Anda di halaman 1dari 14

Kerja Sama Industri Pendukung guna Kemandirian PT.

Dirgantara Indonesia dan


Kontribusinya bagi Kekuatan Udara (Air Power) Indonesia

ABSTRAK
Di dalam pembangunan industri pertahanan, Indonesia berfokus untuk mewujudkan industri
pertahanan yang mempunyai daya saing tinggi, mempunyai kemampuan yang kuat dan dapat
mendukung pertahanan dan keamanan negara serta mewujudkan kemandirian dengan tidak
tergantung alutsista buatan luar negeri menjadi tujuan utama dalam memenuhi kebutuhan alat
pertahanan sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kerja sama Industri
Pendukung khususnya PT Dirgantara Indonesia dan peran pemerintah selaku pembuat
kebijakan dalam mewujudkan kemandirian Industri Pertahanan. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dan menggunakan analisis deskriptif dengan menggunakan data yang
didapat melalui observasi atau pengamatan dan wawancara dengan pejabat terkait dan staf
manajemen dari perusahaan Industri Pendukung. Hasil penelitian menjelaskan bahwa telah
tercipta kerjasama antar Industri Pendukung dan kebijakan Pemerintah yang mendukung
kemandirian Industri Pertahanan, namun implementasinya belum maksimal.

Kata Kunci : Pertahanan, Industri Pertahanan, Industri Pendukung

PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terletak diantara dua benua yaitu Asia dan
Australia serta dua samudera yaitu Pasifik dan Hindia, berdasarkan rinciannya mempunyai
luas perairan pedalaman dan perairan kepulauan Indonesia sebesar 3.110.000 Km 2, luas total
perairan dan darat Indonesia sebesar 8.300.000 Km 2, panjang garis pantai Indonesia adalah
108.000 Km dan jumlah pulau kurang lebih 17.504 serta yang sudah dibakukan dan
disubmisi ke PBB adalah 16.056 pulau (Sari, 2019). Dalam kaitan luas wilayah serta melihat
data-data yang ada sekarang ini, Indonesia mempunyai wilayah yang sangat luas harus
memikirkan tentang keberadaan industri pertahanan strategis guna menghadapi berbagai
potensi ancaman dalam mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di dalam pembangunan industri pertahanan, Indonesia berfokus untuk mewujudkan
industri pertahanan yang mempunyai daya saing tinggi, mempunyai kemampuan yang kuat
dan dapat mendukung pertahanan serta keamanan negara. Dalam mewujudkan kemandirian
dengan tidak tergantung alutsista buatan luar negeri menjadi tujuan utama dalam memenuhi
kebutuhan alat pertahanan sendiri. Melakukan pemberdayaan dan pendayagunaan industri
pertahanan dalam negeri merupakan salah satu dari usaha untuk mewujudkan industri
pertahanan yang kuat dan memiliki kemampuan baik dalam memproduksi serta memelihara
alutsista yang dibutuhkan karena tuntutan kebutuhan operasional maupun dalam mengikuti
perkembangan ilmu dan teknologi.
Industri pertahanan strategis yang dipunyai Indonesia diantaranya adalah PT.
Dirgantara Indonesia sebagai industri dalam pembuatan dan pemeliharaan di bidang
kedirgantaraan. Terdapat juga beberapa industri pendukung, namun belum banyak
dimanfaatkan secara nyata dalam penyelenggaraan menuju kemandirian industri pertahanan
nasional. Industri pendukung tersebut masih berjalan sendiri-sendiri dan belum terwadahi
dalam suatu ikatan yang dapat memajukan industri pertahanan nasional, seperti dalam
pembuatan komponen maupun dalam perawatan alutsista TNI. Melihat dari permasalahan
tersebut, sinergitas antara pemerintah sebagai regulator, TNI sebagai pengguna dan industri
pertahanan dalam negeri sebagai produsen masih belum solid.
Dalam kemandirian industri pertahanan suatu negara yang sepenuhnya, sebenarnya
merupakan hal yang sulit dicapai. Kesulitan negara berkembang dalam mencapai
kemandirian industri pertahanan yang sepenuhnya bahkan lebih besar akibat keterbatasan
sumber daya, termasuk keuangan, teknologi dan infrastruktur. Dalam hal ini, mengenai
kemandirian alat pertahanan seharusnya tidak hanya diartikan sebagai kemandirian dalam
memproduksi alat-alat pertahanan tetapi juga diartikan sebagai kemandirian dalam membeli,
menggunakan dan merawat alat peralatan pertahanan dan keamanan. Adanya kesenjangan
dalam sumber daya dan penguasaan teknologi antara negara produsen dan negara yang
membutuhkan alat pertahanan membuat negara produsen terutama negara kuat memiliki
kontrol atas produk-produk yang dijualnya (Karim, 2014).
Sesuai dengan UU No 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan pada pasal 50 ayat
1, menyatakan bahwa kemandirian dalam pembuatan alat pertahanan adalah menjadi tujuan
utama yang akan dicapai Indonesia. Undang-Undang tersebut harus bisa dilaksanakan secara
baik dan sesuai dengan komitmen. Pada dasarnya sekarang ini PT. Dirgantara Indonesia
mempunyai kemampuan dalam memproduksi pesawat sayap tetap, komponen pesawat dari
pabrikan Boeing, Airbus, Sukhoi, Helikopter, Simulator Helikopter, Pesawat Terbang Tanpa
Awak (PTTA) dan Hovercraft.
Demikian pula dengan kemandirian perawatan alat pertahanan merupakan wujud dari
kemandirian yang juga dianggap penting. Dalam beberapa kontrak pembelian alat pertahanan
dari luar negeri dan ToT tidak selalu dilaksanakan secara utuh dalam perawatan sehingga
Indonesia akan selalu merawat alat pertahanan secara mandiri. Dalam masa embargo suku
cadang pesawat pada tahun 1999-2005 oleh Amerika Serikat dan Inggris, Indonesia sangat
kesulitan dalam merawat alat pertahanan sehingga alat pertahanan tidak bisa dirawat secara
rutin. Mengingat hal ini maka perlunya adanya kemandirian perawatan alutsista dibarengi
dengan ketersediaan suku cadang dan bantuan pemeliharaan.
Sementara itu ada beberapa industri pendukung dalam hal ini PT Infoglobal adalah
salah satu industri pertahanan swasta yang bergerak dibidang teknologi avionik, pemrosesan
data radar, dan sistem misi pertahanan. Kemampuan dalam membuat komponen seperti MPD
(Multi Purpose Display), RDU (Radar Display Unit), Hudmon (Head Up Display Monitor),
CDU (Control Display Unit) dan PDU (Pilot Display Unit) yang digunakan untuk pesawat
tempur dan pesawat angkut. Pada industri pendukung lainnya seperti PT. FIN Komodo
adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak dibidang rekayasa dan teknologi yang telah
berpengalaman dalam bidang design dan analisa pesawat terbang, otomotif, simulator, dan
integrasi sistem otomasi. Sementara itu PT. Nexus Tama Semesta merupakan perusahaan
swasta nasional yang bergerak pada bidang pengembangan dan pembangunan integrasi
sistem, meliputi: simulator sistem, alat komunikasi militer, alat intelijen personal, sistem olah
yudha (wargaming), dan integrasi sistem monitoring pada pesawat Boeing TNI AU. Masih
banyak lagi industri pendukung yang mempunyai kemampuan untuk mendukung dan
menunjang dalam kemandirian industri pertahanan terutama PT. Dirgantara Indonesia.
Kekurangan yang selama ini ada pada PT. Dirgantara Indonesia seperti Transfer of
Technology, sumber daya manusia dan penelitian dapat dipenuhi oleh industri pendukung
tersebut. Keberadaan industri pendukung yang mampu berkolaborasi dengan PT. Dirgantara
Indonesia sangat diperlukan dalam mencapai kemandirian baik dalam pembuatan maupun
pemeliharaan alat pertahanan yang dimiliki TNI saat ini. Sudah terbukti, banyak industri
pendukung bisa melaksanakan hal itu, sehingga diharapkan adanya kolaborasi atau kerja
sama antara PT. Dirgantara Indonesia dengan industri pendukung dapat terlaksana.
Pada abad ke-21 ini telah tercatat adanya peningkatan secara global tentang penguatan
industri pertahanan sejak tahun 1970-1980an. Ini bisa dilihat dengan adanya tren yang sangat
menonjol dalam bentuk kerjasama dan investasi negara- negara di dunia dalam membangun
kemandirian industri pertahanan. Banyak contoh pada negara-negara maju yang memilih
membangun industri pertahanannya dengan kerja sama antar negara lain dan bisa mengurangi
biaya secara signifikan. Hal ini disebabkan karena banyak tren mengenai kebijakan
pengetatan anggaran, peningkatan biaya penelitian dan pengembangan, serta peningkatan
intensitas persaingan di pasar industri pertahanan. Dengan demikian menjadi kontradiksi
karena di satu sisi industri pertahanan dikenal memiliki sifat yang tertutup dan mengandung
unsur penuh rahasia yang tinggi dan berbahaya jika jatuh ke tangan musuh. Interaksi industri
pertahanan antar negara dalam hal ini menjadi semakin kompleks (Witarti & Armandha,
2015). Pada proyek pertahanan kolaboratif yang telah menjadi ciri khas dari kebijakan
industri pertahanan Eropa, dapat dilihat dari kolaborasi antara dua negara atau lebih bisa
menjadi lebih efisien dalam hal pembiayaan industri pertahanan (Hartley & Braddon, 2014).
Peneliti lain menulis tentang sumber daya manusia, kebijakan, strategi dan kerjasama,
antara lain Djarwono, 2017; Grahadi et al., 2018; Hidayat, 2018; Indrawan et al., 2016;
Indrawan, 2018; Karim, 2014; Luerdi et al., 2019; Muradi, 2018; Prasetyo et al., 2015; Setia,
2018; Sugawara et al., 2014; Susdarwono et al., 2020; Tuwanto, 2015; Witarti & Armandha,
2015; Yanuarti et al., 2020. Penelitian-penelitian ini menyatakan bahwa industri strategis
pertahanan yaitu segenap potensi industri nasional, baik pemerintah maupun swasta, yang
keberadaannya sangat penting dan produknya berupa alat peralatan untuk kepentingan
pertahanan dan keamanan negara sehingga sedapat mungkin tidak bergantung pada produk
luar negeri.
Peneliti-peneliti lain yang menulis tentang military industrial complex, seperti Ansell
et al., 2019; Cox, 2014a; Dunlap & Dunlap, 2011; Light, 2019. Penelitian-penelitian ini
menyatakan bahwa untuk kemandirian suatu industri pertahanan strategis diharuskan
“merger” antara industri pendukung, sehingga dapat memperkuat industri strategis yang telah
dibangun agar dapat berfungsi sebagai penunjang dalam industri strategis nasional.
Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti mencoba untuk mengidentifikasi
masalah yang muncul yaitu terdapat kesenjangan antara industri pendukung yang berada di
dalam negeri dan luar negeri. Kesenjangan yang dimaksud itu adalah industri dalam negeri
belum sepenuhnya mendapat perhatian dari pemerintah sementara industri pendukung di luar
negeri mendapat perhatian penuh. Sebenarnya peraturan pemerintah dalam industri
pertahanan sudah jelas tetapi dalam implementasinya belum banyak diterapkan. Industri
pendukung dalam negeri yang selama ini bisa membuat komponen, memproduksi dan
memelihara alpalhankam tetapi belum dimanfaatkan oleh PT. Dirgantara Indonesia. Sehingga
sampai sekarang sebagai industri pertahanan, PT. Dirgantara Indonesia belum bisa mandiri
dalam pembuatan maupun pemeliharaan alat pertahanan. Hal inilah yang menjadi
ketertarikan peneliti dalam membuat suatu penelitian, nantinya dengan adanya kerja sama
atau kolaborasi dengan industri pendukung paling tidak dari segi ToT, sumber daya manusia,
penelitian serta implementasi kebijakan pemerintah dapat membantu dalam rangka
kemandirian PT. Dirgantara Indonesia, sehingga bisa berkontribusi terhadap Air Power
Indonesia. Sehingga penelitian ini mencoba untuk mengangkat isu mengenai industri
pendukung dalam negeri agar dapat dimanfaatkan secara nyata oleh industri strategis agar
kemandiriannya dapat segera tercapai.
Penelitian ini disusun dengan cara berikut. Bagian 2 berisi Tinjauan Pustaka yang
digunakan dalam penelitian ini. Kemudian diikuti oleh Bagian 3, yang menjelaskan Metode
Penelitian. Pada bagian 4, hasil Penelitian dan pembahasan lebih lanjut. Terakhir, Bagian 5
menyimpulkan penelitian.

