Anda di halaman 1dari 18

MILITER DAN POLITIK

Dosen Pengampuh: Rafieqah Nalar Rizky, S.Sos.,M.A.

Disusun oleh:
Adella pratiwi (2203100047)
Adzra Adelia Br. Sinaga(2203100045)
Tara Sumaisah (2203100088)
Elfara Rinzani (2203100058)
Dina Nabila Hasibuan (2203100084)
Algata (2203100067)
Yoga Pangestu (2203100083)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK


PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Militer sebagai sebuah organisasi pertahanan, mutlak di perlukan oleh setiap negara yang
ingin aman dari ancaman-ancaman yang dapat mengganggu eksistensi negara tersebut. Urgensi
akan organisasi militer tersebut bagi negara yang baru merdeka dari kolonialisme adalah untuk
mempertahankannya dari ancaman kembalinya bangsa kolonial. Sebagai kalangan yang merasa
ikut berperan dalam proses pencapaian kemerdekaan di Indonesia, militer memang tidak dapat
dipungkiri, walaupun bentuknya belum seperti saat ini. Sehingga tuntutan untuk ikut terlibat
dalam perpolitikanpun harus dipertimbangkan. Beberapa manuver yang dilakukan militer untuk
ke tujuan itupun terekam dalam sejarah, di antaranya pada “Peristiwa 17 Oktober 1952”1, dan
yang tidak dapat dilupakan dan juga merupakan awal dari sejarah dominasi militer bangsa ini
adalah pada peristiwa ”Gerakan 30 September 19652 sampai Supersemar” . Dimana militer
mengambil alih tandu kekuasaan demi keselamatan negara. Geliat militer Indonesia dalam
gelanggang politik tidak terjadi secara alami, tetapi merupakan konsekuensi sejarah sejak
lahirnya tentara Indonesia. Mentalitas umum tentara Indonesia sebelum maupun setelah
kemerdekaan adalah peran langsungnya dalam perpolitikan. Harold Crouch mencatat, “dalam
masa revolusi tahun 1945 sampai 1949, tentara terlibat di dalam perjuangan kemerdekaan di
mana tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan”.

Apabila dalam keadaan mendesak di mana kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan
keselamatan bangsa terancam, panglima TNI dapat menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah
awal mencegah kerugian negara lebih besar. Padahal, krisis dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) adalah krisis keadilan dan kemakmuran yang kian jauh, sehingga militer
bukan solusinya. Meski dalam konteks Indonesia, militer pada dasarnya merupakan budaya
politik yang kuat dalam kehidupan masyarakat.
Terdapat pula pendapat yang menolak keras peran sosial politik ABRI/TNI dikarenakan oleh
dua hal,5 Pertama, peran sosial politik militer terlahir dalam keadaan perang atau keadaan
darurat, sehingga untuk masa kini di mana kondisi darurat perang telah dilewati maka secara
otomatisperan sosial politik akan hilang dengan sendirinya. Artinya meminjam istilah dalam
kaidah “ushul fiqh” peran sosial politik di masa perang adalah sebuah ruqshoh (keringanan) yang
masih bisa ditoleransi. Kedua, karena panduan politik yang diajukan dalam melihat peran sosial
politik adalah konsep civilian supremacy. Dalam konsep ini fungsi sosial politik militer akan
berhadap-hadapan dengan demokrasi dan demokratisasi. Karena diyakini budaya militer akan
menghambat laju dari demokrasi yang tengah diupayakan.

Bila kita ingin membenahi negara dan keluar dari krisis multidimensi, harus dilakukan
demiliterisasi total dalam kehidupan politik dan bisnis. Apa yang diberitakan koran, maraknya
penyelundupan dan perdagangan barang ilegal, karena ada backing (beking), dan biasanya
oknum militer, karena desakan kebutuhan yang tak bisa ditutup oleh pendapatannya yang rendah.
Ini menunjukkan betapa tidak mudahnya membenahi kehidupan militer menjadi profesional.

Munculnya militer dipanggung politik, sosial dan ekonomi negara-negara berkembang,


berpangkal dari lemahnya pihak sipil untuk mengendalikan unsur-unsur kehidupan masyarakat.
Politisi sipil yang dengan relatif cepat dihadapkan kepada segala masalah seperti penyusunan
suatu sistem politik yang sama sekali lepas dari kekuasaan asing, mengorganisisr masyarakat
yang relatif tergesa-gesa berhadapan dengan tuntutan modernisasi, masih mencoba model-model
yang mungkin dipergunakan untuk melayani tuntutan-tuntutan masyarakatnya sendiri.

