Anda di halaman 1dari 28

PERANAN SANGGAR PUTROE JEUMPA KEUBIRU DALAM

MELESTARIKAN TARI PHO DI DESA BLANG KUALA KECAMATAN


MEUKEK ACEH SELATAN

Proposal

diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan


memenuhi syarat-syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan

oleh
MIZANUL FHATA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENDRATASIK


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2018
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap wilayah di Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam sehingga

melambangkan kekayaan budaya daerah setempat. Melalui budaya tersebut maka terciptalah

ragam kebiasaan masyarakat, diantaranya bahasa daerah, tari, musik dan upacara adat. Semua

ini adalah bagian dari budaya. Kesenian adalah salah satu unsur dari kebudayaan yang

mencerminkan karakteristik nilai seni daerah itu sendiri. Keseniaan Aceh secara umum

meliputi seni rupa, seni tari, seni musik, seni sastra dan seni drama. Aceh merupakan daerah

yang memiliki sepuluh suku yang setiap suku tersebut memiliki ciri khas seni budaya masing-

masing dan kekayaan budaya tersebut dapat menjadi warisan bangsa. Kesenian Aceh di setiap

suku pada dasarnya mempunyai ciri khas yang amat nyata dan sama, yaitu unsur Islam di

dalamnya. Kesenian masyarakat di Aceh Selatan sangat memperhatikan adat-istiadat yang

berlaku berdasarkan syariat Islam dan adat budaya asli. Aceh Selatan menyimpan khazanah

yang banyak untuk digali dan didokumentasikan dari tarian, tempat, tokoh, adat budaya dan

sebagainya. Tari tradisional sebagai warisan leluhur merupakan bagian dari kebudayaan yang

mesti dijaga kelestariannya. Pada saat sekarang ini arus globalisasi semakin deras pengaruhnya

terhadap kesenian tradisional, berpotensi menggeser nilai-nilai moral yang terkandung di

dalamnya. Dalam perkembangan selanjutnya tidak terkecuali Tari Pho pun mengalami

perubahan baik dari segi bentuk, maupun fungsinya. Tari tradisi sebagai bagian dari

kebudayaan merupakan warisan turun-temurun dari leluhur. Kehadirannya bukan hanya sekali

atau bersifat statis, tapi selalu mengalami perubahan dan perkembangan, oleh karena itu

semakin jauh dari tradisi semakin banyak pula perubahan-perubahannya. Tari tradisi memiliki
aturan-aturan yang berpatokan pada kaedah-kaedah pola hidup dan sikap masyarakat yang

selalu disesuaikan dengan adat istiadat setempat. Tari tradisi merupakan tarian yang sudah

mengalami perubahan dan perjalanan sejarahnya yang cukup lama dan bertumpu pada nilai

tradisi yang ada.

Tari Pho adalah salah satu tarian khas Aceh, tari Pho berasal dari Lamainoeng

Kecamatan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya (yang dulunya masih bagaian dari Aceh

Selatan) yang sekarang sudah pemekaran sudah menjadi bagian dari Aceh Barat Daya. Tari

Phoadalah asal kata dari Poh reula yang artinya menghentak-hentakkan diri ke lantai dengan

meratapi kepergian dua orang buah hatinya yang pergi untuk selama-lamanya atas korban

fitnah dari orang yang tidak bertanggung jawab. Perkataan Pho berasal dari kata peuba-e po,

peuba- rakyat/hamba kepada Yang Maha Kuasa (yang memiliki) misalnya Po Teu Allah, Po

Teumeureuhom, Teuku Po, Ureung Po dan lain-lain. Kata “Pho” dalam bahasa Aceh adalah

sebagai suatu sebutan untuk panggilan kehormatan dari masyarakat kepada Tuhan Yang

Maha Kuasa. Kata ini diasumsikan dengan kata sifat lainnya, seperti “Pho Teu Allah”, “Allah

Hai Po”, “Ee Po”, sebagai sebutan untuk menghormati Allah SWT yang memiliki segala

makhluknya. Selain itu juga, kata “Po Teu Meureuhom” sebagai sebutan untuk menghormati

sultan-sultan yang sudah mangkat. Sebutan lainnya seperti “Teuku Po” digunakan sebagai

sebutan untuk menghormati golongan bangsawan/uleebalang, “Ureung Po Rumoh” sebagai

sebutan untuk menghormati istri yang dianggap sebagai pemilik atau pewaris dari rumah

didalam pemahaman kebudayaan dan sejarah di Aceh. Sedangkan sebagai wujud seni tradisi

pertunjukan tari Pho dapat dilakukan beriringan antara tarian sekaligus nyanyian yang berisi

syair-syair tragedi. Tari Pho dahulu adalah salah satu tarian yang biasanya dilakukan

pada kematian orang-orang besar dan raja-raja dengan melakukan pantun-pantun dan syair
sedih sebagai buah ratapan. Sehingga inilah dasar atas asal usul timbulnya tarian Pho tersebut.

