Anda di halaman 1dari 17

The Journal of Taufiq Yasin Rosyadi

International Relations – Philosophy – Afterthought


 TEORI HI

 ZONA HI

 ZONA POLITIK

 TEKNOLOGI

 MY ADVENTURE

 CERITA HIDUP

 TENTANG PENULIS

Konsep Power dalam HI


Ketika berbicara mengenai aktor HI yaitu negara, kita akan
memandang power sebagai unsur utama dalam setiap tindakan politik dari sebuah
negara. Kaum realis menganggap bahwa power sebagai konsep paling pokok dalam
ilmu Hubungan Internasional. Powermerupakan hal penting yang harus dimiliki oleh
setiap negara dalam menjalin hubungan dengan negara lain.
Menurut Morgenthau bahwa politik sebagai perjuangan untuk memperoleh power.
Ia mendefenisikan power sebagai suatu hubungan antara dua aktor politik di mana
aktor satu memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan tindakan aktor
yang lain. Sehingga menurutnya guna menciptakan serta mempertahankan
pengendalian terhadap “lawan main” dalam hubungan sosial dibutuhkan kekerasan
fisik hingga hubungan psikologis.
Ilmuwan lain seperti Frankel mengartikan power sebagai, “kapasitas untuk
menghasilkan efek-efek yang diinginkan; secara khusus kekuasaan politik bukanlah
kekuasaan atas alam, material, atau diri sendiri, tetapi atas pikiran dan tindakan-
tindakan orang lain.” Hal ini lah yang dimaksud dengan hegemoni oleh Gramsci atau
menguasai dengan kepemimpinan moral dan intektual secara konsensual. Dengan kata
lain Gramsci berada dalam posisi lain dalam pengertian penguasaan satu kelompok
terhadap kelompok dengan nama dominasi yang dilandaskan atas kekuatan fisik.
Sedangkan bagi Coulumbis dan Wolfe menganjurkan bahwa cara terbaik untuk
memahami konsep power adalah dengan memandangnya sebagai suatu hubungan
antara aktor-aktor dengan kehendak berbeda. Sebaliknya, untuk mendefenisikan
secara operasional dan mengukur kemampuan suatu negara untuk menerapkan
kekuasaan adalah dengan memusatkan perhatian pada atribut-atribut spesifik negara
itu yang bisa diukur. Oleh karena itu, Coulumbis dan Wolfe mendefenisikan power
secara kaffah yang merujuk pada apa saja yang bisa menciptakan dan
mempertahankan pengendalian aktor satu terhadap aktor yang lain.
Guna mendapatkan power, setiap negara harus memiliki sumber-sumber power yang
dapat menjadi tolok ukur bagi negara tersebut untuk menerapkannya dalam interaksi
dengan negara lain. Sumber-sumber power yang dimaksud adalah potensi yang
dimiliki oleh sebuah negara dan pengembangan atas potensi tersebut dalam bentuk
national power. Sumber-sumber power terang saja berasal dari dalam. Contoh
National power ini berupa, teritorial atau luas wilayah, kapasitas SDM (kualitas dan
kuantitas), kapabilitas ekonomi, kekuatan militer, stabilitas politik, dan kepiawaian
diplomasi internasional.
Selain defenisi power, Coulumbis dan Wolfe menekankan bahwapower memiliki tiga
unsur penting. Unsur-unsur inilah yang dipergunakan untuk melihat atau
mengukur power yang dimiliki oleh sebuah negara. Ketiga unsur tersebut, antara lain
wewenang (authority), pengaruh (influence), dan daya paksa (force).
Pertama, adalah wewenang (authority), yaitu sikap tunduk secara sukarela aktor X
terhadap perintah aktor Y yang timbul dari persepsi X tentang Y, misalnya,
penghormatan, solidaritas, kasih sayang, kedekatan, mutu kepemimpinan,
pengetahuan, dan keahlian.
Kedua, pengaruh (influence) yang didefenisikan sebagai penggunaan alat-alat persuasi
(tanpa kekerasan) oleh aktor Y demi menjamin agar perilaku aktor X mengikuti
keinginan aktor Y. Ketiga, daya paksa (force), yang dapat didefenisikan sebagai
ancaman eksplisit atau penggunaan kekuatan militer, ekonomi, atau sarana pemaksa
lainnya oleh aktor Y kepada aktor X demi terwujudnya kepentingan politik aktor Y.
Bahkan seorang Machiavelli mencintrakan power sebagai seekorcentaur, separuh
manusia dan separuh binatang, formula yang tepat dari persetujuan dan koersi.
Sampai batas di mana aspek konsensual kekuasaan berada di baris depan, maka
hegemoni disitu. Koersi senantiasa laten tetapi hanya dipergunakan dalam kasus
marjinal, kasus menyimpang. Ketika jalur persetujuan atas wewenang mulai
memudar maka jalur kekerasan menjadi pilihan.
Agar pemahaman power mendalam, maka perlu untuk mengetahui dimensi-dimensi
dari power itu sendiri. Power itu bersifat situasional, tergantung pada perimbangan
kekuatan, isu yang dibahas, kemampuan, kepentingan, dan kemauan setiap aktor
dalam menerapkan power dan unsur-unsurnya demi untuk mencapai tujuannya
melalui hubungan kekuasaan yang dibangun di antara mereka. Sehingga power tidak
dapat dipandang sebagai suatu hubungan yang statis, berlangsung satu kali dan satu
arah, melainkan sebagai sebuah hubungan yang dinamis, berlangsung terus menerus
dan dua arah.

