Anda di halaman 1dari 9

Peran Strategis Pembangunan Industri

Pertahanan

Submitted by habibiyusuf on Tue, 09/28/2010 - 15:23.

Strategy

Oleh: Habibi Yusuf Sarjono, ST, MHan


Pendahuluan
Industri pertahanan merujuk kepada pengelompokkan (cluster) dari aktivitas industri yang
kegiatan utamanya berorientasi pada produksi alat-alat kebutuhan pertahanan. Alat-alat
kebutuhan pertahanan ini meliputi alat utama system senjata (alutsista), baik itu senjata
ringan, senjata berat, maupun kendaraan tempur dan kendaraan pendukung kegiatan
pertahanan.
Dalam konteks pertahanan nasional, industri pertahanan berperan dalam mendukung dan
memperkokoh kekuatan pertahanan nasional, terutama pada aspek teknologi yang meliputi
infrastruktur dan alutsista. Selain teknologi, komponen yang membentuk kekuatan
pertahanan nasional adalah sumber daya manusia (jumlah personil, kemampuan dan strategi
tempur, moral juang) dan sumber daya alam (luas wilayah, benteng alam, kekayaan mineral,
bahan mentah, bahan pangan, bahan energi).
Keseluruhan kekuatan pertahanan nasional tersebut digunakan untuk melindungi kepentingan
nasional kita terhadap potensi ancaman dari luar negara. Secara operasional, penggunaan
kekuatan pertahanan nasional tersebut diatur dalam doktrin pertahanan nasional, yang
dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai regulasi pemerintah, salah satunya adalah Buku Putih
Pertahanan Indonesia yang dibuat Departemen Pertahanan pada tahun 2008.
Secara anatomis, konsep ini bisa digambarkan sebagai berikut:

Dari situ bisa dilihat bahwa segala kebijakan yang bertujuan untuk membangun atau
memperkokoh kemampuan pertahanan nasional, di mana industri pertahanan sebagai salah
satu komponennya, tidak bisa dilepaskan dari grand design pengelolaan negara berupa
kepentingan nasional yang hendak diperjuangkan dalam rangka menghadapi atau menangkal
potensi ancaman terhadap negara kita.

Stakeholder Industri Pertahanan Nasional


Industri pertahanan nasional terdiri dari industri yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan
besar yang berstatus BUMN maupun perusahaan-perusahaan lainnya yang bukan BUMN
(swasta). Secara umum, keberadaan industri pertahanan tersebut adalah untuk mendukung
penyediaan semua produk-produk teknologi yang memperkuat pertahanan nasional.
Dalam pelaksanaannya, keberadaan industri pertahanan tidak bisa dipandang sebagaimana
industri lainnya (meskipun status perusahaannya adalah BUMN). Hal ini dikarenakan
konsumen atau pengguna (user) dari produknya bersifat monopoli, yaitu negara (TNI atau
negara lain yang memesan dengan persetujuan negara). Untuk itu, keberlangsungan industri
pertahanan mesti dipandang juga melalui peran para stakeholdernya. Berikut ini adalah
gambaran umum dari para stakeholder yang mempengaruhi keberlangsungan industri
pertahanan nasional.

Secara deskriptif, berikut adalah peran masing-masing stakeholder yang mempengaruhi


keberlangsungan industri pertahanan.

Stakeholder

Posisi

Peran

Presiden

Penanggung jawab
pemerintahan tertinggi

Membuat arah & kebijakan tertinggi


utk pembangunan, termasuk pertahanan
dan perindustrian

DPR

Lembaga perwakilan rakyat

Membuat UU sebagai kebijakan


nasional, melakukan penajaman
(shaping) dlm pelaksanaan
pemerintahan melalui rapat kerja &
pengawasan, membahas &
mengesahkan distribusi anggaran
pertahanan

Kementerian Pertahanan

Pengelola arah & kebijakan


pertahanan

Membina industri pertahanan,


membuat roadmap alutsista nasional,
mengelola akuisi & logistic pertahanan

Kementerian Perindustrian Pengelola arah & kebijakan


industri nasional

Memberikan insentif kepada industri


nasional dgn kategori tertentu

Kementerian BUMN

Mengatur manajerial perusahaan,

Pengelola BUMN

efisiensi, target-target pemerintah

Kementerian Ristek

Pengelola kemajuan ristek

Mendukung kemajuan teknologi baru,


menjembatani kegiatan riset & industri

Kementerian Keuangan

Pengelola keuangan negara

Mengatur pos-pos distribusi anggaran


tiap lembaga negara, termasuk
memberi insentif fiscal (pajak)

Lembaga Riset (kampus,


LPND)

Pelaksana kegiatan riset &


inovasi teknologi

Melakukan kegiatan riset & teknologi


baru, khususnya di bidang pertahanan

TNI

Pelaksana pertahanan negara


yg menggunakan produk
industri pertahanan

Menjadi pemesan utama produk


industri pertahanan, menjabarkan
spesifikasi teknis alutsista yang
diperlukan

Perbankan

Penyediaan pembiayaan

Meberikan fasilitas pembiayaan


produksi dalam skala besar (umumnya
kredit) serta investasi baru

Industri lainnya

Supply chain industri

Memasok bahan baku & bahan lainnya


dalam rantai produksi

Salah satu karakteristik dari industri pertahanan (di negara manapun) adalah adanya campur
tangan negara yang relative lebih tinggi dibandingkan terhadap industri-industri lainnya.
Untuk itu, pemahaman akan banyaknya stakeholder yang ikut berperan terhadap
keberlangsungan industri pertahanan dalam memproduksi alat-alat kebutuhan pertahanan
sangat diperlukan. Hal ini terutama untuk memetakan dan membagi peran-peran strategis
yang bisa dijalankan oleh masing-masing stakeholder.
Kunci utama dari banyaknya stakeholder yang terlibat adalah adanya kepemimpinan yang
efektif mulai dari mengarahkan kebijakan nasional, menentukan prioritas kepentingan
nasional yang ingin diperjuangkan & dipertahanankan terhadap ancaman dari luar, lalu
membuat turunan hingga ke tataran operasional, hingga menjamin pelaksanaannya bisa
berjalan sesuai yang direncanakan secara efektif dan efisien.
Profil Industri Pertahanan Nasional
Keberadaan industri pertahanan nasional tidak bisa dilepaskan dari peran Prof. B.J. Habibie
yang menginisiasi dibentuknya industri strategis. Dinamakan industri strategis karena

