Kumpulan Puisi
Dalam kumpulan puisi KASUT LUSUH, penulis Fritz Meko, SVD dengan sadar memainkan peran ibarat
kasut lusuh: merekam setiap perjalanan tuannya, berusaha mengerti kegundahan hati tuannya, sambil
menyalurkan pertanyaan yang tuannya lontarkan ke langit untuk ia bisikkan ke bumi. Maka, seluruh roh
dalam puisi ini, hadir sebagai dialog batin dengan wajah tanpa polesan.
Dengan kepekaan seorang seniman, yang ditunjang oleh intelektualitas dan kekayaan dalam
pengembaraan dunia batin yang tak pernah usai, penulis Fritz Meko, SVD dalam kumpulan puisi, KASUT
LUSUH ini, telah menuangkan catatan perjalanan batinnya yang sering dialami banyak orang (saya juga)
untuk selalu bertanya, menggugat, meragukan dan bergelut tentang makna hidup dan kehidupan di
dunia, sambil mencoba untuk merumuskannya.
Suatu pengembaraan kombinasi antara keilmuan, spiritualitas dan arti sebuah dunia bagi kehidupan
seseorang yang terus mencari, sembari mendekatkan diri pada yang Ilahi. Sangat direkomendasikan
bagi siapa saja, baik yang tua, muda, pelajar dan mahasiswa untuk menikmati dan merefleksikannya
dalam ziarah hidup.
Tidak ada kasut yang tidak lusuh. Justru kasut lusuh itu menunjukkan kualitasnya. Kasut
menopang manusia dan seluruh dinamika hidupnya. Kasut seakan menggendong manusia,
“menggotong raga dan cita” ke mana-mana, terinjak-injak tanpa mengeluh.
Mengapa Fritz Meko, SVD memulai antologi bukunya dengan puisi “Rahim” (berbaring senyap di
rahimmu) lalu ditutup dengan “Hidup” (memata-matai hari hidupku). Saya kira, penulis
menyadari, rahim dan hidup keduanya tidak pernah menjadi kusut lusuh dalam membentuk hati
yang setia, merawat keheningan yang memesona dan menggelora. Ziarah manusia dengan kasut
yang menggotong raga dan citanya, itulah yang membuat sebuah kasut perlahan kusut. Dan
sejarah seseorang pun mulai tercatat.
Sesungguhnya, Fritz Meko, SVD ingin mengajak saya (mungkin juga anda) untuk kembali ke
sumber, dimana kita berasal. Ini satu buku antologi puisi yang smart, untuk dibaca dan
direnungkan dalam kesempatan hening.
1. Berbaring senyap
2. Kasut lusuh
3. Ingin merobek langit
4. Dalam rahim savana
5. Darmono si transmigran
6. Perempuan di lanting mandi
7. Damai menjadi utopia
8. Titian tak bernama
9. Sampai kapan anda berjalan
10. Ceritera belum selesai
11. Beranjaknya senja
12. Berenang di arus waktu
13. Menjumbu Jemari kakiku
14. Merunduk
15. Apa yang anda cari
16. Antara harapan dan kenyataan
17. Katakan padaku
18. Apa yang sedang terjadi
19. Melukis wajahmu
20. Tidur itu mati kecil
21. Menunggang punnggungmu
22. Menggapai kenangan
23. Puisi anak-anak jalanan
24. Gelap membohongi mataku
25. Manpaki lorong batin
26. Menjadi segalanya
27. Sabar menunggu nasib
28. Ruang perjumpaan
29. Credo hikmah
30. Tegar tengkuk
31. Jiwa sastra anak negeri
32. Enggan mendung
33. Bila kau segalanya
34. Diam begitu lama
35. Akhirnya berhenti juga
36. Usia tak dapat dirayu
BAGIAN – II
MENATAP HIDUP DARI LANGIT
(1)
(2)
Jalanmu panjang
Apa yang anda kejar di sini?
Perspektifmu luas
Apa yang anda ciptakan di sini?
Bicaramu fasih
Apa yang anda laksanakan di sini?
Ketekunanmu menakjubkan
Apa yang anda cari di sini?
Keyakinanmu dalam
Apa yang anda alami di sini?
Cintamu tulus
Apa yang anda kagumi di sini?
Pandanganmu meneduhkan
Apa yang anda lihat di sini?
Pesonamu mengagumkan
Apa yang anda tampilkan di sini?
Tidurlah sahabatku
Tidur itu mati kecil
Dalam tidur engkau melihat akhirat di mimpimu.
Imajinasiku menguap
Menjadi kandungan dalam gemawan kelam
Aku menunggu rintik segar dari sana
Kuingin kerontang di jiwaku sejuk sejenak.
Tunggu saja
Gantungkan harapanmu
Pada deretan kenangan yang terukir
Dalam ruang perjumpaan kita.
Tahukah kamu
Di tanah air telah lahir banyak penyair
Dari kandungan damba nilai
Mereka menulis elok dengan untaian kata bernas
Menggugah rasa selaksa jelata
Di tanah air telah lahir banyak cerpenis, prosais dan novelis
Dari kandungan yang menyulam sederet rasa
Mereka merangkai kata dengan ragam rasa yang memesona.
Sungguh,
Kamu lahir lagi
Kamu hidup lagi
Kamu bangkit lagi
Mereka telah menunggang punggung inspirasimu
Imajinasimu menikam bumi dalam rentang usia kami
Langkahmu pendek merangkul jiwa anak bangsa
Penamu tajam tertancap pada jiwa yang menggelora.
Dan
Bila kau akhiri ziarah di dunia jangan lupa bawa tanggung jawabmu.
Hujan turun
Engkau mendaki
Hujan berhenti
Engkau menyelam.
Ah..... sahabat
Kapan peluhmu menetes
Di tanah yang kau pijaki?
Tahukah anda?
Lelaki tua itu adalah bayanganmu akan diriku
yang tak berdaya di suatu saat nanti
Engkau sangka, guliran usia dapat dirayu
untuk membiarkan waktu hidupku
Berhenti dalam palung masa mudaku
Ah….. jangan siksa damainya rasamu
dan pesonanya bayanganmu.
Aku enggan
Mungkinkah aku mampu menjadi saluran,
bagi hati yang tersumbat?
Bagaimana aku meluluhkan pagar egoisme
yang mengungkung gelora cintaku?
Wahai……. Peziarah
Setelah engkau pergi sejenak ke padang kerontang
Kini engkau kembali membawa setumpuk kisah
Engkau mengembara dengan rasa rindu
Memegang obor bernyala di tangan-Mu
Engkau sosok yang dinantikan
tetapi hangatnya jiwa-Mu tertawan dalam dosa kami.
Mungkinkah pandangan-Mu
Menikam hasrat kami yang beku?
Bolehkah titah-Mu menjadi melodi,
dalam hidup kami yang meranggas?
Kami tetap menunggu-Mu
Sampai penantian kami bertanya warna.
Katanya, jalan panjang yang anda tempuh itu ukuran warna peristiwa
Katanya, senyummu adalah ukuran keramahan dirimu
Katanya, tawamu adalah ukuran suka cita batinmu
Katanya, perhatianmu adalah ukuran cinta yang anda miliki
Katanya, janjimu adalah ukuran kesetiaan yang anda rawat
Katanya, rindumu adalah ukuran harapan yang anda timang
Katanya, keluhanmu adalah ukuran ketabahan yang anda genggam
Katanya, kebohonganmu adalah ukuran ketulusan yang anda junjung
Katanya, dirimu adalah ukuran hadirnya Tuhan yang tidak tampak.
Tajamnya pandangan-Mu
Menatap hidupku dari dalam sampai luar
Menimbang perbuatanku dari kiri sampai kanan
Dan
Engkau menuntunku
dari penjuru gelap menuju dataran benderang.
Berjalan saja
Pada setiap aliran sungai yang anda arungi
Selalu tersimpul harapan dan kenyataan.
Tuhanku,
Biarkan sesal menjadi air bah, mencuci bersih joroknya hidup kami
Biarkan tobat menjadi taufan, menyapu rata kesombongan kami
Biarkan pengampunan menjadi delta keselamatan kami.
Fritz Meko, SVD (Keffleu) lahir di Manamas – Border Timor Leste - Indonesia.
Tulisan-tulisannya pernah tersebar di Kompas, Kalteng Pos, Pontianak Pos, Dian, Hidup,
Bentara, Gracia, Tabloid Sabda, Tabloid Jubileum, Tabloid Cermien. Saat ini tinggal di Surabaya,
mengelola Majalah Keluarga KANA sebagai Pemred.
Telah menulis berberapa (10) buku (Refleksi Filosofis, Sosiologis, Spiritual dan Puisi) antara lain:
Di Simpang Peristiwa (Gramedia Pustaka Utama 2012), Rahimku Terminalmu ke Dunia (Obor
Jakarta 2013), Biologi Kesempatan (Kanisius Jogyakarta 2015), Jejak-Jejak Peristiwa-Kumpulan
Puisi (Kanisius Jogyakarta 2015), Abundant Life (Pohan Cahaya Jogyakarta 2016), The Meaning
of Life (Pohon Cahaya 2017), Crossing The Wave of Faith (Pohon Cahaya Jogyakarta 2017),
Celebration of Life (Pohon Cahaya Jogyakarta 2019), Pigrimage of Life (Pohon Cahaya 2019)
dan Mengendus Jejak Ilahi (Kanisius Jogyakarta 2020). **