Oleh:
1. Pendahuluan
1Dr. Muhammad AS Hikam adalah Ketua DAS-BIN periode 2013 – Agustus 2015
2Yunus, Muhammad. Kajian Konsep Stabilitas Nasional Terhadap Pengaruh Lingkungan Strategis,
diakses di portal Lemhannas RI, 2013
1
Perdebatan tersebut masih terjadi baik di kalangan eksekutif dan
legislatif, maupun di kalangan peminat dan pemerhati masalah keamanan.3
Hubungan yang belum optimal antar TNI-Polri-MSI tentunya akan berdampak
signifikan terhadap kondisi stabilitas bangsa sekarang ini. Stabilitas tentu
akan terganggu apabila tiga komponen ini masih belum menemukan format
kerjasama terbaiknya, ditambah lagi semakin berkembang dan bervariasinya
ancaman di era globalisasi.
2
Konsep stabilitas nasional dapat dirunut ke belakang pada era Orde
Baru di bawah Presiden Soeharto yang menekankan urgensi stabilitas
nasional untuk memungkinkan berlangsungnya proses pembangunan
nasional, dimana titik tekannya ada pada pertumbuhan ekonomi. 6 Rezim
Orba, yang dikenal menganut paradigm pembangunanisme
(developmentalism) percaya bahwa pertumbuhan ekonomi akan mampu
memperbaiki kehidupan rakyat Indonesia, memperkuat ketahanan negara,
dan mampu beradaptasi dengan perkembangan lingkungan strategis. Dalam
konteks Indonesia pasca-reformasi dan perkembangan mutakhir dalam
lingkungan strategis seperti terjadinya globalisasi, demokratisasi, penegakan
HAM, dan dinamika ancaman pada tataran nasional dan internasional, telah
memperluas cara pandang yang ada dan mempengaruhi perkembangan
konsepsi stabilitas nasional.
Isu stabiltas nasional saat ini, tidak lagi sebatas negara sebagai objek
yang harus dijaga, tetapi juga harus menjaga dan melindungi rasa aman
warga negaranya sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD
1945. Ada delapan aspek yang perlu ditinjau untuk mengamankan stabilitas
nasional, yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-
keamanan (hankam), aspek geografi, demografi, sumber kekayaan alam. 7
Kesemuanya adalah kekuatan negara yang dinamakan Astagatra yang
dipercaya mampu menjaga stabilitas nasional. Astagatra sendiri
memperlihatkan soliditas serta gabungan kekuatan militer dan sipil untuk
menjamin keberlangsungan hidup bernegara.
Oleh karena itu, kekuatan militer dan sipil tidak terlepas dari cerminan
sinergi TNI-Polri-MSI. Ketiga komponen tersebut masing-masing memberikan
kontribusi besar bagi elemen kekuatan bangsa (Astagatra) untuk menjamin
dan mengamankan stabilitas nasional. Tidak dipungkiri saat ini negara
menghadapi berbagai ancaman yang sifat dan bentuknya berubah dan
semakin berkembang. Hal ini jelas berbahaya bagi kondisi stabilitas nasional
yang dapat terganggu apabila tidak didukung oleh sinergi ketiga komponen
tersebut
6 Rochman, Abdul. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan saya, 1989, hlm 256
7 Ibid.
3
3. Dinamika Ancaman Yang Terus Berkembang
Sejak tahun 1990 hingga saat ini, eskalasi ancaman menguat dan
meresahkan baik berupa spionase, insurgensi, aksi-aksi terorisme maupun
kejahatan siber (cyber crime). Target serangannya tidak hanya negara tetapi
juga kepentingan masyarakat umum dan perorangan, data dan informasi,
sarana dan prasarana dengan dampak yang sangat luas meliput bidang
ekonomi, sosial, politik, dan hankam, yang pada akhirnya akan mengganggu
stabilitas nasional.
4
Tipologi Ancaman Abad Modern
5
professional. Sedangkan, sinergi berasal dari bahasa inggris synergy, yang
memiliki makna ”a mutually advantageous conjunction or compatibility of
distinct business participants or elements (as resources or efforts)”. 10 Sinergi
merupakan gabungan atau perpaduan dua unsur atau lebih yang berbeda
yang dapat menghasilkan keuntungan lebih besar dari pada penjumlahan
unsur-unsur tersebut jika berdiri sendiri-sendiri.
Pertahanan Negara..
13 Lihat tugas dan wewenang Polri dalam UU No. 2 Tahun 2002 Pasal 13
6
maupun horisontal. Polri yang tugasnya didukung dengan UU No. 7 Tahun
2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, memiliki tanggung jawab dan
wewenang untuk menghindari rasa ketidakamanan dan disintegrasi sosial
yang dapat mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan
nasional.
Sinergi TNI dan Polri sebagai alat negara semestinya juga didukung
oleh birokrasi sipil baik di tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan
Kelurahan yang masing-masing memiliki peran dalam pembangunan sosial-
ekonomi. Birokrasi sipil memiliki peran sebagai agen perubahan
pembangunan, terutama di daerah-daerah dimana kekuatan masyarakat sipil
masih belum memadai. Tentunya peran ini didukung dengan beberapa
peraturan perundang-undangan yang memiliki tujuan meningkatkan
pembangunan dan perekonomian yang berpengaruh pada stabilitas nasional.
Sedikitnya ada lima regulasi birokrasi sipil yang dapat digunakan sebagai
landasan memperkuat stabilitas nasional, yaitu (1) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025;
(3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik; (4)
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 Tentang
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025; dan (5) Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20
Tahun 2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010 – 2014.
7
Sinergi TNI-Polri-MSI Untuk Stabilitas Nasional
sumber: Penulis
8
fenomena di negara-negara berkembang, khususnya yang mengalami transisi
dari rezim militer ke rezim demokratis, seperti Indonesia, yang mencoba
mengadopsi dan melaksanakan prinsip civilian supremacy.14
Dapat dikatakan bahwa kondisi sinergi TNI-Polri saat ini masih perlu
ditingkatkan dan merupakan permasalahan strategis yang perlu menjadi
14 Choirie, Effendy. Menata Kembali Hubungan TNI-Polri Dalam Konteks Pertahanan dan
Keamanan, 2008
15 Perwita, Bayu. Masalah-masalah Hubungan TNI-Polri Untuk Penanganan Terorisme dan
9
perhatian serius. Adanya “kemesraan” yang sering diperlihatkan oleh para
petinggi TNI dan Polri di media masa sesungguhnya belum mencerminkan
apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Bukti lemahnya sinergi tersebut
dapat dilihat, misalnya, dari seringnya terjadi bentrokan kedua institusi
tersebut. Menurut Ketua Indonesian Police Wach (IPW), ada kurun waktu
hampir satu dasawarsa terakhir (2005-2014) telah terjadi 37 kali bentrokan
TNI-Polri dan sudah menewaskan setidaknya 11 orang. 16 Penyebabnya
bermacam-macam, mulai dari kesalahpahaman, ketersinggungan, saling
menghina, motif balas dendam, dan sampai pada rebutan sumber ekonomi.
10
7. Pada 20 Nopember 2014, Anggota Brimob Polda Sumut, Brigadir Beni
Sihombing (32) tewas ditikam oleh seorang personel TNI di Binjai.
11
peraturan perundangan (mulai dari Tap MPR nomor VI/MPR/2000, Tap MPR
nomor VII/MPR/2000, UU Hanneg, nomor 3/2002 dan UU TNI no. 34/2004)
dan Doktrin TNI Tridharma Eka Karya (Tridek), reformasi kemudian
diimplementasikan dengan berkesinambungan oleh pimpinan TNI dan
jajarannya selama lebih dari satu dasawarsa terakhir. Hasil yang signifikan,
antara lain adalah perubahan-perubahan pada tataran paradigmatik,
struktural, dan fungsional di seluruh jajaran TNI. Perwujudan kongkritnya
antara lain adalah dalam penghapusan dwi-fungsi, penarikan diri dari
keterlibatan politik praktis dan bisnis, dan pemfokusan pada fungsi sebagai
kekuatan utama dalam bidang pertahanan negara.
Respon dari MSI pada umumnya cukup positif terhadap TNI pada era
pasca-reformasi, walaupun kritik tajam dari berbagai organisasi masyarakat
sipil Indonesia (OMSI), khususnya LSM-LSM, masih cukup sering dijumpai
terkait dengan akselerasi, progress, dan kualitas reformasi militer tersebut.
Masih belum tuntasnya berbagai persoalan terkait dengan keterlibatan tokoh-
tokoh militer dalam pelanggaran HAM berat, lambatnya proses pelaksanaan
pengambilalihan bisnis TNI karena resistensi terhadapnya, kasus-kasus
konflik dengan warga negara terkait masalah tanah, keterlibatan para mantan
tokoh militer dalam parpol, dan berbagai kasus konflik antara anggota TNI
dengan Polri, adalah beberapa persoalan yang masih mengemuka dalam
wacana publik sampai sekarang.
Meskipun sampai saat ini belum ada penelitian yang komprehensif dan
secara sistematis membahas persoalan sinergi antara militer dengan MSI,
namun secara umum dapat dikatakan bahwa citra TNI di hadapan publik
semakin baik. Hal ini agak berbeda apabila dibandingkan dengan TNI di era
Orde Baru yang dicap sebagai kekuatan tunggal dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya yang sarat dengan arogansi. Kasus-kasus pelanggaran
HAM yang dulu identik dengan TNI di era Orba kini sudah jarang terjadi lagi.
18 “Citra TNI di Mata Masyarakat”, oleh Ikrar Nusa Bakti dilansir di….
12
kepada anggota MSI untuk ikut berkontribusi langsung dalam mengelola
pertahanan negara. Dengan demikian hal ini sebenarnya memperkuat sistem
pertahanan Indonesia yang bersifat semesta, yaitu mencakup peran militer
dan sipil dalam usaha pertahanan negara. Selain itu, mengakui prinsip
supremasi sipil juga memberikan bukti bahwa militer tidak alergi dengan
pengawasan MSI yang sesuai dengan aturan perundang-undangan di
Indonesia.
Ada empat alasan penting bagi TNI untuk keluar dari politik praktis,
yaitu: 1) TNI menyadari bahwa politik dapat membuat perpecahan dan
fragmentasi di tubuh internal TNI. Pertarungan dan keterlibatan militer dalam
politik telah melahirkan berbagai bentuk konflik yang mengancam kehidupan
MSI secara keseluruhan; 2) TNI menyadari apabila sibuk dengan urusan
politik maka hal ini akan menjauhkan TNI dari tugas pokoknya sebagai alat
pertahanan negara. Kader-kader terbaik TNI yang seharusnya dapat
dimanfaatkan dalam upaya profesionalisme TNI akan banyak tersedot ke
wilayah politik; 3) Probabilitas penyalahgunaan status militer dalam proses
memenangkan pertarungan politik sangat tinggi, yang dimana hal ini sangat
berpotensi terjadi pelanggaran HAM di kehidupan MSI; dan 4) TNI menyadari
bahwa mereka adalah kekuatan utama Pertahanan Negara yang berfungsi
ikut mengawal kehidupan berdemokrasi dan bukan pihak yang melakukan
praktek intervensi politik melalui paradigma lamanya ketika di era Orde
19
Baru. Keempat hal inilah yang membuat TNI dengan cepat dapat
mengambil jarak dari politik karena menyadari bahwa hal-hal tersebut dapat
kontra produktif baginya.
19 “Satu Dekade: Keberhasilan Reformasi TNI Terbebani Paradigma Orde Baru”, Kontras, 2008
13
Reformasi dan demokratisasi juga meniscayakan TNI melepaskan
aktivitas bisnisnya untuk diambil alih oleh Pemerintah. Hal ini dinyatakan
melalui UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, dalam pasal 76 ayat 1 (satu)
dengan jelas disebutkan “dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya
undang-undang ini, pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis
yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak
langsung”. Tiga argumen penting yang mengharuskan TNI keluar dari sektor
bisnisnya adalah pertama, kebebasan TNI untuk memiliki sumber-sumber
dana lain menyebabkan melemahnya kemampuan pemerintah untuk
menetapkan tujuan nasionalnya. Kedua, waktu dan tenaga yang diserap
dalam melaksanakan aktivitas bisnisnya mengalihakan perhatian TNI dari
tugas kenegaraan. Dan ketiga aktivitas bisnis militer menciptakan distorsi
dalam ekonomi dan menghambat pertumbuhan nasional karena ada potensi
eksploitasi beberapa sumber daya secara khusus oleh TNI.20
Di lain pihak, relasi Polri dengan MSI sampai saat ini masih tetap
menunjukkan kecenderungan yang kontraproduktif bagi upaya membangun
dan memperkuat sinergi antara keduanya. Walaupun Polri di era reformasi
telah dilepaskan dari TNI, sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan
20 Ibid.
14
perundang-undangan (UU no. 2/2002 tentang Kepolisian Negara, UU no.
