Anda di halaman 1dari 16

LANDASAN AKSIOLOGIS DALAM

FILSAFAT ILMU

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu pada program
Pascasarjana Prodi Pedidikan Agama Islam

Oleh:

DHIA NURMIYA PULUNGAN


861082023034

Dosen Pengajar :
Dr. Zakaria, S.Pd., M. Si.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


(IAIN) BONE
2023

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis ucapkan kepada Allah swt.,


Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, penulis bisa menyelesaikan
makalah yang berjudul “ Landasan Aksiologis dalam Filsafat Ilmu”.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Zakaria, S.Pd., M. Si.
Selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah membantu kami dalam
menerangkan materi yang terkait dengan makalah ini.
Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan pada makalah ini. Oleh
sebab itu, saran dan kritik senantiasa diharapkan demi perbaikan ke depannya.
Penulis juga berharap semoga makalah ini mampu memberikan banyak ilmu yang
bermanfaat.

Watampone, 03 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL.......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1-2
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan....................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3-12
A. Pengertian Aksiologi................................................................. 3
B. Komponen Aksiologi................................................................ 4
C. Landasan Aksiologis Ilmu Pengetahuan................................... 6
BAB III PENUTUP.......................................................................................13
A. Kesimpulan...............................................................................13
B. Saran..........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan sebagai ilmu pengetahuan merupakan tolak ukur bagi suatu
bangsa dalam menentukan kemajuan bangsanya. Pendidikan sebagai sarana
kemajuan bangsa inilah yang mendorong setiap individu untuk bisa mengakses
dunia pendidikan sekaligus bisa mengabdi terhadap bangsa dan negara. Bagi
siapapun yang sudah memperoleh pendidikan maka akan bisa merasakan suatu
kebahagiaan dalam arti penting dari ilmu pengetahuan yang diperolehnya ketika
mampu ditransformasikan kepada masyarakat secara umum. Kedudukan
pendidikan sebagai sebuah kewajiban bagi setiap individu untuk selalu berusaha
mengejar dan berproses secara formal maupun non formal akan melahirkan
individu yang bisa membuat peradaban bangsa bisa menjadi maju.
Ketika pengetahuan dapat diimplementasikan dalam banyak pengajaran
dan praktik kehidupan manusia di lembaga pendidikan, pengetahuan yang
diperoleh akan memiliki substansi yang nyata. Seperti halnya sains membutuhkan
pemikiran yang menyeluruh (mendalam) untuk dapat dipahami dengan baik.
Perkembangan ilmu pengetahuan mau tidak mau harus dibarengi dengan
perkembangan bidang filsafat, karena keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan
filsafat akan menjadi sarana pengontrol aksiologi (nilai) ilmiah, yang akan
mengantarkan pada peradaban manusia yang sama berharganya.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa filsafat ilmu merupakan telaah
terhadap berbagai fenomena yang ada secara filsafat yang meliputi tiga aspek
pembahasan, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Landasan ontologis
adalah analisis yang membahas tentang objek materi dari ilmu. Landasan
epistemologis adalah analisis tentang proses tersusunnya ilmu. Sedangkan
landasan aksiologis adalah analisis tentang penerapan hasil-hasil temuan ilmu.
Diantara ketiga landasan itu, landasan aksiologis-lah yang mempunyai
perdebatan sengit, karena berhubungan dengan prinsip pengembangan ilmu
sendiri, yaitu apakah dalam pengembangannya ilmu itu bebas nilai atau tidak?.

1
2

Berdasarkan hal di atas maka makalah ini disusun untuk membahas lebih dalam
mengenai aksiologis dan komponen-komponennya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Aksiologi?
2. Apa komponen Aksiologi?
3. Bagaimana landasan Aksiologis dalam Filsafat Ilmu?

C. Tujuan Peulisan
1. Mengetahui pengertian Aksiologi.
2. Mengetahui komponen Aksiologi.
3. Mengetahui landasan Aksiologi dalam Filsafat Ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aksiologi
Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan
logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. 1 Menurut
Kamus Bahasa Indonesia, aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. 2 Pengertian
aksiologi dalam Encyclopedia of Philosophy, dijelaskan aksiologi disamakan
dengan value and valuation :
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih
sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang
lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran
dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai
atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang
bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai
atau nilai.3
Lebih lanjut, beberapa ahli mendefiniskan aksiologi sebagai berikut ;
a. Menurut Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.4
b. Menurut Wibisono, aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran,
etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta
penerapan ilmu.5

1
Burhanudin Salam, Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Reneka Cipta,
1997, Cet. 1, hlm 168.
2
Admojo,Wihadi, et.al. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998, hlm. 19
3
Amsal, Bakhtiar. Filsafat Ilmu, Jakarta : Rajawali Pers, 2009, hlm. 164.
4
Jujun S Sumatri., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1990, hlm. 234.
5
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara. 2007,
hlm. 152

3
4

c. Scheleer dan Langeveld, memberikan definisi tentang aksiologi sebagai


berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori
dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology,
yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.
d. Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama,
yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian
yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat
tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah
dan jelek.
Terkait dengan aksiologi ini, Brameld membagi aksiologi menjadi tiga,
yaitu: 1) moral conduct, yaitu tindakan moral yang membentuk disiplin ilmu
khusus yaitu etika; 2) esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan yang
memformulasikan disiplin ilmu estetika; 3) socio-political life, kehidupan sosio-
politik yang melahirkan filsafat sosio-politik 6. Nilai hasil perenungan aksiologis
tersebut selanjutnya diuji dan diintegrasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan definisi aksiologi di atas, penulis berpendapat bahwa
aksiologi adalah teori-teori nilai, moral dan etika dalam penelitian, pengembangan
serta penggunaan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan kehidupan manusia.
Aksiologi adalah studi yang berkaitan dengan teori tentang nilai atau studi segala
sesuatu yang dapat bernilai atau memberikan manfaat.

B. Komponen Aksiologi
Definisi aksiologi sebagaimana disebutkan diatas mengarahkan bahwa
aspek aksiologi dari filsafat mempelajari dan menjelaskan tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan moral dan nilai- nilai. Selanjutnya, aksiologis dalam
wacana filsafat mengacu pada persoalan etika (moral) dan estetika (keindahan). 7

6
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara.
2007, hlm. 152
7
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2010 , hal. 40
5

1. Etika
Dalam bahasa Ingris etika disebut Ethic yang diartikan sebagai sistem,
prinsip moral atau cara berprilaku. Sementara dalam bahasa Yunani disebutkan
berasal dari kata Ethos yang berarti adat istiadat, watak, perasaan, sikap dan cara
berfikir. Atau Ethikos, yang berarti karakter, kebiasaan, kecendrungan, dan sikap
yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah,
dalam tindakan-tindakan moral kehidupan manusia.8
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa etika merupakan sebuah teori
yang mencoba merumuskan nilai dalam tatanan kehidupan praktis dengan
berdasarkan pada sifat universal kesusilaan sehingga ia bisa menjadi penuntun
tindakan dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, etika fokus membicarakan
perbuatan manusia dari sudut pandang baik dan tidak baik, benar-salah, harus dan
tidak harus.
Etika berupaya memberikan batasan atau standar dalam mengatur
pergaulan aktivitas kehidupan manusia, yang kemudian diterjemahkan dalam
aturan-aturan tertentu dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas
universal. Untuk itu, dalam proses kajian selanjutnya etika membutuhkan sikap
kritis, metodis, dan sistematika tertentu. Karena itulah, sebagai salah satu cabang
ilmu, etika menjadikan tingkah laku manusia sebagai objek utama kajiannya.
Dalam sudut pandang normatif (baik dan buruk, harus-tidak harus, benar-salah)
terhadap perbuatan manusia.
2. Estetika
Etika, yang membahas tentang baik tidaknya sesuatu fokus pada ilmu
pengetahuan dipandang dari segi kesusilaan. Sementara kesenian, tradisi dan
kebudayaan yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia dinilai
dengan berdasarkan “keindahan” yang terdapat dalam kesenian tersebut. Pada
dasarnya, nilai kebaikan senantiasa berbanding dengan nilai keindahan.9 Meski
pada tataran selanjutnya banyak orang yang lebih fokus pada keindahan dan