sifatnya yang strategis tidak hanya bagi industri itu sendiri (teknologi tinggi, efisiensi, laba),
tapi juga dampaknya bagi negara dalam skala luas (ekonomi, pertahanan, perhubungan,
komunikasi, industri berat, dll).
Sejak konsep industri strategis ditiadakan, maka perusahaan-perusahaan BUMN besar seperti
PT Pindad, PT DI (dulu IPTN), PT PAL, PT Krakatau Steel, PT LEN, dll kini dituntut untuk
bisa menjalankan industri sebagaimana lainnya, di antaranya yaitu efisiensi, ekonomis, dll.
Salah satu perusahaan yang merasakan dampak yang begitu besar dengan perubahan
kebijakan ini adalah IPTN yang sejak reformasi diganti nama menjadi PT DI. Insentif besar
yang banyak diberikan pada masa lalu secara drastis dihilangkan dan mesti bersaing secara
normal. Padahal, sebelumnya ada harapan besar bahwa IPTN dapat menjadi industri
pendorong bagi bangkitnya kemajuan teknologi nasional menuju negara yang berbasis
industri.
Prinsip ini yang seringkali tidak sejalan dengan sifat industri pertahanan itu sendiri.
Konsumen yang monopoli membuat industri pertahanan hanya bergantung pada negara (TNI)
sebagai pemesannya. Kalaupun mau melebarkan sayap ke pasar luar negeri, belum tentu bisa
bersaing dan belum tentu disetujui oleh pemerintah (bayangkan kalau senjata buatan Pindad
dibeli oleh negara yang akan memerangi Indonesia). Sementara itu, seringkali produsen
pertahanan juga kesulitan untuk mengembangkan investasi dan melakukan riset karena
minimnya pembiayaan & tidak adanya insentif dari pemerintah.
Contoh kasus yang sangat relevan dengan kondisi ini adalah pada produksi 150 unit panser
Anoa 6X6 oleh PT Pindad. Pada medio 2007 -2008 lalu, Indonesia ambil bagian dalam misi
penjaga perdamaian PBB di Libanon. Sebagai salah satu kepentingan nasional Indonesia
untuk turut serta menjaga perdamaian dunia, maka TNI sebagai pelaksana membutuhkan
alutsista yang memadai, salah satunya adalah kendaraan pengangkut pasukan berupa Panser.
Selain untuk kepentingan misi PBB, tentu saja Panser juga dibutuhkan untuk kepentingan
pertahanan di Indonesia.
TNI bertindak sebagai pengguna (user). Maka TNI membutuhkan spesifikasi Panser yang
sesuai dengan kebutuhannya (operational requirement). Secara pragmatis, TNI tidak terlalu
mempedulikan apakah Panser itu buatan Indonesia atau buatan luar negeri. Ukurannya adalah
kualitas. Dan karena selama ini TNI selalu membeli dari luar (Perancis), maka itu adalah
pilihan awalnya. Asalkan bisa memenuhi syarat dan bisa diperoleh secara cepat.
Di sisi lain, industri nasional, dalam hal ini PT Pindad, telah memiliki kemampuan yang
mencukupi untuk membuat Panser dengan spesifikasi tersebut. Namun, Pindad tetap
membutuhkan banyak dukungan, mulai dari secara teknis bahan-bahan pendukungnya
(mesin, baja spesifikasi armor, dan lain-lain), hingga pembiayaan produksi (produksi skala
besar). Kebutuhan Pindad ini tidak bisa dipenuhi secara cepat, di antaranya karena kesulitan
dalam pembiayaan dan bahan baku khususnya baja spesifikasi armor.
Jika kondisi ini dibiarkan layaknya business as usual, maka bisa dipastikan TNI akan
memilih untuk membeli Panser dari luar negeri (preferensi ke Perancis). Namun kemudian,
dengan dukungan kepemimpinan yang efektif, akhirnya setelah mendapat presentasi dari
Pindad, pemerintah (oleh Wapres) setuju untuk memesan panser tersebut dari Pindad, tentu
saja Departemen Pertahanan diperintahkan untuk mengatur & TNI wajib memakainya. Lalu
dari situlah, satu persatu kendala yang tadinya dihadapi mulai diatasi (dengan bantuan

pemerintah juga). Mulai dari pembuatan baja armor oleh Krakatau Steel hingga pembiayaan
produksi melalui perbankan dalam negeri.
Hasil akhirnya cukup fantastis. Setelah diuji coba, Panser Anoa buatan Pindad tidak kalah
dengan Panser buatan Perancis (toh mesinnya samamasih impor dari Perancis). Baja
armornya juga kuat, sesuai dengan standar NATO dan PBB. Sementara itu, kelebihan lainnya
yang bisa diambil adalah harganya yang lebih murah (Rp 7 Miliar/unit, bandingkan dengan
beli dari Perancis sekitar Rp 14 Miliar/unit), mendukung keterlibatan industri lokal lainnya
dalam penyediaan bahan baku (baja, wiring, aksesoris lainnya), peningkatan kemampuan
teknologi industri, dan tentunya kemandirian yang berarti segala kelemahan Panser kita tidak
diketahui oleh negara lain.
Dampak positif lainnya, beberapa negara lain ikut melirik keberhasilan Pindad ini dengan
ingin ikut memesan Panser serupa, atau dengan kerja sama teknologi untuk membuat Panser
dengan tipe lainnya. Ini artinya juga meningkatkan pangsa pasar dan daya saing industri
nasional kita.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan industri pertahanan tidak bisa dijalankan
seadanya. Harus ada kebijakan yang kuat, jelas, dan terarah dari pemerintah. Ini sekaligus
juga menjadi indikasi bahwa banyaknya stakeholder industri pertahanan tadi mesti diurai
melalui kepemimpinan yang efektif yang bisa mengkoordinasikan lintas instansi.
Analisis SWOT Industri Pertahanan Nasional
Kekuatan (Strength):
1. Kekayaan alam (sebagai bahan baku industri)
2. SDM (adanya tenaga ahli yang menimba ilmu di negeri orang yang menguasai
teknologi tinggi persenjataan)
3. TNI yang solid, dengan kemampuan & strategi yang cukup handal dan moral juang
tinggi
Kelemahan (Weakness):
1. Knowledge management tentang teknologi pertahanan (ada banyak tenaga ahli tapi
kemampuannya tidak tersinergikan)
2. Koordinasi antarinstansi dan kepemimpinan yang lemah
3. Politik yang tidak stabil dan banyak tarik-ulur (terutama dalam soal
pengadaan/akuisisi alutsista)
4. Kebijakan & komitmen yang kuat & tegas dari pemerintah untuk memajukan industri
pertahanan nasional
Peluang (Opportunity):
1. Negara yang besar (artinya banyak formasi pertahanan yang masih bisa diisi dengan
alutsista)