Berdasarkan sejarah tari Pho tercipta dari sebuah kisah sedih atas hukuman matinya dua orang

remaja (putra dan putri) karena korban fitnah. Berdasarkan legenda seorang anak laki-laki yang

bernama Malelang dengan perempuan yang bernama Madion.

Tari Pho ini cukup sederhana dan dinamis karena mudah untuk dipelajari dan gerakan

yang mudah untuk diikuti oleh semua kalangan usia. Gerakan pada tari Pho selalu berulang-

ulang dan komposisi pola lantai yang tidak banyak berubah. Pada masa perkembangannya,

kesenian tari Pho sudah dijadikan tari rakyat yang diperkenalkan berdasarkan sejarah cerita

rakyat tersebut yang selalu dipergelarkan pada saat sekarang sudah mengalami perubahan

bentuk baik dari segi jumlah penari, gender dan komposisinya, ini membuktikan bahwa

masyarakat Aceh cepat tanggap dengan situasi perkembangan kesenian untuk mewujudkan

pelestarian nilai tradisi. Namun tidak terlepas dari perubahan itu tetap diperkenalkan tari tradisi

Pho yang semestinya seperti sering ditampilkan pada acara sunat rasul, perkawinan dan

penyambutan formal atau festival budaya di Aceh umumnya.

Di Kabupaten Aceh Selatan sendiri tarian Pho sudah mulai sedikit, intensitas

penampilnya adalah kegiatan kemasyarakatan disebabkan perkembangan zaman dan

moderenisasi seperti keyboard dan musik lainnya di rumah-rumah warga sehingga jarangnya

kita melihat acara-acara seni tradisi di kalangan masyarakat sekarang khususnya di Aceh

Selatan. Seni tradisional yang seharusnya kita kembangkan dan lestarikan namun dihilangkan

untuk hal moderen lainnya.

Maka dari berbagai fenomena tersebut perlu dilakukan pendekatan supaya mengalami

perubahan dan kemajuan kearah yang lebih baik serta peningkatan dalam pelestarian seni

tradisional Aceh khususnya tarian Pho. seperti Metode latihan keterampilan (drill method)
dengan cara memberikan pelatihan keterampilan secara berulang kepada peserta sanggar, dan

mengajaknya langsung ketempat latihan keterampilan, seperti di Sanggar yang berfungsi

sebagai tempat untuk melihat proses tujuan, fungsi, kegunaan dan manfaat dalam suatu karya

seni.misalnya mengenal tarian-tarian Aceh lainnya seperti tari Ranup Lampuan, Likoek Pulo

dan tari tradisional Aceh lainnya. Metode latihan keterampilan ini bertujuan membentuk

kebiasaan atau pola lantai, gerak tubuh dan langkah-langkah dalam tari tradisionalnya lainnya.

Sanggar Putroe Jeumpa Keubiru merupakan salah satu sanggar yang terletak di

Kecamatan Meukek Kabupaten Aceh Selatan, tepatnya di Desa Blang Kuala. Stelah melakukan

pengamatan ternyata masih banyak terdapat kekurangan dan kejanggalan terhadapat Peranan

sanggar. Sehingga penulis semakin yakin untuk melakukan penelitian. Agar Sanggar Putroe

Keubiru ini tetap mengembangkan tari tradisional Aceh khususnya tari Pho supaya lebih luas

dan tetap dikenang. Masyarakat Aceh Selatan tergolong masih rendah peminatnya untuk masuk

ke sanggar-sanggar sehingga mengakibatkan hilangnya rasa kepedulian masyarakat terhadap

tari tradisional Aceh sendiri dan generasi selanjutnya tidak terlalu mengenal akan tarian-tarian

khas Aceh yang terdapat di Aceh. Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti ingin melihat

apakah sanggar tersebut masih seperti dulu atau sudah mengalami perubahan?. Sehingga

peneliti tertarik ingin melakukan penelitian dengan judul ‘Peranan Sanggar Putroe

Jeumpa Keubiru Dalam Melestarikan Tari Pho di Desa Blang Kuala Kecamatan

Meukek Aceh Selatan’.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan diatas, maka yang menjadi

rumusan masalah adalah:

1. Bagaimana peranan Sanggar Putroe Jeumpa Keubiru dalam melestarikan Tari Pho

di Desa Blang Kuala Kecamatan Meukeuk Aceh Selatan?

2. Apa saja kegiatan yang dilakukan Sanggar Putroe Jeumpa Keubiru dalam

melestarikan Tari Pho di Desa Blang Kuala Kecamatan Meukek Kabupaten Aceh

Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mendekripsikan perananan Tari Pho yang berkembang di Sanggar Putroe

Jeumpa Keubiru Desa Blang Kuala Kecamatan Meukek Kabupaten Aceh Selatan.

2. Untuk mendeskripsikan fungsi Tari Pho dalam kehidupan masyarakat yang

berkembang di Sanggar Putroe Jeumpa Keubiru Desa Blang Kuala Kecamatan

Meukek Kabupaten Blang Kuala.

