Anda di halaman 1dari 7

TERBATAS

UPAYA MENGURANGI KETERGANTUNGAN PENGADAAN ALUT SISTA TNI


TERHADAP ASING

Kekuatan TNI tidak terlepas dari alat utama persenjataan. Dari beberapa kejadian
terakhir antara lain jatuhnya pesawat Nomad di Aceh, tenggelamnya tank Ampibi saat latihan
pendaratan di Jawa Timur menunjukkan bahwa keberadaan alat utama system persenjataan
TNI perlu ditinjau kembali kelayakannya. Dari data yang diperoleh Kompas, diketahui
sejumlah persenjataan yang sampai sekarang masih dipakai di TNI Angkatan Darat,
diproduksi sejak akhir tahun 1950-an. Beberapa persenjataan itu seperti kendaraan tempur
jenis Saracen (1957) dan Ferret (1959) buatan Inggris, tank AMX-13 buatan Perancis (1958),
atau senjata berat artileri medan Kal 76 mm M-48 B-1 buatan tahun 1958. Kondisi ini
dipengaruhi keterbatasan kita dalam memelihara komponen maupun suku cadangnya yang
kadang-kadang dinegara pembuatnya sudah tidak diproduksi lagi.

Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan kita, namun dengan keterbatasan alokasi
anggaran yang ada sampai saat ini, memang bukan perkara gampang bagi pemerintah untuk
dapat membangun kekuatan pertahanan TNI yang ideal atau bahkan sekadar untuk
mencukupi kekuatan pertahanan minimal, seperti menjadi kebijakan pemerintah saat ini.
Memang selama ini kita akui bahwa kita masih banyak bergantung kepada Negara lain
tentang pengadaan dan pemeliharaan Alutsista, oleh karena itu perlu dicari jalan alternatif
agar kita tidak selalu bergantung pada negara lain dalam hal pengadaan Alutsista.

Tulisan ini membahas tentang upaya pembangunan alat utama sistem persenjataan
melalui pemberdayaan kekuatan dan kemampuan sendiri agar tidak selalu bergantung
dengan Negara lain dalam pengadaan alat utama system persenjataan.

Kemandirian pertahanan negara menuntut industri pertahanan yang mandiri. Untuk


itu industri dituntut untuk memiliki kemampuan khusus serta dapat menjamin ketersediaan
produk yang dibutuhkan. Kondisi ini merupakan prasyarat bagi negara yang tidak
menggantungkan dirinya pada negara lain. Kemandirian merupakan parameter penting yang
mencerminkan survivability dalam kondisi kritis dan darurat. Dalam kondisi normal,
survivability menuntut suatu industri pertahanan untuk mempunyai kemampuan
TERBATAS
TERBATAS
2
berdiversifikasi produk yang memiliki nilai dan manfaat komersial dengan menggunakan
teknologi pertahanan. Sisi lain, kemandirian perlu didukung oleh kualitas sumberdaya
manusia dan penguasaan teknologi yang saling berkaitan. Sumber daya manusia yang
memiliki kreatifitas, inovatif, percaya diri serta terampil berkomunikasi dan bekerja sama,
merupakan faktor pendukung dalam keberhasilan produksi dan penciptaan produksi. Dalam
hal tersebut, diperlukan pula penguasaan teknologi dan jaminan logistik serta kemampuan
pengembangan produk baru. Penelitian dan pengembangan diperlukan untuk memungkinkan
temuan-temuan baru dan mengatasi berbagai masalah secara optimal.

