Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

MAKNA SOSIAL RITUAL KEAGAMAAN DALAM ISLAM


Zakat, Puasa, Qurban dan Makna Sosialnya dalam Kehidupan Bermasyarakat

Dosen Pengampu
Dr. H. Tatjong Mappawatta, MA

OLEH

MUHAMAD BASRUN
P1600216019
SOSIOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
Ritual Zakat, Puasa, Qurban dan Makna Sosialnya dalam Kehidupan
Bermasyarakat1
1 Judul Tugas Makalah dalam Mata Kuliah Sosial Agama

Oleh
Muhamad Basrun2
A. Pendahuluan
Secara sosiologis, agama dipandang sebagai bagian terpenting bagi kehidupan manusia
dimana pengetahuan dan keahlian tidak berhasil memberikan sarana adaptasi atau
mekanisme penyesuaian yang dibutuhkaan (Suyanto dan Narwoko, 2013). Karena
sesuatu yang kita lakukan adalah bentuk keyakinan terhadap objek yang kita
yakini adanya. Oleh karena itu agama memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan

social.
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi
untuk berakhlak baik (takwa) atau buruk (fujur), potensi fujur akan senantiasa eksis dalam
diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri
makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah,
karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya
tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat
instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau
menggunakan narkoba dan main judi).
Islam tidak melulu berbicara mengenai ibadah wajib (mahdhah, vertikal), tapi juga
ibadah sosial (ghairu mahdhah, horisontal) dengan kata lain ritual ibadah bukan sekedar
hubungan antara manusia dengan Tuhan, lebih daripada itu ritual ibadah juga memiliki
makna social dalam hidup bermasyarakat. Tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya,
namun

keduanya

harus

serimbang,

seiring-sejalan.

Saling

melengkapi,

saling

menyempurnakan. Melakukan ibadah wajib semata, adalah orang yang merugi, karena
belum memberi manfaat kepada sesama. Sedangkan melakukan ibadah sosial tanpa
dibarengi ibadah wajib, maka akan sia-sia.
Dalam agama Islam, ritual merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan
dari keseluruhan iman seorang muslim. Karena memang ritual Islam itu sendiri adalah
bentuk ekspresi islam. Sehingga bagi seorang Muslim, konsep Tauhid bukan hanya konsep
teologis semata, tetapi juga direalisasikan dalam kehidupan. Dengan konsep yang
2 Mahasiswa Sosiologi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar
2

mengesakan Tuhan dengan ketaatan dan ketundukan total. Hal ini menunjukkan begitu
dominannya aspek ritual dalam Islam. Dalam kitab-kitab fiqih, ritual juga mendapat
perhatian yang sangat dominan. Karena memang di dalamnya, kitab-kitab fiqih selalu
memulai penjelasannya dengan kewajiban-kewajiban ritual dengan memperhatikan empat
rukun: shalat, zakat, puasa, dan haji.
Pada kenyataannya, masih banyak umat Islam di Indonesia yang masih memahami
bahwa kesalehan di mata Allah Subhanallahu wa taala hanya kesalehan pribadi semata.
Sementara, kesalehan sosial belum dianggap sesuatu yang penting dan menjadi bagian dari
hidup keseharian. Padahal, dalam ajaran Islam, banyak mengandung nilai-nilai sosial yang
memiliki peran yang sangat besar dan signifikan dalam membina integrasi social bangsa.
Ada banyak hal dalam setiap ritual agama (khususnya dalam Islam) yang menjadi
bentuk ibadah yang tidak hanya menjadi ritual yang sifatnya ekslusif tetapi syarat akan
berbagai makna social. Hal ini dapat dimaklumi bahwa salah satu misi dari setiap ibadah
yang dilakukan oleh penganut ajaran Islam adalah sebagai rahmatan lilalamin artinya
setiap ibadah yang dilakukannya itu akan memberikan efek bukan hanya pada tataran
pribadi namun juga aspek makna social ibadah ritual dalam kehidupannya.
B. Pembahasan
1. Pengertian Agama
Dalam kacamata sosiologis, agama merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
kehidupan social masyarakat. Agama dipandang sebagai hal yang transendental dalam
artian bahwa setiap penganutnya meyakini apa yang menjadi konten atau isi ajaran
agamanya. Sulaiman (2015), mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai
keyakinan terhadap suatu hal. Dalam hal ini termasuk pula agama yang diyakini oleh
individu dalam menjalankan kehidupannya. Dalam pandangan sosiologi, perhatian utama
terhadap agama adalah pada fungsinya terhadap masyarakat. Istilah fungsi seperti kita
ketahui, menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang
lain, untuk mempertahankan (keutuhan) masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan
berjalan terus-menerus.
Emile Durkheim mendefinisikan agama sebagai suatu system yang menyatu
mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan dengan benda-benda sacral, benda-benda
terpisah dan terlarang, kepercayaan dan peribadatan yang mempersatukan semua orang
3

yang menganutnya ke dalam suatu komunitas moral (Lubis, 2015). Senada dengan itu
menurut Sulaiman (2011), bahwa agama sebagai suatu system mencakup individu dan
masyarakat, seperti adanya emosi keagamaan, keyakinan terhadap sifat faham, ritus, dan
upacara, serta umat atau kesatuan social yang terikat terhadap agamanya. Karena latar
social yang berbeda dari masyarakat agama, maka masyarakat akan memiliki sikap dan
nilai yang berbeda pula.
Secara mendasar dan umum, agama didefinisikan sebagaia seperangkata aturan dan
peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib, mengatur hubungan
manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lungkungannya
(Suyanto dan Narwoko, 2013). Lebih lanjut Suyanto dan Narwoko menjelaskan secara
khusus agama dapat didefinisikan sebagai suatu system keyakinan yang dianut dan
tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
menginterpretasikan dan memberi respons terhdapa apa yang dirasakan dan diyakini
sebagai gaib dan suci. Sementara Sunarto (Kolip & Elly M. Setiadi, 2015), mengatakan
bahwa agama merupakan institusi penting yang mengatur kehidupan manusia.
Dalam pengertian tersebut di atas agama dipandang oleh penganutnya sebagai
berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi
manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat (setelah mati),
yaitu sebagai manusia yang takwa kepada Tuhannya, beradan, dan manusiawi yang berbeda
dari cara-cara hidup hewan atau makhluk-makhluk ghaib yang jahat dan berdosa.
2. Pengertian Ritual dalam Perspektif Sosiologi
Ritual adalah kata sifat dari rites dan juga ada yang merupakan kata benda. Sebagai
kata sifat, ritual adalah segala yang dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara
keagamaan, seperti ritual dance, ritual laws (Agus, 2005).
Semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal
yang sacral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian
kesakralan. Disamping itu ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku
dengan objek yang suci dan memperkuat hubungsn soldaritas kelompok yang
menimbulkan rasa aman dan kuat mental (Abdul Hakim dan Mubarok, 2000).
Dalam agama, upacara ritual atau rites ini biasa dikenal dengan ibadat, kebaktia,
berdoa atau sembahyang. Setiap agama mengajarkan berbaagai ibadat, doa dan bacaanbacaan pada momen-momen tertentu yang dalam agama islam dinamakan dengan dzikir.
4

Kecenderungan agama mengajarkan banyak ibadat dalam kehidupan sehari-hari supaya


manusia tidak lepas dari kontak dengan Tuhannya (Agus, 2005).
Hampir semua masyarakat yang melakukan ritual dilatar belakangi oleh
kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Dalam analisis
Djamari (1993), ritual ditinjau dari segi tujuan (makna) dan cara.
1. Dari segi tujuan,
a. ada ritual yang tujuannya bersyukur kepada Tuhan,
b. ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan
keselamatan dan rahmat. contohnya upacara ratiban (di beberapa wilayah Betawi)
yang dilakukan untuk mendoakan orang yang hendak melakukan ibadah haji).
Istilah lainnya adalah walimah al-safar.
c. ada tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan. Sebagian umat
Indonesia melakukan ritual Tahlilan yang dilakukan ditempat (rumah) keluarga
yang meninggal dunia; salah satu tujuannya adalah mendoakan yang telah
meninggal supaya mendapat ampunan dari Allah atas segala keslahan yang pernah
dilakukannya.
2. Dari segi cara dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Idividual: sebagian ritual dilakukan secara perorangan, bahkan ada yang dilakukan
dengan mengisolsi diri dari keramaian, seperti meditasi, betapa dan yoga.
b. Kolektif (umum): dilakukan secara bersamaan, seperti khotbah, shalat berjamah dan
haji.
C. Anthony Wallace (Djamari, 1993) meninjau ritual dari segi jangkauannya, yakni:
1. Ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang berhubungan dengan kegiatan pertanian.
2. Ritual sebagai terapi, seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan.
3. Ritual sebagai ideologis-mitos dan ritual tergabung untuk mengendalikan suasana
perasaan hati, nilai, sentiment, dan prilaku untuk kelompok yang baik. Misalnya,
upacara inisiasi (upacara yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan dan
kematian) yang merupakan konfirmasi kelompok terhadap status, hak dan tanggung
jawab yang baru.
4. Ritual sebagai penyelamatan (salvation), misalnya seseorang yang mempunyai
pengalaman mistikal, seolah-olah menjadi orang baru; ia berhubungan dengan dunia
profon.
5. Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan kembali). Ritual ini sama
dengan ritual salvation yang bertujuan untuk penyelamatan tetapi fokusnya masyarakat.
5

Demikianlah ritual dalam perspektif sosiologi. Meskipun pada bagian tertentu, kita
kurang setuju, misalnya dengan muncul anggapan bahwa umat Islam memuja Hajar Aswad
(lihat Eliabeth K. Notthingham, 1993), karena mereka melihatnya dari sudut formal (yang
tak terlihat), bukan sudut ajaran (Abdul Hakim & Mubarok, 2000).
3. Pengertian Ritual dalam Islam
Islam bukan agama individual. Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah
agama yang dimaksudkan sebagai rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil alamin). Agama
yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan pengabdian diri pada Allah semata
tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena itu, dalam al-Quran kita jumpai
fungsi manusia itu bersifat ganda, bukan hanya sebagai abdi Allah tetapi juga sebagai
khalifatullah. Artinya tidak hanya rajin beribadah, tetapi berprilaku baik pada sesama
sebagai manifestasi dari ibadahnya itu.
Dalam agama Islam, ritual merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan
dari keseluruhan iman seorang muslim. Karena memang ritual Islam itu sendiri adalah
bentuk ekspresi Islam. Sehingga bagi seorang Muslim, konsep Tauhid bukan hanya konsep
teologis semata, tetapi juga direalisasikan dalam kehidupan.
Secara umum ritual dalam islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang
mempunyai dalil tegas dan eksplisit dalam al-Quran dan sunnah; dan ritual yang tidak
memiliki dalil, baik dalam Al-Quran maupun dalam sunnah. Salah satu ritual dalam
bentuk pertama adalah shalat. Selain perbedaan tersebut, ritual dalam Islam dapat ditinjau
dari sudut tingkatan. Dari segi ini, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi tiga: primer,
sekunder dan tertier. Islam dengan gamblang mengajarkan setiap aspek kehidupan secara
terperinci, mulai dari sistematika ibadah dan hal-hal yang membuat ibadah itu bernilai
lebih. Hingga mampu membawa orang lain masuk ke dalam dunia tersebut. Misalnya saja
kalau pada zaman Rasullulah Shallalahu alaihiw wasallam ada ritual-ritual ibadah yang
bersifat islam resmi seperti; shalat, zakat, dan puasa, dan begitu pun sebaliknya untuk
zaman modern sekarang ini tetap menjalankan ritual-ritual ibadah sebagai bentuk
kewajiban.
1. Ritual Islam primer adalah ritual yang wajib dilakukan oleh umat islam. Umpamaya,
shalat lima waktu dalam ssehari semalam, kewajiban ini disepakati oleh para ulama
karena berdasarkan ayat al-Quran dan hadist Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa
sallam. Terdapat pada surat Al-Isra, 17:78: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari
6

tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya
shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
2. Ritual Islam yang sekunder adalah ibadah shalat sunah, umpamanya bacaan dalam
rukuk dan sujud, salat berjamaah, salat tahajud dan shalat dhuha.
3. Ritual Islam yang tersier adalah ritual yang berupa anjuran yang dan tidak sampai pada
derajat sunah. Umpamanya, dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Al-Nasai dan
Ibnu Hibban yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
orang-orang yang membaca ayat kursi setelah salat wajib, tidak akan ada yang
menghalanginya untuk masuk surga.
Dari sudut mukalaf, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Ritual yang diwajibkan kepada setiap orang.
2. Ritual yang wajib kepada setiap individu tetapi pelaksanaannya dapat diwakili oleh
sebagian orang.
Dari segi tujuan, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Ritual yang bertujuan mendapatkan rida Allah semata dan balasan yang ingin dicapai
adalah kebahagiaan ukhrawi.
2. Ritual yang bertujuan mendapatkan balasan didunia ini, misalnya shalat istiqa, yang
dilaksanakan untuk memohon kepada Allah agar berkenan menakdirkan turun hujan.
Dengan meminjam pembagian ritual menurut sosiologi (yang dalam tulisan ini
diambil dari Homans), ritual dalam Islam juga dapat dibagi menjadi dua: ritual primer dan
ritual sekunder. Hikmah yang terdapat dibalik ajaran-ajaran agama Islam (Nata, 2004).
1. Mengajarkan agar melaksanaka shalat berjamaah. Tujuannya antara lain agar seseorang
merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain.
2. Puasa. Agar seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba.
Tujuan dari puasa, seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah adalah laalakum
tattaqun, kita diharapkan menjadi orang bertaqwa (Rahmat dkk, 2003)
3. Ibadah haji yang dilaksanakan di kota Makkah. Dalam waktu yang bersamaan-sehingga
merasa bersaudara dengan sesama muslim dari seluruh dunia.
4. Thawaf mengandung makna bahwa hidup harus penuh dengan diamika yang tak kenal
lelah yang tertuju sebagai ibadah kepada Allah semata dll.
Tetapi jika kita tidak mempunyai rasa kepedulian social terhadap apa yang terjadi
disekitar kita, sesungguhnya ibadah ritual tadi tidak bermakna apa-apa. Karena, dari ibadah
ritual itu sesungguhnya diharapkan ada dampak nyata pada prilaku social sehari-hari. Oleh
karena itu untuk mengukur keshalehan seseorang tidak cukup dengan hanya dilihat dari

hal-hal yang bersifat ritual. Seperti sabda Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam sebaikbaik kamu adalah yang bermanfaat kepada orang lain. (Rahmat dkk, 2003)
3. Ritual dalam Islam dan Makna Sosialnya dalam Kehidupan.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama
tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama, seperti halnya juga
Islam. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, banyak berzikir, namun dalam sikap
keseharian masih suka memfitnah, menebarkan kebencian, tidak amanah dan bertanggung
jawab pada tugas, saya kira belum layak disebut orang yang beragama dengan baik.
Olehnya itu ibadah bukan hanya semata-mata untuk Allah tetapi juga dimaksudkan
agar nili-nilai dari ibadah itu menjadi rahmat bagi semesta alam, manusia, tumbuhtumbuhan, hewan dan sebagainya. Berikut ini akan disebutkan beberapa ritual ibadah yang
sangat sacral dalam Islam sekaligus sebagai sarana yang memberikan makna social bagi
sesama ummat beragama khususnya umat islam itu sendiri.
a. Zakat dan Makna Sosialnya
Menurut Ali (1988), jika ditinjau dari segi bahasa, istilah zakat berasal dari kata
zaka yang artinya tumbuh dengan subur. Makna lain kata zaka, sebagaimana digunakan
dalam Al-Quran adalah suci dari dosa. Zakat adalah rukun Islam ketiga setelah syahadat
dan sholat. Sebagai rukun, zakat berarti kewajiban bagi setiap Muslim. Namun, berbeda
dengan sholat maupun puasa, zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Hal
itu berarti bahwa yang memiliki kewajiban adalah mereka yang memiliki kecukupan harta
benda.
Zakat merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur sosial Islam. Zakat
bukanlah derma atau sedekah biasa, ia adalah sedekah wajib. Setiap muslim yang
memenuhi syarat tertentu, berdasarkan dalil sebagai berikut:
Dalam beberapa ayat Al Qur'an misalnya, Allah berfirman:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. At-Taubah, 103).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa zakat adalah menyucikan. Di tempat lain, zakat
juga dapat berarti melipatgandakan (tumbuh dan berkembang). Allah berfirman dalam
Surat Ar-Rum ayat 39:
8

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).
Selain nash dalam Al-quran yang mulia, zakat diperkuat pula dalam salah satu
hadits Rasulullah shallallahu alaihu wa sallam sebagai berikut:
Artinya: Islam itu berdiri di atas lima dasar yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat,
membayar zakat, naik haji, dan puasa ramadhan.
Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu
(Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturanaturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga
setelah Syahadat dan Shalat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum
muslimin, juga sebagai pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk
mengalahkan kelemahan dan mempraktikkan pengorbanan diri serta kemurahan hati.
Zakat bukan hanya kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan akan mendapat dosa,
tetapi lebih dari itu zakat memiliki tujuan yang jelas. dengan terlaksananya lembaga zakat
secara baik dan benar diharapkan kesulitan dan penderitaan fakir miskin dapat berkurang.
Di samping itu dengan pengelolaan zakat yang professional berbagai permasalahan yang
terjadi dalam masyarakat yang ada hubungannya dengan mustahiq zakat juga dapat
dipecahkan.
Zakat menurut segi kebahasaan berarti, berkah, bersih, berkembang dan baik.
Dinamakan zakat karena, dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah diambil
zakatnya dari bahaya. Dengan mengeluarkan zakat diharapkan hati dan jiwa seseorang
yang menunaikan kewajiban zakat itu menjadi bersih. Hal ini sesuai dengan ayat al-Quran:
Artinya: Pungutlah zakat dari kekayaan mereka, engkau bersihkan dan sucikan mereka
dengannya (At-Taubah:10).
Dari ayat tersebut tergambar bahwa zakat yang dikeluarkan oleh para muzakki
(wajib zakat) itu dapat mensucikan dan membersihkan hati mereka. Zakat selain
merupakan ibadah kepada Allah juga mempunyai dampak sosial yang nyata. Dari satu segi
9

zakat adalah ibadah, namun dari segi lain merupakan kewajiban sosial. Zakat merupakan
dasar prisipil untuk menegakkan struktur sosial Islam. Zakat bukanlah derma atau sedekah
biasa, namun sedekah wajib.
Orang-orang yang berhak menerima zakat disebut mustahiq. Sebagaimana firman
Allah dalam surat at-Taubah: 60
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Makna Sosial Zakat
Makna sosial yang memiliki peran besar dalam ajaran Islam adalah pelaksanaan
zakat, infaq, dan shadaqah. Pada kenyataannya, walau banyak umat Islam yang kaya-raya
atau berkelimpahan harta, tapi mereka masih enggan untuk berinfaq atau bersedekah.
Termasuk mereka yang memiliki harta-benda yang sudah mencapai nisab, mereka pun
belum mau membayar kewajiban zakat.
Menurut Quraish Shihab (1996), idealnya fungsi sosial zakat dilekatkan pada tiga
landasan filosofis. Pertama, istikhlaf yang memposisikan segala harta sebagai titipan tuhan
dan karenanya zakat harus memunculkan kesadaran bahwa segala harta benda harus
dibelanjakan sesuai ketetapan Allah, yakni melalui zakat, sadaqah, dan infaq. Kedua,
solidaritas sosial. Zakat, sadaqah dan infaq harus diposisikan sebagai sarana sosial profetik
untuk membangun solidaritas. Ketiga, persaudaraan. Perlu dibangun kesadaran bahwa
semua manusia pada hakikatnya adalah bersaudara. Karena itu, spirit zakat mendorong
setiap manusia untuk saling membantu satu sama lainnya.
Jika yang kaya menyantuni yang miskin, jika yang kuat dan berkelimpahan harta
bersedekah kepada mereka yang dhuafa; sehingga bisa mengurangi angka kemiskinan dan
pengangguran, sekaligus menurunkan tindak kriminal. Nilai sosial dari berinfaq dan
bersedekah sangat besar perannya dalam pembangunan dan kemaslahatan umat. Maka,
semangat untuk berbagi, gairah untuk memberdayakan orang lain, dan sikap peduli
terhadap mereka yang lemah; adalah nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam diri orang

10

beriman. Di sisi lain, sifat-sifat serakah, rakus, zhalim, dan hubbun-dunya harus kita
tanggalkan.
Sementara zakat pun memiliki andil yang tak kalah pentingnya bagi pembangunan
dan kesejahteraan umat. Apabila semua orang Islam yang sudah wajib zakat
melaksanakannya kewajibannya dengan baik dan tepat waktu (Al-Baqarah: 43), maka
kesejahteraan dan kemakmuran yang akan terjadi. Bisa dibayangkan berapa uang dan harta
yang akan terkumpul jika penduduk Muslim di Indonesia membayar zakat.
Dana zakat yang besar tersebut bisa disalurkan untuk berbagai keperluan, seperti
menyantuni fakir-miskin dan yatim piatu, pengembangan pendidikan, pemberdayaan
ekonomi, program dakwah maupun pembangunan fisik, seperti jalan, jembatan, fasilitas
sosial, dan lain-lain.
Menurut Mannan (1993), salah satu prinsip zakat adalah pemerataan dan keadilan
merupakan tujuan sosial zakat, yaitu membagi kekayaan yang diberikan Allah lebih merata
dan adil kepada manusia. Menurutnya, secara umum fungsi zakat meliputi bidang moral,
sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati
si kaya. Sedangkan dalam bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan
dari masyarakat. Di bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan di tangan
sebagian kecil manusia dan merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk
perbendaharaan negara.
Sementara, menurut Monzer Kahf, tujuan utama dari zakat adalah untuk mencapai
keadilan sosial ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran
tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin (Kahf, 1999).
Muhammad Daud Ali menerangkan bahwa makna social dari tujuan zakat adalah:
(1) mengangkat derajat fakir miskin; (2) membantu memecahkan masalah para gharimin,
ibnu sabil dan mustahik lainnya; (3) membentangkan dan membina tali persaudaraan
sesama umat Islam dan manusia pada umumnya; (4) menghilangkan sifat kikir dan loba
para pemilik harta; (5) menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati
orang-orang miskin; (6) menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam
masyarakat; (7) mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang terutama
yang memiliki harta; (8) mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan

11

menyerahkan hak orang lain padanya; (9) sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai
keadilan sosial (Ali, 1988).
Jadi, alangkah tidak bijak jika kita hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah
atau menadahkan tangan meminta-minta. Karena bagaimana pun, rakyat harus proaktif dan
partisipatif dalam setiap kegiatan pembangunan. Bahkan, untuk mencapai pembangunan
yang cepat dan berhasil guna, maka semboyan pemilu pun juga tepat diterapkan dalam hal
pembangunan, yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
b. Puasa dan Makna Sosialnya
Puasa merupakan bagian dari ritual dalam ajaran Islam yang memiliki urgensi baik
kehidupan pribadi dan sosial. Puasa bukan sekedar kewajiban tahunan yang diperintahkan
Allah bagi orang-orang beriman agar mereka menahan lapar dan dahaga. Tetapi lebih dari
itu, puasa memiliki implikasi terhadap individu maupun sosial. Puasa merupakan media
pengabdian dan sarana ibadah untuk meningkatkan kualitas diri.
Puasa merupakan wahana penyucian diri (tazkiyat an-nafs) pembinaan moral, dan
penambahan kualitas spiritual manusia. Karena selama berpuasa kaum muslimin dituntut
untuk menjaga diri dari segala macam perbuatan yang dapat menodai kesucian jiwa raga
dan melemahkan kekuatan moral spritualnya. Puasa merupakan satu cara untuk mendidik
seorang muslim, agar mampu menahan dorongan hawa nafsu dan lebih bersabar menahan
emosinya, walaupun barangkali itu sangat berat untuk dilakukan. Puasa juga merupakan
kewajiban konkret yang dapat mendidik pelakunya untuk lebih jujur, amanah, ikhlas,
penyabar, pemaaf dan berbuat tanpa pamrih.
Sekiranya kita berbuka di siang hari, orang akan tetap yakin kalau kita berpuasa.
Apalagi jalannya sedikit dilemaskan. Tetapi, hal itu tidak kita lakukan karena tumbuh
sebuah kesadaran bahwa puasa hanya untuk Allah, dan pengawasan Allah kita rasakan
lebih luas dari pada pengawasan manusia. Kesadaran ini memunculkan sikap jujur pada diri
seorang muslim. Sikap jujur inilah selanjutnya yang perlu dibangun oleh setiap muslim
dalam kehidupan bermasyarakat.
Konkritnya, puasa dapat memberikan kontribusi yang sangat penting bagi
pembentukan jati diri seorang muslim. Rekonstruksi kejatidirian dalam hal ini meliputi
proses pencerahan spritual, dan penyempurnaan kembali kesehatan fisik dan psikis. Secara
fisik, orang yang berpuasa jauh lebih sehat dan stabil pasca pelaksanaan ibadah puasa

12

Ramadhan. Hal itu disebabkan karena selama bulan Ramadhan lambung dan perut
terkontrol isinya.
Jika sebelum Ramadhan perut dan lambung berisi terus, sehingga metabolisme
tidak berjalan lancar, maka untuk menetralisir kembali dan mengembalikan keseimbangan
tubuh, puasa merupakan salah satu metode yang efektif. Sejumlah pakar kesehatan
mengakui hal itu, misalnya klinik dunia terkemuka yang dipimpin oleh DR. H. Lahman,
DR. Muller mengemukakan bahwa puasa sangat efektif dalam mengobati gangguan
pencernaan, gangguan kegemukan, lever jantung, keletihan, kencing manis dan tekanan
darah tinggi. Selain itu, Dr. Alexis Karl, seorang doktor ahli bedah yang pernah
memenangkan hadiah nobel dalam bidang kedokteran juga mengemukakan, bahwa salah
satu cara yang paling ampuh dalam menyehatkan fungsi makanan adalah dengan berpuasa
(Siregar,)
Jauh sebelum penelitian para doktor itu dilakukan, Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam juga sudah menegaskan dalam sebuah hadisnya yang berbunyi: Berpuasalah kamu
agar kamu sehat. Di samping itu, orang yang berpuasa akan terbiasa dengan pola hidup
sederhana. Pribadinya akan mencerminkan pribadi yang bermental utuh dan suci (fitrah),
karena selama puas telah terdidik dengan sifat-sifat terpuji, seperti pemaaf, penyabar,
disiplin dan ikhlas. Maka produktifitas ibadah spritual tersebut, semakin mengokohkan
kesempurnaan kemanusiaan kita. Sungguh sangat tepat, jika kemudian ibadah puasa
Ramadhan yang dilaksanakan penuh dengan keimanan dan kesadaran, dapat mewujudkan
individu muslim yang unggul, cerdas, sehat dan sholeh yang memiliki kepekaan sosial.
Makna Pesan Sosial Puasa
Selain bermakna bagi kehidupan pribadi, puasa Ramadhan juga sangat bermakna
bagi kehidupan sosial. Di satu sisi, Ramadhan adalah masa jeda bagi perawatan tubuh kita,
setelah sebelas bulan mendapatkan tugas operasional amat tinggi.
Tapi pada sisi lain, puasa sesungguhnya merupakan salah satu timbangan untuk
mengukur kepedulian sosial kita. Timbangan ini bisa digunakan untuk mengukur seberapa
besar bentuk keterpanggilan kita dalam menyikapi kesenjangan sosial yang terjadi di
masyarakat. Dengan berpuasa, kita bisa merasakan pedihnya kehidupan orang-orang yang
setiap hari dilanda kelaparan karena miskin. Sebab secara fisik orang yang berpuasa
mengalami sendiri payahnya menahan lapar dan dahaga di siang hari. Kondisi ini tentu

