1.
2.
3.
4.
Lembar isian :
1.
2.
3.
4.
5.
Juru Pendamai
Dalam terjemahan yang paling bebas, mana namaku itu kurang lebih Anak
Soleh berjidat mengkilap yang tidak akan melakukan hal-hal yang tidak masuk
akal dalam hidupnya.
Di belahan dunia lain orang boleh mengatakan apalah arti sebuah nama.
Namun bagi orang Melayu pedalaman seperti kami, nama amat penting, nama
berurusan dengan agama dan dianggap sumber aura.
Aku belum sekolah waktu bersekongkol dengan adikku-si nomer enam
yang bujang dan membuat inuku kapok bersalin-menyembunyikan naskah khatib
sehingga ia kegelapan di atas mimbar. Aku dan adikku, bak Qabil dan Habil.
Kejadian itu menjadi memorandum premier kejahatanku seumpama catatan
debut Qabil dalam sejarah kriminalitas umat.
Sering aku menyamar memakai mukena sepupuku, menyelinap dalam saf
putri , membuat onar. Bulan puasa, aku melubangi buku-buku bambu dengan
linggis, kuisi air dan karbit lalu kuarahkan ke jendela masjid saat seisi kampung
tarawih.
Wajahnya karena bersusah payah menahan diri. Aku tahu, sebenarnya Ibu
ingin menghamburkan omelan yang lebih tajam, tapi pasti ia merasa setiap kata
yang ia semprotkan memantul lagi kepadanya. Ia sadar aku menuruni watak
kepala batunya, karena setiap inci diriku berasal dari inci dirinya.
Ayah yang pendiam hanya menatapku putus asa. Dalam keadaan ini,
biasanya Ayah menaikkanku ke tempat duduk belakang sepeda Forever-nya.
Sepanjang jalan Ayah menasihatiku tentang kedamaian hidup seperti di
contohkan burung-burung prenjak berdasi, capung-capung, dan kaum kecebong.
Pulangnya aku dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi.