Daniel Hutagalung
Tulisan ini dimuat dalam Diponegoro 74: Jurnal Pemikiran Sosial, Politik dan Hak
Asasi Manusia, No. 12 (Oktober-Desember) (2004)
Konsep hegemoni, dalam satu abad terakhir ini, telah melahirkan demikian
banyak dan beragam debat serius, baik dalam kajian-kajian filsafat, politik,
sosiologi, sastra, cultural studies, maupun kajian studi lainnya. Konsep hegemoni
mulai dikenal secara luas dalam kajian-kajian di Eropa dan Amerika Utara
semenjak John M. Cammet menerbitkan bukunya yang berjudul Antonio Gramsci
and the Origins of Italian Communism pada 1967, yang sebelumnya merupakan
disertasi doktoralnya di Columbia University, Amerika Serikat.1 Cammet memulai
penelitiannya di tahun 1950an, saat nama Antonio Gramsci belum dikenal terlalu
luas, meskipun Gramsci merupakan salah satu tokoh penting dalam gerakan
politik dalam aliran Marxisme. Semenjak penerbitan buku tersebut, nama Antonio
Gramsci dan teori hegemoninya mulai dikenal di berbagai debat dalam dunia
akademis berbahasa Inggris.
Konsep hegemoni sendiri lahir dan berkembang dalam arus pemikiran
Marxisme. Karena hegemoni sebagai sebuah teori, lahir dari pemikiran kaum
Marxist di Russia dalam menghadapi kekuasaan monarki Russia. Karena itu
hampir seluruh debat mengenai hegemoni mengalir di dalam arus pemikiran
Marxisme. Namun, belakngan ini konsep hegemoni diposisikan menjadi lebih
netral dalam melihat berbagai bentuk relasi kekuasaan, baik dalam hal politik,
sastra, ekonomi, sosial dan budaya.
Hegemoni memiliki keterkaitan erat dengan konsep kekuasaan dan
ideologi, di mana ketiganya bekerja secara simultan, meskipun dapat juga dilihat
secara terpisah. Gramsci melihat hegemoni sebagai praktik dua arah dari dua
John M. Cammet, Antonio Gramsci and the Origins of Italian Communism (Stanford: Stanford
University Press, 1967).
1
hubungan yang bersifat subordinasi, yakni kekuasaan negara borjuis dan kelas
buruh.
Tulisan ini mencoba untuk melakukan penelusuran atas konsep hegemoni,
dan melihatnya dalam konteks kekuasaan dan ideologi. Keseluruhan tulisan ini
akan melihat relasi kekuasaan, hegemoni dan ideologi dalam perspektif
Marxisme sampai Post-Marxisme, yang dalam paradigma teoritisnya,
menempatkan hegemoni sebagai sentral analisa dalam melihat relasi antara
kekuasaan, ideologi dan gerakan sosial. Dalam tulisan ini akan ditelusuri juga
bagaimana konsep hegemoni, kekuasaan dan ideologi berkembang dari George
Plekhanov, Vladimir Lenin, Louis Althusser, Talcott Parsons, Nicos Poulantzas,
Michel Foucault, Robert Dahl, Steven Lukes, Peter Bachrach, Morton Baratz
sampai uraian yang dikembangkan Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe.
Kuasa (Power)
Secara umum ada dua konsep mengenai kuasa (power), yakni power to dan
power over.2 Agaknya kurang tepat jika kita sekedar menyatakan bahwa Aktor
A memiliki kekuasaan, karena preposisi itu menjadi abstrak. Konsep power to
(kuasa untuk) merujuk pada tindakan sebagaimana: apa yang bisa dilakukan
Aktor A dengan kekuasaan yang milikinya. Konsepsi berikutnya adalah power
over (kuasa atas), yang kalimatnya bisa dikatakan demikian: Aktor A memiliki
kekuasaan atas Aktor B untuk membuat B melakukan X. Relasi kekuasaan (power
relation) macam apakah yang berlangsung antara A dan B?
Konsep power to umumnya dianggap sebagai konsep paling dasar dalam
penggunaan terminologi power. Meskipun begitu banyak juga penulis yang
tidak melihat ini sebagai aspek penting kuasa dalam konteks politik. Mereka lebih
melihat kuasa dari seorang aktor atas aktor lainnya sebagai hal penting dalam
melihat kekuasan politik (political power). Sekarang ini penjelasan mengenai
kedua konsep tersebut lebih dilihat sebagai hubungan yang saling berimplikasi,
di mana power over berimplikasi juga sebagai power to, misalnya A memiliki
kekuasaan atas (power over) B untuk membuat B melakukan (to do) X.
Menurut Keith Dowding, konsep power over dan power to bisa
digambarkan sebagai outcome power (yang dihasilkan oleh penggunaan
kekuasaan) dan social power (kekuasaan di dalam hubungan sosial). Yang
pertama disebabkan karena kekuasaan yang membawa hasil-hasil tertentu, yang
kedua disebabkan karena kekuasaan memerlukan keterlibatan hubungan sosial
Keith Dowding, Power (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1986), hal. 4-5.
antara setidak-tidaknya dua aktor atau subyek.3 Definisi formal dua konsep
tersebut dijabarkan Dowding sebagai berikut,4
outcome power
social power
Keith Dowding, Rational Choice and Political Power (Aldhersot: Edward Elgar, 1991), hal. 48.
Dowding memberikan penjelasan lebih rinci mengenai social power yang dijelaskannya bahwa
kekuasaan atas aktor lainnya merupakan hubungan yang kompleks. Mendapatkan sesuatu hasil X
dengan menggunakan aktor lain untuk melakukannya mungkin bisa berlangsung dalam cara-cara
yang mencolok atau halus. Jarak (mencolok dan halus) ini bisa dilihat dengan incentive structures
(struktur insentif), di mana seorang aktor merupakan separangkat biaya sekaligus keuntungan
berperilaku di dalam satu cara dibanding cara lainnya. Secara tipikal aktor-aktor memiliki
kekuasaan atas aktor-aktor lainnya sejauh mereka dapat memanipulasi struktur insentif dari aktoraktor lainnya. Dengan mengambil pilihan-pilihan dari seperangkat pilihan, atau memperhitungkan
ongkos sebuah tindakan menjadi lebih tinggi atau lebih rendah, demikian juga dengan membuat
keuntungan menjadi lebih besar atau lebih sedikit. Lihat Keith Dowding, Choice: Its Increase and
Its Value dalam British Journal of Political Science, No.22 (1992).
5
Robert. A. Dahl, The Concept of Power dalam Behavioral Science Vol. 2 (2) (1957).
6
Peter Bachrach and Morton S. Baratz, Power and Poverty: Theory and Practice (Oxford: Oxford
University Press, 1970).
3
4
oleh B.7 Menurut Lukes, analisa Dahl atas distribusi kekuasaan politik berfokus
kepada perilaku (behaviour) dalam mengambil sebuah keputusan terhadap
suatu isu di mana terdapat konflik kepentingan (subyektif) yang dapat
diobservasi, dilihat sebagai preferensi kebijakan, yang diperlihatkan oleh
partisipasi politik.8 Dalam pandangan Dahl, kuasa berlangsung (exercised) pada
saat A mampu menyuruh B untuk melakukan hal-hal yang bahkan tidak
dikehendaki oleh B. Namun, menurut Bachrach dan Baratz, kuasa juga
berlangsung pada saat A mencurahkan seluruh energinya untuk menciptakan
atau memperkuat nilai-nilai sosial dan politik dan praktik-praktik institusional yang
membatasi wilayah proses politik menuju pertimbangan publik terhadap isu-isu
yang secara relatif tidak akan merusak A.9 Karena itu Bachrach dan Baratz melihat
bahwa kuasa memiliki dua wajah (two faces): yaitu hal yang berhubungan dengan
pembuatan keputusan (decision-making) dan juga hal-hal yang tidak
berhubungan dengan pembuatan keputusan (nondecision-making). A
menjalankan kekuasaan atas B (power over) pada saat pilihan A secara reguler
berlaku dalam keputusan atas setiap isu penting mengenai adanya konflik yang
jelas, dan pada saat A berhasil dalam mengontrol agenda politik melalui apa
yang disebut nondecision untuk mencegah isu-isu yang berpotensi mengancam
kepentingan-kepentingan A.