Jenis-Jenis Power
1) Power aktual : bentuk kekuatan yang sudah tersedia.
2) Power potensial : merupakan pengembangan dari power aktual yang sangat
berpotensi diciptakan di masa depan.
3) Tangible power : kekuatan yang nyata dan dapat diukur
4) Intangible power : sulit untuk diukur keberadaanya namun cenderung lebih
berbahaya
Untuk mengetahui kuantitas kekuatan nasional dari sebuah negara,Karl
Deutsch membagi konsep power ke dalam tiga variabel, yaitu wilayah, intensitas dan
ruang lingkup power :
Wilayah
Deutsch mendefenisikan wilayah power sebagai “sekumpulan orang yang perilakunya
benar-benar berubah akibat penerapan power.” Wilayah power ini dibagi ke dalam
wilayah internal dan wilayah eksternal. Wilayah internal diukur berdasarkan indikator
luas wilayah geografis, besarnya jumlah penduduk yang dikenai oleh kekuasaan
pemerintah pusat, dan besarnya Produk Nasional Bruto. Sedangkan
wilayah power eksternal diukur berdasarkan kemampuannya menerapkan kebijakan di
luar batas wilayah geografis. Hal ini diukur dari aliansi yang mereka bentuk dan hasil
aliansi tersebut.
Untuk mengukur power eksternal suatu negara, Rosenaumengusulkan konsep
penetrasi, yang didefenisikan sebagai “suatu proses di mana anggota suatu masyarakat
politik menjadi partisipan dalam proses politik masyarakat lain.” Penetrasi ini diukur
dengan menggunakan indikator-indikator, seperti kehadiran militer Y di negara X
(adanya pangkalan dan personel militer), pemberian bantuan asing (militer, ekonomi,
kemanusiaan), besarnya misi militer di luar negeri, ketergantungan ekonomi negara X
terhadap negara Y, dan ekspansi pengaruh kultural.
Intensitas Kekuasaan
Sedangkan untuk intensitas power, Deutsch meramunya sebagai “perbedaan antara
imbalan yang paling menyenangkan dengan hukuman yang paling menyedihkan yang
bisa diberikan oleh pemilikpower kepada orang-orang yang ada di wilayah
kekuasaannya.” Intensitas power ini juga dibagi atas dimensi internal dan eksternal.
Intensitas power internal diterapkan melalui pemberian hadiah atau hukuman. Negara
tiran umumnya lebih menitikberatkan pada penggunaan ancaman dan hukuman yang
tergantung dari besar kecilnya dan efektifitas aparat keamanan-militer yang dimiliki
untuk menciptakan ketertiban. Sebaliknya, pemerintah demokrat lebih bertumpu pada
pemberian rangsangan dan ganjaran positif. Intensitas kekuasaan mereka ditentukan
dari besar-kecilnya anggaran yang dibelanjakan untuk memberikan ganjaran pada
warganya atau anggaran untuk belanja kesejahteraan rakyatnya.
Untuk mengkaji mengenai intensitas power eksternal, kolonialisme bisa dipandang
sebagai analog dari tirani. Sebaliknya, aliansi yang saling menguntungkan atau
integrasi ekonomi antarnegara-bangsa yang setara bisa dipandang sebagai analog dari
pemerintah nasional yang demokrat dan adil. Indikator yang dipakai untuk mengukur
intensitas power eksternal ini mirip dengan indikator kekuasaan internal. Misalnya,
besarnya anggaran belanja pertahanan-keamanan menjadi indikator intensitas
kekuasaan eksternal yang berorientasi pada “hukuman”. Sedangkan besarnya
anggaran belanja untuk bantuan asing (kesejahteraan sosial) menjadi indikator
intensitas kekuasaan eksternal dengan orientasi pada “ganjaran”.
Ruang Lingkup Kekuasaan
Untuk ruang lingkup power, Deutsch mendefenisikan sebagai “sekumpulan jenis-jenis
perilaku, hubungan dan urusan yang secara efektif tunduk pada power pemerintah.”
Hal ini mencakup seluruh jenis kegiatan yang diatur oleh pemerintah, baik internal
dan eksternal. Semakin banyak kegiatan yang diatur atau dipengaruhi oleh pemerintah
(internal dan eksternal), maka semakin besar pula ruang lingkup kekuasaan yang
dimiliki.
Untuk ruang lingkup power internal, anggaran belanja pemerintah dan bagan
organisasi pemerintah dapat menjadi bukti tentang luas dan keanekaragaman fungsi-
fungsi yang diatur dan diawasi oleh pemerintah. Ruang lingkup internal power di
negara demokratis dan kompetitif biasanya lebih sempit dibanding dengan negara
dengan negara sistem ekonomi terpusat. Pemerintah demokratis liberal memiliki
kecenderungan untuk mengizinkan lebih banyak inisiatif dan perusahaan swasta di
bidang ekonomi, sosial, dan kultural dibanding dengan pemerintah sosialis dan
khususnya pemerintah komunis.
Sedangkan untuk ruang lingkup power eksternal, dapat dilihat dari tingkat sistem
dependensi dan interdependensi yang semakin kompleks dan mulitifungsional. Ruang
lingkup eksternal kekuasaan dapat dilihat dari penguasaan atas teknologi yang vital,
penguasaan atas sumber-sumber energi vital, tenaga ahli yang dimiliki, tenaga buruh
murah, dan juga peralatan militer yang dipunyai. Sehingga sebuah negara dapat
mengendalikan tindakan atau tingkah laku negara lainnya. Luas atau sempitnya ruang
lingkup eksternal kekuasaan dari sebuah negara dibanding dengan negara lainnya
dapat dilihat dari berapa banyak bidang kegiatan internasional yang dipengaruhinya.

Konsep Power dalam HI | The Journal of Taufiq Yasin Rosyadi (wordpress.com)

SEJARAH INTELEKTUAL "PAHAM


FEODALISME"
FEODALISME

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Intelektual

Dosen Pengampuh Dr. Suranto, M.Pd

Oleh

EVIE EKA YULIATI (120210302105)

Kelas B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JEMBER

2014

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada abad petengahan di Eropa yakni yang dimulai dengan runtuhnya Romawi dan berakhir pada
masa reinassanse abad ke-14, sekitar abad ke-3 Romawi pecah menjadi dua wilayah yakni Romawi barat
dan Romawi Timur, waktu-waktu tersebut merupakan permulaan munculnya perekonomian yang
biasanya kita sebut sistem feodalisme. Sistem feodalisme yang terjadi mengakibatkan munculnya kelas
penguasa, ningrat, borjuis, aristokrat dan kelas bawah yang terdiri dari buruh, petani dan hamba.
Sistem yang demikian menjadikan kelas bangsawan dan lain sebagainya untuk mengambil alih dan
memonopoli sistem perekonomian. Dalam feodalisme, tanah ibarat sumber kehidupan bagi para raja
dan bangsawan. Seluruh tanah dianggap milik raja dan keluarganya. Rakyat hanya meminjam sehingga
harus membayar pajak atau upeti dan sewaktu-waktu raja boleh mengambil kembali tanahnya jika ia
menginginkan. Akibatnya, patronase menjadi kelaziman yang tak bisa dihindari. Jika masyarakat ingin
hidup maka ia harus mengabdi pada penguasa tanah: raja, bangsawan dan tuan tanah. Petani dan
masyarakat mesti tunduk dan hormat kepada mereka.

Pada hakekatnya, sistem pemerintahan Negara Indonesia adalah demokrasi. Namun nilai-nilai
feodalisme itu kian bertahan dan berkembang dalam wujud neo feodalisme yang sebenarnya bertolak
belakang dengan paham dan prinsip demokrasi yang tumbuh pada persamaan. Sebuah fenomena dari
tradisi masa lalu yang membuat demokrasi di Indonesia seakan-akan kehilangan makna aslinya. Melihat
perkembangan feodalisme di Indonesia dan telah merusak nilai-nilai demokrasi, maka hal ini mendorong
penulis untuk mendalaminya karena sampai saat ini sistem feodalisme terus menjadikan masyarakat
hidup dalam ketakutan dan penderitaan yang berkepanjangan.

Akhirnya, alasan dalam penulisan makalah ini adalah bahwa penulis ingin memahami dan
mengetahui secara lebih mendalam tentang sistem feodalisme yang terjadi di Negara-negara Eropa dan
secara khusus sistem feodalisme yang terjadi di Negara Indonesia. Selain itu, tujuan yang hendak
dicapai dalam penulisan makalah ini adalah mengetahui apa itu sistem feodalisme yang terjadi di sebuah
Negara secara khusus Negara Indonesia, mengetahui perkembangan sistem feodalisme.

1.2.Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimanakah konsep dasar feodalisme itu?

1.2.2. Bagaimanakah perkembangan feodalisme di Negara-negara Eropa?

1.2.3. Bagaimanakah perkembangan feodalisme di Negara Indonesia?

1.2.4. Bagaimana pendapat Penulis mengenai feodalisme? Setuju atau tidak?

1.3.Tujuan

1.3.1. Untuk mengetahui konsep dasar tentang feodalisme

1.3.2. Untuk mengetahui bagaimanakah perkembangan feodalisme di Negara-negara Eropa

1.3.3. Untuk mengetahui bagaimanakah perkembangan feodalisme di Negara Indonesia

1.3.4. Untuk mengetahui pendapat Penulis mengenai feodalisme

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1. Konsep Dasar Feodalisme

Feodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan kalangan


bangsawan / monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan
pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra. Dalam pengertian yang asli, struktur ini disematkan oleh
sejarawan pada sistem politik di Eropa pada Abad Pertengahan yang menempatkan
kalangan kesatria dan kelas bangsawan lainnya (vassal) sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu
(disebut fief atau dalam bahasa Latin feodum) yang ditunjuk oleh monarki (biasanya raja atau lord).

Istilah “feodal” (dalam konteks Eropa) berasal dari kata Latin “feudum” yang sama artinya dengan
fief, ialah sebidang tanah yang diberikan untuk sementara kepada seorang vassal (penguasa bawahan
atau pemimpin militer) sebagai imbalan atas pelayanan yang diberikan kepada penguasa (lord) sebagai
pemilik tanah tersebut. Dalam hal ini feodalisme berarti penguasaan hal–hal yang berkaitan dengan
masalah kepemilikan tanah, khususnya yang terjadi di Eropa Abad Pertengahan.

Feodalisme merupakan system social ciri khas dari abad pertengahan, dari system itu melahirkan
masyarakat yang penuh dengan kekerasan, kebrutalan dan kesewenang-wenangan oleh sang
penguasa. Istilah feodalisme pertama kali dimunculkan di Perancis pada abad ke-16. Periode tersebut
sebagai pembeda periode tersebut dari modernitas.

