Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATARBELAKANG PENULISAN

Ulasan mengenai kuasa (power) merupakan suatu hal menarik yang tidak
pernah selesai dibahas dalam kehidupan manusia sepanjang jaman. Kekuasaan selalu
menjadi tema aktual untuk dibicarakan. Tampilan berita utama dalam setiap surat
kabar seperti Kompas, Jawa Pos, Pos Kupang, Flores Pos dan sebagainya selalu
menyajikan ulasan penting tentang persoalan politik dan kekuasaan. Berita tentang
kekacauan di Timur Tengah, atau perhelatan politik yang terjadi akhir-akhir ini baik
dalam negeri maupun luar negeri, menunjukkan bahwa manusia tidak puas dalam
mengartikan dan memahami gagasan tentang kekuasaan. Mengapa demikian?
Karena pembicaraan tentang kekuasaan dilihat sebagai roh yang menggerakkan
hidup bersama atau dengan kata lain pembicaraan tentang segala ketentuan dan
kebijaksanaan yang menjadi jiwa dari dinamika hidup bersama.
Hidup manusia senantiasa diwarnai oleh pertemuan-pertemuan. Pertemuan-
pertemuan tersebut terjadi baik pada tingkat lokal yakni antarpribadi manusia
maupun pada tingkat mondial yakni antarbangsa. Pada hakekatnya setiap pertemuan
senantiasa meninggalkan kesan tertentu. Pertemuan yang meninggalkan pesan
merupakan kenangan yang terjadi karena adanya relasi.
Secara umum ada tiga tingkat relasi yaitu kontak, relasi dan interaksi. Kontak
adalah bentuk relasi yang hanya sepintas lalu saja dan belum mendalam kwalitasnya.
Relasi adalah sebuah pola yang menghubungkan kedua belah pihak yang sudah
cukup mendalam. Pada tingkat ini seringkali ditemukan bentuk relasi asimetris yang
menghasilkan kesalingtergantungan, karena pihak-pihak yang berelasi tidak berada
pada kedudukan yang sederajat. Sedangkan interaksi adalah bentuk relasi yang
sangat akrab. Pada interaksi sudah termuat relasi yang bersifat seimbang. Pada
tingkat ini, relasi sangat diandaikan dalam hubungan antar manusia atau bangsa.
Namun dari semua relasi yang terjadi, masih ada yang tidak seimbang. Hal
ini terjadi karena masih ada ruang untuk melakukan penindasan, penipuan,
eksploitasi, manipulasi dan kekerasan. Realitas ini menunjukkan bahwa orang-orang
yang terlibat dalam relasi itu memiliki motivasi yang saling berbeda dan dalam diri
manusia masih tersimpan nafsu untuk saling menguasai. Pola relasi seperti inilah
yang sering disebut relasi kekuasaan.
Kekuasaan memiliki tendensi untuk menampakkan wajah yang ambigu yakni
menakjubkan sekaligus menakutkan.1 Inilah dua sisi yang dikandung oleh
kekuasaan itu sendiri. Kedua hal ini adalah motivasi dan akibat dari kekuasaan.
Kekuasaan itu disebut menakjubkan karena kita dihadapkan dengan sosok penguasa
yang berprofesi atau berkharisma tinggi sekaligus penampilan yang memikat semua
orang. Penguasa itu juga memiliki kemampuan untuk mengatur dan menyatukan
kekhaosan dalam kehidupan nyata. Sedangkan kekuasaan dikatakan bersifat
menakutkan karena kekuasaan itu cenderung lapuk dan busuk, disalahgunakan untuk
menindas rakyat, merampas harta kekayaan dan kebebasan orang lain. Kekuasaan
yang menakutkan mempunyai tujuan pada dirinya sendiri serta tidak lagi mejadi
sarana untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam kenyataan sering ditemukan sosok kekuasaan yang menakutkan.
Dalam sejarah revolusi Prancis dikisahkan bagaimana penguasa Perancis yang
absolut pada masa itu mati di ujung pisau karena kekuasaan yang sewenang-wenang.
Demi kekuasaan ia merelakan dirinya dengan kematian. Ada begitu banyak tragedi
yang ganas akibat kekuasaan absolut. Dalam bahasa Lord Acton, asumsi itu
diformulasikan dalam ucapannya yang termasyhur: power tends to corrupt. Absolute
power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung merusak. Kekuasaan mutlak

1
I. Marsama Winghu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut John Galtung (Yogyakarta: Kanisius,
1992), p. 30.
merusak secara absolut).2 Di sini Lord Acton mensinyalir tentang kekuasaan yang
cenderung korup. Ia lebih fokus pada kata “cenderung” sebagai suatu tindakan yang
dibuat secara terus-menerus. Ia menyodorkan tesis bahwa ada pergulatan antara
bakat-bakat jahat manusia dan bakat-bakatnya yang baik.3
Kekuasaan memang mengasyikkan dan menggoda. Orang sering terjerumus
dalam pola yang salah demi kekuasaan. Apabila kekuasaan dimengerti dalam
beragam arti, baik dalam pembahasan ilmu sosial maupun politik, maka kekuasaan
dilihat sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi
tingkahlaku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkahlaku pelaku itu sesuai
dengan kehendak pelaku sebelumnya. Kekuasaan adalah suatu hubungan di mana
seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau
kelompok lain kearah tujuan pihak pertama (power is a relationship in which one
person or group is able to determine the action of another in the direction of the
former’s own ends).4Kekuasaan ini sangat bertolak dari proses hubungan antar
manusia. Kekuasaan bisa ada melalui suatu proses abstraksi seperti sebuah dalil
teoretis yang ditarik dari gejala-gejala dalam interaksi antara manusia. Namun,
dalam konteks antara bangsa konsep kekuasaan itu mesti ditempatkan dalam
kerangka yang lebih umum. Pola relasi antara bangsa itu pada umumnya bersifat
struktural dan diposisikan dalam konteks struktur dunia. Struktur dunia merupakan
penyebab munculnya macam-macam krisis kehidupan seperti kekerasan dan
kemiskinan, represi dan ancaman. Para pemikir religius menghubungkan kekuasaan
itu dengan Tuhan. Kekuasaan politik hanya sebagai alat untuk mengabdi tujuan
negara yang dianggap agung dan mulia yaitu kebaikan, kebajikan, keadilan,
kebebasan yang berlandaskan kehendak Tuhan dan untuk kemuliaan Tuhan.5

2
Leo Kleden, “Filsafat Politik” (ms), p. 36.
3
Rahman, Arge, Permainan Kekuasaan (Jakarta: Penerbit Kompas, 2008), p. 2.
4
Harild D. Lawaswell, seperti yang dikutip Miriam Budiardjo, “Konsep Kekuasaan: Tinjauan
Kepustakaan”, Ed. Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa (Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan, 1984), p. 9.
5
A. Rahman Zainudin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992), p. 428.
Foucault membicarakan tentang kuasa.6 Gagasan Foucault tentang kuasa
lebih orisinal dan realistis. Dengan latar belakang sebagai seorang sejarahwan,
Foucault sama sekali tidak mendefinisikan secara konseptual apa itu kuasa, tetapi
lebih menekankan bagaimana kuasa itu dipraktikkan, diterima dan dilihat sebagai
kebenaran dan berfungsi dalam berbagai bidang kehidupan.7 Dalam arti inilah, kuasa
tidak hanya disempitkan dalam ruang lingkup tertentu atau menjadi milik orang atau
institusi tertentu seperti pandangan umum bahwa kuasa itu selalu dikaitkan dengan
negara atau institusi pemerintah tertentu. Atau dalam konteks Indonesia, kuasa tidak
hanya menjadi milik Presiden Bambang Yudhoyono, DPR-MPR, gubernur dan
sebagainya tetapi kuasa menyangkut relasi antara subyek dan peran dari lembaga-
lembaga yang menjalankan fungsi tertentu dalam masyarakat. Sumbangan kekuatan
dari setiap subyek dan lembaga-lembaga yang menjalankan peran sebaik-baiknya,
itulah yang menunjukkan arti kuasa.
Pemahaman kekuasaan di atas jelas bertolak belakang dengan pemahaman
Karl Marx yang melihat kekuasaan hanya menjadi milik masyarakat kelas atas.
Dominasi dan monopoli kaum borjuis menentukan kehidupan seluruh
masyarakat.8Konsep Foucault tentang kuasa juga bertentangan dengan gagasan

6
Konsep Foucault tentang “kuasa” tidak sama dengan “kekuasaan”. Kedua kata ini menunjukkan
adanya perbedaan nilai rasa arti dan makna. Kuasa menurut Foucault merupakan suatu relasi yang
terjadi antara subjek atau individu. Kuasa itu selalu terjadi di mana-mana dalam setiap relasi dan tidak
represif. Kuasa merupakan istilah yang netral, tetap, dan tidak berubah. Kuasa tidak ada embel-embel
ke-an seperti ke-kuasa-an. Kuasa bukan merupakan sesuatu yang dimiliki untuk mendominasi atau
menguasai yang lain. Dengan demikian, penulis memahami bahwa konsep kuasa Foucault tidak sama
dengan kekuasaan. Kuasa tidak menunjuk pada otoritas seorang individu tetapi sesuatu yang ada dan
muncul setiap saat. Dalam setiap relasi yang muncul itu, kita sering tidak menyadari adanya kuasa.
Kekuasaan adalah kemampuan dan kesanggupan orang atau kelompok untuk menguasai orang atau
golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, dan kekuatan fisik. Kekuasaan
merupakan biang untuk menunjukkan otoritas individu atau kelompok yang kuat. Kekuasaan dapat
dimiliki oleh setiap orang untuk mendominasi yang lain. Kekuasaan juga dilihat sebagai tempat atau
daerah yang dikuasai. Misalnya seorang Raja yang tidak ingin meninggalkan sebuah tempat atau
daerah yang pernah menjadi wilayah kekuasaannya. Kekuasaan menjadi biang untuk menunjukkan
otoritas individu dan kelompok yang kuat. Bdk. Departemen Pendidikan Nasional, KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesai), EDISI KEEMPAT (Jakarta: Gramedia, 2000, p. 746.
7
Konrad Kebung, SVD, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), p.
212.
8
Michel Foucault, Wacana Kuasa/ Pengetahuan, penterj. Yudi Santoso, (Yogyakarta: Bentang
Budaya, 2002), p. 167.
Thomas Hobbes yang mengartikan kekuasaan hanya menjadi milik lembaga yang
disebut negara dan negara memiliki kuasa mutlak untuk menentukan kehidupan
masyarakat.9 Berdasarkan kedua gagasan ini, penulis mengamini apa yang dikatakan
Foucault di mana kuasa tidak hanya menjadi milik pemimpin atau entitas yang
berpengaruh dalam masyarakat tetapi kekuasaan berangkat dari kekuatan dan
sumbangan pemikiran setiap subyek. Di dalamnya ada saling percaya dan menopang
satu terhadap yang lain, ada pengakuan kekuatan dan kecerdasaan setiap pribadi
sebagai sumbangan untuk hidup bersama. Dan penulis berpikir bahwa pemahaman
Foucault tentang “kuasa”10(power) memberi inspirasi yang kuat terhadap praktek
demokrasi. Pandangan Foucault tentang kuasa memang tidak mendahului adanya
demokrasi, namun konsepnya sangat mempengaruhi praktek demokrasi saat ini.
Konsep kuasa Foucault mengubah cara praktek demokrasi pada zaman Orde
Lama dan Orde Baru. Hal ini dilihat dari gagasan umum demokrasi yang menjunjung
tinggi kreativitas dan sikap kritis setiap subyek, atau dengan kata lain adanya
pengakuan akan adanya kuasa dalam setiap pribadi. Berdasarkan latar belakang
pemikiran di atas maka penulis menggarap tulisan ini dengan judul: PANDANGAN
MICHEL FOUCAULT TENTANG KUASA DAN RELEVANSINYA BAGI
POLITIK DEMOKRASI DI INDONESIA

9
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia, 2007), p. 71.
10
Penulis mengakui bahwa konsep Foucault tentang kuasa memberi inspirasi dalam praktek
demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi semangat keadilan, kebebasan dan kedaulatan. Dalam
demokrasi Indonesia menegaskan adanya penghargaan terhadap semua individu, kreativitas,
kecerdasan, relasi-relasi dan pengakuan akan yang lain. Michel Foucault dalam konsepnya tentang
kuasa mengatakan bahwa kuasa itu terjadi dalam relasi-relasi yang terjadi dimana-mana dan tidak
mendominasi orang lain. Kuasa bukan suatu benda yang biasa dibeli dan akan menjadi milik orang-
orang tertentu. Pemikiran Foucault menjadi satu catatan kritis untuk konsep kuasa yang mendominasi
orang lain. Yang lain dijadikan sebagai objek dari penguasa. Tindakan ini merupakan praktek
kekuasaan yang tidak diminati oleh Foucault.
1.2. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari tulisan ini, antara lain:


Pertama, sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan
strata satu Filsafat Agama Katolik pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK)
Ledalero.
Kedua, tulisan ini juga menjadi ajang latihan dan sarana pengembangan
kemampuan, bakat dan kreativitas penulis selaku insan akademis yang sebentar lagi
akan mengabdi di tengah masyarakat.
Ketiga, sebagai bentuk kepedulian penulis terhadap berbagai fenomena
kekuasaan yang sering terjadi di Indonesia. Negara Indonesia cenderung
melegitimasi kekuasaan otonom dan otoritas. Kuasa hanya dipegang oleh pemimpin
negara. Yang berkuasa adalah orang-orang tententu saja. Penulis menyetujui gagasan
Michel Foucault dan menyarankan supaya kuasa bukan menjadi milik pemerintah
atau institusi tertentu saja, tetapi kuasa itu merupakan satu dimensi dari relasi. Di
mana ada relasi, di sana ada kuasa. Kuasa itu ada dalam setiap subjek. Penulis ingin
memahami konsep kuasa Foucault dan bagaimana relevansinya dalam politik
demokrasi di Indonesia.