Lukes menilai Bachrach dan Baratz juga gagal sebagaimana Dahl dalam
melihat relasi kekuasaan; pertama, karena konsepsi tentang kekuasaan tidak
pernah beranjak dengan tetap berfokus pada perilaku aktual aktor sebagai
sumber kekuasaan (source of power). Kedua, kegagalan dalam menjelaskan
variabel-variabel yang tidak dapat diobservasi dalam menghasilkan political
outcome (akibat politis); Ketiga, hanya melihat bagaimana kuasa secara ilusif
menciptakan preferensi sosial dalam masyarakat karena mereka terlalu
menitikberatkan pada events sebagai lokasi utama kuasa. Dengan kata lain
Lukes menilai bahwa analisa atas kekuasaan seharusnya tidak hanya terfokus
pada perilaku aktor dalam konteks otoritas formal dalam pengambilan keputusan
serta dinamika aktual yang melingkupi agenda formal, tetapi juga harus lebih
melihat kompleksitas dan arena yang lebih luas. Karena itu Lukes menganjurkan
pentingnya pendekatan sosiologis untuk memahami hubungan kekuasaan secara
lebih dalam. Bagi Lukes apa yang merupakan non events membuat kebijakan
menjadi lebih signifikan ketimbang event pengambilan keputusan. Jadi Lukes
secara umum melihat kuasa sebagai ideologi dominan, sebagai sebuah bentuk
produksi mental dalam masyarakat. Di dalam Lukes kuasa adalah seperangkat
preferensi yang menentukan suatu bentuk, sebagai ideologi dominan, yang ia
Robert A. Dahl, op.cit.
Steven Lukes, Power: A Radical View (London: Palgrave Macmillan, 2005), hal. 19.
9
Peter Bachrach and Morton.S. Baratz, op.cit., hal. 7.
7
8
Konsep kuasa Steven Lukes masih melihat otonomi relatif aktor dalam
menjalankan kekuasaan. Berbeda dengan Lukes, Talcott Parsons dan Nicos
Poulantzas melihat kekuasaan dalam pandangan strukturalis. Parsons, seorang
teoritisi struktural-fungsionalis, tidak memahami kuasa (power) dalam istilah
hubungan di antara agen-agen sosial, mereka sebagai individu-individu,
kelompok-kelompok atau negara-negara. Kuasa dipahami Parsons sebagai
bagian dari sistem-sistem sosial. Kuasa berarti memiliki kontrol atas hasil (output),
atau dalam bahasa Parsons,
A specific mechanism operating to brings about changes in the action of other units,
individual or collective, in the process of social interaction.14
sebagai kapasitas untuk menjaga kewajiban yang mengikat tersebut. Pada saat
semuanya dilegitimasi dengan merujuk pada tujuan-tujuan kolektif mereka, dan
ketika pada situasi di mana terjadi keadaan yang berlawanan, di situ akan ada
asumsi berupa pelaksanaan sanksi-sanksi.15
Poulantzas, seorang teoritisi Marxis, juga memahami kuasa dalam cara
pandang sistemik. Poulantzas mendefinisikan kuasa sebagai, kapasitas sebuah
kelas sosial untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tertentu mereka secara
obyektif16, sebagaimana Poulantzas menjabarkannya,
[] just as the concept of class points to the effects of the ensemble of the levels of
the structure on the supports, so the concept of power specifies the effects of the
ensemble of these levels on the relations between social classes in struggle. It points
to the effects of the structure on the relations of conflict between the practices of the
various classes in struggle.17
Maka pandangan Foucault tentang kuasa bisa disarikan sebagai berikut: (1)
kuasa ada di mana-mana, bukan karena ia merangkul apa saja, tetapi ia muncul
dari mana-mana; (2) kuasa tidak bisa diperoleh, ditangkap, atau dibagi, karena itu
bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki (possessed).21
Kuasa dimaknai sebagai otoritas subyek atau juga bentuk dominasi subyek
atau institusi terhadap subyek lainnya. Meskipun dalam ranah pemikiran
mengenai kuasa perdebatannya masih belum berujung pada titik temu, namun
dari perbedaan tersebut bisa kita lihat bagaimana konsep kuasa berkembang.