Kekuatan militer dalam dunia politik di Indonesia, sebenarnya mempunyai akar sejarah yang
panjang dan tidak bisa dihapus begitu saja, bahkan akan menjadi sesuatu yang musykil. Pada era
reformasi, saat partai-partai politik bermunculan, ternyata partai-partai politik mengundang
militer masuk di dalamnya. Dianggapnya partai politik akan menjadi kuat bila ada militernya,
apalagi yang sudah berpangkat jenderal. Akibatnya, hampir tidak ada satu partai pun yang di
dalamnya tidak ada militernya.

Peran militer dalam kehidupan politik masih tetap dominan, meski kepala negara orang sipil,
apalagi jika para militer di partai-partai politik "bermain mata", maka militer tetap akan
mengendalikan kehidupan politik di suatu negara. Munculnya satgas-satgas (satuan tugas) di
partai-partai politik, sebenarnya dapat ditengarai, budaya militer tetap besar dan mengakar kuat
dalam kehidupan politik kita. Bahkan, satgas-satgas itu bisa menjadi dan bertindak lebih militer
daripada militer sendiri. Penampakan lahiriahnya saja menunjukkan sikap over acting militernya,
dengan memakai baju, topi, sepatu bak seorang militer sejati.

Jika kita ingin mengakhiri peran politik militer dan menjadikannya profesional, maka budaya
militer yang telah berkembang kuat di masyarakat, harus dirombak lebih dulu. Budaya militer
tidak hanya pada uniformitas berpakaian. Yang mendasar adalah cara berpikir militer yang ada
pada politisi kita, yang suka memaksakan kehendak dan pendapat sendiri dengan cara
mengerahkan massa guna mendukung sikap "pokoknya" dari para pemimpin partai politik.
Bahkan, militer seolah menjadi simbol kepahlawanan bangsa, sehingga taman makam pahlawan
seakan hanya haknya militer.

Merebaknya budaya militer dalam kehidupan partai politik, akan merusak kehidupan partai
politik, dan menjadi pemicu munculnya komunalisme, di mana partai politik selalu
mengandalkan pengerahan massa guna melakukan tekanan politik. Komunalisme cenderung
destruktif, dan melemahkan kekuatan akal budi untuk menyelesaikan masalah dengan cara-cara
cerdas, komunikatif dan mencerahkan. Komunalisme dapat berkembang sebagai bentuk
kepanikan politik yang biasanya berujung pada tindakan kekerasan tak terkendali.

Fakta bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat perpolitikan kita
adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya kejatuhan Presiden Soekarno karena
berseberangan dengan militer, sehingga jenderal Soeharto menggantikannya, dan jenderal
Soeharto pun lalu jatuh, karena militer menarik dukungan darinya. Begitu juga dengan kejatuhan
presiden KH Abdurrahman Wahid. Bahkan, fenomena dukungan Megawati terhadap pencalonan
Gubernur DKI Sutiyoso tidak bisa dipisahkan dari upaya melakukan konspirasi politik dengan
militer guna mendukung dan memantapkan kekuasaannya. Tanpa dukungan militer, maka
kekuasaan Megawati akan jatuh, apalagi di saat-saat seperti sekarang, banyak kelompok
masyarakat menggugat kekuasaannya sebagai akibat kebijakannya yang tidak populis, seperti
menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik (TDL)

Karena itu, yang menjadi persoalan adalah masih kuatnya budaya militer dalam jagat
perpolitikan bangsa, yang ditandai kecenderungan menguatnya penyelesaian masalah dengan
mengandalkan otot ketimbang nalar. Cara-cara pemaksaan kehendak secara sepihak, baik
pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat yang sedang terlibat konflik, dengan
mengerahkan massanya dan tidak sabar dengan proses dialektika akal budi untuk mencari jalan
keluarnya adalah pertanda kuatnya budaya militer dalam kehidupan politik kita.

Demokrasi pada hakikatnya bertumpu pada kekuatan akal budi guna mengatasi konflik dan
pluralitas, yang sudah menjadi kodrat hidup masyarakat di mana pun dan kapan pun. Konflik dan
pluralitas adalah realitas fundamental kehidupan masyarakat yang tidak mungkin berakhir, dan
demokrasi adalah cara paling sehat untuk mengelola dan menyelesaikannya, dengan bertumpu
proses dialektika akal budi. Jika kekuatan akal budi menjadi landasan kehidupan politik rendah
dan jatuh, kekuatan otot yang mendasari budaya militer akan menguat. Demokrasi hanya
mungkin dengan demiliterisasi budaya politik bangsa.