13

akan meluluhkan hati kita untuk bersedia merespon lingkungan sosial, khususnya
menyangkut partisipasi kita terhadap kaum miskin. Hal ini menunjukkan, bahwa puasa
Ramadhan memiliki aspek yang sangat dominan dalam menciptakan rasa ukhuwah atau
solidaritas sosial. Hal ini bermakna pula agar seseorang dapat merasakan lapar yang
selanjutnya menimbulkan rasa iba. Tujuan dari puasa, seperti disebutkan dalam surat alBaqarah adalah laalakum tattaqun, kita diharapkan menjadi orang bertaqwa (Rahmat,
2003)
Pada saat melaksanakan ibadah puasa, hampir tidak terlihat adanya perbedaan
antara muslim yang satu dengan yang lainnya. Dengan tidak memandang si kaya atau si
miskin yang biasa hidup berlebihan atau serba kekurangan, pejabat atau rakyat, pada waktu
berpuasa semuanya sama-sama menahan lapar dan dahaga, serta menjauhi larangan lainnya
yang bisa menghancurkan nilai-nilai ibadah puasa. Minimal, selama bulan Ramadhan
berlangsung, stratifikasi sosial yang sering membedakan status dan kedudukan manusia
sedikit banyaknya terhapus. Si kaya yang selama ini hidup dengan kemewahan, dapat
merasakan kepedihan waktu lapar dan dahaga seperti halnya yang biasa dan sering dialami
oleh si miskin.
Melalui ibadah puasa inilah ditanamkan arti penting kesamaan dan kesatuan umat
manusia. Selama satu bulan penuh, kaum muslimin dilatih untuk meningkatkan kepekaan
sosial, untuk mampu berbagi rasa dengan orang-orang di sekitarnya terlebih-lebih berbagi
dengan orang-orang yang tidak mampu. Sebab itu, jika setelah berpuasa perasaan kita tetap
tumpul, maka kita merugi. Jika setelah berpuasa kemauan untuk berbagi dengan sesama
tidak tumbuh, maka kita tidak beruntung. Jika setelah berpuasa kita juga tidak mampu
menjaga tajamnya ujung lidah kita, maka kita benar-benar termasuk golongan yang merugi.
Janganlah kita merasa aman dari tajamnya tatapan para penghuni langit, kalau kita
dengan sengaja membiarkan tetangga dan orang-orang di sekitar kita kelaparan. Sejatinya
kita bukan termasuk orang yang beriman bila hal demikian kita lakukan. Keimanan
menemukan muaranya ketika ia berbuah secara sosial. Teramat sulit untuk mengukur
keimanan seseorang kalau keterlibatannya dalam masyarakat, ternyata minus. Kita jangan
menyangka bahwa keimanan cukup hanya dibuktikan dengan shalat, puasa, zakat, dan haji.
Bolehlah kita bersujud dan beriktikaf di sudut-sudut masjid dalam keadaan
berpuasa. Tapi ingatlah, kalau pada saat bersamaan kita membiarkan saudara muslim
14

lainnya kelaparan, dan kita juga tidak menebarkan rasa kasih sayang kepada sesama, maka
sedikit demi sedikit konstruksi keimanan kita akan berguguran bersama dengan rasa lapar
dan kepapaan para saudara-saudara kita itu. Seruan Allah yang senantiasa menyertakan
keimanan dengan amal saleh merupakan indikasi agar keimanan diwujudkan dalam bentuk
perbuatan atau amaliyah nyata. Nilai guna dari amaliyah nyata itulah yang diharapkan
dapat memberikan manfaat bagi kehidupan orang banyak.
Sebab itu, karena kita beriman, maka kita diwajibkan berpuasa. Karena kita
berpuasa, maka kita harus beramal saleh kepada masyarakat kita. Tapi perlu ditegaskan
bahwa makna puasa hanya dapat dimanifestasikan, jika substansi dan filosofi rangkaian
ibadah puasa Ramadhan terinternalisasi dalam diri pelaku puasa (soimin dan soimat).
Tanpa demikian, sulit untuk mendapatkan makna ibadah puasa Ramadhan bagi
kehidupan. Bahkan, boleh jadi lebih buruk, sebagaimana yang disinyalir oleh Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam, Banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan
apa-apa, kecuali lapar dan dahaga.
Dengan demikian, sejatinya puasa Ramadhan dapat membawa dampak positif bagi
kehidupan pribadi maupun sosial. Kesadaran sosial yang diraih kaum muslimin selama
berpuasa, diharapkan tidak hanya sebatas bulan Ramadhan, tetapi termanifestasi secara
kontinu dalam realitas kehidupan sehari-hari. Hal itulah yang harus disadari oleh setiap
muslim agar puasanya benar-benar bermakna. Wallahu a lam bish-shawwab.
c. Qurban dan Makna Sosialnya
Ibadah qurban sangat dianjurkan dalam Islam. Selain bertujuan sebagai pengabdian
dan bentuk ketaatan kepada Sang Pencipta, melakukan qurban merupakan perwujudan
kesalehan sosial seseorang. Makna dan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya
sangatlah tinggi. Di antaranya adalah solidaritas sosial, kedermawanan, kepedulian, juga
persaudaraan.
Dengan berqurban, kita dididik untuk memiliki karakter untuk senang berbagi.
Berbagi rejeki, berbagi kebahagiaan, dan berbagi kebersamaan. Fakir-miskin dan kaum
dhuafa yang jarang makan daging, bisa merasakan nikmatnya memakan daging. Sedangkan
bagi yang berkurban, bisa menghilangkan ketamakan dan cinta harta berlebihan.
Peristiwa qurban yang setiap tahun dirayakan umat Muslim di seluruh dunia
seharusnya tak lagi hanya dimaknai sebatas proses ritual keagamaan, tetapi juga diletakkan
15

pada peneguhan nilai-nilai sosial-kemanusiaan dan semangat keadilan, sebagaimana pesan