Feodalisme adalah sebuah system pemerintahan yang dipegang oleh tuan feodal untuk menaungi
para vassal yang telah menyerahkan fief. Pemerintahan semacam itu disebut feodal system.

Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak pernah dipakai.
Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula
aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul
istilah "masyarakat feodal". Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi
negatif, oleh para pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas keadaan dan
dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas.

Foedalisme sebagai suatu sistem yang ada di Eropa dan terjadi pada sekitar abad IX-XII merupakan
system yang jauh dari demokrasi. Dari system tersebut dapat terbentuk dasar pemerintahan lokal,
pembuatan undang-undang, menyusun dan mengatur angkatan perang dan berbagai permasalahan
yang berhubungan dengan kekuasaan eksekutif. Pemerintahan ini otoriter dan itu dibuktikan dengan
doktrin feodal yang dikatakan bahwa seluruh tanah kerajaan beserta isinya itu berasal dari raja. Raja
sebagai pemilik tanah-tanah luas terbentang di wilayah kerajaannya.

Feodalisme juga dapat diartikan sebagai sistem pemerintahan yang dipegang oleh seorang
pemimpin dan mayoritas bangsawan, kekuasaan mutlak berada dibawah kuasa mereka dan memiliki
bawahan yang juga masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vasal dan
jumlah bawahan tersebut banyak. Para vasal ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan
para vasal pada gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi
mereka upeti.

Masyarakat feodal menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, dari hal tersebut membuat para
pemilik tanah sebagai pihak yang berkuasa dan menempati lapisan atas struktur masyarakat atas
dukungan petani lapisan terbawah. Di lapisan tengah terdapat pegawai kaum feodal dan pedagang.
Karena itulah tanah menjadi faktor produksi utama dan dapat disimpulkan bahwa yang menjadi inti
pembahasan dari feodalisme adalah Tanah menjadi sumber kekuasaan bagi para tuan feodal yang
memegang peranan penting pada zamannya. Seseorang dikatakan memiliki kekuasaan bila orang
tersebut memiliki modal utama berupa tanah yang kemudian berkembang menjadi wilayah. Sejarah
feodalisme adalah sejarah peradaban manusia itu sendiri, dimana manusia dari awalnya sudah haus
akan kekuasaan dan kedudukan.

Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, seringkali kata ini digunakan untuk merujuk
pada perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para penguasa yang lalim, seperti 'kolot',
'selalu ingin dihormati' atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'. Arti ini
sudah banyak melenceng dari pengertian politiknya.

Dari berbagai sudut pengertian tentang feodalisme, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi inti
pembahasan dari feodalisme adalah tanah, dimana manusia itu hidup. Tanah memegang peranan
penting pada zaman feodal, karena seseorang dikatakan memiliki kekuasaan bila orang tersebut memiliki
modal utama berupa tanah yang kemudian berkembang menjadi wilayah.

Feodalisme mulai tumbuh pada percampuran kebudayaan Roma dan Jerman. Tentu saja
percampuran kedua kebudayaan ini kemudian menimbulkan sebuah sistem baru yang disebut
feodalisme.

Unsur kebudayaan yang membentuk feodalisme adalah :

1. Budaya militer suku-suku bangsa Jerman, berupa kebiasaan para pemimpin pasukan untuk membagikan
rampasan perang kepada para prajurit sebagai imbalan atas pelayanan mereka. Pola ini merupakan
dasar hubungan feodal (lord-vassal)

2. Sistem kepemilikan tanah Romawi yang menjadi semakin penting ketika perdagangan mundur akibat
perang. Para petani miskin yang tidak mampu membayar pajak sering mengalihkan tanahnya kepada
bangsawan atau tuan tanah, yang kemudian meminjamkan tanah itu kepada para petani miskin untuk
dikelola. Pada praktiknya para petani yang terikat pada tanah yang bukan miliknya ini berkedudukan
setengah budak. Orang-orang Jerman lambat laun mengadopsi kebiasaan ini

Ada setidaknya empat komponen utama yang membentuk sistem feodal yaitu :

1. Lord adalah pemilik tanah, biasanya seorang bangsawan dari keluarga raja atau kalangan agamawan
(uskup, biarawan)

2. Vassal atau Knights adalah kaum bangsawan yang memberikan jasa (umumnya dalam bentuk dukungan
militer) kepada Lord dengan imbalan berupa tanah yang disewakan

3. Fief adalah tanah yang disewakan berupa lahan-lahan pertanian

4. Serf atau penggarap tanah ialah petani yang mengerjakan lahan pertanian dengan status setengah
budak

2.2. Perkembangan Feodalisme di Eropa

Abad pertengahan di Eropa Barat dicirikan oleh struktur total yang feodal (hubungan antara Vassal
dan Lord). Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai Paus dan pejabat agama lawuja. Kehidupan politiknya
ditandai oleh perebutan kekuasaan antar bangsawan.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, feodalisme adalah system sosial atau politik yang
memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan, system social yang mengagung-agungkan jabatan atau
pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja, system sosial di Eropa pada abad Pertengahan yang
ditandai oleh kekuasaan yang besar ditangan tuan tanah.
Dalam id.wikipedia.org, feodalisme adalah sebuah system pemerintahan dimana seorang
pemimpin, yang biasanya seorang bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan
bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vasal. Para vassal ini wajib membayar upeti
kepada tuan mereka. Sedangkan para vassal pada giliran ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi
mereka sendiri yang member mereka upeti.

Pertama kali Feodalisme muncul di Perancis dan Jerman pada abad ke-9 dan 10. Ini bertepatan
dengan gaya militer besar diselenggarakan oleh Normandia. Unsur-unsur rezim Romawi dipindahkan ke
feodalisme Eropa. Villa Roma dan tanah mereka diberikan kepada para pemimpin militer secara
sementara sebagai imbalan bagi loyalitas mereka ke Roma dan kaisar. Para militer memberikan mereka
pelayanan, terutama dalam hal militer, memberikan perlindungan. Ide-ide ini diadopsi di Eropa.
Bangsawan Eropa meningkatkan daya kerja dari hibah tanah dari raja dengan imbalan jasa militer, maka
lahirlah feodalisme Eropa.

Feodalisme adalah system pemerintahan pada tanah pinjaman dari seorang raja melalui sumpah
setia.

Vassal adalah penguasa local yang keberadaannya disahkan oleh raja, diangkat sebagai vassal
militer, bangsawan, gerejawan, pegawai pemerintahan. Veodum adalah tanah pinjaman. Homage
adalah upacara pengambilan sumpah seorang vassal oleh raja.

Latar belakang feodalisme antara lain :

1. Peristiwa 331 April

Peristiwa pemindahan Ibukota Romawi dari Rhoma ke Byzantium yang telah menyebabkan seluruh
fasilitas dari barat ke timur secara besar-besaran. Hal tersebut menyebabkan kekosongan pada wilayah
barat. Selain itu, ada etnis Bar-bar yang suka menjarah Negara-negara makmur. Missal: Pits, Scot,
Anglo, Frank, Slav berkeliling di seluruh wilayah Eropa. Mereka hanya mengganggu perbatasan.

2. Peristiwa 395

Pembagian Romawi menjadi dua wilayah, yakni barat dan timur. Dengan pembagian itu, seluruh
kepulauan dikuasai masing-masing, padahal Barat lebih luas sedangkan fasilitasnya minim.

3. Peristiwa 476

Diawali dengan runtuhnya Romawi Barat yang memberikan dampak yang luar biasa. Hal tersebut
dikarenakan tidak adanya perlindungan terhadap wilayah barat, maka bermunculan embrio vassal
(penguasa local yang mandiri). Vassal-vassal itu yang mendukung feodalisme.

4. Peristiwa 700

Sejak Romawi barat runtuh, keamanan di laut tengah tidak dapat dikuasai. Oleh karena itu, diambil
oleh pasukan muslim yang memasuki Eropa. Ekspansi itu mengakibatkan nelayan-nelayan pindah ke
pedalaman, hidup sebagai petani. Hal inilah yang mengakibatkan adanya dorongan feodalisme.

Perkembangan feodalisme di Eropa dapat dilihat dari segi struktur dan gereja antara lain :
1. Struktur

Pada awal feodalisme, struktur masyarakat dibedakan dalam :

Ø Bangsawan, biarawan

Ø Satria (kegiatan hanya latihan perang)

Ø Petani (mayoritas kehidupan masyarakat baik sebagai petani milik ataupun penggarap)

Ø Budak (tidak memiliki hak kemerdekaan, kehidupannya menggantikan posisi hewan)

2. Gereja

Mendominasi kehidupan masyarakat dalam semua aspek kehidupan tidak dapat dilepaskan dari
dogma gereja. Banyak konsep-konsep yang dilontarkan pakar gereja untuk masyarakat, missal :

Ø Jean Seitig

Ø Dies Seitig

Ø Momen to Mori

Ø City of God (yang mendasari kehidupan Eropa Abad tengah)

Ø Adanya pembelokkan gereja, yakni penjualan surat pengampunan dosa yang akhirnya ada pembaharuan

Pada tahun 1000, Feodalisme mencapai puncaknya yang ditandai dengan :

1. Perubahan status tanah dari kontrak menjadi milik pribadi vassal

2. Perang feodal, yakni peperangan antar kaum feodal baik di dalam suatu kerajaan maupun di luar
kerajaan, bahkan antar Negara vassal dengan pemerintah pusat

3. Perubahan struktur masyarakat (puncak feodalisme) yakni vassal, militer, pedagang, petani, buruh dan
budak

4. Muncul portus (embrio kota) dan gilda (organisasi seprofesi) yang dihimpun dibina sehingga seluruh
anggotanya professional di bidangnya. Gilda cakupannya sangat luas. Di kelompok pedagang sendiri,
kemudian muncul generasi baru yakni generasi intelektual.

Gereja juga memiliki pengaruh besar dalam membentuk feodalisme, meskipun pada dasarnya
organisasi gereja tidak berkarakter Feodal, hierarki yang agak sejajar dengan hierarki feodal. Sejak itu
muncul orang-orang kuat sebagai tuan tanah yang mengatur pemakaian tanah diwilayah kekuasaannya.
Kekuasaan mereka ditopang oleh bawahannya. System ini kemudian berkembang luas. Bangsawan
menjadi kelompok yang sangat istimewa dan melakukan regenerasi berdasarkan keturunan. Sesuai
dengan penelusuran ensiklopedia, feodal atau feudal merupakan satu istilah yang digunakan pada awal era
modern yakni abad ke-17 merujuk pada pengalaman.