8
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Jogjakarta: Pustaka Pelajar,2011, hal. 205
9
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010 ,hal.41
6

melupakan aspek kebaikan dalam bertindak. Pada tahapan ini, dapat kita pahami
bahwa Estetika merupakan cabang ilmu filsafat yang mengkaji sifat keindahan
dari ilmu pengetahuan.
Estetika adalah ilmu yang membahas bagaimana keindahan dapat
terbentuk, serta bagaimana dapat merasakannnya. Sebuah keindahan yang sudah
terbentuk tentunya harus dapat dirasakan oleh banyak orang. Istilah estetika
berasal dari bahasa Yunani, aesthesis yang berarti pencerapan inderawi,
pemahaman intelektual atau pengamatan spiritual. Berhubungan dengan hal
tersebut, Immanuel Kant dalam hal ini menegaskan bawa jiwa manusia memiliki
indra ketiga yang melampuai daya pikir dan kemauan, yaitu indera perasa.
Karenaya Ia mampu menikmati keindahan tanpa dipengaruhi kepentingan.
Keindahan itu fokus ada pada objek, dan ia melekat pada objek itu sendiri dan
tidak bisa dipisahkan.10
Estetika dibagi dalam dua pokok kajian: Estetika Diskriptif yang
menguraikan dan melukiskan pengalaman-pengalaman keindahan, dan Estetika
Normatif yang mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar dan ukuran dari
pengalaman keindahan tersebut.
Estetika berupaya memberikan gambaran detail tentang keindahan, dan
bagaimana keindahan itu dibentuk, dan seperti apa rasa keindahan itu sendiri, dan
bagaimana proses penilai keindahan tersebut. Hanya saja, ketika mengarah pada
proses penilaian mengenai keindahan yang itu; sebagaimana dikatakan Kant,
berhubungan dengan “rasa” dalam diri manusia yag bersifat subjektif terjadi
kerancuan mengenai standar keindahan itu sendiri, karena itu, banyak kalangan
beranggapan bahwa kajian estetika bersifat subjektif.
Dari beberapa literatur yang penulis dapatkan, pembahasan mengenai
estetika ini mengarah pada ilmu yang berhubungan langsung dengan kesenian,
semisal tentang arsitektur, yang memang menekankan pengembangan pada aspek
kesenian dan olah rasa. Tampaknya, kajian ini ingin menekankan bahwa “baik
dan benar” saja tidak berarti cukup dalam perkembangan keilmuan dalam

10
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010 hal.41
7

kehidupan manusia. Namun juga diperlukan “keindahan” dalam setiap


pengembangan ilmu, sehingga mereka bisa mewujudkan kesempurnaan.

C. Landasan Aksiologis Ilmu Pengetahuan


Sebagaimana sebuah bangunan yang kokoh harus mempunyai landasan
yang kuat, begitu juga ilmu juga harus mempunyai landasan yang kokoh sebagai
penopang keberlanjutannya. Landasan itu ada tiga yaitu landasan ontologis,
epistemologis dan aksiologis.
Ontologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang membahas tentang
hakikat ilmu atau objek pengetahuan ilmiah. Pertanyaan tentang apa yang akan
diteliti menjadi penting dibahas dalam kajian ontologi setiap ilmu pengetahuan.
Secara ontologis, setiap ilmu pengetahuan tentu memiliki objek kajiannya sendiri,
baik objek material maupun objek formal.11
Menurut Endang Saifuddin Anshari yang dimaksud dengan objek material
ialah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan sasaran penyelidikan suatu ilmu.
12
Sedangkan objek formal, menurut Poejawijatna, sebagaimana dikutip oleh A.
Karim Syeikh merupakan bagian dari objek material yang hanya menyoroti suatu
ilmu tertentu sehingga dapat dibedakan dengan ilmu lainnya.13
Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana pengetahuan
itu diperoleh. Yuyun S. Suriasumantri menyebutkan bahwa berpikir merupakan
aktivitas mental yang dapat menghasilkan ilmu pengetahuan. Untuk
menggerakkan kegiatan berpikir maka diperlukan adanya metode ilmiah – yaitu
berupa ekspresi mengenai tata kerja pikiran – sehingga memudahkan akal untuk
menggerakkan aktivitas berpikir itu.14 Melalui pendekatan metode ilmiah ini
diharapkan ilmu yang dihasilkan akan memiliki karakteristik tertentu seperti

11
A.Karim Syeikh, “Dakwah Sebagai Suatu Disiplin Ilmu”, Jurnal Ilmiah Al Bayan,
(Banda Aceh - Darussalam: Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, 2000), hal. 2.
12
Endang Saifuddin Anshary, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987,
hal. 50.
13
A.Karim Syeikh, “Dakwah Sebagai Suatu Disiplin Ilmu”, hal. 4.