2. Dukungan lembaga riset (termasuk kampus) dan suplai SDM yang tertarik di bidang
pertahanan
3. Kebijakan normatif pemerintah yang mendukung revitalisasi industri pertahanan
nasional
4. Kebijakan normatif pemerintah yang mendukung prioritas penggunaan industri dalam
negeri
5. Adanya gelombang reformasi birokrasi & reformasi sector keamanan yang
menghendaki adanya transparansi dan good governance di semua lini
6. Masih ada negara-negara yang mau bekerja sama & alih teknologi secara nyata di
bidang pertahanan (berbeda dengan AS yang tidak menyediakan hal tsb)
Ancaman (Threat):
1. Korupsi
2. Politik yang tidak stabil, terutama setiap pergantian pemerintahan selalui berganti
kebijakan
3. Kepentingan negara besar yang tidak suka dengan kemandirian Indonesia atau
terancam akan ditinggalkan Indonesia sebagai konsumennya
Membangun Industri Pertahanan
Salah satu pertanyaan yang penting adalah, perlukah industri pertahanan nasional dibangun
atau ditingkatkan?
Tentu banyak jawaban atas pertanyaan ini. Salah satunya adalah versi ekonomi arus utama
yang menghendaki adanya efisiensi, mekanisme pasar, dan pengurangan peran negara dalam
campur tangan terhadap industri pertahanan. Salah satu pertimbangannnya adalah soal
perilaku koruptif dan inefisiensi yang selalu muncul pada BUMN-BUMN kita. Singkatnya,
segala sesuatu yang diatur negara seolah-olah pasti tidak beres.
Asumsi tersebut tidak salah. Dan secara ekonomis, memang diakui bahwa semakin diatur
oleh negara maka akan semakin menumbuhsuburkan inefisiensi dan korupsi. Namun perlu
kita pahami, bahwa itu adalah asumsi generik, artinya berlaku secara umum. Hal ini bisa juga
diartikan bahwa tidak semua sector akan begitu, dan tidak semua permasalahan tersebut
diselesaikan dengan swastanisasi dan liberalisasi.
Sebagai contoh, kita bisa membandingkan dengan AS, dan Eropa.
Sejak tahun 2000, pemerintah AS menginisiasi proyek pembuatan pesawat tempur paling
canggih (generasi kelima), yaitu JSF (Joint Strike Fighter) F-35. Pesawat ini ditujukan untuk
memodernkan banyak pesawat tempur milik AS, yang konsumennya diperluas ke banyak
sekutu AS (NATO, Australia, Eropa). AS yang negara kiblatnya ekonomi liberal, ternyata
tidak menyerahkan sepenuhnya proyek ini kepada industri pertahanan. Dephan AS justru
yang menginisiasi program ini, termasuk menyediakan dana riset awal dengan penentuan
spesifikasi teknis yang dibutuhkan. Lalu didapatkan dua calon kontraktor yang bersaing
mendapatkan proyek (tender): Lockeed Martin (produsen hamper semua pesawat tempur
unggulan AS) dan Boeing (produsen pesawat komersial yang ingin ikut menjajaki bidang

militer). Kedua perusahaan ini diberikan dana riset yang sama, lalu di tengah jalan banyak
terjadi penyesuaian sehingga dana risetnya ditambah.
Lalu setiap negara pemesan boleh meminta customize tertentu, tapi otoritas tetap ada di
Dephan AS. Jadi pemerintah AS (Dephan) bertindak sangat dominan dan bahkan tidak lagi
menerapkan yang umumnya disebut mekanisme pasar tersebut. Dephan AS memegang
monopoli dan menentukan sampai hal-hal detil setiap do and dont.
Lain lagi dengan Eropa. Untuk mewujudkan konsep pertahanan Eropa bersama, 4 negara
besar Eropa membuat proyek bersama produksi pesawat tempur canggih dengan spesifikasi
yang berbeda dengan JSF F-35, yaitu Eurofighter Typhoon. Eurofighter ini merupakan kerja
sama Inggris, Spanyol, Italia, dan Jerman. Pelaksana mulai dari riset dan produksi adalah
perusahaan-perusahaan produksi pesawat masing-masing, namun besaran kontrak dan
pembagian peran produksinya tetap dilakukan oleh negara dengan proporsi sesuai dengan
proporsi anggaran yang diturunkan oleh tiap-tiap negara. Hal ini terlihat bahwa produsen
peswat tempur di satu negara pun tidak bisa bekerja sama dengan produsen dari negara lain
tanpa campur tangan negara. Dan tentunya, baik proyek Eurofighter maupun JSF F-35 tidak
akan pernah ada kalau tidak ada pendorong & fasilitatif yang kuat dari pemerintahnya
(government driven-industri).
Dengan kata lain, kedua contoh tersebut bisa menggambarkan betapa industri pertahanan itu
bukanlah industri yang bisa dipandang secara ekonomis semata, namun juga ada peran besar
dari pemerintah sebagai pemegang saham terbesar (dan satu-satunya) terhadap kepentingan
pertahanan negaranya masing-masing. Dari sini, bisa kita lihat bahwa industri pertahanan
sangat erat kaitannya dengan kepentingan pertahanan nasional yang merupakan turunan dari
kepentingan nasional (national interest).
Kemandirian dan Efek Penggentar
Kepentingan utama yang melatarbelakangi perlunya industri pertahanan didorong dan
ditingkatkan adalah kebutuhan akan kemandirian dan efek penggentar yang tinggi.
Kemandirian dibutuhkan karena kita pernah merasakan dan sedang merasakan pengalaman
pahit dengan membeli alutsista dari luar. Selain harganya mahal, kita menjadi tidak
sepenuhnya berdaulat. Sedikit saja dianggap melanggar HAM, maka AS akan mengembargo
mulai dari suku cadang hingga penarikan pesawat yang sedang menjalani perawatan atau
perbaikan di pabrik asalnya di sana. Jangankan soal adanya alih teknologi, kelemahan kita
justru sangat jelas dikuasai dan bisa dimainkan oleh mereka. Maka sangat jauh kalau kita
ingin membangun postur pertahanan yang kuat dan berwibawa.
Begitu pula ketika TNI melakukan operasi pemberantasan GAM di Aceh pada tempo dulu.
Sebagian kendaraan tempur yang dibeli dari Inggris kemudian ditarik kembali melalui
tekanan dari pemerintah Inggris karena tidak sesuai dengan kebijakan mereka (di antaranya
kendaraan tersebut tidak boleh digunakan untuk berperang di dalam negeri).
Mengenai efek penggentar (deterrent effect), ini adalah konsep abstrak yang tidak
sepenuhnya ditentukan oleh teknologi yang tinggi. Suatu negara, apabila memiliki kekuatan
militer yang tidak bisa diketahui oleh negara lain, maka itu sudah cukup menjadi efek
penggentar, meskipun skalanya tentu akan berbeda-beda. Apalagi kalau diketahui bahwa
teknologi yang dipakai oleh negara itu sangat genuine, tidak bisa ditembus, dan tidak bisa
ditandingi. Semua negara produsen alusista selalu menyimpan suatu teknologi yang hanya
dikuasai oleh negaranya sendiri dan tidak dijual ke negara lain. Hal ini salah satunya untuk