B. Rumusan Masalah

1.Bagaimana konsep militer sebagai kekuatan politik?

2.Bagaimana hubungan antara militer dan politik dapat diatur sehingga menjaga keseimbangan
kekuasaan dan menghindari campur tangan militer yang berlebihan dalam urusan politik?
BAB II

PEMBAHSAN

1. Definisi Militer

Di dalam bukunya Amos Perlmutter menyebutkan bahwa organisasi militer adalah sebuah
organisasi yang paling sering melayani kepentingan umum tanpa menyertakan orang-orang yang
menjadi sasaran usaha-usaha organisasi itu. Profesi militer disebut sebagai suatu profesi sukarela
karena setiap individu bebas memilih suatu pekerjaan di dalamnya, namun ia juga bersifat
memaksa karena para anggotanya tidak bebas untuk membentuk suatu perkumpulan sukarela
melainkan terbatas kepada suatu hirarki birokrasi. Lebih lanjut dapat pula diidentifikasi bahwa
dalam diri para prajurit militer terdapat tiga ciri khas sekaligus, yaitu koorporatis (dalam hal
ekskulusifitas), birokratis (dalam hal hirarki), dan profesional (dalam hal semangat misi). Militer
adalah organisasi kekerasan fisik yang sah untuk mengamankan negara atau bangsa dari
ancaman luar negeri maupun dalam negeri. Dalam hal ini, militer berfungsi sebagai alat negara
yang menjunjung tinggi supremasi sipil.Ketika kita hendak membahas hubungan sipil-militer,
ada baiknya kita mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan terminologi sipil dan
militer, yang sudah umum diketahui. Banyak pengamat militer memberikan batasan sipil secara
beragam, dalam buku Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, sipil didefinisikan sebagai
masyarakat umum, lembaga pemerintahan, swasta, para politisi, dan negarawan. Sipil dibatasi
hanya pada masyarakat politik yang diwakili partai politik. Menurut buku ini masyarakat politik
adalah sebuah area di mana masyarakat bernegara secara khusus mengatur dirinya sendiri dalam
konstes politik guna memperoleh fungsi kontrol atas kekuasaan pemerintah dan aparat negara.

Sedangkan dalam mendefinisikan militer, Amos Perlmutter mengatakan bahwa ketika ia


menyebut militer, maka yang dimaksud adalah:

1. kebanyakan perwira tinggi senior (di atas tingkat kolonel);

2. perwira yang berorientasi pada lembaga (pada tiap rank);

3. perwira profesional (tiap rank);


4. perwira yang rank, status, kedudukan, dan orientasinya menghubungkan mereka dengan
sektor sipil dalam masalah garis kebijaksanaan politik.

Melalui definisi di atas, Perlmutter membatasi konsep militer hanya pada semua perwira
yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi, dan memiliki orientasi
yang bersifat politik, serta tidak memandang kepangkatan, apakah perwira tinggi, menengah,
atau pertama. Sedangkan Cohen mendefinisikan militer sebagai personel militer, lembaga militer,
atau hanya para perwira senior. Dan Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo yang dikutip
Connie mendefinisikan militer sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga
kedaulatan negara.Kecenderungan tentara untuk campur tangan dalam politik dan dalam
pembuatan keputusan dikaitkan dengan peranan-peranan dan orientasi koorporasi dan
birokrasinya. Sebagai sebuah korporasi organisasi militer berusaha melaksanakan pengawasan
intern terhadap profesinya dan melindunginya dari pengawasan politik dari luar, ini dimaksudkan
untuk meningkatkan derajat otonomi organisasi militer. Kaum militer berusaha mencapai
otonomi yang maksimal, dengan konsekuen melancarkan pengaruh politik, baik melalui
lembaga-lembaga dan rezim politik. Sebagai suatu profesi birokrasi, tentara berkecimpung dalam
politik hingga mampu menjadi partner vital bagi politisi sipil dan birokrat lain di dalam
perumusan dan penerapan kebijaksanaan keamanan nasional

A. Pengertian Tindak Pidana Militer

Tindak pidana desersi atau sering di sebut kejahatan desersi merupakan salah satu contoh
dari tindak pidana militer murni, artinya dikatakan murni adalah bahwa tindakan-tindakan
terlarang/diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seorang militer, karena
keadaan yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan militer menghendaki tindakan
tersebut ditentukan sebagai tindak pidana. Hukum pidana militer dalam arti material dan formal
ditinjau dari sudut bagian hukum positif, yang berlaku bagi  peradilan militer, yang menentukan
dasar-dasar dan peraturan-peraturan tentang tindakan-tindakan yang merupakan larangan dan
keharusan serta terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana, yang menentukan dalam hal apa
dan bilamana pelanggar dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang menentukan
juga cara penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana, demi tercapainya keadilan dan
ketertiban hukum. 8 Secara singkat hukum pidana militer dalam arti materiil yaitu yang terdapat
pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (selanjutnya disingkat KUHPM) dan dalam
arti formal yaitu UU Hukum Acara Pidana Militer (UU No. 9 Hukum pidana militer sebagai
hukum khusus yang berlaku bagi golongan militer dan yang dipersamakan serta juga berlaku
ketentuan-ketentuan hukum pidana umum. Hukum pidana militer adalah salah satu hukum
pidana yang secara khusus berlaku bagi militer (dan yang dipersamakan) di samping berlakunya
hukum pidana lainnya.

Tindak pidana militer pada umumnya terdapat dalam KUHPM dimana terdapat dua bagian

yaitu :

 Tindak pidana militer murni.

Tindak pidana militer murni adalah merupakan tindakan terlarang/diharuskan


yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seorang militer, karena keadaannya
yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan militer menghendaki tindakan
tersebut ditentukan sebagai tindak pidana. Contoh tindak pidana murni antara lain :
(a) Seorang militer yang dalam keadaan perang dengan sengaja menyerahkan seluruhnya
atau sebagian suatu pos yang diperkuat, kepada musuh tanpa usaha mempertahankannya
sebagaimana dituntut / diharuskan dari padanya.
(b) Kejahatan desersi (meninggalkan dinas tanpa ijin lebih dari 30 hari berturut turut).
(c) Meninggalkan pos penjagaan.

 Tindak Pidana Militer Campuran

Tindak Pidana Militer Campuran adalah tindakan-tindakan terlarang atau


diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lainnya,
akan tetapi diatur lagi dalam KUHPM atau dalam perundang-undangan lainnya. Karena
adanya sesuatu keadaan yang khas militer atau karena adanya sifat yang lain, sehingga
diperlukan ancaman pidana pada kejahatan semula dengan pemberatan tersebut dalam
Pasal 52 KUHP. 12 Alasan pemberatan tersebut adalah karena ancaman pidana dalam uu
hukum pidana umum itu dirasakan kurang memenuhi keadilan, mengingat hal-hal khusus
yang melekat bagi seorang militer.

B. Fungsi Militer Dalam Negara

Negara sebagai suatu organisasi sosial terbesar dalam masyarakat mempunyai fungsi;
melindungi masyarakat dari ancaman atau gangguan serta menjamin hak-hak masyarakat. Oleh
karena itu Negara sebagai organisasi yang besar diberikan wewenang oleh masyarakatnya untuk
menjalankan kewajiban tersebut. Tujuan negara adalah berupaya mengkonsolidasikan tujuan dan
kepentingan bersama dikalangan masyarakat secara umum. Jadi segala sesuatu yang diberikan
oleh masyarakat (seperti membayar pajak, kerelaan untuk tunduk/menurut) kepada negara dapat
diukur. Ukurannya adalah sejauhmana masyarakat dapat merasakan atau mendapatkan kembali
hak-haknya atau hak-haknya tidak terlanggar dan terpenuhi. Russell Hardin mengatakan: “(w)e
need goverment in order to maintain the order that enables us to invest effort in our own
wellbeing and to deal with others in the expectations that we will not be violated”.

Dalam suatu sistem demokrasi dimana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari
ancaman dan gangguan, maka posisi militer di dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi
agar ancaman dan gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban
pokok dari sebuah institusi militer. Dengan demikian posisi militer atau angkatan bersenjata
merupakan sebuah institusi yang sah atau lazim dalam sebuah organisasi yang bernama negara,
yang mempunyai kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi memproteksi
masyarakat dari ancaman fisik.

Lebih jauh mengenai fungsi militer dalam negara demokratis bisa kita pelajari dari prinsip-
prinsp yang ditawarkan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Dr. Dietrich Genschel. Prinsip-prinsip
dimaksud, adalah sebagai berikut
1. Militer merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif suatu tatakelola pemerintahan. Dengan
demikian, militer merupakan elemen pemisahan kekuasaan dalam sistem politik yang
demokratis, yang ditandai dengan pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

2. Militer berada di bawah kepemimpinan politik yang telah disahkan secara demokratis, dengan
jabatan menteri pertahanan dipegang oleh sipil.

3. Militer mengikuti pedoman politik yang digariskan.

4. Militer patuh dan tunduk pada hukum.

5. Militer dibatasi oleh tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh konstitusi; secara regular menjaga
keamanan eksternal negara (dari serangan atau ancaman dari luar) dan menjaga pertahanan
negara. Dalam kasus-kasus tertentu dengan situasi dan batas-batas tertentu yang digariskan
secara jelas. (Militer dapat dilibatkan) dalam upaya-upaya untuk menjaga keamanan internal
negara dibawah komando polisi.

6. Militer bersifat netral dalam politik.

7. Militer tidak dibenarkan memiliki akses untuk memperoleh dukungan-dukungan keuangan


diluar anggaran pendapatan dan belanja negara.

8. Militer dikendalikan oleh parlemen, kepemimpinan politik, kekuasaan kehakiman, dan


masyarakat sipil secara umum.

9. Militer memiliki tanggung jawab yang jelas berdasarkan keahlian profesional yang
dimilikinya dan dengan itu, memiliki harkat dan martabatnya.

2. Definisi Kekuatan Politik

Kekuatan Politik adalah kemampuan suatu kelompok dalam mempengaruhi proses


pembuatan dan perumusan keputusan-keputusan politik yang menyangkut masyarakat umum.
Kemampuan mempengaruhi dilakukan kelompok dengan menggunakan sumber-sumber
kekuasaan dan akses yang dimiliki, sehingga keputusan-keputusan yang dibuat pemerintah akan
menguntungkan mereka. Suatu kelompok akan mempengaruhi keputusan-keputusan politik,
apabila keputusan-keputusan yang dibuat menyangkut kepentingan mereka, sehingga apapun
konsekuensinya akan dihadapi oleh kelompok-kelompok tersebut dengan berbagai upaya.
Upaya-upaya yang dilakukan biasanya dengan mengerahkan sumber-sumber kekuasaan yang
dimiliki dan disalurkan melalui saluran-saluran yang tersedia.

Kesadaran mengenai perkembangan teori, pendekatan dan wawasan baru dalam memahami
kekuatan-kekuatan politik yang pada dasarnya telah meletakkan tata susunan politik dan
kekuatan politik yang berada di dalamnya dalam konteks dan hubungannya dengan persoalan-
persoalan yang dalam dan luas ini dengan sendirinya menuntut untuk dipahaminya. pula
perkembangan sejarah, struktur sosial dan ekonomi dimana tata susunan politik dan kekuatan-
kekuatan politik itu berada. Kekuatan-kekuatan politik kontemporer yang menampilkan diri
sebagai partai politik, militer, pemuda, mahasiswa, kaum intelektual dan golongan pengusaha
serta kelompok-kelompok penekan yang lain pada dasarnya memiliki asal usul di dalam
perubahan-perubahan besar sosial, politik dan ekonomi. Perubahan-perubahan ini bukan hanya
saja telah menimbulkan pengaruh yang mendalam , tetapi juga dalam perkembangan sosial,
politik dan ekonomi.

Sangatlah penting kiranya untuk segera disadari bahwa perubahan-perubahan ini telah
menampilkan dimensi-dimensi pokok yang menjelaskan 3pemunculan dan perkembangan
kekuatan-kekuatan politik kontemporer.

Dimensi-dimensi itu adalah:

1) Politik, ekonomi dan masalah-masalah sosial yang lain secara pelan-pelan tidak lagi menjadi
monopoli kaum bangsawan, tetapi telah menjadi masalah-masalah masyarakat luas. Terdapat
suatu perkembangan nyata menuju suatu perluasan partisipasi politik dan hak pilih. Proses inilah
yang telah mengawali kelahiran partai politik dan pengelompokan-pengelompokan politik yang
lain.

2) Semakin kuatnya peranan kelas menengah di hampir seluruh bidang kehidupan. Proses ini
juga dibarengi dengan pengukuhan kebudayaan kota. Tampilnya kelas menengah dan
pengukuhan kebudayaan kota inilah yang telah menandai kelahiran kelas menengah, kaum
profesional dan golongan intelektual sebagai kekuatan politik penting yang tidak bisa diabaikan.

3) Semakin kuatnya peranan kelas menengah di hampir seluruh bidang kehidupan. Proses Ini
berarti bahwa birokrasi dan aparatur negara secara pelan-pelan telah pula menjadi unsur penting
dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Termasuk dalam proses ini adalah penampilan
angkatan bersenjata sebagai unsur penting negara yang mulai dipimpin dan diorganisasi sesuai
dengan prinsip-prinsip profesionalisme.

A. Kekuatan Politik Militer

Dalam historiografi sejarah awal militer Indonesia, atau Tentara Nasional Indonesia (TNI),
hanya terdapat satu paradigma tunggal, yaitu bahwa TNI dibentuk dari rakyat yang sedang
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda Dalam bahasa Salim Said
mengungkapkan bahwa tentara Indonesia adalah tentara yang menciptakan diri sendiri. TNI
diyakini sebagai institusi profesional yang bukan merupakan warisan institusional negara
metropolitan dalam hubungan kolonial masa lampau, sebagaimana umumnya ditemui di negara-
negara bekas jajahan. Terlihat memang ada yang tidak biasa dari proses terbentuknya Tentara
Nasional Indonesia, di mana pemerintah tidak memiliki peran dalam pembentukan institusi
ketentaraan.

Perwujudan peran militer dalam politik Indonesia telah melewati perjalanan panjang, dan
keterlibatan militer dalam politik senantiasa mengalami pasang surut. Bilveer Singh,68
menyebutkan bahwa kerterlibatan militer dalam bidang non-militer (politik) disebabkan oleh
faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal tersebut terdiri dari;
(1) nilai-nilai dan orientasi para perwira militer, baik secara individu maupun kelompok, serta
(2) kepentingan-kepentingan material korps militer. Menurut Eric Nordlinger, yang mendorong
keterlibatan militer dalam politik adalah perlindungan otonomi dan kepentingan korporat militer.
Begitu juga menurut S.E. Finer kepentingan korpslah yang menjadi perhatian utama peran
militer.

Kepentingan-kepentingan material angkatan bersenjata juga memainkan peranan amat


penting dalam keputusan militer untuk campur tangan dalam politik seperti:

a) Memperjuangkan kepentingan kelompok dan organisasi, baik untuk memperoleh fasilitas-


fasilitas militer seperti alat utama sistem persenjataan, maupun untuk memberikan gaji yang
layak kepada anggotanya. Jika para pemimpin politik sipil gagal untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan tersebut, maka ada kecenderungan militer terpolitisasi dan terintervensi dalam politik.
b) Korps militer adalah wakil penting dari kelas menengah perkotaan, dan apabila pemerintah
gagal untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah, maka kelompok perwira militer diperkirakan
akan melakukan tekanan terhadap pemerintah kemungkinan menjatuhkannya.

c) Para pemimpin puncak militer dapat pula membangun kepentingan-kepentingan pribadinya


melalui intervensi militer dengan menempatkan mereka dalam kontrol jaringan patronase
pemerintah, bahwa ketidak pedulian pemimpin sipil terhadap kepentingan militer dapat
menyebabkan terjadinya intervensi militer.

Nilai-nilai dan orientasi militer secara garis besar merupakan hasil dari sejarah pengalaman
yang dimiliki para anggota militer. Pada gilirannya, sejarah asal-usul dan peran awal militer
tersebut membentuk suatu tradisi dan seperangkat nilai, yang di dalamnya para generasi perwira
militer pendahulu dan penerusnya cenderung mematuhi dan mengekalkannya. Faktor kunci
dalam memperkuat keutuhan militer adalah ancaman terhadap institusi tersebut. Alfred Stepan
mengatakan:69 “Sebenarnya seringkali ancaman terhadap kepentingan institusional atau
kelangsungan hidup (militer) menjadi faktor dalam menciptakan konsensus akhir pejabat tinggi
militer, karena setiapkali area tradisional dari otoritas institusional militer diganggu, misalnya
dalam hal struktur disiplin dan hirarkinya, maka bahkan non-aktifis dan legalis di dalam jajaran
pejabat militer itu akan terprovokasi untuk bertindak”.

Faktor institusional adalah salah satu variabel yang krusial di antara ancaman terhadap
lembaga militer dan perebutan kekuasaan oleh militer. Gerakan militer untuk merebut kekuasaan
menjadi efektif hanya jika ia berhubungan dengan perhatian militer untuk mempertahankan
kepentingan dirinya. Di bawah akan kita ketahui faktor apa yang melatarbelakangi terjun
bebasnya militer dalam hiruk-pikuk politik kekuasaan di Indonesia.

Militer yang masuk ke dalam dunia politik didasari oleh banyak faktor pendukung. Secara
kultur yang dibangun dalam dunia milter memang menjadikan setiap perwira militer memiliki
keunggulan yang dapat dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi yang dibangun dalam
dunia militer juga memberikan semangat juang yang berbeda dibandingkan kalangan sipil.
Faktor-faktor pendukung itu antara lain adalah jaringan yang dibangun oleh setiap perwira cukup
baik. Jaringan itu dibangun dari berbagai momen seperti latihan militer bersama, pendidikan
militer bersama, atau hubungan antar pimpinan militer di negara yang berbeda. Perwira tinggi
militer yang memiliki jaringan yang kuat dapat melakukan koordinasi bahkan bantuan dukungan
jaringannya di negara lain. Selain Jaringan, faktor pendukung lainnya adalah sistem
kepemimpinan yang dibangun dalam dunia militer. Setiap perwira militer sudah dilatih
kepemimpinannya dalam suatu entitas terkecil sampai memimpin satu angkatan secara
keseluruhan. Kultur itu membuat pengalaman seorang perwira militer benar-benar terlatih sejak
dini. Selain itu, ada faktor-faktor lain yang juga sangat mempengaruhi kualitas seorang perwira
militer yang siap memimpin negara antara lain pendidikan berkualitas yang dididik dengan
orang-orang berkualitas bahkan dari kalangan sipil yang memenuhi kriteria terbaik seperti Guru
Besar, dsb.

Menurut K. Man Haim, ada tiga faktor yang mendorong militer berpolitik yaitu:

1) Ambisi Pribadi

Ambisi-ambisi pribadi para perwira militer untuk merebut posisi penting di dalam
jaringan kekuasaan politik. Ambisi pribadi perwira tinggi dan menengah militer dapat dilihat dari
dua segi yakni keinginan berkuasa dan keinginan memperoleh materi sebagai konsekuensi dari
jabatan itu, atau karena jabatan tertentu memberi peluang seseorang untuk memperoleh berbagai
fasilitas dan kemudahan yang pada akhirnya bermuara pada kesenangan materi.

2) Kepentingan Kelompok

Kepentingan kelompok yakni keinginan untuk mendominasi kelompok yang lain melalui
kekuasaan. Keinginan untuk mendominasi kekuasaan terkait dengan status mereka di dalam
masyarakat. Di dalam masyarakat para perwira merupakan kelompok elite sesuai konsep ksatria.
Para perwira berusaha untuk memperlihatkan atau menampilkan diri sebagai kelas elite dengan
standar hidup di mana ia berada. Untuk memenuhi standar hidup tersebut para perwira harus
merebut kekuasaan nonmiliter, selanjutnya secara sistematis membangun hegemoni. Para
perwira kemudian mengalienasi kelas yang lain yang merupakan mayoritas sosial dan
membiarkannya berada pada posisi tertentu yang terabaikan dalam setiap pengambilan keputusan
publik. Dominasi kekuasaan diiringi pula oleh dominasi bisnis. Hal ini dikaitkan dengan dua hal
yaitu Pertama, penguasaan bisnis bertujuan untuk mengumpulkan materi dalam rangka
pemenuhan standar hidup kelas menengah. Kedua, pengumpulan materi untuk membiayai
kegiatan-kegiatan memperluas kekuasaan dan mempertahankannya.

3) Kepentingan Nasional

Kepentingan Nasional, yakni mempertahankan dan membangun keamanan negara dan


masyarakat, dengan asumsi mereka adalah kekuatan pengintegrasi bangsa. Artinya, militer
menjaga kemungkinan berkembang suatu pemikiran untuk merubah bentuk negara atau
munculnya daerah tertentu untuk memaksakan kehendaknya untuk memisahkan diri. Militer
tampil melindungi kepentingan segala golongan di dalam negara dan masyarakat.

B. Keterlibatan Militer Dalam Politik (Militer Pretorian)

Supremasi sipil dibangun dengan sebuah budaya politik yang baik. Budaya politik adalah
suatu parameter dimana peran sipil sangat dominan dalam sebuah negara. Budaya politik yang
baik dapat diwujudkan ketika mesin politik (partai) dapat menyentuh akar rumput dan
melakukan kaderisasi politik yang baik. Pada masa pergerakan nasional di Indonesia, tidak ada
partai politik yang mengakar dan memberikan budaya politik yang baik ke bawah. Partai-partai
politik yang ada saat itu antara lain Sarikat Islam, Partai Sosialis Indonesia, Partai Nasional
Mahasiswa (PNI), dll. Sarikat Islam merupakan partai yang memiliki massa yang sangat besar
saat itu. Akan tetapi, banyaknya anggota partai tersebut tidak diimbangi dengan internalisasi
budaya politik yang baik ke seluruh anggotanya. Banyaknya anggota partai itu lebih dikarenakan
variabel lainnya yang berpengaruh seperti ikatan keagamaan maupun ketokohan pimpinannya
terutama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Begitu juga dengan partai lainnya. Partai-partai lain
juga kurang memiliki budaya politik yang baik. Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sjahrir
memang dikenal sebagai partai kalangan intelektual.