Dalam masalah kemandirian alat pertahanan, Presiden RI Susilo Bambang


Yudhoyono telah berpesan kepada Menteri Pertahanan RI (Menhan) Yuwono Sudarsono
untuk konsisten terhadap kebijakan pemerintah selama ini yang bertekad untuk
mengedepankan produk dalam negeri. Instruksi presiden itu yang pertama, agar keperluan
pertahanan dan keamanan yang bisa diproduksi di dalam negeri dengan asumsi kualitas,
kinerja serta kecocokan harga yang baik harus dibeli di dalam negeri. Kedua, peralatan dan
persenjataan yang belum mampu dibuat di dalam negeri diadakan dari luar negeri, tetapi
tanpa menyertakan persyaratan yang tidak menguntungkan bagi Indonesia. “Beli dari luar
negeri dengan conditionality yang tidak aneh – aneh, kalau perlu tanpa syarat”, tegas
Presiden RI. Ketiga, kerjasama dengan pihak luar dimungkinkan seperti kerjasama riset,
produksi dan investasi asalkan menguntungkan bagi Indonesia dan menuju pada alih
teknologi. Merealisasikan instruksi presiden itu, Dephan telah menanda tangani
Memorandum Of Understanding (MOU) dengan BUMN Industri Strategis dalam negeri,
seperti PT Dirgantara Indonesia (DI) PT. PAL, PT. Pindad dan sebagainya. Ketika
berkunjung ke salah satu industri strategis dalam negeri bersama – sama dengan sejumlah
menteri kabinet Indonesia Bersatu dan Panglima TNI, Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono menyatakan bahwa sudah waktunya kita memiliki kemandirian dalam pengadaan
alutsista dan berpesan agar TNI nantinya benar-benar menggunakan hasil produksi
pertahanan dalam negeri. Langkah ini merupakan salah satu cara untuk
menumbuhkembangkan alat utama sistem senjata (Alutsista) produk industri di tanah air.
Perkembangan kearah itu cukup membanggakan, teknologi pertahanan dan keamanan
(Hankam) pelan-pelan mulai dikuasai di dalam negeri. Sebuah langkah bijak, mengingat
pentingnya kemandirian Hankam. Presiden mengajak seluruh komponen bangsa khususnya
TERBATAS
TERBATAS
3
BUMN industri strategis kita menunjang kepentingan pertahanan negara,untuk bekerjasama
agar kemandirian dalam bidang pertahanan, khususnya mengenai alutsista dapat terealisir.
Walaupun pemerintah akan menyerap sebanyak mungkin produksi persenjataan dalam
negeri, namun SBY tetap mengingatkan agar industri dalam negeri terus melakukan
kerjasama alih teknologi dengan industri asing. "Tapi kerjasama itu jangan dengan cara
yang aneh-aneh, kalau bisa tanpa syarat sama sekali," ujarnya "Tolong cendekiawan BUMN
industri strategis kita menunjang kepentingan pertahanan negara," ujar SBY dalam
kunjungannya ke PT Dirgantara Indonesia (DI), Bandung beberapa waktu lalu. Terkait
dengan masalah kemandirian Wakil Presiden Yusuf Kalla mendesak kepada Departemen
Pertahanan (Dephan) agar meminimalkan pengadaan alat utama sistem senjata dari luar
negeri dan menggunakan Alutsista dari hasil produksi dalam negeri. Kebijakan tersebut
sebagai tindak lanjut atau realisasi dari instruksi Presiden untuk meningkatkan semua
kebutuhan Alutsista untuk pertahanan yang bisa diproduksi dengan kemampuan dan
kapasitas dalam negeri, akan diadakan secara nasional. Untuk menunjang itu, Wapres minta
perbankan nasional, khususnya bank BUMN, menyediakan dana talangan. “Kita
menargetkan semua kebutuhan Alutsista yang dapat dibuat dalam negeri, kita buat sendiri.
Kalau tidak sanggup sekarang, diriset dulu untuk dibuat di kemudian hari,” tegas Wakil
Presiden M. Jusuf Kalla seusai memimpin rapat terbatas tentang industri pertahanan dalam
negeri, di Dephan. Menurut Wapres, pengadaan Alutsista selama ini dilakukan dengan
mekanisme kredit ekspor. Untuk mengganti mekanisme itu, sudah sewajibnya bank lokal ikut
berperan. “Pemerintah akan menjamin itu dari sisi kepastian pembayaran. Sama dengan
pemerintah menjamin kredit ekspor,” tegasnya.

Pengadaan Alutsista TNI dengan memprioritaskan produk dalam negeri juga


mendapat apresiasi dan dukungan dari berbagai pihak. Sejumlah anggota Komisi I DPR RI
seperti Jeffri Massie dan Boy W Saul menilai persenjataan TNI sangat memprihatinkan dan
mendukung sepenuhnya pengadaan alutsista yang dibutuhkan TNI. Sementara Pengamat
militer Kusnanto Anggoro mengatakan bahwa kemandirian bukan hanya menjadi satu tujuan
dan cita-cita bangsa di seluruh dunia, namun lebih sebagai kebutuhan setiap bangsa,
sebagaimana bangsa Indonesia. Kemandirian bidang pertahanan negara merupakan hal
yang sangat esensial bagi bangsa Indonesia dalam mempertahankam NKRI, sekaligus
bertindak sebagai instrumen yang efektif untuk meningkatkan “bargaining position” dalam
TERBATAS
TERBATAS
4
hubungan antar negara. Menyikapi perkembangan global serta spektrum ancaman yang
mungkin dihadapi, telah menuntut pemberdayaan segenap sumberdaya nasional dalam
mendukung penyelenggaraan pertahanan negara, antara lain optimalisasi Industri Nasional
sebagai komponen pendukung. Dalam sejarah perjalanannya Industri Pertahanan telah
mampu menghasilkan berbagai alat peralatan pertahanan, namun tidak dibarengi dengan
membangun pondasi yang kuat. Seperti pengalaman yang lalu pembangunan industri
pertahanan yang tidak dilandasi dengan pondasi yang kuat, potensi yang dimiliki tidak akan
bertahan lama apabila terjadi perubahan-perubahan yang berkaitan dengan pembangunan
industri tersebut. Sementara Sekjen Dephan Syafrie Syamsuddien menjelaskan bahwa
Departemen Pertahanan dan Departemen Perindustrian telah diberikan tugas oleh Presiden
untuk menyusun suatu rancangan agar penyerapan kebutuhan Alat Utama Sistem Senjata
(Alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dapat diproduksi di dalam negeri
menggunakan fasilitas pinjaman dalam negeri. Penyerapan Alutsista produksi dalam negeri
sesuai dengan Kebijakan Umum Menteri Pertahanan di dalam mengembangkan produksi
nasional yang memang diperlukan dan sesuai dengan spesifikasi teknis yang dibutuhkan
TNI. Produk-produk nasional yang diserap oleh TNI, jelas Sekjen Dephan, harus memenuhi
standarisasi militer Indonesia, baik dalam kaitannya dengan sarana maupun prasarana
pertahanan Negara. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan nasional yang bergerak dalam
bidang produksi Alutsista maupun non-Alutsista diharapkan untuk terus mempelajari
berbagai kekurangannya. Sehingga dapat memenuhi kualitas yang dibutuhkan oleh TNI.
Dalam penyerapan produksi nasional, pemerintah akan mengutamakan pengadaan secara
langsung dari produsennya, sehingga tidak ada pihak ketiga. “Agar produk-produk Alutsista
dan non-Alutsista dalam negeri dapat menembus pasar luar negeri, maka produk-produk
tersebut sebelumnya akan diserap oleh pengguna dalam negeri yaitu TNI untuk mengetahui
bagaimana mutu dan kualitasnya,” ujarnya.

