Anda di halaman 1dari 25

SINERGI TNI, POLRI, DAN MASYARAKAT SIPIL INDONESIA DALAM

RANGKA MENJAGA STABILITAS NASIONAL

Oleh:

Dr. Muhammad AS Hikam1

1. Pendahuluan

Stabilitas nasional pada dasarnya tidak terpisahkan dari tujuan


pembangunan nasional dan keamanan nasional. Keduanya memang harus
ditempatkan di atas semua kepentingan golongan, kelompok, dan individu,
dalam rangka mengawal kehidupan berbangsa dan negara. Stabilitas
nasional bersifat dinamis dan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
strategis yang terus berkembang dan berubah. 2 Oleh karena itu sudah
selayaknya apabila masing-masing instansi/lembaga harus solid dalam
bekerjasama membangun dan menjaga stabilitas nasional. Sinergi antara
instansi-instansi yang terkait dengan aspek pertahanan dan keamanan, yaitu
TNI, Polri, disatu pihak, dengan masyarakat sipil di Indonesia (MSI), di pihak
lain, memegang peran penting dalam mengawasi, menjaga, dan mengawal
stabilitas nasional.

Era reformasi membuka kesempatan bagi berbagai perubahan di


bidang-bidang ipoleksosbud yang pada akhirnya berdampak pada kerjasama
para aktor keamanan nasional. Dinamika politik di era reformasi, umpamanya,
telah berkontribusi dalam melahirkan reformasi di sektor keamanan (security
sector reform), tujuannya antara lain adalah meningkatkan profesionalisme
para penyelenggara yang terlibat di dalam sektor keamanan pada seluruh
level. Namun harus diakui bahwa perdebatan di ruang publik terkait dengan
reformasi sektor keamanan, terutama hal-hal yang menyangkut persepsi,
pengelolaan, dan tugas TNI-Polri-MSI masih terus berlangsung.

1Dr. Muhammad AS Hikam adalah Ketua DAS-BIN periode 2013 – Agustus 2015
2Yunus, Muhammad. Kajian Konsep Stabilitas Nasional Terhadap Pengaruh Lingkungan Strategis,
diakses di portal Lemhannas RI, 2013

1
Perdebatan tersebut masih terjadi baik di kalangan eksekutif dan
legislatif, maupun di kalangan peminat dan pemerhati masalah keamanan.3
Hubungan yang belum optimal antar TNI-Polri-MSI tentunya akan berdampak
signifikan terhadap kondisi stabilitas bangsa sekarang ini. Stabilitas tentu
akan terganggu apabila tiga komponen ini masih belum menemukan format
kerjasama terbaiknya, ditambah lagi semakin berkembang dan bervariasinya
ancaman di era globalisasi.

Paparan ini akan berusaha mengidentifikasi sinergi antara TNI-Polri-


MSI saat ini dan mengajukan beberapa rekomendasi bagi upaya
peningkatannya di masa mendatang. Fokus paparan ini adalah mencermati
sejauh mana sinergi dan soliditas ketiga lembaga tersebut dalam menjaga
stabilitas nasional dalam sebuah lingkungan strategis yang dinamis dan
terbuka bagi publik untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya. Diharapkan
paparan ini mampu memberikan gambaran dan pandangan yang
komprehensif dan merangsang terjadinya diskusi yang produktif baik dari
para praktisi maupun akademisi di bidang keamanan dalam rangka
mengupayakan penguatan stabilitas keamanan nasional.

2. Stabilitas Nasional Sebagai Keniscayaan Keamanan Nasional

Stabilitas nasional tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional


yang merupakan pencerminan dari peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata dalam kehidupan negara yang
berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945.4 Stabilitas nasional dapat diartikan
sebagai keadaan yang stabil suatu negara dari gangguan ataupun gejolak
yang bersifat ideologis, politis, ekonomi, militer, dan lainnya. Stabilitas
nasional sudah barang tentu bukanlah suatu hal yang statis, tetapi bersifat
dinamis di mana dinamika stabilitas nasional sangat dipengarui oleh kondisi
lingkungan strategis yang terus berkembang dan berubah.5

3 Sambuaga, Theo. TNI-Polri di Masa Perubahan Politik, Jakarta, 2008, hlm 2


4 Tansil dan Christine, Pokok-Pokok Hukum Pasar Modal, Jakarta, 2012
5 Yunus, Mochammad. Kajian Konsepsi Stabilitas Nasional Terhadap Pengaruh Strategis, diakses

di portal Lemhannas, 2011

2
Konsep stabilitas nasional dapat dirunut ke belakang pada era Orde
Baru di bawah Presiden Soeharto yang menekankan urgensi stabilitas
nasional untuk memungkinkan berlangsungnya proses pembangunan
nasional, dimana titik tekannya ada pada pertumbuhan ekonomi. 6 Rezim
Orba, yang dikenal menganut paradigm pembangunanisme
(developmentalism) percaya bahwa pertumbuhan ekonomi akan mampu
memperbaiki kehidupan rakyat Indonesia, memperkuat ketahanan negara,
dan mampu beradaptasi dengan perkembangan lingkungan strategis. Dalam
konteks Indonesia pasca-reformasi dan perkembangan mutakhir dalam
lingkungan strategis seperti terjadinya globalisasi, demokratisasi, penegakan
HAM, dan dinamika ancaman pada tataran nasional dan internasional, telah
memperluas cara pandang yang ada dan mempengaruhi perkembangan
konsepsi stabilitas nasional.

Isu stabiltas nasional saat ini, tidak lagi sebatas negara sebagai objek
yang harus dijaga, tetapi juga harus menjaga dan melindungi rasa aman
warga negaranya sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD
1945. Ada delapan aspek yang perlu ditinjau untuk mengamankan stabilitas
nasional, yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-
keamanan (hankam), aspek geografi, demografi, sumber kekayaan alam. 7
Kesemuanya adalah kekuatan negara yang dinamakan Astagatra yang
dipercaya mampu menjaga stabilitas nasional. Astagatra sendiri
memperlihatkan soliditas serta gabungan kekuatan militer dan sipil untuk
menjamin keberlangsungan hidup bernegara.

Oleh karena itu, kekuatan militer dan sipil tidak terlepas dari cerminan
sinergi TNI-Polri-MSI. Ketiga komponen tersebut masing-masing memberikan
kontribusi besar bagi elemen kekuatan bangsa (Astagatra) untuk menjamin
dan mengamankan stabilitas nasional. Tidak dipungkiri saat ini negara
menghadapi berbagai ancaman yang sifat dan bentuknya berubah dan
semakin berkembang. Hal ini jelas berbahaya bagi kondisi stabilitas nasional
yang dapat terganggu apabila tidak didukung oleh sinergi ketiga komponen
tersebut

6 Rochman, Abdul. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan saya, 1989, hlm 256
7 Ibid.

3
3. Dinamika Ancaman Yang Terus Berkembang

Derasnya arus dan proses gobalisasi di berbagai bidang telah


mengakibatkan pergeseran paradigma dalam memandang dan mendalami
sebuah konsep perang dan ancaman terhadap suatu negara. Hal tersebut
tidak terlepas dari semakin menguatnya peran aktor non-negara dan semakin
mudahnya orang mendapatkan informasi, memperoleh, dan menggunakan
teknologi yang relatif murah dan mudah didapat. Perang yang sebelumnya
mengadalkan kekuatan militer satu negara melawan kekuatan militer negara
lain, sebagai perang konvensional, kini telah bergeser pada perang yang
banyak melibatkan aktor bukan negara.

Sejak tahun 1990 hingga saat ini, eskalasi ancaman menguat dan
meresahkan baik berupa spionase, insurgensi, aksi-aksi terorisme maupun
kejahatan siber (cyber crime). Target serangannya tidak hanya negara tetapi
juga kepentingan masyarakat umum dan perorangan, data dan informasi,
sarana dan prasarana dengan dampak yang sangat luas meliput bidang
ekonomi, sosial, politik, dan hankam, yang pada akhirnya akan mengganggu
stabilitas nasional.

Ada tiga bentuk ancaman, yaitu ancaman tradisional, ancaman


tradisional, dan ancaman gabungan (hybrid threat). Pada ancaman tradisional
yang biasa disebut ancaman konvensional adalah bentuk ancaman militer
yang berasal dari negara lain seperti agresi militer, pelanggaran
wilayah/daerah perbatasan oleh militer asing, pendudukan wilayah, dan
inflitrasi militer. Sedangkan ancaman non-tradisional bersumber dari aktor-
aktor non-negara seperti terorisme, separatisme, gerakan revolusioner yang
ingin menggulingkan pemerintahan yang sah, kejahatan siber, dan kejahatan
transnasional. Terakhir adalah ancaman gabungan (hybrid threat) berupa
gerakan separatis yang didukung secara langsung ataupun tidak langsung
oleh kekuatan militer negara lain. Contoh terbaru adalah konflik yang terjadi di
Ukraina, yaitu kelompok separatis yang didukung militer Rusia melawan
pemerintah Ukraina. Ancaman ini akan memicu terjadinya konflik gabungan
tradisional dan non-tradisional yang cenderung bersifat asimetris. Hal ini
dapat diperjelas pada gambar (dibalik):

4
Tipologi Ancaman Abad Modern

Dari konfigurasi dalam gambar tersebut dapat dikatakan bahwa


ancaman nirmiliter dan konflik asimetris berpotensi lebih sering terjadi,
meskipun tingkat resikonya lebih kecil. Penanggulangan jenis ancaman ini
jelas tidak hanya melibatkan TNI saja, sehinga kehadiran Polri dan MSI juga
dibutuhkan. Tugas TNI yang mencakup OMSP (Operasi Militer Selain
Perang) 8 , serta ditambah dengan visi dan misi Polri yang mewujudkan
pelayanan Kamtibnas, Kamdagri, dan Pelayanan Hukum yang mantap,
merupakan dua pilar strategis untuk menjaga stabilitas nasional. Belum lagi
ditambah dengan peran-peran berbagai lembaga pemerintah lainnya serta
representasi dari MSI tentunya akan semakin memantapkan stabilitas
nasional dalam mengawal kehidupan bangsa. Oleh karenanya, soliditas antar
ketiga kelompok ini merupakan kunci

4. Sinergi TNI-POLRI-MSI Dalam Rangka Memperkuat Stabilitas Nasional

Soliditas dapat diartikan sebagai kuat, kukuh, berbobot. 9 Misalnya jika


suatu organisasi itu dianggap solid, berarti organisasi itu kuat, berbobot atau
kokoh, tidak mudah goyah, bernilai, tidak mudah pecah dan berisi. Dalam
konteks manajemen baik itu organisasi atau yang mengawakinya, solid dapat
diartikan sebagi erat, saling mengikat, tidak mudah terpecah, bersatu, dan

8 Lihat UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI Pasal 7 (tujuh) butir 2


9 Lihat KBBI

5
professional. Sedangkan, sinergi berasal dari bahasa inggris synergy, yang
memiliki makna ”a mutually advantageous conjunction or compatibility of
distinct business participants or elements (as resources or efforts)”. 10 Sinergi
merupakan gabungan atau perpaduan dua unsur atau lebih yang berbeda
yang dapat menghasilkan keuntungan lebih besar dari pada penjumlahan
unsur-unsur tersebut jika berdiri sendiri-sendiri.

Menjaga dan menciptakan stabilitas nasional merupakan keniscayaan


bagi setiap bangsa. Dengan stabilitas nasional yang dinamis dan kondusif
sesuai dengan dinamika perkembangan lingkungan strategis, maka
pembangunan di segala bidang untuk mencapai tujuan nasional, yakni
terwujudnya keamanan dan kesejahteraan masyarakat dalam arti yang
seluas-luasnya, akan dapat berjalan dengan baik. Sebaliknya ketiadaan dan
kelemahan sinergi dalam upaya ini akan menyebabkan tidak efektifnya,
bahkan kegagalan, bagi sebuah negara dalam menanggulangi ancaman.

Komponen TNI-Polri-MSI memiliki hak dan tanggung jawab dalam


bidang pertahanan negara karena sistem yang dianut Indonesia bersifat
semesta, yakni melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya
nasional lainnya.11 Pertahanan negara yang bersifat semesta jelas memiliki
kausalitas dengan stabilitas nasional sendiri karena keduanya mewakili
seluruh kontribusi dari komponen bangsa. TNI merupakan komponen utama
dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung,
sedangkan untuk menghadapi ancaman non-militer, lembaga pemerintah di
luar pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat
ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan
bangsa.12

Sedangkan Polri memiliki tugas dan wewenang untuk memelihara


keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.13 Peran Polri
sangat dibutuhkan, terutama dalam mengatasi dan meredakan konflik vertikal

10 Lihat Meriem Webster Dictionary


11 Lihat UU No.3 Tahun 2002 Pasal 1 ayat 2 Tentang Pertahanan
12 Lihat bagian Komponen Pertahanan Negara dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2003 Tentang

Pertahanan Negara..
13 Lihat tugas dan wewenang Polri dalam UU No. 2 Tahun 2002 Pasal 13

6
maupun horisontal. Polri yang tugasnya didukung dengan UU No. 7 Tahun
2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, memiliki tanggung jawab dan
wewenang untuk menghindari rasa ketidakamanan dan disintegrasi sosial
yang dapat mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan
nasional.