Faktor dominan masuknya militer dalam dunia politik adalah budaya politik yang kurang
dibangun dengan baik oleh partai-partai politik. Ketidakbecusan kalangan sipil dalam mengurus
negara membuat kalangan militer berinisiatif untuk masuk (intervensi) ke dunia politik.
Masuknya militer dalam dunia politik disebut dengan Pretorian.Terdapat beberapa cara seorang
perwira militer menjadi pretorian:

• Mengancam langsung pemerintah dengan kekuatan militer.

• Intervensi ke dalam pemerintahan dengan penguasaan otoritas pemerintah dalam bidang


kebijakan militer.

3. STUDI KASUS

Kritik terhadap profesionalisme TNI, khususnya dalam kontestasi politik pilkada, semakin
menguat saat dekade kedua reformasi. Kritik ini berdasarkan fenomena TNI yang cenderung
terlibat dalam Pilkada Kepulauan Riau 2015 dan Sumatera Utara 2018. Tujuan artikel ini adalah
mendeskripsikan dan menganalisa keterlibatan militer pada kedua pilkada tersebut hingga
menyebabkan kritik profesionalisme TNI muncul. Artikel ini menggunakan metode penelitian
kualitatif berdasarkan studi kasus pada dua pilkada tersebut. Data yang diperoleh berdasarkan
studi kepustakaan dari dokumen dan pemberitaan yang relevan. Lalu data-data yang menunjang
analisis berasal dari referensi ilmiah pada  topik profesionalisme militer. Peneliti melakukan
validasi data melalui tehnik triangulasi, yaitu menguji data-data yang diperoleh melalui
kombinasi beberapa sumber data lainnya. Dari dua pilkada tersebut, keterlibatan militer terjadi
pada mobilisasi anggota TNI dan pernyataan eksplisit pencalonan diri dalam pilkada oleh
perwira TNI aktif di depan publik. Hasil studi menyatakan reformasi militer di Indonesia yang
belum optimal telah menimbulkan masalah dalam membangun profesionalisme TNI. Ini terjadi
karena keengganan elit sipil dalam mendorong profesionalisme TNI agar steril dari politik. Lalu
aspek regulasi yang mudah dalam menerjemahkan aturan keterlibatan TNI dalam pilkada melalui
landasan pengamanan, serta budaya militer pada individu militer. Budaya ini menyebabkan
militer belum konsisten menjauhkan diri dari pragmatisme politik.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalam suatu sistem demokrasi dimana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari
ancaman dan gangguan, maka posisi militer di dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi
agar ancaman dan gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban
pokok dari sebuah institusi militer. Dengan demikian posisi militer atau angkatan bersenjata
merupakan sebuah institusi yang sah atau lazim jika memang disepakati dalam sebuah organisasi
yang bernama negara, yang mempunyai kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi
memproteksi masyarakat dari ancaman fisik. Setelah melalui pergulatan mengenai peristiwa
pembentukan organisasi militer di Indonesia, yang telah berganti-ganti nama, yang tentunya
mempengaruhi terhadap sifat serta orientasi militer. Ketika bernama TNI, nasionalisme yang
tercermin dari nama itu menandakan anggota militer tidak terbatas pada satu etnis atau suku
tertentu, tetapi seluruh warga negara Indonesia dipersilahkan menjadi anggota militer. Peran
politik yang diperoleh militer dengan susah payah mereka peroleh, melalui berbagai peristiwa
yang terekam dalam sejarah bangsa ini, menandakan bahwa militer sebagai salah satu unsur yang
mutlak dalam suatu negara keberadaannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Fakta bahwa
militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat perpolitikan kita adalah realitas yang
tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan
dengan militer, sehingga jenderal Soeharto mengudetanya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh,
karena militer menarik dukungan kepadanya.

DAFTAR PUSTAKA

Crouch, Harold.1999. Militer dan Politik Di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

Fatah, Abdoel. 2005. Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004.
Yogyakarta: LKiS.

Nordlinger, Eric A. 1990. Militer dalam Politik. Jakarta: Rineka Cipta,

https://jurnal.unpad.ac.id/wacanapolitik/article/view/32047

Anda mungkin juga menyukai