Anda di halaman 1dari 14

Agama dan Realitas Sosial

Antara yang di Harapkan dan Realitasnya

(studi kasus TPA (Taman Pendidikan Al-quran) Desa Gowah- Kecamatan


Paciran- Kabupaten Lamongan-Provinsi Jawa Timur)

Oleh

Ambarwati Mawaddaturrohmah

(K8414005)

Agama dalam Masyarakat


Agama merupakan sistem simbol yang di dalamnya terdapat
kepercayaan yang ditujukan kepada suatu kekuatan tertentu yang berada di luar
diri manusia, kemudian kepercayaan tersebut memberikan suatu rasa ketaatan
dalam diri setiap pemeluknya terhadap kekuatan yang dia percayai dengan
tidak melakukan apa yang dilarangnya dan menaati apa yang di perintahnya.
Di dalam agama selain memiliki norma-norma dan aturan-aturan yang
diyakini datang dari apa yang biasa disebut dengan tuhan, rosul atau sebutan
yang lainnya, ternyata agama juga memiliki apa yang biasanya menjadi objek
kajian para ilmuan antropolog yakni ritual-ritual kegamaan yang biasa
dilaksanakan oleh para pemeluk agama tertentu. Deskripsi tersebut nampaknya
selaras dengan apa yang ada di kepala seorang Mc Guire yang dituangkan
dalam bukunya “religion the social context” tentang definisi agama secara
subtantif, yakni pembatasan pengertian agama dengan melihat isi dari
keyakinan dan ritual keagamaan.
Selain secara subtantif Mc Guire juga membubuhkan
pemikirannya tentang batasan pengertian agama secara fungsional, dalam hal
ini dia lebih menekankan pada pemahaman terhadap agama dengan
mendasarkan pada pengertian yang diberikan dengan mengkaji fungsi dari
doktrin dan praktek kegamaan.
Ritual-ritual keagamaan nampaknya bukan hanya dilihat sebagai
perwujudan dari bentuk ketaatan umat terhadap satu kekuatan yang ada diluar
drinya, melainkan memiliki sisi lain yang tidak kalah penting untuk dikaji
yakni fungsi dari ritual-ritual tersebut bagi individu pemeluk agama dan
masyarakat atau kumpulan individu sesama agama tertentu. Emile Durkheim
yang merupakan tokoh dari fungsionalis strukturalis memberikan pengertian
tentang agama, dalam bukunya yang berjudul “les formes elementaires de la
vie religieuse” (The Elementary Form of Religion) (1912) memuat tentang
analisisnya mengenai agama yang didasarkan dari hasil penelitiannya pada
masyarakat pribumi Australia. Menurutnya sistem religi yang azasi dan yang
tertua adalah totemisme, penyembahan terhadap totem itu sebenarnya
penyembahan terhadap kelompok sendiri, dari hasil kajian itu durkheim
menyimpulkan bahwa agama merupakan kepercayaan atau praktek terkait
benda-benda yang sakral yang menyangkut pada komunitas moral atau sering
disebut umat.
Definisi agama pada konteks sosio kultural di Indonesia sendiri
lebih-lebih hanya mengarah pada apa yang dinamakan world religion atau
agama besar di mana terdiri dari agama islam, kristen hindhu dan budha
selebihnya hanya di sebut sebagai primal religion atau agama lokal. Dengan
begitu di Indonesia agama besar lebih mendapatkan pengakuan resmi sebagai
suatu agama daripada agama lokal yang terkadang dianggap sebagi aliran sesat
karena tidak sejalan dengan agam besar.
Sudut lain dan lebih dalam dari pandangan Fionna Bowie yang
dituangkan dalam bukunya yang berjudul “the antropology of religion”
menjelaskan bahwa apa yang disebutnya dengan “world religion”, seperti
islam, kristen, hindu dan budha adalah agama-agama yang memiliki karakter,
sebagai berikut:
1. World religion memiliki kitab suci yang tertulis serta menjadikannya
sebagai dasar atau pedoman dalam beragama.
2. Sistem gagasan yang dianutnya didasarkan atas petunjuk yang berupa
wahyu (melalui para nabi).
3. Merupakan agama universal atau berpotensi menjadi agama yang secara
umum dianut oleh berbagai kelompok sosial di dunia.
4. Memiliki potensi untuk menggantikan atau menghegemoni agama-agam
lokal “primal religion”.
5. Sistem ritual dan juga doktrin agama itu terpisah dari aktivitas (terutama
sistem matapencahariaan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
penganutnya.
Dari sekian banyak definisi tentang agama dapat ditarik kesimpulan
bahwa agama memilki unsur-unsur yang ada di dalamnya, sebagai berikut:

keperca
yaan

ritus kitab
dan
ritual
agama suci

umat

Bagan di atas dapat dijelaskan bahwa umat atau pemeluk agama


tertentu memilki kepercayaan terhadap satu kekuatan yang mereka sebut sebgai
tuhan, dewa atau yang lainnya, gagasan yang mereka anut dan mereka percayai
diberikan langsung oleh tuhan tertuang dalam kitab-kitab suci yang dimiliki
oleh masing-masing agama, kemudian menjadikan kitab tersebut sebagai
pedoman dalam menjalankan hidup beragama termasuk pula pedoman untuk
menjalankan ritus dan ritual yang ada di masing-masing agama, jika semua
unsur telah terintegrasi dengan baik maka dalam menjalan kehidupan beragama
umat akan memiliki emotional keagamaan, dalam artian umat akan patuh
dengan semua norma-norma yang ada di agamanya, umat akan merasakan
ketaatan yang tak terhingga kepada tuhannya, dan berimplikasi pada sikap dan
perilakunya.
Emotional keagamaan dirasa sangat penting untuk dimiliki oleh
setiap individu dalam menjalankan agamanya, jika semua norma yang harus
dipatuhi dan mana norma yang di larang ada di kitab suci mereka masing-
masing maka setiap individu harus bisa membacanya. Setelah mereka sudah
bisa membacanya tidak selalu setiap individu akan paham dengan arti yang
telah dibacanya, maka perlulah orang lain untuk menjelaskannya,
menerangkannya dengan lebih sederhana dan dapat diterima serta dipahami
dengan mudah.
Pendidikan dan Emotional Keagamaan
Artikel ini mengangkat suatu realitas sosial tentang salah satu cara
umat yang memeluk agama islam agar mendapatkan apa yang dinamakan
dengan emotional keagamaan dalam menjalankan agamanya. Cara ini dipilih
oleh masyarakat di suatu desa yang menjadi objek pengamatan penulis, cara
tersebut tidak lain adalah melalui sebuah pendidikan, jika pendidikan
diklasifikasikan menjadi tiga, yakni pendidikan formal, informal dan
nonformal maka yang dipilih oleh masyarakat Desa Gowa Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur adalah pendidikan nonformal,
yakni pendidikan yang didirikan oleh suatu lembaga di luar sekolah atau
perguruan tinggi.
Selaras dengan hal tersebut memang pendidikan hadir menjadi isu
yang paling urgen dalam masyarakat kita, melalui pendidikan, manusia dapat
mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada generasi penerusnya,
melalui proses transfer itu pulalah dapat mengubah masyarakat yang awalnya
tidak tahu menjadi tahu, dan pendidikan pulalah yang menjamin
keberlangsungan kebudayaan dan peradaban manusia di muka bumi ini.
Termasuk di dalamnya peradaban agama islam di muka bumi.
Dalam pendidikan mengenal konsep yang sudah tidak asing didengar lagi oleh
telinga civitas academia yakni pendidikan sumur hidup. Pendidikan seumur
hidup didasarkan pada konsep bahwa seluruh individu harus memiliki
kesempatan yang sistematik, terorganisir untuk belajar di setiap kesempatan
sepanjang hidup mereka. Seperti halnya yang dikemukakan oleh John Dewey
tentang makna sebuah pendidikan yakni suatu proses pengalaman, setiap
manusia menempuh kehidupan, baik fisik maupun rohani. Karena kehidupan
adalah pertumbuhan, maka pendidikan merupakan proses yang membantu
pertumbuhan batin tanpa dibatasi oleh usia.
Ide dan konsep pendidikan sepanjang hayat atau pendidikan seumur
hidup yang secara operasional seringpula disebut “pendidikan sepanjang jaga”
bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai konsep yang lebih ilmiah dan sekaligus
sebagai gerakan global yang merambah ke berbagai negaramemang baru mulai
dirasakan pada tahun 70an. Pada zaman kenabian konsep tersebut telah ada,
berdasarkan himbauan yang diberikan oleh nabi Muhammad SAW yaitu
“tuntutlah ilmu mulai sejak dibuaian hingga ke liang lahat”. Dalam kenyataan
hidup sehari-hari dari dahulu sudah dapat dilihat bahwa pada hakekatnya orang
belajar sepanjang hidup, meskipun dengan cara yang berbeda dan melalui
proses yang tidak sama. Pendeknya tidak ada batas usia yang menunjukan tidak
mungkinnya dan tidak dapatnya orang belajar. Dorongan belajar sepanjang
hayat itu terjadi karena dirasakan sebagai kebutuhan terlepas dari hasilnya.
Dasar itulah yang menjadikan beberapa orang atau tokoh agamawan
di desa Blimbing ini memiliki inisiatif untuk mendirikan sebuah lembaga
pendidikan nonformal yakni yang disebut dengan TPA (taman pendidikan
alquran), namun TPA ini didirikan bukan untuk anak-anak yang seperti
biasanya, lebih-lebih TPA ini didirikan untuk ibu-ibu lansia yang ada di Desa
Blimbing.
Agama dan Realitas Sosial
Kopsep, tujuan dan cita-cita dalam mendirikan atau sekedar
melaksanakan suatu pendidikan memang sangatlah indah, dan penuh kebaikan.
Pendidikan pula merupakan suatu proses yang mulia, namun pada praktiknya
proses pendidikan memilki agenda tersembunyi, dibumbui dengan hal-hal
yang semestinya tanpa itu tercapaiah tujuan, dan cita-cita bahkan dalam hal ini
emotional keagamaan akan mampu membaur di dalam diri individu.
Berdiri sejak tahun 1999 TPA ini berdiri karena keprihatinan salah
satu tokoh agamawan yang bernama H. shopan pada banyaknya kaum manula
yang belum bisa membaca tuisan arab untuk membaca kitab suci alquran yang
notabennya wajib bagi setiap umat islam dan banyaknya kaum manula yang
belum begitu faham mengenai hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah
makdhoh atau ibadah-ibadah baik wajib maupun sunah bagi umat islam yang
sesuai dengan ajaran rosulullah SAW. Singkatnya TPA ini bisa dijadikan
sebagai salah satu sarana umat islam lansia untuk mendapatkan atau
memperdalam wawasan keagamaannya dan memiliki emotional keagamaan
dalam menjalani kehidupan beragama.
TPA lansia ini memiliki visi untuk memahamkan ajaran islam pada
kaum manula, memberikan pelajaran pada para manula tentang baca tulis arab,
tajwid dalam membaca alquran, fiqih-fiqih ibadah yang sebelumnya mereka
telah lupa atau bahkan tidak tahu sama sekali. H.sophan sendiri kemudian
membentuk tim untuk bersama-sama mengelola TPA lansia ini dengan
merancang program-program untuk para lansia. Kegiatan belajar mengajar
biasanya dialakukan dua kali dalam seminggu di sore hari di siang hari untuk
belajar membaca dan menulis arab atau baca alquran, dan kali dalam seminggu
untuk belajar dengan kitab riyadhus sholihin yang di dalamnya banyak
menerangkan tentang ajaran-ajaran keislaman yang disampaikan oleh
rosulullah SAW.
Hal tersebut memang dapat dibuktikan dengan melihat pada realitas
sosial yang ada, termasuk hasil dari itu mengenai penguasaan baca tulis arab
dan tajwid dalam membaca kitab suci alquran, namun visi lain agaknya belum
tercapai sempurna, bahkan tingkat ketercapaiannya pun sangat minim dan
seolah-olah ada hasil tambahan atau agenda tambahan dari di didirikannya
TPA lansia tersebut.
Emotional keagamaan merupakan kesadaran beragama yang bukan
hanya benar dalam menjalankan tata cara beribadah sesuai apa yang diajarkan
rosulullah, bukan hanya tentang memperbaiki hubungan dengan Allah saja
sebagai pencipta alam dan pengatur kehidupan, melainkan emotional
keagamaan adalah tentang bagaimana kita meresapi nilai-nilai islam yang telah
diajarkan oleh rosulullah, baik yang telah tertuang di dalam kitab suci al-quran
maupun di buku-buku yang bersi hadits-hadits rosulullah, termasuk pula
bagaimana umat islam tidak hanya memperbaiki hubungannya dengan Allah
atau hablu minallah tapi juga sangat penting kiranya memperbaiki hubungan
dirinya dengan sesama saudara-saudara muslim lainnya atau hablu minannas.
Nilai-nilai spritual seperti hidup sederhana, tidak diperbolehkan
untuk dengki, ghibbah (menggunjing orang), tidak boleh memfitnah, menjaga
lisan agar tidak menyakiti hati saudaranya, bersyukur, membelanjakan harta
dengan baik dan lain-lain kiranya telah diajarkan bagi ibu-ibu lansia di TPA
ini, dibuktikan dengan mereka memeliki progam mengkaji buku riyadhus
sholihin, jika kita lihat dan ikut membacanya di dalamnya akan ada banyak
nilai-nilai islam yang diajarkan oleh rosulullah untuk menciptakan
keseimbangan antara orientasi akhirat dan dunia.
Namun pada realitas sosialnya di mana realitas sosial adalah kualitas
yang melekat pada fenomena yang kita anggap berada di luar kehendak kita
bisa dilihat kemana nilai kesederhanaan yang diajarkan jika para ibu-ibu lansia
ini membuat atau memiliki baju seragam yang jumlahnya se abrek dibanding
dengan TPA-TPA anak-anak yang hanya punya 3 macam seragam untuk
dipakai bergantian setiap dua harinya dalam satu minggu. Ibu-ibu lansia ini
memiliki seragam tidak hanya satu, dua atau tiga melainkan jika kita hitung
lebih dari itu. Setelah penulis melakukan wawancara singkat dengan salah satu
informan, ibu-ibu lansia tersebut memiliki agenda tersembunyi artinya di luar
program dari TPA lansia untuk mengikuti setiap kali diadakan suatu pengajian
di luar desa atau kecamatan, dan setiap ada acara mereka selalu menyempatkan
untuk membuat seragam yang baru, dengan warna yang berbeda dan motif kain
yang berbeda, bayangkan saja jika setiap bulannya mereka mengetahui
diadakannya pengajian ibu-ibu lansia ini membuat seragam baru maka bisa
dihitung 1 tahun memiliki 12 baju kembar yang berbeda. Lalu dari mana uang
yang mereka dapatkan untuk digunakan membuat seragam? Nenek saya telah
menjadi salah satu peserta didik di TPA tersebut, kata beliau uang yang
dgunakan untuk membuat seragam itu merupakan uang tabungan dari ibu-ibu
lansia sendiri, dan setiap kali mereka mengadakan agenda di luar program TPA
mereka selalu mengupayakan untuk menabung terlebih dahulu. Alih-alih sudah
benar tentang bagaimana cara untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan
menabung, tapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah perlu membuat
seragam dengan jumlah banyak setiap kali mau mengikuti pengajian?, apakah
perlu dalam mengikuti pengajian itu mengenakan baju kembar? Sampai-
sampai salah satu informan sebagai penjahit yang merupakan lengganan ibu-
ibu lansia ini merasa kualahan menghadapi mereka, karena seain mintak
didahulukan dan di selesaikan cepat, mereka banyak omongnya, cerewet
bahakan terkadang samapai menyakiti hati. Lalu di mana nilai kesederhanaan
yang telah dipelajari? Di mana nilai tentang membelanjakan harta daengan baik
dan lebh bermanfaat? Bahkan ada ibu-ibu lansia yang tidak mau ikut TPA tapi
hanya ingin ikut untuk membuat seragamnya, sebenarnya mana yang lebih
penting untuk didapatkan?
Realitas sosial yang ke dua adalah tentang bagaimana menjalin
hubungan dengan sesama saudaranya, nilai-nilai dalam islam ada yang
namanya ghibbah, ghibbah adalah menyebutkan sesuatau yang terdapat pada
diri seorang musim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan), baik tentang
keadaan jasmaninya, agamanya, kekayaannya, hatinya, akhlaknya, bentuk
lahiriyahnya dan sebagainya. Termasuk pula masyarakat desa sering menyebut
agenda itu sebagai rasan-rasan. Hal tersebut sungguh telah jelas dilarang oleh
rosulullah dan tidak disukai Allah, karena dari agenda tersebut bisa lahir fitnah
yang mampu menyakiti hati seseorang yang kemudian bisa memutus tali
silaturahmi antara keduanya. Namun seolah sosialisasi tentang nilai itu di TPA
hanya msuk dari telingan kanan dan keluar lagi dari telinga kiri, lepas dari jam
belajar di TPA ibu-ibu lansia ini juga tidak epas dari agenda rasan-rasan, ada
saja cerita yang diomongkan, pernah ada kasus salah satu dari mereka
memfitnah, sampai datang ke rumah korban yang difitnah, setelah di tabayyun
ternyata berita-berita itu dapatnya juga dari teman-teman TPAnya. Yang
menjadi pertanyaan adalah, memangnya TPA lansia ini tempat berkumpulnya
berita-berita dalam maupun luar desa? Apakah perlu melakukan agenda-
agenda tersebut? Lalu bagaimana hukum rasan-rasan yang telah diajarkan oleh
pak haji shopan? (salah satu guru di TPA lansia). Jika ditanya seperi itu
kebanyakan ibu-ibu lansia itu hanya tersenyum, terlepas dari tetap
dilanjutkannya agenda itu atau tidak, kami berharap tersenyum itu tanda malu
untuk mengulanginya lagi.
Realitas ketiga tentang bagaimana ibu-ibu ini merasa pelajaran di
TPA begitu berat atau bahkan memang beban hidup yang selama ini beliau
emban menambah berat juga, sehingga rekreasi bersama teman-teman lansia
juga menjadi sesatu yang dipilih untuk melepaskan penat. Sama seperti agenda
tersembunyi mereka dalam membuat seragam, rekreasi juga menjadi agenda
mereka di luar program TPA, pemandian air panas, ziarah wali songo bahkan
jika ada teman-teman lansia yang sakit ibu-ibu masih mengalokasikan waktu
untuk mampir ke salah satu wiasata atau market ditengah waktu yang
dilokasikan untuk menjenguk temannya (jika rumah sakit teman menginap
berda di luar kecamatan atau rumah sakit umum yang ada di kabupaten). Lalu
yang menjadi pertanyaan apakah ini termasuk dari implikasi materi yang telah
diajarkan di TPA, haruskah mengadakan agenda itu layaknya agenda anak-
anak di sekolah yang setiap akhir tahunnya mengadakan rekreasi akhir tahun?
jika setelah rekreasi tersebut ibu-ibu lansia ini sendiri banyak mengeluh sakit,
encok atau nyeri punggungnya kumat, kakinya kesemutan dll.
Semua itu menjadi realitas sosial yang ditemui di lapangan yang
menjadi impikasi didirikannya TPA lansia ini, artikel ini bukan bermaksud
menunjukan implikasi negatifnya, melainkan apakah semua itu memang perlu
dilakukan oleh ibu-ibu lansia tersebut? Jika nila-nilai islam tidak mengajarkan
itu sama sekali. Bahkan fungsi agama bagi psikologi umat seolah diingkari,
tentang agama membantu orang menghadapi kematian, padahal bisa dikatakan
ibu-ibu lansia ini memiliki umur yang sudah cukup tua, istilahnya tinggal
menunggu, hal ini juga termasuk yang menjadi alasan H.shopan untuk
mendirikan TPA bagi para lansia, agar mereka memanfaatkan hari tuanya
dengan baik dan tidak sia-sia, diingkarinya fungsi agama dalam memenuhi
kebutuhan sosial, tentang agama memperkuat nila dan norma kelompok, tapi
apakah umat islam itu hanya kelompok yang terdiri dari orang-orang lansia
yang daftar di TPA lansia itu?, tentang agama mampu menjaga solidaritas
sosial, apakah hanya solidaritas akan sesama ibu-ibu lansia yang mengaji di
TPA lansia saja? Bagaimana dengan agenda rasan-rasan mereka.
Ibu-ibu dan bapak-bapak Lansia
Selain itu ada sesuatu yang kasat mata tidak mudah terlihat yang
kemudian terlihat oleh penulis, tentang mengapa kemudian TPA lansia itu
hanya berisi ibu-ibu saja? bukankah lansia itu termasuk bapak-bapak juga?,
tapi mengapa yang belajar hanya ibu-ibu saja? Apakah bapak-bapak lansia
tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk lebih memperdalam agama,
memperbaiki membaca al-quran? Apa ini perihal gender dengan agama?.
Secara singkat gender memiliki arti jenis kelamin dalam arti konstruksi sosial,
mengacu pada kualitas feminim dan maskulin, pola, perilaku, peran, tanggung
jawab dan lain-lain, gender merupakan variabel yang dapat berubah dari waktu
ke waktu, dari satu budaya ke budaya lain, dari satu keluarga ke keluarga lain.
Kaitannya dengan hal ini TPA lansia yang didirikan di Desa Gowah
memiliki santri lansia yang hanya terdiri dari ibu-ibu, apakah hal ini
menandakan bahwa isu-isu ketidakadilan gender yang selama ini dianggap
banyak merugikannya pada kaum perempuan telah luntur sedikit-demi sedikit
sebagai akibat dari gerakan-gerakan emansipatoris. Perempuan telah diberi
kesempatan untuk menempuh pendidikan, dan di Desa Gowa ini, yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa bapak-bapak lansia tidak ikut mendaftar untuk
balajar di TPA ini juga. Kemudian ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu,
bahwa bapak-bapak lansia lebih memilih untuk bekerja, Desa Gowah yang
terletak di Kecamatan Paciran ini memiliki letak geografis yang sangat dekat
dengan lautan, maka kebanyakan mata pencahariaan kalangan laki-laki di desa
ini adalah sebagai nelayan, sedangkan ibu-ibu atau para istri kalau tidak bekerja
sebagai guru, berarti dia sebagai pedagang, atau hanya mengandalkan
penghasilan dari suami sebagai nelayan.
Para suami dalam melakukan perjalanan atau pekerjaannya sebgai
nelayan mebutuhkan waktu paling lama 1 minggu untuk meninggalkan rumah
termasuk pula istri dan keluarganya yang lain. Dipenantian itu lah ibu-ibu yang
tidak memiliki pekerjaan atau yang hanya mengandalkan hasil jerih payah
suami dia memilih untuk mencari agenda-agenda yang bisa mengisi waktu
luangnya, dan ikut belajar di TPA lansia ini lah ibu-ibu tersebut mendapati
teman untuk saling berbagi cerita, mendapati agenda untuk mengisi
kesepiannya, dan kebayakan ibu-ibu yang ikut ini merupakan ibu-ibu yang
ssudah tidak dibebani anak-anak yang masih balita atau kecil, baik anaknya
sendiri maupun cucu-cucunya, sehingga dia bisa leluasa untuk mengikuti
program-program yang ada di TPA lansia ini. Kemudian ibu-ibu ini juga
termasuk ibu-ibu yang beliau sudah tidak punya suami, suaminya telah
meninggal, cucu-cucu kecil tidak punya, tidak bekerja dan hanya
mengandalkan uang saku pemberian anak-anaknya, sedangkan dia masih
merasa mampu untuk beraktivitas, maka untuk mengusir kejenuhannya di
rumah dia memeilih untuk ikut ke TPA lansia ini. Lantas bagi laki-laki lansia
di desa ini hampir-hampir tidak ada waktu luang untuk itu, dia lebih memilih
bekerja, dan mendapatkan suplai keagamaan pada waktu ceramah-ceramah
setelah subuh di masjid-masjid yang mereka mengikuti jamaahnya. Lalu
mengapa kemudian yang menjadi guru-guru di TPA ini bukan ustadzah tapi
melainkan hanya ustadz saja?. Di Desa Gowah nampaknya tidak seperti di
Kota Solo, kita bisa dengan mudah mendapati ustadzah-ustadzah yang lebih
mengerti tentang ilmu keagamaan untuk diminta menjadi guru ngaji atau hanya
sekedar untuk mengisi acara. Di desa Gowa sangat sulit kiranya mencari
ustadzah, hampir tidak ada sepengetahuan penulis, dalam artian kalau ustadzah
untuk mengaji di TPA anak-anak masih banyak ditemui, tapi ilmu yang
disampaikan kepada ibu-ibu lansia peserta TPA lansia pasti berbeda dan lebih
tinggi tingkatannya, sementara ustadzah-utadzah yang lebih paham ilmu
keagamaan lebih tinggi jarang ditemui di Desa ini. Itu lah mengapa yang
menjadi guru-guru di TPA lansia adalah ustadz-ustadz saja.
Tidak banyak yang penulis paparkan di artikel ini, penulis hanya
ingin menunjukan apa yang menjadi harapan di berdirikannya TPA lansia ini
tidak sejalan dengan realitas sosial yang bisa dilihat oleh banyak mata. Lantas
bukan berarti tidak ada sama sekali harapan yang tercapai, tapi sebagian telah
tercapai. Dan berdirinya TPA lansia ini agaknya telah menjadi fenomena
utamanaya pada kecamatan yang menjadi tempat tinggal penulis sekaligus
tempat pengamatan penulis. Semoga artikel ini bermanfaat bagi pembaca, yang
kemudian mampu mengembalikan emotional kegamaan yang seharusnya ingin
dicapai oleh para pendiri TPA lansia. Penulis juga ingin menunjukan bahwa
jika ada yang salah atas perilaku umat bukanlah agamanya yang salah,
bukanlah fungsi agama yang tidak benar, dan bukanlah nilai-nilai agama yang
tidak sesuai dengan zaman, melainkan itu merupakan konsekuensi dari tidak
adanya dialog antara akal, hati dan hawa nafsu pribadi.
Kesimpulan
Agama dalam masyarakat merupakan sistem simbol yang di dalamnya
terdiri dari kepercayaan, ritual dan nilai atau norma-norma yang diyakini datang
dari satu kekuatan diluar diri manusia, yang kemudian untuk dipatuhi bersama serta
memiliki fungsi baik bagi hubungannya dengan masyarakat maupun bagi diri
sendiri atau hubungannya dengan apa yang disebut sebagai Tuhan. Unsur-unsur
yang terdapat di dalam agama utamnaya “wordl religion” sendiri yakni
kepercayaan, kitab suci, ritual dan umat sebagai subjek agama, jika semuanya telah
terpenuhi dan bersinergi maka akan membentuk yang namanya Emotional
keagamaan pada setiap diri individu yang memeluknya.
Dari unsur-unsur tersebut kiranya agar umat mengetahui norma atau nilai
apa yang harus dilaksanakan dalam menjalankan agamanya, maka seorang pemeluk
agama harus mampu membaca dan memahami isi dari kitab sucinya, dalam hal ini
penulis menyoroti bagaiamana dengan pendidikan umat islam mengajarkan
bagaiamana cara membaca kitab yang baik dan benar, bagaimana menjalankan
ritual atau ibadah sesuai dengan tuntunan apa yang mereka sebut sebagai rosul
Allah dan bagaimana agar emotional keagamaan bisa ada di dalam diri para lansia,
mengingat lansia adalah generasi yang memiliki umur cukup tua, yang di rasa
pengetahuan tentang keagamaan kurang atau bahkan bisa jauh dari apa yang
diajarkan rosul.
Berdirilah apa yang mereka beri nama TPA Lansia Taman Pendidikan Al-
quran khusus lansia, berasal dari satu keprihatinan seorang H.Shopan TPA lansia
ini berdiri dan berisi khusus untuk para lansia, alih-alih memiliki visi yang ideal
yakni agar para lansia di Desa Blimbing tepat TPA lansia ini berdiri tidak buta huruf
arab dan bisa membaca al-quran dengan baik dan benar serta menambah wawasan
keislaman mereka dalam realitas sosialnya visi yang dimiliki tidak sepenuhnya
tercapai, melainkan hanya beberapa persen saja, pasalnya jika apa yang diajarkan
dalam islam adalah nilai tentang kesederhanaan lantas bagaimana dengan ibu-ibu
lansia yang malah asyik bergonta-ganti seragam atau membuat baju kembar setiap
kali mereka mau mengikuti acara pengajian di luar Desa, selaraskah dengan ajaran
kesederhanaan itu? Belum lai dengan agenda rekreasi yang mereka buat diluar
program yang telah ditetapkan oleh TPA, perlukah itu dilaksanakan? Mengingat
otot-otot mereka yang sudah tua dan selalu ada keluhan sakit setiap kali pulang dari
rekreasi. Kemudian jika di dalam islam pun mengajarkan tentang dilarangnya
menggunjing dan memfitnah sesama saudara lantas bagaimana dengan ibu-ibu
lansia yang seolah menjadikan TPA ini menjadi sumber informasi gosib-gosib yang
nanti akan menjadi bahan rasan-rasan. Hal ini membuktikan bahwa tujuan yang
ingin dicapai dari berdirinya sebuah TPA Lansia ini tidak sejalan dengan realitas
sosialnya.
Bahasan selanjutnya, tentang mengapa kemudian lansia yang terdaftar
sebagai santri TPA di Desa Blimbing ini hanya ibu-ibu saja, padahal lansia juga
bisa berasal dari bangsa laki-laki, sedangkan mengapa kemudian yang menjadi
guru-guru di TPA ini adalah para ustadz yang notabennya laki-laki bukan ustadzah
atau perempuan. Ternyata hal tersebut merupakan konsekuensi dari adanya prinsip
kerja yang didukung pula oleh letak geografis Desa Blimbing yang tidak lain
berdekatan dengan laut lepas, dan kemudian di Desa ini pula cukup sulit untuk
menemukan ustadzah yang memiliki wawasan keagamaan yang tinggi guna
mengajar ibu-ibu lansia ini, yang banyak adalah ustadzah-ustadzah yang
kemampuannya sebatas mengajar pada TPA tingkat anak-anak.
Daftar Pustaka

Soyomukti, nurani. 2015. Teori-teori Pendidikan dari Tradisional, (neo) liberal,


Marxix-sosialis, hingga Postmodern. Ar-Ruzz Media: Yogyakarta.

Soehadha, moh. 2014. Fakta dan Tanda Agama: Suatu tinjauan Sosio-Atropologi.
Fakultas Ushuluddin & Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta: Yogyakarta.

Djatun, Rachmat dkk. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yuma Pustaka:


Surakarta

Catatan penulis yang telah diberikan selama pembelajaran mata kuliah antropologi
religi oleh bapak OKTA HADI NURCAHYONO S.Pd., M.Si.MA

Anda mungkin juga menyukai