Anda di halaman 1dari 3

Soft Power ( Joseph Nye )

Konsep soft power dikenalkan pertama kali oleh Joseph Nye dalam artikelnya yang
muncul dalam jurnal Foreign Policy pada 1990an. Konsepnya tentang soft power kemudian
dituangkan lebih mendalam dalam bukunya yang berjudul Soft Power: The Means to Success
in World Politics (2004), dan The Paradox of American Power (2002).
Menurut Nye, kekuasaan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua bagian: soft
power dan hard Power.
Soft Power adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan melalui
atraksi daripada paksaan atau pembayaran. Ia muncul dari daya tarik negara budaya, cita-cita
politik, dan kebijakan. Ketika kebijakan kami dilihat sebagai sah di mata orang lain, soft
power kita ditingkatkan. "
Soft Power termasuk propaganda, tetapi jauh lebih luas. Hal ini jauh lebih dari "citra,
hubungan masyarakat dan popularitas singkat." Ini merupakan kekuatan yang sangat nyata -
kemampuan untuk mendapatkan tujuan. Konsep-konsep ini dikembangkan lebih panjang
lebar dalam buku sebelumnya, lihat, Nye." Paradox dari American power, "yang harus dibaca
dengan resensi buku.
Dan Nye memberikan contoh beberapa patut diperhatikan luas dan pengaruh yang
lembut kekuasaan AS. cita-cita politik Amerika baik dipengaruhi Eropa setelah PD-
II. Mahasiswa Cina yang berdemonstrasi di Tiananmen Square menggunakan replika Patung
Liberty sebagai simbol, dan baru dibebaskan Afghanistan meminta salinan Bill of Rights.
Soft Power dalam politik internasional muncul dari faktor samar-samar tetapi sangat
nyata seperti nilai-nilai yang dominan, praktik dan kebijakan internal, dan cara melakukan
hubungan internasional. AS selalu memegang soft power yang signifikan karena
kemampuannya untuk menginspirasi mimpi dan keinginan orang lain.
Banyak sekali konsep kekuasaan (power) yang bisa ditemui di buku-buku studi
hubungan Internasional. Ada banyak cara untuk melihat kekuatan sebuah negara.
Perekonomian, kekuatan militer, luas wilayah, merupakan beberapa variabel yang biasa
digunakan untuk mengukur kekuatan sebuah negara.
Hard power adalah kontrol atas pikiran dan tingkah laku seseorang didasarkan atas
adanya mekanisme hukuman dan penghargaan.
Dalam artikelnya yang berjudul The Velvet Hegemon (jurnal Foreign Affair, 2003),
Nye menyebutkan beberapa variabel yang bisa dikonversikan sebagai soft power sebuah
negara. Variabel tersebut antara lain, daya tarik budaya (termasuk juga nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, idealisme politik, kebijakan atau kemampuan suatu negara untuk
memanipulasi agenda politik negara lain, kredibilitas, serta legitimasi.
Bila berbicara mengenai gagasan tentang soft power, dimana seolah-olah bagi negara
seperti Indonesia yang tidak memiliki modal ekonomi dan militer yang kuat, kemudian
berusaha mencari sisi lain dari kekuatan nasional yang dimiliki, dalam konteks bahwa soft
power itu adalah kemampuan suatu bangsa atau negara untuk menggunakan kekuatan-
kekuatan yang tidak bersifat militer ataupun hard power dalam rangka untuk meyakinkan
ataupun mencapai tujuan nasionalnya di luar negeri.
Dalam hal ini umumnya orang menggunakan misalnya kekuatan budaya, daya tarik
negara itu bagi negara lain dan sebagainya. Namun soft power apapun yang kita miliki
terutama dalam konteks Indonesia, itu tidak akan berarti banyak kalau tidak di back up atau
di support oleh hard power yang memadai, terutama dalam konteks kekuatan ekonomi dan
tentunya juga pertahanan ataupun militer yang diperhitungkan orang, karena soft
power semata-mata saja tidak akan pernah cukup untuk mencapai tujuan-tujuan polugri.
Dalam konteks Indonesia, daya tarik budaya merupakan salah satu sumber soft power
bangsa ini. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar namun beraliran moderat, Indonesia
memiliki modal ini. Selain itu, keanekaragaman budaya dan kearifan lokal juga turut
berkontribusi memperkuat soft power bangsa ini.
Selain itu, sebagai salah satu pendiri ASEAN Indonesia memiliki kredibilitas regional
sebagai salah satu “pemain” dalam kancah global. Terlebih lagi ketika Indonesia terpilih
sebagai tuan rumah Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Desember yang akan
datang. Terpilihnya Indonesia secara tidak langsung memberikan legitimasi terhadap kita
untuk menjadi salah satu pemain dalam pembahasan isu ini.
Jadi kesimpulannya adalah ilusi kalau misalnya Indonesia hanya ingin
mengedepankan soft power didalam menjalankan diplomasi tanpa kemudian juga berupaya
untuk menguatkan hard power baik ekonomi maupun militer, yang justru menjadi pondasi
dari efektif atau tidaknya soft power sebuah negara. Soft power dan hard power itu hanya
masalah pemilihan penggunaan, ist the matter of choice. Which dimention dari power itu
yang mau dipergunakan untuk kepentingan yang mana, jadi tidak ada suatu negara yang
karena dia lemah, kemudian terus-menerus menggunakan soft power, bisa habis juga dia.

Kekuatan militer dan ekonomi merupakan contoh dari hard power. Selain kekuatan
militer dan ekonomi, sesungguhnya masih ada “jalan tidak langsung” (indirect ways) yang

dapat diambil untuk meningkatkan kekuasaan sebuah negara. Sebuah negara dapat meraih

tujuan-tujuannya dalam perpolitikan internasional karena negara-negara lain menyukai nilai

dan cita-cita negara tersebut. Sebagai contoh, negara yang memiliki kekuatan militer dapat

mengancam negara lain, sedang negara yang memiliki kekuatan ekonomi dapat memberikan

imbalan dan bantuan demi tercapainya kepentingan negara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai