Anda di halaman 1dari 85

KASUT LUSUH

Kumpulan Puisi

Fritz Meko, SVD


PENGANTAR
Bagiku, menulis puisi adalah seni menyulam inpirasi dalam kalimat pendek dengan pilihan diksi
yang tepat-bernas. Pada masa “Stay at Home” gara-gara Covid 19, spontan ada dorongan dari
dalam diri, untuk “mengendus” ceceran puisi-puisi yang saya tulis dalam banyak kesempatan di
berbagai tempat. Dan saya menangkap semuanya di dalam diary-diary, yang saya tulis selama
ini. Lumayan banyak. Maka saya memutuskan untuk diabadikan dalam sebuah Antologi Puisi.
Buku ini berisi 70 puisi. Saya bagi dalam dua bagian. Bagian pertama, dibingkai dalam judul:
Manakar Hidup dalam Peristiwa, adalah puisi-puisi umum yang merupakan rekaman atas
berbagai peristiwa hidup harian. Saya alami semua peristiwa sebagai seorang yang sepanjang
hidup membaktikan diri bagi Allah (biarawan), tetapi tetap sebagai seorang manusia, yang
mempunyai roh dan daging. Karena itu, sebagai seorang manusia saya “berhak” mengagumi,
memesonai, jatuh cinta, bersalah dan keliru. Walau demikan adanya, saya tetap menyadari
esensi pilihan hidupku. Saya harus setia dan “tahu dari” sampai akhir hayat.
Bagian kedua, dibingkai dalam judul: Melihat Hidup dari Langit adalah puisi-puisi spiritual, yang
merupakan ekspresi laku iman dalam keseharian hidup. Tuntutan roh, selalu mengarahkan
manusia untuk mencari siapa PENCIPTA-NYA. Proses pencaharian selalu ditopang oleh iman,
tetapi juga selalu diintai oleh dosa dan kesalahan. Karena itu, keinsafan dan tobat adalah
“guyuran air sejuk” rahmat, yang dapat membersihkan hidup agar tetap layak dan pantas di
hadapan Sang Pencipta.
Mengapa harus KASUT LUSUH menjadi judul dari buku Kumpulan Puisi ini? Ya, kasut adalah alas
bagi kaki yang mengayun, melintasi area-area yang dapat dilalui dengan mudah dan tidak
mudah. Ayunan “kaki berkasut” untuk menggapai apa yang menjadi tujuan, biasanya
menyebabkan lelah dan penat pada kaki. Sementara itu, kasut dapat lusuh dan sobek karena
terlalu sering “menatang” dua telapak kaki yang menjadi tumpuan beban badan.
Kasut Lusuh, adalah simbol ziarah yang senantiasa diwarnai pengalaman-pengalaman baru,
yang perlahan akan menjadi ceritera lama (lusuh). Semua ceritera itu lalu akan menjadi
“sejarah” yang dapat dituturkan pada setiap generasi. Kisah yang sudah menjadi sejarah, tentu
akan mengandung banyak makna dan hikmah yang berguna.
Jadi ziarah hidup kita selalu dibingkai oleh tiga masa yakni: Masa lalu, masa sekarang dan masa
yang akan datang. Ketiga masa ini sudah, sedang dan akan kita lintasi, dengan tetap memakai
kasut. Dan kasut yang kita pakai pasti perlahan akan lusuh. Kelusuhannya akan menjadi ceritera
untuk sebuah ziarah yang pendek maupun yang panjang.
Dengan rendah hati, saya mengharapkan semoga Anda yang membaca puisi-puisi ini, tidak
sekedar memahaminya dari perspertif sastra, tetapi juga mencoba memahami dari perspektif
spiritual yang terkandung di dalamnya. Dengan itu, Anda akan berhasil menangkap hikmah
yang tersembunyi di balik setiap puisi yang Anda baca.
Akhinya, saya ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Yan Sehandi (Pengamat Sastra NTT)
yang berkenan memberi prolog untuk buku Kasut Lusuh ini. Juga terima kasih kepada Sr. Nikke
Lingga, FMM, Saudara Bill Hallan, Saudari Anna Ryantobi, P. Wilfrid Babun, SVD yang telah
membaca semua puisi dan berkenan memberikan endorsementnya.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada, para konfrater (Pastor dan Bruder SVD) di Wisma
Soverdi Surabaya. Mereka adalah “inspirator” yang selalu membuat imajinasiku bersayap,
terbang menggpai banyak hal untuk dimaknai. Akhirnya, terima kasih kepada Penerbit Kanisius
Jogyakarta yang berkenan mencetak buku Kasut Lusuh ini dan menghadirkannya untuk Anda
semua.**

Surabaya, 8 Mei 2020


Fritz Meko, SVD
KASUT LUSUH sangat unik dan menarik untuk dibaca. Kumpulan puisi ini memiliki daya magnetis
tersendiri, karena penulisnya Fritz Meko, SVD menuangkan hasil daya imajinasinya yang tajam dan lugas
secara holistik dan cerdas, mengalir dari refleksi dan permenungan yang dalam.
Unsur ilahi dan insani sungguh terasa dari baris ke baris, seakan menyobek selubung rahasia misteri
kehidupan. Buku ini menghembuskan angin segar bagi jiwa yang mencari damai dan mendamba cahaya.
Suatu hal yang membuat saya terpesona setelah membaca buku ini, si penulis tetap tercermin sebagai
pribadi yang ugahari dan “down to earth” di balik ke-cerdasan dan keugahariannya.

Nikke Lingga, FMM, biarawati

Dalam kumpulan puisi KASUT LUSUH, penulis Fritz Meko, SVD dengan sadar memainkan peran ibarat
kasut lusuh: merekam setiap perjalanan tuannya, berusaha mengerti kegundahan hati tuannya, sambil
menyalurkan pertanyaan yang tuannya lontarkan ke langit untuk ia bisikkan ke bumi. Maka, seluruh roh
dalam puisi ini, hadir sebagai dialog batin dengan wajah tanpa polesan.

Bill Halan, dosen dan pemred Warta Flobamor


-

Dengan kepekaan seorang seniman, yang ditunjang oleh intelektualitas dan kekayaan dalam
pengembaraan dunia batin yang tak pernah usai, penulis Fritz Meko, SVD dalam kumpulan puisi, KASUT
LUSUH ini, telah menuangkan catatan perjalanan batinnya yang sering dialami banyak orang (saya juga)
untuk selalu bertanya, menggugat, meragukan dan bergelut tentang makna hidup dan kehidupan di
dunia, sambil mencoba untuk merumuskannya.
Suatu pengembaraan kombinasi antara keilmuan, spiritualitas dan arti sebuah dunia bagi kehidupan
seseorang yang terus mencari, sembari mendekatkan diri pada yang Ilahi. Sangat direkomendasikan
bagi siapa saja, baik yang tua, muda, pelajar dan mahasiswa untuk menikmati dan merefleksikannya
dalam ziarah hidup.

Anna Andhyatmi Riantoby, mahasiswa dan penulis

Tidak ada kasut yang tidak lusuh. Justru kasut lusuh itu menunjukkan kualitasnya. Kasut
menopang manusia dan seluruh dinamika hidupnya. Kasut seakan menggendong manusia,
“menggotong raga dan cita” ke mana-mana, terinjak-injak tanpa mengeluh.
Mengapa Fritz Meko, SVD memulai antologi bukunya dengan puisi “Rahim” (berbaring senyap di
rahimmu) lalu ditutup dengan “Hidup” (memata-matai hari hidupku). Saya kira, penulis
menyadari, rahim dan hidup keduanya tidak pernah menjadi kusut lusuh dalam membentuk hati
yang setia, merawat keheningan yang memesona dan menggelora. Ziarah manusia dengan kasut
yang menggotong raga dan citanya, itulah yang membuat sebuah kasut perlahan kusut. Dan
sejarah seseorang pun mulai tercatat.
Sesungguhnya, Fritz Meko, SVD ingin mengajak saya (mungkin juga anda) untuk kembali ke
sumber, dimana kita berasal. Ini satu buku antologi puisi yang smart, untuk dibaca dan
direnungkan dalam kesempatan hening.

Wilfrid Babun, SVD – wartawan dan penyair


BAGIAN – I
MENAKAR HIDUP
DALAM PERISTIWA

1. Berbaring senyap
2. Kasut lusuh
3. Ingin merobek langit
4. Dalam rahim savana
5. Darmono si transmigran
6. Perempuan di lanting mandi
7. Damai menjadi utopia
8. Titian tak bernama
9. Sampai kapan anda berjalan
10. Ceritera belum selesai
11. Beranjaknya senja
12. Berenang di arus waktu
13. Menjumbu Jemari kakiku
14. Merunduk
15. Apa yang anda cari
16. Antara harapan dan kenyataan
17. Katakan padaku
18. Apa yang sedang terjadi
19. Melukis wajahmu
20. Tidur itu mati kecil
21. Menunggang punnggungmu
22. Menggapai kenangan
23. Puisi anak-anak jalanan
24. Gelap membohongi mataku
25. Manpaki lorong batin
26. Menjadi segalanya
27. Sabar menunggu nasib
28. Ruang perjumpaan
29. Credo hikmah
30. Tegar tengkuk
31. Jiwa sastra anak negeri
32. Enggan mendung
33. Bila kau segalanya
34. Diam begitu lama
35. Akhirnya berhenti juga
36. Usia tak dapat dirayu
BAGIAN – II
MENATAP HIDUP DARI LANGIT

37. Menyusuri kanal Wicklow


38. Tambang di jantung rimba
39. Aku menunggumu
40. Muara hati yang kerontang
41. Engkau tak bias dijebak
42. Kupahat wajahmu
43. Dari celah pohon
44. Membilas jiwa
45. Menjelajah raut malam
46. Kicau burung gereja
47. Luluh dalam kuasamu
48. Sang pembebas
49. Peziarah
50. Nafasmu rebah abadi
51. Penantian menjadi biru
52. Dimana rimbanya rasa damai
53. Katanya
54. Bangunlah
55. Tak tergoda menjadi dewa
56. Sejuk mengintai musim
57. Menjulang citaku
58. Ukuran kesetian kami
59. Lakon iman
60. Menjadi satu dengan dia
61. Tak rela menjadi asing
62. Jalan dan alami saja
63. Setia sepanjang musim
64. Tajamnya pedangmu
65. Mataku mercusuarmu
66. Senandung gitarku
67. Jejak kesempatan
68. Isyarat cinta
69. Pusara Jiwa umat
70. Mematai hari hidupku
1. BERBARING SENYAP
Dalam kandungan bunda alam
Sepotong daya berbaring senyap
Jemari Sang Khalik mengayam hidup dari gelombang cinta-nya
Di setiap ayunan pacul kami
Engkau menitipkan seonggok rejeki
Engkau seakan melupakan tetes keringat dan air mata
Ketika kami menjamah rahimmu yang hangat.

Bentangan huma hijau membawa kisah


Tentang cita dan rindu kami menjulang selangit
Kepul asap pada bubungan rumah
Membawa sejengkal harapan kepada hidup.

Sekelompok gadis desa menggenggam alu


Menumbuk padi pada lesung tua titipan leluhur
Menata nada pada alunan bunyi bertalu.

Para bocah bermain asyik di tepi sungai,


membuang kail pada moncong udang di balik batu
Ketika siul murai dan tembang gadis desa menjemput senja
Mereka dituntun magrib kembali ke rumah
Menikmati damai dalam teduhnya pandangan bunda.

* Mojosari, 2 Februari 2018


2. KASUT LUSUH
Kepada: Kule Taeki Meko

Dia adalah lelaki perkasa berjalan ke arah segala


Kasut lusuh menopang ayunan langkahnya
Sederet cita betengger teduh di ubun-ubunya tanpa ragu.

Semakin melangkah semilir angin menerpa deras


pucuk-pucuk cemara
Ada janji manis dalam sejuknya angin lembah
Ada rindu dendam dalam untaian harapan
Dia tersenyum, seakan cita hidupnya menjelang.

Wahai… tuan, lukiskan di lembah ini apa warna jiwamu


Torehkan isi benakmu pada batu putih ini,
karena setiap generasi adalah penutur kisahnya
Tapak-tapakmu akan menjadi cerita dalam rentangan masa
Derai keringatmu
Desah nafasmu
Linang airmatamu
Menggotong raga dan citamu ke arah yang kau tuju.
Memangnya engkau ini siapa?
Kata leluhur Nai’Benu
Engkau adalah sang pangeran
Bertakhta damai di Sonaf Baknime.
Apakah ziarahmu, ayunan langkah tanpa duri dan onak?
Apakah senyummu, jembatan terpendek tanpa hojatan?
Apakah cucuran keringatmu, harga tanpa perhitungan?
Apakah di puncak engkau akan berdiri tanpa taufan?
Engkau tegar berdiri di mata pedang
Sampai sang waktu menguburmu di pusara berbingkai perak.

* Wini – Border Timor Leste, 14 November 2019

• Sonaf Baknime – Istana Kuno Raja Meko


• Nai’Benu – Suku yang tinggal di Oecusse dan Manamas
3. INGIN MEROBEK LANGIT

Mereka berkerumun dan berteriak,


menggapai gemawan ingin merobek langit
Mereka sangka Sang Khalik sudah tuli
Mereka berbondong dan berdemonstrasi
Mereka sangka Sang Khalik adalah politisi
Mereka berduka dan meratap
Mereka sangka Sang Khalik telah mati

Hei….. di manakah tempat engkau berteduh?


Ingin memohon pertolongan-Nya?
Telah hancurkah harapanmu?
Oleh siapa dan apa?
Kesombonganmu?
Kejahatanmu?
Keculasanmu?
Dosamu?

Engkau bangga melakukan dosa


Tapi berani mencuci tangan
Engkau berkhianat
Tapi merobek langit dengan teriakkanmu
Engkau cerdas setinggi langit tapi enggan mencari Dia

Tidak tahu sampai kapan keinsafan


menjadi hakim untuk hidupmu?
Jika hakim itu bicara
Engkau akan merunduk,
tak berani berteriak lagi
untuk merobek langit sucinya.

* Surabaya, 12 April 2020


4. DALAM RAHIM SAVANA
Kepada: Ibu Juliana Diaz da Costa

Di savana sejauh mata memandang


Aku berdiri tertegun menikmati lenguhan sapi timor
Lengkingan seruling sang gembala
menyayat batinku yang senyap
Di lembah Faunoem, sekawanan rusa timor
mengendus rerumputan
Dan di sudut kampung Manamas, kusaksikan jasad leluhur
terbaring tanpa desah di dada.

Di sini, darah rahim bunda pernah tumpah


Tangisku merebak di julang harapan
Untaian bahagia bergantung di dada bunda
Seulas senyum tersungging di bibir ayah.

Aku merayap di tanah ini


Menikmati sejuknya bumi di dadaku
Nafasku merentang damai
Gairahku menjulang tinggi
Tatapanku menanjak naik
Cita-citaku menggegas harap
Ingin menggoda serumpun semak,
menghamparkan naungannya.

Aku berteduh di sini


Sampai hidupku serentang usiaku
Ketika langkahku tertatih di jelang ajal
Ia yang memberi hidup tak dapat disogok
untuk memperpanjang perjalananku
Aku akan berbaring abadi di rahimnya
Menjadi kisah pada tuturan setiap generasi
Dalam rentangan ruas-ruas waktu yang terus bergulir.

* Manamas - Timor, 14 November 2019

• Faunoem – Gunung di Timor Barat


5. DARMONO SI TRANSMIGRAN
kepada: Mbah Darmo - Berengbelawan

Darmono datang dari seberang


Membawa kepala dan dadanya
Di kepalanya ada rumus rahasia kehidupan
Di dadanya ada timbangan menjalankan hidup.

Pada hamparan lahan transmigarasi


Ia menanam harapan dan cita hidupnya
Pada rahim bumi ia mengendus rejeki
Pada semilir angin ia menghirup kesejukkan
Pada gelombang sungai ia mengail kesejahteraan

Ketika ia melangkah di bawah naungan rimba raya


Sang Khalik menyapa melalui kicau merdu murai batu
Ia tertegun menyeka linang air mata kebahagiaan

Seekor tupai melompat dari pohon ke pohon


Seakan bertanya, Darmono………
Kapan engkau merangkai kemakmuran
Kapan engkau menyulam kebahagian
Kapan engkau memasung keraguan
Kapan engkau bersimpuh di hadirat-Nya
Kapan engkau membagi hidupmu bagi yang lain

Darmono, engkaulah prasasti untuk suatu masa


Pada benakmu tertoreh filosofi kuno:
“Di mana bumi kupijak, di situ langit kujunjung.”
Kelak engkau menjadi sejarah untuk sederet generasi.

* Palangkaraya, 15 Mei 2008


6. PEREMPUAN DI LANTING MANDI

Pada lanting ulin itu, engkau melepas segalanya


Mengguyur diri dengan sejuknya air sungai Rungan
Langsat kulitmu membelalak sepasang mata
Sintal tubuhmu meliuk menikam imajinasi.

Si manis sungai Rungan


Mimpi apa semalam hingga menjumpaimu
di siang bolong ini?
Apakah engkau pun bermimpi tentang papasan indah ini?
Engkau menatapku dengan sepotong tanya
Dan aku mencuri tatapanmu dengan selembar bayangan

Sementara klotok melaju di bibir gelombang


Aku memotret lekuk tubuhmu dengan angan memejam
Engkau menghadirkan sejuta mimpi malam tak terjamah
Rinduku tertambat pada senyumanmu
Hasratku bergantung pada tajamnya tatapanmu

Aku terus melaju


Klotok yang menatang tubuhku seakan enggan ke hulu
Tiba-tiba pandanganku menggapai sepasang tupai
Sedang bergulat mesra di dahan ulin
Aku menggisar rosario menghalau kelamnya imajinasiku

Klotok terus melaju dan terlunta dalam riak gelombang


Engkau semakin sayup dalam pandanganku
Engkau menjadi mimpi sejenak dalam pejaman mataku
Kapan lagi aku memapasi bayanganmu di lanting ini?

* Tumbang Jutuh – KALTENG, 12 Juni 1998

• Lanting – Tempat tambatan perahu


• Ulin – Kayu besi
• Klotok – Perahu dari kayu
• Rosario – Tasbih orang Katolik
7. DAMAI MENJADI UTOPIA

Sangkamu, aku adalah lelaki tua


yang kau jumpai kemarin?
Bukan!
Jangan salah sangka
Aku adalah peziarah yang kau jumpai saat ini
Aku datang karena di sini ada raga tanpa cinta
Di dada ada gelora tanpa belaskasih.

Di manakah engkau membiarkan damai bertengger?


Apakah hatimu adalah tanur api,
sehingga sayap damai hangus terbakar nyala membara?
Ketika damai menggelinding di sini,
yang dulu meratap tersenyum mesra
yang bermusuhan saling berangkulan
yang diam saling menyapa.

Damai adalah air sejuk dari langit suci


Mengalir dalam kanal hatimu
Mencuci binalnya egoisme di balik dadamu.

Ketika damai tak bersemi di sini


Engkau manjadi daging tanpa roh
Engkau menjadi manusia tanpa cinta

Jangan biarkan damai,


pupus dari jantung hidup kami.

* Belfast – Ireland, 4 Agustus 2004


8. TITIAN TAK BERNAMA
Kepada: Albert Einstein

Tembang kenangan menjilat sunyi jiwaku


Ketika rindu menapak pada titian ternama
Warna senja menjadi biru
Kupandang wajahmu tanpa kedip,
Di kepalamu terurai rumit rumus gravitasi
Aku membisu di depan prasasti kenangan hidupmu

Langkahmu menguntai dalam mimpiku semalam


Kau berlari mendekatiku dalam sejarak
Tapi kau palingkan wajahmu
Kuingin menjabat tanganmu
Tapi rentang karib antara kita begitu panjang.

Apakah aku harus menunggang punggung harapan


untuk menumpang di lubuk hatimu?
Apakah aku akan menjadi artefak sejarah
karena kekagumanku padamu?
Ah…. kau terlalu berharga bagi pencaharianku
Ketika gemawan yang aku lintasi
seperti selemparan batu jaraknya.

* Ulm - Jerman, 24 Juni 2005

• Artefak – alat-alat yang dipakai pada zaman batu


9. SAMPAI KAPAN ANDA BERJALAN

Sampai kapan anda berjalan?


Cita hidupmu tampak menjulang
Tetapi gairah juang lunglai di ujung rindumu.

Engkau sangka jalan ini tanpa aral?


Engkau lupa, di setiap ayunan langkah ada janji
Pada moncong waktu engkau menggadai harapan
Engkau mengguyur tubuh dengan keringat,
tetapi hatimu menjulur di atas dataran tanpa arah.

Aroma padang yang membayangimu


mestinya menggugah semua kenangan,
yang menopang langkahmu
Tetapi jiwamu tetap meranggas di atas waktu
Mengalir dalam kerontangnya rasamu

Ah…. sahabatku, sampai kapan engkau membiarkan


dirimu dipeluk masa depan?
Sampai kapan wajahmu dicumbu mesra
mimpimu yang bergairah?

Sungguh, di jalanmu ada aral merintang


Tapi di cita hidupmu cinta selalu menggelora
Berjalanlah dan berangan-anganlah
Sampai tapal akhir yang kau tuju,
mendekap hangat tubuhmu.

* Ruteng, 20 Oktober 2019


10. CERITA BELUM SELESAI

(1)

Noreena, datang dan duduklah di sampingku


Kuingin membisikkan rahasia yang telah kugenggam
sejak masih menjadi dongeng di rahim bunda
Rahasia ini menggetarkan langkahku
Aku tak mampu membahasakannya
dengan untaian kata yang menjolok jiwaku.

Juga aku tak mampu menadakannya


dengan melodi merambati kalbuku
Tapi aku mengerti ketika kedip matamu
mencuri pandanganku di tepi telaga biru itu.

Noreena, dekatlah dan hiruplah hembusan bayu senja


di aroma nafas alam ini
Jiwamu akan bertengger di ujung harapan
yang telah engkau gadai di atas waktu
Sebab waktu adalah rahim untuk semua kisah
yang pernah kita lakoni.

Noreena, mengapa hidup begitu ruwet ketika harapanmu menjulang


di pucuk alam yang terbingkai dalam rimba nan sejuk?
Ah….Tere, ceritera ini belum selesai
Maafkan, waktu telah menelan harapanku
yang belum menghempas sampai ke tepian sana.

(2)

Noreena, tataplah senja membayang di lembah sejuk


kampung tua seberang sana
Kutahu, engkau sedang gundah tersayat perih
Tapi di dadamu tersimpan harapan
yang pernah kau bisikan di telingaku.

Noreena, mengapa sungging senyummu tanpa ramah?


Adakah cinta tertelan kemarau rasamu?
Di manakah janjimu untuk sepotong rindu?
Aku tahu, engkau bukan sosok semampai
dengan liukmu menggoda
Engkau lebih berharga dari pucuk citamu.

Noreena, sejuk di wajahmu adalah oase jiwamu


Aku bahagia ketika tatapanmu membentur
dinding rasaku jelang kerontang
Rintih suaramu melodi nafiri senja hari,
menggugah beku di rasaku.

Tatapanmu kristal bagi wajah jiwaku


Kucoba menerka ada apa di balik tatapanmu,
menikam jiwaku tanpa melukainya?
Noreena, datang dan duduklah di sampingku
Aku mau ceritera tentang rahasia
yang kugenggam sepanjang usiaku
Rahasia ini menjadi buku
Tertulis dengan darahku sendiri.
Kuingin engkau membacanya
Engkau akan terperangah ketika engkau tahu,
hidupmu adalah perjumpaan tetesan darah
yang tercurah dari bapak dan ibumu.

Noreena, ketika engkau menginjak bumi


Engkau kira seluruh isinya mengalir ke dalam jiwamu
Ternyata tidak
Engkau hanya sepercik ciptaan dalam ribaan-Nya
Engkau hanya setetes embun pada daun talas
yang menguap saat terik mentari memancarimu.

Noreena, antara engkau dan aku terbentang kisah,


tergadai dalam rindu tanpa batas.
Engkau menatap mata-Nya
menyimpan pengertian tanpa pamrih
Ia tetap melukis indah di atas garis bengkok hidupamu.

Noreena, kisah kita sejenak kutitip di awan cita rasaku


Besok kita akan membuka lagi lembaran baru
tertulis dengan airmata sukacita.

* Gunung Sitoli - Nias, 2 Februari 2017


11. BERANJAKNYA SENJA

Kupandang seekor bulbul terbang bertalu,


mengiringi senja beranjak membawa setumpuk kisah
Kucoba urai rasaku yang biru,
bertanya tentang makna peristiwa ini
Tersimpul pesan dari langit
tentang sederet kisah sarat makna.

Aku menatap senja beranjak pergi


dalam derap langkah sekawanan domba
Senja pergi meninggalkan rasa bimbang
tetapi harapan menjadi naungan untuk berteduh

Ketika senja terkulum mega kelam


Malam membual dengan tawaran sederet mimpi
Semua kenangan mampir di beranda hatiku
Menyapa lirih dan merayu manja
Aku tertegun dan merenung tentang diriku
Terlilit dalam angan malam
dengan buaian semilir sejuk di tubuhku.

Aku tahu, aku bukan burung malam


dengan melodi merdu menyayat jiwa
Aku bukan anjing padang yang melolong memekik telinga
dan membelah lengang malam.
Aku hanya seorang pemimpi, berbaring dalam kesenyapan
menanti fajar pagi menggengam tawaran sederet peristiwa.

Ketika fajar membelah rahim kelam di ujung hari


Aku bangun mengayunkan langkah
dengan rasa syukur bergantung di dada
Akan kujumpai setumpuk kisah berderet,
di tepi hari baru sambil mengayak yang baik dan jahat.

* Sligo – Ireland, 26 Mei 2004


12. BERENANG DI ARUS WAKTU

Matahari bangun dari tidurnya


Menyulam hari baru
Bergulir dan mengalir tanpa lelah
Menggelinding hingga kembali rebah pada moncong pekat.

Manusia bergulir dalam arus waktu


Tidak mampu mengelak dari tepinya
Ia berenang dengan bijaksana di dalamnya
Lalu selamat dan sukses
Tetapi ia akan hanyut dan binasa,
ketika ia berenang dalam derasnya arus dosa

* Surabaya, 12 Maret 2019


13. MENCUMBU JEMARI KAKIKU

Pagi ini, sang surya mencumbu jemari kakiku


Memancari bumi sedang menggigil
Kupandang kemilau wajahnya memulas semesta
Dari bola matanya terpancar cahaya hangat
pada wajah alam yang pucat.

Cahayanya melodi bagi senandung riang kaum jelata


tapi menggugat penjahat yang beraksi dalam gelap
Peredarannya adalah roda tajam
menggilas harapan tanpa makna
tapi mengungkit semua cita luhur ke puncak
Ia menerpa tubuhku dengan hangat
tapi siang hari aku menahan teriknya
di bawah hamparan naungan pohon tepi jalan

Perlahan ia menggenggam cakrawala senja,


sejenak beradu
Dan besok ia datang menerjang kelam
dengan kemilau sinarnya.
Aku akan jujur menoreh harapan
dan kuukur ruas kesempatan tanpa duga
Duhai…… sang kehangatan,
beredarlah di atas ubun-ubunku,
sampai aku berhenti bertanya
tentang mujisat ziarah hidupku.

* Nenuk - Timor, 24 November 2019


14. MERUNDUK
Kepada: Alm. Thoby M. Kraeng, SVD

Sejenak engkau menoleh,


tapi yang engkau saksikan adalah bayanganmu sendiri
Kukira engkau orang sakti dari goa lereng gunung
Padahal engkau anak lugu dari sudut kampung tua.

Engkau tidak membusungkan dada di atas puncak


Engkau tetap runduk di saat sukses mencumbui hidupmu
Engkau tetap tersenyum di batas rasa sesak hidupmu
Engkau tetap ramah di ambang lelahmu
Engkau tetap setia di akhir langkahmu.

Sungguh, engkau penuh daya


Di depanmu aku berdecak seperti cecak
Memandangmu tanpa kedip
Merangkai puisi tanpa gagap
Menata rasa tanpa canggung
Engkaulah sosok sejuta pesona
Kini berbaring abadi di rahim bumi.

* Kupang, 19 September 2017


15. APA YANG ANDA CARI
Kepada: Mgr. Carlos Filipe Ximenes Bello, SDB

Jalanmu panjang
Apa yang anda kejar di sini?
Perspektifmu luas
Apa yang anda ciptakan di sini?

Bicaramu fasih
Apa yang anda laksanakan di sini?
Ketekunanmu menakjubkan
Apa yang anda cari di sini?

Keraguanmu begitu dalam


Apa yang anda rasakan di sini?
Janjimu meyakinkan
Apa yang anda berikan di sini?

Keyakinanmu dalam
Apa yang anda alami di sini?
Cintamu tulus
Apa yang anda kagumi di sini?

Pandanganmu meneduhkan
Apa yang anda lihat di sini?
Pesonamu mengagumkan
Apa yang anda tampilkan di sini?

Anda adalah ukuran sederet makna


Untuk kesempatan yang tak terulang.

* Dili, 27 November 2019


16. ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Jangan ayunkan langkahmu, kalau anda ragu berjalan


Ketika keringatmu kering, rasa belas dari langit hambar
Engkau akan bersandar pada dermaga tanpa harapan.
Jangan acungkan jempolmu, kalau anda ragu memuji
Ketika ungkapan tulusmu terlalu mahal
Kasih dari langit menguap
dan engkau akan berziarah tanpa pesona.

Jangan menatapku dengan kasih, kalau anda enggan menghargaiku


Ketika simpatimu hambar, resah menikam damai di hatimu
Jangan mengatakan I love you, kalau anda merampas damai di batinku
Ketika rindumu pudar, egoisme meracuni ketulusan hatimu.
Jangan berjanji padaku, kalau daya ingatanmu hanya sejengkal
Ketika pikiran tidak diasah, ketulusanmu akan menguap dan pupus
Jangan percaya padaku, kalau kejujuranmu retak berkeping
Ketika nuranimu kotor, keyakinanmu menjadi hambar selamanya.

* Pangkalanbun-KALTENG, 5 Juni 2017


17. KATAKAN PADAKU

Senja, ijinkan saya bertanya padamu:


Apa katamu tentang diriku yang menikmati
kenyataan hidup sepanjang hari ini?
Apa katamu tentang penampilanku sepanjang hari ini?
Apa katamu tentang penggunaan waktuku mulai pagi hingga sore?
Apa katamu tentang relasiku dengan teman-teman sepanjang hari?
Apa katamu tentang keseriusanku menangani tugas-tugas?
Apa katamu tentang kejujuranku dalam berbicara?

Apa katamu tentang warna pikiranku sepanjang hari?


Apa katamu tentang suasana hatiku sepanjang hari?
Apa katamu tentang cara pandangku terhadap kenyataan hidup
yang aku alami pada hari ini?
Apa katamu tentang empatiku terhadap seseorang
yang aku jumpai hari ini?
Apa katamu tentang sikapku terhadap orang-orang sederhana
di seputarku?
Apa katamu tentang pergaulanku dengan orang-orang kaya
dan orang-orang akademisi sepanjang hari ini?
Apa katamu tentang gairah belanjaku saat aku mengunjungi
mall atau plaza pada hari ini?
Apa katamu tentang tumpukan buku di kamarku
yang belum semuanya aku baca?
Apa katamu tentang relasiku dengan orang-orang
yang istimewa?
Aku tahu, engkau adalah sang masa yang jujur menggelinding
Memandang dengan mata elang setiap kisah hidupku
Jawablah aku dalam kesempatan permenunganku
Bila aku mendapatkan jawabanmu
Aku berjanji mengubah yang buruk dalam hidupku.
Aku ingin menjadi diri sejati selamanya.

* Surabaya, 8 Mei 2017


18. APA YANG SEDANG TERJADI

Sahabatku, apa yang sedang terjadi pada dirimu?


Engkau datang tapi kangen pulang
Engkau senyum tapi enggan ramah
Engkau menyapa tapi ingin melukai
Engkau menolong tapi jauh dari ketulusan
Engkau berjanji tapi jauh dari kenyataan.

Engkau menasehati tapi mengkhianati hikmahmu


Engkau begitu saleh tapi enggan mengasihi
Engkau aktif di semua organisasi tapi lupa menata keluarga
Engkau pandai bicara tapi indah kabar dari rupa
Engkau pandai pamer kekayaan tapi batinmu keropos.
Ah….. Kau ........ tapi..........penuh misteri.

* Surabaya, 21 Mei 2019


19. MELUKIS WAJAHMU

Angin malam membawa aroma padang


Mengusung anganku dalam tata rasa putih
Lenguhan sapi di senyap malam
Menagih mimpi-mimpi masa lalu
Ketika aku masih berjuang mencari wajah citaku.

Alunan melodi katak di rawa samping gubukku


Melukis rasa bangga tiada bertepi
Aku ingin berlari dari sini, menjemput aromamu
Tersangkut di tepi gaunmu
Kuingin engkau menyulam semua harapan
yang pernah teruntai di dadaku.

Akan kulukis wajahmu yang menawan di keping jiwaku


Dan aku berdiri di depan mu tanpa kata
Kubiarkan nafasku berhembus tanpa enggan
Hingga kutapaki hamparan cintanmu di segala arah jalanku.

* Soe – Timor, 2 November 2019


20. TIDUR ITU MATI KECIL

Tidurlah sahabatku
Tidur itu mati kecil
Dalam tidur engkau melihat akhirat di mimpimu.

Engkau melihat langit rebah di pangkuanmu


Bulan bersinar di jiwamu
Bintang berkedip di kalbumu.

Nafasmu berpacu dengan setiap detik


pada jam dinding kamarmu
Dan engkau mendengar gelora hari baru
dari kokok jago di seberang bengawan
Pada tapak hari baru rejeki menantimu tanpa bosan.

* Surabaya, 9 September 2019


21. MENUNGGANG PUNGGUNGMU

Saat ini yang ada hanya sepotong imajinasi


Aku ingin menjangkau dan berenang
Di tasik sejuk tepi rimba
Tetapi di sana ada seekor buaya
Baru memangsa seorang petani tua
Saat mengail di tepi tasik.

Imajinasiku menguap
Menjadi kandungan dalam gemawan kelam
Aku menunggu rintik segar dari sana
Kuingin kerontang di jiwaku sejuk sejenak.

Aku tahu, engkau hanya beranjak pergi sebentar


Tetapi aku percaya, engkau akan datang lagi
Engkau ingin merayu anganku yang pulas
Di balik rasa jenuhku sesaat.

Aku menunggang punggungmu


Menitipkan rindu, mimpi, harapan, cita-cita
dan perjuanganku.

Dunia menjadi rahim untuk setiap harapan,


tetap menggeliat di tengah pusaran arus zaman.
Dari rahim ini lahir sejuta pijakkan
Menopang para pencari nilai hidup,
hingga cita berhenti bergetar.

* Claket - Dharmaningsih, 1 Januari 2020


22. MENGGAPAI KENANGAN

Terseling senandung lagu Michael Learns


Aku duduk di sini, di Atrium Plaza Jakarta
Kubiarkan anganku menggapai semua kenangan
yang ternah tertoreh indah di sini.

Senyum bocah kecil di sampingku tak mengusik hening jiwaku


Sekilas bayanganmu melintas di anganku
Tapi segera menghilang entah ke mana
Seandainya waktu adalah jembatan antara kita
Kuingin mengejar-mu dengan langkah tak terhitung.

Aku tahu, engkau tak mungkin berteduh di dadaku


bila aku begitu jalang di jalan hidupku
Engkau tak mungkin menjadi mahkota
untuk buramnya angan-anganku.

Tetapi engkau tak menghardik bayangan indah


dari anganku yang memeluk putih cinta-mu
Detak jantungku adalah pena untuk kembali melukis
pupusnya kenangan indah
Dan desah nafasku adalah kanvas bagi potret diri-mu
sayup terbayang.

Duhai sang waktu,


bolehkah engkau menghantarku sejenak
Kembali mengalami perjumpaan itu
Seandainya mungkin, aku tak mampu membalas kesetiaan-nya
Kini ia menjadi bayangan di ujung sayup harapan
Berdiri bersama sepotong hambar pada rasanya
Tak mungkin aku kembali merangkulnya lagi.

* Jakarta, 21 April 2003


23. PUISI ANAK JALANAN

Sudah bosan? Tunggu, nanti kau rindu


Sudah muak? tunggu, nanti kau cari
Sudah benci? tunggu, nanti kau kasmaran
Sudah capek? tunggu, nanti kau bugar
Sudah patah semangat? tunggu, nanti kau optimis
Sudah mabuk? tunggu, nanti kau normal
Sudah berkelahi? tunggu, nanti kau damai
Sudah mau mati? tunggu, nanti kau hidup.

Tidak tahukah Anda?


Kami adalah anak-anak jalanan
Guru kami adalah semua peristiwa hitam-putih
Terbentang di jalan yang kami lintasi.

Papan tulis kami adalah bentangan jalan yang luas


Pena kami adalah tongkat pengais rejeki
Buku kami adalah wajah-wajah para pejalan
yang ramah maupun yang galak
Kelas kami adalah langit biru beratap gemawan.

Tiap hari kami menulis puisi untukmu


Jangan bosan membaca goresan-goresan kami.

* Madiun, 15 Juni 2017


24. GELAP MEMBOHONGI MATAKU

Wahai.... sang malam


Mengapa gelapmu benderang ketika mataku terpejam
Engkau telah membohongi mataku
Tapi bukan rasaku
Engkau telah menebar pada punggung anganku
Tapi bukan pada tumit kakiku.

Di sini, pada tumpuan kakiku


Rindu mengalir dalam derasnya peluh
Membanjir di wajahku
Dan aku berbaring di sini
Sampai lidah sang surya menjilat
segala kesombonganku hingga pupus.

* Blitar, 11 Agustus 2017


25. MENAPAKI LORONG BATIN

Ketika kabut menutup langkahku, itu sama dengan langit runtuh


Ketika hujan mengungkung diriku, itu sama dengan tidur dan bermimpi
Ketika keindahan dan kebaikan tidak hinggap dalam anganku,
itu sama dengan idealisme enggan mendekat.

Dan ketika tanganku gemetar memegang pena


atau memencet tuts handphone,
itu sama dengan inspirasiku telah meranggas

Aku mesti kembali menapaki lorong batin


untuk temukan tata letak nilai yang baik dan benar.

* Leduk – Prigen, 18 Mei 2018


26. MENJADI SEGALANYA

Jika engkau tidak bisa ke sana


Kirim saja KATA-mu
Jika engkau tidak bisa memberi
Kirim saja EMPATI-mu
Jika engkau tidak bisa menerima
Kirim saja KETULUSAN-mu
Jika engkau tidak bisa menyepi
Kirim saja KEHENINGAN mu
Jika engkau tidak bisa tersenyum
Kirim saja TATAPAN-mu
Jika engkau tidak bisa berubah
Kirim saja PENYESALAN-mu
Jika engkau tidak bisa mencinta
Kirim saja PERHATIAN-mu
Jika engkau tidak bisa merangkul
Kirim saja BELASKASIH-mu.
Dan
Engkau akan mengagumkan dalam segalanya.

* Surabaya, 3 Mei 2018


27. SABAR MENUNGGU NASIB

Atuis, sampai kapan engkau mendengar kicau burung di sini


Paruhnya akan lemas dan telingamu akan pekak
Tidakkah engkau mendengar senandung anak desa
Menghampari rasa riang dan sukacita di dadamu
Tidakkah engkau melihat kepul asap di ladang
Menagih senandung syukur di ujung rasa bahagiamu.

Engkau menyulam indah impian-impian kenangan


Pada dipan bambu di gubukmu
Mimpi-mimpimu sabar menunggu nasib
Dan negerimu makmur karena menjulang daya juangmu.

Di sela harapanmu engkau menyimpan sepotong doa rindu


Engkau tetap melangkah di rentang segala rencanamu
Menangkap pesan leluhur di balik setiap kisah sukses
Sampai sejahtera memeluk cinta di jantung hidupmu.

* Surabaya, 25 April 2018


28. RUANG PERJUMPAAN

Kapan datang lagi?


Sepertinya mereka tidak bosan
dengan kehadiranku setumpuk hari di sini
Yakinlah, suatu ketika sang waktu
Menjadi jembatan bagi jarak kita.

Tunggu saja
Gantungkan harapanmu
Pada deretan kenangan yang terukir
Dalam ruang perjumpaan kita.

Bila sampai waktunya


Langit akan memeluk kita
Dalam hangatnya perjumpaan.

* Malang, 4 April 2018


29. CREDO HIKMAH

Aku percaya kepada anda karena Allah ada dalam dirimu


Aku percaya kepada bumi karena dalam dia ada kehidupan
Aku percaya kepada matahari karena ada keadilan di dalamnya
Aku percaya kepada angin karena ada kesejukan di dalamnya
Aku percaya kepada peristiwa karena ada hikmah di dalamnya
Aku percaya kepada laut karena ada mutiara di dalamnya
Aku percaya kepada pohon kelapa karena ia menyimpan air dari langit
Aku percaya kepada semut karena rajin dan ramah ada di dalam dirinya
Aku percaya kepada lumba-lumba karena ada belaskasih di dalam dirinya
Aku percaya kepada pelikan karena ada berkorban di hatinya
Aku percaya kepada murai karena ada symphoni di dalam parunya
Dan.......Aku percaya kepada semua yang mengandung hikmah di dalam dirinya.

* Mataram, 3 April 2018


• Credo – Aku percaya
30. TEGAR TENGKUK

Aku mencoba mengendus harta di balik kepalamu


Tapi kepalamu telah membatu
Engkau tetap berdiri dalam diam di tepi jiwa kaum jelata
Walau gerakmu adalah hasrat untuk berubah
Pandangamu adalah rindu untuk beralih.

Alam yang menatapmu seakan gulana


Tetapi kepalamu menjadi batu untuk suatu alasan
Entah kapan langit sobek untuk menurunkan hujan
Sebab di rahim hujan ada pedang.

Batu di kepalamu akan remuk oleh pedang dari langit mendung


Engkau akan meratap di sudut kampung
Kicau perkutut meruntuhkan jiwamu yang kelam
Engkau tetap menjadi seorang peziarah
Dengan langkah tertatih di atas bentangan putih citamu
Dan waktu akan menimbang ruas-ruas hidupmu dengan penuh curiga.

* Surabaya, 21 Januari 2018


31. JIWA SASTRA ANAK NEGERI
Kepada: Gerson Poyk

Alisyabana, katakan padaku di mana engkau berpijak?


Chairil, katakan padaku di mana engkau melayang?
Pramudya, katakan padaku di mana engkau bersembunyi?
Rendra, katakan padaku di mana engkau berteduh?
Gerson, katakan padaku di savana mana engkau merangkak?
Linus Suryadi, katakan padaku di mana engkau mengejar kata?

Tahukah kamu
Di tanah air telah lahir banyak penyair
Dari kandungan damba nilai
Mereka menulis elok dengan untaian kata bernas
Menggugah rasa selaksa jelata
Di tanah air telah lahir banyak cerpenis, prosais dan novelis
Dari kandungan yang menyulam sederet rasa
Mereka merangkai kata dengan ragam rasa yang memesona.

Sungguh,
Kamu lahir lagi
Kamu hidup lagi
Kamu bangkit lagi
Mereka telah menunggang punggung inspirasimu
Imajinasimu menikam bumi dalam rentang usia kami
Langkahmu pendek merangkul jiwa anak bangsa
Penamu tajam tertancap pada jiwa yang menggelora.

Apa katamu tentang kami?


Apa warna doamu bagi kami?
Wahyukan semuanya dalam mimpi kami
Dan kami akan tahu
Siapa sesungguhnya pesonamu bagi kami.

* Surabaya, 4 April 2018


32. ENGGAN MENDUNG
Kepada: Gubernur Tjilik Riwut

Embun sejuk enggan luruh


Di kerontangnya padang desa ini
Kami duduk menatap langit biru
Menggantung deretan harapan.

Sekelompok gadis desa bercanda


Berceritera tentang hujan dan kemarau
Mereka merangkai harapan pada dolmen sesajen
Menanti sejuk dari lantunan doa-doa depan mesbah.

Para leluhur menikmati melodi rindu


pada ayunan pacul ke rahim bumi
Peluh membanjir di sekujur tubuh legam
Pada desah napas mereka ada sepotong rejeki.

Ketika senja menjelang


Seuntai harapan membenam lagi
Dan kepulan asap senja menjadi dupa
bagi kemurahan dia yang disembah.

Semoga sejahtera dan damai bersemi di sini,


di padang yang selalu rindu menerima
Tetesan embun kemurahan-nya.

* Buntut Bali - KALTENG, 14 Aril 1997


• Dolmen – meja batu kuno
• Menhir – tiang batu kuno
33. BILA KAU SEGALANYA

Bia kau datang jangan lupa bawa hatimu


Bila kau pergi jangan lupa bawa jiwamu
Bila kau tinggal jangan lupa rawat citramu
Bila kau rindu jangan lupa bawa ketulusanmu
Bila kau mencinta jangan lupa bawa kejujuranmu
Bila kau sayang jangan lupa bawa keramahanmu
Bila kau memberi jangan lupa bawa belaskasihmu
Bila kau menolong jangan lupa bawa kebaikanmu

Bila kau berkorban jangan lupa bawa empatimu

Bila kau kaya jangan lupa bawa perhatianmu

Bila kau jaya jangan lupa bawa kerendahan hatimu

Dan

Bila kau akhiri ziarah di dunia jangan lupa bawa tanggung jawabmu.

* Waelengkas - Ruteng, 19 Februari 2018


34. DIAM BEGITU LAMA

Hujan turun
Engkau mendaki
Hujan berhenti
Engkau menyelam.

Kupandang bangau putih


Tertatih dilanda puting beliung
Rinduku menanjak lelah
Mengendus rahim senja merah.

Dan engkau menarik napas


Menahan duka di dadamu
Engkau diam begitu lama.

Ah..... sahabat
Kapan peluhmu menetes
Di tanah yang kau pijaki?

* Palembang, 8 Desember 2017


35. AKHIRNYA BERHENTI JUGA

Dia kejar cita-cita karena cita-cita berlari di luar kepala


Dia cari kerja karena kerja ada di balik kreativitas
Dia cari uang karena uang sembunyi di balik keringat
Dia mengadu nasib karena nasib adalah arena pertandingan
Dia cari masalah karena masalah adalah materi ujian ketangguhan diri
Dia cari kesembuhan karena kesembuhan disembunyikan oleh penyakit
Dia cari waktu karena waktu bersembunyi di balik peredaran matahari
Dia cari nilai karena nilai ada di balik kisah dan pengalaman hidup.

Hidup adalah proses mencari,


sampai langkah tersendat
Jantung berhenti berdetak
Raga kembali menjadi abu
Nama menjadi kenangan
Tergantung pada dinding hati para sahabat.

* Batu - Malang, 1 Maret 2018


36. USIA TAK DAPAT DIRAYU
Kepada: Prof. Jozef Glinka, SVD

Hari ini, ketika engkau bersandar pada pilar usang


Engkau sangka sayalah pilar itu
Tiba-tiba engkau berlari kencang
Jauh sekali, sambil menangis sesenggukkan.
Sejenak pandanganmu membentur lelaki tua,
sedang berjalan tertatih menuju bayanganmu
Dan lagi engkau sangka sayalah lelaki tua itu.

Tahukah anda?
Lelaki tua itu adalah bayanganmu akan diriku
yang tak berdaya di suatu saat nanti
Engkau sangka, guliran usia dapat dirayu
untuk membiarkan waktu hidupku
Berhenti dalam palung masa mudaku
Ah….. jangan siksa damainya rasamu
dan pesonanya bayanganmu.

Biarkan waktu menjadi pengayak


bagi perjalananku yang panjang
Semuanya akan dikisahkan
dengan kekaguman tiada akhir.

* Surabaya, 6 April 2020


37. MENYUSURI KANAL WICKLOW
Kepada: Litlle DZ

Menyusuri kanal Wicklow, aku seakan menggapai dirimu


sedang berteduh di bawah naungan pohon oak
di taman Phoenix tepi kota Dublin.
Senja itu, senja biru
Aku mencoba manapaki jejak kenangan,
ketika kita bersama membaca sederet sajak Oscar Wilde:
Flower of Love, Amor Intellectualis, Symphony in Yellow
yang begitu menggugah jiwa kita.

Sambil berdiskusi, kita meneguk beberapa kaleng bir guinness


Merah wajahmu seperti kemilau batu delima dalam gelas kristal
Engkau menepuk pundakku
Sambi berteriak, “Fritz…. where did your mind wander?
Looks like you are not with me. Please, come back with me.”

Kenangan ini sudah begitu lusuh


Selusuh sepatu yang engkau hadiahkan padaku
saat kita mendaki Croagh Patrick, County Mayo.
Di puncuk gunung, kita memandang sepasang bulbul
terbang bertalu, entah ke mana arahnya?
Hanya langit biru yang dapat menebak takdir
di balik kepak sayap mereka.