antisipasi supaya dalam gelar kekuatan total, alutsista tersebut tidak bisa ditangkal oleh
negara manapun.
Kedua hal ini tentu mudah dipahami oleh kebanyakan orang. Namun pertanyaan selanjutnya
adalah, bagaimana mewujudkannya?
Membangun industri pertahanan nasional sejatinya adalah menjaga supaya industri nasional
tetap bekerja secara progresif. Di satu sisi, dapat memperkuat kemampuan pertahanan
nasional. Di sisi lain, dapat menjalankan roda perekonomian dengan efek bola salju yang
mampu menghidupkan industri-industri lain dalam rantai produksinya, ataupun melahirkan
industri-industri baru yang beragam. Secara makro, hal ini juga akan mendorong kemajuan
teknologi yang lebih tinggi lagi, dan pada gilirannya akan menghasilkan efisiensi dan
meningkatkan competitive advantage negara.
Untuk itu, berikut adalah langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk membangun dan
mendorong industri pertahanan nasional:
1. Mempertegas arah & kebijakan pertahanan negara, yang bersumber dari kepentingan
nasional. Di sini diperlukan kepemimpinan nasional tertinggi dan peran DPR untuk
memastikan dan menajamkannya. Hal ini sebagai pedoman atas seluruh
penyelenggaraan pertahanan negara, yang berlaku efektif hingga diturunkan ke
operasionalitasnya.
2. Memperjelas roadmap kebutuhan alutsista nasional mulai dari jangka pendek,
menengah, dan panjang. Roadmap ini dibutuhkan untuk mengetahui teknologi apa
saja yang dibutuhkan dan mana saja yang bisa dipersiapkan. Seringkali kelemahan
industri nasional tidak mampu memenuhi kebutuhan TNI karena membutuhkan waktu
untuk melakukan riset dan pengembangan teknologi. Dengan adanya roadmap ini,
pemerintah juga bisa membuat kalkulasi kekuatan pertahanan nasional dalam jangka
waktu tertentu.
3. Meningkatkan peran kepemimpinan dalam koordinasi antarinstansi. Kementerian
Pertahanan sebagai Pembina industri pertahanan nasional harus memainkan peran
kepemimpinan yang kuat dan efektif dalam mengkoordinasikan antarinstansi dan
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan, baik itu dengan lembaga riset untuk
mendukung kemampuan teknologi & inovasi baru, lembaga keuangan untuk
penyediaan fasilitas pembiayaan, industri lainnya untuk menyuplai rantai produksi,
hingga mengarahkan TNI untuk tetap prioritas membeli produk dalam negeri yang
berkualitas tinggi.
4. Peran optimal yang bisa dilakukan oleh DPR sebagai lembaga dengan fungsi legislasi,
pengawasan, dan anggaran di antaranya:
a. Mempercepat pembahasan pembuatan UU Keamanan Nasional sebagai
payung utama kebijakan keamanan nasional (termasuk di dalamnya
kepentingan nasional, persepsi ancaman, kebijakan umum pertahanan, dll),
UU Revitalisasi Industri Pertahanan yang mendorong industri pertahanan
nasional sekaligus mendukung perekonomian nasional, dan peraturanperaturan yang relevan lainnya.

b. Memberikan penajaman kepada pemerintah (Kemenhan, TNI) sebagai mitra


kerjanya untuk lebih fokus pada pengadaan alutsista melalui industri
pertahanan dalam negeri dan melakukan kerja sama riset & pembinaan
kemampuan industri dalam negeri tersebut.
c. Melakukan pengawasan terhadap proses akuisisi/pengadaan alutsista oleh
pemerintah secara lebih ketat. Mengingat banyak produsen alutsista yang
bersifat monopoli, sangat rawan terjadi korupsi tanpa adanya trade-off atas
pembelian alutsista yang proporsional.
d. Meminta alokasi anggaran pertahanan khusus untuk pembinaan industri
pertahanan nasional, untuk memastikan bahwa dukungan terhadap industri
pertahanan ini adalah nyata & efektif sejak dalam tahapan riset.
Penutup
Membangun industri pertahanan nasional berarti juga membangun kekuatan pertahanan
nasional yang semakin kokoh, mandiri, dan berdaya gentar tinggi, berarti juga membangun
perekonomian nasional melalui efek bola salju yang berimbas positif pada industri-industri
pendukung lainnya. Untuk itu, diperlukan kepemimpinan yang kuat dan efektif untuk
mengarahkan, mengkoordinasikan, dan menggerakkan semua potensi komponen bangsa
dalam mewujudkannya.
-Penulis adalah alumnus Magister Studi Pertahanan ITB, program kerja sama dengan Defence
Management Master Program, Cranfield University (UK)

Anda mungkin juga menyukai