TINJAUAN PUSTAKA
Industri Pertahanan
Definisi dari Industri pertahanan menurut Office of Technology Assessment (OTA)
Amerika Serikat adalah kombinasi dari kapabilitas manusia, institusi, teknologi, dan
kapasitas produksi yang digunakan secara komprehensif untuk pengembangan dan
pembuatan persenjataan dalam mendukung pengadaan dan pembuatan persenjataan militer
untuk mencapai tujuan kepentingan nasional. Hal ini menunjukkan dua arti strategis;
pertama, pada aspek pengembangan teknologi yang berasal dari laboratorium dianggap
sebagai bagian dari industri pertahanan karena keterkaitannya terhadap pengembangan
teknologi militer. Kedua, dalam aspek produksi dan pemeliharaan dalam industri pertahanan
melalui pengawasan pemerintah terkait dengan aktivitas pembuatan dan perdagangan senjata.
Maka, industri pertahanan berkaitan dengan bidang keamanan nasional, rahasia negara, dan
kemandirian industri pertahanan bertumpu pada teknologi yang dimiliki dan sifat pasar yang
berbeda dengan industri lainnya (Amrullah, 2016).
Dalam hal kemandirian pembuatan, pengembangan dan pemeliharaan alat pertahanan,
dunia industri pertahanan mengalami kenaikan yang signifikan terhadap kerja sama antar
negara di dunia dalam membangun industri pertahanan, bahkan negara maju lebih memilih
membangun industrinya dengan melakukan kerja sama dengan negara lain dari pada
melakukan secara mandiri. Ini terjadi karena tidak lepas dari kebijakan pengetatan anggaran,
biaya penelitian dan pengembangan yang sangat besar dan meningkatnya persaingan industri
pertahanan (Armandha et al., 2017). Sebagi contoh, negara-negara di Eropa dan Amerika
telah melakukan kerja sama dalam bidang industri pertahanan tidak terkecuali Indonesia yang
tengah berupaya dalam membangun kemandirian alutsista dengan meningkatkan kerja sama
regional dan internasional. Idealnya, negara-negara yang terlibat dalam kerja sama
internasional memiliki motivasi biaya (Hartley & Braddon, 2014). Selain itu, transfer
teknologi, spin off atau teknologi militer dapat digunakan sebagai teknologi sipil, multiplier
effect (efek pengganda) terhadap perekonomian, dan proyeksi akan pengembangan industri
pertahanan merupakan manfaat yang dapat diperoleh suatu negara dalam kerja sama industri
pertahanan.