Sinergi TNI dan Polri sebagai alat negara semestinya juga didukung
oleh birokrasi sipil baik di tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan
Kelurahan yang masing-masing memiliki peran dalam pembangunan sosial-
ekonomi. Birokrasi sipil memiliki peran sebagai agen perubahan
pembangunan, terutama di daerah-daerah dimana kekuatan masyarakat sipil
masih belum memadai. Tentunya peran ini didukung dengan beberapa
peraturan perundang-undangan yang memiliki tujuan meningkatkan
pembangunan dan perekonomian yang berpengaruh pada stabilitas nasional.
Sedikitnya ada lima regulasi birokrasi sipil yang dapat digunakan sebagai
landasan memperkuat stabilitas nasional, yaitu (1) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025;
(3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik; (4)
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 Tentang
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025; dan (5) Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20
Tahun 2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010 – 2014.

Kesemua peraturan perundang-undangan ini diyakini telah mencakup


aspek pembangunan ekonomi dan pelayanan publik yang bersih dari segala
tindakan KKN yang merupakan salah satu pengganggu stabilitas nasional.
Dengan demikian, penguatan sinergi TNI-Polri-MSI dapat diilustrasikan dalam
gambar berikut ini (dibalik)

7
Sinergi TNI-Polri-MSI Untuk Stabilitas Nasional

sumber: Penulis

Dari ilustrasi di atas maka penulis berasumsi bahwa masing-masing


instansi TNI-Polri-MSI memiliki hubungan langsung terhadap stabilitas
nasional. Masing-masing lembaga menyumbang kontribusinya terhadap
stabilitas negara sesuai dengan tugasnya yang telah diatur oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, sinergi antar ketiga
kelompok tersebut merupakan hal yang wajib dipertahankan demi
kelangsungan hidup berdemokrasi di Indonesia.

4.1. Permasalahan Dalam Sinergi TNI dan Polri Di Era Reformasi

Di era reformasi, sinergi dan kerjasama di bidang hankam antara TNI-


Polri merupakan persoalan kunci mengingat kedua lembaga ini adalah alat
negara yang memiliki kewenangan dalam melakukan penindakan langsung
terhadap segala tindakan dan upaya yang mengganggu stabilitas negara.
Tolok ukur stabilitas nasional dapat dilihat dari kondisi keamanan nasional
saat ini yang cenderung masih sering dipahami secara tumpang tindih
(overlapping) dan rentan dengan multitafsir dari para pelaksananya. Hal ini
dipengaruhi juga oleh kondisi di mana semakin berkurangnya ancaman militer
dan semakin bertumbuhnya ancaman nir-militer membuka peluang bagi
ketegangan hubungan militer dengan polisi. Kondisi seperti ini menjadi

8
fenomena di negara-negara berkembang, khususnya yang mengalami transisi
dari rezim militer ke rezim demokratis, seperti Indonesia, yang mencoba
mengadopsi dan melaksanakan prinsip civilian supremacy.14

Dinamika hubungan antara militer dan polisi muncul dari perdebatan


seputar siapa yang paling berwenang dalam mengatasi masalah keamanan
dan keselamatan negara. Konsekuensinya adalah, OMSP (Operasi Militer
Selain Perang) dijadikan wacana utama bagi TNI untuk tetap menjaga
keamanan nasional, seperti mengatasi gerakan separatis, pemberontakan
bersenjata, mengamankan objek vital nasional, melaksanakan tugas
perdamaian, dan membantu Polri dalam rangka tugas Kamtibnas. Namun
permasalahannya, sampai dengan saat ini tampaknya OMSP tidak serta
memberikan kewenangan penuh TNI dalam menjaga kemanan nasional.
Faktanya, penanganan terorisme, khususnya masalah pidana dan
pendanaan, saat ini berada dibawah kendali penuh Polri yang didukung UU
No. 9 Tahun 2013.

Wilayah abu-abu (grey area) antara Polri-TNI masih menjadi polemik


yang pembahasannya masih belum selesai sepenuhnya. Kewenangan yang
sama atas suatu pengaturan menjadi penyebab utama ketidakselarasan
kinerja TNI-Polri dalam menangani berbagai ancaman dan masalah
keamanan. 15 Belum lagi isu politis antara TNI-Polri, terutama sejak terjadi
perubahan sosio-politik di Indonesia sejak dimulainya era reformasi.
Pemisahan TNI-Polri adalah salah satu hasil dari reformasi yang menuntut
masing-masing lembaga menjadi lebih profesional dalam mengawal
kehidupan demokrasi di Indonesia. Misalkan saja, TNI dituntut untuk
meninggalkan keterlibatannya di dunia politik, baik di birokrasi maupun
legislatif. Sedangkan Polri dituntut untuk mengamankan keamanan,
khususnya dari ancaman terorisme yang dianggap mengalami peningkatan
signifikan setelah rezim Orba jatuh.

Dapat dikatakan bahwa kondisi sinergi TNI-Polri saat ini masih perlu
ditingkatkan dan merupakan permasalahan strategis yang perlu menjadi

14 Choirie, Effendy. Menata Kembali Hubungan TNI-Polri Dalam Konteks Pertahanan dan
Keamanan, 2008
15 Perwita, Bayu. Masalah-masalah Hubungan TNI-Polri Untuk Penanganan Terorisme dan

Kejahatan Lintas Batas, 2008

9
perhatian serius. Adanya “kemesraan” yang sering diperlihatkan oleh para
petinggi TNI dan Polri di media masa sesungguhnya belum mencerminkan
apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Bukti lemahnya sinergi tersebut
dapat dilihat, misalnya, dari seringnya terjadi bentrokan kedua institusi
tersebut. Menurut Ketua Indonesian Police Wach (IPW), ada kurun waktu
hampir satu dasawarsa terakhir (2005-2014) telah terjadi 37 kali bentrokan
TNI-Polri dan sudah menewaskan setidaknya 11 orang. 16 Penyebabnya
bermacam-macam, mulai dari kesalahpahaman, ketersinggungan, saling
menghina, motif balas dendam, dan sampai pada rebutan sumber ekonomi.

Masih menurut sumber yg sama, selama tahun 2014 IPW (Indonesia


Police Watch) mencatat terjadinya tujuh kali bentrokan antara TNI-Polri yang
dapat dilihat sebagai berikut:17

1. Pada 7 Agustus 2014, Anggota Yon Armed bentrok dengan Brimob di


Cipanas, Cianjur, Jabar. Dua TNI dan satu Brimob terluka.

2. Pada 21 September 2014, Aparat TNI bentrok dengan polisi di Batam.


Empat anggota Batalion 134 Tuah Sakti tertembak dan satu kendaraan
serta bangunan dibakar. Anggota TNI yang tertembak adalah Pratu
AK, Prada HS, Praka EB, dan Pratu ES.

3. Pada 29 September 2014, Seorang anggota polisi Aiptu Paulus


Lekatompessy tewas dikeroyok di Asrama TNI di kawasan Benteng,
Ambon.

4. Pada 14 Oktober 2014, Sejumlah personel TNI dan Brimob terlibat


baku tembak di Pirime, Lanny Jaya, Papua.

5. Pada 15 Nopember 2014, Brigadir TN anggota Brimob luka-luka


setelah dikeroyok dan ditusuk tujuh lelaki berambut cepak, yang
diduga sebagai anggota TNI di Pasar Kembang Yogyakarta.

6. Pada 19 Nopember 2014, Bentrokan antar anggota Yonif 134 Tuah


Sakti dengan Brimob Polda Kepri di Tembesi, Batam membuat
anggota TNI, Praka JK Marpaung tewas tertembak.

16 “32 kasus Bentrok TNI-Polri Sejak 2005”, diakses di portal Beritasatu


17 “IPW: Bentrok TNI-Polri Terbanyak di 2014”, diakses di portal covesia

10
7. Pada 20 Nopember 2014, Anggota Brimob Polda Sumut, Brigadir Beni
Sihombing (32) tewas ditikam oleh seorang personel TNI di Binjai.

Dari beberapa fakta di atas dapat dikatakan bahwa konflik cenderung


terjadi pada wilayah akar rumput masing-masing instansi. Hal ini menandakan
perlu adanya pembinaan masing-masing personel TNI-Polri (khususnya akar
rumput), mengingat merekalah yang sebenarnya lebih sering berhubungan
langsung dengan MSI dalam kehidupan sehari-hari. Konflik angkat rumput
TNI-Polri jelas memperburuk citra mereka yang sebenarnya diberikan
kepercayaan oleh negara dan publik untuk menegakkan pertahanan dan
keamanan.

4.2. Sinergi TNI dan MSI

Secara umum dapat dikatakan bahwa relasi antara militer dengan


masyarakat sipil Indonesia (MSI) selama era reformasi ini bertambah baik
setelah TNI melakukan reformasi internal pasca jatuhnya kekuasaan rezim
Orba. Kecepatan dan keseriusan TNI ditopang oleh Pemerintah pasca-Orba
serta dukungan dari MSI adalah faktor yang sangat berperan penting dalam
proses tersebut. Hal ini tidak dapat diremehkan mengingat relasi militer-MSI
di Indonesia selama tiga dasawarsa di bawah rezim otoriter tersebut telah
menciptakan berbagai macam stigma, bukan saja pada tataran kehidupan
politik tetapi juga di bidang-bidang lain, termasuk ideologi, ekonomi, dan
sosial-budaya serta psikologi. Ini antara lain disebabkan oleh luas dan
mendalamnya dampak doktrin dwi-fungsi ABRI yang menjadi salah satu
landasan bagi militer untuk terlibat di dalam seluruh dimensi kehidupan
masyarakat dan peran militer (khususnya Angkatan Darat) sebagai kekuatan
politik strategis dalam rezim Orba.

Dapat dikatakan bahwa selama era reformasi ini, relasi TNI-MSI


mengalami perbaikan substansial dan cukup produktif. Melalui reformasi yang
berjalan dengan sistematis dan konsisten, TNI dapat segera menyesuaikan
diri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam sistem demokrasi
konstitusional, khususnya dalam menjalin relasi dengan MSI yang
sebelumnya cenderung antagonistik di bawah rezim Orba. Dengan landasan

11
peraturan perundangan (mulai dari Tap MPR nomor VI/MPR/2000, Tap MPR
nomor VII/MPR/2000, UU Hanneg, nomor 3/2002 dan UU TNI no. 34/2004)
dan Doktrin TNI Tridharma Eka Karya (Tridek), reformasi kemudian
diimplementasikan dengan berkesinambungan oleh pimpinan TNI dan
jajarannya selama lebih dari satu dasawarsa terakhir. Hasil yang signifikan,
antara lain adalah perubahan-perubahan pada tataran paradigmatik,
struktural, dan fungsional di seluruh jajaran TNI. Perwujudan kongkritnya
antara lain adalah dalam penghapusan dwi-fungsi, penarikan diri dari
keterlibatan politik praktis dan bisnis, dan pemfokusan pada fungsi sebagai
kekuatan utama dalam bidang pertahanan negara.

Respon dari MSI pada umumnya cukup positif terhadap TNI pada era
pasca-reformasi, walaupun kritik tajam dari berbagai organisasi masyarakat
sipil Indonesia (OMSI), khususnya LSM-LSM, masih cukup sering dijumpai
terkait dengan akselerasi, progress, dan kualitas reformasi militer tersebut.
Masih belum tuntasnya berbagai persoalan terkait dengan keterlibatan tokoh-
tokoh militer dalam pelanggaran HAM berat, lambatnya proses pelaksanaan
pengambilalihan bisnis TNI karena resistensi terhadapnya, kasus-kasus
konflik dengan warga negara terkait masalah tanah, keterlibatan para mantan
tokoh militer dalam parpol, dan berbagai kasus konflik antara anggota TNI
dengan Polri, adalah beberapa persoalan yang masih mengemuka dalam
wacana publik sampai sekarang.

Meskipun sampai saat ini belum ada penelitian yang komprehensif dan
secara sistematis membahas persoalan sinergi antara militer dengan MSI,
namun secara umum dapat dikatakan bahwa citra TNI di hadapan publik
semakin baik. Hal ini agak berbeda apabila dibandingkan dengan TNI di era
Orde Baru yang dicap sebagai kekuatan tunggal dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya yang sarat dengan arogansi. Kasus-kasus pelanggaran
HAM yang dulu identik dengan TNI di era Orba kini sudah jarang terjadi lagi.

TNI telah menanggalkan dwi-fungsi dan hal ini sangat membantu


18
perbaikan interaksinya dengan MSI. Prinsip supremasi sipil (civilian
supremacy) yg berlaku dalam sistem demokrasi memberikan jaminan

18 “Citra TNI di Mata Masyarakat”, oleh Ikrar Nusa Bakti dilansir di….

12
kepada anggota MSI untuk ikut berkontribusi langsung dalam mengelola
pertahanan negara. Dengan demikian hal ini sebenarnya memperkuat sistem
pertahanan Indonesia yang bersifat semesta, yaitu mencakup peran militer
dan sipil dalam usaha pertahanan negara. Selain itu, mengakui prinsip
supremasi sipil juga memberikan bukti bahwa militer tidak alergi dengan
pengawasan MSI yang sesuai dengan aturan perundang-undangan di
Indonesia.

Profesionalisme TNI juga ditunjukkan dengan kinerja yang lebih fokus


pada penguatan tugas pokok dan kapabilitasnya sebagai alat pertahanan
negara. TNI belajar dari pengalaman bahwa keterlibatan militer dalam
kontestasi politik, tidak hanya melemahkan TNI dalam upaya reformasi
internal menuju TNI profesional yang tidak berbisnis dan tidak berpolitik.
Tetapi selain itu juga bahwa pertarungan dalam politik selalu membawa
implikasi negatif bagi citra TNI secara institusional, sehingga TNI secara
berpotensi ikut ternodai oleh ambisi politik oleh segelintir anggotanya.

Ada empat alasan penting bagi TNI untuk keluar dari politik praktis,
yaitu: 1) TNI menyadari bahwa politik dapat membuat perpecahan dan
fragmentasi di tubuh internal TNI. Pertarungan dan keterlibatan militer dalam
politik telah melahirkan berbagai bentuk konflik yang mengancam kehidupan
MSI secara keseluruhan; 2) TNI menyadari apabila sibuk dengan urusan
politik maka hal ini akan menjauhkan TNI dari tugas pokoknya sebagai alat
pertahanan negara. Kader-kader terbaik TNI yang seharusnya dapat
dimanfaatkan dalam upaya profesionalisme TNI akan banyak tersedot ke
wilayah politik; 3) Probabilitas penyalahgunaan status militer dalam proses
memenangkan pertarungan politik sangat tinggi, yang dimana hal ini sangat
berpotensi terjadi pelanggaran HAM di kehidupan MSI; dan 4) TNI menyadari
bahwa mereka adalah kekuatan utama Pertahanan Negara yang berfungsi
ikut mengawal kehidupan berdemokrasi dan bukan pihak yang melakukan
praktek intervensi politik melalui paradigma lamanya ketika di era Orde
19
Baru. Keempat hal inilah yang membuat TNI dengan cepat dapat
mengambil jarak dari politik karena menyadari bahwa hal-hal tersebut dapat
kontra produktif baginya.

19 “Satu Dekade: Keberhasilan Reformasi TNI Terbebani Paradigma Orde Baru”, Kontras, 2008

13
Reformasi dan demokratisasi juga meniscayakan TNI melepaskan
aktivitas bisnisnya untuk diambil alih oleh Pemerintah. Hal ini dinyatakan
melalui UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, dalam pasal 76 ayat 1 (satu)
dengan jelas disebutkan “dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya
undang-undang ini, pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis
yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak
langsung”. Tiga argumen penting yang mengharuskan TNI keluar dari sektor
bisnisnya adalah pertama, kebebasan TNI untuk memiliki sumber-sumber
dana lain menyebabkan melemahnya kemampuan pemerintah untuk
menetapkan tujuan nasionalnya. Kedua, waktu dan tenaga yang diserap
dalam melaksanakan aktivitas bisnisnya mengalihakan perhatian TNI dari
tugas kenegaraan. Dan ketiga aktivitas bisnis militer menciptakan distorsi
dalam ekonomi dan menghambat pertumbuhan nasional karena ada potensi
eksploitasi beberapa sumber daya secara khusus oleh TNI.20

Keluarnya TNI dari aktivitas bisnis menyebabkan potensi tindakan


korupsi anggota TNI di bawah rata-rata apabila dibandingkan dengan
lembaga-lembaga negara lainnya (co: Kejaksaan, Polri, dan DPR). Dengan
demikian citra TNI di hadapan publik semakin baik mengingat MSI saat ini
tengah gencar-gencarnya menuntut lembaga negara untuk bersih,
transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Keluarnya TNI dari aktivitas bisnis praktis membuat personel TNI, baik pada
level menengah sampai atas dapat semaksimal mungkin menghindari
tindakan-tindakan yang berbau kolusi dan korupsi. Saat ini TNI fokus dalam
membenah diri, khususnya dalam memperkuat kapabilitas pertahanannya
untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain paska reformasi,
sekaligus untuk menjadi aparat yang dibanggakan oleh MSI.

4.3 Sinergi Polri dan MSI

Di lain pihak, relasi Polri dengan MSI sampai saat ini masih tetap
menunjukkan kecenderungan yang kontraproduktif bagi upaya membangun
dan memperkuat sinergi antara keduanya. Walaupun Polri di era reformasi
telah dilepaskan dari TNI, sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan

20 Ibid.

14
perundang-undangan (UU no. 2/2002 tentang Kepolisian Negara, UU no.
3/2002 tentang Hanneg), namun dalam perjalanannya sampai sekarang,
persepsi publik terhadap Polri mengalami stagnasi, kalau tidak bisa disebut
penurunan yang tajam. Hal ini sangat memprihatinkan karena Polri, berbeda
dengan TNI, justru memiliki afinitas yang lebih dekat dengan MSI karena
fungsinya sebagai alat negara yang terkait dengan keamanan dan ketertiban
umum. Polri bukan saja menjadi aparat penegakan hukum, tetapi juga sangat
erat bersinggungan dengan dinamika sosial dan budaya dalam masyarakat.

Penurunan tingkat kepercayaan MSI terhadap Polri disebabkan oleh


beberapa faktor, dimana yang pertama adalah profesionalisme Polri yang
dirasa kurang optimal meskipun telah lepas dari ABRI dan diberikan
kewenangan khusus melalui UU dalam mengatur Kamtibnas. Kedua adalah
tindakan korupsi yang benar-benar melekat pada tubuh Polri. Ketiga adalah
banyaknya personil Polri yang seolah-olah merasa dirinya kebal terhadap
hukum dan peraturan perundang-undangan, dan keempat adalah arogansi
Polri terhadap MSI (baik itu masyarakat sipil, organisasi sipil, dan bahkan
lembaga pemerintahan sipil), sehingga mengesankan adanya hegemoni baru
yang tumbuh di era reformasi.21

Minimnya tingkat kepercayaan publik terhadap Polri tidak sekedar


rekayasa politik belaka, namun kenyataannya hal ini telah dibuktikan oleh
berbagai survey lembaga non-profit beberapa tahun terakhir, dimana hasilnya
selalu sama tiap tahun, yaitu menunjukkan instansi Pori sebagai instansi yang
paling korup. Pada tahun 2012 – 2013, Berdasarkan survei yang dilansir oleh
Transparency International Indonesia, Kepolisian dan parlemen menempati
urutan pertama (4,5 persen), diikuti peradilan (4,4 persen), partai politik (4,3
persen), pejabat publik (4 persen), bisnis (3,4 persen), kesehatan (3,3
persen), pendidikan (3,2 persen), militer (3,1 persen), LSM (2,8 persen),
lembaga keagamaan (2,7 persen), dan media (2,4 persen). Menurut Ketua
Dewan Pengurus TII Natalia Soebagjo, polisi menjadi urutan pertama karena
selama ini perannya paling dekat dengan masyarakat.22

21 “10 Penyebab Buruknya Citra Polri di Mata Masyarakat”, diakses di portal Kasfo.Brangkas
Informasi
22 “Kepolisian dan DPR, Lembaga Paling Korup di Indonesia”, diakses di portal Kompas, Juli, 2013

15
Bahkan di tahun 2015, menurut survei lembaga kajian nonprofit Populi
Center, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kepolisian RI tetap dianggap sebagai
lembaga terkorup. Sebanyak 39,7 persen responden mengatakan DPR
sebagai lembaga negara terkorup, disusul dengan institusi Kepolisian RI
sebesar 14,2 persen. Survey dilakukan secara nasional di 34 provinsi di
Indonesia melalui wawancara tatap muka dengan 1.200 responden yang
dipilih secara acak.23 Hasil survei-survei seperti inilah yang secara tidak sadar
justru memantapkan MSI untuk semakin tidak percaya dan tidak puas dengan
Polri, terlepas dengan prestasi-prestasi yang sebenarnya telah dilakukan Polri
dalam menjaga keamanan.

Terakhir, sebagai indikator lemahnya relasi Polri dan MSI bisa dilihat
pada beberapa hasil jajak pendapat (survey) tentang kepercayaan publik
terhadap aparat kepolisian pada April 2015. Salah satunya adalah jajak
pendapat yang dirilis oleh Kompas yang menunjukkan bahwa dari waktu ke
waktu opini publik tentang kinerja dan citra Polri cenderung pada
ketidakpercayaan ketimbang apresiasi positif. Laporan pengaduan MSI
meningkat hingga 17%, dari 668 pelaporan (2013) menjadi 778 pelaporan
(2014). Materi yang dilaporkan masyarakat beragam, mulai dari buruknya
pelayanan, keberpihakan penanganan perkara, proses penyidikan yang
berbelit-belit, hingga arogansi polisi. Dari semua kasus yang masuk,
terbanyak adalah pengaduan terkait proses yang berlarut-larut,
penyimpangan prosedur, dan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.
Penjabarannya dapat dilihat pada diagram di bawah24

Tingkat Kepuasan Terhadap Kinerja Polri Dalam Menjalankan Tugas (%)

23 “Survei Populi: DPR dan Polri Lembaga Terkorup”, diakses di portal CNN Indonesia, Januari,
2015
24 “Harapan Publik Kepada Polri”, dilansir dari Harian Cetak Kompas, April, 2015

16
Dari gambaran diagram di atas dapat diasumsikan bahwa upaya Polri
dalam menegakkan hukum di Indonesia masih dianggap kurang oleh
sebagian besar MSI, yaitu 55% tidak puas. Upaya penegakan hukum jelas
mencerminkan kewibawaan Polri sebagai aparat keamanan di mata publik,
namun sepertinya justru Polri masih mengalami kendala dalam mewujudkan
hukum yang seadil-adilnya, mulai dari jajaran paling bawah sampai dengan
perwira ke atas. Kondisi inilah yang sepertinya tidak dapat dimaklumi oleh
MSI yang sejak era reformasi menuntut keadilan setinggi-tingginya terhadap
aparat penegak hukum. Selain itu, terdapat juga beberapa faktor yang
mempengaruhi buruknya kinerja Polri yang memperburuk citranya di hadapan
publik yang dijelaskan pada gambar berikut:

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Buruknya Kinerja Polri

Dapat dikatakan bahwa setelah persoalan penegakkan hukum yang


lemah, maka faktor penting lainnya yang memperburuk kinerja Polri adalah
kepemimpinan yang lemah. Lemahnya kepemimpinan pada pucuk-pucuk di
beberapa departemen Polri menyebabkan bermanufernya jajaran-jajaran
dibawahnya yang membuat kinerja Polri justru tidak menjadi optimal. Buka
tidak mungkin bermanufernya segelintir kelompok di tubuh Polri bisa saja
mendukung aliansi tertentu yang justru mencoreng netralitas Polri dalam
menegakkan hukum di Indonesia.

Di era reformasi ini anggota MSI tidak sekedar memberikan penilaian


terhadap citra Polri semata, namun sudah berani menyuarakan pendapat
apabila hal-hal yang dilakukan Polri sudah bertentangan dengan hukum di
mata publik. Hal ini dapat dilihat pada kasus yang baru saja terjadi, dimana

17
sekelompok MSI menggalang petisi untuk mencopot Komjen Budi Waseso
yang dianggap melakukan penangkapan yang tidak berdasarkan prosedur
25
hukum yang sesuai. Contoh kasus yang cukup mengecewakan publik
adalah penangkapan paksa Wakil Ketua KPK Bambang Widjayanto yang
sesuai prosedur hukum yang semestinya. Hal ini terbukti dengan tidak
adanya surat pemanggilan terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam pasal
18 ayat 2 dan 19 ayat 2 KUHAP, pada bulan Juli 2015 lalu.

Penggalangan petisi dari MSI kepada Polri sepertinya baru terjadi kali
ini di Indonesia, dan mendapat dukungan yang cukub besar dari para
pengguna jejaring internet (netizens). Petisi yang digulirkan adalah gerakan
sosial MSI di dunia maya dan dianggap sebagai bentuk “perlawanan” kepada
elite Polri. Yang dikhawatirkan adalah apabila gerakan netizens seperti ini
mengalami eskalasi dan berimbas kepada publik yang, pada gilirannya,
mempengaruhi stabilitas nasional yang masih rentan terhadap gangguan-
gangguan, baik internal maupun eksternal. Keluarnya petisi para netizens itu
bisa dijadikan salah satu indikasi bahwa masih ada masalah dengan sinergi
antara MSI-Polri yang akan menjadi kendala bagi stabilitas nasional itu
sendiri.

Fakta-fakta seperti inilah yang memunculkan anggapan adanya


arogansi sektoral dari pihak Polri dengan alasan tidak melihat batasan-
batasan hukum yang dibuatnya sendiri. Anggapan seperti itu terlihat misalnya
pada kritik tajam dari beberapa tokoh publik yang kehadiran dan suaranya
sangat didengar oleh masyarakat pada umumnya. Seorang tokoh
cendekiawan Muslim Indonesia, Prof. Dr. Azyumardi Azra, umpamanya,
mengkritik keras upaya yang dilakukan Komjen Budi Waseso ketika
menangkap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto.26 Selain itu, kritik keras
yang sama turut dilontarkan mantan Ketua PP Muhammadiyah, Buya Prof.
Dr. Syafii Maarif, yang bahkan meminta Presiden Jokowi mencopot jabatan
Komjen Budi Waseso sebagai Kabareskrim. Terlepas dari validitas kritik
mereka dari aspek legal formal, tetapi suara-suara seperti ini akan memiliki
resonans terhadap opini publik di dalam MSI.

25“Publik Galang Petisi Copot Kabareskrim Budi Waseso,” diakses di portal sindonews, Juli, 2015
26“Azyumardi Arza: Penangkapan BW itu Bentuk Arogansi Polri”, diakses portal Republika,
Januari, 2015

18
Di lain pihak, reaksi Polri terkesan tidak terlalu memerhatikan berbagai
kritikan yang terlontar dari MSI. Pernyataan para pejabat Polri (termasuk
Komjen Budi Waseso) malah semakin membuat Polri dipersepsikan sebagai
lembaga yang kurang responsif terhadap suara publik dan lebih
menggunakan pendekatan legalistik dalam menyikapi publik. Kondisi seperti
ini jelas menghambat proses penguatan sinergi yang di dalamnya
memerlukan peningkatan keharmonisan antar masing-masing pemangku
kepentingan. Sebagai warga negara, MSI memiliki hak untuk menilai dan
mengusulkan atas apa yang dirasakan tepat dan benar oleh masyakarat.
Dan, hal ini tentu tidak dapat dianggap sebagai bentuk serangan oleh Polri
yang merasa dipojokkan oleh MSI.

Uraian penjelasan diatas menggambarkan bagaimana kondisi


hubungan antara MSI dan Polri dalam beberapa waktu terakhir ini. Kondisi
MSI-Polri yang diharapkan sinergi justru malah memperlihatkan keadaan
yang saling menyerang antar satu sama lainnya. Di satu sisi MSI merasa Polri
menunjukkan hegemoninya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya,
sedangkan di sisi lain, Polri merasa dipojokan oleh kritikan-kritikan publik.
Fakta seperti ini perlu segera dicari jalan keluarnya sehingga sinergi MSI-Polri
menjadi baik yang pada akhirnya akan bermanfaaf bagi stabilitas nasional.

5. Upaya-upaya Strategis, Organisasi, dan Program Untuk Memantapkan


Sinergi TNI, POLRI, dan MSI

Bertolak dari paparan tentang kompleksitas ancaman dan


permasalahan lemahnya sinergi TNI-Polri-MSI dalam membangun stabilitas
nasional di atas, maka upaya-upaya perbaikan dan pemantapan dapat
menggunakan pendekatan tiga level, yaitu: (1) Level Strategis; (2) Level
Organisasi; dan Level Program (Individual). Masing-masing upaya tersebut
dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Level Strategis

Berbicara mengenai turunan produk perundang-undangan pertahanan militer


dan nir-militer. Biasanya dalam tahap ini adalah untuk memberikan maupun

19
melengkapi peraturan perundang-undangan, baik itu pada TNI, Polri, maupun
kalangan masyarakat sipil. Misalkan saja, pada sisi TNI, Melengkapi aturan
perundang-undangan yang mengatur penyiapan, pelibatan (mobilisasi), dan
pengakhiran (demobilisasi) TNI dalam membarikan bantuan kepada Polri dan
Pemerintah Daerah yang pada akhirnya bertujuan untuk menjaga keamanan
nasional.

Selain itu tampaknya wacana disahkannya RUU Kamnas (Keamanan


Nasional) sebaiknya perlu dipertimbangkan kembali. Bahkan apabila perlu,
RUU Kamnas harus diprioritaskan oleh Pemerintah demi kepentingan
keamanan yang lebih baik dan dinamis. RUU Kamnas diibaratkan sebagai
blue print Pemerintah dalam mengelola keamanan, baik itu keamanan insani,
publik, dan bahkan wilayah NKRI ke dalam maupun ke luar. Kondisi
keamanan yang kondusif jelas merupakan fondasi bagi pembangunan dan
stabilitas nasional.

RUU Kamnas dibentuk untuk menjawab dinamika ancaman yang


semakin berkembang, dimana sasaran ancaman saat ini sudah mengarah
tidak ke negara atau bangsa saja. Namun demikian ancaman sudah
mengarah ke pembangunan nasional, masyarakat, dan insani, yang dimana
ketiga hal ini jelas sangat terkait dengan keberlansungan hidup MSI. Hal yang
perlu diperhatikan adalah agar pasal-pasal dalam RUU tidak berpotensi
melanggar HAM, karena hal seperti ini masih sangat sensitif dalam kehidupan
berdemokrasi di Indonesia.

Selain itu pada sisi peraturan perundang-undangan tampaknya


implementasi strategi OMSP (Operasi Militer Selain Perang) perlu dijelaskan
lebih mendalam untuk mengindari tumpang tindih dengan kewenangan Polri.
Misalkan saja, dalam pasal 7 UU TNI No 34 Tahun 2004, dikatakan bahwa
TNI memiliki kewenangan OMSP seperti menghadapi ancaman terorisme.
Namun demikian, dalam pasal tersebut tidak dijelaskan bagaimana prosedur
maupun keadaannya apabila TNI memang benar-benar dibutuhkan untuk
menghadapi terorisme, karena dalam realitanya penanganan teroris masih
dibawah kendali penuh Polri. Untuk memperjelas hal-hal tersebut tampaknya
Buku Putih Pertahanan memang harus segera dikeluarkan mengingat sampai
dengan saat ini TNI masih berpegang pada Buku Putih Pertahanan yang

20
lama, yakni tahun 2008. Setidaknya dengan adanya Buku Putih Pertahanan
yang baru, maka TNI memiliki panduan untuk mengamankan dan menjaga
stabilitas dan keamanan nasional.

b. Level Organisasi

Pada level ini fokus pada pengembangan koordinasi, kerjasama, dan


komunkasi antar TNI-Polisi-MSI. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah (1)
Meningkatkan kembali pemahaman jiwa korsa dan pengaplikasiannya
sehingga solidaritas fanatisme yang salah dapat ditinggalkan; (2)
Meningkatkan dan memperbaiki koordinasi inter dan antar institusi; (3)
Meningkatkan intensitas latihan bersama dalam menghadapi operasi
gabungan untuk mengatasi bencana alam, aksi terorisme, maupun gerakan
separatisme; dan (4) Memperbaiki dan meningkatkan kualitas kepemimpinan
dari masing-masing lembaga.

Pada sisi Polri, sepertinya perlu diusulkan wacana bahwa Polri


idealnya berada di bawah Kementerian, sama halnya dengan TNI yang
berada di bawah Kementerian Pertahanan (Kemhan). Dengan demikian,
manajemen pada tubuh Polri justru akan semakin membuat instansi tersebut
semakin profesional, bersih, dan akuntabel dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya. Mengenai Kementerian apa yang akan membawahi Polri, tentu
hal tersebut merupakan sebuah keputusan politik. Bisa saja Polri di bawah
Kementerian yang telah ada saat ini, atau bisa juga dengan membentuk
sebuah kementerian khusus.27

Sedangkan pada sisi TNI, sebaiknya tetap mempertahankan posisinya


sebagai aparat pertahanan yang netral baik di ranah politik, hukum, dan
bisnis pada utamanya. Kenetralan organisasi TNI menjadi kunci keberhasilan
sinergi TNI-MSI karena dapat menghindari sejauh mungkin atas tindakan-
tindakan yang berbau kolusi, nepotisme, dan korupsi yang pada akhirnya
dapat memburuk citranya dihadapan publik. Selain itu TNI perlu memastikan
anggotanya, khususnya dikalangan akar rumput untuk sebisa mungkin
menghindari konflik dengan anggota Polri.

27Lihat usulan berbagai alternatif utk kementerian yg mengurus Polri,


http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16224/perlu-dibentuk-kementrian-khusus-
untuk-polri, diakses tgl 10 Agustus 2015.

21
c. Level Program

Pada level ini fokus pada internal lembaga masing-masing, khususnya


terkait peningkatan kompetensi, kesejahteraan, dan pendidikan baik di tubuh
TNI, Polisi, dan MSI sendiri. Misalkan saja memperbaiki tingkat kesejahteran
personel baik secara materiel maupun non materiel, maupun kompetensi
personel melalu pelatihan dan pengembangan kemampuan mereka sesua
dengan bidang tugasnya masing-masing. Dengan semakin baiknya kapasitas
instansi TNI-Polri-MSI maka lembaga ini juga akan semakin mantap dalam
berkoordinasi dan bekerjasama untuk menjaga stabilitas nasional

Pada sisi TNI, anggaran pertahanan harus dialokasikan secara tepat


dan efektif, terutama anggaran yang menyangkut dengan kesejahteraan
personel di level bawah, karena hal inilah yang sering menjadi akar
permasalahan konflik dengan personel Polri. Kesenjangan kesejahteraan
antara anggota TNI di level bawah – menengah sebisa mungkin harus
diminimalkan dengan dicarikan solusi yang tepat oleh para petinggi TNI.
Selain itu peningkatan kompetensi dan pendidikan, khususnya di bidang
sosial perlu ditanamkan ke personnel TNI, sehinga mereka sadar bahwa
kehadiran mereka memiliki dampak sosial yang luas kepada MSI. Hal ini
sangat diperlukan untuk menghindari potensi pelanggaran-pelanggaran HAM
di masa mendatang.

Sedangkan pada sisi Polri, dibutuhkan figur kepemimpinan yang


bersih, sehingga segala bentuk tindakan yang berbau korupsi dan kolusi
dapat dihindari. Apalagi tugas dan kewajiban Polri langsung berhubungan
dengan MSI, sehingga publik dengan cepat dan mudah memberikan kritik
apabila tindakan Polri masih tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang
berlaku. Selain itu polisi harus mengedepankan pendekatan humanis kepada
masyarakat untuk meminimalkan sikap arogansinya, sehingga citra Polri di
mata publik pun akan dapat terwujud dengan sendirinya.

Pada sisi MSI program-program pendidikan yang meningkatkan


pemahaman anggota MSI terhadap permasalahan penegakan hukum
(gakkum) sangat penting dikembangkan dengan melibatkan Polri secara lebih
intensif. Program Pemolisian Masyarakat (Polmas), yang telah menjadi

22
komitmen Polri sampai saat ini mendesak untuk diperluas dan disesuaikan
dengan daerah-daerah termasuk adaptasi dengan budaya lokal. Keterlibatan
organisasi masyarakat sipil (OMS), seperti ormas sosial keagamaan, LSM,
media massa, cendekiawan, dan lain-lain perlu mendapat prioritas di tataran
akar rumput. Demikian pula sinergi program antara TNI-Polri-MSI perlu dibuat
dalam berbagai bentuk yang disesuaikan dengan pola pembinaan teritorial
(Binter). Misalnya saja berbagai program terkait penanggulangan bahaya
radikalisme bisa diciptakan bersama antara ketiga komponen tersebut di
wilayah-wilayah yang rentan dengan penetrasi ideologi radikal seperti wilayah
perbatasan dan wilayah-wilayah ‘hot spot’ gerakan radikal di negeri ini.

6. Penutup

Sinergi yang baik antara TNI-Polri-MSI merupakan prasyarat mutlak


untuk mewujudkan keamanan nasional yang dinamis serta untuk menjaga
stabilitas nasional. Masing-masing lembaga tersebut memiliki kontribusi yang
signifikan terhadap stabilitas nasional, sehingga implementasinya perlu
memperhatikan batasan-batasan terentu supaya tidak terjadi konflik antara
yang satu dengan yang lain. Baik TNI maupun Polri dituntut untuk selalu
mengedepankan profesionalisme serta netralitasnya dalam mengelola
hankam di Indonesia. Konflik-konflik yang masih terjadi antara TNI-Polri-MSI
jelas dibutuhkan pendekatan yang strategis maupun taktis sehingga sinergi
antar kelompok tersebut tidak terganggu. Apalagi di era reformasi sekarang
ini semakin menuntut sinergi yang solid antara TNI-Polri-MSI untuk menjaga
stabilitas nasional.

23
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Choirie, Effendy. Menata Kembali Hubungan TNI-Polri Dalam Konteks


Pertahanan dan Keamanan, 2008
Perwita, Bayu. Masalah-masalah Hubungan TNI-Polri Untuk Penanganan
Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas, 2008
Sambuaga, Theo. TNI-Polri di Masa Perubahan Politik, Jakarta, 2008
Yunus, Muhammad. Kajian Konsep Stabilitas Nasional Terhadap Pengaruh
Lingkungan Strategis

Sumber-Sumber Internet

“32 kasus Bentrok TNI-Polri Sejak 2005”, diakses di portal Beritasatu


“Azyumardi Arza: Penangkapan BW itu Bentuk Arogansi Polri”, diakses portal
Republika, Januari, 2015
“Harapan Publik Kepada Polri”, dilansir dari Harian Cetak Kompas, April, 2015
“IPW: Bentrok TNI-Polri Terbanyak di 2014”, diakses di portal covesia
Baru”, Kontras, 2008
“Kepolisian dan DPR, Lembaga Paling Korup di Indonesia”
“Publik Galang Petisi Copot Kabareskrim Budi Waseso,” diakses di portal
sindonews, Juli, 2015
“Satu Dekade: Keberhasilan Reformasi TNI Terbebani Paradigma Orde
Kasfo.Brangkas Informasi
“Survei Populi: DPR dan Polri Lembaga Terkorup”, diakses di portal CNN
Indonesia, Januari, 2015
Lihat usulan berbagai alternatif utk kementerian yg mengurus Polri,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16224/perlu-dibentuk-
kementrian-khusus-untuk-polri, diakses tgl 10 Agustus 2015.

24
25

Anda mungkin juga menyukai