* Bangkalan, 12 April 2020


II
MENATAP HIDUP
DARI LANGIT
38. TAMBANG DI JANTUNG RIMBA

Engkaulah tambang di jantung rimba yang teduh


Di sana kuayak onggokan emas untuk asesoris jiwaku
Engkaulah rawa bening
Dijalari teratai indah
dengan aroma menggairahkan
Engkau datang menabur kepastian
di saat aku berdiri di atas puncak kebimbanganku.

Ayunan langkah-Mu, tafsir amat rumit


Pandangan mata-Mu, rahasia tak terselami
Kata-kata-Mu, kemilau pedang menggetarkan

Aku tahu, Engkau sosok dengan setumpuk pesona


Dekat dengan-Mu, memijar inspirasi
Mencairkan hidup yang beku
Jauh dari-Mu, menghampar rasa buntu tanpa arah.

Engkau sungguh menakjubkan


untuk sebuah misteri tak terselami
Engkaulah endapan segala rasa rindu.

* Nenuk – Timor, 24 November 2019


39. AKU MENUNGGUMU

Di gapura ini aku menunggu-Mu


Kukira Engkau masih menunda rinduku
Menjulang membukit
Ternyata Engkau datang pada waktunya.

Aku membiarkan rasa bahagiaku


mengalir bersama angin senja dari lembah Kidron
Semilir cinta-Mu menerpa setiap jiwa yang meranggas
Engkau berjalan dari hati ke hati
Melukis sepotong kenangan dari langit
Aku terperangah dan ingin berlari dari-Mu
Tetapi aku tak mampu mengayunkan langkah
karena kuasa-Mu mengganjal mata kakiku.

Aku pun menengadah


Menatap wajah-Mu yang kemilau
Bias sinar wajah-Mu memantul dalam jiwaku
Aku menutup mata begitu lama
Menarik nafas langit biru ke rongga dadaku

* Betlehem – Palestina, 11 Maret 2018


40. MUARA HATI YANG KERONTANG

Ketika kudengar ketukan-Mu di pintu hatiku


Kukira engkau datang menagih janji-Mu
Ternyata engkau datang menyapaku dengan gundah gulana
Engkau mengajakku keluar dari sangkar egoisme
Pergi ke segala arah derita
Berjejer di setiap pandangan mata.

Aku enggan
Mungkinkah aku mampu menjadi saluran,
bagi hati yang tersumbat?
Bagaimana aku meluluhkan pagar egoisme
yang mengungkung gelora cintaku?

Oh…. Gusti Allah, biarkan keberanianku menjadi mercusuar


di dataran setiap hati yang kelam dan dingin
Pijar sinar-Mu akan memancar tanpa terbentur pada batas apapun
Dan cinta-Mu akan mengalir di setiap muara hati yang kerontang.

* Banjarbaru - KALSEL, 22 Juni 1997


41. ENGKAU TAK BISA DIJEBAK

Kukira engkau akan berlari jauh dari tatapanku


Ternyata engkau ada di pusat rasaku
Kukira engkau akan menagih semua anugerah
yang engkau taburkan dalam semua pencaharianku
Ternyata engkau tetap membisu dalam kemurahan-Mu.

Kukira engkau akan menarik cinta-Mu


dari denyut jantung dan desah napasku
Ternyata engkau membiarkan banyak orang mengasihiku.
Kukira engkau akan melukaiku yang berulang kali
berdosa dan mengkhianati cinta-Mu
Ternyata engkau melimbah noda hidupku
dengan sesal dan tobat yang tersimpan di hatiku.

Kukira engkau akan melupakan aku


di saat hampir mampus dan binasa
Ternyata engkau mengangkat diriku
melalui setiap tangan yang terulur.
Kukira engkau akan mengutuk manusia moderen
yang kehidupan moralnya rusak dan hancur
Ternyata engkau tetap hadir dalam orang
yang masih menghargai kemuliaan hidupnya.

Kukira engkau tidak ada dalam keluargaku


yang sedang ditimpa sederet masalah
Ternyata engkau hadir di sana
melalui tatapan mata anak-anak yang polos dan tulus.
Kukira engkau tidak tinggal dalam komunitas kami,
yang sedang mengalami kekeringan rohani dan saling iri
Ternyata engkau hadir dalam sosok renta anggota komunitas,
yang setia menggisar rosario dan mendaras mazmur,
memberikan apresiasi dan senyumanan tulus.
Kukira engkau melupakan para petani yang berbahu legam
Ternyata engkau tetap datang sebagai embun segar
dan guyuran hujan yang memberi pertumbuhan di ladang.

Engkaulah misteri agung, tak berawal dan tak berakhir


Engkau tak bisa dijebak dengan formula dan teori apapun
Entah sampai kapan aku merebah dalam buaian rahmat-Mu
Dalam seluruh rangkaian hidup yang kualami?

* Nangabulik - KALTENG, 8 Juni 2017


42. KUPAHAT WAJAHMU

Pada batu hitam ini kulukis nama-Mu


Engkau yang pergi melintasi jalan-jalan kusam lereng bukit itu
Entah kapan aku berjumpa lagi dengan-Mu?
Sungguh, sepotong kesempatan tak mampu
menelan rindu di ujung rasaku.

Engkau terlalu mahal untuk takaran rasa dangkal


dan di atas cumbuan waktu yang meliliti sebuah kenangan
Pada batu hitam ini kupahat wajah-Mu
Engkau akan merebah diam di palung jiwaku
Entah sampai kapan?

* Palangkaraya, 1 Juni 2007


43. DARI CELAH POHON

Aku memandang-Mu melalui cela pepohonan di lembah ini


Pada cela-cela pohon ada jeda panjang
Dalam jeda ada ajakan untuk menangkap
semua yang luput dari nalar dan rasaku.

Engkau ada dalam jeda dan aku mencoba


membentur wahyu langit,
masuk dalam denyut nadi-Mu yang ajaib
Aku gemetar ketika memandang wajah-Mu
Kemilau memesona memulasi jiwaku.

Engkau membuat aku jatuh cinta pada jeda ini,


tapi bingung memilih arah mana harus kutuju
Sungguh, Engkau penuh misteri
Tetapi aku begitu betah dan nikmat di pelataran-Mu.

* Claket – Jawa Timur, 10 Mei 2017


44. MEMBILAS JIWA

Sepasang bola mata memandang ke palung jiwaku


Sosok-Nya adalah kemilau cahaya tak terpandang
Dia membisu tapi memegang timbangan di tangan-Nya
Aku tahu Ia sedang menakar laku hidupku.

Suci dan dosanya hidupku ada dalam tatapan mata-Nya


Aku insaf, tak mungkin aku mengelak dan menjauh
dari timbangan suci di tangan-Nya.

Aku membilas jiwaku dengan sesal dan tobat


hingga kinantan dalam pandangan-Nya
Dia sungguh sejuk bagi kerontangnya jiwaku
Dan aku kembali pada-Nya tanpa merasa terhina.

* Pontianak, 30 April 2002


45. MENJELAJAH RAUT MALAM

Malam telah larut


anganku menggandeng rasa kagum pada-Nya,
sambil membelai pucuk-pucuk pinus di lembah Pacet
Desir angin malam menggoda angan
Terbang ke segala arah dengan lambaian syukur.

Alunan melodi jengkrik bertalu


Membelah lengang pekatnya malam
Aku mencoba menjelajah raut kuasa-Nya
Mungkinkah ada seberkas sinar,
di balik menjulangnya mimpiku?

Ternyata Sang Cahaya telah menggapai


apa yang tersembunyi di balik rinduku
Aku pulas dalam ribaan rahmat-Nya.

* Pacet - Mojokerto, 16 Februari 2020


46. KICAU BURUNG GEREJA
kepada: Pemeluk iman di Rabambang

Ketika semua orang perlahan pergi dari pastoran


Aku tinggal sendiri bersama sunyi
dan kicauan burung gereja yang menyayat hatiku
Aku sendiri, diam dan merenung
tentang hidup dalam rentang bisingnya modernisme

Tetesan air mata manusia yang ditelan kerontangnya bumi


Apakah akan menjadi ellegi yang tak terlupakan?
Ratapan pilu yang telah tertelan rongga persada metropolitan
Apakah akan menjadi gema bagi sebuah narasi kemuliaan?
Dukana yang telah luluh dalam lantunan melodi syahdu
Apakah akan menjadi hikmah untuk sebuah kehidupan
yang terhampar kebisingan zaman?

Sunyi itu rahmat


Sunyi itu berharap
Sunyi itu menerima
Dalam sunyi Engkau tetap berbicara padaku.

* Rabambang - KALTENG, 8 September 2006


47. LULUH DALAM KUASAMU

Aku sudah tiba di sini


Di tempat ini segala rasa bahagiaku berbaring pulas
Semua nalar kritisku mengaso teduh
Ternyata di sini
Dia telah menantiku di sudut hati-Nya.

Oh.... Gusti, terimalah rasa jenuhku


Biarkan aku luluh sejenak dalam aroma nafas-Mu,
tak pernah berhenti berhembus
Aku bahagia di bawah kepak sayap cinta-Mu
Sampai hembusan nafasku
rebah abadi dalam kuasa-Mu.

* Noemeto – Timor, 14 November 2019


48. SANG PEMBEBAS

Pergilah engkau, wahai sang pembebas


Tetapi jangan bawa tapak kaki-Mu
Nanti mereka sangka engkau tidak waras
Biarkan tapak kaki-Mu ada bersama kami di sini
Tidak mungkin tapak-Mu pupus oleh angin senja
yang berhembus melalui cela lereng pebukitan.

Tapak-Mu menjadi prasasti di hati kami


Membuat jiwa kami bergelora dan menggeliat
Mengejar cita mendahului langkah kami,
di setiap ujung pencaharian tak canggung.

Wahai sang pembebas sejati


Tapak-Mu adalah prasasti tanpa bingkai emas
Tapak-Mu luluh dalam segarnya darah kami
Mengalir sampai usia terperangkap dalam rahim bumi.

* Kupang, 1 November 2019


49. P E Z I A R A H

Wahai……. Peziarah
Setelah engkau pergi sejenak ke padang kerontang
Kini engkau kembali membawa setumpuk kisah
Engkau mengembara dengan rasa rindu
Memegang obor bernyala di tangan-Mu
Engkau sosok yang dinantikan
tetapi hangatnya jiwa-Mu tertawan dalam dosa kami.

Setiap langkah-Mu terhitung dalam lamanya penantian kami


Tatapan-Mu ditunggu oleh kami yang merana dalam rasa
Sapaan-Mu dirindukan oleh kami yang berjalan tanpa arah.

Pancaran wajah-Mu tak menghalau sejuta pesona


yang tersusun di setiap sudut hati-Mu
Pandangan-Mu tenang tak mengusik
setiap jiwa yang mengendus rasa damai
Kini engkau berdiri di beranda hidup kami
Bersabdalah…………….
Kami mendengarkan dan siap beranjak pergi.

* Jerusalem, 7 Maret 2019


50. NAFASKU REBAH ABADI

Ketika rindu menggumpal di dada


Kuingin engkau merasakan gelora jiwaku lirih
Aku tahu, engkaulah sosok Ilahi
Setia mendengarkan lambungan rintihan
Tetapi aku tak mampu menggapai kehendak-Mu
Dengan sayap cinta yang lemah tak berdaya.

Antara engkau dan aku ada rentang rahmat tanpa jarak


Ada rentang rasa tanpa curiga
Ada rentang rindu tanpa menuntut
Engkau menatap hidupku dengan teduh mata-Mu
Menimbang langkahku dengan bening firman-Mu.

Aku berjalan di rentang hidup ini


Membiarkan dadaku diterpa semilir nafas-Mu
Kubuka pintu hatiku bagi firman-Mu
Mungkinkah kesetiaanku menjadi
Prasasti kenangan di pelataran-Mu?

Aku insaf, aku bukanlah pemilik kesetiaanku


Kesetiaanku adalah harta suci dari hadirat-Mu
Aku berkanjang karena kuasa-Mu
menjulur hingga menjamah jiwaku
Kesetiaan akan tetap teruntai di dadaku
hingga nafasku rebah abadi dalam kuasa-Mu.

* Gunung Tabor - Palestina, 8 Maret 2019


51. PENANTIAN MENJADI BIRU

Sesejuk terpaan angin kota Kana


Cinta-Mu menghampari hidup kami
Engkau menitip kisah cinta di atas hati yang bening
Sementara keluh di kepala kami telah pupus.

Datang dan mampirlah sejenak


Di gubuk kami ada harum kemenyan
Ada asap putih membubung ke langit
Menyobek selubung kasih-Mu.

Mungkinkah pandangan-Mu
Menikam hasrat kami yang beku?
Bolehkah titah-Mu menjadi melodi,
dalam hidup kami yang meranggas?
Kami tetap menunggu-Mu
Sampai penantian kami bertanya warna.

* Kana - Palestina, 8 Maret 2019


52. DI MANA RIMBANYA RASA DAMAI

Aku memandang dia dari jendela kamarku


Jalannya gontai penuh pesona
Sesekali ia mengusap wajahnya
Di arah jalan yang ia lintasi ada gubuk doa
Terserak di sana salib kemilau tak terjamah.

Ia mencoba mencari Gusti Allah di sana


Tapi katanya sedang kosong
Di samping gubuk doa ada desing peluru
Kepala manusia berserak seperti bola
Kaki manusia bergelantung seperti pohon tebasan
Dari jauh aku mendengar lantunan doa completorium
Adzan magrib menggema menyayat jiwaku.

Aku tunduk sambil menangis


Beranjak keluar dari gulananya hatiku
Berlari mencari di mana rimbanya rasa damai?

* Nazareth, 7 Maret 2019


53. K A T A N Y A

Katanya, jalan panjang yang anda tempuh itu ukuran warna peristiwa
Katanya, senyummu adalah ukuran keramahan dirimu
Katanya, tawamu adalah ukuran suka cita batinmu
Katanya, perhatianmu adalah ukuran cinta yang anda miliki
Katanya, janjimu adalah ukuran kesetiaan yang anda rawat
Katanya, rindumu adalah ukuran harapan yang anda timang
Katanya, keluhanmu adalah ukuran ketabahan yang anda genggam
Katanya, kebohonganmu adalah ukuran ketulusan yang anda junjung
Katanya, dirimu adalah ukuran hadirnya Tuhan yang tidak tampak.

Katanya, hidup bukan seperti apa yang aku pikirkan,


tetapi seperti apa yang aku hayati.

* Surabaya, 18 Desember 2017


54. BANGUNLAH

Engkau sedang jatuh?


Jangan mengeluh
Bangunlah
Di batas akhir sana
Harapanmu menjadi pohon rindang
Engkau akan memetik buahnya
dan menikmatinya dengan bahagia.

* Balige – Sumater Utara, 27 Juli 2018


55. TAK TERGODA MENJADI DEWA

Coba tinggal sejenak di sini


Pikiranmu akan bersayap seperti rajawali
Tapi hatimu akan mengaso pada lembaran mimpi-mimpimu.
Pada setiap sudut jalan akan kau saksikan
para kakek menyabung ayam
Canda mereka adalah rindu tanpa arah
Tatapan mereka, harapan tanpa linang air mata
Senyum tersimpul tanpa menagih janji-janji manis.

Pada pucuk menara gereja di jantung desa


mereka menggantungkan doa dan mazmur
Menggisar rosario di gerbang waktu
Mereka menikmati embun sejuk
Katanya, jawaban dari langit atas doa tanpa lelah
Mereka hidup bahagia di rahim sejahtera
Tanpa tergoda menjadi dewa di atas kelimpahan hidup.

* Denpasar, 11 Mei 2018


56. SEJUK MENGINTAI MUSIM

Sejak aku datang ke dunia


Bunda telah berdiri di sini
Sejak aku beranjak ke sana
Ayah telah menanti di ujung sabar
Anganku membentang di sini
Menyulam kisah sederet warna
Rinduku melambung mematuk gemawan biru
Melukis cakrawala di senja hari.

Engkau merangkak di tepi telaga


Mengendus wajah di bingkai bening
Engkau melambung di ujung angin
Memetik harapan di bibir langit
Dan
Aku berlari mendekati-Mu
Kuingin menghirup aroma nafas-Mu
Aku tahu, kesejukan mengintai musim tanpa lelah.
Kapan aku menjelajahi rindu-Mu yang hangat?
Ternyata engkau tetap bersandar
pada dinding hatiku yang lengang.

* Peboko – Kefamenanu, 21 November 2019


57. MENJULANG CITAKU

Aku berjanji kepada-Mu


Kutitip janjiku melalui taufan siang bolong
Kuingin engkau tahu bahwa nafasku berhembus
di balik harapan penuh daya
Aku tahu betapa bening hati-Mu
menyatu dalam menjulangnya citaku.

Apakah engkau adalah peri yang bersenandung ria


di beranda vila tua lembah salvador
Atau engkau adalah peziarah
dengan sepatu lusuh tengik?
Katakan padaku agar aku tahu,
bahwa hidup ini misteri yang bersayap.

Jangan biarkan raguku kandas


di tatapan mata-Mu yang menilik
Biarkan anganku menyatu dengan senyum-Mu.

Di saat aku terpana di depan rasa raguku


Engkau datang menepuk pundakku
Lalu langkahku terayun enteng tanpa beban.

* Singapore, 12 Oktober 2018


58. UKURAN KESETIAN KAMI

Wahai…… Sang Mesias, di mana citra batin-Mu


ketika dunia seperti tarum kelam dalam bejana rapuh?
Engkau berdiri dalam diam-Mu
Harapan kami pada nalar dan iman
Seperti luluh di sudut rasa tengik.

Wahai…… Sang Mesias


Di manakah gema janji-Mu
Ketika rintih dukanaku membubung
di tengah kumpulan manusia yang luluh imannya?
Engkau berhenti sejenak karena langit cerah
seketika mendung tanpa tanya
Di sekitar kami rindu menjulang mamatuk cita kelabu.

Wahai….. Sang Mesias, mengapa setiap ngarai


Tersenyum menatap kehampaan di dada kami?
Mengapa kicau murai seperti mengolok
Hilangnya akal dari kepala kami?

Wahai……. Sang Mesias, apakah derita ini


adalah ukuran kesetiaan kami pada-Mu?
Tunggulah dan bersabarlah dengan rasa belas-Mu
Janganlah menagih janji di luar jangkauan kesanggupan kami.

* Surabaya, 17 Maret 2020


59. LAKON IMAN

Hari ini aku berjalan melintasi jantung kota Dublin


Berpapasan dengan Catleen si lesung pipit
Manisnya bukan main
Aku mendekati dia ingin berceritera tentang cinta
dan belaskasihan yang tercurah dari langit.

Aku merentang imanku menjadi titian ke arah langit


Aku dan Katleen menikmati getar damai dari atas
Catleen yang tubuhnya seperti jauh dari sungai
dengan aroma serasa bukit sampah
Tidak menjadi alasan bagiku mengingkari luhurnya citra diri
dan agungnya martabat yang diberikan dari langit suci.

Catleen tak enggan mengulurkan tangan


sambil memohon: “two euro please”
Kusut wajah dan keriput tangan adalah pantulan derita batinnya
Sepanjang musim ia berteduh di bawah atap langit
dan aku mengaso di apartemen dengan segala kelimpahan.

Catleen, terimalah dua euro ini


Silahkan menilai, apakah ini ukuran kedalaman imanku
Apakah engkau bahagia dengan rasa belasku?
Aku yakin di langit suci, semua amal tertoreh pada dinding sembah
Entahkah yang aku berikan padamu akan tertoreh di sana?
Hanya engkau dan penghuni langit suci yang menimbang
Aku tetap berziarah sambil merentang kasih dalam segalanya.

* Dublin - Ireland, 24 Mei 2004


60. MENJADI SATU DENGAN DIA

Seketika engkau terpaku


Sesaat engkau merenung
Dan engkau pun diam
Dalam diam ada sapaan
Engkau dengar itu?

Seketika engkau memandang


Sesaat engkau terpesona
Dan engkaupun bicara
Dalam bicara ada makna
Engkau paham itu?

Seketika engkau bekerja


Sesaat engkau memberi
Dan engkau pun beramal
Dalam beramal ada cinta
Engkau bahagia?

Hidup adalah jalan pendek


Cintamu adalah tanjakan terjal
Karyamu adalah tanur api

Dan engkau tetap ada di sana


Sampai engkau menjadi satu dengan Dia.

* Banjarmasin, 12 Februari 1999


61. TAK RELA MENJADI ASING

Maafkan aku Sang Nabi


Aku tak sanggup menangkap
apa yang tersembunyi di lubuk hati-Mu

Engkau katakan, cinta adalah abstraksi


Apakah sama seperti peri
yang duduk mengayunkan kaki di atas tali lintasan sungai?
Engkau pun mengatakan, cintaku adalah aktivitas produktif
tapi di mana wujudnya?

Aku merebah dan enggan bicara


Seketika aku mengingat pesan kakekku,
“Cinta adalah pena tajam di tanganmu
untuk merangkai firman Tuhan di atas
lembaran rasamu yang kelam dan pahit.”

Wahai…Sang Nabi, julurkan kehendak-Mu


Aku tak rela menjadi asing dalam kehidupanku
yang begitu putih.

* Sintang – KALBAR, 14 Mei 2002


62. JALAN DAN ALAMI SAJA
Kepada: Michael Kennedy

Sahabatku……….. berjalanlah dalam damai


Kalau bertemu tebing panjat saja
Kalau bertemu sungai menyeberang saja
Kalau bertemu hutan jelajahi saja rimbanya
Kalau bertemu buaya langkahi saja punggungnya
Kalau bertemu musuh tunduklah sejenak
Kalau bertemu keluarga biarkan cinta berbicara
seluas imajinasimu.

Dengan berjalan, ayunan langkahmu menggetarkan


semua yang anda lintasi
Mereka akan membuka pintu harapan
Dan engkau akan masuk dalam rahim rahmat-Nya.

* County Kerry – Ireland, 18 Mei 2004


63. SETIA SEPANJANG MUSIM

Sesenyap apapun keadaanku,


hembusan angin tak akan beranjak dariku
Serindu apapun hatiku,
gunung tetap lengang dalam bisingnya margasatwa
Senekat apapun keinginanku,
gelombang laut tak akan berhenti menderu.

Kapan engkau melawatiku hidupku


ketika musim tak menunjukkan wajahnya?
Di sini ada dosa menawan cinta-Mu
Tetapi aku tetap berdiri di jantung kuasa-Mu
Di dadaku sabda-Mu menggema sepanjang musim.

Bentangan cinta-Mu menjulur di batas guliran masa


Engkau tetap melangkah dalam lengangnya jiwaku
Jalanku hanya selangkah rindu pada-Mu
Dan aku akan hanyut dalam palung ajaib kuasa-Mu.

* Palangkaraya, 14 Oktober 1995


64. TAJAMNYA PANDANGANMU

Tajamnya pandangan-Mu
Menatap hidupku dari dalam sampai luar
Menimbang perbuatanku dari kiri sampai kanan
Dan
Engkau menuntunku
dari penjuru gelap menuju dataran benderang.

* Puncak Golgota – Yerusalem, 6 Maret 2019


65. MATAKU MERCUSUARMU

Lidah-Mu menjulur seperti api


Membakar tubuhku tanpa memar
Dosa bermuara di palung hidupku
Menindih tanpa melumpuhkanku.

Kesucian membayang di kalbuku


Mendorong tanpa menudingku
Ketabahan menderet di jiwaku
Menopang tanpa melukaiku.

Seperti apa agungnya kuasa-Mu


Dalam naungan awan pekat tanpa kilat
aku mencari takhta-Mu
Kupandang wajahmu seperti lenan kinantan
Aku mendengar suara-Mu

“Hai….. manusia, engkaulah pantulan


sepotong cinta, yang kulukis di bumi ini.
Engkau menjadi bayanganku hingga lenyap
dalam ribaanku selamanya.”

Entah sampai kapan langkahku menjadi saksi-Mu


Mulutku menjadi corong-Mu
Tanganku menjadi pena-Mu
Kakiku menjadi pelana-Mu
Mataku menjadi mercusuar-Mu
Aku menunggu sampai semuanya
menjadi sempurna di dalam kuasa-Mu.

* Jombang, 11 Oktober 2017


66. SENADUNG GITARKU

Gitar ini datang dari hutan


Bukan dari toko
Ia datang dari pepohonan di rimba,
yang menelan melodi indah pada batangnya.

Ia menjadi melodi merdu dari langit


Menyayat kalbu yang tegar tengkuk
Menyulam jiwa yang sendu keropos
Menata rasa yang rebah terkulai

Aku ingin memetik harmoni senarnya untuk-Mu


Engkau akan luluh dalam iba
Dan …..
Seketika Engkau melupakan semua dosaku.

* Telok – KALTENG, 9 Juni 1997


67. JEJAK KESEMPATAN

Pada pintu bait suci-Mu


Engkau melukis namaku begitu indah
Dan pada dinding hati-Mu
Engkau menggantung pigura kenangan lama
Sejenak aku membuang pandanganku
Engkau menggenggam setangkai palma
Melintasi lereng bukit,
terseling kicauan merpati putih.

Kusaksikan sepasang jalak suren


bersenandung merdu di seberang sungai kecil
Dan aku memetik gitar, merangkai melodi merdu bagi-Mu

Apakah merdunya melodi dan indahnya syair laguku


menjadi pigura baru sebagai kenangan
akan jejak kesempatan ini?

Mungkin kenangan ini akan menjadi buku sejarah


tanpa dipajang di perpustakaan kota.
Aku tahu, kampung ini telah menyaksikan
darah kandungan ibuku mengalir bersama sosok diriku.

* Manamas – Timor, 10 Juli 1996


68. ISYARAT CINTA
Kepada: Clemens Cletus da Cunha, SVD

Ketika jalanmu dihempas bayu senja,


biarkan pikiranmu mengembara sejenak
Ketika harapanmu menjulang mencakar angkasa
biarkan hatimu lengang sejenak
Ketika cintamu mekar membara
Biarkan jiwamu menguntai bahagia.

Hidup adalah percaturan antara gelora harapan


dan kenyataan yang menantang
Setiap ayunan langkahmu,
memberi isyarat cinta yang Mahakuasa.

Berjalan saja
Pada setiap aliran sungai yang anda arungi
Selalu tersimpul harapan dan kenyataan.

* Kualakurun – KALTENG, 12 Oktober 1998


69. PUSARA JIWA UMAT

Di bawah atap rumah ibadah ini


Kebohongan dan kemunafikan berteduh
Mereka mengintai jiwa yang terkulai
Ingin membangun pusara tak bernama di sana.

Para pengkotbah sedang mencari “nama” di panggung


Bau bangkai jiwa umat menguap dari saku jubah mereka
Aroma lavender menelan tengik bangkai hingga pupus
Mereka tenggelam dalam bising pencaharian hampa
Mereka membiarkan cinta menjadi luka memar
di pusat hati umatnya.

Kapan senandung requiem bergema di pusara ini?


Apakah cinta telah berganti rupa menjadi sembilu?
Di manakah firman suci-Mu menggema?
Di manakah hikmah kotbah berteduh?
Di makanah kesaksian sebagai nabi berpijak?

Tuhanku,
Biarkan sesal menjadi air bah, mencuci bersih joroknya hidup kami
Biarkan tobat menjadi taufan, menyapu rata kesombongan kami
Biarkan pengampunan menjadi delta keselamatan kami.

* Surabaya, 21 Juni 2010


70. MEMATAI HARI HIDUPKU

Matahari memata-matai hari-hari hidupku


Bulan memancari langkah-langkah kakiku
Bintang menuntun kepak sayap imajinasiku.

Hidupku menjadi rangkaian mazmur bagi-Mu


Setiap langkahku senandung merdu di telinga-Mu
Pada kepak sayap imajinasiku merentang ajaib kuasa-Mu.

Kuingin berteduh pada naungan titah-Mu


Biarkan bening tatapan-Mu menuntunku ke sana
Semua warna hidupku akan luluh dalam anugerah-Mu.

Engkau mengetahui setiap warna hidupku


adalah paduan antara putih dan gelap, saleh dan dosa
harap dan cemas, percaya dan ragu, jujur dan bohong.

Aku mau hidup sampai matahari berhenti


memata-matai rentang ziarahku di dunia ini.

* Samosir, 19 Juni 2018


TENTANG PENULIS

Fritz Meko, SVD (Keffleu) lahir di Manamas – Border Timor Leste - Indonesia.

Menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero, Maumere - Flores. Belajar


Komunikasi di Kairos Saint - Patrick University – Ireland. Empat belas tahun bekerja di
Kalimantan (Tengah-Barat).

Tulisan-tulisannya pernah tersebar di Kompas, Kalteng Pos, Pontianak Pos, Dian, Hidup,
Bentara, Gracia, Tabloid Sabda, Tabloid Jubileum, Tabloid Cermien. Saat ini tinggal di Surabaya,
mengelola Majalah Keluarga KANA sebagai Pemred.

Telah menulis berberapa (10) buku (Refleksi Filosofis, Sosiologis, Spiritual dan Puisi) antara lain:
Di Simpang Peristiwa (Gramedia Pustaka Utama 2012), Rahimku Terminalmu ke Dunia (Obor
Jakarta 2013), Biologi Kesempatan (Kanisius Jogyakarta 2015), Jejak-Jejak Peristiwa-Kumpulan
Puisi (Kanisius Jogyakarta 2015), Abundant Life (Pohan Cahaya Jogyakarta 2016), The Meaning
of Life (Pohon Cahaya 2017), Crossing The Wave of Faith (Pohon Cahaya Jogyakarta 2017),
Celebration of Life (Pohon Cahaya Jogyakarta 2019), Pigrimage of Life (Pohon Cahaya 2019)
dan Mengendus Jejak Ilahi (Kanisius Jogyakarta 2020). **

Anda mungkin juga menyukai