System politik yang terbangun pada masa itu ditentukan oleh perpaduan antar para militer legal
maupun tidak atau warlord, tuan tanah, bangsawan raja yang lantas tersusun hierarki dalam masyarakat
yang khas : ada raja, ada bangsawan, tetapi juga ada pelayan dan budak (vassal). Kata kuncinya tetap
hierarki. Menurut fokusnya, kekuasaan politik bersifat local dan personal yang menghasilkan sesuatu
“dunia social dari klaim-klaim dan kekuasaan-kekuasaan tumpang tindih”. Beberapa diantara klaim-
klaim dan kekuasaan ini mengalami konflik dan tidak ada pemerintah atau Negara yang berdaulat dalam
arti yang paling tinggi di atas wilayah dan penduduk yang ada (Bull,1977, hlm.254). Dalam system
kekuasaan ini banyak dipenuhi ketegangan dan sering terjadi perang. Hierarki dari Eropa, Feodalisme
terjadi dengan mudah. Sebuah berbentuk hierarki piramida alam sudah dikembangkan dipimpin oleh
raja yang dikelilingi oleh bangsawan. Dorongan bagi negara-negara besar di Eropa untuk melawan dan
mendapatkan tanah baru dan wilayah menyebabkan hierarki feodalisme Eropa dan keunggulan
utamanya yaitu bahwa orang yang tidak berbangsa bisa menaiki piramida kekuasaan Feodalisme. Jika
seorang pria membuktikan dirinya dalam pertempuran dan sebagai pendukung setia, dia diberi hadiah
tanah (disebut perdikana) sebagai imbalan atas tanah pendukung setia atau bawahan akan supaya sumpah
setia dan memberi penghormatan kepada tuannya atau Raja.

Didunia abad pertengahan, ekonomi didominasi oleh pertanian dan kelebihan apa pun yang
dihasilkan menjadi sasaran klaim-klaim yang bersaing. Klaim yang berhasil menjadi dasar untuk
menciptakan dan mempertahankan kekuasaan politik. Tetapi jaringan kerajaan-kerajaan, para
pangeran, istri-istri para bangsawan dan pusat-pusat kekuasaan lainnya yang bergantung pada susunan
ini diperumit oleh munculnya kekuasaan-kekuasaan alternative di kota-kota kecil dan kota-kota besar.
Kota-kota dan federasi kota bergantung pada perdagangan dan manufaktur serta akumulasi modal yang
relative tinggi. Mereka mengembangkan struktur-struktur social dan politik yang berbeda dan sering
menikmati system-sistem pemerintahan independent yang ditentukan oleh para warganegara.

Dari sudut perkembangan demokrasi AP menghasilkan dokumen penting yaitu Magna Charta 1215.
Ia semacam contoh antara bangsawan Inggris dengan Rajanya yatu John . Untuk pertama kali seorang raja
berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak bawahannya.

Sistem sosial yang berkembang pada masyarakat feodal Eropa umumnya terbentuk dengan sistem
manor. Manor meliputi sebidang tanah yang luas milik seorang bangsawan atau gereja. Manor
merupakan suatu kesatuan sosial dan politik, dimana pemilik manor bukan hanya menjadi tuan tanah,
tapi juga sebagai penguasa, pelindung, hakim dan kepala kepolisian. Walaupun bangsawan ini termasuk
dalam suatu hierarki yang besar, dimana dia menjadi hamba dari bangsawan yang lebih tinggi, tapi
dalam batas-batas manornya dia merupakan tuan tanah. Dia adalah pemilik dan penguasa yang tak
diragukan lagi oleh orang-orang dan budak-budak yang hidup di manornya. Orang yang hidup diatas
tanahnya dianggap oleh tuan tanah sebagai miliknya sebagaimana halnya rumah, tanah dan tanaman.
Di sekeliling rumah bangsawan terdapat ladang rakyat yang telah dibagi-bagikan luasnya (satu) 1 atau 1
½ hektar. ½ atau lebih dari hasil ladang ini menjadi milik tuan tanah, sedangkan sisanya untuk orang
yang menggarapnya yang terdiri dari orang merdeka dan budak belian. Disini terjadi ketimpangan
antara budak belian dan tuan tanah.

Orang merdeka atau dalam kalangan apapun seseorang dilahirkan, orang yang merdeka yang
memiliki sendiri tanahnya tak dapat menjualnya pada tuan tanah yang lain. Pemilikannya sebenarnya
berarti bahwa dia tidak dapat diusir dari tanahnya, kecuali dalam keadaan darurat. Orang yang lebih
rendah dari budak tidak mempunyai hak ini. Seorang budak belian terikat pada tanah yang
dikerjakannya, tanpa ijin dan keterangan yang kuat, dia tidak akan diijinkan untuk meninggalkan baik
masih dalam batas-batas manor tuannya maupun pada manor bangsawan lainnya. Berdasarkan
statusnya, timbul serentetan kewajiban-kewajiban yang menjadi dasar dari organisasi ekonomi manor.
Kewajiban-kewajiban ini dapat berupa keharusan bekerja untuk tuan tanah dan lain sebagainya.
Kewajiban ini berbeda-beda antara manor yang satu dengan manor lainnya, pada tempat-tempat
tertentu mereka harus bekerja lima hari dalam seminggu untuk tuan tanahnya, sehingga tanahnya
sendiri dikerjakan oleh keluarganya (anak dan istrinya) dan akhirnya budak belian juga harus membayar
beberapa macam pajak seperti pajak kepala, pungutan kematian, pajak kawin atau iuran untuk
pemakaian pabrik atau tungku. Jika budak belian memberikan tenaganya untuk tuan tanah, maka
sebagai imbalannya si tuan tanah memberikan sesuatu yang tidak dapat diusahakan sendiri oleh sang
budak, yang utama yaitu menjamin keamanan fisik.