Lalu dari dua konsep hegemoni dan kuasa, bagaimana kita bisa menarik sebuah
relasi yang berkaitan dan logis antara satu dengan lainnya? Bagaimana bisa
menjahit dua konsep tersebut dalam sebuah analisa mengenai hubungan kuasa
dan hegemoni? Di bagian terakhir ini saya mencoba untuk melihat keterkaitan
kedua konsep tersebut, ditambah dengan konsep ideologi, yang dalam
pandangan saya tidak dapat dipisahkan dengan hegemoni dan kuasa.
Hegemoni: Genealogi Sebuah Konsep
Hampir sebagian besar perdebatan mengenai konsep hegemoni mengerucut
kepada satu nama: Antonio Gramsci. Tidak dapat disangkal bahwa Gramsci
merupakan filsuf dan aktivis politik yang mengembangkan teori hegemoni, yang
ia gunakan untuk melihat perjuangan kaum buruh di Italia di bawah rezim fasis
Benito Mussolini. Meskipun jauh sebelum Gramsci konsep hegemoni sudah
dikembangkan untuk melihat kegagalan perjuangan buruh di Rusia.
Konsep hegemoni sendiri, dalam pemikiran Marxisme, awalnya
diperkenalkan oleh George Plekhanov dan juga Vladimir Lenin. Plekhanov
menuliskan bahwa kondisi obyektif yang ada di Rusia (pada saat sebelum
Revolusi Bolshevik) membutuhkan model perjuangan yang baru, yang menjadi
syarat untuk menghasilkan pukulan mematikan untuk menjungkalkan tatanan
lama (old order) yang telah berurat-akar. Jantung perjuangan model baru ini
adalah: aktivitas politik harus mempunyai atau memainkan peran utama dalam
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977 (New
York: Pantheon Books, 1980), hal. 98.
21
Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 3: The Care of the Self (Harmondsworth:
Penguin, 1990), hal. 93-96.
20
melakukan kontrol terhadap kekuasaan; dan setiap bagian dari model perjuangan
politik yang baru tersebut harus mampu mencoba, menciptakan dan menjaga
posisi yang dominan dalam menciptakan hegemoni kelas, atau yang ia sebut
gegemoniya.22
Dalam tulisannya Socialism and Political Struggle, Plekhanov melakukan
kritik terhadap taktik yang dilakukan oleh aliansi populis di Rusia waktu itu. Ia
mengatakan hanya melalui perjuangan politik yang dapat memacu dan
mempercepat terciptanya gerakan emansipasi yang luas. Gerakan ini yang akan
memiliki kekuatan untuk merobohkan bangunan besar bernama absolutisme.23
Untuk mampu mencapai tahapan tersebut, maka kaum proletar, lanjut Plekhanov,
harus mampu melakukan dua kerja strategis sekaligus: pertama, kaum proletar
harus mampu menciptakan secara terbuka dan diterima secara legal, organisasi
partai dan serikat-serikat buruh, dan harus mempunyai akses terhadap media
untuk dapat menyampaikan dan menerima pesan-pesan dari satu tempat ke
tempat lainnya. Kedua, kaum proletariat di Rusia, sebagai kekuatan independen,
harus dapat terlibat secara giat dan sungguh-sungguh dalam perjuangan yang
sedang maupun akan datang untuk meruntuhkan absolutisme, dan membawa
kepentingan-kepentingan mereka sendiri (self-interests), dalam artian tidak
terkontaminasi oleh kepentingan elit politik borjuis. Untuk mencapai hal tersebut,
Plekhanov menyimpulkan bahwa peran khusus harus dapat dimainkan oleh kaum
intelektual sosialis, yang harus secara benar menjalankan tugas untuk menelurkan
kesadaran kaum proletariat.24
Menurut Jeremy Lester, meskipun Plekhanov dalam karya-karyanya tidak
secara jelas memberikan definisi yang jernih dan jelas tentang konsep hegemoni,
namun, bagi Lester itu sudah cukup untuk menilai bahwa konsep hegemoni
Plekhanov memiliki pengaruh strategis yang sangat besar dalam pemahamannya
tentang bagaimana kelas pekerja Rusia berhasil mengambil alih kekuasaan di
Rusia di masa depan.25 Bagi Lester, seperti juga Plekhanov, Lenin menegaskan
bahwa kelas pekerja, terlepas dari pentingnya posisi independen, dalam dirinya
mempunyai tugas untuk menciptakan sebuah tatanan (orde) borjuis yang
konstitusional, yang artinya di mana kaum kelas pekerja seharusnya diberikan alat
Jeremy Lester, Dialogue of Negation: Debates on Hegemony in Russia and the West (London:
Pluto Press, 2000), hal. 31.
23
George Plekhanov, Selected Philosophical Works: Volume I (London Lawrence and Wishart,
1961), hal. 60.
24
George Plekhanov, Ibid., hal. 117. Lihat juga Samuel H. Baron, Plekhanov: The Father of
Russian Marxism (London: Routledge, 1963), hal. 117-118.
25
Jeremy Lester, op.cit., hal. 40.
22
politik dan ruang politik untuk selanjutnya bekerja untuk melakukan hegemoni di
masa depan.26
Di sisi lain, menurut Roger Simon, bagi Lenin konsep hegemoni adalah
bagian dari strategi revolusi, sebuah strategi di mana kelas pekerja dan yang
merepresentasikannya harus mengambil dukungan dari mayoritas yang besar,
namun dalam pemikiran Lenin, kerjasama ini haruslah bersifat temporer, demi
menjaga keamanan (securing) kepentingan kelas buruh. Jadi, secara umum Lenin
melihat hegemoni sebagai kepemimpinan politik kelas buruh dalam aliansi kelaskelas yang lebih luas.27
Gramsci menambahkan dimensi-dimensi baru atas konsep hegemoni
dengan memperluas konsep tersebut sambil juga memasukkan praktik-praktik
kelas kapitalis atau yang merepresentasikannya, untuk mengambil kekuasaan atas
negara, kemudian mempertahankan dan memelihara kekuasan tersebut setelah
berhasil diperoleh.
Salah satu sentrum pemikiran Antonio Gramsci adalah konsepsinya tentang
hegemoni. Konsepsi hegemoni Gramsci mengacu kepada hubungan antara apa
yang disebutnya civil society dan state atau negara, di mana keduanya ada
pada level superstruktur, sebagaimana Gramsci mengacu kepada pemikiran
Marx,
What we can do, for the moment, is to fix two major superstructural levels: the one
that can be called civil society, that is the ensemble of organisms commonly called
private, and that of political society or the State. These two levels correspond on
the one hand to the function of hegemony which the dominant group exercises
throughout society and on the other hand to that of direct domination or command
exercised through the State and judicial government.28
dalam hubungan tersebut (misal: buruh, pemiliki modal), tetapi dalam tingkat
yang berbeda, yang dimediasi oleh keseluruhan produksi yang dihasilkan
masyarakat dan kompleksitas wilayah superstruktur, di mana kaum intelektual
merupakan para fungsionaris-nya.
Gramsci melanjutkan, bahwa sudah semestinya dimungkinkan untuk
mengukur kualitas organik berbagai macam strata intelektual, dan tingkat
hubungan mereka dengan kelompok-kelompok sosial fundamental, dan untuk
membangun sebuah skala perubahan fungsi-fungsi mereka dan juga wilayah
superstruktur dari bawah ke atas.
Lebih jauh lagi, Roger Simon menulis bahwa poin awal konsep hegemoni
adalah bahwa sebuah kelas merepresentasikan dan menjalankan kekuasaan atas
kelas-kelas yang tersubordinasi melalui kombinasi cara-cara kekerasan (coercion)
dan persuasif (persuasion).29 Pada titik ini, hegemoni adalah sebuah hubungan,
yang bukan melalui cara dominasi lewat cara-cara kekerasan, tetapi terbentuk
atas dasar persetujuan suatu cara-cara kepemimpinan politik dan ideologis.
Intinya bagaimana mengorganisir kesepakatan atau persetujuan bersama.
Bagi Gramsci, poin pokok pada pernyataannya tentang pentingnya
kepemimpinan dan upaya-upaya untuk memenangkan kekuasaan pemerintahan,
serta kriteria metodologis yang harus menjadi dasar adalah dengan melihat
bahwa,
[] supremacy of a social group manifests itself in two ways, as domination and as
intellectual and moral leadership. A social group dominates antagonistic groups,
which it tends to liquidate, or to subjugate perhaps even by armed forces; it leads
kindred and allied groups. A social groups can, and indeed must, already exercise
leadership before winning governmental power (this indeed is one of the principal
conditions for the winning o such power); it subsequently becomes dominant when it
exercise power, but even if it holds it firmly in its grasp, it must continue to lead as
well.30
29
30
10
Pada tahap inilah peran penting intelektual organik sebagai penata proses
hegemoni mempunyai tugas untuk menciptakan atau melahirkan aspirasi-aspirasi
laten yang koheren, serta potensi-potensi yang secara inheren telah ada dalam
aktivitas kelas pekerja. Hubungan erat antara kaum intelektual organik dan kelas
mereka merupakan proses yang dialektis: mereka melahirkan atau mematerialkan
bentuk-bentuk pengalaman kaum kelas pekerja, dan pada saat bersamaan
menanamkan kesadaran teoritis kepada mereka.33
Ibid., hal. 168
Ibid., hal. 181-182.
33
David McLellan, Marxism After Marx (London: Macmillan,1980), hal. 200.
31
32
11
Jadi, dalam pandangan Laclau dan Mouffe hegemoni secara umum memiliki
validitas dalam menganalisa proses disartikulasi dan reartikulasi yang bertujuan
menciptakan dan menjaga politik sebagaimana juga kepemimpinan moralintelektual. Bagi Laclau dan Mouffe, hegemoni merupakan praktik artikulasi yang
membangun nodal points (titik temu dari sebuah rangkaian) yang secara parsial
memperbaiki makna dari yang-sosial dalam sebuah sistem difference yang
terorganisasi.36
Lalu bagaimana melihat hegemoni dalam konteks politik?
Laclau dan Mouffe melihat bahwa hegemoni akan muncul dalam situasi
antagonisme, misalnya rezim yang menindas rakyat, yang memungkinkan
terbentuknya political frontier. Political frontier akan menciptakan pertarungan
hegemonik, di mana dalam situasi ini akan terbangun apa yang disebut chain of
equivalence di antara kelompok sosial yang melakukan resistensi terhadap rezim
penindas.