Kekuatan Udara (Air Power)


Menurut John C. Cooper (1948), yang menyatakan bahwa Air Power sebagai
kemampuan total suatu bangsa untuk terbang, berbuat sesuatu diudara atau melalui udara
serta menggunakan pesawat terbang yang dapat dikendalikan sesuai dengan kepentingannya.
Air Power memerlukan dukungan yaitu tersediannya alat peralatan serta fasilitas antara lain
lapangan terbang, pesawat terbang, awak pesawat, mekanik pesawat, operator, perancang
pesawat terbang serta pabrik pesawat dan suku cadang pesawat yang dibutuhkan. Wilayah
Indonesia yang begitu luas memerlukan pemikiran yang matang dalam mewujudkan sistem
pertahanan keamanan yang efektif untuk mempertahankan keutuhan dan keselamatan bangsa
Menurut William Mitchel (1920) bahwa Air Power adalah kemampuan untuk berbuat
sesuatu di udara termasuk didalamnya angkutan udara dari satu tempat ke tempat lain.
Menurutnya tidak ada satu titikpun di dunia ini yang bisa menghindar dari pengaruh
kemampuan pesawat terbang. Misi-misi penghancuran terhadap sasaran lawan telah
menunjukkan tingkat kehancuran yang lebih hebat dibandingkan dengan misi-misi serupa
yang dilakukan oleh angkatan darat dan angkatan laut. Perkembangan Air Power dipengaruhi
oleh
a. Moral.
Perkembangan air power memerlukan dukungan sumber daya manusia yang berjiwa
patriot serta cinta tanah air. Hal ini ada kaitannya dengan pengadaan personel penerbang
dimana yang bersangkutan harus menyadari bahwa tugas yang dibebankan selalu
mengandung resiko yang tinggi.
b. Industri.
Perkembangan Air Power memerlukan kemampuan industri yang didukung oleh
tersedianya bahan baku yang dibutuhkan sehingga industri yang bersangkutan dapat
menjamin kesinambungan produksinya. Industri-industri ini diharapkan dapat menjadi
sumber pemasok bahan dasar bagi industri penerbangan.
Dengan adanya kemandirian industri pertahanan tersebut secara tidak langsung sangat
berpengaruh dan berkontribusi terhadap Air Power Indonesia.

Segitiga Besi (Iron Triangle)


Iron triangle atau segitiga besi adalah
hubungan politik yang menggabungkan tiga aktor
utama dalam pembuatan kebijakan yaitu pemerintah,
kongres dan industri pertahanan (Adams, 2020).
Konsep Iron triangle menunjukkan bahwa delapan
perusahaan terpilih telah mempekerjakan 1672 staf
dari Departemen Pertahanan dan Badan Antariksa
Nasional (NASA) antara tahun 1970 dan 1979 serta
270 karyawan perusahaan telah dipekerjakan oleh
Departemen Pertahanan dan NASA (Adams, 2020).
Disini dapat dilihat bahwa peran aktor sangat dominan di dalam menentukan
kebijakan anggaran pertahanan AS dikarenakan banyaknya uang. Dari hubungan korelasi
antara pemerintah, konggres dan industri pertahanan adalah saling menguntungkan dan saling
tergantung satu dengan yang lainnya.
Dalam era globalisasi telah terjadi tren baru yaitu bentuk kerja sama antarnegara
dalam membangun suatu industri pertahanan. Hal ini berkaitan dengan pemodalan atau biaya
produksi, biaya penelitian yang tinggi dan persaingan dalam pemasaran alat utama sistem
senjata (Armandha et al., 2017). Dalam kaitannya dengan globalisasi industri pertahanan
yang berawal dari negara-negara di eropa dan sekarang sudah terjadi di Indonesia di mana
sebagaai negara berkembang Indonesia berupaya mewujudkan kemandirian industri
pertahanan dengan menjalin kerja sama dengan negara yang mempunyai kemampuan dalam
memproduksi alutsista. Dan sebagai contohnya adalah kerja sama antara Indonesia dan Korea
Selatan dalam hal pembuatan pesawat generasi ke-5 yaitu KFX/IFX.

Industri Pendukung
Terdapat dua konsep dalam upaya mewujudkan kemandirian industri pertahanan,
yaitu Konsep Tiga Pilar Pelaku Industri Pertahanan dan Konsep Kluster Industri Pertahanan.
Konsep Tiga Pilar Pelaku Industri Pertahanan berpedoman hubungan antara Perguruan
Tinggi dan komunitas penelitian dan pengembangan (litbang) sebagai pengembang ilmu dan
teknologi pertahanan; sektor industri/swasta sebagai pendaya guna hasil Iptek pertahanan,
produksi maupun distribusinya; serta TNI sebagai pengguna. Konsep Kluster Industri
Pertahanan dapat diartikan adanya saling ketergantungan dan saling mendukung antara
industri hulu; industri hilir; industri pendukung; dan industri terkait dalam menciptakan daya
saing untuk meningkatkan industri nasional. Keberhasilan upaya perwujudan kemandirian
industri pertahanan sangat bergantung kepada sinergi 3 pilar pelaku industri pertahanan dan
berjalannya konsep kluster di atas pada sektor-sektor industri yang saling mendukung
(Wibowo, 2016).
Penting bagi semua negara untuk mencapai tujuan dalam memiliki industri pertahanan
yang mandiri. Pengelompokan perusahaan pertahanan dan industri pendukung merupakan
alat penting dalam meningkatkan kemampuan industri pertahanan nasional. Pembentukan
kluster yang didukung dengan jaringan antra instansi pemerintah, lembaga publik dan
perguruan tinggi sangatlah penting. Dalam hal ini, pentingnya kluster pertahanan untuk
mencapai industri pertahanan independen yang kuat sangat ditekankan oleh para praktisi dan
akademisi. Di negara maju sudah banyak di bentuk banyak kluster, sedangkan di negara
berkembang masih dalam proses pembangunan kluster ini.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini didesain dengan metode kualitatif dan menggunakan analisis deskriptif.
Metode kualitatif yang memakai teknik analisis deskriptif diterapkan dengan pertimbangan
bahwa masalah yang diteliti memerlukan pendekatan pemahaman terhadap suatu fenomena
yang terjadi dalam upaya kemandirian PT. Dirgantara Indonesia melalui kerjasama dengan
industri pendukung. Dengan melihat bagaimana perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan
lain-lainnya yang mengarah kepada upaya dalam mewujudkan model kerjasama untuk
kemandirian PT. Dirgantara Indonesia secara komprehensif.
Data penelitian diperoleh dari pencarian dan pengumpulan data primer serta data
sekunder. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara. Observasi dilakukan dengan
cara mengamati segala aktivitas dan kondisi di PT. Dirgantara Indonesia. Wawancara
dilakukan kepada informan yang ditentukan secara purposif sampling yang berarti
pengambilan sampel secara sengaja dengan tugas dan tanggung jawab yang diembannnya dan
mempunyai data-data yang lengkap sesuai dengan kapasitasnya sesuai dengan kebutuhan
penelitian tentang kerjasama yang dilakukan oleh PT. Dirgantara Indonesia. Selain itu, data
sekunder diperoleh dengan mempelajari undang-undang, media, jurnal dan tulisan serta
berbagai literatur baik dari buku, naskah ilmiah dan laporan penelitian terkait.
Informan dalam penelitian ini yang telah ditentukan melalui teknik purposif sampling
adalah
1. pejabat KKIP
2. pejabat Kemhan,
3. pejabat Mabes TNI
4. pejabat Mabes TNI AU
5. industri pendukung yang bisa menjadi mitra dalam mendukung kemandirian PT
Dirgantara Indonesia.
Analisis data dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif pada prinsipnya berproses
secara induksi-interpretasi-konseptualisasi. Data akan dikumpulkan dan dianalisis setiap
meninggalkan lapangan. Secara umum sebenarnya proses analisis telah dimulai sejak
peneliti menetapkan fokus, permasalahan dan lokasi penelitian, kemudian menjadi intensif
ketika turun ke lapangan melakukan wawancara atau observasi. Dengan demikian catatan
penelitian yang detail dapat berupa data yang lebih mudah dipahami, dicarikan makna
sehingga ditemukan pikiran apa yang tersembunyi di balik cerita mereka (interpretasi) dan
akhirnya dapat diciptakan suatu konsep (konseptualisasi).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Peran Industri Pendukung dalam Industri Pertahanan Melalui Penelitian,
Pengembangan, dan Rekayasa
Undang Undang Industri Pertahanan (UU Inhan) yang disahkan pada 2 Oktober 2012
oleh Sidang Paripurna DPR merupakan langkah strategis yang dapat memajukan industri
pertahanan. Membuat Indonesia lebih dapat bekerja secara efektif dan memproduksi alat-alat
pertahanan dan keamanan. Undang Undang Industri Pertahanan akan memberikan dasar yang
jelas dalam mendorong pemerintah untuk mengembangkan industri pertahanan yang mandiri
dan berkesinambungan. Undang Undang Industri Pertahanan ini diyakini mampu mendorong
akselerasi pertumbuhan industri perkapalan nasional ke depan.
Sejumlah kalangan berpendapat, pengesahan Undang Undang Industri Pertahanan ini
selain menjadi tonggak bangkitnya industri pertahanan dalam negeri Republik Indonesia,
juga akan menjadi satu payung hukum yang akan menjadikan Indonesia menjadi lebih
mandiri, unggul, dan berdaya saing lebih tinggi, di bidang industri pertahanan Indonesia,
terutama dalam kesiapan produksi alat utama sistem persenjataan (Alutsista) menjadi lebih
bermutu.
Dengan semangat kemandirian dalam membangun Industri Pertahanan, beberapa
industri pendukung telah melakukan berbagai kerjasama penelitian dan pengembangan alat
pertahanan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Dittekinhan, Ltk Supriyadi, dan pejabat
KKIP mengatakan kerjasama antar industri pertahanan dengan luar negeri berupa joint
production misalnya dengan Turki dalam pembuatan Tank Anoa antara PT Pindad dengan
FNSS Turkey dan joint production pada program Kapal selam antara PT PAL dengan Korea.
Sementara untuk PT. DI telah melakukan joint development program pengembangan
KFX/IFX dengan KAI, selain itu PT. DI sebagai Lead Integrator dalam Konsorsium Rudal
Nasional yg melibatkan beberapa mitra dalam negeri, serta terlibat dalam Program Radar
Nasional.
Pemberdayaan Industri pendukung juga telah dilakukan oleh Mabes TNI dengan
tujuan kemandirian Industri Pertahanan. Srenum TNI, Kolonel Laut (E) Frandinanto Suwarno
mengatakan, salah satu program kerja Srenum TNI TA 2021 adalah kunjungan ke Industri
Pertahanan baik BUMN ataupun BUMS. Melalui kegiatan tersebut diharapkan pemberdayaan
Industri pendukung / komponen dapat dioptimalkan oleh Industri Pertahanan yang
memproduksi Alutsista TNI. Menurut Ltk Totok, Dinas Pengadaan (Disada TNI AU),
sebagai upaya pemberdayaan Industri Pertahanan dan Industri Pendukung, pihak TNI AU
berkomitmen untuk memaksimalkan keterlibatan Industri Pertahanan dan Industri Pendukung
dalam proses Pengadaan dan Pemeliharaan Alutsista TNI AU dimana saat ini dari 24 (dua
puluh empat) Industri Pertahanan dan Industri Pendukung sesuai daftar yang diterbitkan oleh
Puslaik Kemhan RI, ada 11 diantaranya atau sebesar 45% sudah melaksanakan kerja sama
dengan pihak TNI AU.
Myr Melta, Dinas Komunikasi dan Elektronika (Diskomlek TNI AU), dalam
wawancara mengatakan pemberdayaan industri-industri lokal yang mendukung simulator
TNI AU, telah dilaksanakan verifikasi rutin dari Puslaiklambangjaau dengan
memprioritaskan pengadaan maupun pemeliharaan simulator kepada industri-industri lokal.
Dalam kegiatan research & development, Mabesau dalam hal ini Diskomlekau, Dislitbangau
dan Koharmatau selalu bekerjasama dalam mengatasi kebutuhan-kebutuhan maupun
penyelesaian permasalahan Alutsista TNI AU. Sementara itu dalam pemberdayaan Industri
Pendukung khusus nya PT. DI, Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena TNI AU), Ltk
Sambiyono, mengatakan dalam pemenuhan dan pemeliharaan Alutsista, TNI AU melalui
Kementrian Pertahanan memprioritaskan hasil produksi Indhan dengan PT. DI. Beberapa
pengadaan Alpalhankam TNI AU yang telah dilaksanakan melalui Indhan PT. DI antara lain
Pengadaan Pesawat Angkut Ringan NC-212i, Pengadaan Helikopter NAS-332, dan
Pengadaan Pesawat Helikopter VIP. Selain itu, TNI AU juga melaksanakan kerjasama
pemeliharaan Alutsista pesawat terbang CN-235, CN-295 dan Helikopter Caracal dengan PT.
DI.
PT. DI sendiri selaku Industri Pendukung dalam Industri Pertahanan, terus berupaya
untuk memberikan kontribusinya bagi Kekuatan Udara (Air Power) Indonesia. Hal tersebut
dibuktikan PT. DI dengan terus melanjutkan Program Strategis Nasional. Adapun tiga
Program Strategis Nasional yaitu PUNA Elang Hitam (Pesawat Udara Nir Awak jenis
Medium Altitude Long Endurance) dengan target terbang perdana pada akhir tahun 2021,
Pesawat N219 Amphibi (N219A) dan Rudal Nasional rencananya akan mendapatkan
sertifikasi di tahun 2024. Dimulai dari PUNA MALE Elang Hitam yang dikembangkan oleh
Konsorsium yang terdiri dari PT DI sebagai lead integrator, lalu PT Len Industri, LAPAN,
Balitbang Kemhan, Dislitbang TNI AU, Pothan Kemhan, BPPT, serta ITB. Elang Hitam
dirancang sanggup terbang selama 24 jam dan akan dikembangkan terus hingga bisa
dipergunakan untuk kombatan, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan alutsista TNI AU.
Untuk Rudal atau Peluru Kendali Nasional juga dikembangkan oleh konsorsium yang terdiri
dari PT DI sebagai lead integrator, PT Len Industri, PT Pindad, serta PT Mulatama. Rudal
yang dikembangkan adalah rudal jenis darat-ke-darat untuk memenuhi kebutuhan alutsista
TNI. Target sertifikasi rudal tersebut 2024.
Selanjutnya menurut Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), dengan
berlakunya UU Cipta Kerja, dalam pengadaan Alutsista, Kementerian Pertahanan dapat
memberi kesempatan kepada BUMN maupun BUMS untuk menjadi Lead pada
pembangunan Alpalhankan termasuk komponen Alutsista. Sebagai contoh BUMN yang
mendukung komponen Alutsista adalah PT. LEN menjadi Lead Integrator dalam Program
Radar Nasional. Selain itu BUMS yang juga mendukung Industri Pertahanan adalah PT. Info
Global. Dalam hasil wawancara, PT. Info Global telah menjalin kerjasama pembuatan,
penelitian dan pengembangan dengan industri strategis nasional khususnya PT. Dirgantara
Indonesia, salah satunya dalam program Reverse Engineering System Rudal.
Sebagai Industri Pendukung, PT. Info Global telah melakukan beberapa penelitan dan
pengembangan dalam Industri Pertahanan dan penelitian terhadap kebutuhan pasar yang
bernilai strategis. Kurang lebih sejak tahun 1997, PT. Info Global telah melakukan riset
terhadap protokol data radar, baik yang dioperasikan oleh militer (TNI AU) dan sipil. Dari
riset tersebut, Infoglobal berhasil mengembangkan sebuah produk TDAS yang masih
digunakan sampai dengan saat ini. Sejak tahun 2006 sampai dengan saat ini, PT. Info Global
melakukan penelitian terhadap perangkat Avionic yang dioperasikan pada pesawat TNI dan
berhasil mengembangkan produk Avionic untuk berbagai platform pesawat guna mendukung
kebutuhan pasar. Serta pengembangan sistem Control & Guidance yang dapat diaplikasikan
untuk sistem kontrol pesawat, rudal, FFAR dsb yang menggunakan kontrol dan kendali.
PT. Info Global juga telah melakukan beberapa inovasi dalam membantu dan
berkolaborasi dengan industri strategis nasional yaitu PT. Dirgantara Indonesia. PT. Info
Global telah menguasai beberapa teknologi kunci dari program penelitian dan pengembangan
yang telah dilakukan seperti Avionic, sistem Control & Guidance pada pengembangan rudal
dan Smart Bomb, Mission System dan Data Link. Turunan dari teknologi yang sudah
dikembangkan tersebut bisa diaplikasikan untuk produk-produk lain. Contoh, dengan inovasi
teknologi Control & Guidance bisa diaplikasikan pada pengembangan FFAR. Contoh lain,
penguasaan teknologi Avionic sistem yang dimiliki saat ini, dapat diinovasikan untuk
dikembangkan pada plaform pesawat lain, misal aplikasi pada program KFX.
Selanjutnya PT. Info Global dalam mendukung kemandirian Industri Pertahanan,
mengharapkan terbentuknya suatu kerjasama project jangka panjang dalam pembuatan
platform dan kerjasama operasi yang dapat memanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk
kepentingan bersama dalam hal fasilitas dan sumber daya manusia dengan PT Dirgantara
Indonesia.

Peran Pemerintah Melalui Regulasi


Industri pertahanan dalam negeri menjadi salah satu ujung tombak upaya sebuah
negara dalam mengembangkan sistem pertahanan secara mandiri. Hal ini terkait dengan
terpenuhinya kebutuhan baik dalam konteks penyediaan kualitas maupun kuantitas Alutsista
yang sesuai dengan karakteristik kewilayahan serta menghilangkan ketergantungan terhadap
negara lain. Pembinaan industri pertahanan domestik telah terbukti dapat menjadi tulang
punggung bagi pembangunan sistem pertahanan dan modernisasi Alutsista. Pemerintah
Indonesia telah mengakselerasi program untuk memenuhi kebutuhan minimum kekuatan
militernya mengeluarkan dasar hukum bagi pengembanganindustri pertahanan dalam negeri
melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Mabes TNI khususnya TNI AU selaku pengguna Alutsista juga menyikapi berbagai
kebijakan pemerintah terutama perihal Industri Pertahanan dalam negeri. Dinas Pengadaan
(Disada TNI AU) Ltk Totok, menyambut baik adanya kebijakan Pemerintah dalam rangka
revitalisasi Alutsista sebagai daya tangkal NKRI terhadap ancaman dari Negara lain yaitu
dengan meningkatkan anggaran modernisasi dan pemeliharaan serta harwat Alutsista TNI
AU hingga mencapai Rp. 8,19 Triliun pada Tahun 2021, pihak TNI AU senantiasa
meningkatkan kualitas tahap perencanaan sampai dimulainya tahap pelaksanaan hingga
evaluasi Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan TNI AU.
Myr Melta, Dinas Komunikasi dan Elektronika (Diskomlek TNI AU) mengatakan,
dalam setiap pengadaan guna memenuhi kebutuhan TNI AU, selalu diprioritaskan
menggunakan produk-produk yang melibatkan industri pertahanan baik BUMN maupun
BUMS. Ltk Supriyadi, Direktorat Teknologi Industri Pertahanan (Dittekinhan) juga
mengatakan hal yang sama, bahwa kebijakan pengadaan Alutsista ditinjau dari UU 16 2012
tentang Industri Pertahanan pada pasal 43 disebutkan bahwa pengadaan Alutsista diutamakan
dari dalam negeri, dan dalam hal belum bisa dipenuhi dari luar negeri, penguna (TNI) dan
Industri pertahanan dapat mengusulkan kepada KKIP untuk pembelian dari luar negeri.
Lebih lanjut Ltk Sambiyono, Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena TNI AU),
dalam wawancara mengatakan sesuai kebijakan pemerintah dalam hal pengadaan Alutsista,
peran Mabes TNI AU adalah sebagai pengguna terhadap produk Indhan dalam negeri. Dalam
proses pengadaannya, TNI AU mengajukan kebutuhan pengadaan Alutsista sesuai Postur
TNI AU kepada Pemerintah melalui Kementrian Pertahanan dengan skema pengadaan
melalui Pinjaman Luar Negeri dan Pinjaman Dalam Negeri. Rencana kebutuhan yang
diajukan akan menjadi dasar bagi Bappenas untuk menentukan jenis Alpalhankam
dilingkungan TNI AU beserta sumber pembiayaannya. Selanjutnya TNIAU akan
melaksanakan Wantuada Alutsista berdasarkan pertimbangan opsreq dan spektek yang
dipersyaratkan. Apabila Alutsista tersebut sudah dapat diproduksi oleh industri pertahanan
dalam negeri, maka TNI AU akan berkoordinasi dengan Kementrian Pertahanan agar
pengadaan Alutsista tersebut dapat menggunakan produk Indhan dalam negeri. Namun
apabila lndhan belum dapat menjadi penyedia utama dari Alutsista yang akan diadakan,
maka pengadaan akan dipenuhi dari produk luar negeri. Meskipun demikian TNI AU selalu
mendorong lndhan untuk dapat berpartisipasi aktif dan mengambil bagian dalam kontrak
offset dari pengadaan Alutsista terkait. Dengan demikian, Indhan dalam negeri tetap dapat
mengambil manfaat dari Pengadaan Alutsista yang diadakan baik itu melalui transfer of
technology, pelatihan ataupun kegiatan lainnya yang mengarah kepada pemberdayaan Indhan
secara maksimal.
Mengenai kebijakan pengadaan Alutsista, Ltk Supriyadi, Direktorat Teknologi
Industri Pertahanan (Dittekinhan) menjelaskan jelas bahwa kebijakan Presiden yaitu “Cinta
Produk Dalam Negeri” merupakan tujuan dari pembinaan Industri Pertahanan, selagi belum
bisa dibuat di dalam negrei terpaksa harus beli, namun dengan pengaturan yang sangat ketat
sebagaimana dijelaskan diatas. Pernyataan Presiden juga bahwa “Pembelian Alutsista
Merupakan Investasi, selaras dengan tujuan UU 16 tentang 2012 menuju kemandirian.
Aplikasinya dengan adanya Offset dimana salah satunya berupa transfer teknologi merupakan
investasi agar kedepan dapat mandiri dalam produksi dan pemeliharaan Alpalhankam.
Hal yang sama disampaikan oleh Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP),
dalam wanwancara mengatakan dengan “Asas Kemandirian” penyelenggaraan Industri
Pertahanan harus mampu memenuhi kebutuhan Alpalhankam berdasarkan sebagian besar
dan/atau sepenuhnya pada sumber daya yang ada di dalam negeri. Dalam hal pengadaan,
pemeliharaan, dan perbaikan Alpalhankam, Pengguna wajib menggunakan dan melakukan
pemeliharaan dan perbaikan produksi dalam negeri. Arti dari penekanan Presiden RI tentang
“Cinta Produk Dalam Negeri”, memberikan penekanan bahwa berdasarkan pasal 8 UU
16/2021 tentang Industri Pertahanan bahwa Pengguna (dhi: TNI, Polri, K/L pemerintah
nonkementerian; dan pihak yang diberi izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan), wajib menggunakan Alpalhankam yang telah dapat diproduksi di Industri
Pertahanan dalam negeri sehingga diharapkan dapat mendorong terwujudnya kemandirian
Industri Pertahanan. Demikian halnya bahwa Industri Pertahanan harus mempunyai / ada
nilai investasinya, artinya bahwa industri pertahanan harus mengutamakan produk dalam
negeri dan dapat menciptakan ekosistem nasional yang dapat memberikan nilai ekonomi
nasional.
Pemerintah dalam hal ini Kementrian Pertahanan juga telah berupaya mewadahi
Industri Pendukung dalam kemandirian Industri Pertahanan. Komite Kebijakan Industri
Pertahanan (KKIP) mengatakan Kemhan mendorong Indutri Pendukung melakukan kerjsama
dengan industri dalam dan luar negeri, serta mempromosikan produk Indhan di pasar global.
Proses pembinaan Industri Pertahanan oleh Kemhan untuk menuju kemandirian produksi dan
pemeliharaan serta ToT melalui Litbangyasa, Kerjasama Pengembangan serta Imbal Dagang
dan Kandungan Lokal dan Offset. Direktorat Teknologi Industri Pertahanan (Dittekinhan),
Ltk Supriyadi, menjelaskan bahwa proses pembinaan industri pertahanan oleh Kemhan untuk
menuju kemandirian produksi dan pemeliharaan Alpalhankam yang dilaksanakan oleh
Kemhan dengan mekanisime pendaftaraan, pengisian dan peningkatan kemampuan Indhan
dengan cara mendorong R&D, pemanfaatan pembelian dari luar negeri dengan program
Offset, dan mendorong Indhan melakukan kerjsama dengan industri dalam dan luar negeri,
serta mempromosikan produk Indhan di pasar global. Namun terkait dengan pengelompokan
berdasarkan ekosistem belum dilaksanakan, sehingga tdiak dapat didentifikasi peran masing-
masing Indhan dalam fungsi pembuatan Alutsista.. Pada kenyataannya industri yang terdaptar
belum di kelompokkan berdasarkan produk komponen utama, komponen pendukung dan
bahan baku.
Selanjutnya Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. Undang-Undaang tersebut mengatur beberapa
sektor di dalamnya termasuk Industri Pertahanan dan Keamanan. Perubahan regulasi tersebut
salah satunya memungkinkan pelibatan swasta dalam pengembangan Alutsista. Menurut
pemerintah, pelibatan pihak tersebut bertujuan untuk menjadikan sektor Industri Pertahanan
lebih dinamis dan progresif dalam hal investasi. Pemerintah juga menambahkan bahwa
Industri Pertahanan nasional dari hulu ke hilir tetap dikontrol penuh oleh Kementerian
Pertahanan. Adapun untuk aturan turunan akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden
atau Peraturan Pemerintah. Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja membuka babak baru
dalam upaya pembangunan kemandirian industri strategis nasional.