14
Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustakan
Sinar Harapan, 2005, hal. 33.
8

bersifat rasional dan teruji kebenarannya.


Para ahli filsafat membagi pola berpikir ilmiah itu kepada 2 (dua) macam,
yaitu pola berpikir deduktif dan pola berpikir induktif. Berpikir deduktif
memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten
dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Metode deduktif ini memulai
aktivitas berpikir dari berbagai teori ilmu pengetahuan yang telah ada. Atas dasar
inilah selanjutnya dibangun hipotesis untuk dilakukan pengujian dan
pembuktian-pembuktian. Karena itu model deduktif ini juga disebut dengan
Logico-hypothetico-verivicative. Sedangkan berpikir induktif adalah suatu pola
dimana aktivitas berpikir dimulai dari kemampuan seseorang dalam menangkap
fenomena yang ada di sekitarnya.15
Fenomena ini selanjutnya dianalisis sehingga dapat menghasilkan
gambaran (deskripsi) yang objektif dan dapat juga menghasilkan konsep-konsep
yang didasarkan pada data-data empiris.16 Oleh karena demikian, kedua pola
berpikir tersebut – deduktif dan induktif – dapat digunakan sebagai cara dalam
mendapatkan ilmu atau pengetahuan ilmiah. Aksiologi merupakan bagian dari
filsafat ilmu yang menekankan pembahasannya di sekitar nilai guna atau manfaat
suatu ilmu pengetahuan. Di antara kegunaan ilmu pengetahuan adalah
memberikan kemaslahatan dan berbagai kemudahan bagi kelangsungan hidup
manusia itu sendiri. Aspek ini menjadi sangat penting dalam proses
pengembangan ilmu pengetahuan, sebab suatu cabang ilmu yang tidak memiliki
nilai aksiologis, maka cenderung mendatangkan kemudharatan bagi kelangsungan
hidup manusia. Bahkan tidak menutup kemungkinan ilmu yang bersangkutan
menjadi ancaman yang sangat berbahaya, baik bagi keberlangsungan kehidupan
sosial maupun keseimbangan alam.
Ketika berpijak pada landasan aksiologis, maka sesungguhnya suatu
pernyataan ilmiah atau proposisi dapat dianggap benar bila ia mengandung unsur
aksiologis di dalamnya, yaitu adanya nilai manfaat bagi kehidupan manusia. Bila
15
Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, hal. 120.
16
Agus Sholahuddin, Filsafat IlmuPengetahuan, Handout Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Untuk Mahasiswa Program S3, Unpublised, (Malang: Universitas Merdeka, 2011).
9

ruh ilmu pengetahuan itu sendiri menginginkan adanya nilai manfaat dari ilmu,
maka sesungguhnya pengamalan terhadap ilmu itu juga harus berlandaskan pada
tata nilai yang ada. Penghilangan terhadap unsur nilai manfaat (aksiologis) dari
ilmu pengetahuan dapat bermakna telah memperlemah posisi ilmu itu sendiri dari
sudut pandang filsafat ilmu pengetahuan.
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat
yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif.
Dikatakan objektif jika ia tidak tergantung pada subyek atau kesadaran yang
menilai. Nilai objektif karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolok ukur suatu gagasan berada
pada objeknya. Tolak ukur suatu bukan pada subjek yang melakukan penilaian.
Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan
pada sesuatu yang memiliki kadar secara realitas objektivitas fakta.17
Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam
memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian segalanya,
atau keberadaannya, maknanya dan validitasnya sangat bergantung pada reaksi
subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat
psikis maupun fisis.18
Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang terhadap sesuatu fakta.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang kepada ilmu dan teknologi, sains dan teknologi dikembangkan untuk
memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman. Peradaban manusia
berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi karena itu tidak