Allah dan RasulNya lewat Al-Quran dan al-Hadits. Dengan kata lain, ibadah qurban bukan
hanya bermakna bagaimana manusia berusaha mendekatkan diri kepada Sang Pencipta,
akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama kepada mereka yang fakirmiskin dan dhuafa, sehingga mencerminkan dengan tegas pesan nilai sosial Islam.
Dalam Q.S. Al-Hajj: 36, menegaskan bahwa qurban sebagai media untuk bertaqarrub kepada Allah, selalu terkait dengan anjuran untuk memperhatikan dimensidimensi kesejahteraan sosial baik secara material, moral, dan spiritual. Jadi, qurban bukan
semata-mata ibadah individual tetapi juga ibadah sosial. Dengan disyariatkannya qurban,
kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap
masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama
(khairunnas anfauhum lin-naas).
Di samping itu, ibadah qurban memiliki dimensi sosial kemasyarakatan yang sangat
dalam. Hal ini terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan qurban, para mustahik yang
akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul. Mereka satu sama lainya meluapkan
rasa gembira dan sukacita yang dalam. Yang kaya dan yang miskin saling berbaur,
berkumpul, dan berinteraksi sesamanya. Luapan kegembiraan di hari itu, terutama bagi
fakir-miskin, lebih-lebih dalam situasi krisi ekonomi dan moneter seperti sekarang ini
sangat tinggi nilainya, saat mereka menerima daging hewan kurban tersebut.
Dengan syariat qurban ini, kaum muslimin dilatih untuk menebalkan rasa
kemanusiaannya, mengasah kepekaan sosialnya dan menghidupkan hati nuraninya. Ibadah
qurban ini sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sosial yang tinggi.
Atas dasar uraian tersebut, secara garis besar, semangat berqurban mempunyai dua
nilai, nilai keshalehan spiritual dan nilai keshalihan sosial. Nilai sosial yang bisa diperoleh
adalah semakin eratnya hubungan antara si kaya dan si miskin, memperkokoh tali
persaudaraan, dan terciptanya kehidupan yang harmonis terutama dalam bidang sosialekonomi.
Dalam kerangka kehidupan berbangsa, pelaksanaan ibadah qurban bisa membantu
program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, pemerataan ekonomi, dan
menumbuhkan lapangan kerja baru. Juga memperkuat rasa persatuan dan persaudaraan,

16

berkurangnya jurang pemisah antara si kaya dan miskin, serta timbulnya keadilan sosial
dan ekonomi.
Itulah beberapa perintah dan ibadah dalam Islam yang mengandung makna dan
nilai-nilai sosial yang memiliki peranan besar dalam membangun diri, keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Apabila umat Islam di Indonesia mampu melaksanakan
berbagai ibadah tersebut dengan baik, secara langsung maupun tidak langsung mereka telah
berpartisipasi dan proaktif dalam membangun bangsa.
4. Sebuah Refleksi agar Tidak Terjebak dalam Ritualisme
Tidak sedikit umat Islam yang masih terjebak pada ritualisme. Melakukan sebuah
ibadah hanya sekedar menjalankan perintah atau untuk mendapatkan pahala semata.
Mereka tanpa sadar memisahkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat, atau dengan
kata lain; ibadah yang dilakukannya hanya berefek pada kehidupan akhirat saja. Akibatnya,
tak jarang mereka melakukan suatu amalan hanya mengutamakan kuantitas tanpa
memperhatikan kualitas, perbuatan yang berulang-ulang, tanpa pemaknaan dan
penghayatan. Padahal, setiap ibadah yang kita lakukan harus diikuti proses transendensi
dan kontemplasi. Dan yang terpenting adalah setiap ibadah ritual selalu memiliki implikasi
sosial.
Menurut pakar antropolog Indonesia, Clifford Geertz, bangsa kita seperti bangsa
teater. Bangsa yang sangat sering menyelenggarakan upacara-upacara. Semua hal
diterjemahkan menjadi upacara. Negara ibarat panggung sandiwara, pentas teater.
Masyarakat teater, pemerintahan teater. Bahkan, setiap ibadah pun tak lebih dari sebuah
seremoni tanpa substansi, hanya lebih ke tradisi tanpa implikasi (sosial).
Perayaan hari-hari besar agama sering nampak gebyar, riuh, ribut, klobot, tapi
sering tidak mencapai inti. Tidak memproduksi apa-apa, abai pada substansi, dan terjebak
pada jalan hingga lupa pada tujuan yang hakiki. Bahkan, ketika praktik keagamaan telah
menjadi sebuah industri. Ada industri dzikir, industri shalawat, industri pengobatan Islami,
dll. Padahal seharusnya dari mulai ibadah rutin keseharian kita, seperti shalat, dzikir, baca
Alquran, puasa Senin-Kamis; hingga ibadah pada waktu-waktu tertentu seperti puasa
Ramadhan, shalat Id, qurban dan lain-lain. Semua itu, selain berdimensi vertikal, juga
memiliki dimensi horisontal (sosial).