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis:
Secara teoritis kegunaan dari penelitian ini diharapkan menjadi salah satu upaya

memperluas wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan tentang seni dan budaya yang

ada di Aceh khususnyatari tradisional Aceh supaya lebih berkembang dan terus di

lestarikan agar tidak pudar, serta sebagai pengetahuan seni tari kebudayaan dari

masyarakat Aceh sendiri.

2. Manfaat praktis:

a. Bagi penari

Diharapkan menjadi suatu inspirasi dan pengetahuan bagi pihak penari untuk lebih

meningkatkan kreativitas seni dalam mengembangkan tari tradisional Aceh

khususnya tari Pho supaya gerak tubuh lebih lembut dan indah, khususnya dalam

rangkaian gerakan tari Pho tersebut.

b. Bagi Gampong

Diharapkan dapat menjadi solusi bagi seniman dan penari yang ada di

GampongBlang Kuala dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan juga sebagai

sarana dan prasarana di Sanggar tari tersebut khususnya tari Pho.

c. Bagi masyarakat

Dapat melestarikan dan mengembangkan pengetahuan-pengetahuan tentangtari

Phoyang sudah menjadi tarian tradisional Aceh sendiri sertamakna dan nilai yang

terdapat dalam tari Pho tersebut.

e. Bagi peneliti

Menjadi suatu bahan acuan bagi peneliti untuk kegiatan selanjutnya serta menambah

pengetahuan dan tentang tari tradisioal Aceh khususnya tari Pho, dan untuk

memperluas wawasan tentang tarian-tarian tradisional yang ada di Aceh.


E. Definisi Istilah

Untuk menghindari kesalah pahaman terhadap judul karya ilmiah ini, berikut ini akan

diuraikan beberapa penjelasan mengenai istilah yang dipakai dalam karya ilmiah ini.

a. Peranan

Peranan adalah tindakan yang dilakukan seseorang, lembaga tertentu dalam suatu

peristiwa atau bagian yang dimainkan seseorang dalam suatu peristiwa.

b. Tari Pho

Tari Pho adalah tari yang berasal dari Aceh. Perkataan Pho berasal dari kata

Peubae, Peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan atau sebutan

penghormatan dari rakyat hamba kepada Yang Mahakuasa yaitu Po Teu Allah. Bila

raja yag sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh

para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja,

yang didasarkan atas permohonan kepada Yang Mahakuasa, mengeluarkan ekspresi

isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap dan melahirkan

kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama islam,

tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian

rakyat yang sering ditampilkan pada upacara adat, sunatan dan perkawinan.

c. Seni Tari Tradisional

Seni Tari Tradisional adalah suatu tarian yang pada dasarnya berkembang di suatu

daerah tertentu yang berpedoman luas dan berpijak pada adaptasi kebiasaan secara

turun temurun yang di peluk/dianut oleh masyarakat yang memiliki tari tersebut.
F. Landasan Teori

1. Sejarah Tari Pho

Tari Pho merupakan salah satu tari yang berasal dari Gampong Ujung Padang

Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya. Dalam pergaulan hidup sehari-hari

masyarakat ini sebagian mempergunakan bahasa pengantar yang mirip bahasa

Minangkabau yang disebut bahasa Aneuk Jame (jame= tamu). Tarian ini diangkat

atau berlatar belakang cerita rakyat setempat. Tari Pho merupakan kisah legenda

kerajaan Kuala Batee Malelang-Madion. Legenda tersebut mengisahkan kehidupan

dua anak manusia yang nasibnya harus berakhir di usia muda karena hasutan

perdana menteri yang pernah ditolak pinangannya oleh Madion. Mereka dituduh

telah menodai kesucian kerajaan dengan perbuatan asusila sehingga dijatuhi

hukuman rajam sampai mati oleh pihak kerajaan.

Konon di perbatasan Aceh Barat dengan Aceh Selatan, dalam suatu kerajaan

yang bernama kerajaan Kuala Batee terjadi suatu kisah sedih, yaitu seorang anak

perempuan yang mempunyai wajah cantik bernama Madion, sejak kecil sudah

ditinggalkan oleh ibunya yang telah berpulang ke rahmatullah. Ia dipelihara oleh

makwanya (kakak dari ibunya). Sedangkan makwanya tersebut mempunyai

seorang anak laki-laki yang bernama Malelang. Setelah menjelang dewasa terniatlah

di hati makwanya untuk memperjodohkan kedua anak tersebut. Maka bersiap-siaplah

makwanya menanti kedua anak tersebut menjadi dewasa dengan persiapan-persiapan

seperlunya yaitu sekeliling rumah ditanami dengan pohon inai (pacar) atau bak gaca,

pohon pinang, pisang dan lain-lain. Begitu juga dengan segala sesuatu persiapan

pengantin menurut adat-istiadat pada waktu itu.