Mencari Agen Baru Gerakan Sosial
Sebagaimana telah didiskusikan pada bagian atas, Gramsci melihat bahwa
hegemoni berhasil ketika kelas penguasa (ruling class) mampu menyingkirikan
Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical
Democtaric Politics (London: Verso, 2001), hal 105.
35
Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Post-Marxist Without Apologies dalam New Left Review
No.166 (November/December 1987), hal. 82.
36
Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy, hal. 134-137.
34
12
kekuatan oposisi dan memenangi persetujuan baik aktif maupun pasif dari
sekutunya. 37 Menurut Gramsci, subyek tindakan politik tidak dapat
diidentifikasikan dengan kelas-kelas sosial, setelah mereka mencapai bentuk
keinginan kolektif yang menciptakan ekspresi politik dari sistem hegemoni
yang diciptakan melalui ideologi. Formasi sebuah keinginan kolektif bukanlah
konsekuensi dari tekanan ideologis kelas dominan atas kelas-kelas lainnya,
melainkan produk reformasi moral dan intelektual, yang mengartikulasikan
kembali elemen-elemen ideologis. Jadi, secara umum bisa dikatakan bahwa
hegemoni dalam pemahaman Gramsci adalah mengorganisir persetujuan
proses yang dijalankan melalui bentuk-bentuk kesadaran yang tersubordinasi
dibentuk tanpa harus melalui jalan kekerasan atau koersi. Blok penguasa ini tidak
hanya beroperasi di tataran ruang politik (political sphere), tetapi juga di seluruh
masyarakat.38
Hegemoni adalah bagaimana elemen yang partikular mampu menciptakan
tuntutan mereka menjadi universal. Dalam pandangan Louis Althusser, proses
seperti dominasi negara terhadap masyarakat berlangsung melalui aparat-aparat
ideologi negera (idelogical state apparatuses) yang membentuk kesadaran palsu
dalam masyarakat, dan membentengi masyarakat dari pembentukan
pengetahuan akan adanya eksploitasi dan penindasan. Kesadaran palsu
membentuk masyarakat menyetujui tindakan-tindakan yang diambil oleh negara,
sekalipun tidak berkesesuaian dengan kepentingan mereka. Proses ini yang
disebutnya proses hegemonisasi yang membuat kelas yang menguasai negara
dapat bertahan lama.39
Namun, hal terpenting dari konsepsi hegemoni Gramsci maupun lainnya
adalah melihat bagaimana hegemoni juga merupakan bentuk masyarakat sipil
membangun kekuatan politiknya dalam menghadapai rezim yang menindas dan
represif. Dalam konteks ini Gramsci membedakan dua bentuk hegemoni yakni:
transformisme (transformism) dan hegemoni ekspansif (expansive hegemony).
Kedua bentuk ini melibatkan sebuah proses simultan revolusi-restorasi
(revolution-restoration). Restorasi cenderung mendominasi bentuk transformisme,
sementara revolusi cenderung mendominasi bentuk hegemoni ekspansif.
Transformisme bisa dilihat sebagai tipe defensif dari politik, yang diikuti oleh
kekuatan hegemonik dalam sebuah situasi krisis ekonomi dan politik, melibatkan
penyerapan secara gradual namun terus-menerus, dicapai melalui metode yang
selalu berubah-ubah sesuai dengan efektifitas elemen-elemen aktif yang
Antonio Gramsci, Prison Notebooks, hal. 71
Michelle Barret, Ideology, Politcs, Hegemony: From Gramsci to Laclau and Mouffe, dalam
Slavoj iek (Ed.), Mapping Ideology (London: Verso, 1994), hal. 238.
39
Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes Towards An
Investigation), dalam Slavoj iek (Ed.), ibid., hal. 112.
37
38
13
14
15
Kepustakaan Rujukan
16
17