1.3. METODE PENULISAN

Metode yang digunakan penulis dalam menggarap tulisan ini adalah metode
penelitian kepustakaan dan metode penelitian lapangan. Walaupun demikian, metode
yang paling dominan dari keduanya adalah metode penelitian kepustakaan. Dalam
metode penelitian kepustakaan, penulis membaca dan mendalami berbagai literatur
yang berkaitan dengan tema tentang kuasa dan pengaruhnya di Indonesia berkaca
pada filsuf Prancis, Michel Foucault.
Penulis melengkapi tulisan ini dengan membeberkan beberapa pengalaman
pribadi selama hidup ketika berada pada suatu lembaga atau organisasi tertentu.
Situasi yang dialami adalah adanya otoritas dari mereka yang memegang kekuasaan.
Kebebasan dan kreativitas dari setiap pribadi sering tidak diakui secara maksimal.
Yang berstatus anggota tidak memiliki hak untuk bersuara. Inilah kenyataan yang
sering terjadi. Selain itu, tulisan ini didukung oleh berbagai sumber lain seperti
berita-berita aktual dari majalah atau surat kabar, seminar, dan informasi yang
diakses dari internet yang berkaitan dengan tema.

1.4. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulis membagi keseluruhan tulisan ini dalam lima bab yang dirinci sebagai
berikut:
Bab I berisikan pendahuluan. Dalam bab ini dibicarakan tentang latar
belakang permasalahan yang menjadi alasan pemilihan judul, tujuan penulisan,
metode penulisan serta sistematika penulisan.
Dalam Bab II, penulis memaparkan riwayat hidup dan karya-karya dari
Michel Foucault. Penulis memulai bab ini dengan menguraikan riwayat singkat dari
tokoh dan pembagian pemikiran filosofisnya. Dalam pembagian pemikiran
filosofisnya, diuraikan beberapa karya yang sangat penting yaitu; The Order of
Things, The Discourse on Language, Madness and Civilization, Archaeology of
Knowledge, Discipline and Punish, dan The History of Sexuality I, II dan III.
Kemudian diikuti dengan perkembangan pemikiran filosofisnya. Penulis juga
berbicara tentang Foucault dan strukturalisme, episteme sebagai struktur, tokoh-
tokoh yang berpengaruh terhadap pemikirannya, dan metode-metode filsafat Michel
Foucault.
Dalam bab III, penulis memaparkan pemahaman Foucault tentang kuasa dan
politik demokrasi Indonesia.Penulis mengawali pembahasan pada bab ini dengan
catatan dan latar belakang pemikiran Foucault. Lalu diikuti pemikiran filosofisnya
tentang kuasa. Kemudian penulis membuat klarifikasi dan klasifikasi konsep kuasa
Foucault. Kemudian penulis memberikan definisi tentang kekuasaan untuk
memahami konsep Foucault tentang kuasa. Penulis juga mendefinisikan konsep
demokrasi, dua konsep dasar demokrasi dan karakteristik demokrasi.
Bab IV merupakan inti dari keseluruhan tulisan ini. Pada bab ini penulis
membahas konsep kuasa Michel Foucault dan relevansinya bagi politik demokrasi
Indonesia. Penulis menguraikan realitas politik demokrasi Indonesia sejak Orde
Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Penulis juga menjelaskan tentang kuasa Foucault
dan relevansinya dalam politik demokrasi Indonesia. Penulis memahami konsep
kuasa Foucault dan menghubungkannya dengan politik demokrasi karena dalam
negara demokrasi selalu termuat konsep penghargaan terhadap yang lain atau setiap
individu memiliki kebebasan dan kreativitas. Kuasa itu ada dalam diri setiap
individu. Kuasa ada dalam setiap relasi yang terjadi di mana-mana. Penulis
menguraikan demokrasi sebagai proses pemebebasan kekuasaan. Pada akhirnya
penulis membuat catatan kritis.
Bab V merupakan bab penutup. Bab ini terdiri dari kesimpulan dari seluruh
pembahasan Foucault tentang kuasa dan hubungannya bagi politik demokrasi
Indonesia. Pada bagian paling akhir dari bab ini dikemukakan beberapa usul-saran.

Anda mungkin juga menyukai