Menurut beberapa sumber, seni pertunjukan tari pho telah ada sejak dahulu,

namun pastinya belum diketahui secara pasti. Seni pertunjukan ini diperkirakan

berkembang pada masa penjajahan Belanda atau pada sekitar awal abad ke-20 jika

menilik dari lirik yang ada pada saat TumBeude yang menyebutkan tentang

kewafatan pahlawan nasioanl Teuku Umar. Tarian ini sudah dikenal ketika belanda

memasuki awal abad ke-20 dan kemudian berhasil menduduki daerah ini sejak tahun

1890-an hingga tahun 1942 dalam rangka mengejar pasukan muslimin Aceh hingga

masuknya Jepang ke sana.

Alkisah pada suatu hari Malelang disuruh oleh maknya memanjat pohon pinang.

Lalu Madion melihat abangnya sedang memanjat pohon pinang, kemudian dia

berlari-lari meminta pinang tersebut. Dengan tidak sadar ia memanjat pagar tidak

disangka-sangkanya mengambil buah pinang sedang dibawa turun oleh abangnya

Malelang. Tetapi dengan pahanya sedikit mengeluarkan darah. Kemudian pinang di

tangan abangnya diambil lalu ia berlari pulang celananya tersangkut di pagar dan

robek. Miris bagi nasib anak-anak tersebut kejadian itu diintip dan dilihat oleh

seseorang. Karena lamarannya/pinangannya terhadap gadis cantik Madion yang

sedang mekar itu ditolak. Lantas timbullah niat jahatnya untuk memfitnah kedua

remaja itu, maka dengan gembira ia berlari-lari menuju ke istana raja untuk

melaporkan bahwa Madion dan Malelang telah menodai kampong mereka, tadi di

bawah pohon pinang telah melakukan zina terbukti bahwa celana Madion telah robek

dan berdarah. Mendengar fitnahan tersebut raja sangat marah dan merasa malu tanpa

berpikir panjang datanglah ia ke rumah ibu anak-anak tersebut mengatakan bahwa

Madion dan Malelang akan dihukum mati karena telah mengerjakan pekerjaan yang
terkutuk. Mendengar keputusan raja tersebut sangatlah terharu serta rasa iba hati

mereka dan memohon kepada raja agar diberi tempo untuk pelaksanaan hukuman.

Maka Raja memberi waktu 7 (tujuh) hari. Dalam waktu tersebutlah anak-anak itu

diberi pacar/inai pada kaki dan tangannya. Pacar diambil tujuh pucuk dan diukir

pada kaki dan tangan anak-anak tersebut, seolah-olah mereka telah dikawinkan dan

diberi perhiasan seindah- indahnya.

Setelah tiba hari yang dijanjikan yaitu hari yang ketujuh, sampailah kerumah ibu

mereka panglima-panglima raja untuk menuntut janji melaksanakan hukuman mati.

Anak-anak tersebut diletakkan dalam peti kaca, mereka digiring ke sebuah

tanah lapang tempat pelaksanaan hukuman mati mereka, setelah selesai mereka

laksanakan perintah raja anak-anak tersebut diletakkan dalam sebuah tempat, lalu

mereka dibawa pulang ke rumah ibunya. Di situlah diratapi (ditangisi) oleh ibunya.

Di dalam meratapi anak-anak tersebut dalam bentuk sebuah lingkaran dengan

jenazah terletak di tengah- tengah, sambil berpantun dan bersyair.Tarian ini

dimainkan oleh gadis- gadis dengan membuat lingkaran ataupun baris berbanjar

sambil berdiri. Biasanya syech berada di tengah-tengah atau di luar pemain-pemain

lainnya. Dahulu Tari Pho dilakukan pada upacara-upacara kematian tetapi sekarang

sudah menjadi luas yaitu pada perhelatan perkawinan. Bersuka ria, memandikan

pengantin, sunat rasul, turun mandi, melepas hajat dan penyambutan pembesar-

pembesar serta pada waktu padi diserang hama penyakit.


2. Peranan Tari Pho

Untuk menumbuhkembangkan pelestarian tersebut agar dapat terealisasi dengan

baik ternyata seni budaya tari khususnya Tari Pho mengalami pasang surut sehingga

menjadi suatu masalah yang penting untuk diteliti. Kurang berkembangnya Tari Pho

secara penyajian yang berdasarkan makna teoritis yang terjadi saat ini selanjutnya

merupakan dasar pemikiran. Tujuan penelitian ini adalah (1). Untuk mengetahui

bagaimanakah perkembangan penyajian Tari Pho di Sanggar Putroe Jeumpa

Keubiru? (2). Untuk mengetahui apa sajakah hambatan dalam perkembangan Tari

Pho di Sanggar Putroe Jeumpa Keubiru? (3). Untuk mengetahui apakah fungsi

sanggar Putroe Jeumpa Keubiru dalam kehidupan bermasyarakat. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif. Penulis menggunakan metode sejarah sebagai

metode penelitian yang umum digunakan untuk hal-hal sejarah. Teknik pengumpulan

data dikumpulkan dari data primer dan sekunder. Teknik analisis data adalah

penyajian data dan verifikasi. Hasil dari penelitian ini adalah tarian Tari Pho asal

mulanya terdapat di Kampung Lamainoeng Kecamatan Kuala Batee Kabupaten

Aceh Barat Daya (yang dulunya masih bagian dari Kabupaten Aceh Selatan).