2.3. Perkembangan Feodalisme di Indonesia

Di Indonesia, praktek feodalisme ini dapat ditemukan dalam kehidupan kerajaan-kerajaan. Para
raja, permaisuri, putri dan pangeran bersikap jumawa, kalangan priyayi bersikap anggun dan congkak
terutama pada kalangan rakyat jelata yang dianggap kastanya berada satu level di bawahnya, baik dari
segi warna darah (darah mereka biru berkilau, sedang darah rakyat berwarna merah kecoklatan),
maupun dari segi status sosial (harta dan lingkungan pergaulan). Sistem sosial saat itu membagi umat
manusia dalam dua kelas yaitu kelas raja atau para priyayi (government) dan kelas rakyat jelata (the
governed). Pengkotakan ini berlaku selamanya. Jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan hanya
dipegang oleh para priyayi. Dalam strata sosial interen kerajaan, priyayi ada yang termasuk pada
golongan tinggi dan golongan rendah. Priyayi tinggi terutama mereka yang menjabat pemerintahan
pada struktur jabatan tinggi misalnya Bupati, sedangkan priyayi rendah adalah mereka yang menduduki
jabatan pemerintahan pada strata yang rendah misalnya wedana.

Kalangan priyayi akan seterusnya secara turun temurun menjadi pemerintah; sementara kalangan
rakyat akan selamanya menjadi abdi, punakawan yang diharuskan untuk selalu tunduk dan sembah
sungkem pada kalangan pamong praja. Negara, dalam sistem ini, adalah milik kalangan ningrat yang
berdarah biru; dan adalah kewajiban rakyat berdarah merah coklat tua itu untuk tunduk dan selalu
bertekuk lutut di depan kaki para ningrat.

Hubungan seperti ini dalam pandangan masyarakat Jawa di masa lalu adalah hubungan gusti-
kawula. Raja adalah gusti dan rakyat adalah kawula. Hubungan patrimonial ini membuat rakyat harus
selalu tunduk dan patuh terhadap apa yang diperintahkan oleh penguasa. Sebaliknya penguasa memiliki
kewajiban untuk melindungi rakyat. Walaupun dalam prakteknya, rakyat lebih banyak harus melakukan
kewajibannya kepada penguasa. Feodalisme di masa kerajaan-kerajaan tradisional Indonesia ini mirip
yang terjadi dengan feodalisme yang terjadi di Barat abad pertengahan.

Dalam melaksanakan pemerintahan dan melanggengkan kekuasaannya di Indonesia, Pemerintah


Kolonial menerapkan system pemerintahan tidak langsung yang memanfaatkan system feodalisme yang
sudah berkembang di Indonesia. Ciri khas feodalisme adalah ketaatan mutlak dari lapisan paling bawah
terhadap atasannya. Hubungan antara para kolonialis dengan para feodal adalah hubungan yang saling
memanfaatkan dan saling menguntungkan, sedangkan rakyatlah yang menjadi objek penindasan dan
penghisapan dari kedua belah pihak.

Dikarenakan penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh para
pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk
tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas. Sistem sosial seperti ini juga dapat kita temukan di Indonesia .
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk pada
perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para penguasa yang lalim, seperti 'kolot', 'selalu
ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'. Arti ini sudah
banyak melenceng dari pengertian politiknya. Seorang antropolog Amerika, Clifford Geertz,
menggolongkan masyarakat Jawa kepada tiga golongan, yaitu priyayi, santri dan abangan. Golongan
priyayi inilah yang menduduki posisi bangsawan.

Seperti yang kita ketahui feodalisme adalah sebuah faham dimana adanya pengakuan sistem kasta,
dalam feodalisme sistem kasta masih dipertahankan namun berubah bentuk menjadi penguasa dan
kaum elite. Neo feodalisme adalah feodalisme modern. Di Indonesia neo-feodalisme masih ada dan
berkembang dalam sistem pemerintahan dan telah menjadi budaya yang tak bisa dipisahkan dari
kehidupan Negara kita. Feodalisme terlahir dari adanya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia. Sejarah
membuktikan bahwa Hinduisme telah dominan di Nusantara ini sebelum datangnya Islam dan
kolonialisme, karena memang Kerajaan Hindulah yang tertua berkuasa di Nusantara ini. Sistem yang
melekat dalam Kerajaan Hindu adalah sistem feodalisme. Pengelompokan manusia sesuai dengan
derajatnya tersebut.

Feodalisme yang terjadi pada zaman Kerajaan Hindu adalah pembagian kasta dan menguasai
Nusantara sekitar 10 abad lamanya. Feodalisme pun membekas keras dalam benak manusia Indonesia,
pengaruhnya pun tidak mudah dihapus begitu saja, sehingga feodalisme masih ada dan berubah
menjadi neo-feodalisme menjelang abad ke 21 ini. Contoh dari unsur feodalisme yang menonjolkan
tentang jenjang atau tingkat masyarakat seperti apabila ada seorang menteri atau pejabat mengadakan
pesta pora pernikahan anaknya, seluruh karyawan atau “balakeningratannya” akan ikut serta dalam
kegiatan tersebut, mereka diberi seragam sesuai dengan fungsi dan derajatnya, ada yang menjadi ketua
panitia, penerima tamu tertentu, penerima tamu biasa dan seterusnya (contoh konkritnya seperti
pernikahan Ibas dan Aliya). Dengan kata lain manusia Indonesia itu terbiasa dengan pengkotak-
kotakkan dalam fungsi dan derajatnya sebagai karyawan dan juga sebagai pelayan “Bapak” seperti
lazimnya dalam sistem feodalisme.