3/2002 tentang Hanneg), namun dalam perjalanannya sampai sekarang,
persepsi publik terhadap Polri mengalami stagnasi, kalau tidak bisa disebut
penurunan yang tajam. Hal ini sangat memprihatinkan karena Polri, berbeda
dengan TNI, justru memiliki afinitas yang lebih dekat dengan MSI karena
fungsinya sebagai alat negara yang terkait dengan keamanan dan ketertiban
umum. Polri bukan saja menjadi aparat penegakan hukum, tetapi juga sangat
erat bersinggungan dengan dinamika sosial dan budaya dalam masyarakat.
21 “10 Penyebab Buruknya Citra Polri di Mata Masyarakat”, diakses di portal Kasfo.Brangkas
Informasi
22 “Kepolisian dan DPR, Lembaga Paling Korup di Indonesia”, diakses di portal Kompas, Juli, 2013
15
Bahkan di tahun 2015, menurut survei lembaga kajian nonprofit Populi
Center, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kepolisian RI tetap dianggap sebagai
lembaga terkorup. Sebanyak 39,7 persen responden mengatakan DPR
sebagai lembaga negara terkorup, disusul dengan institusi Kepolisian RI
sebesar 14,2 persen. Survey dilakukan secara nasional di 34 provinsi di
Indonesia melalui wawancara tatap muka dengan 1.200 responden yang
dipilih secara acak.23 Hasil survei-survei seperti inilah yang secara tidak sadar
justru memantapkan MSI untuk semakin tidak percaya dan tidak puas dengan
Polri, terlepas dengan prestasi-prestasi yang sebenarnya telah dilakukan Polri
dalam menjaga keamanan.
Terakhir, sebagai indikator lemahnya relasi Polri dan MSI bisa dilihat
pada beberapa hasil jajak pendapat (survey) tentang kepercayaan publik
terhadap aparat kepolisian pada April 2015. Salah satunya adalah jajak
pendapat yang dirilis oleh Kompas yang menunjukkan bahwa dari waktu ke
waktu opini publik tentang kinerja dan citra Polri cenderung pada
ketidakpercayaan ketimbang apresiasi positif. Laporan pengaduan MSI
meningkat hingga 17%, dari 668 pelaporan (2013) menjadi 778 pelaporan
(2014). Materi yang dilaporkan masyarakat beragam, mulai dari buruknya
pelayanan, keberpihakan penanganan perkara, proses penyidikan yang
berbelit-belit, hingga arogansi polisi. Dari semua kasus yang masuk,
terbanyak adalah pengaduan terkait proses yang berlarut-larut,
penyimpangan prosedur, dan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.
Penjabarannya dapat dilihat pada diagram di bawah24
23 “Survei Populi: DPR dan Polri Lembaga Terkorup”, diakses di portal CNN Indonesia, Januari,
2015
24 “Harapan Publik Kepada Polri”, dilansir dari Harian Cetak Kompas, April, 2015
16
Dari gambaran diagram di atas dapat diasumsikan bahwa upaya Polri
dalam menegakkan hukum di Indonesia masih dianggap kurang oleh
sebagian besar MSI, yaitu 55% tidak puas. Upaya penegakan hukum jelas
mencerminkan kewibawaan Polri sebagai aparat keamanan di mata publik,
namun sepertinya justru Polri masih mengalami kendala dalam mewujudkan
hukum yang seadil-adilnya, mulai dari jajaran paling bawah sampai dengan
perwira ke atas. Kondisi inilah yang sepertinya tidak dapat dimaklumi oleh
MSI yang sejak era reformasi menuntut keadilan setinggi-tingginya terhadap
aparat penegak hukum. Selain itu, terdapat juga beberapa faktor yang
mempengaruhi buruknya kinerja Polri yang memperburuk citranya di hadapan
publik yang dijelaskan pada gambar berikut:
17
sekelompok MSI menggalang petisi untuk mencopot Komjen Budi Waseso
yang dianggap melakukan penangkapan yang tidak berdasarkan prosedur
25
hukum yang sesuai. Contoh kasus yang cukup mengecewakan publik
adalah penangkapan paksa Wakil Ketua KPK Bambang Widjayanto yang
sesuai prosedur hukum yang semestinya. Hal ini terbukti dengan tidak
adanya surat pemanggilan terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam pasal
18 ayat 2 dan 19 ayat 2 KUHAP, pada bulan Juli 2015 lalu.
Penggalangan petisi dari MSI kepada Polri sepertinya baru terjadi kali
ini di Indonesia, dan mendapat dukungan yang cukub besar dari para
pengguna jejaring internet (netizens). Petisi yang digulirkan adalah gerakan
sosial MSI di dunia maya dan dianggap sebagai bentuk “perlawanan” kepada
elite Polri. Yang dikhawatirkan adalah apabila gerakan netizens seperti ini
mengalami eskalasi dan berimbas kepada publik yang, pada gilirannya,
mempengaruhi stabilitas nasional yang masih rentan terhadap gangguan-
gangguan, baik internal maupun eksternal. Keluarnya petisi para netizens itu
bisa dijadikan salah satu indikasi bahwa masih ada masalah dengan sinergi
antara MSI-Polri yang akan menjadi kendala bagi stabilitas nasional itu
sendiri.
25“Publik Galang Petisi Copot Kabareskrim Budi Waseso,” diakses di portal sindonews, Juli, 2015
26“Azyumardi Arza: Penangkapan BW itu Bentuk Arogansi Polri”, diakses portal Republika,
Januari, 2015
18
Di lain pihak, reaksi Polri terkesan tidak terlalu memerhatikan berbagai
kritikan yang terlontar dari MSI. Pernyataan para pejabat Polri (termasuk
Komjen Budi Waseso) malah semakin membuat Polri dipersepsikan sebagai
lembaga yang kurang responsif terhadap suara publik dan lebih
menggunakan pendekatan legalistik dalam menyikapi publik. Kondisi seperti
ini jelas menghambat proses penguatan sinergi yang di dalamnya
memerlukan peningkatan keharmonisan antar masing-masing pemangku
kepentingan. Sebagai warga negara, MSI memiliki hak untuk menilai dan
mengusulkan atas apa yang dirasakan tepat dan benar oleh masyakarat.
Dan, hal ini tentu tidak dapat dianggap sebagai bentuk serangan oleh Polri
yang merasa dipojokkan oleh MSI.
a. Level Strategis
19
melengkapi peraturan perundang-undangan, baik itu pada TNI, Polri, maupun
kalangan masyarakat sipil. Misalkan saja, pada sisi TNI, Melengkapi aturan
perundang-undangan yang mengatur penyiapan, pelibatan (mobilisasi), dan
pengakhiran (demobilisasi) TNI dalam membarikan bantuan kepada Polri dan
Pemerintah Daerah yang pada akhirnya bertujuan untuk menjaga keamanan
nasional.
20
lama, yakni tahun 2008. Setidaknya dengan adanya Buku Putih Pertahanan
yang baru, maka TNI memiliki panduan untuk mengamankan dan menjaga
stabilitas dan keamanan nasional.
b. Level Organisasi
21
c. Level Program
22
komitmen Polri sampai saat ini mendesak untuk diperluas dan disesuaikan
dengan daerah-daerah termasuk adaptasi dengan budaya lokal. Keterlibatan
organisasi masyarakat sipil (OMS), seperti ormas sosial keagamaan, LSM,
media massa, cendekiawan, dan lain-lain perlu mendapat prioritas di tataran
akar rumput. Demikian pula sinergi program antara TNI-Polri-MSI perlu dibuat
dalam berbagai bentuk yang disesuaikan dengan pola pembinaan teritorial
(Binter). Misalnya saja berbagai program terkait penanggulangan bahaya
radikalisme bisa diciptakan bersama antara ketiga komponen tersebut di
wilayah-wilayah yang rentan dengan penetrasi ideologi radikal seperti wilayah
perbatasan dan wilayah-wilayah ‘hot spot’ gerakan radikal di negeri ini.
6. Penutup
23
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Sumber-Sumber Internet
24
25