Anda di halaman 1dari 5

LOMBA BACA PUISI

PUISI WAJIB

Aku Tulis Pamplet Ini


(W.S. Rendra)
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi pengiyaan

Apa yang terpegang hari ini


bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,


maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini


karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan


kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?


Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.


Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai sampah


Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
Pejambon Jakarta 27 April 1978
PUISI PILIHAN

1. DITERBANGKAN TAKDIR
(K.H Ahmad Mustofa Bisri)

diterbangkan takdir aku sampai negeri-negeri beku


wajah-wajah dingin bagai mesin
menyambutku tanpa menyapa
kutelusuri lorong-lorong sejarah
hingga kakiku kaku
untung teduh wajahmu
memberiku istirah
hangat matamu
mendamaikan resahku
maka kulihat bunga-bunga sebelum musimnya
gemuruh mesin terdengar bagai air terjun
dan guguran daun-daun
meruap aroma dusun
maka dengan sendirinya
kusebut namamu
dan terus kusebut namamu
aku ingin kasih,
melanjutkan langkahku.

2. UBUD
(Isma Sawitri)

yang emas adalah padi


yang hijau adalah padi
yang bernas sesungguhnya padi
yang bergurau kiranya padi
inilah kebenaran pertama sebelum yang lain lain
karena laparlah yang pertama sebelum yang lain lain
sebelum berdirinya pura
sebelum tersusun doa
sebelum raja raja bertahta
Dewi Sri membenihkannya di atas bumi
di sinilah tempatnya ke mana ia harus datang
di sinilah manusianya kepada siapa ia harus datang
setiap musim berganti setiap musim beralih
Dewi Sri tetaplah pelindung pengasih
bagi mereka yang tabah dan tahu berterimakasih
yang emas adalah padi
Dewi Sri membenihkannya di atas bumi
sepanjang usia bumi
sepanjang hidup khayali
yang bernas sesungguhnya padi
Dewi Sri adalah warisan abadi
maka tercipta dongeng atas kenyataan
tercipta keyakinan pada kehidupan
3. ELANG DI ATAS LEMBAH
(Sitor Situmorang)

Tak ada orang di jalan setapak,


di jalan terjal menuju lembah,
jalan turun ke desa
di pinggir danau.

Di udara (desa belum tampak)


meluncur elang
seperti perahu
di air teluk tenang.

Foto kenangan
masa kanak
tujuan berkunjung sejenak,
masuk biara waktu

menimang rindu
bertahta di puncak karang
gunung batu,
seperti burung

di jalan berbatu-batu
jalan turun ke danau,
sebelum tikungan terakhir,
pandang mencari elang.

Tak tampak lagi.


Perahu pun sudah lenyap di balik tanjung.
Lalu terdengar suara kampak,
pohon rubuh ditebang—

anjing menyalak.
Segera aku akan menginjak gerbang lembah,
hilang resah,
masuk desa
seperti elang
pulang sarang.
4. DALAM KERETA BAWAH TANAH, CHICAGO
(Sapardi Djoko Damono)

Siapakah namamu? barangkali aku setengah tertidur waktu


kautanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong,
beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela:
siluet di atas dasar hitam. Aku pun tak pernah menjawabmu,
bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat kematianku,
sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga.

Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa


sajalah. Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang
pahlawan, atau seorang budak, atau pak guru yang mengajar
anak-anak bernyanyi  tetapi manakah yang lebih deras
denyutnya, jantung manusia atau arloji (yang biasa
menghitung nafas kita), ketika seorang membayangkan
sepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak usah saja kita
namakan apa-apa kau pun sibuk mengulang-ulang
pertanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separo terjaga.

5. SILHUET
(Taufik Ismail)
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang lelah
Angin jalanan yang panjang
Tak ada rumah. KIta tak berumah
Kita hanya bayang-bayang

Gerimis telah menangis


Di atas bumi yang letih
Di atas jasad yang pedih
Kita lapar. Kita amat lapar
Bayang-bayang yang lapar

Gerimis telah menangis


Di atas bumi yang sepi
Sehabis pawai genderang
Angin jalanan yang panjang
Menyusup-nyusup
Menusuk-nusuk
Bayang-bayang berjuta
Berjuta bayang-bayang

Di bawah bayangan pilar


Di bawah bayangan emas
Berjuta bayang-bayang
Menangisi gerimis
Menangisi gunung api
Kabut yang ungu
Membelai perlahan
Hutan-hutan
Di selatan.
(1965)
6. AKU INI TERMASUK ORANG YANG SUKAR BERBAHAGIA
(Emha Ainun Najib)

Aku ini termasuk orang yang sukar berbahagia


Sebab makin banyak memandang adegan kehidupan
Makin bertumpuk pula pertanyaan kepada Tuhan

Hidup ini ruwet seperti lingkaran setan


Seperti perang brubuh yang tak bisa diuraikan
Serta penuh benturan yang seperti sengaja diciptakan

Ah, tetapi mudah saja jika Tuhan mau mengubah semuanya


Atau menghapusnya lantas menciptakan lagi dunia
Yang sedikit agak bermutu, terhormat dan mulia

Tetapi kukira itu tak mungkin terlaksana


Sebab siapa tahu Tuhan merasa asyik dengan kekonyolan kita
Dan agar tak kehilangan permainan: kita terus saja dipelihara

Yogya, 1977

Anda mungkin juga menyukai