Menindaklanjuti kebijakan pemerintah dan mempertimbangkan kepentingan TNI akan


kebutuhan alutsistanya, Panglima TNI Marsekal TNI Djoko Suyanto menyatakan bahwa TNI
tetap berkomitmen untuk memberdayakan BUMN-Industri Strategis seperti PT Pindad, PT
PAL dan PT Dirgantara Indonesia, dalam pengadaan Alat utama sistem senjata (Alutsista)
TNI. Selama ini TNI telah mendukung pemberdayaan industri strategis dalam negeri untuk
pengadaan Alutsista TNI dengan memesan berbagai peralatan dan persenjataan produk
TERBATAS
TERBATAS
5
pabrikan dalam negeri seperti senapan serbu, kendaraan baja untuk mengangkut personil,
amunisi, pesawat, kapal perang dan sebagainya. Namun jenis-jenis Alutsista yang memang
belum dapat diproduksi oleh BUMN dalam negeri dan sangat dibutuhkan TNI, maka
pengadaan dari luar sama sekali belum dapat dihapuskan. Contoh, TNI Angkatan Udara
(AU) menetapkan PT DI sebagai pemasok komponen pesawat Cassa 212, helikopter Super
Pumma, dan CN-235. Panglima TNI percaya BUMN Industri Strategis milik Indonesia telah
mampu memproduksi sebagian besar kebutuhan peralatan dan persenjataan yang
dibutuhkan TNI. Keyakinan Panglima ini dengan pertimbangan Sumber Daya Manusia yang
dimiliki Indonesia cukup memadai dan telah belajar di luar negeri . Panglima TNI mengakui,
pesawat tempur canggih dan kapal perang modern memang masih belum dapat di produksi.
Namun untuk keperluan dasar diyakini masih dapat disediakan oleh BUMN Industri Strategis
dalam negeri. „ Insinyur kita juga banyak yang bekerja di perusahaan strategis di luar negeri
dan mereka berjanji akan kembali ke Indonesia jika pemerintah sudah benar – benar kembali
membangkitkan BUMN penyedia peralatan strategis tersebut“, tegas Panglima TNI. Goodwill
dan lampu hijau telah diberikan oleh pemerintah dan TNI sebagai pengguna telah siap
memanfaatkan senjata produk dalam negeri, namun kemandirian alutsista tidak mungkin
terlaksana tanpa kesiapan dari BUMN – BUMN Industri Strategis milik dalam negeri. Kita
patut bangga nampaknya industri strategis kita juga sudah siap memproduksi peralatan
militer yang dibutuhkan oleh TNI, meskipun belum bisa memenuhi semuanya. Terbukti
produk – produk BUMN itu tidak jauh ketinggalan kwalitasnya di banding produk luar dan
harganyapun relatif murah. Lihat saja produksi PT. Pindad sudah mampu memproduksi
senjata ringan, senjata berat, amunisi kaliber kecil, amunisi kaliber besar, amunisi kaliber
khusus dan berbagai kendaraan tempur. Menurut Direktur Utama PT. Pindad Dr. Ir. Budi
Santoso perusahaan yang dipimpinnya tidak hanya memproduksi jenis senjata dan peluru
ringan, tetapi sudah mengembangkan senjata dan peluru besar kaliber 20 mm dan 76 mm
serta kendaraan pertahanan jenis Angkut Personil Ringan (APR) dan kendaraan Angkut
Personil Sedang (APS) sesuai permintaan TNI. Dijelaskan bahwa PT. Pindad juga sedang
mengembangkan senjata kaliber 9mm termasuk dengan cailencer (tanpa suara) yang
digunakan untuk pasukan khusus. Untuk jenis pistol sedang dikembangkan P-2 dan
dikembangkan pula varian standart dan varian akurasi tinggi. Sedangkan untuk peluru
sedang dikembangkan peluru dengan akurasi yang lebih tinggi dari yang standart. PT.
Dirgantara Indonesia (PTDI) telah mampu memproduksi pesawat transport sayap tetap,
TERBATAS
TERBATAS
6
helikopter, pesawat patroli maritim, pesawat pengintai, simulator pesawat terbang maritim
dan pemeliharaan serta modifikasi pesawat. Menurut Direktur teknologi PTDI Mochayan
PT.DI saat ini tengah mengembangkan pesawat N-219 sekelas Twin Otter atau Cassa 212
dan sampai saat ini masih dalam tahapan konsep dan prototype. Selain itu PTDI sedang
mengembangkan pula pesawat jenis baru yaitu pesawat trainer yang merupakan pesawat
latih, namun juga masih dalam taraf konsep dan belum jelas kapan akan di produksi.
Pesawat N – 219 memuat 19 – 20 orang dan cocok untuk pesawat angkut pasukan TNI.
Mochayan menjelaskan pihaknya siap memenuhi kebutuhan TNI – AU yang menurut
rencana akan menggantikan armada skuadron Fokker 127 dengan pesawat CN-235,
Skuadron Helikopter buatan tahun 60 an akan digantikan dengan helikopter jenis Super
Puma. PT DI juga siap melayani kebutuhan TNI AD dan TNI AU yang menbutuhkan
pesawat sesuai keperluan masing – masing. Begitu pula PT. PAL juga telah mampu
memproduksi kebutuhan – kebutuhan TNI –AL secara terbatas. Mampu memproduksi kapal
perang jenis korvet, kapal patroli, kapal landing platform dockship, tanker, kapal pencegahan
bencana laut dan pemeliharaan berbagai jenis kapal perang di dok yang dimilikinya. Menurut
Firut PT. PAL Muhamad Munir produk perusahaan yang dipimpinnya saat ini antara lain
kapal korvet nasional, FPB-57 NAV I, KPC-14 M, Tug Boat 2.400 HP, kapal penumpang
cepat 160 penumpang, kapal tanker 17.500 LTDW dan general engineering. Dijelaskan lebih
lanjut oleh Muhammad Moenir, untuk kapal korvet nasional tinggal menunggu kontraknya,
sedangkan mengenai desainnya sudah siap. “Kalau desainnya sudah siap dan kontrak
sudah ada, tinggal melaksanakannya,” paparnya. Korvet nasional ini memiliki panjang 90
meter dengan kecepatan 25 knot, diharapkan dalam waktu 18 bulan bisa selesai. “Jadi
pembuatan kapal menggunakan multi years,” paparnya lagi.