Keberadaan Komite Pengawas


Pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 dikatakan bahwa Industri Pertahanan
(Indhan) adalah industri nasional yang terdiri atas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan
Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) baik secara sendiri maupun berkelompok yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat peralatan
pertahanan dan keamanan, jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan strategis di
bidang pertahanan dan keamanan yang berlokasi di wiliayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, dibentuk suatu organisasi yang berfungsi merumuskan
dan mengevaluasi kebijakan mengenai pengembangan dan pemanfaatan industri pertahanan
yang bernama KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) melalui Peraturan Presiden RI
nomor 59 tahun 2013.
KKIP merupakan organisasi pemerintah, khususnya pada Kementrian Pertahanan
(Kemhan) yang bertugas untuk mengkoordinasikan kebijakan nasional dalam perencanaan,
perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi dan evaluasi yang terkait industri
pertahanan. KKIP diharapkan bisa mewujudkan kemandirian industri pertahanan di
Indonesia, khususnya untuk menyuplai kebutuhan internal TNI, termasuk merebut pasar
regional maupun luar negeri lainnya, sehingga KKIP sebagai perencana penyelenggara
Indhan bersifat strategis dengan mengakomodasikan kepentingan pengguna dan Indhan.
Dalam mewujudkan kemandirian Industri Pertahanan dan pemanfaatan Industri
Pendukung, KKIP mengatakan sesuai dengan UU Nomor 3 Thn 2002 ttg Hanneg, Pasal 16,
angka (6) “Menteri menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan,
pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang
diperlukan oleh Tentara Nasional Indonesia dan komponen pertahanan lainnya”. Pembinaan
Teknologi dan Industri Pertahanan dilaksanakan oleh Ditjen Pothan Kemhan yang diatur
dalam Perpres Nomor 58 Tahun 2015 tentang Kemhan pada Pasal 18, Ditjen Pothan Kemhan
memiliki Tugas membuat perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang potensi
pertahanan. Kemudian sesuai dengan UU 16 th 2012 pasal 13 pemanfaatan industri
Pendukung, sebenarnya sudah diatur dalam dan pada aturan turunannya. Industri komponen
dan/atau pendukung (perbekalan) adalah memproduksi suku cadang untuk Alutsista, suku
cadang untuk komponen utama, dan/atau yang menghasilkan produk perbekalan.
Oleh sebab itu ide atau gagasan tentang pemanfaatan industri pendukung adalah
KKIP membuat kebijakan industri pertahanan baik produksi untuk menghasilkan alat
peralatan pertahanan dan keamanan, dan jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan
strategis di bidang pertahanan dan keamanan yang dituangkan dalam kebijakan road map
pengembangan dan pembangunan Idhan. Didalamnya memuat antara lain agar BUMS dan
BUMN juga membangun ekosistem rantai pasok (Supply Chain) guna mendukung
kemandirian Idhan.
Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, secara umum Indhan BUMS dan BUMN
dapat secara langsung berkolaborasi. KKIP selaku komite pengawasan menetapkan
standarisasi produk Idhan, yaitu Spesifikasi Teknis, Operasional Requirement & Rancang
Bangun. Sedangkan industri swasta / BUMS dapat menjadi lead integrator Indhan, namun
perlu adanya syarat tertentu agar mempunyai Standardisasi Produksi dan MRO Indhan
khususnya dalam Manajemen, antara lain :
a. SDM; Keahlian; kepakaran; kompetensi & pengorganisasian; kekayaan intelektual,
sertifikasi keahlian & kode etik profesinya.
b. Penguasaan Teknologi Kunci.
c. Kapasitas, kapabilitas produksi Indhan, yaitu
 Penggunaan bahan mentah, bahan baku, dan komponen dalam negeri.
 Menghasilkan produk yang optimal dan berorientasi pada produk baru dan peningkatan
kualitas produk yang telah ada.
 Perluasan usaha dan peningkatan kapasitas produksi Indhan.
d. Kepemilikan modal BUMS,
e. Infrastruktur, Sarana & Prasarana Produksi dan Jasa Har;
f. Serta Litbangyasa Indhan.
Selain itu, dalam pemilihan Alutsista untuk penyelenggaraan pengadaan, KKIP
melibatkan Strahan, Kuathan, Renhan dan Baranahan dimana Opsrek dan Spektek di ajukan
oleh mabes Angkatan selaku pengguna. Menurut KKIP, hal yang menjadi dasar dalam
pemilihan Alutsista adalah antara lain :
a. Dihadapkan dengan kebutuhan User dalam pengadaan dihadapkan dengan hakekat
ancaman sesuai Matra Angkatan yang dituangkan dalan Rencana kebutuhan Alutsista.
b. Dihadapkan dengan kemampuan produksi idhan,
c. Dihadapkan dengan kemampuan politik anggaran yang ditetapkan pemerintah.
Namun menurut KKIP, dalam setiap pengadaan / pembelian Alutsists harus tetap
mengacu kepada Rencana pembangunan Postur Pertahanan yang dituangkan dalam 3 Renstra
sampai tahun 2024 agar tercapai kekekuatan MEF. Kendala yang dihadapi dalam mencapai
MEF antara lain :
a. Adanya refocusing anggaran yang berpengaruh terhadap rencana kontrak pembelian
Alutsista;
b. Komitmen user dalam pembelian produk Indhan dalam negeri;
c. Komitmen pelaku idhan dalam memberikan palayanan kepada user (Delivery Time,
Kualitas Produk dsb)
Sementara itu, Ltk Supriyadi, Direktorat Teknologi Industri Pertahanan (Dittekinhan),
dalam wawancara mengatakan bahwa KKIP belum berperan sebagaimana mestinya sesuai
Undang-Undang yang berlaku. Pada Pasal 16 dalam UU 16 th 2012 disebutkan Perencanaan
penyelenggaraan Industri Pertahanan yang bersifat strategis disusun oleh KKIP dengan
mengakomodasikan kepentingan Pengguna dan Industri Pertahanan. Lebih lanjut Ltk
Supriyadi berpendapat, tugas dan fungsi KKIP yaitu menyelenggarakan fungsi merumuskan
dan mengevaluasi kebijakan mengenai pengembangan dan pemanfaatan Industri Pertahanan,
namun tugas dan wewenang KKIP sesuai dengan Pasal 21 dalam UU 16 th 2012 belum
terlaksana dengan baik, antara lain :
a. merumuskan kebijakan nasional yang bersifat strategis di bidang Industri Pertahanan;
(belum ada)
b. menyusun dan membentuk rencana induk Industri Pertahanan yang berjangka menengah
dan panjang; (belum ada)
c. mengoordinasikan pelaksanaan dan pengendalian kebijakan nasional Industri Pertahanan;
(belum ada)
d. menetapkan kebijakan pemenuhan kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan;
(dianulir oleh UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja)
e. mengoordinasikan kerja sama luar negeri dalam rangka memajukan dan mengembangkan
Industri Pertahanan; (belum ada)
f. menetapkan standar Industri Pertahanan; (belum ada)
g. merumuskan kebijakan pendanaan dan/atau pembiayaan Industri Pertahanan; (belum ada)
h. melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Industri Pertahanan secara
berkala. (belum ada)
Sehingga menurut Ltk Supriyadi, jelas sekali peran KKIP sebagai organisasi sebagai
representasi keingiinan rakyat dan bangsa Indonesia keseluruhan, KKIP belum berperan /
atau berfungsi sebagaimana mestinya, dengan kata lain organisasi KKIP belum melaksanakan
perintah Undang-Undang.

KESIMPULAN
Secara umum, walaupun Indonesia telah memiliki industri pertahanan dengan sejarah
yang panjang, namun patut diakui keberadaannya dapat dikatakan belum optimal. Keinginan
untuk memberdayakan Industri Pertahanan Nasional akan dihadapkan pada realita
keterbatasan sumber daya nasional. Untuk bisa bersaing dengan negara lain yang sudah maju,
Industri Pertahanan di dalam negeri perlu melibatkan sejumlah pemangku kepentingan
maupun komponen terkait yang terlibat didalamnya, seperti unsur pemerintah dan non
pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta, produsen material, komponen,
sub-komponen dan sistem integrator, pelaku luar negeri dan dalam negeri. Karena itu
pengembangan Industri Pertahanan membutuhkan upaya dengan pendekatan ganda yang
dilaksanakan dengan serempak dan seirama secara integrasi.
PT. Dirgantara Indonesia terus berupaya dalam mendukung kemandirian Industri
Pertahanan dengan tetap menjalankan Program Strategis Nasional dan berkerjasama dengan
beberapa Indusrti Pendukung lainya. Pemerintah selaku regulator juga telah mengeluarkan
kebijakan-kebijakan, seperti membentuk KKIP yang bertugas dalam mengkoordinasikan
kebijakan nasional yang terkait industri pertahanan dan mengesahkan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan serta Undang-Undang No. 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja guna mendukung kemandirian Industri Pertahanan.
Pembangunan kemandirian Industri Pertahanan merupakan agenda yang dicanangkan
oleh pemerintah sejak 2010 lalu. Meskipun begitu, perlu diakui bahwa sejauh ini masih
terdapat tantangan dalam penyelarasan kapasitas industri pertahanan nasional dengan
kebutuhan militer. Meskipun kebijakan Offset dan Transfer of Technology sudah diterapkan
di Indonesia, namun implementasinya belum maksimal dalam mendukung penguasaaan
teknologi pertahanan nasional.

REFERENSI
Adams, G. (2020). Penetrating the Iron Triangle. In The Politics of Defense Contracting (pp.
207–219). Routledge. https://doi.org/10.4324/9780429338304-19
Amrullah, M. R. (2016). Diplomasi Pertahanan Indonesia Terhadap Turki: Studi Kasus
Kerjasama Industri Pertahanan. Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 6(1), 151–168.
https://doi.org/10.33172/jpbh.v6i1.299
Ansell, Amy, Cox, & W., R. (2019). The Military-Industrial Complex and U.S. Foreign
Policy: Institutionalizing the New Right Agenda in the Post–Cold War Period. In
Unraveling the Right. https://doi.org/10.4324/9780429503313-10
Armandha, S. T., Sumari, A. D. W., & Rahmadi, H. B. (2017). Ekonomi Politik Kerja Sama
Korea Selatan - Indonesia dalam Joint Development Pesawat Tempur KFX/IFX. Jurnal
Global & Strategis. https://doi.org/10.20473/jgs.10.1.2016.75-94
Cox, R. W. (2014a). The Military-Industrial Complex and US Military Spending After 9/11.
Class Race Corporate Power. https://doi.org/10.25148/crcp.2.2.6092117
Djarwono, L. F. (2017). Pembangunan Industri Pertahanan Indonesia: Menuju Pemenuhan
Target Mef Atau Sekedar Menuju Arm Candy? Defendonesia, 2(2), 25–34.
Dunlap, C. J., & Dunlap, C. J. (2011). The Military-Industrial Complex. 140(3), 135–147.
Grahadi, Animus, Putra, Perdana, Kustana, Tatan, Poespitohadi, & Wibisono. (2018).
Pemberdayaan PT DI Sebagai Industri Pertahanan Srategis Dalam Pemenuhan
Alutsista TNI Angkatan Udara Empowering PT DI AS a Strategic Defense Industry In
The Fulfillment Of Indonesian Air Force Defense Equitment.
http://infopublik.id/read/107004/-membangun-
Hartley, K., & Braddon, D. (2014). Collaborative projects and the number of partner nations.
Defence and Peace Economics, 25(6), 535–548.
https://doi.org/10.1080/10242694.2014.886434
Hidayat, S. (2018). Peningkatan SDM Pertahanan Indonesia Untuk Menghadapi Revolution
In Military Affairs. Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 5(1), 45.
https://doi.org/10.33172/jpbh.v5i1.348
Indrawan, J. (2018). Kepemimpinan Berbasis Pemberdayaan Dalam Alih Teknologi: Sebuah
Upaya Meningkatkan Kualitas SDM Pertahanan Indonesia. Jurnal Pertahanan & Bela
Negara, 5(1), 63. https://doi.org/10.33172/jpbh.v5i1.349
Indrawan, Jerry, Widiyanto, & Bayu. (2016). Kebijakan Ofset Daam Membangun
Kemandirian Pertahanan Negara Offset Policy In Building State Defense
Independence. In Jurnal Pertahanan Agustus (Vol. 6, Issue 2).
Karim, S. (2014). Membangun Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia.
Light, P. C. (2019). The Government-Industrial Complex. In The Government-Industrial
Complex. Oxford University Press.
https://doi.org/10.1093/oso/9780190851798.001.0001
Luerdi, Marisa, & Hizra. (2019). Civil Participation in Military Innovation : Cooperation
between the Defense Industry of Indonesia and Turkey 2010-2018 Partisipasi Sipil
dalam Inovasi Militer : Kerjasama Industri Pertahanan Indonesia dan Turki 2010-2018.
Global Strategis, 13(2), 17–34.
Muradi, M. (2018). Model Pendanaan Industri Pertahanan Dan Peningkatan SDM. Jurnal
Pertahanan & Bela Negara. https://doi.org/10.33172/jpbh.v5i2.365
Prasetyo, Budi, Triyoga, Berantas, & Sugeng. (2015). Peningkatan Kualitas SDM Di Bidang
Industri Pertahanan Menuju Pertahanan Negara Yang Tangguh Improving The
Quality Of Human Resources InThe Field Of Defense Industry Towards Aformidable
State Defense (Vol. 5).
Sari, D. A. A. (2019). Integrasi Tata Kelola Kebijakan Pembangunan Kelautan
Berkelanjutan. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional.
Setia, A. (2018). Anlisis Kemampuan Daya Saing PT. DI Guna Mendukung Sistem
Pertahanan Negara. http://www.ejournal-academia.org/index.php/renaissance
Sugawara, Etsuko, Nikaido, & Hiroshi. (2014). Properties of AdeABC and AdeIJK efflux
systems of Acinetobacter baumannii compared with those of the AcrAB-TolC system
of Escherichia coli. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 58(12), 7250–7257.
https://doi.org/10.1128/AAC.03728-14
Sugiyono. (2016). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Susdarwono, E. T., Setiawan, Ananda, Husna, & Nurul, Y. (2020). Kebijakan Negara Terkait
Perkembangan Dan Revitalisasi Industri Pertahanan Indonesia Dari State Policies
Relating To The Development And Revitalization Of The Indonesian Defence Industry.
Jurnal USM Law Review, 3(1), 155–181.
Tuwanto, P. (2015). Gema Keadilan Edisi Jurnal Politik Pembangunan Industri Pertahanan
Nasional di Era Global (Vol. 2, Issue 1). http://www.infobanknews.com/2014/06/bpk-
alokasi-anggaran-alutsista-tak-relevan-dengan-realisasi/
Wibowo, R. D. (2016). Permasalahan dalam Mewujudkan Kemandirian Industri
Pertahanan. 1(2), 43–48.
Witarti, D. I., & Armandha, T. (2015). Theoretical Study On Defense And Security In The
Era Of Defense Industry Globalisation. In Jurnal Pertahanan Desember (Vol. 5).
http://www.cnnindonesia.com
Yanuarti, Indri, Wibisono, Makarim, Midhio, & Wayan. (2020). Strategi Kerja Sama Indo-
Pasifik untuk Mendukung Pertahanan Negara: Perspektif Indonesia. Jurnal Strategi
Pertahanan Semesta2, 6(1), 41–70

Anda mungkin juga menyukai