Penyajian Tari Pho di daerah Kabupaten Aceh Selatan khususnya di Sanggar Putroe

Jeumpa Keubiru Desa Blang Kuala berfungsi sebagai sarana hiburan yang biasa

dilakukan pada penyambutan tamu, penampilan pada kegiatan-kegiatan formal

ataupun informal, ditampilkan juga pada kegiatan budaya, khitanan dan mandi pucuk

pengantin. Sehingga perkembagan Tari Pho yang terjadi saat ini sudah terapresiasi

pelestariannya namun masih perlu adanya pemahaman bahwasanya terdapat

perbedaan dalam penyajiannya berdasarkan kebutuhannya.


3. Fungsi dan Perkembangan Tari Pho

Berdasarkan latar belakang tari Pho ini, bahwa tarian ini merupakan

manifestasi dari kehidupan masyarakat Aceh, yaitu masyarakat agraris, dimana

dalam tarian ini tampak dengan jelas gerakan-gerakan simbolis dalam mengolah

sawah ladang. Gerakan para penari menghentakkan kaki ke lantai berarti bahwa

tanah yang telah dibajak harus diinjak-injak supaya rata. Kata “Oo bineu loen balek

laen” menggambarkan bahwa tanah itu harus sering sekali dibajak dan disikat. Tepuk

tangan adalah simbolis mengusir burung dan mengetam atau mengumpulkan ikatan-

ikatan padi yang telah diketam. Pesatnya perkembangan tarian Pho ini terutama sejak

berkembangnya dan meningkatnya kegiatan-kegiatan kaum ibu di Aceh yang

disponsori oleh “Putri Phang” istri Raja Aceh Sultan Iskandar Muda. Di dalam lagu

Pho juga disebut “Putri” Phang atau “Putroe Phang. Sehingga seiring perkembangan

tari tersebut maka Drs. IchsanIbrahim menciptakan/menggubah tari Pho tersebut

kedalam versi panggung.

Pada masa penciptaannya zaman dulu tarian Pho ini dipengaruhi oleh budaya

pra-islam. Setelah islam berkembang dan mula dipahami dengan baik oleh

masyarakat di Aceh Barat masa itu, tari ini sudah tidak dipertunjukkan dan

dipertahankan sebagai pertunjukan ritual kematian lagi karena dalam islam tidak

membenarkan untuk meratapi sampai meraung-raung orang yang sudah meninggal,

karena kematian adalah Sunnatullah sehingga dibutuhkan kesabaran setiap orang

untuk menghadapi musibah yang menimpa diri dan keluarga serta kerabat dekat

lainnya sehingga kemudian tarian ini hanya berfungsi sebagai pertunjukan hiburan

semata.
Sehingga saat ini seiring perkembangannya Tari Pho bisa ditampilkan pada

acara perkawinan, bersuka ria, memandikan pengantin, sunat rasul, turun mandi,

melepas hajat dan penyambutan pembesar-pembesar serta pada waktu padi diserang

hama penyakit.Dalam pertunjukan tari pho saat ini sering ditemui pada saat acara

perkawinan yang disebut manoe pucuk, sedangkan pertunjukan Pho tradisional

berdasarkan gubahannya berupa pertunjukan panggung saat ini sering ditemui pada

acara penyambutan dan event festival.

Begitu Juga dalam waktu pertunjukannya Tari Pho yang ditampilkan pada acara

perkawinan atau manoe pucuk biasanya sekitar 3 jam bahkan bisa sampai seharian

dari pagi sampai sore. Namun berdasarkan gubahan versi panggung ditampilkan tari

pho tradisional berdurasi 10-15 menit. Dalam perkembangan tari pho secara

fungsinya di Aceh Barat berubah menjadi penghantar nasihat yang sangat sering

ditampilkan pada acara manoe pucuk atau memandikan pengantin yang berisi nasihat

seorang ibu dan keluarganya untuk anaknya yang akan menikah.

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan jenis penelitian

Karya ilmiah pada prinsipnya memerlukan data yang lengkap dan objektif serta

metode dan teknik pengumpulan data tertentu yang sesuai dengan masalah yang akan

menjadi obyek penelitian. Menurut Sugiyono (2013: 224) “metode penelitian merupakan

cara ilmiah untuk mendapat data dengan tujuan dan kegunaan tertentu”. Metode yang

penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penulis ingin
menggambarkan keadaan yang terjadi dalam sebuah daerah. Dari itu, penulis mengambil

satu perabot yang menjadi tempat penelitian dalam permasalahan ini.

Karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Meneliti kondisi suatu

objek yang alamiah (lawan dari eksperimen) dimana peneliti adalah instrumen kunci,

teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat

induktif, dan hasil penelitian lebih menekankan makna daripada generalisasi.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

deskriptif, Menurut Arikunto (2010: 3):

“Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki

keadaan, kondisi atau hal-hal lain (keadaan, kondisi, situasi, peristiwa, kegiatan) yang

hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian. Dalam kegiatan penelitian ini

peneliti hanya memotret apa yang terjadi pada diri objek atau wilayah yang diteliti,

kemudian memaparkan apa yang terjadi dalam bentuk laporan penelitian secara lugas,

seperti apa adanya”.

Dalam penelitian kualitatif peneliti bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada

sebagai bahan penjelas, dan berakhir dengan suatu teori.

Dalam rancangan penelitian ini, ada satu sanggar yang menjadi objek penelitian yaitu

Sanggar Putroe Jeumpa Keubiru Desa Blang Kuala Kecamatan Meukek Aceh Selatan.
2. Lokasi Penelitian dan Sumber Data

Penelitian ini dilaksanakan di Sanggar Putroe Jeumpa Keubiru Desa

Blang Kuala Kecamatan Meukek Aceh Selatan. Alasan peneliti memilih lokasi

ini karena sanggar ini mengalami kekurangan dan pemahaman dalam

mengembangakan rangkaian gerak tari. Sanggar ini terletak di daerah

perkampungan yang dekat dengan rumah masyarakat sekitar, sehingga peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian ini memperoleh data yang benar. Kecamatan

Meukek ini dulunya merupakan salah satu kecamatan yang masih memiliki

budaya yang kental dengan adat istiadatnya, namun karena itu peneliti ingin

mengetahui apakah budaya dalam penggunaan tarian pho masih terus berlanjut

dan berkembang dikalangan masyarakat pada saat ini.

Sumber data sangat diperlukan oleh peneliti karena segala tulisan dan

bukti penggunaan yang dihasilkan akan terjaminnya sebuah kualitas pada suatu

penelitian ilmiah. Data yang peneliti dapatkan yaitu keakuratan data yang

diperoleh untuk mendukung suatu penelitian.

Pada penelitian ini data yang dihasilkan dari hasil interaksi langsung antara

peneliti dengan narasumber seperti kepala desa, pemilik sanggar serta perangkat

lainnya yang mengerti tentang tarian pho yang digunakan pada Sanggar Putroe

Jeumpa Keubiru Desa Blang Kuala Kecamatan Meukek Aceh Selatan.

Sumber data dalam penelitian ini adalah:

a). Kepala desa Blang Kuala Kecamatan Meukek Aceh Selatan

b). Cut Malahayati (direktur sanggar Putroe Jeumpa Keubiru)


3. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian merupakansumber informasi, yang diperoleh dari

seseorang maupun keterangan-keterangan yang diperoleh dari pengrajin perabot

yang mengetahui segala hal tentang tulisan ini. Menurut Arikunto (2010:145)

mengemukakan bahwa “Subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk

diteliti oleh peneliti”. Jadi, subjek penelitian itu merupakan sumber infprmasi

yang digali untuk mengungkapkan fakta-fakta di lapangan. Penentuan subjek

penelitian atau sampel dalam penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian

kuantitatif. Dalam hal ini, yang menjadi subjek penelitian adalah faktor penyebab

memudarnya peranan tari pho yang terdapat pada Sanggar Putroe Jeumpa

Keubiru Desa Blang Kuala Kecamatan Meukek Aceh Selatan dengan sumber

datanya yaitu kepala desa dan satu pemilik sanggar, para aparatur desa, serta

penari lainnya yang berada di desa Blang Kuala.

Alasan peneliti memilih penari sanggar lainnya yang menjadi sumber

data dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penari sanggar

lainnya dianggap sebagai penari yang menjalin hubungan kerja sama dengan

sanggar yang diteliti serta cocok untuk dijadikan objek pengamatan, karena

dengan kondisi sanggar yang demikian akan mudah terlihat bagaimana dampak

dari peranan tari pho yang berkembang Sanggar Putroe Jeumpa Keubiru Desa

Blang Kuala Kecamatan Meukek Aceh Selatan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun tekhnik pengumpulan data yang penulis gunakan pada penelitian ini

adalah:
a). Observasi

Observasi atau pengamatan merupakan suatu kegiatan untuk mengoleksi

data dengan cara mengamati dan mencatat mengenai kondisi-kondisi, proses-

proses, dan perilaku-perilaku objek penelitian. Menurut Sugiyono (2013:145)

merumuskan “Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses

yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikhologis. Dua diantara yang

terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan”. Teknik observasi ini

digunakan untuk mengumpulkan data tentang aktivitas penari sanggar dalam

kegiatan menari, mengamati gerakan yang digunakan dalam kegiatan menari

yang dilakukan oleh penari serta dampak yang dihasilkan setelah proses

berlangsung. Ketika melakukan pengumpulan data dengan observasi, peneliti

menggunakan instrumen berupa lembaran pedoman observasi (terlampir),

bertujuan untuk lebih memudahkan dalam mengetahui apa yang akan dibahas.

Menurut Patton dan Nasution, manfaat dari observasi diantaranya ialah:

1. Dengan observasi dilapangan peneliti akan lebih mampu memahami

konteks data dalam keseluruhan situasi kegiatan di sanggar, karena dapat

diperoleh pandangan yang holistik dan meyeluruh.

2. Dengan observasi maka akan diperoleh pengalaman langsung, sehingga

memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak

dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya. Pendekatan induktif

membuka kemungkinan melakukan penemuan atau discover.

3. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak

akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena bersifat

sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga.


Observasi perlu dilakukan karena beberapa alasan :

1) Memungkinkan untuk mengukur banyak perilaku yang tidak dapat diukur

dengan menggunakan alat ukur psikologis yang lain (alat tes) karena hal ini

banyak terjadi pada anak-anak.

2) Observasi dirasakan lebih mudah dari pada teknik pengumpulan data yang

lain. Pada tukang observasi menghasilkan informasi yang akurat dari pada

masyarakat. Sebab, tukang lebih mengetahui tentang kegiatan pembuatan

motif ketika sedang diobservasi.

b). Wawancara

Setelahmelakukan penelitian secara observasi, peneliti melanjutkan secara

wawancara yang bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut tentang objek kajian

agar terhindar dari kekeliruan.

Wawancara ialah suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara berkomunikasi langsung antara penulis dengan responden yang mempunyai

pemahaman tentang tarian, guna untuk memperoleh data tentang Sanggar Putroe

Jeumpa Keubiru dalam melestarikan Tari Pho di Desa Blang Kuala Kecamatan

Meukek Kabupaten Aceh Selatan. Menurut Esterbert dalam Sugiyono, (2013:

231) mengatakan bahwa “wawancara merupakan pertemuan antara dua orang

untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat

dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu”.


Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur,

dan dapat melalui tatap muka (face to face) maupun dengan memakai alat

komunikasi seperti telepon. Teknik wawancara yang dilakukan dalam penelitian

ini ialah wawancara secara langsung (tatap muka), yaitu Cut Malahayat selaku

pemilik sekaligus pelatih sanggar tersebut yang mengetahui tentang tari pho.

Wawancara merupakan tanya jawab yang terbuka untuk memperoleh data

tentang maksud penelitian yang dapat menggambarkan kejadian-kejadian, atau

fenomena-fenomena yang berhubungan dengan setting penelitian.

Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, yaitu

pedoman wawancara dipersiapkan sebelum bertatap muka dengan responden.

Wawancara ini lebih bersifat formal, bersifat luwes dan biasa pertanyaannya

direncanakan agar sesuai dengan subjek dan suasana pada saat wawancara

dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan agar data yang diperoleh merupakan data

murni dari narasumber. Dalam wawancara ini hal-hal yang dipertanyakan adalah

mengenai perananan sanggar perkembangan tari pho di masyarakat serta fungsi

tari pho Sanggar Putroe Jeumpa Keubiru dalam melestarikan Tari Pho di Desa

Blang Kuala Kecamatan Meukek Kabupaten Aceh Selatan.

bentuk-bentuk motif Jepara dan motif Aceh, macam-macam ragam motif

yang digunakan serta pengaruh motif Jepara terhadap pembuatan motif Aceh.

Wawancara dalam penelitian ini dapat dilakukan secara formal maupun non

formal. Secara formal narasumber tahu dan sadar bahwa dirinya diwawancara

dan peneliti menyiapkan format berbagai pertanyaan sesuai dengan yang telah

diatur sebelumnya. Sedangkan non formal dapat dilakukan secara spontan,


bahkan narasumber yang diwawancara tidak menyadari bahwa dirinya sedang

diwawancarai. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat

tulis menulis dan pedoman wawancara, hal ini dimaksudkan agar mempermudah

penulis dalam mengumpilkan data dari narasumber yang diwawancara.

c). Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan dengan pengumpulan data dari berbagai tulisan

dan gambar, yang berhubungan dengan masalah yang diteliti sehingga hasil

dokumentasi dapat dijadikan sumber data. Setelah data dikumpulkan kemudian

dituangkan ke dalam bentuk tulisan yang berupa laporan. Hal ini dilakukan agar

dapat mempermudah penulis dalam melakukan penelitian sehingga memperoleh

data yang akurat.

Menurut Sugiyono (2013: 240) “dokumentasi merupakan catatan

peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau

karya-karya monumental dari seseorang”.

3. Teknik dokumentasi yang dilakukan dalam penelitian ini dengan cara

mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti

serta gambar-gambar dan foto yang ada. Instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini berupa kamera digital. Hal ini sangat mendukung dalam

suatu teknik pengumpulan data, oleh karena itu foto merupakan sebagai

alat bantu yang cukup efektif dalam menyimpan objek dua dimensi dan

juga dapat mempermudah penulis dalam memperoleh data tentang

Peranan Sanggar Putroe Jeumpa Keubiru dalam melestarikan Tari Pho di

Desa Blang Kuala Kecamatan Meukek Kabupaten Aceh Selatan.