17
Irmayanti M. Budianto, Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan; Refleksi Kritis atas
Kerja Ilmiah, Depok : Fakultas Sastra UI, 2001, hlm 73
18
Risieri Frondiz, What Is Value, alih bahasa, Cut Ananta Wijaya, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2001, cet. Ke 1, hlm 20.
10

bisa dipungkiri peradaban manusia berhutang budi pada sains dan teknologi.
Berkat sains dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan
lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan,
pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia.
Sejak dalam tahap-tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan
perang, disamping lain ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana
bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan
kebutuhan manusia, namun sebaliknya manusialah yang akhirnya yang harus
menyesuaikan diri dengan teknologi. Menghadapi kenyataan ini ilmu yang pada
hakikatnya mempelajari alam sebagai mana adanya mulai mempertanyakan hal
yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan?
Dimana batasnya? Kearah mana ilmu akan berkembang?
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai
bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi
manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan?
Memang mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia bisa
memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia,
tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia
pada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Menghadapi hal yang
demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana
adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan?
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan
teknologi yang bersifat merusak, para ilmuan terbagi kedalam dua golongan.
Golongan pertama yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi. Dalam hal ini ilmuwan
hanya menemukan pengetahuan dan selanjutnya terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya, apakah akan digunakan tujuan yang baik ataukah untuk
keperluan yang buruk, semua itu tergantung penggunanya.19

19
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rajawali Pers, 2009, h. 169
11

Sebaliknya golongan kedua berpendapat bahwa netralisasi terhadap nilai-


nilai hanyalah terbatas pada metavisis keilmuan sedangkan dalam penggunaanya
ilmu berlandaskan pada moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada
beberapa hal yakni:
1. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
telah dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan
teknologi- teknologi keilmuan.
2. Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuan telah
mengetahui apa yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan.
3. Ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti
pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.20
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu
sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat
mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti
yang dikutip oleh Jujun S. Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah
kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi
umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu,
bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena
ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan
hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun
buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Menurut pandangan penulis, semua ilmu pengetahuan yang ada dalam
penggunaannya untuk kehidupan manusia harus mempertimbangkan nilai-nilai,
etika dan moral yang telah ada dan dijunjung tinggi oleh komunitas masyarakat.
Hal ini dimaksud agar penggunaan ilmu tersebut sejalan dengan tatanan dan
norma, adat istiadat dan nilai-nilai kehidupan yang ada, dan bermanfaat bagi
kehidupan manusia.

20
Yuyun S. Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, h. 235
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Aksiologis adalah teori-teori nilai, moral dan etika dalam penelitian,
pengembangan serta penggunaan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan
kehidupan manusia. Aksiologi adalah studi yang berkaitan dengan teori tentang
nilai atau studi segala sesuatu yang dapat bernilai atau memberikan manfaat.
2. Komponen aksiologi mengacu pada persoalan etika (moral) dan estetika
(keindahan). Etika berupaya memberikan batasan atau standart dalam mengatur
pergaulan aktivitas kehidupan manusia, yang kemudian diterjemahkan dalam
aturan-aturan tertentu dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas
universal. Sedangkan Estetika berupaya memberikan gambaran detail tentang
keindahan, dan bagaimana keindahan itu dibentuk, dan seperti apa rasa keindahan
itu sendiri, dan bagaimana proses penilai keindahan tersebut.
3. Landasan aksiologis ilmu pengetahuan dimaa suatu pernyataan ilmiah atau
proposisi dapat dianggap benar bila ia mengandung unsur aksiologis di
dalamnya, yaitu adanya nilai manfaat bagi kehidupan manusia

B. Saran
Diharapkan setelah membaca makalah ini, pembaca dapat memberikan
kritik dan saran yang dapat membantu penulis memperbaiki hasil tulisannya agar
lebih baik lagi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Adib, M. (N.D.). Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi.


Ashary, E. S. (1987). Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.
Bakhtiar, A. (2009). Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.
Budianto, I. M. (2001). Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan; Refleksi
Kritis Atas Kerja Ilmiah. Depok: Fakultas Sastra UI.
Endraswara, S. (2012). Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah dan Pengembangan
Metode Ilmiah. Jakarta: PT. Buku Seru.
Frodiz, R. (2001). What Is Value. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salam, B. (1997). Logika Materil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Reneka
Cipta.
Sholahuddi, A. (2011). Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Malang.
Sumatri, J. S. (1990). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Surajiyo. (2007). Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:
Bumi Aksara.
Syeikh, A. K. (2000). Dakwah Sebagai Suatu Disiplin Ilmu. Jurnal Ilmiah Al-
Bayan (Banda Aceh- Darussalam: Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry), 2.
Tafsir, A. (2010). Filsafat Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai