandangan dan melenggang
Namun saat ini tak lagi kutemukan mereka
Mereka yang begitu ramah padaku
Kini hanya padang pasir yang fana
Panas mencekik membuat hatiku menggerutu
36
Langit
Langit siang yang indah
Kau menari-nari di sana bersama raja siang
Kagum kumelihatmu begitu kau mempesona
Kuingin kau menghampiriku
mengajakku berdansa bersama kalian
Namun ada penyihir jahat
mengubah langit menjadi gelap
Tampaknya ia iri padamu kawan
Kau menangis dan basahlah bumi
Hingga sungai-sungai
memuntahkan isi perutnya
Bunga-bunga bersorak riang
dan menari-nari menyambut tangisanmu
Katak bernyanyi menikmati tangisanmu
Bagi manusia tangisanmu membawa pilu
Takut akan muntahan sungai
Memporak-porandakan gubuk mereka
Langit terus berkobar-kobar
Ia terus menghajarmu, ia iri padamu
Karena kau indah dan menyejukkan hati
Hatimulah yang membuat langit gelap
menjadi langit berwarna
37
Ribuan senjata
Menghadangku, menakutiku
Menenggelamkanku
Seakan membuatku jatuh
Terperosok ke jurang kematian
Hentakkan jantung ini
Tak jua tenang
Aku berteriak
Aku menangis
Nafasku tersenggal-senggal
Tak ada yang menggendongku
Ataupun mempedulikanku
Jari-jari kecil ini
Hanya sanggup terkulum di mulutku
Menyaksikan orang terkasihku
Disentuh oleh bambu besi
Perasaanku terguncang
Ketika kau mengacungkan senjata itu
Dan melepaskan biji besi itu ke kepalanya
Lidahku kelu menghadang
Apa yang membuatku tertahan
Betapa hinakah ia
Jahatkah ia hingga kalian menghentikan hidupnya
Tangisku seketika terhenti
Melihat orang terkasihku
Bermandikan tinta merah
Dan ia hilang
Tinggalkan aku sendiri
38
39
Di Sisa Jawaban
Ini apa...
Itu apa...
Aku tak lagi mengenalnya
Dulu yang kuanggap bongkahan emas
Kini telah menjelma sekat menjulang
Lapangan luas dilahap gedung-gedung pencakar langit
Jalan kampung tergilas aspal keras
Aku menebarkan kehidupan
kau merubahnya menjadi rumah mewah
Apa yang kupunya kawan
Hanya kaki tak terawat
Wajah penuh lukisan kepiluan
Kain pembungkus luka yang menggangga
Kunikmati keterisakan tangis di wajahku
Kurasakan sayatan batin
yang tlah mendarah daging di batinku
Tak ada kenyamanan
Tak ada keindahan
Bagaimana dengan nasibku
Nasib yang tak pernah diperjuangkan
40
41
Menyerah
Tak pernah aku tahu
kapan semuanya akan berakhir
Itu bukan hal yang tabu
walau terasa hambar
Gambaran tentangku di matamu
sulit kutemukan sulit kulukiskan
Hanyalah bayangan semu
yang tak pernah terungkapkan
Terasa begitu miris tersaji tak beralasan
genggaman khayalan yang tak bertuan
Hempasan makna pedih menyakitkan
melengkapi suasana di ruang pesakitan
Apa yang kuinginkan
Apa yang kuwujudkan
Remang-remang lampu ini
mengikuti alur hatiku
Aku merasa semakin sepi
keadaan yang benar-benar meracuniku
Ingin aku berontak
tapi aku bisa berbuat apa
Keadaan sungguh menguasaiku dengan membentak
hilang tersaji di pelupuk mata
Apa yang kupunya
Apa yang kurasa
Indah
Bahagia
Damai
Tidak...!!!
Semakin terpuruk
42
05 Rizki Valensi
Rizki Valensi lahir di Lubuklinggau, Palembang, 15 Juni
1991, beragama Islam, suku Palembang. Alamat Jl. Cendana Blok
G No 116 Perumnas Lubuk Tanjung Lubuklinggau Sumatera
Selatan
085378326665 dan E-mail: rizkivalensi@yahoo.co.id
FB : valenpeter@ymail.com;
@valend_olive
Orang tuanya: Adi Sumaryanto dan Rayu Sumarti; Rizki anak kedua dari tiga bersaudara
Pendidikan:SD Negri NO 47 Perumnas; Lubuktanjung Lubuklinggau Sumsel; SMP Xaverius
Lubuklinggau Sumsel; SMA Xaverius Lubuklinggau Sumsel; dan sekarang mahasiswa di
Jurusan Sastra Indonesia 2011Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
43
Jam Tua
TIK. . . tok. . . tik. . . tok
Jam tua berbunyI
Dalam kegelapan malam
Menusuk setiap jiwa
Seolah memberi petanda
TIK. . . tok. . . tik. . . tok
Lagi jam itu berbunyi
Dalam terik matahari
Menerobos masuk kedalam raga
Petanda sebagai semangat
Rumput-rumput berbau surga
Lantai berbau neraka
Siang kita di taman
Malam kita di kamar
Kau dan aku dalam dekapan
Membangun kekokohan cinta
Dan jam tua menjadi saksi
44
Aku Kamu
Cinta adalah setia
Izinkan aku untuk mencintaimu
Berharap cinta yang tulus
Seperti air yang menemani hujan
Hatiku adalah kamu
Di hatiku ada namamu
Berharap jodohku adalah kamu
Seperti lebah dan madu
Bumi adalah tempatku berpijak
Ada hujan ada matahari
Begitu pula dengan cinta
Aku ada karna kau telah tercipta
45
Bangkai
Bunga tumbuh karna adanya air
Jika tak ada air maka ia akan kering
Begitu juga Kau
Kau tumbuh subur dan makmur
Hanya harta yang kau cari
Bumi hanya menerimamu sesaat
Uang hanya lewat sebentar saja
Daun beterbangan dibawa angin
Kau hanya duduk manis
Bersama teman-temanmu yang kejam
Kau berada di tingkatan tinggi
Sedangkan kami berada di bawah
Kau dan kami bagaikan langit dan bumi
Kau tak ada apa - apanya tanpa kami
Kau jadikan kami korban
Matahari menatapmu dengan sinis
Ia tahu kaulah penyebabnya
Banyak orang kelaparan
Banyak juga orang mati
Terciumlah bangkai dimana-mana
Kau penghancur bumi
Kau tikus rakus, kau juga siluman
Kau tak henti-hentinya menggerogoti
Hingga kami semua musnah
Hancurlah tanah airku
46
47
48
Dan kami pula kaum menderita
Apa kami punya salah ?
Mengapa adikku menjadi korban
Gadis yang tak tahu apa apa
Dunia ini membuatku semakin muak
Muak akan perlakuan manusia
Manusia yang serupa dengan setan!!
Adik . . .
Aku berjanji
Selalu berdoa untukmu
Dengan hati yang pilu
Dengan badan berserah diri
49
50
51
52
53
Ketika Senja
Ketika senja menghias langit
Terselip cerita antara aku dan mama
Ketika kita duduk bersama di bawah semilir bayu senja
Mama memandangku dengan tatapan tajam kebencian
Di sudut kedua bola matamu terlihat
Seperti ada bayangan luka masa lalu
Entah apa yang mama rasakan
Namun jantungku berdetak kencang.
Darahku mengalir menghujam seluruh tubuhku
Melebihi dentingnya jarum jaman
Pandangan mama yang semakin kuat
Tapi di sudut matamu mama,
kutemukan arti cinta yang tak pernah mama tunjukkan
Aku juga menemukan arti indahnya bersamamu
Indah matamu,
bagaikan pelangi di langit senja.
54
Elegi Hujan
Air mata duka
Menangisi kebiadaban dunia
Kematian seorang manusia
Menusuk hati yang terdalam
Tak banyak yang kuperbuat
Selain menangis tak beraturan
Nada gila menyeruak
Menghancurkan hidup ayahku
Hujan berhiaskan petir
Ikut memberontak
Ikut merasakan
Pedihnya jantung
yang perlahan berhenti berdetak
Aku hanya bisa menyaksikan
Tubuh tak bernyawa tergeletak
Meninggalkan aku sendiri
Dalam dunia
yang penuh dengan kegelapan
55
Sajak Pelangi
56
Sepengal Duka
Adikku kecil
Adikku sayang
Adikku malang
Meninggalkan sepengal duka
Diam membisu dengan lumuran darah
Terbungkus plastik yang terpoles oleh lumpur
Di antara kertas-kertas terserak
Tak satupun memandang dirimu
Darah mengalir dalam bara jalanan
Dan daging adalah tumpukan batu
Yang tergeletak sampai akhir
Baru kutemukan dirimu
Diperbatasan hitam dan putih
Antara dosa dan amarah
Tangan setan mencabik-cabik tubuhmu
Memotong di setiap sudut kehidupanmu
Begitu banyak penthil-penthil setan
Yang meniup dosa melenyapkan benih cintamu
Ketika matahari menyingsing
Mencuci darah dalam bungkusan
57
Sayap Amarah
Ijinkan aku sesaat meluapkan kemarahanku
Yang terpedam didalam dada ini
Mengalir dan membanjiri semua aliran darah dalam tubuh
Untuk sebuah duka tak bertahta
Bagai lautan lepas
Mengombakkan suara gemuruh
Mengunyah dosa terkutuk
Mengeliat di sekujur tubuh
Kaukau bagai binatang jalang
Berlumur darah yang mematikan jiwa
Terlepas terkelupas dari jasad
Tergeletak tak bernyawa
Kau hancurkan tulang belulangku
Lantas kau bakar luka di atas deritaku
Kobaran amarah teramat sulit kuungkapkan
Ibarat binatang kau paling terhina
Kau cabik-cabik tubuh itu
Tak peduli jeritan bergema di telingamu
Kau kepakan sayap kemenangan mu
Ketika fajar menyingsing
58
59
Negeriku indah
Negeri penuh cinta
Negeriku kurindu
Negeri buah pinang masak
Mengukir sejarah negeri Melayu
Kerajaan Sriwijaya bertahtah
Di bantaran sungai Batanghari
Meninggalkan cerita lama
Kini kujauh darimu
Negeriku kurindu
Ingin kukembali
Bermain sampan
di huluan sungai
Pinang masak tlah membenam di ufuk senja
Memejamkan mataku di akhir cerita
Membawa rinduku ke dalam mimpi
Mimpi tentang cinta sepucuk pinang
60
Sang Penguasa
Dua sudut mata
Mengalir kan tatapan tajam
Menatap setiap sisi kehidupan
Berlutut, menanti sang penguasa
Dia
Mengunyah untaian sumpah
Mengancingkan benang keadilan
Mengikiskan iman hingga tuhan terasingkan
Dalam tahta kekuasaan
Duduk menjarah sisi pengharapan
Bertingkah menyeduh keringat sudut kota
Mengingkari amanah
Sembari berlutut
Mencoba melihat sebatang lilin
Membakar dirinya hingga secercah
Meleleh setiap sudut segitiga
Di sisi gelap malam
Satu bintang bersinar
Menemani sang rembulan
Cukup melukiskan sepenggal untaian janji
61
Puing-puing
Kekejaman
62
Sayap yang Patah
: Kahlil Gibran
Aku lelah menanti
Aku lelah menunggu
jawaban yang tak pasti
yang kutahu tak pernah
keluar dari mulutmu
Apa yang kaumau..
Kau mempermainkan perasaanku
Kau bunuh aku dengan semua sikapmu
Kau menganggapku seakan-akan aku tak ada
Apa yang kau mau..
Deritaku kah
Atau air mataku
Percuma kau kusayang
Jika nyatanya aku tak di hatimu
Lebih baik aku menghilang
menghancur impianku tuk bersamamu
Apakah kau tahu
Remuk hatiku
Dengan gumpalan luka yang kauberi
Aku muak dengan semua lakumu
Ku tak ingin lagi menuai luka
membuat aku jera tuk mencinta.
63
Keindahan Cinta
64
07 Bayang Kalbu
Bayang Kalbu (dipanggil Bay) lahir di Blitar, 22
Juli 1991.
Saya mulai masuk sekolah di SDN OO1
Kecamatan Waru, Kabupaten Penajam Paser Utara
(PPU), Kalimantan Timur tahun 1998. Kemudian
lulus tahun 2004 dengan nilai yang cukup
memuaskan.
Saya lanjutkan sekolah ke jenjang
berikutnya di SMP N 4 PPU di tahun yang sama.
Sekolah yang satu ini berada tepat di depan rumah saya. Bahkan sekolah ini berada di ruang
lingkup rumah saya (atau justru sebaliknya rumah saya yang berada di lingkup sekolah)
Tahun 2006 saya kembali lulus sekolah dengan nilai yang cukup memuaskan, dan di
tahun itu juga saya langsung melanjutkan sekolah saya di SMA Katholik W.R. Soepratman 020
Samarinda. Sekolah ini membimbing saya hingga lulus di tahun 2009, dengan nilai baik.
Ibunda saya, yang seorang guru di sekolah menengah pertama di tempat saya dahulu
bersekolah, yang sangat disegani, serta Ayah saya yang seorang petani dan pemburu bersahaja
tidak mampu membendung niat saya yang kuat untuk menjadi seorang pengangguran. Maka,
pengangguranlah saya selama dua tahun.
Setelah dua tahun yang melelahkan menjadi pengangguran, saya melanjutkan sekolah
saya keperguruan tinggi Universitas Sanata Sharma tahun 2011. Dan tanpa ragu saya memilih
Sastra Indonesia (yang kelak akan membuat saya ragu).
65
Kutukku
Hei Keparat !
Jangan tertipu matamu
aku bukan ayam
belenggu tak membunuh
hidup mati tak berarti
Dengar!
Sungai kepedihanmu takkan bermuara
lembah kesepian akan mengungkungmu
Istri meninggalkanmu saat puncak cinta
anak dan cucumu membuangmu
merayap dalam kubang lintah
menghisap habis darah
hanya itu, hanya itu kawanmu
kamu mati!
66
Pohon Apel
67
Seorang Putri
Aku bingung harus berkata apa
jika ini bisa terucap,
jantungku sakit
nafasku sesak
otakku selalu merekam dengan seksama
seperti bulan bagi yang tersesat
bintang bagi pelaut
seorang putri
memakukan pandangku
memakukan pikirku
ya, aku melihat seorang putri
anggun
jelita
sempurna
hanya dia yang mampu mengguncangkan duniaku
dan
putri itu
kamu
68
Dia
69
Sajak Puzzle
Potong
dipotong
dipotong potong adikku
wahai semesta raya
dimana rasamu
dunia semakin kanibal
manusia semakin tak bermoral
menjadikan manusia potongan
sesama manusia menjadikan kerabatnya potongan
seperti puzzle
puzzle manusia
langit hujan darah
70
71
72
Wahai Kekasihku
Wahai malam
Jangan kau redupkan sinar di hatinya
tuk slalu menjadi cahaya cinta di hatiku
Ungkap segala gundah dan resah dalam jiwa
Mekarkan bunga-bunga kerinduan dalam asmara
Wahai sepi
Jangan kau sembunyikan cintanya dariku
Karena yang kuharap sayangnya kepadaku
Bangunkan rindu yang resah dalam kalbu
Usik lamunan di gelap asa yang tak mengaku
Wahai dingin
Jangan kau bekukan kerinduan di antara kami
Karena dia selalu hadir dalm mimpi-mimpi
Getarkan dawai-dawai cinta dalam hati
Nyanyikan desir angin di tiap sudut sepi
Wahai kekasih
Berikan aku setangkai kelembutan jiwa
tuk ungkapkan tirai-tirai asa tersisa
Sampaikan ungkapan jiwa
dalam relung-relung rindu kepadamu
73
74
Kekecewaan
75
76
77
Aku Perempuan
78
: R
79
Tragedi
80
Dilema
Seharusnya senang,
Ada nafsu yang terjadi
Semalam tadi.
Seharusnya happy,
Seorang pria melata
Sedekat tanah
Mestinya puas,
Gelapnya malam
Mempermudahkanku
untuk melakukan
Ternyata masih ada,
Perempuan meratapi sempat kekasih
Yang hilang tergesa
Tanpa pesan
81
Losmen
82
Aku Menunggumu R
Aku menunggumu R
Diantara langkah-langkah yang bergegas
Sebuah kendaraan yang kutunggu tak kunjung datang juga
Detik berganti detik berlalu
Berguguran sepi dan galau
Aku masih saja setia pada apa yang tak bisa ku katakan
Waktu telah menunjukkan kesedihan
Terkikis kelengangan yang menghempas
Seolah isyarat waktu yang tak terungkap
Daun-daun berguguran
Namun ada yang tetap terjaga
Menunggu datangnya dirimu suatu ketika
83
09 Elizabeth Ratnasari
Elizabeth Ratnasari, lahir di Klaten , 23 Januari 1993. Beralamat di Ngepeh, Pasung,
Wedi, Klaten. Pendidikan: TK Pertiwi Pasung, SDN Pasung 1, SMP N 1 Wedi, SMA N 1
Jogonalan. Orang tua: Ig.Suratno & Th.Sri Wulandari
84
Kekasihku
Kekasihku ....
Sudahkah kau dengar
suara angin yg membawa rinduku?
Lihatlah nanti
hujan mengalirkan air rinduku
hingga ke tempatmu
Oh kekasihku ...
Sesungguhnya kita tak pernah jauh
Kita masih menatap langit yang sama
Dan merasakan terik matahari yang sama
Kekasihku ...
Pergilah, namun kelak
jangan kau salah berjalan pulang
85
Berikan Hidupku
Lihatlah kami di sini
Langit menangis melihat duka anak-anak negeri
Tidak malukah kau makan hak kami?
Kami yang seharusnya
menikmati damainya hidup di khatulistiwa
Tapi kau belenggu kami
dengan jerat duri
Kau persulit kami
menghirup oksigen di negeri sendiri
Setelah ini apalagi?
Mau kau gadaikan
gunung dan pulau di negeri ini?
86
87
Merapiku
Sejukmu ...
Suaramu ...
Pesonamu ...
Menyita seluruh rinduku
Namun murkamu membawa pilu
Ada air mata di sana
Ada pula dukaku di situ
Jangan kau marah lagi
Kembalilah pada damaimu
Kembalilah pada indahmu
Agar kami tenang di sisimu
88
Perpisahan
Perpisahan
Ada perpisahan
Antara masa lalu dengan masa depan
Ada percakapan
Antara pagi dengan malam
Ada perjanjian
Antara lonceng doa angelus dan siang hari
Ada pertemuan
Saat kau melihat dan bertanya
Siapakah yang duduk di altar gereja itu ?
Tertunduk dan mengepal tangannya
Melafalkan doa yang begitu indah
Dan dia larut dalam percakapnnya bersama Tuhan
Hening
89
90
Hilangmu, Dukaku
Di beranda rumah
Kududuk merenung
Mengingat canda tawamu
Sebelum kau pupus ditelan
Senjata bejat-bejat itu
Ayah.
Ingin rasanya kuberjumpa denganmu
Walau hanya dalam mimpiku
Walau hanya memandang wajahmu
Di bingkai usang ini.
91
Denting Rindu
92
Kemiskinan
Negaraku kaya
Tapi banyak orang miskin berserakan
Atau kemiskinan ini
Milik negaraku?
Ataukah kaum miskin yang tak mau berubah
Atau negaraku kumpulan orang miskin!
Tidak, kulihat banyak orang berpangkat
Hidup mewah dan hampir memeluk dunia
O kemiskinan..
Pergilah kau dari negeriku Indonesia
Pergilah kau para insan yang membuat kemiskinan
Siumanlah kau
Para pembuat kemiskinan!
Buka mata hatimu
Wahai orang-orang yang membuat negara ini miskin
Indonesia bukan milik kau saja
Anak cucu juga ingin
Menikmati kekayaan negaraku
Negara Indonesia
93
Jika Kau Adalah Aku
94
Sanggupkah
Terdiam merenung sendu
bersenandung lagu rindu
Terbayang perjalanan waktu
Sebuah kenangan masa lalu
Tiada lagi nyanyian yang ku lantunkan
Tiada lagi penghibur laraku
Tiada lagi ketenangan dalam jiwa
Yang ada hanya bintang berduka
Yang ada hanya langit tergores luka
Seakan ku hendak berkata
Inilah nadi kehidupanku
Senyuman pun hendak membeku
Dalam dinginnya pekat malam
Tangisan kian melarut pilu
Dalam harunya lautan malam
Sanggupkah kulalui badai pasir rindu
Sanggupkah kulupakan indahnya ribuan pesona mimpi
Sanggupkah kulangkahkan kaki melewati panas bumi
Sanggupkah kubenamkan diriku dalam lautan kelam
Sanggupkah kubertahan dinginnya hembusan angin salju
Hanya ada satu jawaban hati
akan kulalui dan kujalani
dengan kasih murni setulus hatiku.
95
11 Ludgerdius Beldi
Ludgerdius Beldi lahir di Pontianak, 26
Maret 1992. Alamat asal Jalan Gajahmada,
Gg. Gajahmada X, No 6, Pontianak,
Kalimantan Barat
Nomor Telepon
: 0896 7625 020
Alamat email
:
tuanlood@gmail.com
Alamat web: https://soundcloud.com/mrlood/mrlood
Deskripsi diri: Young, Wild and Free.
96
Segitiga Pekat
Waktu itu di Ujung Darat pagi belum bisa melihat api dari dekat
Namun tameng kami tiba-tiba hancur diseruduk banteng sesat
Terkilat tangan kasar legam ramai meledakkan mataku sesaat
Terlukis dari dekat Raja kami layu dihantam laknat
Lima watt yang berada dekat, berkedip cepat melawan gerakan padat
Aku terjaga hangat dibalut bunda beradu vibra pelan menyudut ke bale-bale gelap
Sambil mencuri tatap, kepungan serta hantaman memeriahkan raut Raja kami di bawah 5 watt
Serentak aku memuntahkan tanya, "Apa salah Raja kami tuan-tuan Ujung Darat?"
Kalap, aku yang masih belum bisa melihat siang hampir kalap
Tersungkur Rajaku kutatap terlelap padat di bawah pusat 5 watt
Tangis air mata tak bisa lewat untuk menyusup keluar melihat
Hanya sontakkan membelalak mengiring hayat Raja kami terlelap
Ohh Penguasa kolong dan atap
Terlalu banyak cara menyadap diriMu yang hebat!
Terlalu banyak suara telat saat tak tau siapa yang didaulat!
Bahkan terlalu banyak yang bersyahdat menciptakan satu yang tetap!
Sekarang bisa kau lihat ! Rajaku menatap merana tanpa gerakan yang terlihat
Knights Templar yang dulu kuat, kini hina terikant diantara orang-orang Ujung Darat!
Knights Templar yang dulu kuat, kini rapat menutup kisah Trilogo para penjilat!
Dan, Knights Templar yang dulu memberiku belaian hangat, kini hanya dingin yang mengikat
Jawablah aku wahai Baphomet sang penerima surat!
Apa kau masih pekat sewaktu kami selalu bersyahdat?
Bicaralah ! Apa kau takut disalib dan dikatakan sudah bertobat ?
Sesungguhnya, ketika kau rapat seperti mayat. Trilogimu sudah tamat !
97
Ohhh... Indonesia
Inilah potret wajahmu dari dekat
Ohhh... Indonesia
Hitam jiwamu masih pekat
Ohhh... Indonesia
Sudikah kau menyimak suara dari dekat ?
98
Cuap-cuap Bro-Bra
Kata Bro itu :
Segitiga, banyak setannya
Garis bentuk jendela, kafir orangnya
Lengkungan bentuk bulan, teroris orangnya
Kata Bra itu :
Cewek, sopan... Kadang membuka
Cewek, "KAMI SEKARANG DI ATAS!"
Cewek, penjaga... Susah dijaga
Cewek, ada uang... Ada barang
99
Anjing !
Anjing ! Aku menghasut makananmu
Banyak maksud peluru untukmu
Ini bukan logika untuk memaksa
Gendong-menggendong tulang ? Arhgg, tersiksa Njing !
Anjing ! Kau memang penggonggong
Biji sesawi celoteh, kau lahap juga
Bukan pedang untuk memotong
Tapi kau melolong kosong arti
Anjing ! Keluar kandang lagi Njing ?
Buka suara memesan suara sama Njing ?
Kupukul kau besok merah, Njing !
Biar betina tua mu tak pusing lagi, Njing !
Anjing ! ga suka kau Njing ?
Petantang kencing invasi wilayah
Ngentot otak kau Njing! Goblok !
Jantan tuamu, tak seperti Anjing !
100
Bee
Ada kalanya waktu itu kita berbincang penuh
Mungkin hasilnya tak seperti ini
Engkau terbang dari bungaku
Dan sekarang hinggap di bunga lain, lalu pergi
Ada kalanya juga waktu itu kita becermin,
di aliran sungai yang jernih
Mungkin sayap kita bisa segar,
kemudian bersama terbang menghisap sari
Aku memang kecewa ...
Lukisan yang kau kirimkan
Mengingatkan tingkah saat kita bercerita
Dimana canda, tawa membuat iri ekor mereka
Tapi setelah itu kau menitipkan goresan sukar
Masih fasih aku merekam pidatomu itu
: tak bisa, tak bisa. Kita beda boo
101
Suaka Kuasa
Ini aku, Bung !
Tak perlu mancung, tuk garang
Banyak cakap seragam pakaian
Penyeleksi guna hailee sellasie dan machiavelli
Semoga hari ini atau esok kalian masih menganggap aku ini sebagaimana tadi kalian mengenal
dan sempat mengorek isi telingaku ini dengan suara. Jangan anggap ini sebagai suatu kabut yang
tak bisa kalian hapus dengan sekali hembusan.
Anggap ini hanya serangkaian pemeriksaan sebelum terbaptis kenyataan.
Datanglah kemari sekarang, datangi aku dengan pertanyaan yang selalu kalian siapkan setiap
melihat aku bersilat dihadapan kalian. Analisa aku dengan berbagai teori yang sudah kalian
pelajari untuk mengungkap siapa aku ini. Perangi aku dan lawan aku dengan mental '98 yang
kalian banggakan, sumpal aku dengan kebenaran hasil pedagogis kepercayaan kalian.
Ohh, para Bigot, hantarkan aku dengan des sein ala machiavelli. Manjakan telingaku dengan
kidung hikayat keagungan para penganut Haile Selassie dan bangunkan aku dengan derajat
wewangian pemahaman kalian.
Jangan cari aku, ketika kalian belum bisa menemukan rasa hambar di taik kucing !
102
12 Mikail Septian A. V.
Nama : Mikail Septian A.V.
Lahir : Balikpapan, Kalimantan Timur 8 September 1993
Riwayat pendidikan :
TK Ignatius Slamet Riyadi
SD Ignatius Slamet Riyadi I
SMP Ignatius Slamet Riyadi
SMA Sedes Sapientiae Bedono
Masa SMA merupakan masa yang menyenangkan. Saya
mengenal puisi lebih lanjut ya pada masa SMA ini. Sempat membuat puisi yang kemudian
dijadikan lagu oleh teman saya. Alhasil puisi saya terkenal seisi sekolah. Dari situ saya dikenal
cukup mahir membuat puisi. Atas dorongan itulah yang membuat saya terus mencoba menulis
puisi ketika ilham menghampiri otak saya. Dalam menulis puisi saya lebih condong kearah puisi
yang memiliki kata-kata puitis cinta dan sejenisnya. Namun saya juga ingin suatu waktu bisa
menulis puisi dengan tema yang berbeda. Selain senang menulis puisi saya juga senang bermain
game. Tiada hari tanpa game. Game bagi saya adalah pelipur lara bagi para kaum jomblo. Game
mengerti saya begitu pula saya mengerti game. Terima kasih.
103
Penguasa
104
Bocah Berbisa
Hei kamu! Iya kamu yang menembus tubuh ayahku
Dengan pisau terdorong kebenaranmu!
Hei bapak suci! Sadarkah dirimu atas tindakan itu?
Memutuskan kebahagiaanku dan ayah yang kini tiada
Tinggal seorang diri menjalani hidup
Lalu lalang mencari-cari kebebasan
Yang hanya ada dalam cerita pengantar tidur
Nyatanya aku hidup dalam bayang kegelisahan
Entah salah apa ayahku! Ayah salah?
Lalu kalian benar? Buktikan!
Karna kepercayaan ayah berbeda dengan kebanyakan kaliankah?
Justru aku berharap semua tiada beda,
105
Pantai
106
Koral Cinta
Hamparan koral itu
Embun beraroma, sejukkan batin
Hamparan koral itu
Kamu ada, cinta terjalin
Seakan menyentuh dasar
Koral laut menjejalkan kaki tegas
Seakan menyentuh dasar
Hadirmu di sini beri bias
Senyum terlintas
Tawa mengisi
Koral hanya alas
Namun tegar berdiri
107
Kopi Secangkir
108
Ada-ada Sajak
109
Kuning
110
Tua Renta
111
112
Kaca Kerinduan
Angin mendesah-desah sumbang
pada helai butiran kerinduan
Termangu-mangu di posisi penuh adaptasi
dan dulu kita sempat beradu penuh sensasi
karena cinta yang kita sebut murni
Malam semakin ingin memakan
Teradakan cahaya gelap
dan hembusan nafas semakin ke kanan
kutatap kabut pada cermin
kemudian menyiratkan ketika ada luruh perasaan
Menatap penasaran pada sebuah wajah
mengeluarkan angka-angka yang penuh gairah
mengatakan rindu membara,
kemudian bulan mengaca
113
Sajak Tengkorak
Tanah itu bau darah
Menggendong bau-bau anyir pecah
Udara pun terasing tak mau kenal
Tak mau satu, bau darah ingin menyatu
Pegi duduk pada siang
Siang duduk merangkul paksa malam
Tak ada waktu, tak melihat itu
Waktu kering dimakan manusia perang
Benci sudah menjadi tirai
menggerogoti yang hidup jadi brutal
Teruslah begini hai makhluk !
Dunia sebentar lagi
Museum tengkorak
114
(Bukan) Pendosa
Bangku kosong menempati muka gelisah
Mendekat di pintu, mataku jadi pucat resah
Kubisa lihat
Mata sejuknya tertanam lebam
Wajah damainya ternganga darah
Kubisa lihat
Bicaranya tersendat menahan tangis
Lututnya bergegar tersandung tendangan
Kubisa lihat
Lebih dari 20 kali kepalan mendarat tanpa permisi
Tak terhitung cacian mencabik-cabik
Tak tercatat ludahan tercecer-cecer
Ku bisa lihat
Tuhan diam
Sanubari berteriak, dosa inikah yang dikecam
dan kulihat, tapi Dia diam.
115
116
Ujung
Pada hari terujung ,
aku masih tidak tahu
Kusinggahi rumah,
kubiarkan jejak menginjak
bekas perjalananku
Berjalanku pada aspal kalian,
membeberkan jejak lelah kakiku
Berhenti bilamana waktu,
pada persimpangan
beberapa sandiwara tragedi
Mencari diam atau beraksi,
bahkan cuma jadi saksi
belahan peristiwa kini
Ingatanku tanpa batas,
sampai aku lenyap habis terbabat
Aku tidur, masih mencium
amis kelakuan-kelakuan lalu
Aku bangun, masih mencakar
pilar-pilar masa laluku
Aku mimpi, serasa mereka menghisap habis
sukma tubuhku
nikmati jam mati,
waktumu mungkin menunggu
117
Pada Malam
Malam larut berlari kembali pada semesta
Pada dingin gelap tanpa cahaya
Lihat kiri, kanan, samping, atas, lalu tengadah
bulu lengkung kemudian menari seketika
Apa yang salah pada sebuah kaca
melihat sendiri termangu sepintas cahaya
Ketika tiap sudut mengoceh nada-nada
Telungkupku dalam selimut domba
sedangkan anjing melolong
entah gembira entah gila
118
Pintu
Pintu menatap,
menoleh sekejap
Ukiran yang sebenarnya
jadi kunci
tak teradaptasi
Terayun ganggang,
membuka dimensi
Tak terkejap,
pintu menatap
Berbicara pada kegaduhan
Ramai, keabadian mungkin hilang
Rupanya sekali lagi terlihat
Pintu masih menatapku
119
120
Sajak Kerinduanku
Malam semakin larut
Tiada bintang dalam malam kegelapan
Hanya ada rindu yang semakin membara
Dapatkah kau menyampaikannya
Dalam keheningan malam
Hati ini bergemuruh bak tsunami
yang datang menerjang
Hingga mataku sayap dan fikiranku melayang
Hingga tetesan airmata ini jatuh
untuk kau yang selalu kurindukan
Semusim kini telah terlewati
Setumpuk rindu kini telah membukit
Alunan rinduku, untaian rinduku
Tak henti menjerat alam pikiranku
Harap dilema rindu kan terlepas
Walau hanya sesaat saja
121
Ajari Aku
Ajari aku untuk membencimu
Seperti ketika kau mengajari aku
untuk membencimu
Ajari aku tuk melupakanmu
Seperti ketika kau ajari aku
untuk mengingatmu
Aku tahu kau tak bisa memberikan
utuh cintamu padaku
Karena sudah ada penghias hatimu
Tapi haruskah aku menanggung rasa ini
Kau lukai hati ini
Dengan rasa cintamu
122
Tikus Negara
Sungguh malang nasib negeri kita
Memiliki para koruptor yang telah merajalela
Bukankah kebanyakan dari mereka para pendiri banasa?
Atau malah, pembawa derita untuk kita?
Uang seolah remot negara kita
Suap, sudah menjadi tradisi negeri kita
Jabatan dan keadilan sungguh membohongi kita
Mau jadi apa negeri kita?
Polisi tak lagi menggayomi
Jabatan tinggi hanya pamor masa kini
Rakyat pun tak ditangani
Hanya berpikir untuk diri sendiri
Agar istana tetap kokoh berdiri
Kini tikus pun tegap berdiri
Sembari tertawa dan berkata
Akulah penguasa negeri ini
123
Kejamnya Dunia
Derai deritamu
Derai air mataku
Kau lemah tak berdaya
Kejamnya dunia bagimu
Kejamnya hidup untukmu
Saat kau jamah nyawa tanpa dosa
Dia yang lemah dan tak berdaya
Senyuman indah itu
telah menjadi derai air mata
Nyawa manusia tiada arti baginya
Kau kejam
Kau sungguh kejam
Kau bukanlah manusia
Kau tak lebih dari binatang
Yang tak pantas hidup di dunia
124
125
Untukmu Ibu
Ibu, mengenangmu, adalah telaga yang sejuk
Dalam kerinduan ini kukirim alunan puisi untukmu
Ibu, walau orang mencibirmu
Tapi kau bagai cahaya surgaku
Hinaan, cemoohan selalu kau dapatkan
Tapi bagiku engkau wangi bak melati
Ibu, rasakanlah kerinduan hati ini
Aku ingin, kita bercerita tentang hidup
di bawah temaram sinar rembulan
Aku rindu nasehatmu tentang kerasnya hidup
Ibu, ingin aku tidur dalam dekapanmu yang hangat
Yang selalu memberikan semangat hidup bagiku.
126
Goresan-goresan Rindu
Kabut hitam terkatup membisu
Menawan rembulan yang pucat pasi
Sementara sepi menghimpit kesunyian
Lahirkan guratan-guratan perih di hati
Aku semakin tak berdaya
Terpinggirkan oleh ribuan rasa sepi
Dan jiwaku menggigil
Tenggelam dalam putaran tanpa akhir
Batinku menghamba
Pada bayang- bayang tanpa makna
Pada lentera yang mulai redup
Dan rindu yang tak berujung
Langit malam menemaniku
Melukis indah rona wajahmu
Menghiasi asaku dalam penantian
Penantianku akan datangnya hadirmu
Kini aku kembali disini
Di pelabuhan terakhir saat kau pergi
127
15 Wendy Nugroho
Wendy Nugroho lahir di Temanggung pada
28 Mei 1993. Playgroup, TK, SD, SMP Masehi
Temanggung, SMAN 1 Temanggung. SMA masuk
ke jurusan bahasa dan jatuh cinta pada sastra. 2011
Kuliah di USD Sastra Indonesia. Pernah menjadi
aktor teater Bengkal Sastra pada semester 2. Selama
berkarya di bidang sastra tidak ada karyanya yang
diberi judul.
128
129
130
Tuan lihat?
jalanan ini bergumaman
bising sekali ketika klakson ricuh
menyemangati tekanan darah mereka yang membatu di kepala
Tuan lihat?
jalanan ini bergumaman
banyak yang nyawanya melayang
orang bilang wis ngati-ati ning wong liya ra ngati-ati yo podho wae
Tuan lihat?
jalanan ini bergumaman
katanya kita banyak hutang tapi jalan itu bergumaman
sampai-sampai orang berjalan seperti diincim
sampai-sampai tidak ada orang berjalan yang terlihat di jalanan
mungkin mereka takut
takut oleh rasa malu
takut oleh mata orang lain
Tuan lihat?
bau bensin mengatmosfer
kini kita telah berevolusi
tak lagi air yang membasahi kerongkongan, tapi bensin yang mengeringkan kerongkongan
kini kita lumpuh, tak lagi otot yang menopang kaki, tapi roda yang bergulir ke mana kita akan
pergi
Tuan bisa apa?
w/002
02034/18.09
131
132
0613 04032013
Pringgodani, Sleman,Yogyakarta
133
w/114114002
22032013/2041
Pringgodani/Mrican
134
808.080513 k20
135
114114002
2105.070513
Pringgodani Sleman DIY