Menurut Muhammad Moenir, potensi pasar PT. PAL cukup besar, hanya masalahnya
kalau hanya berpikir membeli dari luar negeri memang tidak ada peningkatan di dalam
negeri, tetapi pemerintah sudah bertekad untuk menumbuhkan kemampuan industri dalam
negeri. Untuk tahun 2005 sampai 2009, order PT. PAL banyak yang datang dari luar negeri.
Ini membuktikan bahwa harga dan kualitas produk dalam negeri sudah tidak diragukan lagi.
“Mereka tahu kalau PT. PAL dapat membuat kapal yang berkualitas dan harganya kompetitif
dengan negara manapun,” jelasnya. Negara seperti Jerman, Turki, Italia dan Hongkong
sudah memesan kapal-kapal produk PT. PAL. “Mereka pesan jenis kapal pengangkut curah
TERBATAS
TERBATAS
7
Balcarien 50.000 ton, dan kapal Cemikel tanker,” jelas Muhammad Moenir lagi. Dijelaskan
pula, saat ini PT. PAL sedang menjajaki kerjasama dengan galangan kapal lain yang ada di
Indonesia. PT. PAL sampai 2005 sudah membuat kapal perang 57 meter sebanyak 12 kapal
dan kapal Fast Patroli Boat 28 (FPB) sebanyak 30 kapal, bahannya ada yang dari almunium,
kombinasi almunium dan kayu. “Masalah teknologinya tidak masalah, pemerintah sudah niat,
tinggal sekarang realiasasinya,” paparnya. BUMN industri strategis lainnya seperti PT. LEN,
PT Inti Komunikasi, PT Dahana dan sebagainya juga telah siap mendukung kepentingan TNI
untuk mewujudkan kemandirian peralatan persenjataan. Melihat goodwill dari pemerintah
dalam bentuk kebijakan yang akan memprioritaskan produk dalam negeri, menyimak
kesiapan TNI sebagai pengguna dan melihat kesiapan sejumlah BUMN industri strategis
untuk memenuhi kebutuhan peralatan militer TNI maka dominasi dan ketergantungan
alutsista produk negara asing pasti akan dapat diminimalisir. Seluruh bangsa Indonesia tentu
akan merasa bangga bila kita memiliki kemandirian dalam melengkapi peralatan dan
persenjataan TNI. Kita harus cinta Indonesia, cinta produksi Indonesia.

          Dengan demikian dapat kita tarik kesimpulan bahwa ketergantungan terhadap


Alutsista produk negara asing banyak merugikan TNI. Memang tidak satupun negara didunia
ini yang sanggup mandiri secara hakiki dalam melengkapi kebutuhan Alutsistanya, tetapi
sudah waktunya TNI mengurangi ketergantungan itu dengan memanfaatkan produk
pabrikan dalam negeri dan tidak selalu mengandalkan produk negara asing untuk
melengkapi kebutuhan alat utama sistem senjata (Alutsista) TNI menuju kemandirian
industri pertahanan.

Bandung, Maret 2008


Perwira Siswa

Heri Prakosa
Mayor INF Nosis 46025

TERBATAS

Anda mungkin juga menyukai