17

Dalam Q.S. Ibrahim: 7 disebutkan bahwa tidaklah Kuciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepadaKu. Ini mengandung pengertian bahwa manusia diciptakan
ke dunia ini diperintahkan untuk beribadah baik ibadah vertikal maupun ibadah horisontal.
Namun, sebagian kita masih mengartikannya secara sempit, yaitu hanya ibadah vertikal
saja. Akibatnya, masih banyak orang yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat,
antara kerja dan ibadah.
Hal ini terbukti, ada orang yang sangat rajin beribadah, tapi malas bekerja. Ada
yang rutin baca Alquran, tapi tidak peka sosial. Ada yang rajin berpuasa sunnah, tapi
perilaku kesehariannya masih buruk. Kesalehan individual, tidak diikuti dengan kesalehan
sosial. Padahal, nilai-nilai sosial Islam yang terkandung dalam ibadah dan ajaran Islam
haruslah termanifestasikan dalam kerja dan perilaku sehari-hari.
Sering kita temui, para pemuka agama, pejabat, tokoh politik, yang sekalipun
mengaku beragama dan rajin beribadah; tapi masih anti-sosial dan serakah, hanya
memikirkan diri sendiri dan kelompok (golongan, partainya). Janji untuk dekat kepada
rakyat, berpihak kepada yang lemah, dan membantu yang miskin-papa hanyalah sekedar
retorika belaka.
Sudah sepatutnyalah kita mencontoh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, para
sahabat, alim-ulama, serta para pendiri negeri ini, tentang bagaimana mereka memahami
agama dan mempraktikkannya. Selain mereka taat beribadah pada Allah swt, mereka juga
beramal nyata, memiliki rasa kemanusiaan dan kepeduliaan sosial yang tinggi, serta bisa
menjadi contoh dan tauladan dalam berbagai hal bagi orang-orang di sekitarnya.
5. Kesimpulan
Ritual ibadah yang kita lakukan sehari-hari baik ibadah vertical (manusia dan Allah)
maupun ibadah horizontal (manusia dan sesamanya), di dalamnya terkandung nilai-nilai
sosial yang sangat berguna bagi kepentingan dan kemaslahatan umat. Amalan ibadah
sekecil apapun, pasti memiliki dimensi sosialnya sendiri. Artinya bahwa setiap ritual ibadah
yang kita kerjakan tidak hanya menyangkut kewajiban kita kepada Allah, akan tetapi juga
bagaimana ritual ibadah dalam agama khususnya umat Islam memiliki kebermaknaan
social.
Makna dan nilai-nilai sosial yang terkandung dalam ritual ajaran Islam juga sepadan
dengan nilai-nilai universal, seperti musyawarah, persaudaraan, bekerjasama, menghormati
18

orang lain, persamaan, dan sebagainya. Juga dalam ritual ibadah qurban atau zakat,
terdapat makna social dan nilai-nilai universal seperti semangat berbagi, kepedulian,
solidaritas, empati, dan lain-lain.
Sudah barang tentu, jika nilai-nilai sosial Islam tersebut dipahami, disadari, dan
dilaksanakan oleh setiap muslim; akan memberikan sumbangsih yang sangat besar dan
signifikan terhadap pembangunan bangsa dan negara. Apabila kemiskinan dapat dikurangi,
ketidakadilan dapat diberantas, serta kesenjangan ekonomi tak lagi kentara; paham-paham
seperti radikalisme, anarkisme, hingga terorisme juga dapat diminimalisir. Sebab tindakantindakan tersebut lebih dipicu oleh faktor sosial-ekonomi daripada faktor keyakinan atau
agama.
Makna dan nilai-nilai social dalam ritual Islam jika diimplementasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara akan mampu menumbuhkan rasa cinta tanah-air dan
nasionalisme. Kepedulian terhadap korban banjir, gempa bumi, tanah longsor, daerah
pedalaman, akan menumbuhkan rasa senasib-sepenanggungan, seia-sekata, dan antipermusuhan.
Akhir kata, mari kita sama-sama kembali menggali nilai-nilai sosial dalam ajaran
Islam untuk kemudian kita pahami, kita sadari, dan kita praktikkan dalam kehidupan
sehari-hari. Mari dengan ibadah yang kita lakukan, kita asah kepekaan sosial kita, kita
tingkatkan kepedulian kita; untuk menuju Indonesia yang makmur dan sejahtera, serta
berkeadilan sosial.

19

Daftar Referensi
Abdul Hakim, Atang & Mubarok, Jaih. 2000. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Agus, Bustanuddin. 2005. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Ali, Mohamad Daud.1988. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press.
Kahf, Monzer. 1999. The Principle of Socioeconomics Justice in The Comtemporarry Fiqh
of Zakah. Iqtisad. Journal of Islamic Economics. Vol. 1. Muharram 1420 H / April
1999.
Kolip, Usman & Elly M. Setiadi. 2015. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarkat:
Kencana Prenadamedia Group.
Lubis, Ridwan. 2015. Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama dalam
Interaksi social. Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group.
Mannan, M. A. 1970. Islamic Economics: Theory and Practice. Lahore.
Nata, Abuddin. 2004. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rahmat, M. Imadadun dkk. 2003. Islam Pribumi. Jakarta: Erlangga.
Shihab, Quraish, 1996. Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Penerbit Mizan.
Siregar, Mawardi. (Tanpa Tahun). Makna Puasa Ramadhan bagi Kehidupan Pribadi dan
Sosial.
Sulaiman, Munandar. 2011. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung:
Refika Aditama
Sulaiman, Munandar. 2015. Ilmu Budaya Dasar: Pengantar ke Arah Ilmu Budaya
Dasar/ISBD/Social Culture. Bandung: Refika Aditama.
Suyanto, Bagong & J. Dwi Narwoko. 2013. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

20

Anda mungkin juga menyukai