Selama 32 tahun manusia Indonesia pun seperti di “brain-washed” (Cuci otak keadaannya) oleh
yang berkuasa melalui berbagai tradisi patuh pada pemimpin. Seperti telah dikemukakan terdahulu
dalam sistem feodalisme kuno rakyat berorientasi ke atas ialah sang raja yang dianggap keturunan dewa
yang bersifat keramat dan yang merupakan puncak dari segala hal dalam Negara dan merupakan pusat
dari alam semesta.

2.4. Pendapat Penulis Mengenai Feodalisme (Setuju atau Tidak)


Saya setuju mengenai feodalisme ini, karena saya menganggap jika tidak ada kaum penguasa
tanah, kaum petani / buruh pasti tidak dapat bertahan hidup. Pada masa system feudal ini, kaum buruh
harus sangat berterimakasih kepada kaum bangsawan karena atas jasanya, ia dapat bertahan hidup
memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama anggota keluarganya. Jika tidak ada kaum penguasa tanah,
dipastikan kaum buruh tidak dapat bertahan hidup tanpa bantuan tuan tanah.

Mengenai pemilik tanah, sebenarnya pemilikan tanah / penguasaan tanah tersebut hanya bersifat
pinjaman dan diperoleh pada saat upacara pemberiaan kekuasaan atas tanah. Dalam perkembangan
selanjutnya, tidak hanya tanah yang dipinjamkan melainkan juga pangkat dan kedudukan yang lama-
kelamaan bersifat turun-temurun. Jelas dalam hal ini sangat bermanfaat sekali bagi kaum bangsawan
tersebut, karena selain tanah yang dapat dipinjamkan, pangkat dan kedudukan juga dapat di pinjamkan,
apalagi bersifat turun-temurun dan hal itu juga sangat bermanfaat bagi keturunan kaum bangsawan
kelak. Jadi sudah pasti keturunan kaum bangsawan sudah dijamin hidupnya dikemudian hari. Selain itu
kaum bangsawan juga dapat diuntungkan karena system feudal ini mengangung-agugkan jabatan,
sehingga meskipun dalam bekerja tidak terdapat prestasinya, yang terpenting adalah pangkat dan
jabatan.

Jadi dapat dijelaskan secara sederhana bahwa feodalisme adalah 1) system social atau politik yang
memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan; 2) system social yang mengagung-agungkan
pangkat. Sehingga dalam system feodal ini termasuk system simbiosis mutualisme karena antara kedua
belah pihak (kaum bangsawan dan buruh) saling diuntungkan. Tanpa tuan tanah, kaum buruh tidak
dapat bertahan hidup, karena hidup kaum buruh sangat bergantung pada tuan tanah, sehingga dapat
dikatakan bahwa tuan tanah dapat mensejahterakan nasib buruh. Untuk tuan tanah sendiri, mereka
dapat keuntungan dengan mendapatkan pinjaman berupa tanah yang kemudian mendapatkan pangkat
dan kedudukan secara turun temurun, sehingga jelas keturunan tuan tanah kelak akan mendapatkan
nasib yang baik dan jelas seperti para tetuanya.

BAB 3 PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Secara umum sistem feodal yang terjadi pada abad pertengahan, yang mana suatu sistem dalam
masyarakat saat itu terdapat dua kelas sosial yaitu kelas penguasa tuan tanah dan kelas pekerja yakni
para budak belian. Hubungan diantara tuan tanah dengan hambanya sering bersifat eksploitasi yang
ekstrim. Tapi pada dasarnya masih terlihat suatu hubungan yang saling menguntungkan, masing-masing
pihak memberikan imbalan-imbalan yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan dalam
keadaan dimana organisasi dan stabilitas politik sudah tidak terorganisir lagi.
Feodalisme memang berlangsung di abad pertengahan dari peradaban bangsa Barat dengan ciri
khasnya yaitu hierarki militer berbentuk piramida dengan raja sebagai puncak piramida, disusul kaum
bangsawan, rakyat jelata dan budak belian. Sementara sekarang, feodalisme mengambil bentuk yang
baru yang sering disebut neo feodalisme di mana kekuasaan berada di tangan sekelompok orang yang
diwadahi suatu faksi atau partai politik.

Sebagai sebuah ideology, feodalisme telah hidup dalam waktu yang cukup lama walau dalam
perkembangannya di beberapa kurun waktu, tempat dan kebudayaan yang berbeda, ia mendapatkan
nuansa-nuansa yang juga berbeda. Di Indonesia, feodalisme menjadi sebuah bentuk “pemberangusan”.
Setidaknya ada tiga hal yang diberangus oleh feodalisme ini,yaitu 1) daya kritis; 2) daya kreatif; 3) sikap
fundamentalisme. Feodalisme tidak hanya berkembang di Eropa, bahkan praktek feodalisme di Cina
berkembang pada jauh abad sebelum masehi. Selain itu, di Indonesia sendiri feodalisme pertama kali
berkembang pada masa kerajaan Hindu dengan pembagian kasta-kasta.

Anda mungkin juga menyukai