5. Teknik AnalisisData

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan lebih banyak bersifat

uraian dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang telah

diperoleh akan dianalisis secara kualitatif serta diuraikan dalam bentuk deskriptif

Menurut Sugiyono (2013: 244), analisis data adalah “proses mencari dan

menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan

lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya

dapat diinformasikan kepada orang lain”. Definisi tersebut memberikan

gambaran tentang betapa pentingnyakedudukan analisis data dilihat dari segi

tujuan penelitian. Prinsip pokok penelitian kualitatif adalah menemukan teori

dari data.

Setelah data diperoleh, kemudian peneliti menempuh langkah selanjutnya

yaitu analisis data yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana Sanggar Putroe

Jeumpa Keubiru dalam melestarikan Tari Pho di Desa Blang Kuala Kecamatan

Meukek Kabupaten Aceh Selatan berdasarkan hasil pengumpulan data yang

telah peneliti lakukan.

Menurut Rakmat Kriantono, analisis data adalah proses mengorganisasikan

dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, satuan uraian dasar sehingga

dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang

disarankan oleh data. Data yang telah dikumpul dari pengolahan data selanjutnya

akan dilakukan pengorganisasian dan pengurutan data untuk menemukan

jawaban atas permasalahan yang diteliti. Dari hasil analisis, data-data tersebut

diinterpretasikan kemudian ditarik suatu kesimpulan tentang permasalahan yang


menjadi objek penelitian. Interpretasi berarti menyusun kembali unsur-unsur

yang ada serta merumuskan hubungan antara unsur-unsur lainnya.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Reduksi Data

Merereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan kepada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya, dengan

data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan

mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.

b. Display

Sesudah data direduksi, jadi langkah selanjutnya yaitu mendisplay data. Data

yang sudah direduksi disajikan kedalam teks yang bersifat naratif. Hal ini

bertujuan untuk mendeskripsikan seputar kegiatan dalam tarian pho beserta

jenis-jenisnya.

c. Verifikasi

Langkah yang terakhir adalah menarik kesimpulan atau verifikasi terhadap

judul penelitian ini yang bertujuan agar mempermudah peneliti dalam

mengolah data-data yang diperoleh. Sehingga data yang telah dikumpulkan di

olah untuk menemukan hal-hal pokok mengenai perananan Sanggar Putroe

Jeumpa Keubiru dalam melestarikan Tari Pho di Desa Blang Kuala

Kecamatan Meukek Kabupaten Aceh Selatan pada saat sekarang ini.


H. Rencana Penelitian

1. Jadwal penelitian

Jadwal penelitian adalah rancangan peneliti atas berapa lama penelitian

tersebut dilakukan.

Waktu
No
Kegiatan Februari Maret April Mei Juni
.
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pembuatan proposal.
2 Seminar proposal.
3 Perbaikan dan bimbingan,
perbaikan bab I, II, dan III.
4 Pengumpulan data,
wawancara, bimbingan.
5 Pengolahan data, penulisan
Bab IV dan V, bimbingan.
6 Penyusunan Bab
7 Sidang kelulusan
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi (2010), Prosedur penelitian sutu pendekatan praktek. Jakarta


Rineka cipta.
Setyosari, Punaji. 2012.Metode penelitian pendidikan dan pengembangan edisi ke-2.
Jakarta: Kencana.
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kulitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
PEDOMAN OBSERVASI

No Hal-hal yang diobservasi keterangan Catatan


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
PEDOMAN WAWANCARA

Pedoman wawancara untuk dewan guru:

1. Apa saja yang Bapak/Ibu ketahui tentang tarian Pho?

2. Kapan Bapak/Ibu mulai belajar tentang rangkaian gerakan dalam tarian pho?

Tolong jelaskan!

3. Dalam pengembangan tarian Pho ini ada berbagai upaya yang dilakukan.

a. Upaya apa saja Bapak/Ibu lakukan dalam pengembangan tarian Pho di

sanggar Putroe Jeumpa Keubiru ini!coba dijelaskan?

b. Apa dampak positif dari peranan tari Pho dalam masyarakat desa Blang

Kuala Kecamatan Meukek Aceh Selatan?

4. Di sanggar Putroe Jeumpa Keubiru ini juga telah dikembangkan berbagai

rangkaian gerak tari.

a. Gerakan aapa saja yang telah dikembangkan oleh sanggar Putroe Jeumpa

Keubiru desa Blang Kuala Kecamatan Meukek Aceh Selatan? Tolong

ceritakan!

b. Bagaimana perkembangan tarian Pho dalam kehidupan masyarakat desa

Blang Kuala Kecamatan Aceh Selatan saat ini?

5. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang fungsi tarian Pho? Jelaskan !

6. Menurut Bapak/Ibu apa peranan sanggar dalam mengembangkan karya seni

tari khususnya tari Pho?


7. Menurut Bapak/Ibu seperti apa tanggapan masyarakat berkaitan dengan

peranan sanggar dalam masyarakat desa Blang Kuala Kecamatan Meukek

Aceh Selatan? Jelaskan!

8. Apa saran dan pendapat Bapak/Ibu terkait tentang peranan sanggar dalam

masyarakat desa Blang Kuala Kecamatan Meukek Aceh Selatan?

Anda mungkin juga menyukai