Anda di halaman 1dari 147

HUKUM MARITIM

I. PENGERTIAN HUKUM , SUMBER HUKUM dan PEMBIDANGAN


HUKUM

A. Pengertian Hukum
Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa
yang mengurus tata-tertib suatu lingkungan masyarakat. Dalam suatu
lingkungan masyarakat semua orang menjadi pendukung dari
kepentingan-kepentingan yang akan mereka amankan sebaik mungkin.
Pengamanan kepentingan ini akan terpenuhi dengan pembuatan peraturan-
peraturan yang dapat menjamin keseimbangan dalam hubungan antara
anggota masyarakat.
Hukum hanya berlaku dalam suatu pergaulan masyarakat. Hanya
dilingkungan inilah kepentingan-kepentingan dapat bertubrukan satu sama
lainnya peraturan-peraturan hukum memiliki ciri memaksa, yaitu adanya
perintah atau larangan dan ditegakkannya dengan cara paksa. Apa bila
tidak ditaati maka hakim dapat mengenakan cara-cara paksa tertentu
( sanksi ), kadang-kadang hukum atau (dalam hukum perdata) ganti
kerugian

B. Sumber Hukum
Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah : segala suatu dari
mana orang dapat mengenal bermacam-macam peraturan yang berlaku
didalam masyarakat dan oleh umum dianggap sebagai hukum yang pada
hakekatnya merupakan peraturan-peraturan yang mempunyai kekuatan
hukum.
Sumber hukum yang berlaku di kalangan suatu bangsa dalam masa
tertentu dapat diketahui.
Sumber hukum yang paling utama adalah Undang-undang.

1
Pengertian “ Undang-undang “ disini dalam arti yang luas adalah
meliputi setiap keputusan pemerintah yang menentukan peraturan-
pertuaran yang mengikat.
Dengan demikian sebuah peraturan keselamatan kapal (Scheppen
Verordening tahun 1935 / SV 1935) adalah juga suatu Undang-undang
dalam arti luas ( materiil ).
Sedangkan pengertian “ Undang-Undang Dasar, oleh Pemerintah bersama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dari segi isinya Undang-undang Dasar 1945 merupakan peraturan-
peraturan Negara Republik Indonesia yang tertinggi.
Kekuatan Perundang-undangan lainnya bersumber dari Undang-undang
Dasar.
Setiap produk hukum bahkan juga setiap tindakan kebijaksanaan
Pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumberkan pada peraturan, dan
peraturan ini haruslah berlandaskan dan bersumberkan pada peraturan
yang lebih tinggi yang pada akhirnya haruslah dapat dipertanggung-
jawabkan pada Undang-undang Dasar 1945 .
Selain undang-undang maka sumber hukum yang ketiga adalah kebiasaan
yang dapat juga menjadi sumber hukum.
Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat maka dengan
demikian timbullah suatu kebiasaan hukum yang oleh pergaulan hidup
dipandang sebagai hukum.
Kadangkala Undang-undang menunjuk kepada kebiasaan,
Contoh : Pasal 1339 KUHPER menyebutkan bahwa “ persetujuan-
Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan didalamnya tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat persetujuannya diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang “ untuk
kelonggaran yang diadakan disini dapat banyak
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.

2
Sumber hukum ketiga adalah Yurisprudensi ( Putusan hakim). Apabila
Undang-undang ataupun Kebiasaan tidak memberikan peraturan yang
dapat dipakai untuk menyelesaikan suatu perkara maka hakim haruslah
membuat peraturan sendiri yang dikemudian hari apabila mengadili
perkara serupa dapat di jadikan sumber hukum bagi pengadilan.

Contoh khas dalam perkara-perkara pelayaran antara lain :


” Lebar alur pelayaran sempit “,
” Jarak berpapasan yang terdekat “,
” Merobah haluan dalam waktu yang cukup dan memadai “.

Sumber hukum yang erat kaitannya dengan yang diatas adalah Ilmu
Pengetahuan Hukum .
Sebelum mengeluarkan Putusan, para hakim akan mengkaji terlebih
dahulu tentang apa yang ditulis dalam buku-buku dan penerbitan-
penerbitan ilmiah mengenai suatu persoalan atau apa yang telah
dibicarakan dalam suatu pertemuan ilmiah.
Selanjutnya yang dianggap juga sebagi sumber hukum yaitu :
” Perjanjian”.
Apabila ada 2 (dua) atau lebih pihak-pihak yang bersangkutan
mengadakan perjanjian maka mereka akan terikat pada isi perjanjian yang
mereka adakan itu.
Hal ini berarti bahwa perjanjian tersebut harus ditaati dan disepakati.
Perjanjian yang diadakan oleh dua negara ( bilateral) atau lebih
(multilateral) disebut perjanjian antar negara akan mengikat warganegara
dari negara-negara yang bersangkutan.

Dengan demikian sumber-sumber hukum dapat disimpulkan sebagai


berikut :
- Undang-undang,
- Kebiasaan,

3
- Yurisrudensi,
- Pengetahuan dan
- Perjanjian.

C. Pembidangan Hukum
Hukum itu luas sehingga sulit untuk membuat definisi singkat yang
meliputi segala-galanya, namun dapat dibagi dalam beberapa golongan
hukum menurut beberapa azas pembagian.

1. Menurut kekuatan bekerjanya


- Undang –undang Dasar ;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ;
- Undang-undang ;
- Peraturan Pemerintah;
- Keputusan Presiden;
- Keputusan Menteri;
- Keputusan Direktur Jendral ;

2. Menurut isinya
- Hukum Privat ( sipil ), hukum yang mengatur hubungan- hubungan
antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik
beratkan kepentingan perseorangan.Hukum Sipil terdiri dari :

* Hukum sipil dalam arti luas yang meliputi : - Hukum Perdata dan
- Hukum Dagang ;
* Hukum sipil dalam arti sempit : - Hukum perdata saja

Pada hakekatnya antara Hukum Dagang dan Perdata tidak terdapat


suatu perbedaan yang pokok, kedua-duanya mengandung prinsip dan
pengertian – pengertian yang sama.
Terkaitnya kedua hukum tersebut terbukti dari isi pasal 1 KUHD yang

4
menyatakan bahwa ”untuk segala peristiwa dan perbuatan dalam
lapangan penjagaan itu diliputi oleh peraturan-peraturan yang termuat
baik KUHD ( peraturan khusus ) akan dilengkapi oleh peraturan
umum dari KUHPER”.
Hukum Publik ( Negara ) ,
Ialah hukum yang mengatur :
* Hubungan antara Negara dengan alat-alat perlengkapannya,
* Hubungan Negara dengan perseorangan dan
* Hubungan Negara dengan Negara.
Hukum Publik terdiri dari :
* Hukum Tata- Negara ;
* Hukum Administrasi Negara ;
* Hukum Pidana ( hukuman ) :hukum yang mengatur perbuatan-
perbuatan apa yang dilarang dan
hukumannya serta mengatur cara-cara
mengajukan perkara-perkara .
* Hukum Internasional baik Hukum Perdata Internasional
maupun Hukum Publik Internasional ( yang terakhir yang hampir
selalu dimaksudkan ).
3. Menurut cara mempertahankannya :
- Hukum Materiil,
Ialah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur
kepentingan-kepentingan dan hubungan yang bewujud perintah-
perintah dan larangan-larangan.

Contoh Hukum Materiil : Hukum Pidana Perdata dan Hukum Dagang


- Hukum Formil,
Ialah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur
bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan Hukum
materiil.

5
Contoh Hukum Formil : - Hukum Acara Pidana dan
- Hukum Acara Perdata

4. Menurut sifatnya
- Hukum yang memaksa, hukum yang dalam keadaan bagaimana
juga harus ditaati dan mempunyai paksaan mutlak ;
- Hukum yang mengatur ( pelengkap ), hukum yang dapat
dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah
membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian.

5. Kondifikasi
Pembukuan Peraturan-peraturan dalam kitab Undang-undang disebut
kondifikasi.
Bagian terbesar dari Hukum Privat Materil diatur dalam Kitab Undang
undang Hukum Perdata ( KUHPER ) dan kitab undang-undang Hukum
Dagang ( KUHD ). Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdiri dari
empat buku, antara lain buku kedua mengenai hukum kepemilikan dan
hukum pewarisan, buku ketiga mengatur hukum perikatan.
Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur perniagaan yaitu
kedudukan dan hubungan-hubungan yang lahir dalam dunia usaha
perniagaan.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang terbagi dalam dua buku,


dimana
buku pertama membahas : - Tata-niaga secara umum ( Perseroan,
Bursa perniagaan dan Ketentuan-
Ketentuan umum mengenai Asuransi ).

6
Buku kedua mengatur : - hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
berasal dari dunia pelayaran “ yang
dikenal sebagai hukum laut keperdataan

KUHD terdiri dari 13 Bab :


BAB I :- Tentang Kapal laut dan muatannya ;
BAB II :- Tentang Pengusaha kapal ;
BAB III :- Tentang Nahkoda, awak kapal ;
BAB IV :- Tentang Perjanjian kerja laut ;
BAB V :- Tentang Pencharteran ;
BAB VI :- Tentang Penubrukan kapal ;
BAB VII :- Tentang Karamnya lapal ;
BAB VIII :- Tentang Dihapus ;
BAB IX-X :- Tentang Pertanggungan ;
BAB XI :- Tentang Kerugian laut ;
BAB XII :- Tentang Pengakhiran perikatan ;
BAB XIII :- Tentang Kapal Pedalaman ;

D. Hukum laut dan perundang-undangan Maritim


Hukum laut adalah rangkaian peraturan dan kebiasaan hukum mengenai
laut yang bersifat : - Keperdataan, menyangkut kepentingan perseorangan ;
- Publik , menyangkut kepentingan umum ;
Hukum Laut Keperdataan mengatur hubungan-hubungan perdata yang
ditimbulkan karena perjanjian-perjanjian perdata antara lain Perjanjian-
perjanjian pengangkutan penyeberangan melalui laut dengan kapal-kapal
laut niaga.
Hukum ini merupakan matra dari Hukum Pengangkutan.
Sedangkan Hukum Pengangkutan adalah bagian dari Hukum Dagang dan
Hukum Dagang termasuk Hukum Privat.

7
Hukum Laut Publik ( kenegaraan ),
Obyek dari peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan baik nasional
maupun internasional adalah laut dan berisikan hak-hak dan kewajiban
bagi negara yang berbatasan pada laut tersebut.

II. KAPAL ;PENDAFTARAN KAPAL dan KEBANGSAAN KAPAL

A.Pengertian kapal
Definisi yang diberikan KUHD Pasal 309 mengenai kapal adalah serba
luas. Kapal adalah semua alat berlayar, apapun namanya dan sifatnya.
Sedangkan dengan alat berlayar dimaksudkan benda yang dapat
mengapung dan bergerak di air.
Dengan kapal dianggap termasuk alat-alat perlengkapannya, yaitu benda-
benda yang dapat dilepaskan tanpa mengganggu kapal ( kemudi, rantai,
jangkar, tali-temali, kompas dan lainnya) .
Adapun dengan bagian yang dimaksudkan benda-benda yang menjadi satu
dengan badan kapal sehingga kalau benda tersebut dilepaskan kapal
menjadi rusak : anjungan, buritan, lunas dan haluan kapal (kedudukan
hukum mesin menurut Pasal 309 diatas adalah termasuk kelompok “ alat
perlengkapan kapal “)
Kapal tergolong kapal laut menurut pasal 310 KUHD, jika kapal yang
bersangkutan digunakan untuk pelayaran di laut atau di peruntukan untuk
itu. “ Digunakan “ berarti di perairan laut, sedangkan “ diperuntukan “
berarti dari bentuk kapal sewaktu dibangun.

B. Pendaftaran kapal
Walaupun menurut KUHD pasal 314, kapal Indonesia yang berukuran
paling sedikit 20 M3 dapat (!) dibubuhkan dalam registar kapal, namun
dengan adanya persyaratan melampirkan Akta pendaftaran pada waktu

8
mengajukan permohonan bukti kebangsaan, dapat disimpulkan bahwa
pendaftaran adalah suatu keharusan. Dengan adanya ketentuan dalam
pasal diatas tentang pembebanan hipotek, maka tujuan pendaftaran adalah
:
- Untuk memperoleh tanda kebangsaan dan ;
- Untuk dapat dibebani hiptotek ( jaminan hutang ).
Kedudukan hukum sebuah kapal menurut pasal 510 KUHPER adalah
tergolong benda bergerak tetapi kalau sudah didaftarkan kemudian
dianggap sebagai benda tetap ( tidak bergerak )
Anggaran sebagai benda tetap, tidak berlaku bagi kapal yang isi kotornya
kurang dari 20 m3 dan kapal asing.
Tata usaha pendaftaran mengenal 3 (tiga) macam daftar, antara lain :

- Daftar harian, terdiri dari lembaran-lembaran lepas dari minute akte


yang dibuat dihadapan Pegawai Pendaftaran Kapal dan diberi
nomor menurut urutan tangga ;
- Daftar Induk, adalah daftar yang dibuat menurut masing-masing
nama kapal
- Daftar Pusat, adalah kumpulan kutipan-kutipan kedua dari seluruh
Daerah Indonesia untuk disimpan di Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut.
Tempat dibukukannya sebuah kapal dalam Register Kapal adalah juga
alamat tinggal ( Home port ) kapal tersebut. Tanda pendaftaran kapal harus
diselarkan / dipahatkan pada badan kapal.
Golongan kapal dalam pendaftaran menggunakan kode-kode sebagai
berikut :
- kode : L untuk kapal laut,
- kode : N untuk kapal nelayan dan
- kode : P untuk kapal pedalaman.
Permohonan untuk memperoleh Akta Pendaftaran harus disertai :
1. Surat Ukur,

9
2. Sertifikat Pembangunan / Surat Pembelian dan
3. Surat keterangan yang menyatakan bahwa kapal tersebut adalah kapal
Indonesia.

C. Kebangsaan Kapal
Kebangsaan kapal diatur dalam pasal 311 KUHD yang berbunyi : kapal
Indonesia adalah setiap kapal yang dianggap demikian oleh Undang-
undang tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal ‘.
Undang-undang yang dimaksud adalah “ Beslit surat Laut Pas Kapal 1934
“ Kapal laut Indonesia adalah kapal laut yang dimiliki :
- Seorang / lebih warga Negara Indonesia ;
- Sedikitnya 2/3 bagian milik seorang / lebih WNI sedangkan selebihnya
dimiliki seorang / lebih penduduk Indonesia ( penduduk = selama 1 tahun
berturut-turut berdiam di Indonesia ).
Sedangkan menurut OK 1935 kapal Indonesia adalah kapal yang telah
diberikan bukti kebangsaan Indonesia dalam bentuk Surat Laut, Surat
Laut Sementara, Pas Kapal atau Surat Keterangan Izin Berlayar.
Tanpa Surat Laut atau dokumen kebangsaan lainnya, kapal tidak
berwenang mengibarkan bendera Indonesia, Pengibaran bendera Indonesia
tanpa kewenangan merupakan perbuatan pidana ( pasal 473 KUHD ).
Dengan dimilikinya kebangsaan maka kedudukan hukum di atas kapal
adalah sama seperti bagian dari wilayah Negara yang bersangkutan
( “ kapal adalah wilayah “). Untuk kapal Indonesia dimanapun kapal itu
berada berlaku pasal-pasal KUHD.
Surat laut sebagai dokumen bukti kebangsaan diterbitkan untuk kapal-
kapal berukuran isi kotor 500 m3 keatas. Atas nama Presiden oleh Menteri
perhubungan berisikan keterangan singkat tentang kapal dan sebuat titipan
berupa perintah kepada para pejabat Negara dan permintaan kepada setiap
orang untuk memberikan bantuan kepada nahkoda kapal dan muatannya
sesuai ketentuan-ketentuan Negara dan perjanjian-perjanjian umum.

10
Selain Surat Laut, terdapat beberapa dokumen serupa :
- Surat Laut sementara, diterbitkan untuk kapal yang dibangun atau
dibeli di luar negeri dan setiba di Indonesia harus diganti dengan Surat
Laut tetap ;
- Pas Kapal, terdiri dari Pas tahunan ( untuk kapal berukuran dibawah 500
m3 sampai 20 m3 ) dan pas kecil / biru ( untuk kapal berukuran dibawah
20 M3 ) ;
- Surat Izin Berlayar (SIB), diberikan oleh pejabat pengawas
keselamatan kapal di luar negeri, untuk melakukan pelayaran ke
Indonesia.
Kapal yang sedang dibangun di Indonesia dianggap sebagai kapal
Indonesia hingga saat diserahkannya kapal tersebut kepada pemiliknya
(Pasal 312 KUHP ), tanpa melihat apakah pemiliknya orang Indonesia
atau orang asing.
Ketentuan ini pada umumnya juga berlaku untuk kapal-kapal yang
dibangun di luar negeri, suatu yang dapat dimengerti jika ditinjau dari segi
keadaan kapal dengan galangan yang membangunnya.
Sedangkan menurut pasal 314 KUHD kapal yang sedang dibangun dapat
di daftarkan, sehingga dari segi praktisnya kapal itu dapat dibebani hipotek
untuk jaminan bagi kredit bank atau hutang lainnya.
Hampir semua kapal mempunyai nama.
Undang-undang tidak mewajibkan pemberian nama, namun untuk kapal-
kapal kapal yang berlayar dengan Surat laut ada ketentuan bahwa nama
harus tercantum di dalamnya.
Pemilik kapal bebas dalam memberikan nama kapal.
Besarnya kapal ditentukan dengan pengukuran yang menggunakan satuan
meter kubik dan dalam dokumen pengukuran berupa surat ukur
mencamtumkannya menurut register ton dari 2, 83 m3 .
Isi kapal dibedakan antara isi kotor dan isi bersih

11
( diperoleh dari hasil pengurangan isi kotor dengan ruangan-ruangan awak
kapal dan kamar bersih ).
Menurut Beslit tentang Surat laut dan Pas Kapal, maka yang berhak
memiliki kapal Indonesia adalah orang atau badan hukum yang termasuk
dalam arti “ kebangsaan Indonesia “.

Beberapa kriteria kapal yang berstatus kapal Indonesia yaitu :


- Memiliki Akte Pendaftaran ;
- Memiliki Surat Laut ;
- Pemilikan oleh WNI ;
- Memiliki penetapan kode panggilan ;
- Berbendera Merah-Putih ;
- Memiliki Nama pelabuhan pendaftaran di buritan ;
- Memiliki Bendera-bendera kode nama panggilan ;
- Memiliki Tanda Selar.

III. PENGUSAHA KAPAL – PERUSAHAAN PELAYARAN

A. Penyelenggaran Usaha Pelayaran


Menurut pasal 320 KUHD pengusaha kapal adalah seseorang yang
memakai sebuah kapal untuk pelayaran di laut, yang dikemudikan sendiri
atau oleh seorang nahkoda yang bekerja padanya. Dari isi pasal tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang pengusaha tidak perlu (!)
memiliki kapal sendiri. Pemilik dan pengusaha kapal tidaklah mutlak
harus orang yang sama, sebaliknya dapat juga terjadi : Pemilik, pengusaha
Kapal dan Nahkoda adalah orang yang sama.
Seorang pengusaha Kapal mempunyai kedudukan yang sengat penting,
mengingat peranannya sebagai majikan terhadap Nahkoda dan para Awak
kapal. Dengan demikian Perjanjian Kerja diadakan dengan Pengusaha

12
Kapal. Kepentingan-kepentingan majikan yaitu pihak pengusaha Kapal, di
atas kapal dilakukan oleh Nahkoda.
Ketentuan pasal 320 mengenai “….memakai kapal…….,yang
dikemudikan sendiri…..” Berlaku apabila pengusaha Kapal memiliki
keahlian sebagai Nahkoda .ketentuan pasal 320 mengenai “….. memakai
kapal…” yang dikemudikan sendiri……” berlaku apabila Pengusaha kapal
memiliki keahlian sebagai Nahkoda, dikarenakan pasal 341 KUHP
menetapkan bahwa hanya Nahkoda yang memimpin kapal. Sedangkan
pembebanan tanggung jawab dan ke wajiban membawa kapal sepenuhnya
ada pada Nahkoda.(pasal 342 dan 343 KUHD). Unsur pokok dalam
hubungan kapal bagi pihak pengusaha kapal adalah “pemakaian kapal
“(pengoperasian).
Tanggung jawab Pengusaha kapal diatur dalam pasal 321 KUHD yang
menetapkan bahwa ia terikat oleh segala perbuatan hukum yang
dilakukan oleh mereka yang bekerja pada kapalnya dalam lingkungan dan
kekuasaan mereka.
Selanjutnya ia bertanggung jawab untuk segala kerugian yang diterbitkan
pada pihak ketiga, oleh suatu perbuatan melanggar hukum dari mereka
yang bekerja pada kapalnya, antara lain melanggar hukum itu dilakukan
dalam rangka dan pada waktu mereka menjalankan tugas mereka.
Selain Pengusaha Kapal, KUHD juga mengatur hal-hal yang menyangkut
perusahaan perkapalan yang menurut pasal 323 yaitu dalam hal sebuah
kapal menjadi milik beberapa orang untuk pelayaran di laut. Apabila
Pengusaha Kapal adalah seseorang yang berusaha dengan cara
mengoperasikan kapal maka perusahaan kapal adalah suatu badan hukum
yang menjalankan perusahaan dengan cara mengoperasikan kapal. Usaha
tersebut mencakup antara lain perusahaan pelayaran.

B. PERUSAHAAN PELAYARAN
Pada tanggal 21 November 1988 pemerintah telah mengeluarkan suatu
kebijaksanaan baru tentang penyelenggaraan dan pengusahaan angkutan

13
laut dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan beberapa keputusan Menteri
sebagai satu paket ( Paknov 21 ). Penyelenggaraan angkutan laut
merupakan kegiatan yang terdiri dari unsur-unsur usaha pelayaran, usaha
penunjang angkutan laut dan usaha kepelabuhan.
Usaha pelayaran diselenggarakan oleh perusahaan Pelayaran : di dalam
negeri oleh Perusahaan pelayaran Nasional dengan menggunakan kapal
berbendera Indonesia serta dapat menggunakan kapal asing untuk jangka
waktu / perjalanan tertentu berdasarkan suatu perjanjian.
Perusahaan pelayaran bertanggung-jawab sebagai pengangkut sesuai
peraturan perundang-undang yang berlaku atau persyaratan perjanjian
pengangkutan atau kelaziman yang berlaku dalam bidang pelayaran.
Kegiatan perusahaan pelayaran terdiri dari pelayaran :
- Dalam negeri ;
- Luar negeri

Untuk menjalankan perusahaan pelayaran, wajib dipenuhi persyaratan


sebagai berikut :
- Merupakan Badan Usaha Milik / Derah atau Badan Hukum
Indonesia yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) ;
- Memiliki atau menguasai sekurang-kurangnya sebuah kapal yang
laik laut berbendera Indonesia ;
- Bagi perusahaan patungan wajib memenuhi persyaratan pemilikan
sebuah kapal yang laik laut.
Disamping perusahaan pelayaran maka kegiatan pelayaran dapat pula
dilakukan oleh perusahaan Non Pelayaran dalam rangka menunjang
kegiatan sendiri (industri / wisata ).
Perusahaan terakhir ini hanya memerlukan Izin Operasi
- Izin usaha hanya ada untuk
a) Pelayaran dalam /luar negeri ;
b) Pelayaran rakyat ;
- Persyaratan Usaha ;

14
- Pola trayek, ditetapkan sendiri oleh Perusahaan Pelayaran baik
sendiri maupun bersama-sama
- Azas Cabotage, tetap dipertahankan namun diberikan kemudahan
menggunakan kapal asing ;

IV. NAKHODA
A. Umum
Pasal 341 KUHD “ Nahkoda memimpin kapal. Awak Kapal adalah
mereka yang namanya tercantum dalam Sijil Awak Kapal . perwira-
perwira kapal adalah mereka yang oleh Sijil Awak Kapal diberikan tingkat
sebagai perwira . anak Kapal adalah semua awak kapal lainnya. Yang
dinamakan pelayar menurut kitab Undang-undang ini ialah segenap
mereka yang berada di dalam kapal kecuali Nahkoda “. Menurut pasal
375 KUHD : “…. Dinas awak kapal adalah pekerjaan yang lazimnya
dilakukan oleh mereka yang telah diterima untuk bekerja dikapal, kecuali
pekerjaan Nahkoda “.
Pasal 393 KUHD : “ Nahkoda mempunyai kekuasaan di kapal atas semua
pelayaran……”
Pasal 386 KUHD : “ Nahkoda mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan
tata-tertib terhadap awak kapal…..”
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas jelaslah kedudukan Nahkoda
sebagai pimpinan dan pemegang kekuasaan tertinggi diatas kapal.
Oleh karena itu Nahkoda tidak termasuk kelompok pelayar maupun awak
kapal.
Berlainan dengan ketentuan Ordonasi Kapal 1935 pasal 1 dan Undang-
undang No.21 ttg Pelayaran . Nahkoda termasuk dalam kelompok awak
kapal. Perbedaan KUHD dengan OK 1935 mengenai kedudukan Nahkoda,
berlatar belakang pada pengaturan kekuasaan dan pengaturan keselamatan
jiwa dilaut.
Disamping tugas sebagai pemimpin maka Nahkoda adalah wakil dari
pengusaha kapal dan pemilik muatan. Selanjutnya Nahkoda dianggap

15
sebagai buruh ( utama ) yang bekerja untuk Pengusaha kapal berdasar
suatu perjanjian kerja. Dalam hal berhalangan maka Nahkoda menurut
pasal 341d. KUHD diganti oleh mualim yang tertua. Kewenangan sebagai
Nahkoda dapat dicabut oleh Mahkamah Pelayaran ( pasal 25 OK 1935 ).

B. Pimpinan Kapal
Walaupun Nahkoda berkedudukan sebagai buruh utama Pengusaha Kapal,
ia memegang pimpinan kapal yang pada setiap peristiwa tertentu harus
mengambil sikap sesuai dengan kecakapan, kecermatan dan kebijaksanaan
sebagaimana diperlukan untuk tugasnya ( pasal 342 KUHD ). Untuk itu
sejumlah dibebankan undang-undang kepada Nahkoda.

1. Kewajiban sebelum berlayar


Menurut pasal 343 KUHD, Nahkoda tidak boleh menempuh suatu
perjalanan kecuali apabila kapal nya sanggup melaksanakan
Perjalanan itu, telah diperlengkapi dan diawaki secukupnya.
Yang di dimaksudkan dengan “sanggup melaksanakan perjalanan”
disini adalah kapal harus laik laut.
Persyaratan kelaik lautan sebuah kapal tercantum dalam pasal 1 ayat
10 Undang – undang No.21/1992 tentang Pelayaran yaitu keadaan
kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan
pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, pemuatan, kesehatan
dan kesejahteraan awak kapal, serta penumpang dan status hukum
kapal untuk berlayar diperairan tertentu;
Persyaratan pengawakan ditetapkan dalam PP No.7/2000 tentang
Kepelautan dan KEPMENHUB No.KM.70 Tahun 1998 Tentang
Pengawakan Kapal Niaga dimana faktor ukuran kapal (Tonnase kapal)
dan kekuatan mesin penggerak turut menentukan dan SOLAS 1974
merinci perlengkapan yang harus ada di atas kapal

16
2. Kewajiban umum
Nahkoda wajib mentaati peraturan-peraturan sebagai mana jaminan
kelaikan dan keselamatan kapal / para pelayaran meupun muatan.
Kewajiban hukum ini dibebankan pada Nahkoda secara pribadi.
Perintah-perintah dari Pangusaha Kapal tidak membebaskannya.
Nahkoda tidak terikat untuk melaksanakan perintah-perintah tersebut,
jika hal itu bertentangan dengan kewajiban-kewajibannya menurut
perundang-undang ( pasal 354 KUHD ). Keterlibatan Pengusaha Kapal
adalah dalam mempersiapkan kapal siap berlayar, namun Nahkodalah
yang senantiasa bertanggung-jawab untuk itu. Peraturan-peraturan
kelaikan terdapat didalam Ok 1935 dal Solas 1974.

3. Kewajiban selama pelayaran


Selama kapal berlayar Nahkoda terikat pada peraturan-peraturan SV
1935 maupun Solas 1974 yang ditetapkan untuk mencegahkan
kecelakaan kapal. Selama dalam pelayaran atau jika ada bahaya yang
mengancam Nahkoda tidak dibenarkan meninggalkan kapalnya,
kecuali jika diperlukan secara mutlak atau terpaksa dilakukan untuk
menyelamatkan jiwanya ( pasal 345 KUHD ).
Di tempat-tempat yang menurut undang-undang, kebiasaan atau
kewaspadaan mengharuskannya. Nahkoda wajib menggunakan pandu
dengan ketentuan bahwa tanggung-jawab tetap berada padanya.
Dalam hal bendera dibawah mana ia berlayar tidak lagi bebas,
Nahkoda wajib memasuki pelabuhan netral terdekat dan menunggu
petunjuk Pengusaha Kapal selanjutnya ( pasal 367 KUHD )

4. Kewajiban memberi bantuan


Dalam pasal 358 a. KUHD ditetapkan bahwa Nahkoda wajib memberi
pertolongan kepada orang-orang yang berada dalam bahaya,
khususnya jika kapalnya tersangkut dalam tubrukan, sepanjang tidak

17
membahayakan kapalnya sendiri dan para pelayarnya. Lalai dalam
pelaksanaannya dapat mengakibatkan suatu penuntunan pidana.
Menurut pasal 258 b. KUHD Nahkoda wajib membantu memulangkan
pelaut warga Negara/penduduk Indonesia bila diminta oleh pejabat
perwakilan Indonesia di luar negeri.

5. Kewajiban mengikuti haluan


Pada umumnya nahkoda tidak dibenarkan untuk menyimpang dari
haluan kecuali untuk menolong jiwa manusia ( pasal 370 KUHD ).
Jika kapal meninggalkan “ route yang ditetapkan “ karena alasan-
alasan bukan nautis dan hal ini dilakukan dengan sengaja, maka
deviasi yang terjadi adalah :
- Deviasi wajar, dibenarkan perjanjian/penetapan ;
- Deviasi tidak wajar, melanggar perjanjian/penetapan

6. Surat-Surat Kapal
Nahkoda harus menyimpan di kapal : surat laut, surat ukur, sijil kapal,
manifest, konosomen ( pasal 374 KUHD ) dan sertifikat-sertifikat
kelaikan, pas kesehatan, surat izin berlayar pelabuhan terakhir ( pasal 7
peraturan Bandar 1925 ).

7. Buku Harian Kapal


Nahkoda wajib mengatur dikerjakannya Buku harian Kapal yang
mencatat segala peristiwa penting yang terjadi selama pelayaran. Pasal
348 KUHD juga menetapkan bahwa untuk kapal yang digerakkan
dengan tenaga mesin, harus ada Buku Harian Mesin.

8. Kisah Kapal
Jika kapal atau muatan mengalami kerusakan atau telah terjadi suatu
peristiwa yang luar biasa maka nahkoda wajib menghubungi pejabat

18
yang berwenang ( syahbandar, konsul atau notaries ) untuk dibuatkan
kisah kapal (Ship’ s Note of Protes).

9. Kepentingan Muatan
Nahkoda berkewajiban untuk memperhatikan kepentingan pihak-pihak
yang berhak atas muatan ( pasal 371 KUHD )

10. Laporan Tentang Keadaan


Pengusaha kapal senantiasa harus diberitahu mengenai kapal dan
muatan dan meminta petunjuk bila tindakannya mempunyai
kepentingan keuangan ( pasal 364 a. I.2 KUHD ).

11. Register Hukum


Selain dua buku harian, Nahkoda masih diharuskan menyelenggarakan
register Hukuman (KUHD pasal 35 a. ) yang membubukan semua
peristiwa penghukuman disipliner ( pasal 386 KUHD ) dan segala
tindak pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia di atas kapal.
Selain kewenangan mengenai kekuasaan di kapal, kepada nahkoda
masih diberikan berbagai kewenangan.

1. Pemakaian bahan makanan milik pelayar


Dalam keadaan darurat Nahkoda dapat mengambil bahan makanan
milik pelayar atau muatan, dengan memberikan ganti rugi (pasal 357
KUHD)
2. Pengadaan perlengkapan kapal
Di tempat-tempat dimana Pengusaha Kapal tidak mempunyai
perwakilan Nahkoda dapat melengkapi kapalnya dengan segala apa
yang diperlukan ( pasal 360 KUHD).

19
3. Penjualan kapal
Nahkoda hanya berkuasa menyelenggarakan perbaikan luar biasa,
membebani atau menjual kapalnya apabila kapal berada di luar
wilayah Indonesia dan ada suatu kejadian yang begitu mendesak,
hingga tidak sepatutnya menunggu perintah dari pengusaha kapal –
penjualan harus dilakukan di muka umum ( pasal 362 KUHD ).

4. Penumpang gelap
Apabila selama pelayaran ditemukan seseorang tanpa karcis yang sah,
maka Nahkoda dapat mempekerjakan orang tersebut dan
menurunkannya dari kapal pada kesempatan pertama ( pasal 371 a.
KUHD ).

5. Saran-saran para perwira kapal.


Apabila dalam permusyawaratan kepada para perwira dimintakan
sumbangan pikiran untuk mengatasi auatu persoalan, maka Nahkoda
bebas untuk menerimanya. Namun pendapat yang diberikan dalam
forum permusyawaratan harus dicatat dalam Buku Harian Kapal
( pasal 351 KUHD ).

6. Penerbitan konosemen
Menurut pasal 505 KUHD, Nakhoda menerbitkan konsumen untuk
semua barang yang telah diterimanya untuk dimuat di kapalnya kecuali
ada orang lain yang ditugaskan untuk menerbitkannya.

7. Hukum disipliner
Sehubungan dengan kekuasaaan disipliner yang diberikan kepada
Nahkoda, ia mempunyai kekuasaan untuk mengenakan sanksi berupa
pemotongan upah paling banyak 10 hari kerja atau tidak melebihi
sepertiga upah dari seluruh perjalanan ( pasal 387 KUHD ). Dengan
keperdataan ini dikenakan untuk perbuatan-perbuatan : meninggalkan

20
kapal tanpa izin, penolakan tugas, kembali terlambat, tidak sopan,
bekerja kurang baik dll. Apabila yang bersangkutan dianggap dapat
mengganggu ketertiban, Nakhoda dapat menahannya dalam sel selama
satu sampai tiga hari ( pasal 399 KUHD ).

8. Kewenangan khusus Nakhoda


Dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan, Nakhoda
Bertindak sebagai wakil dari Perintah dalam pekerjaan-pekerjaan
berikut :
a. Sebagai pejabat notaris
Pasal 947 KUHPER : “ Mereka yang berada dalam perjalanan
mealalui lautan diperbolehkan membuat wasiat mereka dihadapan
Nakhoda atau Mualim Kapal atau jika seorang pejabat yang
demikian tidak ada, dihadapan seorang yang menggantinya dan tiap
kali dengan dihadiri dua orang sanksi “. Surat wasiat yang dibuat
diatas kapal hanya berlaku untuk waktu yang terbatas, akan
kehilangan kekuatannya apabila pewaris meninggal dunia enam
bulan setelah berakhirnya sebab-sebab yang dipakai sebagai alas an
untuk membuat surat wasiat dengan cara tersebut ( pasal 95
KUHPER ).

b. Sebagai pejabat catatan sipil :


Membuat Akta kelahiran ( formulir Khusus dari kapal ) untuk anak
yang lahir sewaktu kapal berkayar di laut dalam waktu 24 jam
disaksikan oleh ayahnya ( jika hadir di kapal ) dan dua orang untuk
selanjutnya dimasukan dalam buku harian kapal ( pasal 46,47,48
Reglemen Catatan Sipil ) . Prosedir yang sama ditempuh untuk
peristiwa kematian, dimana sebab-sebab kematian tidak
dicantumkan dalam akta melainkan dirinci dalam buku harian kapal.
Dalam hal seseorang meniggal dirumah sakit /darat Nakhoda tidak

21
dibenarkan menerbitkan Akta Kematian (kewenangan ini hanya ada
diatas kapal ! ).
Kutipan akta dikirimkan kepada syahbandar pelabuhan-
penyinggahan pertam untuk pengesahan tanda-tangan Nakhoda dan
selanjutnya di alamatkan kepada Kantor Catatan Sipil di tempat
tinggal keluarga.

3. Sebagai alat penegak hukum :


Nakhoda mempunyai kekuasaan disiplinner terhadap awak kapal
terhadap siapa ia dapat menjatuhkan hukuman yang prosedurnya
diatur dalam pasal 390 KUHP.
- Mendengar yang bersangkutan didampingi dua perwira kapal yang
ditunjuk dalam sijil kapal dengan saksi-saksi ;
- Hukuman dijatuhkan setelah 12 jam dan selambat-lambatnya satu
minggu mulai saat terjadinya kenyataan hukum yang bersangkutan
- Tiap hukuman yang dijatuhkan harus seketika dicatat dalam
Register Hukuman, agar dianggap sah dan mempunyai kekuatan
hukum untuk dilaksanakan ;
- Kesempatan banding diberikan pada waktu kapal memasuki
pelabuhan pertama sesudah saat pemutusan kepada Pengadilan
Negeri (gugur setelah melampaui 90 hari)
Sedangkan dalam hubungan tindak pidana yang terjadi dikapal
sewaktu dilaut, maka kepada Nakhoda diberikan kewenangan untuk
mengumpulkan keterangan-keterangan dan bukti-bukti melakukan
penahanan dan penyitaan .
Kewenangan mengenai kedua hal terakhir hanya dapat dilakukan
atas petunjuk dari Jaksa, kecuali kalau tidak dapat ditunggu petunjuk
yang dimaksud.
Contoh : seorang sebagai tersangka pembunuhan yang terjadi diatas
kapal.
Setiap tindak pidana yang membahayakan keselamatan kapal atau

22
pelayarnya atau terjadinya korban tewas / luka berat, harus secepat
mungkin dilaporkan kepada Kejaksaan. Tindak pidana lainnya
( antara lain pencuri dari muatan ) tidak perlu dilaporkan dalam waktu
yang cepat.
Sebagaimana untuk tindak indisipliner maka harus pula dicatat dalam
Register Hukuman setiap kejahatan pelayaran dan tindak pidana
lainnya.
Register Hukuman pada waktu-waktu tertentu sekali dalam 6 bulan
harus diketahui oleh Syahbandar / Pejabat Penyijilan.
Jaksa yang dimaksud disini adalah jaksa yang mengusut perkara-perkara
tindak pidana pada daerah hukum kantor pengadilan tempat pendaftaran
( homeport ) kapal yang bersangkutan.
Seorang tersangka hanya dapat ditahan dalam hal-hal :
- Tertangkap basah suatu tindak pidana, oleh siapa saja ;
- Tertangkap basah suatu pelanggaran, oleh Nakhoda.
Seorang tersangka harus ditahan jika diperintah jaksa.

9. Wakil dari pengusaha kapal


Di kapal seorang Nakhoda menempati kedudukan sebagai wakil dari
Pengusaha Kapal Kewenangan mewakili tercantum dalam mutasi
penunjukannya. Nahkoda bertindak sebagai wakil Pengusaha Kapal
dalam melaksanakan perjanjian kerja yang diadakan oleh Pengusaha
Kapal dengan awak kapal. Tindakan Nakhoda mana mengikat pihak
Pengusaha Kapal.
Pemberhentian seorang awak kapal oleh Nakhoda mengakibatkan
pengusaha Kapal harus membayar ganti rugi kepada awak kapal
tersebut. Apabila Nakhoda ( sebagai kausa dari Pengusaha Kapal )
terpaksa menerima kerja awak kapal di luar negeri, maka mereka akan
menjadi buruh yang bekerja pada Pengusaha Kapal. Nakhoda yang pada
satu pihak melaksanakan kewajibannya mewakili pengusaha Kapal
terhadap awak kapal yang bersumber dari ketentuan-ketentuan dalam

23
perjanjian kerja, dipihak lain ia, bertanggung-jawab secara peribadi
atas tindak-tanduk terhadap awak kapal. Jika bersalah dalam
memperlakukan awak kapal maka ia dapat dikenakan sanksi.
Di pelabuhan-pelabuhan ia diluar negeri yang tidak ada perwakilan
pengusaha Kapal, maka Nakhoda berwenang untuk memperlengkapi
kapal ( bahan makanan, bahan bakar dll ) serta mengambil tindakan –
tindakan yang diperlukan untuk mengoperasikan kapal.
Pada kewenangan Nahkoda untuk mewakili pengusaha Kapal terpaut
suatu kewajiban lapor : Nakhoda secara terus-menerus memberikan
informasi mengenai segala sesuatu yang menyangkut kapal maupun
muatan.
Pengusaha Kapal dapat saja sewaktu-waktu merubah kewenangan
mewakilinya namun perobahan tersebut tidak boleh mengganggu
kedudukan Nakhoda.
Oleh karena itu nahkoda wajib memperhatikan keadaan dimana
tindakan-tindakannya itu masih berada di dalam lingkungan
kewenangannya ; sehingga dengan demikian barulah ia mengikat pihak
Pengusaha Kapal.
Dalam hal ia melampaui kewenangannya itu ataupun ia membebani
dirinya dengan ikatan-ikatan pribadi, maka segala akibat yang terjadi
harus ditanggungnya sendiri.
Apabila di luar wilayah Indonesia Nahkoda tidak mempunyai dana guna
pembiayaan pelayaran serta tidak ada sumber lain maka Nakhoda dapat
meminjam uang dengan jaminan kapalnya. Dalam keadaan yang sangat
mendesak nahkoda dapat menjual sebagai dari muatan ( pasal 371
KUHD ).

24
V. PERJANJIAN KERJA LAUT

A. Pihak – pihak yang terlibat


Sebagaimana telah disinggung pada Bab 4, maka Nakhoda
melakukan kauasaan di kapal atas semua pelayar.
Pelayar adalah mereka yang berada dikapal, selain Nakhoda.
Ketentuan ini hanya berlaku selama disinggung mengenai pelayar
menurut ketetapan KUHD.
Pelayar terdiri dari awak kapal ( perwira dan anak kapal ),
penumpang, penumpang gelap, orang-orang yang berada dikapal
baik untuk suatu tugas atau sebagi tamu (pejabat pelabuhan,
agen,pandu, surveyor,pekerja, tamu biasa dll).
Jabatan perwira kapal membawakan hak-hak lebih yang tertentu
seperti hak cuti.
Namun dibalik itu tanggung-jawabnyapun lebih besar yang tercermin
pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 465 yang
menetapkan bahwa hukuman untuk berbagi kejahatan pelayaran
dapat ditambah dengan sepertiganya jika yang bersalah adalah
seseorang yang berpangkat perwira.
Kedudukan seorang Nahkoda terhadap Pengusaha Kapal diatur
dalam suatu perjanjian kerja.
Dinas awak kapal ( pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang
diterima untuk bekerja di kapal, kecuali pekerjaan Nakhoda ) tidak
boleh dilakukan oleh mereka yang tidak mengadakan suatu
perjanjian kerja dengan pihak pengusaha Kapal.
Suatu perjanjian kerja adalah perjanjian dimana pihak yang satu
sebagi buruh mengikatkan dirinya untuk kerja pada pihak lainnya
sebagai majikan dengan mendapatkan upah selama waktu tertentu
( pasal 1601 KUHPER ).
Hubungan yang ada sebagai akibat perjanjian kerja ini ditentukan
oleh faktor-faktor “upah “ dan “ karya “ disebut ikatan kerja.

25
Hal diatas merupakan suatu hubungan atasan-bawahan atau
hubungan kekuasaaan.
Undang-undang memberikan kepada kedua belah pihak hak-hak
maupun kewajiban-kewajiban
Untuk perjanjian kerja laut berlaku ketentuan – ketentuan dari kitab
undang - undang Hukum perdata ( dasar untuk setiap perjanjian
kerja ), kecuali kalau Kitab undang-undang Hukum Dagang
menetapkan lain ( pasal 396 ).
Hal mana berarti bahwa mengingat sifat khusus dari pekerjaan diatas
kapal, untuk keadaan-keadaan tertentu, kitab undang-undang Hukum
Dagang dapat menyimpang dari peraturan-peraturan umum kitab
undang-undang Hukum Perdata.

B. Prosedur mengadakan perjanjian kerja


Menurut pasal 399 KUHD, perjanjian kerja antara Pengusaha Kapal
dan sorang buruh yang berlaku sebagi Nakhoda ataupun perwira
kapal, iapun atas ancaman batal, harus dibuat secara tertulis.
Sedangkan pasal 400 KUHD mengatur untuk anak kapal, atas
ancaman batal harus dibuat dihadapan seorang pegawai yang
diangkat oleh yang berwajib.

Dengan demikian perjanjian kerja laut :


- Meliputi Nakhoda, Perwira Anak Kapal ;
- Harus tertulis ;
- Bagi Nakhoda dan Perwira cukup dibawah tangan ;
- Bagi Anak Kapal harus otentik ( pembukian sempurna ).

Anak kapal menanda – tangani PKL setelah mengerti dan menyetujui


isinya melalui penjelasan dari pejabat Pengawas Keselamatan
Kapal.

26
Pengusaha Kapal juga harus menanda – tangani PKL yang
bersangkutan, namun dapat melakukannya melalui seorang wakil.
Pengadaan suatu perjanjian kerja secara lisan akan batal ( tidak sah ).
Hal yang sama akan berlaku jika perjanjian kerja hanya ditanda-
tangani pihak.
Perjanjian kerja laut harus memuat : nama ,tanggal lahir, tempat dan
tanggal pembuatan, penunjukan kapal / perjalanan, kedudukan dan
pekerjaan tambahan, tempat dan tanggal memulainya ( pasal 410
KUHD ). Selain hal-hal tersebut, maka menurut pasal 401 upah yang
akan dibayar harus dicantumkan dalam PKL dan tidak boleh
diserahkan kepada kehendak salah satu pihak (!)
Adalah batal setiap ketentuan awak kapal setelah ikatan kerjanya
berakhir ( janji mencegah persaingan sebagai mana tercantum dalam
pasal 404 KUHD ).
Demikian pula mengenai peranan haki menyelesaikan sengketa –
sengketa perburuhan : PKL tidak boleh memuat hal-hal yang
menyimpang dari peraturan perundang-undangan tentang kekuasaan
Hakim, dengan tidak mengurangi kemungkinan melibatkan pihak
penengah ( artribrase ). Perjanjian kerja laut dapat diadakan untuk :
- Waktu tertentu ;
- Satu atau lebih perjalanan ;
- Waktu yang tidak ditentukan ;
Suatu perjanjian kerja antara Pengusaha Kapal dengan Awak Kapal
adalah pada dasarnya suatu perjanjian keperdataan, yaitu pihak –
pihak tidak dapat dipaksakan melalui tindakan kepolisian untuk
mentaati perjanjian .
Pada umumnya sanksi yang dikenakan adalah pembayaran ganti rugi
kepada pihak lainnya.
Peraturan perundang –undangan, yang berkaitan dengan perjanjian
kerja, biasanya termasuk hukum memaksa ; sehingga peraturan
peraturan yang menyimpang akan batal.

27
Dari sejumlah peraturan, dapat diadakan pertimbangan (hukum
mengatur) asalkan tanpa merugikan pihak awak kapal.
Pada umunya Perjanjian Kerja (perorangan) tidak boleh bertentangan
dengan Perjanjian Kerja Kolektif ( PKK ), yang mengikat kedua
belah pihak.
Suatu PKK bukanlah perjanjian kerja, melainkan suatu perjanjian
yang diadakan oleh satu atau beberapa pengusaha kapal dengan satu
atau beberapa organisasi perburuhan, dimana diutamakan pengaturan
persyaratan kerja yang harus diperhatikan oleh perjanjian kerja
perorangan. Keuntungan dari adanya PKK adalah pada jangka waktu
yang leluasa serta adanya kepastian tertentu di perusahaan –
perusahaan.
Untuk menjabarkan tugas-tugas di kapal, perjanjian kerja dapat
menunjuk kepada suatu pengaturan (Reglemen) yang diterbitkan
khusus oleh pengusaha kapal dan mempuyai sifat mengikat
sepanjang isinya tidak bertentangan dengan PKL ditanda – tangani.
Reglemen dinas ini ini harus dapat dibaca oleh para awak kapal dan
disusun dalam bahasa Indonesia (pasal 428 KUHD).

C. Pengakhiran ikatan kerja


Untuk pengakhiran ikatan kerja terdapat beberapa cara yang berlaku
bagi mereka yang bekerja diatas kapal.
Secara umum suatu ikatan kerja berakhir dengan lewatnya waktu
yang disepakati dalam pertujuan, ketentuan undang-undang atau
kebiasaan (pasal 1603e KUHPER).
Sebagaimana pernah disinggung sebelumnya, suatu perjanjian kerja
untuk pelayaran di laut harus diadakan secara tertulis. Jika
pengakhiran ikatan kerja berlangsung karena pembatalan sepihak
maka hal tersebut juga harus dilakukan secara tertulis.
PKL hanya dapat diakhiri di suatu pelabuhan .
Pengakhiran PKL menurut KUHD diatur dalam pasal-pasal berikut :

28
- Pasal 448, untuk PKL “waktu tertentu “ – jika kapal berada di
laut, berakhir di pelabuhan penyinggahan pertama yang ada
pegawai pendaftaran awak kapal ;
- Pasal 449, untuk PKL “ perjanjian “ di pelabuhan dimana
perjalanan selesai , dengan catatan setelah satu setengah tahun
pihak awak kapal melalui pemberitahuan penghentian dengan
memperhatikan waktu yang layak mencari pengganti, dapat
mengakhiri ikatan kerja di setiap pelabuhan ;
- Pasal 450, untuk PKL “ waktu tidak tertentu “ oleh masing-
masing pihak dengan memperhatikan jangka waktu yang
ditentukan di setiap pelabuhan bongkar – muat yang ada pegawai
pendaftaran awak kapal, kecuali telah diperjanjikan suatu jangka
waktu yang lebih lama, jangka waktu yang dimaksud adalah tiga
kali duapuluh empat jam ;
- Pasal 452, mengenai pengakhiran di pelabuhan Indonesia tertentu –
untuk mana Pengusaha Kapal dapat melaksanakannya di suatu
pelabuhan dari tempat mana pelabuhan yang ditentukan itu dapat
di datangi dalam waktu 3x24 jam dengan tidak menggunakan
pesawat terbang ( dalam hal tidak disebutnya nama pelabuhan,
Pihak Pengusaha Kapal dapat mengakhirinya di pelabuhan
pembuatan PKL atau jika PKL dibuat di luar Indonesia, di Jakarta
sebagai pengganti pelabuhan termasuk diatas ).
Pengakhiran perjanjian kerja menurut kitab undang-undang Hukum
Perdata diatur dalam beberapa pasal, antara lain :
- Pasal 1603n, pemutusan oleh salah satu pihak, tetapi membayar
ganti kerugian kepada pihak yang lain ;
- Pasal 1603j, dalam hal pihak buruh meninggal dunia.

29
Ketentuan umum yang berlaku untuk pengakhiran
perjanjian kerja :
“setiap perjanjian kerja dapat diakhiri sewaktu – waktu
berdasarkan persetujuan kedua belah pihak”.
Selain dari cara-cara pengakhiran tersebut diatas, suatu perjanjian
kerja dapat juga diakhiri jika ada :
- Alasan mendesak ;
- Alasan penting ;
Baik pihak majikan (Pengusaha Kapal) maupun pihak buruh
( Nakhoda , awak kapal ) dapat memutuskan perjanjian kerja,
apabila terdapat alas an tersebut tadi KUHPER dan KUHD, masing
–masing memberikan sejumlah alasan mendesak yang berlaku bagi
majikan ( Pengusaha Kapal ) dan juga bagi buruh ( Nakhoda, awak
kapal ).
Sebagai alasan mendesak bagi majikan dimaksudkan tindakan,
sifat atau perilaku pihak buruh yang mengakibatkan, bahwa dari
pihak majikan secara wajar tidak dapat dibenarkan ( toierir)
untuk melanjutkan hubungan kerja.
Sedangkan alasan mendesak bagi buruh dimaksudkan keadaan
yang megakibatkan, bahwa dari pihak buruh secara wajar tidak
dapat diharapkan untuk melanjutkan hubungan kerja.

Berapa contoh dari alasan mendesak bagi majikan


( peng. Kapal ).Menurut KUHPER ( pasal 1603 ).
1. Pihak buruh telah menipu sewaktu penutupan PKL
dengan menyajikan keterangan / Ijazah/ surat – surat dan bukti-
bukti palsu ;
2. Ia ternyata amat kurang memiliki kecakapan dan
kesanggupan untuk melakukan tugasnya ;
3. Walaupun sudah diperingatkan, ia masih suka
mabuk. Madat dan berbuat hal-hal buruk lainnya ;

30
4. Ia telah mencuri, melakukan penggelapan dan
pembuatan sejenis
5. Ia menganiaya, menghina atau mengancam
majikan, keluarga dn teman-teman sekerja ;
6. Ia, walaupun sudah diperingatkan, secara sewenang
– wenang merusak milik majikan atau menerbitkan bahaya atas
milik itu ;
7. Membocorkan hal-hal perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan
8. Ia menolak perintah majikan / wakilnya
9. Ia melalaikan kewajiban yang menjadi bebannya ;
10. Ia karena sengaja / sembrono menjadi tak mampu bekerja.

Menurut KUHD ( pasal 418 )


11. Pihak buruh menganiaya Nakhoda / pelayar lain, menghina,
mengancam atau membujuk berbuat hal-hal yang bertentangan
dengan undang-undang atau kesusilaan ;
12. Ia tidak melaksanakan perintah Pengusaha Kapal sesuai yang
Ia dicabut kewenangannya untuk bekerja di kapal ;
13. Ia telah membawa barang selundupan tanpa pengetahuan pihak
Pengusaha kapal ;
Berapa contoh alasan mendesak bagi buruh ( Nakhoda / awak
kapal ).

Menurut KUHPER ( pasal 1603 ).


1. Pihak majikan menganiaya,
menghina secara kasar / mengancam buruh atau membiarkan
perbuatan semacam itu dilakukan oleh teman atau bawahan ;

31
2. Ia membujuk / mencoba
buruh melakukan hal-hal yang bertentangan dengan undang-
undang atau kesusilaan ;
3. Ia tidak membayar upah pada
waktunya ;
4. Ia mengurangi bobot kerja
buruh yang upahnya tergantung dari hasil pekerjaan yang
dilakukanya ;
5. Ia melalaikan kewajiban yang
dibebankan oleh PKL ;
6. Ia memerintahkan buruh
bekerja pada majikan lain yang tidak diperjanjikan ;
7. Bila hubungan kerja
dilanjutkan bagi pihak buruh akan membawa bahaya untuk
jiwa, kesehatan, kesusilaan atau nama baiknya, sedangkan hal
itu tidak tercantum dalam PKL ;
8. Bila pihak buruh karena
sakit / lain-lain sebab diluar salahnya, menjadi tidak mampu
melakukan pekerjaan sesuai PKL ;

Menurut KUHD ( pasal 419 )


9. Bila pengusaha kapal
memberi perintah yang bertentangan dengan perjanjian dan
undang-undang ;
10. Bila pengusaha kapal memeritahkan kapalnya berlayar
kepelabuhan dari sebuah Negara yang sedang terlibat dalam
perang atau kepelabuhan yang terkena blokade, kecuali hal itu
secara tegas tercantum dalam PKL dan ditutup setelah
pacahnya perang atau di umumkanaya blokade tersebut ;
11.Bila bendera kapalnya tidak lagi bebas, Pengusaha Kapal
memberikan perintah menuju kepelabuhan musuh ;

32
12. Bila kapal dioperasikan untuk keperluan pedagangan budak,
pembajakan atau pengankutan barang yang dilarang ;
13. Bila kapal digunakan untuk mengangkut kontrabande, kecuali
dalam PKL secara nyata dicantumkan dan ditutup setelah
pecahnya perang ;
14. Bila baginya di kapal ada bahaya penganiayaan oleh Nakhoda
atau pelayar lainnya ;
15.Bila penginapan di kapal jelek sehingga mempengaruhi
kesehatan para buruh ;
16.Bila makanan yang menjadi haknya tidak diberikan atau
keadaannya tidak layak ;
17.Bila kapalnya kehilangan hak memakai bendera Indonesia ;
18.Bila PKL dibuat satu / beberapa perjalanan, sedangkan
Pengusaha Kapal menyuruh melakukan perjalanan lain .
Apa yang ditentukan pada nomer 10,11 dan 13 tidak dianggap
sebagai alasan mendesak, bila dilakukan atas perintah Presidan.
Catatan :
“ blokade “
bila pihak yang terlibat perang, menutup
perdagangan musuh melalui penetapan kapal di alur
masuk ;
“ kontrabende “
barang diperuntukan ( keperluan perang ) musuh.
Jika PKL ingin diputuskan berdasarkan alasan mendesak,
maka pihak yang berkepentingan harus menyampaikannya
secepat mungkin kepada pihak lain.
Apabila hal tersebuat tidak disampaikan secepat mungkin
maka alasan mendesak berubah menjadi alasan penting.
Adapun pemutusan hubungan kerja menurut alasan penting
harus dilakukan melalui permohonan kepada Pengadilan
Negeri atau Perwakilan R.I di luar negeri.

33
Sebagai syarat mutlak bagi dapat diterimanya permohonan,
permohonan tersebut oleh Hakim / Perwakilan R.I adalah
pelaksanaan pemeriksaan tidak mengganggu rencana
pelayaran kapal ( pasal 420 KUHD ).
Selain alasan-alasan mendesak yang berobah menjadi alasan
– alasan penting karena tidak diberitahukan secara mungkin,
maka harus pula dianggap sebagai alasan-alasan penting :
menurut KUHPER,
Perubahan * Dalam keadaan pribadi atau kekayaan pihak
buruh atuapun pihak Pengusaha kapal ;
** Dalam menjalankan pekerjaan yang karena
sifatnya, sehingga layak hubungan kerja
diputuskan segera atau dalam waktu yang
singkat.
Contoh * Karena hal – hal yang diduga, perusahaan
ditutup : buruh mendapatkan kedudukan
yang lebih baik pada perusahaan lain.

Menurut KUHD.
Perkembangan keadaan yang telah mulai bekerja dikapal,
menimbulkan bahaya yang besar bagi Nakhoda atau para
pelayar. Beberapa akibat hukum dari pengakhiran ikatan
kerja :

1. Keterlambatan membayar upah


Pihak Pengusaha kapal dapat dikenakan sanksi apabila
terlambat membayar upah.
Bahkan keterlambatan membayar upah termasuk alasan
mendesak untuk mengakhiri suatu hubungan kerja.
Walaupun demikian haruslah bijaksana sebelum menerapkan
alasan mendesak untuk keterlambatan pembayaran upah

34
tersebut mengingat bahwa pihak lawan dapat menangkisnya
melalui lembaga peradilan dan jika lembaga ini memutuskan
bahwasanya alasan tidak cukup kuat untuk di jadikan
mendesak, maka pengakhiran PKL berlangsung melawan
hukum dan karenanya dapat dibebankan sanksi mebayar ganti
kerugian.

2. Hak atas angkutan bebas


Pada hakekatnya setiap Nakhoda dan anggota awak kapal
mendapatkan hak atas angkutan cuma-cuma ke Indonesia, jika
PKL berakhir di luar negeri. Namun dalam hal ia kerena alasan
pemutusan tersebut harus mengaggung kesalahan dan dibebani
kewajiban membayar ganti rugi, ia akan kehilangan hak
tersebut. Wajib ganti rugi kalau Nakhoda atau awak kapal
diberhentikan karena alasan mendesak.
Sedangkan kalau PKL diputus oleh Hakim / perwakil dengan
Pengusaha Kapal sebagai penanggung ganti rugi, Maka
Nakhoda atau awak kapal tetap mempunyai hak atas angkutan
Cuma-Cuma ( termasuk biaya penginapan dll, sampai tiba di
tempat tujuan ).

3. Tindakan Nakhoda setelah pengakhiran ikatan kerja


Jika Nakhoda mengakhiari selama pelayaran ikatan kerjanya,
maka ia wajib mengambil tindakan – tindakan yang diperlukan
untuk keselamatan kapal, pelayar dan muatan dengan sanksi
ganti rugi.

VI. HAK – HAK AWAK KAPAL


Berbagi hak ( sumber dari penguasaan ) dari awak kapal di jabarkan
dalam perjanjian kerja Hak-hak yang terpenting bagi awak kapal adalah :

35
upah, permakanan, dan penginapan di kapal, cuti, perawatan kesehatan
dan angkutan bebas ( pulang )

A. Hak atas upah


Menurut pasal 402 KUHD, penentuan akan upah tidak boleh
diserahkan kepada kehendak salah satu pihak. PKL atas ancaman
batal, harus menentukan jumlah uang untuk pembayaran upah dan
bagaimana cara pembayarannya .
Pemisahan upah ( KUHPER pasal 16021 )
- Pembayaran upah dalam uang, misalkan rupiah ;
- Tidak berbentuk uang melainkan dalam barang ( antara ), seperti
bahan makan pakaian dan lain-lain.
Penentu upah ( dalam uang )
- Menurut kurun waktu : tiap jam, minggu, bulan, atau
perjalanan ;
- Bukan kurun waktu : premi muatan, uang mil, upah
gandeng dll.
Termasuk pula dalam upah, adalah semua pembayaran berdasarkan
undang-undang sosial : uang sakit, tunjangan pengangguran dan
semua bentuk upah yang menjadi hak dalam melakukan pekerjaan
seperti uang angkutan, tunjangan cuti dan lain-lain. Berlainan
dengan buruh biasa yang batas dalam pelepasan bagian tertentu
dari upahnya kepada siapa saja, seorang awak kapal justru dibatasi
kebebasan tersebut..sesuai pasal 446 KUHD hak yang dapat
dilepaskannya hanyalah untuk :
- Isteri, paling tinggi sepertiga dari upahnya ;
- Anak, orang yang mengasuh anak dan orang tua paling
tinggi setengah dari upahnya ;
- Keluarga lain sedarah sampai sederajat keempat, paling
tinggi sepertiga bagian ;

36
Segala sesuatu dengan ketentuan bahwa jumlah yang diberikan
tidak melebihi dua pertiga dari seluruh upah yang dibayar uang
lembur.

Uang lembur
Seorang awak kapal wajib melaksanakan pekerjaan yang
diperintahkan Nakhoda kepadanya, namun ia berhak mendapat
tambahan upah untuk pekerjaan yang dilakukan di luar waktu kerja
yang ditetapkan oleh undang-undang maupun PKL, kecuali jika
pekerjaan itu diperlukan demi keselamatan kapal, penumpang dan
muatannya. Tidak diberikannya hak atas pekerjaan lembur yang
dilakukan untuk tujuan penyelamatan, berarti bahwa yang
bersangkutan tidak berhak menuntut dari Pengusaha Kapal untuk
dibayarkan. Dalam hal terjadi kebakaran di kapal dan awak
kapalnya terpaksa melakukan pekerjaan lembur, maka hal itu dapat
diajukan untuk diselesaikan melalui ketentuan-ketentuan averai
umum
Ketentuan-ketentuan mengenai upah lembur sebagaimana
diuraikan diatas tidak berlaku untuk perwira kapal yang menjabat /
menerangkan kepala dinas ( KUHD 442 ) dokter dan markonis.
Seorang kepala dinas ( umumnya ) menerima premi lembur tetap,
pasal 442 KUHD itu bersifat hukum memaksa.

B. Hak atas permakanan dan penginapan di kapal


Menurut KUHD maka Pengusaha Kapal wajib menyediakan makan
dan peginapan kepada Nakhoda dan awak kapal, dalam arti yang
pantas. Peraturan – peraturan lebih lanjut diberikan Menteri
perhubungan : penjabaran pantas untuk, untuk penginapan adalah
luas ruangan untuk tiap orang dan untuk permakanan adalah kalori.
Pengawasan terhadap permakanan

37
Para Syahbandar ditugaskan untuk melakukan pengawasan terhadap
kepantasan ( gizi dan jumlah ) permakanan. Mereka berkewajiban
untuk mengadakan pemeriksaan jika diterima permintaan dari
paling sedikit seperti perwira / anak kapal yang berisikan
pengaduan tentang keadaan permakanan. Nakhoda diwajibkan atas
perintah pejabat-pejabat tersebut memperbaiki keadaan permakanan
di kapalnya. Adapun pengawasan terhadap penginapan adalah sama
seperti pengawasan terhadap permakanan.

C. Hak atas cuti


Pengaturan tentang hak cuti terhadap dalam KUHD :
- Pasal 409. Nakhoda berhak untuk setiap tahun yang mana ia terus
menerus bekerja pada Pengusaha Kapal, atas paling sedikit empat
belas hari libur atau dua kali delapan hari dengan tetap menerima
upahnya. Ketentuan ini tidak berlaku untuk PKL menurut perjalanan.
Untuk perwira kapal berlaku pasal 409.
- Pasal 415, persyaratan diatas berlaku pula untuk anak kapal
dengan perbedaan dalam jumlah hari : paling sedikit tujuh hari atau
dua kali lima hari.
Untuk tiap hari yang tidak dinikmatinya ( kecuali jika tidak
menggunakan kesempatan yang menjadi haknya ), kepadanya
diberikan penggantian sebesar upah sehari.

D. Hak atas perawatan


Pasal 418 KUHD mengatur tentang awak kapal yang jatuh sakit.
Bagi seseorang yang telah menutup PKL untuk paling sedikit satu
tahun atau selama satu setengah tahun secara terus – menerus
menjalankan dinas pada Pengusaha Kapal, menderita sakit atau
mendapat kecelakaan sewaktu berdinas, maka jika hubungan kerja
itu berajhir lebih dahulu, ia berhak sepenuhnya atas bagian upahnya
serta perawatan dan pengobatan selama berada diatas kapal.

38
Dalam hal ia tidak lagi berada di kapal, kama mulai saat ia
meninggalkan kapal, ia berhak atas 80% dari upahnya selama paling
lama 26 minggu ( juga kalau ikatan kerja sudah berakhir
sebelumnya ).
Waktu 26 minggu tersebut diatas juga berlaku :
- Waktu jatuh sakit sedang berada di darat menuggu
penempatan di kapal lain ;
- Waktu jatuh sekit sedang berada di kapal, dimana ia ;
 Di luar negeri ditinggalkan untuk perawatan ;
 Setiap di Indonesia dengan kapalnya ;
Sedangkan dalam hal perawatan jika sudah ditempatkan di darat
atau kapal lain ia berhak memperolehnya sampai sembuh tetapi
bagaimanapun tidak lebih dari 52 minggu. Jika PKL sudak
berakhir ia berhak pula atas pengangkutan Cuma-Cuma keyempat
penutupan PKL.

E. Hak atas angkutan bebas


Untuk seorang yang telah mengakhiri hubungan kerja diluar negeri
berhak atas angkutan bebas, karena :
- PKL bukan menurut perjalanan ;
- PKL menurut perjalanan melebihi satu setengah tahun ;
- Pemutusan oleh Pengusaha Kapal berdasarkan alasan mendesak
yang seketika disampaikan kepada pihak buruh ;
- Pembatalan atas permohonan pihak buruh berdasarkan alasan
penting.
Angkutan bebas mana termasuk biaya pemeliharaan dan penginapan
ke tempat diadakan PKL ( pasal 425 KUHD ) dan Pengusaha Kapal
dapat mengatur pemulangannya dengan mempekerjakan di kapal
yang menuju tempat yang dimaksud diatas. Jika berkebangsaan
Indonesia yang bersangkutan dapat menuntut agar kapalnya adalah
Ka pal Indonesia.

39
VII. KEWAJIBAN-KEWAJIBAN AWAK KAPAL
Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjabarkan dalam lima pasal
kewajiban-kewajiban seorang buruh. Penjabaran yang juga menyangkut
awak kapal adalah :
- Pihak buruh wajib melakukan tugasnya sesuai kemampuanya yang
terbaik ;
- Mentaati ketentuan-ketentuan untuk menegakkan ketertiban
perusahaan, yang dari majikan, yang diberikan oleh majikan
berdasarkan PKL atau aturan dinas umumnya seorang buruh wajib
melakukan dan menghindari hal-hal yang berlaku untuk buruh
yang baik.
Selama ia bekerja dikapal tidaklah cukup menaati kewajiban-kewajiban
tersebut diatas - ia juga wajib melaksanakan perintah dari Nakhoda,
termasuk peintah yang menurut penilaianya adalah melawan hukum
( menurut pasal 384 KUHD, setiba dipelabuhan pertama, tanpa
mengganggu rencana perjalanan kapal, ia dapat meminta perantaraan
Syahbandar atau konsul – yang pada hakekatnya tidak dapat menentukan
benar / tidaknya pengaduan dari awak kapal tersebut, kecuali hakim
yang biasanya akan memperhatikan pendapat Syahbandar atau konsul.
Nakhoda wajib mengatur pekerjaan diatas kapal sesuai undang-undang
dan perjanjian kerja. Pada hari-hari libur pekerjaan dibatasi seperlunya
untuk hal-hal yang mendesak.
Seorang awak kapal wajib melaksanakan pekerjaan yang diberikan
Nakhoda kepadanya.
Tanpa izin Nakhoda seorang awak kapal tidak boleh meninggalkan
kapal. Jika Nakhoda menolak memberikan izin maka ia wajib mencatat
alasanya dalam buku harian kapal dan atas permintaan awak kapal
tersebut, memberikan dalam waktu jam pengukuhannya secara tertulis.
Seorang awak kapal wajib melaksanakan pekerjaan yang diberikan
Nahkoda kepadanya.

40
Tanpa izin Nahkoda seorang awak kapal tidak boleh meninggalkan
kapal. Jika Nahkoda menolak memberikan izin maka ia wajib mencatat
alasannya dalam buku harian kapal dan atas permintaan awak kapal
tersebut , memberikan dalam waktu 12 jam pengukuhannya secara
tertulis.
Seorang awak kapal dilarang membawa barang-barang terlarang. Baik
seorang pelayar maupun Nahkoda tidak dibenarkan membawa barang
tanpa uang tambang, kecuali ada izin dari Pengusaha Kapal atau pihak
pencharter ( kalau kapalnya dicharter ). Jika ada tindakan yang
bertentangan dengan larangan ini, maka kepada yang bersangkutan
dikenakan uang tambang yang tertinggi.
Seorang awak kapal wajib membantu penyelamatan kapal dan muatan.
Ia juga wajib menyediakan dirinya dalam rangka pembuatan kisah kapal,
selama tiga hari setelah PKL-nya berakhir.

VIII. SIJIL KAPAL


A. Sijil kapal
Sijil kapal termasuk surat-surat kapal yang harus ada di kapal
sewaktu berangkat meninggalkan pelabuhan ( lihat halaman 13).
Seorang Nakhoda yang berangkat tanpa Sijil kapal, terlibat dalam
suatu pelanggaran pelayaran ( pasal 560 KUHD ).
Sijil kapal adalah suatu daftar yang berisi nama-nama awak kapal
yang dibuat dihadapan pegawai pendaftaran awak kapal. Sijil kapal
mempunyai bentuk yang sudah ditetapkan serta merupakan sebuah
akta otentik yang disusun dalam rangkap dua. Sijil kapal diatur
dalam pasal 341, 375 dan 376 KUHD dan mempunyai sifat ‘’
deklaratif ‘’ saja.
Setelah penyijilan Nakhoda menerima satu eksemplar disertai buku-
buku pelaut yang ditarik dan salinan-salinan PKL dan PKK yang
telah diketahui oleh pegawai penyijilan.

41
Sijil kapal ditanda tangani oleh Nakhoda dan pegawai pendaftaran
awak kapal ( untuk keabsahanya ). Isi dari Sijil kapal adalah : nama
kapal, pelayaran, nama pengusaha kapal, nama Nakhoda, nama awak
kapal, kedudukan awak kapal, penujukkan perwira kapal.
Menurut pasal 375 KUHD, sijil kapal adalah daftar dari semua
orang yang harus melakukan dinas sebagai awak kapal. Sedangkan
dinas awak kapal adalah pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang
diterima untuk bekerja dikapal kecuali pekerjaan Nakhoda. Sijil
Kapal dibebaskan dari materai.

B. Penyijilan
Penyijilan adalah pembuatan Sijil kapal yang dapat dilakukan untuk
waktu tertentu atau untuk sejumlah perjalanan. Pada waktu
Penyijilan, pengusaha Kapal harus menyerahkan :
- Perjanjian kerja yang diadakan dengan awak kapal;
- Perjanjian kerja kolektif yang masih berlaku.

Sedangkan Nahkoda pada waktu penyijilan,menyerahkan :


- Pengangkatannya sebagai Nahkoda;
- Ijazah yang diperlukan untuk jabatannya;
- Keterangan kesehatan.
Setelah awak kapal pada Sijil kapal lengkap, maka dokumen ini
ditandatangani oleh Nahkoda, pengusaha Kapal / wakil dan pegawai
pendaftaran awak kapal ( setelah diyakinkan akan pemenuhan
persyaratan perijazahan serta pemahaman isi KPL ).
Awak kapal pada waktu penyijilan, menyerahkan :
- Buku pelaut masih berlaku;
- Keterangan kesehatan;

42
- Surat permohonan Pengusaha Kapal ( tidak diperlukan jika
penyijilan berlangsung di kapal atau kantor perusahaan ).
Pegawai pendaftaran awak kapal adalah Pejabat pengawas
Keselamatan kapal yang menangani Pengawakan Kapal dan di luar
negeri Konsul.

Arti dari pada Sijil awak kapal dan penyijilan


Hubungan antara Sijil awak kapal dan PKL adalah identik dengan
hubungan antara manifest muatan dan konosemen ( Sijil kapal
mempunyai sifat deklaratif ). Setelah Sijil awak kapal ditanda-
tangani, mulailah dinas dikapal bagi pihak awak kapal, kecuali jika
pada Sijil Awak Kapal tercantum tanggal yang lain.
Dengan berlakunya perjanjian kerja, pihak awak kapal menempatkan
dirinya dibawah kekuasaan pihak Pengusaha Kapal. Sedangkan
dengan dimulainya dinas di kapal, seorang awak kapal berada
dibawah kekuasaan disipliner dari Nakhoda serta ia tunduk pada
pasal-pasal KUHD yang sebelum penyijilan tidak berlaku. Dinas
awak kapal hanya dibenarkan dikerjakan oleh orang-orang yang
telah mengadakan PKL dan menanda-tangani Sijil Kapal.
Pengecualian meliputi : tenaga pengganti, penumpang gelap, pandu
dan regu kerja tertentu ( misalkan guarantee-enginer dari galangan
kapal ).
C. Buku pelaut
Buku Pelaut diserahkan kepada setiap orang yang memintanya dan
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut serta
berisikan keterangan- keterangan yang diisyaratkan oleh undang-
undang, seperti nama, tempat dan tanggal lahir, kebangsaan,
keluarga, alamat darurat, ijazah dan tanda-tangan Fungsi uatama
Buku Pelaut adalah Pengukuhan dari Penyijilan ( sign on ) dan
pelepas ( sign of ) yang masing-masing dilakukan oleh Syahbandar
dan Nakhoda.

43
Buku pelaut tidak boleh mencantumkan penilaian prilaku serta
pemuatan upah Pihak Pengusaha Kapal mencatat dalam Buku Pelaut
perjanjian kerja yang diadakan dengan pihak awak kapal yang
bersangkutan. Sedangkan pegawai pendaftaran awak kapal mengisi
Buku Pelaut dengan keterangan tanggal, kedudukan, perjalanan,
waktu dan lain-lain.

SAMPAI DISINI MASIH ADA


YANG HARUS DIREVISI untuk
ORDONANSI , SUPAYA
DIAMBIL REFERENSI UU
NO.21 TTG PELAYARAN
SAJA.

D. ORDONANSI KAPAL-KAPAL
Ordonansi kapal – kapal 1935 yang penyusunannya bersumberkan pada
Solas 1929, Load Line 1930, setelah dilengkapi dengan sejumlah
kebijaksanaan Pemerintah serta memperlakuan konvensi – konvensi
internasional antara lain :
- Load Line 1966 ( ratifikasi 1976 ) ;
- Special Trade passenger Ship 1971 ( ratifikasi 1972 ) ;
- Space reguirements special trade passenger ship 1973 ( ratifikasi
1979 ) ;
- Solas 1974 ( ratifikasi 1980 ) ;

44
- Marpol 1973 ( ratifikasi 1986 ) ;
Ordonansi tersebut betujuan untuk :
a. Tindakan – tindakan mencegah kecelakaan kapal ;
b. Memeriksa sebab-sebab kecelakaan kapal ;
c. Tindakan-tindakan tata-tertib para nakhoda. Mualim, masinis kapal
dan markonis.
Pada umumnya Ordonansi kapal-kapal berlaku untuk kapal-kapal yang
terdaftar di Indonesia yang diperuntunkan melakukan suatu pelayaran ( =
bertolak dari pelabuhan untuk melaut, menurut pasal 2. OK. 1935 ).
A. Tindakan- tindakan
Dalam rangka mencegah kecelakaan kapal ditentukan :
1. Sebuah kapal tidak dibenarkan untuk memulai pelayaran sebelum
dilengkapi dengan sertifikat-sertifikat yang disyaratkan sesuai
Odonansi dan peraturan lainnya ;
2. Bahwa seorang Nakhoda – sebelum – berlayar – menyiapkan
kapal menjadi laik laut dan sesuai ketentuan- ketentuan dalam
Ordonansi dan peraturan lainnya, dilengkapi, dimuat dan awaki ;
3. Bahwa pengawasan dari Pemerintah asal kapal- kapal
dilakukan secara terus-menerus.

( 1.1 ) Sertifikat Kapal


Dengan telah diratifikasirnya konvensi –konvensi ienternasional
mengenai garis muat, keselamatan jiwa di laut dan pencemaran oleh
Pemerintah, maka berlaku pula sejumlah sertifikat sebagai pelengkap
meupun pengganti dari sertfikat-sertifikat berdasarkan Ordonansi
kapal-kapal 1935. Kapal-kapal yang melakukan pelayaran
internasional, harus melengkapi sertifikat-sertifikat berdasarkan
Solas 1974.
i. Ordonansi kapal & Solas 1974
- Sertifikat kesempurnaan

45
- Sertifikat penumpang
- Sertifikat lambung - timbul
- Sertifikat pembebasan
ii. Load Line 1966 ;
- Sertidfikat garis muat
Internasional.
iii. Solas 1974 ;
- Sertifikat keselamatan kapal
penumpang
- Sertifikat keselamatan
perlengkapan kapal barang
- Sertifikat keselamatan
kontruksi kapal barang
- Sertifikat keselamatan telegrap
radio kapal barang
- Sertifikat keselamatan telepon
radio kapal barag
- Sertifikat pembebasan
iv. Marpol 1973 dengan Protokol 1978 ;
- Sertifikat pencegahan
pencemaran Minyak Internasional.
- Sertifikat pemcegahan
pencemaran Internasional untuk
bahan-bahan Cair.
v. Direktur Jenderal Perhubungan Laut ;
- Sertifikat Perangkat Radio
Telekomunikasi Kapal
a. Sertifikat Kesempurnaan
Sertifikat ini diterbitkan setelah diadakan pemeriksaan :
inspeksi lengkap atas kontruksi, perangkat mesin,
perlengkapan, ketel dan bejana tekanan, material dan bagian-

46
bagian badan kapal, persawat induk / Bantu, alat-alat penolong,
alat-alat penemu kebakaran, peralatan lainnya. Biasanya
sertifikat ini yang merupakan sebuah sertifikat nasional, di
terbitkan setelah menjalani doking tahunan. Setiap kapal yang
bertolak ke laut harus memiliki Sertifikat Kesempurnaan yang
masih berlaku ( pasal 6 O.K 1935 ).

b. Sertifikat Penumpang
Menurut pasal 12 O.K. 1935, maka setiap kapal yang
mengangkut penumpang harus dilengkapi dengan sertifikat ini
( disamping Sertifikat Kesempurnaan ini tidak
menampungnya ) yang diterbitkan setelah diadakan pemeriksan
dan terpenuhinya persyaratan atas kapal, perlengkapan serta
fasilitas penumpang. Selain pemeriksaan tersebut, kapal telah
pula memiliki Sertifikat Kesempurnaan dan Sertifikat Garis
Muat yang masih berlaku serta memnuhi persyaratan yang
ditetapkan peraturan ( verordening ) kontruksi kapal-kapal
penumpang 1935 sepanjang menyangkut kapal tersebut.

c. Sertifikat Lambung – Timbul


Sertifikat ini diterbitkan setelah diadakan pemeriksaan yang
membuktikan bahwa persayaratan lambung-timbul telah
dipenuhi serta kenyataan tentang pemasangan merkah-merkah
adalah benar. Selanjutnya kapal harus dibangun secara kokoh
sehubungan dengan syaratnya ( Sertifikat dari Biro
Klasifikasi ).
Harus pula tersedia perlatan untuk melindungi kapal dan
awaknya sehubungan dengan lambung bebas. Kepada Nakhoda
harus diserahkan :
- Keterangan – keterangan yang
akan membantunya dalam pemuatan dan pengaturan tolak bara,

47
sehingga dapat menghindari tegangan –tegangan yang
membahayakan.
- Keterangan -keterangan yang
diperlukan untuk menilai keseimbangan kapal dalam keadaan
apapun.
Mengingat bahwa dengan diberlakukannya konvensi
Internasional tentang Garis Muat 1966 bagi kapal-kapal dalam
Pelayaran Luar Negeri, maka bagi kapal-kalap pelayaran dalam
negeri di tetapkan peraturan khusus : Sertifikat Garis Muat
Khusus Pelayaran Dalam Negeri, yang masa berlakunya
adalah 4 tahun Tiap tahun diadakan “ load – line survey “
setelah diadakan pemeriksaaan yang memuaskan oleh Biro
Klasifikasi.
d. Sertifikat Pembebasan
Pemerintah dapat memberikan pembebasan penuh, sebagian
atau bersyarat dalam pelaksanaan peraturan-peraturan, namun
untuk kapal-kapal, dalam pelayaran internasional harus
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan perjanjian
internasionalnya. Pembebasan mana disertai penerbitan dari
sebuah Sertifikat Pembebasan. Masa berlaku adalah sama
dengan masa berlaku sertifikat yang dikenakan pembebasan.
e. Sertifikat Garis Muat Internasional
Sertifikat ini merupakan sertifikat internasional yang
diterbitkan pemerintah, yang menunjukan lambung – timbul
yang terkecil yang harus dipertahankan kapal pada berbagi
keadaan maupun berbagi musim. Masa berlaku asalah 5 tahun.

48
Merkah Plimsoll
Menurut pasal 7 ayat (2) O.K. 1935 harus memilki Sertifikat
garis Muat yang menunjukan lambung timbul yang dibenarkan
pada musim-musim tertentu.

K Katulistiwa (tropical ) AT Air TAwar


MP Musim PAnas ( sumber ) KK Kayu Katulistiwa
MD Musim Dingin ( winter ) KMP Kayu Ms. Panas
MDAU MD Atlantik Utara (winter Na) MDAU Kayu MD At. Ut.

49
Garis geladak : batas permukaan geladak lambung bebas
( geladak terbatas yang dapat menutup semua lubang cuaca).
Garis lingkar lambung timbul ( = garis plimsoll ) menandakan
batas musim panas dai air asin.
Garis muat : batas maksimum sarat kapal sarat pada musim
tertentu
f. Sertifikat Keselamatan Kapal Penumpang
Diterbitkan setelah diadakan pemeriksaan seperti pada
Sertifikat Kesempurnaan. Pada permohonan di lampirkan : alat-
alat penolong dan keselamatan, pelengkapan lainnyan,
perangkat radio Masa berlaku adalah 12 bulan.

g. Sertifikat Keselamatan Perlengkapan Kapal


Diterbitkan setelah diadakan pemeriksaan : alat-alat penolong
dan keselamatan, perlengkapan lainnya.
Masa berlaku adalah 24 bulan

h. Sertifikat Keselamatan Kontruksi Kapal Barang


Diterbitkan setelah diadakan pemeriksaan : badan kapal,
mesin,perlengkapan ( diluar perlengkapan yang memiliki
Sertifikat Perlengkapan, Telepon Radio atau Telegram Radio ),
serta pula harus dapat dibuktikan bahwa keadaan umum,
material badan kapal, pesawat utama maupun bantu, perangkat
listrik memenuhi keperluan kapal dalam melakukan fungsinya.
Pemeriksaan-pemeriksaan diadakan pemerintah sedemikian
rupa dengan selang waktu yang dianggap perlu oleh pemerintah
untuk menjamin kondisinya secara memuaskan.
Masa berlaku adalah 5 tahun.

50
i. Sertifikat Keselamatan telegrap/Telepon Radio Kapal
Barang
* Stasion telegrap radio harus ditempatkan pada setiap kapal
penumpang ( dari semua ukuran ) dan kapal barang yang
berukuran isi kotor 1.600 RT atau lebih.
* Stasion telepon radio harus ditempatkan pada kapal-kapal
barang yang berukuran isi kotor 300 RT atau lebih tetapi
kurang dari 1.600 RT, kecuali jika untuk kapal tersebut
sudah ada stasion telegrap radio.
Sertifikat-sertifikat diatas diterbitkan setelah diperiksa
perangkat telegrap / telepon radio, perangkat radio, perangkat
telegrap radio untuk sekoci-sekoci, pesawat jingjing radio
untuk sekoci- sekoci dan rakit – rakit serta radar dan alat-alat
navigasi radio. Masa berlaku adalah 12 bulan. Jika pemeriksaan
berlangsung dalam kurun waktu 2 bulan sebelum berakhirnya
sertifikat yang diterbitkan untuk kapal-kapal barang berukuran
isi kotor 300 RT atau lebih namun dibawah 500 RT, maka sisa
dari masa berlakunya dapat diperhitungkan pada sertifikat yang
baru.

j. Sertifikat Pembebasan
Sertifikat ini diisyaratkan bagi kapal-kapal yang menyimpang
dari ketentuan – ketentuan untuk memperoleh sertifikat-
sertifikat tertentu diatas. Masa berlaku adalah sama dengan
sertifikat yang bersangkutan.
Latar belakang dari pengadaan sertifikat-sertifikat pencegahan
pencemaran atas lingkungan laut, adalah untuk meniadakan
secara tuntas pencemaran tersebut yang terjadi oleh minyak
atau bahn-bahan lain yang merugikan.” Minyak “ adalah
minyak bumi dalam bentuk apapun, termasuk minyak mentah,
minyak bahan – bakar, minyak bakar, minyak kotor, hasil

51
olahan pemurnian; “ bahan cair “ adalah bahan-bahan yang
mempunyai tekanan uap tidak lebih dari 2,8 kp /cm 2 pada
temperatur 37,80 C ‘ “ bahan cair yang merusak “ adalah setiap
bahan yang jika dibuang ke laut menimbulkan kerusakan dapat
lingkungan hidup ; “ kotoran “ adalah air liur dan limbah dari
toilet, ruang medis dan ruangan-ruangan lain.
Kapal-kapal harus memiliki perlengkapan pemisahan /
penyaringan minyak, fasilitas penampungan dan perangkat
penanganan kotoran.

k. Sertifikat pencegahan Pencemaran Minyak Internasional


Sertifikat ini diterbitkan setelah surey atas bangunan,
perlengkapan, peralatan, penataan-penataan dan bahan untuk
kapal tangki minyak 150 BRT keatas dan kapal lain 140 BRT
keatas. Masa berlaku adalah 5 tahun.

l. Sertifikat pencegahan Pencemaran Internasional untuk


Bahan – Bahan Cair yang Merusak.
Serifikat ini diterbitkan untuk bahan – bahan cair yang
merupakan dalam tentk curahan menurut menurut 4 kategori :
- Bahaya besar bagi sumber-sumber hayati laut atau
Kesehatan Manusia atau merusak kenyamanan.
- Membahayakan sumber-sumber tersebut diatas
- Menimbulkan bahaya yang kurang berarti
- Menimbulkan bahaya yang mudah dikenal
m. Sertifikat Internasional Pencegahan Pencemaran oleh
Kotoran
Sertifikat ini diterbitkan setelah survey yang menjamin
pemenuhan persyaratan operasional peangkat penanganan
kotoran, penahanan kotoran dalam tangki penampungan.
Masa belaku adalah 5 tahun

52
n. Sertifikat Perangkat Radio telekomunikasi Kapal
Sertifikat ini diperuntunkan kapal berukuran 100 m3 sampai
dengan 850 m3 dan diterbitkan setelah perangkat radio yang
dapat dilayani oleh Nakhoda atau awak kapal yang memiliki
Sertifikat keterampilan Pelaut bidang radio, memenuhi
ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Pemohonan penerbitan sertifikat


Diajukan oleh pemilik kapal secara tertulis kepada kepala
Direktorat
Perkapalan dan Palayaran atau pejabat yang berwenang.
Pencabutan sertifikat dilakukan :
1. Setelah mengalami kerusakan ;
2. Jika perbaikan tidak memenuhi persyaratan ;
3. Jika ada persyaratan lain ;
Gugur Sertifikat dilakukan :
1. Jika masa berlakunya sudah habis ;
2. Jika kapal beralih ke katagori lain ( L, N atau P ) ;
3. Jika diadakan permohonan
4. Jika nama, nama panggilan atau nomer berganti
( diberikan Sertifikat baru untuk waktu yang tersisa ).
Kewajiaban nakhoda sehubungan dengan sertifikat-sertifikat :
pasal 347 KUHD : “.. harus menyimpan di kapal …. Lain-lain
surat… “ ; pasal 7 Reglement Bandar 1952 : “ Nakhoda dari
kapal yang berlayar… Menyerahkan surat-surat kapal antara
lain sertifikat-sertifikat resmi kepada Syahbandar, setelah
tiba….”
(1.2) Kewajiban – kewajiban Nakhoda
Sejumlah kewajiban dibebankan kepada Nakhoda dalam pasal-pasal
tertentu Undang Undang No.21/1992 tentang Pelayaran ditambah
dengan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Kapal-kapal 1935

53
(SV 1935 ) dan Peraturan-peraturan Pelaksanaanya PP.No.51
tentang Perkapalan.

a. Sarat kapal dan lambung timbula


Lambung timbul kapal yang bertolak berlayar tidak
boleh lebih kecil dari yang tercantum dalam Sertifikat Garis
Muat ( pasal 7 O.K. 1935 )

b. Alat-alat penolong
Setiap kapal yang berlayar harus memiliki alat-alat
penolong, baju berenang dan pelampung-pelampung penolong
yang keadaaannya baik dan dapat digunakan sewaktu-waktu
dapat digunakan ( pasal 9 O.K. 1935 ).

c.Tindakan –tindakan untuk keselamatan di kapal


E. Diatas kapal berukuran isi kotor 500 m3 atau
lebih, harus dilakukan dinas ronda yang tepat, sehingga setiap
awal kebakaran dapat di pantau ;
F. Diatas kapal tenaga untuk menumpang ( 500
m3 atau lebih ) dan untuk barang ( 1000 m3 atau lebih ) harus
ada sijil bahaya yang mencantumkan tugas-tugas awak kapal
( penutupan pintu-pintu kedap air, peluncuran sekoci,
pelengkapan sekoci dan rakit penolong, pemadam kebakaran ),
penyelamatan penumpan, isyarat-isyarat yang digunakan ;
G. Pelaksanaan latihan sekoci, sedapat tiap
minggu dengan awak kapal ;
H. Pemeriksaan melalui latihan mengenai
pemakaian pintu-pintu kedap air ;
I. Penutupan pintu-pintu putar yang kedap air yang
berada dibawah garis benam air yang memisahkan palka-palka

54
geladak antara, sebelum kapal bertolah dari pelabuhan dan
tertutup selama pelayaran.

d. Mencegah bahaya tubrukan


J. Kapal harus dilengkapi peta-peta laut untuk
pelayaran yang akan ditempuh yang keadaannya sedemikina
rupa untuk dapat digunakan ( navigasi );
K. Peralatan yang diisyaratkan oleh peraturan
pencegahan tubrukan harus dalam keadaaan setiap pakai.

e.Tempat tinggal awak kapal


Ruangan untuk awak kapal harus memenuhi
ketentuan-ketentuan kenyamanan, kesehatan dan kebersiham.

f. Pemuatan, pemadatan dan tolak bara


L. Pemuatan dan pendapatan harus memenuhi
persyaratan kecakapan pelaut yang baik, sehingga
keseimbangan kapal tidak akan terlampau besar ataupun
terlampau kecil ;
M. Untuk kapal yang berukuran isi kotor 500 3

atau lebih, harus ada data-data stabilitas yang bersumber dari


percobaan kemiringan ;
N. Muatan geladak harus disesuaikan dengan
keseimbangan kapal dan pemadatannya tidak boleh
mengganggu pelayanan dinas kapal ;
O. Muatan berbahaya harus dikerjakan sesuai
peraturan-peraturan keselamatan O.K. 1935, P.K. 1935 dan I.
M.O.

g. Bahaya pelayaran

55
P. Nakhoda yang menerima berita darurat,
wajib memberikan pertolongan kepada mereka yang berada
dalam bahaya, kecuali jika kemudian permintaan tersebut
dibatalkan oleh kapal yang memintanya ( karena sudah ada
kapal lain yang lebih cepat ) ;
Q. Nakhoda wajib meneruskan berita-berita
tentang badai, bahaya-bahaya lain untuk pelayaran.

h. Awak kapal
R. Setiap kapal yang melaut harus diawali oleh
orang-orang yang cakap untuk pekerjaan kapal dan sesuai
dengan kepentingan keselamatan,

i. Penumpang
S. Penumpang tidak boleh berada di kapal,
kecuali jika sudah memenuhi ketentuan peraturan pemerintah.

j. Pengawasan pemerintah
T. Nakhoda berkewajiban memberikan bantuan
kepada para perugas pengawasan kapal baik sewaktu kapal
berada did ok, sedang melakukan perbaikan maupun
sewaktu-waktu dianggap perlu oleh para petugas tersebut ;
U. Nakhoda berkewajiban memberitahu
Syahbandar, jika kelaikan kapal mengalami perubahan dalam
arti yang tidak baik yaitu dapat mempengaruhi persyaratan
yang termasuk dalam sertifikat kesempurnaan ( mendapatkan
kerusakan, kandas atau terdapat tanda-tanda perbahan ) ‘
V. Jika kapal mengalami kecelakaan,
melaporkan kepada Syahbandar pelabuhan pertama yang
disinggahi ;

56
W. Atas permintaan Syahbandar, menyerahlan
Buku Harian Kapal, Buku Harian Mesin atau Buku Harian
Radio.
(1.3) Pengawasan pemerintah
a. Pengaturan pengawasan
X. Pengawasan terdiri dari pemeriksaan berkala
dan pengawasan secara terus-menerus. Dalam melakukan
pengawasan ini, dapat pula dimanfaatkan hasil dari
pemeriksaan-pemeriksaan biro-biro klasifikasi yang diakui ;
Y. Para petugas dari inspeksi pelayaran dapat
menandatangani kapal setiap waktu untuk keperluan penerapan
Ordonansi ini, termasuk juga digalangan sewaktu kapal
menjalani perbaikan dan terhadap perlengkapan kapal ;
Z. Sebagai petugas inspeksi pelayaran bertidak
para Syahbandar yang dalam pelaksanaan tugasnya dapat
didampingi oleh tenaga-tenaga ahli ;
AA. Pengawasan terhadap kapal asing terbatas
pada pengawasan pemberlakuan Sertifikat-sertifikat dan
khusus untuk lambung timbul, penyesuaiannya dengan syarat
kapal ;
BB. Segala suatu yang diperlukan untuk
melaksanakan pengawasan diatur dalam pengaturan-pengaturan
pemerintah, pemeriksaan malalui buku harian kapal dan
pneyimpanan memorandum inspeksi pelayaran dikapal.

b. Biro klasifikasi
CC. Tujuan dari Biro Klasifikasi adalah untuk
meng-survey dan meng-classkan kapal berdasarkan suatu
pembukuan persyaratan bangunan maupun permesinan kapal –
tugas mana dijadikan jaminan bagi pihak-pihak tertentu yang
menpunyai kepentingan (pemuat, asuransi) ;

57
DD. Dalam penerapan peraturan-peraturan
Ordonansi kapal-kapal 1935 dapat dimanfaatkan Biro
Klasifikasi yang memeriksa kesempurnaan serta kelaikan laut
kapal ;
EE. Biro Klasifikasi menetapkan persyaratan
bagi pembangunan dari perlengkapan serta juga bagi perbaikan
kapal ;
FF. Sertifikat-sertifikat yang dikeluarkan oleh
Biro Klasifikasi tidak mengingat pemerintah c.q. inspeksi
pelayaran yang pada tempatnya tetap bertanggun-jawab
( kendatipun ada sertifikat klas yang dikeluarkan oleh Biro
Klasifikasi, Syahbandar dapat saja mengadakan pemeriksaan
jika kenyataan tentang pemenuhan ketentuan keselamatan
diragukan );
GG. Biro-biro klasifikasi yang diakui sesuai pasal
20 ( 1 ) O.K.1935, selain B. K. I yang didirikan kemudian :
Lioyds Register of Shipping di Londong
Bureaw Veritas di Paris
Det Norske Veritas di Oslo
Germanischer Lioyd di Berlin
Registro Italiano, Navale ed Aeronautico di Roma
The American Bureau of Shipping di New York
Teikoku Kaiji Kyokai di Tokyo

c.Penahanan kapal – kapal yang tidak aman


HH. Seorang petugas dari inspeksi pelayaran
dapat mengenakan tahanan terhadap sebuah kapal dengan
mempertimbangkan sifat pelayaran serta musim, ketidak
laikan kapal, ketidak sempurnaan perlengkapan, pemuatan
yang salah, pengaturan tolak bara yang tidak dapat,
pengawakan yang kurang atau juga karena merasa tidak

58
diberikan kesempatan untuk mengadakan pemeriksaan
terhadap hal-hal yang mencurigakan, sampai saat ia
menganggap bahwa telah dilakukan penyempurnaan kembali ;
II. Penahanan dapat juga dilakukan jika terjadi
penyimpangan terhadap peraturan-peraturan Ordonansi yang
menyangkut pengawakan, alat-alat penolong, lambung timbul,
jumlah penumpang, sertifikat yang kedaluarsa ;
JJ. Setiap penahanan kapal oleh Syahbandar,
harus disampaikan tertyulis kepada Nakhoda dan dilaporkan
kepada kepala Direktorat Perkapalan dan Pelayaran – Jika
ditahan adalah kapal asing, maka hal tersebut disampaikan
kepada perwakilan Negara yang ada ( kedudukan atau
konsultan ), dimana perwakilan Negara berwenang menunjuk
seorang untuk mengadakan pemeriksaan bersama petugas
inspeksi pelayaran termasuk tadi. Jika perwakilan Negara
sepakat dengan tindakan inspeksi pelayaran, maka penahanan
akan berlangsung selama kekurangannya belum diselesaikan
Dalam hal terdapat ketidak seangkatan, maka perwakilan
Negara yang bersangkutan dapat naik banding.

d. Naik Banding
KK. Pemilik kapal atau Nakhoda yang merasa
kapalnya telah ditahan tidak semetinya dapat mengajukan naik
banding kepada Kepala Direktur Perkapalan dan Pelayaran
LL. Instansi terakhir tersebut dapat
memerintahkan diadakannya pemeriksaan ulang dengan
memperhitungkan biaya kepada pemohon, jika ternyata
Syahbandar benar.

Pemerintah sebab-sebab kecelakaan kapal

59
Dari pihak Pemerintah diadakan pemeriksaan terhadap sebab-
sebab kecelakaan kapal yang telah terjadi. Pemeriksaan terdiri
dari pemeriksaan pendahuluan oleh Syahbandar, yang jika
dianggap perlu akan dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh
Mahkamah Pelayaran. Tujuan dari pemeriksaan adalah :
MM. Sebagai pengetahuan bagi para pelaut, dengan
demikian secara tidak langsung merupakan sumbangan dalam
mencegah terjadinya kecelakaan kapal.
NN. Untuk menemukan kelemahan-kelemahan pada
peraturan-peraturan keselamatan di laut dam memperoleh
keterangan – keterangan untuk penerapan peraturan-peraturan
yang lebih tepat.
Kapal yang diperiksa asalah setiap kapal berbendera Indonesia
yang mengalami kecelakaan ( dimanapun di dunia ) dan setiap
kapal ( termasuk kapal asing ) yang mengalami kecelakaan di
perairan Indonesia .
Menurut pasal 25 O.K 1935, jika pada suatu kecelakaan kapal
timbul keragu-raguan pada Pemilik kapal tenmtang kecakapan
Nakhoda atau pada Nakhoda tentang kecakapan perwiranya,
maka hal tersebut harus disampaikan kepada Direktorat
perkapalan dan dan Pelayaran yang kemudaian melaporkannya
kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut. Dalam hal
kecelakaan kapalnya tergolong berat maka Direktur Jenderal
Perhubungan Laut dapat mengundang Mahkamah Pelayaran
untuk melakukan pemeriksaan atas sebab-sebab kecelakaan
kapal serta atas kesalahan orang-orang yang tersangkut, bahka
juga atas kecakapannya.
Perkara yang umumnya diajukan ke Mahkamah Pelayaran
adalah :
OO. Kapalnya menderita kerusakan berat ;
PP.Terdapat korban jiwa ;

60
QQ. Peraturan yang ada memerlukan
penyempurnaan ;
RR. Mengakibatkan terjadinya gejolak social ;
Mahkamah harus memenuhi undangan untuk melaksanakan
pemeriksaan setelah menerima berkas pemeriksaan
pendahuluan serta bahan-bahan lainnya ( dokumen – dokumen,
laporan –laporan dll ). Jika pemeriksaan Pendahuluan bersifat
tertutup, maka siding oleh Mahkamah Pelayaran bersifat
terbuka. Mengingat bahwa mahkamah Pelayaran merupakan
suatu lembaga peradilan khusus / peradilan administratip, maka
dalam pemeriksaan digunakan sebagai dasar oadonansi kapal-
kapal ( 1935).

Tindakan – tindakan tata-tata terhadap Nakhoda, Mualim, Masinis dan


Markonis kapal.
Selain pemeriksaan administratip dan tekhnis mengenai
sebab-sebab terjadunya kecelakaan kaoal, Mahkamah
Pelayaran dapat pula mengadakan pemeriksaan disipliner
mengenai prilaku kelompok awak kapal yang tersebut diatas.
Hanyalah mereka yang memiliki ijazah berdasarkan
perundang-undangan ( Reglemen Ijazah ) dan para markonis
yang dapt diajukan sebagai tersangkut.
Keputusan “ tidak cakap “ ( ongschikt ) merupakan keputusan
administratip yang dinyatakan oleh Mahkamah Pelayaran jika
seorang tidak mampu melaksanakan tugas-tugas profesinya.
Contoh untuk itu adalah buta, tuli, sakit ingatan, tau dan mabuk
peminum. Mahkamah mempertimbangkan sejauh mana ketidak
cakapan mempengaruhi kewenangan yang diberikan kepada
seseorang Keputusan tidak cakap bukanlah suatu hukuman,
melainkan suatu tindakan administratip yang diambil demi
kepentingan umum,karena terbukti bahwa yang bersangkutan

61
tidak cakap lagi untuk mengaku suatu jabatan yang
bertanggung- jawab diatas kapal.
Dengan demikian pemeriksaan terhadap ketidak cakapan
seseorang dapat saja dilakukan, walaupun tidak terjadi
kecelakaan kapal,. Dalam hal-hal khusus pihak Direktorat
Perkapalan dan Pelayaran dapat mengajukannya. Jika keadaan
memerlukannya, maka dalam pemeriksaan sebab-sebab
kecelakaan dapat diteliti sejauh mana kecelakaan tersebut
terjadi karena kesalahan oknum.
Nahkoda, Mualim, masinis atau Markonis yang telah jelas
kesalahannya dapat dikenakan hukuman disipliner :
SS. Teguran ;
TT.Pencabutan wewenang selama waktu tertentu – tidak
melebihi dua tahun – dalam kedudukannya diatas kapal.
Seseorang Nakhoda yang dicabut kewenangannya untuk
berlayar senakhoda diatas kapal – dan bukan sebagai mualim –
akan menerima catatan mengenai hal tersebut. (jika seseorang
Nakhoda atau Perwira dicabut wewenangnya, maka hal ini
dapat dijadikan pengusaha kapal sebagai “alasan mendesak”
untuk mengakhiri hubungan kerja – lihat halaman 22).
Apabila dalam pemeriksaan ( pendahuluan ) terdapat tanda-
tanda bahwa ada unsur pidana, maka yang bersangkutan dapat
diajukan ke Pengadilan Negeri. Secara teori, seorang Nakhoda
dapat dimintakan pertanggungan – jawab atas satu kejadian
dihadapan tiga ( 3 ) instalasi : Pengadilan Pidana, Pengadilan
Perdata ( gugatan ) dan Mahkamah Pelayaran.

SURAT LAUT
A. Surat laut
Surat Laut adalah bukti tertulis bahwa sebuah kapal berhak
mengibarkan bendera Indonesia. Menurut Keputusan Surat- Surat Laut

62
dan Pas-Pas Kapal 1934 paal 3, maka “ kepada kapal laut Indonesia
dapat diberikan surat tanda kebangsaan dalam bentuk Surat Laut, Pas
Kapal……..” Bukti ini harus ada dikapal-kapal laut Indonesia. Dengan
kapal laut dimaksudkan kapal yang digunakan untuk pelayaran di laut
( pasal 310 KUHD). Surat Laut diberikan kepada kapal-kapal berukuran
isi kotor 500 m3 atau lebih dan dikeluarkan oleh menteri perhubungan
atas nama pemerintah Republik Indonesia. Untuk kapal-kapal berukuran
kurang dari 500 m3 atau lebih ;
Pas Kapal, terbagi atas - Pas Tahunan 20 m3 atau lebih ;
- Pas kecil kerang dari 20 m3
Pas kapal dikeluarkan oleh pejabat – pejabat yang ditunjuk. Ordonansi
surat-surat Laut & Pas – Pas Kapal 1935, menetapkan :
UU. Nakhoda semua kapal, ke cuali kapal – kapal untuk tugas
pemerintah, kapal perang dibawah bendera Negara asing, kendaraan air
berukuran isi kotor kurang dari yang ditetapkan dengan maksimum lima
meter kubik, jika diminta setibanya dari laut dan sebelum bertolak ke
laut harus memperlihatkan Surat laut Pas Kapal kepada pejabat yang
ditunjuk ;
VV. Tanpa adanya Surat Laut atau Pas Kapal, nakhoda dilarangf
bertolak kelaut ;
WW. Nakhoda dilarang menggunakan Surat atau Pas Tahunan sebelum
membubukan tanda – taagannya pada Surat atau Pas dihadapan
Syahbandar / konsul, tanda-tangan mana tidak diperkuat oleh pejabat
itu.
Surat Laut berisikan suatu penjelasan singkat mengenai kapal dengan
pernyataan bahwa kapal tersebut adalah sebuah kapal laut Indonesia
dan berhak memakai bemdera Indonesia.
Selanjutnya termuat dalam Surat Laut suatu permohonan ditujukan
kepada par pejabat Republik Indonesia dan mereka yang bersangkutan
untuk memperlakukan Nakhoda dengan kapal dan muatannya dengan

63
baik. Isi dari pada Surat laut terdiri dari mana kapal, pendaftaran kapal,
ukuran isi menurut Surat Ukur, nama pemilik dan data-data kapal.

B. Permohonan, pemberlakuan, tindakan – pidana dan lain- lain


1. Untuk memperoleh Surat Laut, harus dilampirkan :
XX. Keterangan tertulis, dibuat menurut bentuk yang ditetapkan
dengan peraturan Pemerintah, dimana terbukti telah dipenuhinya
persyaratan tentang pemilikan ;
YY. Selinan akta pendaftaran ;
ZZ. Surat ukur ;

2. Masa berlaku adalah tidak terbatas dan tidak berlaku jika:


a. Gugur dalam hal –hal berikut :
AAA. Kapal kehilangan status sebagai kapal Indonesia ;
BBB. Perobahan nama atau ukruan kapal atau diadakan
perombakan
pada kapal :
CCC. Kapal musnah, dibesi – tuakan atau dirampas musuh
:
DDD. Kapal dilepas ( abandon ) karena masa – lewat
( pasal 667
KUHD ).

b. Dicabut oleh Menteri perhubungan karena :


EEE. Kapal digunakan untuk pembajakan, perampokan
atau pedagangan budak ;
FFF. Kapal digunakan dengan tujuan tertentu yang
memungkinkan dilibatakannya Negara dalam perang
( misalkan pada penerobosan blockade ) ;

64
GGG. Melanggar kebijaksanaan Pemerintah untuk tidak
mencampuri keadaan perang suatu Negara tertentu ( misalkan
mengangkut kontrabende ).

3. Tindak pidana berupa


a. Pelanggaran adalah tindakan – tindakan yang berlawanan
ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi : SL $ PK 1935,
sehubungan dengan pengiriman Surat Laut sudah gugur atau
permintaan untuk menunjukan Surat Laut ;
b. Kejahatan, jika pengibaran bendera Indonesia bukan haknya dan
diketahui oleh Nakhoda ( hukumannya pidana penjara selambat-
lambatnya satu tahun empat bula.

4. Pemasangan nama
Setiap kapal yang memiliki surat laut wajib memasang nam kapal
dan nama tempat pendaftaran dengan jelas di buritan kapal.

5. Penyinggahan di pelabuhan luar negeri,


jika melebihi 24 jam di pelabuhan yang berkedudukan Konsul R.I.,
maka Nakhoda wajib menghadap sendiri untuk penanda – tanganan
surat laut.

6. Kapal Indonesia
adalah kapal laut yang pemiliknya WNI atau sekurang – kurangnya
2/3 milik WNi dan selebihnya adalah penduduk Indonesia.

SURAT UKUR
Tujuan dari pengukuran kapal adalah untuk memperoleh gambaran yang
tepat mengenai besarnya kapal. Perlu ada suatu keseimbangan antara
besarnya kapal menuruit surat Ukur dengan :
HHH. Isi yang dapat dimanfaatkan ( untuk muatan ) ;

65
III. Daya angkut ;
JJJ. Ukuran – ukuran utama ( P.L T atau berat benam ) ;
Masa berlaku adalah untuk waktu yang tidak ditentukan. Cara penentuan isi
dari kapal : isi kapal diberikan dalam M3 maupun Ton Register ( RT ) – I
Ton Register = 2,83 M3 Penentuan diawali dengan isi kotor ( Bruton /
Gros ). Dari isi kotor ini dikurangi ruangan – ruangan tertentu Selisihnya
adalah Isi Bersih (Netto ). Untuk kapal-kapal dari kategori tertentu, Isi
Kotor menurut beberapa persyaratan dapat lebih kecil disbandingkan dengan
keadaan dimana kapal tidak memenuhi persyaratan tersebut. Karenanya
kapal – kapal ini mengenal dua nilai yang berbeda untuk Isi kotor, yaitu isi
yang besar dan isi yang kecil. Kapal yang memiliki dua ukuran Isi Kotor
akan memiliki juga dua ukuran Isi Bersih. Kapal yang demikian harus
dilengkapi dengan sebuag merkah tonase khusus, yang dipasang pada
lambung dibelakang merkah Plimsoll dan terdiri dari sebuah segi tiga
dengan ujungnya kebawah bersandar pada garis dasar.

Tapi atas garis dasar menandakan sarat maksim m di air laut, dimana belaku
Isi kotor terkecil, jadi juga Isi Bersih terkecil. Jarak tegak antara tepi atas
gari dasar dengan tepi atas garis geladak tercantum dalam surat ukur.
Mengingat bahwa pada umumnya Isi Bersih yang digunakan untuk
pembayaran berbagai bea, seperti bea pelabuhan, maka kapal

66
berkepentingan dengan ruang muat yang lebih besar yang terpaut dengan Isi
Bersih yang kecil Surat Ukur memuat keterangan-keterangan berikut : nama
kapal / pemilik, kebangsaan, pelabuhan pendaftaran, jenis alat penggerak,
tempat / tahun pembangunan, ukuran-ukuran penandaan, perhitungan Isi
kotor, keadaan Isi dari ruang-ruang muat, tangki-tangki dasar berganda dan
kamar mesin serta merkah-merkah pendaftaran.
Perhitungan Isi kotor terdiri dari jumlah :
- Isi kubik dibawah geladak ukur ;
- Isi kubik antara geladak ukur dengan geladak atas ;
- Isi kubik bangunan – bangunan atas dari lambung ke lambung ;
- Ukuran lebih kepala palka ( = selisih dari isi kepala palka dengan 1
% isi kotor dibawah kepala palka ).
Geladak atas : geladak teratas yang langsung terbuka terhadap cuaca dan
angin yang dilengkapi penutupan-penutupan permanen dari semua lubang.
Geladak ukur : geladak atas dari kapal-kapal yang hanya memiliki satu
geladak lengkap; geladak lengkap yang berada langsung dibawah geladak
atas kapal-kapal yang memiliki dua atau lebih geladak.

Ruang-ruang tertutup berikut pada / diatas geladak atas tidak dimasuki


dalam Isi kotor : alat penggerak, perlengkapan, kemudi, kamar peta, dapur,
penerangan, tempat cuci / wc, bengkel kerja, air tolak bara, ruang muatan
sepanjang tidak digunakan untuk mengangkut muatan cair atau gas sebagai
muatan massa.

67
Ruang-ruang tertutup itu jika berada antara geladak antara dengan geladak
atas juga tidak dimasukan dalam Isi kotor, asalkan pada kapal dipasang
merkah tonase yang ujung segitiganya tidak terbenam dalam air.
Perhitungan Isi bersih, diperoleh setelah mengurangi dari Isi Kotor ruang-
ruang berikut :
- Nakhoda dan awak kapal;
- Kemudi dan pengendali kapal;
- Kamar mesin;
Untuk ruang-ruang tertentu yang akan dikurangi itu, terdapat beberapa
ditentukan prosentase pemotongannya ( misalnya ruang air tolak bara, ruang
kamar mesin ) terhadap Isi kotor. Pada konperensi pengukuran kapal tahun
1969 di London disepakati untuk menggunakan sistem pengukuran yang
lebih sederhana, dimana Isi kotor tergantung dari volume kapal keseluruhan
dan Isi bersih dari volume ruang-ruang muatan.

BUKU HARIAN KAPAL & KISAH KAPAL


Buku Harian Kapal
Kitab Undang – Undang Hukum Dagang dalam pasal 348 menetapkan
bahwa nakhoda harus mengusahakan penyelenggaraan buku harian kapal
( lihat hal. 13 ). Nakhoda dapat mengerjakan sendiri, akan tetapi dapat
pula menugaskan salah seorang awak kapal ( biasanya mualim I ).
Walaupun demikian Nakhoda berkewajiban untuk mengawasi agar buku
harian kapal ini diisi sesuai kebenaran, lengkap dan berdasarkan
peraturan – peraturan. Seorang Nakhoda kapal Indonesia yang itdak
menyelenggarakan Buku Harian Kapal meurut peraturan – peraturan
atau tidak mempertunjukan buku ini pada waktu diisyaratkan dapat
dikenakan sanksi denda sesuai pasal 562 KUHD Pidana (sebagai
pelanggaran peayaran )
Sedangkan perbuatan tidak mengerjakan Buku Harian Kapal menurut
peraturan – peraturan dengan maksud “ menguntungkan diri atau orang
lain atau menutupi perbuatan tersebut “ adalah tergolong kejahatan

68
pelayaran dan dapat dikenakan sanksi pidana penjara selama-lamanya
tujuh tahun ( pasal 466 KUHD ). Pasal 48 KUHD menyinggung
mengenai Pengisian Buku Harian Kapal “….dalam mana dicatat dengan
cermat segala peristiwa yang cukup penting yang terjadi selama
perjalanan “ Buku Harian Kapal merupakan dokumen yang penting
sekali yang harus memuat penjabaran perjalanan yang dapat dipercaya
dengan catatan-catatan yang dipertimbangkan secara seksama serta
disusun secara teliti. Setiap kejadian yang kemudian hari diperlukan
untuk suatu pemeriksaan atau proses, harus dicatat. Jelasnya Buku
Harian Kapal berfungsi sebagai bahan pembuktian. Selanjutnya buku
ini akan merupakan sumber data bagi hakim jika terjadi sengketa.
Sedangkan untuk pemerintah buku ini digunakan untuk alat
pengawasan terhadap kapal nakhoda dan para pelayar. kekuatan
pmbuktian dari Buku harian Kapal tergantung pada keputusan hakim.
Walaupun tidak dilarang secara khusus oleh undang-undang ,
penyobekan halaman, penambahan halaman, pengosongan halaman,
perobahan, penambahan, pencatatan tambahan, penggoresan dan tidak
terbaca isi, semuanya ini dapat mengurangi kekuatan pembuktian Buku
Harian kapal. Penataan buku ini diatur oleh / atas nama Menteri
Perhubungan ( pasal 349 KUHD ). Penataan Buku Harian Kapal diatur
dalam peraturan ( Verordening ) kapal-kapal 1935 pasal 162.
Kapal-kapal yang berukuran isi kotor 500 M3 atau lebih harus
menyelenggarakan Buku Harian Kapal dan Buku Harian Mesin.
Sedangkan kapal-kapal yang diperlengkapi perangkat telegrap radio
dengan Buku Haria Radio Buku Jaga diselenggarakian disamping Buku
harian kapal dan dikerjakan oleh Perwira jaga Kapal-kapal yang
berukuran kurang dari isi kotor 500 M3 menyelenggarakan Buku Jaga.
Dalam Buku Harian Kapal harus dicatat ( sejauh hal ini tidak dicatat
dalam Buku Harian Mesin ).

69
- Saat-saat pembukaan / penutupan pintu-pintu kedap
air, tingkap-tingkap ( parijspoorten ) , lubang-lubang dermaga / muat
/ batu bara ( steiger / laad / kolenpoorten ) ;
- Tiap latihan latihan sekoci dan alasan mengapa
latihan yang disyaratkan tidak dilaksanakan, tiap latihan / inspeksi
pintu-pintu kedap air ;
- Keadaan sumber tenaga darurat ;
- Alasan mengapa tidak memberi pertolongan setelah
menerima isyarat-isyarat darurat ;
- Syarat kapal pada saat kapal bertolak yang harus
dicatat pada halaman-halaman tersendiri;
- Nama-nama nahkoda dan para perwira dan setiap
mutasi yang terjadi di kalangan mereka;
- Gerakan pesat terbang diatas lautan terbuka dengan
huruf panggilannya dan keterangan lainnya sebagai identifikasi;
- Pengaturan dinas dengar;
Di bagian muka Buku Harian Kapal harus terdapat penunjuk
halaman, yang menyebutkan adanya keterangan mengenai :
- Kelahiran dan kematian di kapal;
- Mutasi diantara awak kapal;
- Kecelakaan/kerusakan yang dialami;
- Pengeringan,perbaikan;
- Pembukaan/penutupan pintu-pintu kedap air, tingkap-
tingkap;
- Latihan-latihan berkala;
- Perangkap telegrap radio;
- Pemuatan muatan berbahaya;
- Catatan tentang jumlah pekerja muatan;
Dalam Buku Harian Mesin harus dicatat semua kejadian penting dan
pekerjaan sehubungan dengan alat-alat, ketel-ketel dan olah gerak.

70
Catatan pada pemuatan
Pada waktu memuat harus dicatat dalam Buku Harian Kapal tentang
tindakan-tindakan sesuai persyaratan masing-masing jenis muatan yang
telah diambil. Pada akhir pemuatan harus dicatat bahwa pemadatan telah
dilaksanakan sesuai kecakapan pelaut yang berlaku serta telah
dipenuhinya persyaratan kelaikan kapal, dengan demikian telah
dilakukan upaya-upaya untuk mencegah kerusakan pada muatan. Khusus
pada waktu kapal mengalami keadaan luar biasa seperti cuaca buruk,
maka pengisian buku haruslah seteliti mungkin karena akan diperlukan
sebagai bahan pembuktian. Jika dari pihak penanggung (asuransi)
dituntut ganti rugi, maka pihak tertanggung harus dapat membuktikan
bahwa kerusakan adalah akibat peristiwa laut. Dalam hal penanggung
dapat membuktikan bahwa kerusakan adalah akibat tidak laik-lautnya
kapal atau kesalahan tertanggung sendiri, maka ia tidak berkewajiban
untuk membayar ganti rugi. Jelasnya pihak tertanggung berkewajiban
membuktikan sebab-sebab kerusakan termasuk tertutup (ditanggung)
oleh asuransi.

Memperlihatkan Buku Harian Kapal


Nahkoda wajib menyerahkan Buku Harian Kapal jika diminta oleh
Syahbandar atau konsul, sedikit-dikitnya mencakup 6 bulan terakhir.
Direktur Jenderal Perhubungan laut menentukan saat-saat mana dan
kepada siapa Buku Harian harus diserahkan :
- Sekurang-kurangnya satu kali tiap bulan takwin dan
jika tidak dapat dipenuhi, ditempat pertama yang disinggahi ;
- Jika salama dua bulan takwin berturut-turut dengan
alasan yang sah tidak punya kesempatan menyerahkan, ditempat pertama
setelah dua bulan takwin itu lewat.
Dari tiap pemeriksaan yang dilakukan, syahbandar harus
membuktikannya dengan memberikan eksibitium ( = pencatatan dengan

71
nomor dan tanggal dokumen) dalam Buku Harian Kapal. Selain
ketentuan penyerahan diatas, adapula pengaturan menurut KUHD pasal
352 : dalam waktu 48 jam setelah tiba dipelabuhan darurat atau
pelabuhan tujuan akhir, nahhoda wajib menyerahkan bukunya untuk di
tanda tangani sebagai bukti telah diperiksanya buku tersebut oleh
syahbandar.
Selain ketiga buku harian diatas, masih ada jurnal meteo jurnal minyak
dan lain-lain yang tidak ditentukan undang-undang namun dapat
dimanfaatkan kekuatan pembuktiannya berdasarkan pasal 1881
KUHPER tentang “register dan surat-surat rumah tangga yang perlu
diperhatikan oleh hakim”

Kisah Kapal
Kisal kapal adalah suatu akta otentik yang dibuat dihadapan syahbandar
atau konsul mengenai kejadian-kejadian selama pelayaran yang di
gunakan sebagai bahan pembuktian atas proses-proses kerusakan.
Kekuatan pembuktiannya adalah sama dengan Buku Harian Kapal.
Kisah kapal menegaskan bahwa pernyataan nakhoda adalah yang
sebenar-benarnya. Barang siapa yang dalam suatu proses meragukan isi
kisah kapal tersebut, harus dapat memberikan bukti penangkalannya
( = arti dari akta otentik).
Kisah kapal di buat dalam waktu 3 x 24 jam setelah kapal tiba
dipelabuhan, setidak-tidaknya kisah kapal sementara yang harus disusul
dalam waktu tiga puluh hari dengan Kisah Kapal Lengkap. Pembuatan
Kisah Kapal sementara biasanya dilakukan jika kapal mengalami
kerusakan dibawah pemukaan air yang memerlukan pembongkaran
muatan atau pengeringan Isi dari Kisah Kapal Sementara adalah sumir
( = tanpa detail ). Sedangkan Kisah Kapal Lengkap dapat melengkapi
Kisah Kapal sementara, tetapi tidak dibenarkan untuk mengadakan
perbaikan.

72
Isi dari Kisah Kapal
Penyusunan Kisah Kapal adalah berdasarkan catatan-catatan dalam buku
Harian Kapal yang di jabarkan lebih lanjut dalam Kisah Kapal. Misalnya
dicantumkan kapan dan dimana mengalami cuaca buruk, bagaiman
keadaan kapal dan tindakan-tindakan apa yang diambil untuk
menyelamatkan kapal dan muatan. Kegunaan dari Kisah Kapal adalah
dapat menunjukan sebab kerusakan dan dapat dibuktikan bahwa telah
diambilnya tindakan-tindakan untuk mencegah kerusakan atau kerugian.
Nakhoda perlu menambahkan bahwa ia telah melaksanakan segala
sesuatu untuk keselamatan barang yang diangkutnya sesuai pasal 468
KUHD.
Pembuatan Kisah Kapal dihadapan pejabat-pejabat luar negeri. Jika
setelah suatu peristiwa tubrukan atau adanya dugaan akan rusaknya
muatan, maka ada kemungkinan suatu proses dilakukan di luar negeri.
Untuk itu ada baiknya jika Nakhoda membuat Kisah Kapal dihadapan
pejabat yang berwenang. Karena masing –masing Negara mempunyai
hukumnya yang mengatur ini (Instasi yang menangani pembuatan
“Ship’s Note of Protest”, waktu pembuatan, bahasa dll ), maka hal
tersebut perlu diperhatikan .Kisah Kapal merupakan suatu perikatan
sepihak dan karenanya siapa yang membuat kisah kapal hanya akan
mengikat dirinya sendiri ( = hukum perikatan ).

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN PELAYANAN


Undang – undang pidana Indonesia tidak saja berlaku bagi orang yang
terlibat dalam tindak pidana di wilayah Indonesia yang sedang berlayar di
luar wilayah Indonesia ( pasal 3 KUHD ).
Kejahatan Pelayaran
Dalam Bab XXIX KUHP terdapat pasal – pasal :

73
438 - Pembajakan dilaut
Bekerja sebagai Nakhoda di kapal yang diketahuinya digunakan untuk
pembajakan, dihukum maksimal 15 tahun,
Bekerja sebagai Awak Kapal seperti diatas, dihukum maksimal 12
tahun.
444 - Jika perbuatan dalam ps. 438 berakibat matinya orang,
Nakhoda dan mereka yang turut berapa melakukannya, dihukum
mati, seumur hidup atau maksimal 20 tahun;
448 - Seorang pelayar kapal Indonesia merampas kapal itu dengan
melawan hukum , dihukum maksimal 7 tahun;
449 - Seorang Nakhoda Kapal Indonesia yang mencabut kapal itu dari
orang yang punya atau perusahaan kapal untuk kepentingan
sendiri, dihukum maksimal 8 tahun;
451 - Nakhoda kapal Indonesia yang menyuruh membuat Kisah Kapal
yang diketahuinya isinya tidak benar, dihukum mask. 5 tahun ;
Awak kapal yang membantu, dihukum maksimal 2 tahun 8 bulan ;
453 - NAkhoda yang setelah menerima awak kapal dan sebelum
habis perjanjian kerjanya dengan sengaja menghindarkan diri dari
pekerjaan kepemimpinan kapal, dihukum maksimal 2 tahun 8
bulan ;
454 - Awak kapal yang melarikan diri yang dapat membahayakan
kapal, pelayar dan muatan, dihukum mask 1 tahun 4 bulan
455 - Awak kapal yang melakukan desersi biasa, tidak turut
berlayar walaupun telah membuat PKL, dihukum mask. 4 bulan 2
minggu ;
457 - Pidana ps. 454 dan 455 dapat dilipat dua, jika dua orang
atau lebih bersama-sama melakukan ;
458 - Pengusaha kapal atau Nakhoda yang menerima kerja awak
kapal yang diketahuinya belum lewat sebulan yang bersangkutan
terlibat dalam tindak pidana pasal 454 atau 455, dihukum mask, 4
bulan 2 minggu atau denda mask. Rp. 4500.00-

74
Perbuatan itu tidak dihukum jika awak kapal diterima diluar
Indonesia dengan izin konsul Indonesia ;
459 - Pelayaran kapal Indonesia yang menyerang Nakhoda atau
awak kapal yang dalam jabatannya menyerang orang yang lebih
tinggi pangkatnya,dihukum karena insubordinasi mask. 2 tahun 8
bulan ;
Jika perbuatan berakibat luka, dihukum mask. 4 tahun,
luka berat 8 tahun 6 bulan dan matinya orang 12 tahun ;
460 - Insubordinasi yang dilakukan bersekutu oleh dua orang atau
lebih karena maker ( mutiny ) dihukum mask. 7 tahun, jika
berakibat luka mask. 8 tahun 6 bulan, luka berat mask 12 tahun
dan jika berakibat matinya orang mask 15 tahun ;
461 - Barang siapa yang menghasut di kapal Indonesia, agar ada
maker dihukum mask. 6 tahun ;
462 - Jika dua orang atau lebih awak kapal Indonesia bersama-
sama menolak melaukan pekerjaannya, dihukm mask. 2 tahun 8
bulan ;
463 - Awak kapal Indonesia yang sesudah dikenakan hukuman
disipliner karena menolak bekerja, masih tetap menolak bekerja,
dihukm mask. 9 bulan,
464 - Pelayar yang dengan sengaja menolak perintah Nakhoda
yang diberikan untuk kepentingan keamanan atau ketertiban
diatas kapal, dihukm mask. 9 bulan atau denda mask. Rp 4.500,00-
Hal yang sama berlaku untuk pelayar yang tidak membantu
Nakhoda yang sedang dirampas orang kemerdekaannya serta
juga untuk berlayar yang mengetahui tentang adanya rencana
untuk melakukan insubordinasi ;
465 - Jika yang melakukan kejahatan pada pasal 448, 451,454,455
dan 459, 464 perangkat perwira kapal, hukuman dapat ditambah
sepertinya ;

75
467 - Nakhoda yang dengan melawan hokum mengubah haluan
kapal, dihukum mask. 4 tahun ;
468 - Nakhoda kapal Indonesia yang tidak karena terpaksa atau
yang melawan dengan hukum meninggalkan kapal ditengah
pelayaran dan menyuruh awak kapal untuk itu, dihukum mask. 5
tahun 6 bulan ;
Pasal-pasal lain dari Bab kajahatan pelayaran, meliputi perbuatan-
perbuatan Nakhoda pelayar dan orang-orang tertentu : membiarkan
kapal ditahan, tidak memberikan hak-hak pelayar yang wajib
diberikan, membuang muatan tidak karena terpaksa, merusak
muatan / perbekalan kapal, berlayar sebagai penumpang gelap,
memakai bendera Indonesia tanpa ada hak atasnya, dengan sengja
memakai tanda-tanda kapal Angkatan laut, melaksanakan tugas-
tugas Nakhoda / Mualim / Masinis yang sudah dicabut
wewenangnya, menolak membawa seorang terpidana dan dengan
sengaja tidak memberikan pertolongan jika kapalnya terlibat dalam
suatu tyubrukan ( pasal 358 a KUHD ).
Selain “ kejahatan pelayaran “ termuat secar khusus dalam Bab
XXIX, dalam Bab-bab lain terdapat pula kejahatan-kejahatan lain
yang berkaitan dengan kapal : Bab VII tentang “ kejahatan yang
membahayakan keselamatan umum untuk manusia dan barang “
Ps. 198 Barang siapa yang dengan sengaja dan
melawan hukum meneggelamkan / merusak kapal sampai tidak
dapat dipakai lagi, dihukum mask. 15 tahun jika mendatangkan
bahaya maut kepada orang lain ;
Ps. 199 Barang siapa oleh kesalahannya menyebabkan
kapal tenggelang / hancur, dihukum mask. 6 bulan dan jika
berakibatkan matinya orang, mask, 1 tahun 4 bulan

Pelanggaran Kapal
Sangsi untuk pelanggaran adalan denda dan kurangan.

76
Ps. 560 - Nakhoda yang memberangkatkan kapal tanpa Sijil
Kapal ;
Ps. 561 - Nakhoda yang tidak menyimpan di kapal surat-surat
kapal yang diisyaratkan oleh undang-undang ;
Ps. 562 - Nakhoda yang tidak menyelenggarakan Buku Harian
Kapal dan tidak menyerahkan pada waktu yang ditentukan, idem
untuk Daftar Hukum dan menolak permintaan pihak
berkepentingan untuk melihat Buku Harian Kapal ;
Ps. 563 - Nakhoda yang tidak membukukan kelahiran atau
kematian kapal yang terjadi selam kapal di laut ;
Ps. 564 - Nakhoda atau awak kapal yang tidak memperhatikan
ketentuan untuk mencegah tubrukan kapal ;
Ps. 466 - Nakhoda yang tidak membawa pulang pelaut WNI ;
Ps. 567 - Nakhoda yang mempekerjakan orang tanpa PKL /
disijil ;
Ps. 568 - arang siapa yang melanggar ketentuan KUHD dalam
penadatanganan konosemen.

ADMINITRASI MUATAN
A. Hukum Pengangkutan di Laut
Hukum pengangkutan di laut adalah hukum yang mengatur tentang
penyelenggaraan pengangkutan barang dan / atau orang menyeberangi
lautan. Hukum laut yang bersifat perdata ini masih menggunakan
peraturan-peraturan dalam Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum
Dagang.
Khusus mengenai pengangkutan termuat dalam :
- Bab Kelima A ( ps. 466 s/d ps. 520 ) : pengangkutan barang ;
- Bab Kelima B ( ps. 521 s/d ps. 533 ) : pengangkutan orang ;
Untuk pelayaran keluar negeri perusahaan-perusahaan pelayaran harus
pula menggunakan konvensi-konvensi yang berlaku di dunia internasional
yang dalam hal-hal tertentu pada prinsipnya berbeda dengan ketentuan-

77
ketentuan didalam di dalam KUHD Tujuan konvensi-konvensi
internasional tersebut pada hakekatnya adalah untuk penyeragaman
ketentuan-ketentuan yang menyangkut hukum angkutan laut.
- The Hague Rules
Sampai akhir abad ke-sembilan belas, perusahaan-perusahaan pelayaran
menikmati sepenuhnya kebebasan mengangkut melalui perlindungan diri
yang besar sekali. Menjelang akhir adad yang lalu para pemilik muatan
mulai mendapatkan proteksi dengan lahirnya Untied States Harter Act
1893. Sejumlah Negara menyusul kebijaksanaan Amerika Serikat dan
pada tahun 1924 menghasilkan konvensi internasional yang berhubungan
dengan peneyerangan ketentuan-ketentuan yang menyangkut konosomen
dan mengatur tiga pokok persoalan :
Tanggung – jawab pihak pengankut jika muatan rusak / hilang sewaktu
berada di bawah penguasaannya ;
Sejauh mana tanggung – jawab pihak pengangkut jika terjadi penyerahan
yang terlambat ;
Sampai dimana tanggung – jawab pihak pengangkut atas penjabaran
muatan dalam konosomen
- The Protocol of1968 ( The Hague – visby Rules )
Dengan adanya perkembangan baru melalui peti kemas dan pengaruh
inflasi, sebagai dari HR disempurnakan yang menghasilkan Hsgue – Visby
Rules 1986 ( Visby adalah sebuah tempat di Swedia ).
- The Hamburg Rules
Konvensi Hamburg 1978 ini dimaksudkan sebagai pengganti The Hague
Rules 1924. yang memiliki beberapa perbedaan prinsipiil dalam azas
pertanggung –jawab pihak Pengangkut HR hanya berlaku di lautan bebasa
( high seas ). Jika sesudah perusahaan pelayaran memperlakukan HR
dalam konosomennya maka tanggung –jawabnya adalah selama “ froni
end of tackle to and of tackle “ sejak saat diangkat dari dermaga ke kapal
sampai saat diturunkan ke dermaga. Diluar jangka waktu itu barang
dilindungi undang-undang hukum Negara yang bersangkutan : di

78
pelabuhan Indonesia berlaku peraturan KUHD. Sedangakan menurut HR
yang tergolong barang adalah segala jenis barang, kecuali binatang hidup
dan muatan geladak. Adapun tentang muatan berbahaya yang
menimbulkan bahaya, pihak pengangkut dapat membongkar /
menghancurkan / menjadi tidak berbahaya tanpa penggantian rugi,
apapun. KUHD membenarkan pemberlakuan HR untuk barang-barang
yang dimaksudkan ke wilayah Indonesia melalui pasal 517 c : “…. Begitu
pasal-pasal ini berlaku terhadap setiap pengangkutan melalui lautan ke
semua pelabuhan Indonesia dengan kekecualian bahwa ayat ( 1 ) pasal 470
dan ayat ( 2 ) pasal 470a tidak dipakai sekedar janji-janjidan persetujuan –
persetujuan yang dimaksudkan disitu “ adalah sah menurut undang-
undang dari Negara dimana barang-barang tersebut telah dimuat dalam
kapal “ Adapun dari The Hague Rules. Dari syarat utama ( Paramount
Clause ) dalam konosomen dapat diketahui, hukum mana yang berlaku :
- The Hague Rules 1924, The Hagues – Visby Rules 1968 ;
- Indonesia kitab undang-undang Hukum Dagang ;
- Inggris, Carriage of Goods by Sea Act 1924 / 1971 ;
- Amerika Serikat, Carriage of Goods by Sea Act 1936 ;
COGGSA 1971 dari Inggris adalah contoh hukum Negara yang
disesuaikan dengan moderninasi hukum pengangkutan laut melalui
penampungan Protocol 1968 ( HR yang disempurnakan ), antara lain :
Berlaku untuk penagapalan yang menggunakan konosomen maupun “ tiap
tanda bukti hak milik “ ( any similar documents of title ) sehingga
penerimaan peti kemas tercakup didalamnya ;
Rincian tanggung – jawab dalam angkutan peti kemas ;
Pembatasan tanggung - jawab pengangkut ;
COGGSA 1971 dari Inggris memberikan bentuk kekuatan hukum kepada
The Hague Rules yang disempurnakan, menggantikan bentuk persyaratan
kontraktual.

B. Tanggung – jawab Pengangkut

79
Kewajiban Pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan dan
menjaga keselamatan barang / orang yang diangkut sejak saat
diserahkannya barang kepada penerima. Dari kewajiban ini timbul
tanggung jawab pada pengangkut yang meliputi hal-hal yang merugikan
pengirim atau penerima. Hal mana berarti bahwa Pengangkut
berkewajiban menanggung segal kerugian yang menimpa pihak pengirim
selama jangka waktu pengangkutan ( pasal 468 ayat 2 KUHD ), kecuali
jika kerugian itu disebabkan force mejeure yang harus dibuktikan oleh
Pengangkut ( ! ). Dalam pasal 3 ayat 468 ditetapkan bahwa Pengangkut
bertanggung – jawab atas perbuatan orang – orang yang dipekerjakan
dalam pengangkutan dan juga atas peralatan yang digunakan untuk
keperluan pengangkutan ( barang rusak atau hilang ).
Untuk barang-barang berharga seperti : ekas , perak,intan,berlian dan
sebagainya, pihak Pengangkut hany bertanggung - jawab apabila sifat dan
harga dari barang diberitahukan terlebih dahulu kepadanya ( pasal 496
KUHD ). KUHD melalui pasal 470 mengatur pembebasan tanggung –
jawab pihak Pengangkut atas kerusakan / kehilangan barang. Mengingat
banyaknya bahaya yang mengancam kapal dan muatan di laut dan
dokumen pengangkutan yang diterbitkan oleh Pengangkut merupakan
perjanjian uniteral, pihak Pengangkut yangb bertujuan mengurangi
tanggung – jawabnya yang tentu akan memberatkan pihak pengirim.
Isi pasal 470 KUHD seluruhnya adalah sebagai berikut :
Ayat 1 melarang Pengangkutan memperjanjikan tidak bertanggung- jawab
sama sekali atau hanya bertanggung –jawab sampai suatu batas harga
tertentu bagi kerugian yang disebabkan :
- Kurang diusahakannya pemeliharaan, perlengkapan dan
pengawakan kapal ;
- Kurang diusahakannya kemampuan kapal untuk melaksanakan
pengangkutan sesuai dengan perjanjian ;
- Salah memperlakukan atau kurang penjagaan terhadap barang yang
diangkut

80
Jika hal – hal tersebut masih dijanjikan, maka perjanjian adalah batal
( hukum mutlak / memaksa atau adwingned recht ! )
Ayat 2 memperbolehkan Pengangkut menjanjikan bahwa ia tidak akan
bertanggung – jawab lebih dari suatu jumlah tertentu untuk sepotong
barang yang diangkutnya, kecuali jika kepadanya telah diberitahukan
tentang sifat dan hargha nilai barang tersebut. Adapun jumlah tertentu itu
tidak boleh kurang dari Rp. 600,- ( berasal dari 600 gulden, sehingga
jumlah ini sudah banyak berobah ),
Ayat 3 memperbolehkan Pengangkutan menjanjikan, bahwa ia tidak akan
memberikan ganti rugi jika sifat dan harga berang dengan sengaja
diberitahukan secara keliru.
Pasal 470 KUHD tersebut bertujuan melindungi pengirim dan untuk
memperkuat ketentuan – ketentuan pasal 470a, maka ditambahkan pasal
470a, yang menentukan bahwa bagaimanapun tanggung – jawab
Pengangkut dibatasi dalam persetujuan Pengangkutan, pihaknya harus
selalu membuktikan bahwa ia sudah berusaha aecara pantas pemeliharaan,
perlengkapan , dan pengawakan kapalnya serta kapalnya sanggup
melakukan Pengangkutan sesuai perjanjian yang sudah diadakan, pasal ini
termasuk hukum memaksa, sehingga jika dilanggar perjanjian akan batal.
Pasal 471 KUHD menentukan, jika ada kesalahan / kelalaian pengangkut
atau orang yang dipekerjakan nya , maka pihak pengangkut tidak dapat
membebaskan tanggung – jawabnya, kecuali jika secara tegas
diperjanjikan sebaliknya. Karena pasal ini
termasuk hokum pelengkap : Pengangkut leluasa memperjanjikan
penyimpangan dari ketentuan – ketentuan pasal 471.
Tanggung – jawab Pengangkut lain menurut KUHD adlah terhadap
kerugian pemilik barang yang menderita karena keterlambatan
penyerahan barang kepada pihak penerma, kecuali jika keterlambatan itu
disebabkan keadaan force majeure ( kapal penyimpang dari haluan karena
badai / topan, menolong orang dalam bahaya, menyinggahi pelabuhan
untuk keperluan dokter dll ), ketentuan ini diatur dalam pasal 477 :

81
- Pasal 472 s/d pasal 476, dibebankan kepada Pengangkut ;
- Pasal 478 dan pasal 479, hak Pengangkut.
Pasal 470 KUHD merupakan ketentuan KUHD yang menyesuaikan diri
dengan The Hague Rules.
Pasal II. Membebankan kepada Pengangkut kewajiban dan tanggung –
jawab mengenai pemuatan, pelayanan, pemadatan, pengangkut,
penyimpanan dan pembongkaran serta memberikan sejumlah hak dan
kebebanan.
Pasal III ayat I menetapkan Pengangkutan sebelum dan pada waktu
dimulai pelayaran, melaksanakan dengan sewajarnya :
(1) Menjadikan kapal lait laut ;
(2) Mengawali, melengkapi dan membekali kapal dengan
cukup ;
(3) Mempersiapkan ruang-ruangan mualatan, keluar kamar es
dan kamar dingin, dan semua bagian kapal tempat dapat diterima, diangkut
dan disimpan dengan baik dan aman.
Pelaksanaan yang wajar atau due diligence adalah suatu yang mengingat
pihak Pengangkut dalam masalah pengangkutan muatan dan perlakuan
atas barang-barang Pada pasal IV HR disebutkan sejumlah peristiwa yang
membebaskan Pengangkut dari tanggung – jawab atas kerusakan /
kekurangan / kerugian atas berang-barang yang diangkutnya Agar
Pengangkut dapat menikmati pembebasan tanggung – jawab
(kebebalan ) tersebut, ia harus memenuhi kewajiban-kewajiban tentang
due diligence. Ketentuan tentang due diligence ini harus dibeca sabagai
lawannya pasal IV ayat I yang menetapkan behwa Pengangkut tidak
bertanggung – jawab atas kerugian / kerusakan “ akibat kapal tidak lait
laut kecuali disebabkan kurangnya perlakuan yang wajar dari pihak
Pengangkut “ untuk memenuhi persyaratan pasal III ayat I ;
Dalan melakukan tuntutan ganti rugi, pihak pemilik barang harus dapat
membuktikan kesalahan / kekurangan sempurna dalam pengamanan
muatan : kurang sempurnanya alat pelindung ( dunage aaaaaaa), pemakain

82
tali ( lashing ), pemadatan bergesekan, pemakaian ventilasi, kapasitas
Derek dan sebagainya. Pembuktian nama diperlukan, karena jika
Pengangkut telah melakukan due diligence mak Pengangkut tidak
bertanggung – jawab atas kerusakan barang akibat kapal tidak laik
( unseaworthness ) maupun akibat kesalahan navigasi dan pengelolaan
kapal ( management of the ship ).
Pasal III ayat 2, menetapkan Pengangkut wajib melakukan tingkat
kegiatan dan perbuatan yang wajar demi keselamatan dan keutuhan barang
;
Pasal II ayat 8, menetapkan bahwa setiap syarat atau perjanjian yang
membebaskan Pengangkut dari tanggung –jawab atas kerugian / kerusakan
barang, sebagai akibat kelalaian, kesalahan atau kekurangan dalam
memenuhi kewajiban / perjanjian sebagai mana dimaksud dalam pasal ini
maupun yang mengurangi tangguing – jawab tersebut selain dari yang
diatur dalam kovensi ini, dianggap tidak berlaku;
Pasal IV ayat5, mengatur tanggung- jawab meksimal Pengangkut atas
penggantian kerugian, yaitu maksimal £ 100,- tiap kali, kecuali staf dan
harga barang diberitahukan oleh pemilik barang kepada Pengangkut
sebelum dimuat ( melalui Protocol 1968, jumlah tersebut dirubah menjadi
10.000 poincare – franoper koli atau 30 poincare – franc per kilogram,
dimana poincare – franc adalah mata uang yang semu / artificial yang
ditentukan berdasarkan nilai berat emas dan nilai 10.000 franc adalah ±
US$ 850,- )
COSGA 1971 Inggris mengikuti ketentuan Protocol 1968, sedangkan
COSGA 1936 Amerika Serikat membatasi tanggung – jawab Pengangkut
$500,- per koli. Jika muatan mengalami kerusakan atau hilang dan
Pengangkut yang bertanggung – jawab, maka menurut pasal 4 ayat 5 HR,
ia berhak untuk membatasi tanggung – jawab itu. Dalam hal ini prinsipnya
adalah bahwa Pengangkut tidak akan “ in any event bo or become liable
for any loss or damage to or in connection with goods in an amount
exceeding £ 100 ,- per package or unit, or the equivalent of thar sum in

83
other currency “. Contoh : jika sebuah peti hilang / rusak, maka pemilik
barang harus membuktikan hal tersebut. Dalam hal kerugiannya £ 75,- ia
akan memperoleh penggantian penuh ( tidak melebihi £ 775 ), sedangkan
untuk kerugian diatas £ 100,-, ia hanya memperoleh £100,- tanpa
tambahan apapun karena £ 100,- merupakan maximum liability untuk satu
koli.
Terhadap pembatasan per kloli, dapat diadakan prngrndalian dalam hal-
hal berikut :
- Jika harga barang diberitahukan ( declared by the shipper )
dan dicntumkan dalam konosomen, maka pemilik barang berhak atas
penggantian berdasarkan declared calue Pemberitahuan dan pencantuman
harga dalam konosomen,membawa serta bahwa risiko yang dihadapi
Pengangkut lebih dan karenanya ia akan menuntut tarif yang lebih tinggi
( advalorem freight ) ;
- Jika disepekati bersama, pembatasan dapat dinaikkan, yang
biasanya disertai dengan permintaan uang tambang yang lebih tinggi ;
- Kerugian akibat kelalaian sendiri ( willful misconduct )
Berbagai masalah akibat penerapan pasal IV ayat 5 ini misalkan yang
menyangkut koli yang berharga ( mobil, traktor, lokomotof dll ) dan peti
kemas, melatar belakangi penyempurnaan / revisi The Hague Rules ke
dalam Protokol 1968 yang pada hekekatnya tidak merobah asas-asas
utama tanggung – jawab atas kerusakan / kerugian muatan Revisi sebagai
HR dimasukkan Protokol 1968 ( The Visby Rules ) dan mulai berlaku Juli
1977.

C. Kekebalan – Kekebalan Pengangkut


The Hargue Rules memuat sejumlah bahaya terhadap mana pihak
pengangkut mendapat perlindungan. Klausa proteksi yang lebih luas dari
yang dibenarkan HR adalah tidak sah. Pengirim dan penerima, setiap
pemegang konosomen atau yang orang yang membeli barang dari luar,
menyadari bahwa pihak Pengangkut tidak dapat melangkahi batasan –

84
batasan tertentu . tidaklah mungkin ia mengejutkan pihak – pihak pembeli
atau penjual, pengirim atau penerima dengan perlindungan dirinya
terhadap bahaya yang lain. Dalam pasal IV ayat 2 HR dirinci kerugian /
kerusakan yang tidak dapat dibedakan kepada tanggung – jawab
Pengangkut :
1. Tindakan , kelengahan atau kegagalan nakhoda , pelaut,
pandu atau orang-orangnya Pengangkut dalam hal navigasi atau
dalam pengelolaan kapal ;
Ketentuan ini mencakup semua sebab-sebab yang tidak tertampung ps.
3 ayat 1. Kekebalan yang diberiakn oleh HR hanya mengangkut segi
nagkutannya, sehingga tindakan, kelengahan atau kesalahan yang
terkena klausa ini terbatas pada keselamatan kapal saja dan bukanlah
pada pemuatan Sedangakan dengan “ orang-oranga “Pengangkut,
dimaksudkan mereka yang terlibat dalam pekerjaan bongkar-muat
kapal. Tenaga – tenaga yang melakukan pekerjaan yang biasanya
dilakukan oleh pemilik kapal atau orang dalam perusahaan, dianggap
sebagai orang-orang Pengangkut : tenaga ahli galangan, radar atau
kompas.

2. Kebakaran, kecuali disebabkan kesalahan atau tindakan-


tindakan nyata dari Pengangkut. Kerangka ketentuan ini sama seperti
diatas : Pengangkut dilindungi terhadap kelengahan ( negligence ) dan
jika kelengahan orang-orang ( servants ) tersebut adalh kegagalan
untuk menerapkan “” due diligence “, maka Pengangkut tidak dapat
menggunakan pasal IV ayat ayat 2 ( b). kebakaran merupakan bahaya
yang selalu dikecualikan ( excepted peril ) bagi kapal.

3. Bahaya,malapetaka atau kecelakaan laut atau perairan


pelayaran lainnya Dalam praktek, pengecualian ini adalah yang paling
penting. Bahaya laut terjadi secara kebetulan dan mempunyai cirri
kecelakaan melalui gerakan angin dan ombak yang luar biasa merusak

85
kapal. Walaupun sebuah kapal dibangun untuk dapat menangkal
gerakan biasa dari unsure-unsur ini, namun jika terjadi akan merupakn
suatu peristiswa luar biasa.

4. - 16 kejadian diluar kekuasaan manusia dst.


Ayat-ayat ini berisikan pengevcualian-pengecualian lam hal “ Act of
God “, act of war “, act of public enemies “, tindakan penahan oleh
Pemerintah, pembatasan karantina, tindakan / pealpaan dari
pengirim / pemilik barang, pemogokan, kerusakan, penyelamatan jiwa
/ barang di laut, susut isi / berat barang akibat cacat barang,
pengemasan yang tidak memnuhi, merkah-merkah yang tidak jelas.
Banyak dari ungkapan-ungkapan diatas cukup jelas .
Act of God : kecelakaan akibat kekuatan unsure-unsur di luat
kekuasaan manusia atau keadaan lain yang tidak mungkin diketahui /
dihindari sebelumnya (munculnya badai di luar musim )
Act of public enemies : tindakan orang di luar hukum ( bajak )
Tindakan penahanan pemerintah : pengmuman / Pemerintah
pemogokan dengan adanya keterangan “…oleh sebab apapun,…..”
Maka yang dimaksud disini adalah setiap pemogokan termasuk yang
diakibatkan oleh sengketa perburuhan yang tidak sejati ( berlainan
dengan ketentuan dalam Charter – Party yang menunjuk kepada suatu
sengketa yang dinyatakan ). Untuk mengurangi akibat yang dirugikan,
pihak pemilik kapal biasanya menggunaka klausa Cospiana (nama
kapal yang pernah mengalami keadaan tersebut ), membenarkan
pembongkaran muatan untuk pelabuhan dilanda mogok dialihkan ke “
any safe and conveiniet port “. Walaupun demikian klausa yang
mempunyai kekuatan hukum masih mengalami beberapa kesulitan
alam pelaksanaannya mengingat biaya-biaya yang tidak
diperhitungkan bagi pemegang konosomen.

86
menyelamatkan jiwa / barang di laut harus dikaitkan dengan ayat 4
tentang “ nay deviation in saving life “ tidak dianggap sebagai suatu
pelanggaran terhadap peraturan dan Pengangkut tidak bertanggung –
jawab atas kerugian / kerusakan yang diakibatkan karenanya
Kekebalan-kekebalan (3) – (16), juga dinamakan catalog disusul dan
diakhiri dengan sebuiah klausa umum

- 17.Setiap sebab lainnya yang terjadi diluar kesalahan dan


sepengetahuan Pengangkut atau agennya.
Keharusan pembuktian ada pada pihak yang akan memanfaatkan
kebebalan ini. Diperlukan interpretasi yang luas atas isi kebebalan ini
(17 ) yang diawali kata-kata khusus dan dikembangkan melaui kata-
kata umum (ejusdem generis ).

D. Dokumen –dokumen Muatan


1. Dokumen – dokumen yang ditetapkan ( pasal 347 KUHD ) : “
Nakhoda harus menyimpan di kapal : Surat Laut ……..Manifes
Muatan, Charterporty dan semua konosomen “.
Sedangkan dokumen-dokumen muatan yang tidak ditetapkan oleh
undang-undang, namun terdapat di kapal :
- Tally – book / sheet, catatan mengenai muatan yang dipadat di kapal
dilengkapi keterangan pelabuhan, merkah, nomer dan jumlah koli ;
- Resmi Mualim ( Mate’s Receipt )
Resmi sebagai bukti diterimanya barang tertentu di kapal ditanda –
tangani oleh mualim I setelah satu partai selesai dimuat dan semua
tallyslips diteliti. Mengingat bahwa tallysheets akan dijadikan dasar
untuk pembuatan konosomen, maka penting sekali untuk mencatat
segala penyimpangan yang terjadi ( misalkan : 20 bags in dispute, 2
drums leaking, all drums second hand ).

87
Serang pengirim barang yang telah memsan ruang ( booking ) dan
kemudian menerima dari perusahaan pelayaran dokumen Resi
Mualim, dapat mengartikan dokumen tersebut sebagai pengukuhan
pemesanannya. Resmi Mualim terdiri dari 2 bagian “ harap diterima
“ ( please receive ) dan “ Telah diterima “ ( reveiced ) dengan bagian
“ received “ pihak pengirim akan mendapatkan dokumen
konosemen.
Sampai saat penerbitan konosemen, maka Pengangkut biasanya
dapat menahan barang –barang berdasarkan persyaratan
konosemennya dan hal ini kadang-kadang dicantumkan secara
khusus dalam Resi Mualim. Dalam hal terjadi pengalihan pemilikan
barang sebelum konosemen diterbitkan, transaksi ini harus
disampaikan kepada Pengangkut. Resi Mualim bukanlah dokumen
bukti hak milik ( document of titlr ) sebagaimana konosemen,
sehingga pengalihannya tidak berarti pengalihan pemilikan
barangnya Walupun demikian Pemilik Kapal dapat mengeluarkan
konoisemen untuk setiap orang yang menyerahkan Resi Mualim,
kecuali jika diketahui bahwa orang tersebut tidak berhak atasnya.
Sekali kebiasaan perniagaan dapat membenarkan Resi Mualim
mempunyai kedudukan sebagai “ tangda bukti hak milik “ asalkan
dicantumkan nama penerima dan tidak ditandai “ tidak untuk
diperdagangkan “ (not negotiable ). Selama Resi Mualim belum
diserahkan kepada Pengangkut, konosemen tidak boleh diterbitkan
( R/M memblokir konosemen ). Konosemen yang dimaksud adalah
shipped atau on board B/L. untuk barang-barang yang diterima pihak
Pengangkut dan tidak langsung dimuat di kapal, melainkan di
simpan terlebih dahulu di gudang dikeluarkan Resi gudang ( dock
receipt atau wharfinger’s receipt ) yang karena keperluan-keperluan
perdagangan pihak pengirim, sudah memerlukan konosemen.
Dokumen yang diterbitkan siawali dengan kata-kata “received for
shipment “ yang karena pertimbangan waktu, dikirimkan kepada

88
penerima ( consignee ). Walaupun menurut beberapa keputusan
pengadilan Received B/L mempunyai kekutan hokum yang sama
dengan Shipped B/L, namun pihak perbankan yang meminjamkan
uang untuk pembiayaan penjualan c.i.f. ataupun f o p masyarakat
buku pengapalan barang dan karenanya tidak bersedia menerima
Received B/L.
- Surat Tongkang Boatnote )
Jika muatan di kapalkan melalui tongkang yang disandarkan pada
lambung kapal, maka biasanya dikeluarkan Surat Tongkang yang
mempunyai fungsi seperti Resi Mualim

- Pemeintah mendaratkan ( Landing Order )


Perintah mendaratkan merupakan perintah yang diujukan kepada
Nakhoda untuk membongkar sejumlah barang di pelabuhan yang
bukan pelabuhan tujuan semula. Hal mana terjadi jika barang yang
diangkut atas dasar :
i. On sailing terms, pada waktu dimuat
ke kapal, pihak pengirim ( penjual ) belum dapat membeli barang ;
ii. Di dalam konosemen disebutkan
lebih dari satu pelabuhan pembongkaran ( optie ).

Manifes kapal ( Ship’s Manifest )


Manifest adalah daftar dan semua barang yang ada di kapal untuk
diangkut ke suatu pelabuhan tujuan ( pembongkaran ). Untuk tiap
pelabuhan pembongkaran dibuat Manifes tersendiri. Data untuk
manifest dikutib dari semua konosemen yang bertujuan suatu
pelabuahan. Menurut tujuan pemakainnya, Manifes terdiri dari :
iii. Manifes uang tambang ( freight
maniofest ), berisi data-data uang tanbang, berat,ukuran koli dll ;

89
iv. Menifes pabean ( customs manifest ),
tidak memuat data-data uang tambang dan diperuntukan instansi-
instansi Pemerintah ( Bea Cukai, Pelabuhan dll.).

Konosemen (Bill of Lading )


Jika Pengusaha Kapal menyetujui untuk mengangkut barang dengan
imbakan sejumlah uang yang dibayarkan kepadanya, maka
persetujuan semacam itu merupakan perjanjian pengangkuatan
( contract of affreightment ). Pembuktian pengapalan barang tersebut
adalah suatu dokumen yang dikenal sebagai konosemen atau bill of
lading. Menurut pasal 506 KUHD, konosemen adalah “ akta
tertanggal dalam mana pihak Pengangkut menerangkan telah
menrima barang-barang tertentu untuk diangkut kesuatu tempat /
alamat tertentu untuk menyerahkan barang-barang tersebut
kepada seorang tertentu dengan disertai janji untuk
penyerahannya “ ( akta = surat yang ditanda-tangani, sengaja dibuat
untuk tanda bukti tentang adanya perbuatan tertentu ). Mengenai
konosemen itu diatur dalam kitab undang-undang Hukum Dagang
( sebanyak 13 pasal ) dan The Hargue Rules 1924. Ciri-ciri hukum
dari konosemen adalah sebagai dokumen dagang ( commercial
document ) dengan empat fungsi ;
KKK. Tanda bukti penerima ( receipt ), baik untuk Shipped B/L
maupun Received B/L selalu diperlukan sebagai bahan
pembuktian – pengakuan pihak Pengangkut bahwa barang telah
diterima dan telah berada dalam perwakilannya ;
LLL. Bukti persyaratan pengangkutan ( evidence of the terms of
the contrac of affreightment ) antara pihak pengangkut dengan
pengirim ( shipper ) dan sifat janji / kesanggupan untuk
mengangkut tercermin pada klausa “ Shipped onboard………
and to be discharged at the aforesaid port …….”, walaupun tidak
ada dokumen yang dibuat bersama, namun secara praktis

90
konosemen yang ditetapkan sepihak merupakan perjanjian
pengangkutan ( contract of transportation ) yang mengikat ;
MMM. Tanda bukti hak milik ( document of title ), konosemen
mempunyai sifat kebedaan dimana setiap pemegangnya berhak
menuntut penyerahan barang tersebut di kapal mana saja barang
itu berada ( pasal 510, KHUD ), dalam konosemen pihak
Pengangkut menyepakati untuk mengangkut barang ke
pelabuhan tertentu dan menyerahkannya bukan saja kepada
pengapal / pengirim., tetapi juga kepada “ shipper’s order “ atau
“ named consignee “ sehingga kedudukan konosemen adalah
mewakili barang – barang ( representative of the godds ), yaitu
dengan mengendors dan mengalihkan hak milik atas barang-
barang tersebut. Dalam transaksi perdangangan, dimana baik
pihak penjual maupun pembeli mempunyai kepentingan masing
– masing, kedudukan konosemen sangat menentukan dan dapat
mempengaruhi kreadibilitas Pengangkut ( barang dijadikan
jaminan konoisemen );
NNN. Sarana negosiasi ( negotiable instruments ), konosemen
sebagai surat berharga dapat diperjual-belikan ( pasal 508 KUHD
).

Jenis-jenis Konosemen
a. Menurut cara pengapalan
 Shipped/On board B/L : pihak pengiriman barang dapat
menuntut pihak pengangkut mengeluarkan konseumen
sebagai bukti bahwa barang-barangnya dengan
sesungguhnya telah di kapalkan dengan penegasan :

91
“Shipped in apparent good order and condition” sebagai
bukti penerimaan yang paling memuaskan.
Pihak Pengirim condong akan conosemen, jenis ini karena
selain adanya barang-barang telah ada diatas kapal, juga
sengketa mengenai hal ini dengan pihak perbankan maupun
pihak penerima dapat dihindari, sehingga memudahkan
penyelesaian finansil dari transaksi ekspot. Setiap
konosemen yang mencantumkan nama kapal, adalah suatu
Shipped B/L/
 Received (for Shipment) b/L : merupakan konosemen yang
dikeluarkan oleh pengangkut untuk barang-barang yang
telah diterima (Gudang, tongkang, dermaga), tetapi belum
dimuat di kapal, (berhubunga kapanya belum tiba).

b. Menurut Pihak yang Menerima Barang


 Konosemen atas nama / rekta atau Staight B/L : nama
penerima disebutkan didalamnya. Untuk perdangangan
jenis ini tidak banyak artinya karena sulit diperdagangkan.
Pengalihan hak melalui andosemen (cara penyerahan bagi
konosemen kepada orang lain melalui satu pernyataan
tertulis dan penyerahann pisik) tidak memungkinkan.
Penjualan barang yang menggunakan jenis konosemen ini
hanya dapa dengan cessi (pengalihan hak oleh penerima
barang dengan membuat akta tertulis) sebagai mana diatur
dalam pasal 613 ayat (1) dan (2) KUHPER. Barang-barang
yang menggunakan jenis konosemen ini : kantor kedutaan,
pindahan / pribadi dan barang-barang berharga.
 Konosemen kepada penggantinya (to the order of)
Konosemen ini identik dengan konosemen atas perintah
konosemen kepada pengganti terbagi dalam dua jenis :

92
1) Pihak yang berhak ditentukan dengan pencantuman
namannya disusul “atau pengganti”
2) Pihak yang berhak ditentukan dengan hanya
mencantumkan kata-kata “kepada pengganti” tanpa
nama
Dalam hal ini 1 orang yang disebut berhak menerima
barang, kecuali kalau ia mengalihkan hak-haknya
kepada orang lain.
Sedangkan untuk 2) pihak pengirimlah yang berhak
menerima barang, kecuali kalau ia mengalihkan hak-
haknya kepada orang lain konosemen kepada pengganti
(Order B/L) sangat cocok untuk perdangangan. Dengan
cara yang sederhana, barang dapat diperjual belikan
melalui andosemen hal mana dapay berlangsung selama
barang belum diserahkan, jadi juga selama
pengangkutannya yang juga dikenal dengan penjualan
selagi “berlayar” (sailing)
 Konosemen kepada pembawa ( to heater)
Jika konosemen diterbitkan “kepada pembawa” maka
pemegang konosemenlah yanga berhak menerima barang
untuk barang yang dijual “berlayar”, cukup dengan
menyerahkan konosemen dan andosemen tidak lagi
diperlukan. Walaupun demikian pada konosemen harus ada
“alamat pelaporan” dari pihak yang harus diberitahu
mengenai kedatangan barang, misalkan pihak perbankan.

Ada andosemen blanko yang hanya memerlukan tanda


tangan di balik lembaran konosemen tanpa penjelasan lain,
sudah dianggap cukup (pasal 508 KUHD). Dengan
pembubuhan tanda tangan pihak yang berhak, konosemen
kepada pengganti (order B/L) mendekati bentuk “kepada

93
pembawa” karena konosemen “kepada pengganti” dan
“kepada pembawa” mudah diserahkan kepada orang lain,
maka konosemen jenis ini mudah diperjual belikan. Hal
tersebut terakhir merupakan unsur mutlak bagi surat
berharga.
Jadi konosemen “kepada pengganti” dan “kepada
pembawa” mempunyai dua fungsi yaitu sebagai bukti
penerimaan barang yang diberikan Pengankut dan sebagai
surat berharga. Sedangkan konosemen “atas nama” harus
melalui prosedur cessi, sehingga jenis ini sukar diperjual
belikan.

c. Menurut pelabuhan tujuan


 Konosemen langsung (Direct B/L) meliputi pengapalan
dari pelabuhan muat dengan tujuan langsung pelabuhan
bongkar;
 Konosemen lanjut (Through B/L)
Suatu konosemen yang digunakan untuk barang yang
diangkut
beberapa kapal (Ist carrier – 2 nd carrier dst) melalui
beberapa pelabuhan (pantai – samudera)
 Konosemen Opti (Optional B/L)
Konosemen untuk pengangkutan barang yang pada waktu
bertolak belum dipastikan tujuan pelabuhannya.
 Konosemen gabungan (Groupage B/L)
Pihak pengangkut dapat mengatur pengirimab barang milik
beberapa pengiriman dan diperuntukan beberapa penerima
di satu pelabuhan tujuan, dalam satu pantai konosemen
yang dikeluarkan berupa “konosemen gabungan”
sedangkan dari pihak agen kapal menyerahkan kepada
masing-masing pengirim barang, sebuah bukti pengapalan “

94
sertifikat Pengapalan ( Certificate of Shipment), juga
dinamakan:
 Konosenem Bill of lading (Konosemen intern)
Dipelabuhan tujuan pihak agen kapal akan membongkar
kiriman dan menyampaikan kepada masing-masing
penerima. Cara pengangkutan ini semakin berkembang satu
dan lain hal karena angkutan peti kemas.
Terdapat beberapa keuntungan dalam menerapkan cara ini :
pengepakan berkurang, premi asuransi lebih rendah,
angkutan lebih cepat, berkurangnya kerusakan dan
pencurian dan biaya angkutan lebih rendah.

d. Menurut keutuhan barang


Sebuah konosemen biasanya mencantumkan keadaan muatan
diterima (received for Shipment in apparent good order and
condition) pihak Pengangkut harus menyerahkan barang dalam
keadaan yang sama.
 Konosemen bersih (Clean B/L)
Jika diatas penentuan keadaan diatas, pihak pengangkut tidak
menyanggahnya maka konosemen dianggap “ bersih” dan
pengangkut menerima tanggung jawabnya untuk muatan
sesuai undang-undang dan perjanjian pengangkutan. Jenis ini
yang diinginkan oleh dunia perbankan sehubungan dengan
penyelesaian finansiilnya. Namun jika catatan dari resi
mualim menyangkut kekurangan / kerusakan barang dan
ditampung dalam konosemen, maka konosemennya adalah :
 Konosemen kotir (Claused / foul B/L)
Jenis konosemen diterbitkan jika pada muatan terjadi
penyimpangan terhadap keutuhannya (inadequate packing,
damaged crates, cartons missing dsb).

95
Pihak pengirim barang jelas akan mendapatkan kesulitan
dengan pihak perbankan, sehubuang dengan jumlah uang
yang mestinya dapat ia peroleh sebagai uang panjar dari
pihak pertama. Untuk mengatasi ini piahk pengirim barang
yang akan meminta penerbitan konosemen yang bersih,
memberikan imbalan dalam bentuk Surat Jaminan atau Letter
of Indemnity.
Melalui Surat Jaminan ini pihak pengirim barang
menyanggupkan untuk mengganti kerugian (indemnity),
pihak pengangkut terhadap kerugian akibat diterbitkannya
Clean B/L

e. Menurut kepentingan perdagangan


 Konosemen untuk diperdagangkan (Negotiable B/L)
Konosemen yang melalui cara pengesahan (andosemen)
memindahkan ./ mengalihkan hak atas barang yang tercantum
didalamnya. Selain itu jika ada kata-kata “or his their
assigns” dengan beberapa variasi dala peristilahan seperti
kata “bearer” atau nama pihak lain.
 Konosemen yang tidak diperdagangkan
(Non – Nego tiable B/L)
Jenis konosemen ini hanya memiliki arti administrative dan
untuk itu ditandai sesuai kepentingannya (Captain’s copy,
copy not negotiable, non-valid dst) sebagai mana diketahui
(halaman 62) Nahkodan harus menyimpan di kapal
konosemen-konosemen (ataupun turunan-turunannya).
Konosemen yang diperdagangkan jarang disimpan di kapal,
baru dititipkan pada kapal jika ada kekhawatiran akan
keterlambatan tibanya dipelabuhan pembongkaran yang
membawa akibat-akibat biaya-biaya tambahan untuk sewa

96
gudang dan lain-lain. Konosemen yang tiba di pelabuhan
setelah barang disebut “ Stale bill of lading (konosemen
usang)
Konosemen yang tidak dapat diperdagangkan dari jenis
khusus dan ditandai sesuai dengan itu adalah :
 Pro forma B/L
Dikeluarkan untuk barang-barang yang sebelumnya sudah
memiliki lembarang yang dapat diperdagangkan atau untuk
barang-barang yang diperuntukan perdagangan.
Contoh : Pengiriman barang yang tertinggal / kurang , dengan
kapal lain atau barang yang di bongkar dipelabuhan lain
dikembalikan ke pelabuhan tujuan semula.

f. Menurut moda transport yang berlainan


 Konosenen angkutan gabungan (Combined transport B/L)
Jenis konosenem ini dikeluarkan untuk barang-barang yang
dipergunakan dua atau lebih sarana angkutan : truk, kapal,
kereta api.

2. Penerbitan Konosemen
Apabila pemilik barang mempunyai suatu transaksi perdangan dan
karenanya memerlukan sarana angkutan, maka yang bersangkutan
akan menghubungi pengangkut dan dalam hal telah tercapai suatu
kesepakatan yang menyangkut jumlah yang diangkut. Waktu
pengapalan, uang tambang dll, maka kesepakatan itu dirumuskan
secara tertulis yang disebut Nota pendaftaran atau Rooking Note.
Walaupun booking note tersebut bukan suatu kontrak yang mengikat,
perkembangnnya akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penggunaannya
semakin bertambah banyak. Lalu linta kapal-kapal peti kemas dengan
kesepatannya yang tinggi di laut utara dan bahkan di samudera mana

97
perlu diikuti, namun, “system konvensional” menurut undang-undang
secara formal tetap masih berlaku.

a. Pihak yang berhak menerbitkan konosemen


Pasal 504 KUHD menetapkan yang berhak menerbitkan
konosemen adalah pengangkutan dan pasal 505 KUHD
menyebutkan bahwa Nahkoda juga berhak menerbitkannya.
Pada umumnya perusahaan pelayaran merupakan badan hukum,
sehingga penerbitan konosemen oleh pihak perwakilan perusahaan
pelayaran memenuhi persyaratan undang-undang. Kewenangan
kepada nahkida perlu juga dilihat dari kewajiban umum nahkoda
yang mewakili pengusaha kapal.

b. Lembaran-lembarang konosemen
Menurut pasal 507 KUHD, konosemen diterbitkan dalam dua
lembar yang dapat di perdagangkan dan beberapa lembar untuk
keperluan administrasi. Untuk konosemen yang dapat
diperdagangkan, kecuali ada perjanjian khusus pengangkut tidak
berkewajiban untuk menerbitkan lebih dari dua lembar.
Kebiasaan angkutan barang pada pelayaran internasional, adalah
penerbitan dalam jumlah tiga atau empat lembar : satu ditahan oleh
nahkoda dan dua untuk pihak penerima (pihak pembeli barang atau
alamat penerima barang lain). Melalui prosedur andosemen dan
penyerahan konosemen kepada setiap pembeli lain (sub-buyer),
maka yang terakhirlah yang bertindak sebagai penerima.
Pada tiap lembar aselit, pengangkut wajib menyebutkan jumlah
yang diterbitkan sehingga pada pemegang konosemen mengetahui
berapa lembar yang diperdagangkan jika salah satu diantaranya
telah digunakan oleh pemegangnya untuk memperoleh barang
yang tercantum didalam konosemen asli lainnya (yang 2 lembar
lagi) tidak dapat dipergunakan untuk memperoleh barang dari

98
pengangkut. Karena untuk konosemen jenis ini berlaku
ketentuan”semua untuk satu” artinya untuk semua lembar
konosemen, hanya satu kali saja dapat dimintakan penyerahan
barang dan ketentuan “satu untuk semua” yang berarti jika
pengangkut atas dasar satu lembar konosemen telah menyerahkan
barang, ia dianggap telah menunaikan kewajibannya (one being
accomplished the order stand void)

3. Penyerahan Barang
Pemegang konosemen (penerima) berhak atas barang sebagaimana
tercatat dalam konosemen. Untuk dapat menerima barang tersebut
pihak penerima harus menyerahkan konosemen.
Dalam hal barang yang diangkut oleh kapal telah tiba dipelabuhan
tujuan, tetapi konosemen asli belum diterima oleh pihak peberima,
maka Pengangkut bersedia menyerahkan barang jika dari pihak
penerima memberikan jaminan berupa :
- Garansi bank (bank guarantee) sebagai pengganti Order B/L
- Garansi pribadi (personal guarantee) untuk Straigt B/L
Adalah pihak pengangkut sendiri yang menentukan dapat / tidaknya
jaminan bank diterima, kendati dalam praktek bank turut menanda
tangani surat jaminan tersebut, sehingga jika timbul kesulitan pihak
bank dapat dituntut oleh pengangkut.
Selain itu masih ada juga pertimbangan agar menghindari segera
terlepas dari tanggung jawab Pengangkut serta untuk menghindari
kongesti.
Sedangkan mengenai garansi pribadi tidak akan menghadapi kesulitan
karena hanya penerima barang yang namanya tercantum didalam
konosemen yang berhak menerima barang dari pengangkut. Dokumen
penyerahan D/O (Delivery Order) diberikan oleh pengangkut kepada
penerima barang menggantikan konosemen asli. Jika kantor agen
sedang tutup maka dapat digunakan tindasan nahkoda ( Captain’s

99
Copy) dengan distempel :fiat penyerahan”. Selama konosemen asli
belum diserahkan, maka D/O tidak boleh dkeluarkan (masih dalam
peredaran atau mungkin masih di perjual-belikan) konosemen dalam
peredaran memblokir D/O.

4. Keterikatan pemilik barang


Konosemen merupakan surat perjanjian pengakutan antara tiga pihak,
yaitu antara :
Pengirim (Shipper) – Pengangkut (Carrier) – Penerima (Consignee)
walaupun ada tiga pihak yang terlibat dalam perjanjian, konosemen
tergolong dalam perjanjian uniteral karena hanya pengangkut yang
menentukan syarat-syarat perjanjian tetapi mengikat pihak-pihak lain.
Didalam konosemen tercantum Clause Cassatoria yang berbunyi
sebagai berikut “dengan menerima konosemen ini pihak pengirim dan
pihak penerima barang menyetakan tundu kepada syarat-syarat,
pengecualian-pengecualian dan ketentuan-ketentuan yang ditulis,
dicetak dan di cap didalam muka atau halaman belakang konosemen
“dari ketiga pihak yang terlibat, hanyalah pihak pengangkut yang
tetap, sedangkan pihak pengirim dan pihak penerima berganti-ganti.
Sebagai perjanjian uniteral hanyalah pengangkut yang menandatangani
konosemen, sedangkan pihak-pihak lain hanya menyatakan tunduk
kepada syarat-syarat dalam konosemen dengan cara menerima
konosemen tersebut, pernyataan kedua pihak lainnya itu adalah karena
memerlukan jasa Pengangkut untuk pengiriman barang-barangnya
untuk kepelabuhan tujuan. Dalam beberapa hal Clause Cassatoria
dapat berbunyi lebih tajam “In accepting this bill of lading, ……., any
local customs or privileges ti the contary notwithstanding “ yang
berarti bahwa sekalipun ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam
konosemen tersebut bertentangan dengan kebiasaan dan kelaziman
local, pengiriman dan penerimaan barang atau pemilik barang tetap
terikat kepada ketentuan-ketentuan tersebut.

100
E. Dokumen-dokumen sebagai persyaratan pembukaan L/C
- Faktur pernjualan (Commercial invoice), dibuat oleh pihak penjual
denga rincian barang, harga, ukuran dll.
- Lisensi Ekspor (Export license)
- Daftar pengemasan (Packing list);
- Sertifikat asal (Certificate of origin), diterbitkan oleh kadin;
- Sertifikat pembuatan (Certificate of loading), jaminan untuk pembeli,
bahwa barang telah dimuat;
- Polisi asuransi;
- Sertifikat pemeriksaan (certificate of inspection), dibuat oleh
Independent Surveyor sebagai jaminan atas kwalitas, keadaan, jumlah,
pengemasan dan ukuran- jaminan mana tidak diberikan oleh pihak
pengangkut.

F. Tarif Uang Tambang


1. Teori tarif uang tambang
Uang tambang merupakan imbalan yang dibayarkan kepada pihak
pengangkut untuk pengangkut dan tibanya barang dalam keadaan yang
dibenarkan, siap untu diserahkan kepada pihak padagang. Penentuan
harga dari jasa kapal, sebagaimana penentuan harga-harga lainnya
tergantung dari unsur-unsur pengadaan dan permintaan dan mungkin
lebih rumit. Dari segi model angkutannya, permintaan akan angkutan
laut bersumber dari permintaan akan barang yang dimuat, sehingga
akan dipengaruhi oleh kekenyalan (elasticity) permintaan akan barang-
barang ini. Kebutuhan ini juga tidak lepas dari pengaruh persaingan
langsung antar sesame pengangkut dan pada rute-rute tertentu bahkan
juga pengaruh persaingan angkutan udara serta pada pelayaran pantai
dari angkutan darat. Struktur pertarifan untuk kapal yang berlayar
bebas (tramp) ditentukan oleh keadaan persaingan yang sehat,
produksi yang menyesuaikan dengan keinginan pihak pemakai serta

101
harganya sendiri tidak banyak menyimpang dari harga keseluruhan
rata-rata.
Dalam palayaran teratur (linier trade) para pemilik kapal membawahi
perusahaan-perusahaan yang relative besar, dimana lebih mudah untuk
menentukan tarifnya, Karena tarif pelayaran teratur lebih stabil, maka
bagi para pedagang akan lebih muda menentukan harga barang
(termasuk uang tambang)
Biasanya tarif uang tambang berdasarkan berat ( 1 ton = 2.240 lbs/
1.016 kg) atau ukuran / measurement ( 1 ton = 40 ft3).
Memperlakukan cara mana, merupakan soal pembiayaan : muatan
berukuran kurang dari 40 ft3 per ton-weight, dikenakan tarif berat –
sedangkan muatan berukuran kurang dari 40ft3 atau lebih per ton
weight., dikenakan tariff ukuran isi (measurement cargo). Dengan
perkembangan system metric, tarif uang tambang sudah banyak
ditetapkan berdasarkan 1.000 kilo gram atau meter kubik (35 ft 3).
Untuk jelasnya : muatan ringan diperhitungkan menurut ukuran isinya
dan muatan berat menurut akuran beratnya. Selain berat dan ukuran isi
barang, maka harga dari barang juga digunakan untu menentukan
besarnya uang tambang.
- Ad Valorem Freight, diperhitungkan jumlah prosentase tertentu
dari harga barang (barang-barang mahal);
- Advance Freight, pembayaran dimuka sebelum penyerahan barang
berlangsung (bukan sebagai uang panjar yang bersifat pinjam !). bentu
freight ini merupakan yang paling penting dan harus diatur dalam
klausa konosemen. Jika kapal tenggelam atau mengalami total loss,
pemilik barang tidak dapat memperoleh pengembaliannya dan dalam
hal freight ini belum diterima pengangkutan sebelum terjadinya suatu
musibah, ia dapat menuntut pemilik barang;
- Back Freight, dibayarkan kepada pengangkut untuk muatan yang
terpaksa diangkut kembali karena di pelabuhan tujuan tidak jadi di
bongkar (ditolak)

102
- Collect Freight, dibayar di pelabuhan bongkar setelah
diperhitungkan biaya-biaya lain (pembongkaran);
- Distence Freight, kenaikan freight karena pengalihan pelabuhan
bongkar akibat tertutupnya oleh es;
- Earned Freight (juga dikenal dengan guaranteed freight), jaminan
untuk Pengangkut bahwa sekalipun barang hilang atau tidak sampai di
pelabuhan tujuan, freight wajib dibayar oleh pemilik barang ( “freight
to be paid, cargo lost not lost”);
- Freight at risk, jika fright tidak diterima dipelabuhan tujuan,
misalkan Karena penerima barang tidak datang mengambil barang dan
tidak mau membayar freight, maka pengangkut dapat menggadaikan
barang-barang tersebut;
- Gross Fright, merupakan jumlah freight tanpa potongan premi
asuransi, bunga, komisi serta biaya navigasi (navigation charges and
dues);
- Lump Sum Freight, adalah jumlah yang disepakati untuk
mengangkut barang yang tidak dadasarkan pada kwitansinya
melainkan menurut kubikase kapal yang ditawarkan. Jika terjadi
penyerahan bawang dibawah jumlah yang dianggkut (disput) maka
pihak penerima barang hanya dapat menuntut harga dari barang dan
bukan freight yang tidak diperhitungkan;
- Prepaid Freight, dibayar dipelabuhan pemuatan pada waktu
barang diterima atau pada waktu konosemen ditanda-tangani oleh
pengangkut (freight payable at departure port);
- Pro-rata freight, muncul kalau kapal dalam perjalanan sebelum
tiba di pelabuhan tujuan mengalami keadaan yang tidak
memungkinkan perjalanan di lanjutkan;.

103
XV. CHARTER
A. Pencharteran Kapal Menurut KUHD
Pengaturan charter kapal dalam hukum Indonesia terdapat pada Bab V
Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Dagang. Adapun yang dimaksud
dengan pencharteran kapal adalah pemakaian/ pengoperasian kapal milik
orang lain yang sudah dilengkapi awak kapal beserta peralatannya dengan
imbalan bayaran.
Penyewaan kapal tanpa awak kapal, berasal dari hukum asing, yang dalam
hukum Indonesia dapat disamakan dengan istilah “menyewa” kapal untuk
mana pengaturannya terdapat pada Bab VII Buku III Kitab Undang –
Undang Hukum Perdata.
Pasal 454 KUHD membagi pencharteran kapal dalam :
- Charter menurut waktu;
- Charter menurut perjalanan;
Pasal 454 KUHD adalah mengenai akta persetujuan charter yang
dinamakan charter – party, jika dikehendaki masing-masing pihak. Pasal
455 KUHD adalah mengenai pihak perantara (broker). Pasal 458 KUHD
adalah mengenai pemutusan persetujuan (cancelling date) pada pihak
pencharteran. Pasal 459 KUHD mengatur tentang hak pihak pecharteran
untuk mengadakan pemeriksaan akhli sebelum pemakaian kapal. Pasal
460 KUHD membebani pemilik kapal kewajiban untuk menyiapkan kapal
menjadi laik laut dan tanggung-jawabnya atas kerugian pencharteran
sebagai akibat tidak laik lautnya kapal. Pasal 462, 463 dan 464 KUHD
mengatur mengenai berakhirnya masa pencharteran kapal dan sebab-
sebabnya.
Pasal 460 – 465 dan 518h – 520f berisikan ketentuan-ketentuan tentang
charter menurut perjalanan.
Pasal 518 – 618g KUHD menyangkut charter menurut waktu.
Beberapa pokok dalam pencharteran menurut waktu ;
- Pihak pencharter berhak mencharter kembali kapal kepada pihak
ketiga ( bertindak sebagai disponent owner) ;

104
- Penggunaan ruang sisa (oleh pihak pemilik kapal) hanya
dibenarkan seijin pencharteran ;
- Dalam hal penerimaan, pengangkutan muatan maka, Nakhoda harus
mentaati perintah-perintah pencharteran ;
- Pencharteran tidak boleh melayarkan kapal ke tempat yang tidak dapat
dimasuki kapal dan berlabuh tidak aman ;
- Perhitungan yang diadakan jika terdapat perbedaan daya muat menurut
charter – party dengan kenyataannya ;
- Pemberlakuan KUHD (termasuk perjanjian yang diadakan di luar
negeri), kecuali ada persetujuan lain.

Beberapa pokok dalam charter menurut perjalannya :


- Pihak pencharter tidak boleh mengadakan perjanjian charter menurut
perjalanan dengan pihak ketiga, kecuali dalam charter – party kepadanya
diberikan hak untuk itu ;
- Penggunaan ruang kapal yang tersisa ;
- Tanggung-jawab pemilik kapal atas daya muat yang lebih besar
dibandingkan yang tercatat dlam charter – party ;
- Pelabuhan bongkar-muat yang aman ;
- Penyerahan barang yang akan dimuat ;
- Ketepatan waktu mengerjakan muatan oleh pihak pemilik kapal ;
- Cara membeirtahukan pihak pencharter tentang kesiapan kapal
menerima muatan ;
- Prosedur pemutusan persetujuan oleh pihak pencharteran yang
tidak mampu menyediakan muatan sebagaimana disepakati ;
- Ketentuan-ketentuan mengenai hari labuh, hari kelambatan, hari
kecepatan serta uang denda kelambatan dan bonus kecepatan ;
- Pembayaran ganti rugi untuk kurangnya muatan oleh pencharteran
kepada pemilik kapal ;
- Kewajiban pemilik kapal mengganti kerugian kepada pencharter
jika kapal tidak dapat melaksanakan pelayaran atau tidak dapat

105
digunakan “sejak permulaan”
- Penyerahan barang berdasarkan konosemen ;
- Pembayaran sewa kapal ;
- Gugurnya persetujuan karena tindakan pemerintah sebuah negara,
karena perang dan sebagainya ;
- Pemberlakuan KUHD, kecuali ada perjanjian lain.

B. Jenis – Jenis Perjanjian Charter


1. Bareboat Charter
Pemilik kapal menyewakan kapal untuk ketentuan, dimana pihak
pencharter bukan saja diberikan hak pengoperasian kapal, melainkan
juga diberikan tanggung-jawab mengawaki dan merawat kapal.
Sebagai ketentuan umum, berlaku beberapa persyaratan serta
tanggung-jawab yang diatur sebagai berikut :
- Tarif sewa didasarkan pada bobot mati musim panas (Summer
deadweight) dan dibayar tiap bulan dan diselesaikan melalui
pembayaran dimuka ;
- Pencharteran berhak menunjuk Nakhoda dan Awak kapal, namun
untuk Nakhoda dan Kepala Kamar Mesin dengan persetujuan
pihak pemilik kapal ;
- Pencharter diberikan penguasaan penuh atas kapal dan segala biaya
eksploitasi kapal, termasuk biaya reparasi survey kapal menjadi
bebannya ;
- Asuransi kapal menjadi beban milik kapal jika dicantumkan
syaratnya dalam perjanjian sewa-menyewa kapal ;
- Kapal digunakan untuk pelayanan yang sah (lawful trades) ;
- Tidak dibenarkan mengadakan perubahan-perubahan pada
bangunan kapal ;
- Oleh pihak pencharter tanpa persetujuan dari pihak pemilik kapal ;

106
- Penyerahan kembali pada akhir masa charter harus dalam keadaan
yang sama, dengan pengecualian keausan (wear and tear) yang
wajar.

2. Time Charter
Pemilik kapal memberikan kebebasan kepada pencharter untuk
menggunakan kapalnya selama jangka waktu tertentu. Biaya-biaya
yang menjadi tanggungan pemilik kapal. Awak kapal, reparasi,
minyak pelumas, survey, dan asuransi.
Tanggungan pencharter :
Biaya bahan bakar, bea-bea pelabuhan, bongkar-muat, air ketel (kapal
uap), air minum dan lain-lain biaya eksploitasi. Tarif charter
didasarkan waktu dan tiap ton bobot mati pada musim panas.

3. Voyage Charter
Jenis charter menurut jumlah pelayaran / perjalanan dan tarif sewa
dihitung dari banyaknya muatan yang diangkut sebagai mana
dijanjikan, sehingga sewa kapal tidak berbeda dengan uang tambang
(freight).
Jenis charter ini juga disebut deadweight charter.
Apakah ruang kapal digunakan seluruhnya atau sebagian, pencharteran
wajib membayar sewa kapal sebagaimana yang dijanjikan.

1. Bareboat charter : sebgai alternatif bagi mereeka yangdapat mengelola C.


Latar Belakang Pengadaan Charter-Party

kapal, namun tidak memiliki modal cukup untuk membeli kapal ;


2.Time charter : menguasai kapal tanpa memilikinya atau mengoperasikan
kapal yang siap pakai ;
3.Voyage charter : pencharter memerlukan angkutan untuk memenuhi
volume tertentu, ketiadaan kapal pada jurusan tertentu dan freight lebih

107
murah.

D. Dokumen – Dokumen Baku


Charter – party merupakan suatu akta mengenai perjanjian sewa-menyewa
ruangan kapal, yang menjabarkan sejumlah persyaratan dan untuk
berbagai jenis angkutan terdapat dokumen-dokumen yang sudah
dibakukan (standarized form of document).
Demikian juga halnya dokumen untuk time charter berbeda dari dokumen
voyage charter.
Hal mana berlatar belakang pada tujuan perjanjiannya.

Ada beberapa lembaga maritime yang mengkhususkan diri dalam soal


pencharteran, antara lain:
-The Chamber of Shipping,
-The Baltic Exchange dan
-New York Produce Exchange.

Formulir-formulir dalam time charter merupakan dokumen-dokumen yang


telah mendapatkan persetujuan Charter of Shipping, adalah :
- The Baltic and Internasional Maritime Conference – Uniform Time
Charter (London) dengan nama singkatan / kode Baltime, yang
mengutamakan kepentingan para pemilik kapal ;
- Time Charter Government Form yang disetujui oleh The New York
Produce Echange (New York) dengan nama singkatan / Kode Produce
yang menyesuaikan diri dengan situasi perdagangan sehingga para
pedang cenderung memilih dokumen ini.

108
Formulir-formulir dalam voyage charter yang merupakan dokumen-
dokumen yang telah disetujui oleh Chamber of Shipping (Inggris) dan juga
oleh Internasional Meritime Conference, adalah :
- Uniform General Charter Party dengan nama kode Gencon, khusus
untuk pengangkutan general cargo ;
- Australia Grain Charter Party dengan nama kode Austral digunakan
untuk pengangkutan gandum dari Australia.

E. Syarat-Syarat Charter Party


Sejumlah persyaratan (clauses) ditetapkan untuk perjanjian charter :
- Nama kapal dari pihak-pihak yang mengikatkan
diri : pencharter dan pemilik kapal ;
- Nama kapal dan “warranty of seaworthiness” (janji kelaikan laut) dapat
berbentuk “good ship classed 100 Al at BKI”, yang penting adalah
bahwa kapal laik laut selama charter party berlaku ;
- Ukuran kapal, yang dijabarkan dalam tonase kapal (bersih / kotor) ;
- Pelabuhan bongkar-muat, yang tidak dierlukan untuk time charter,
namun sebagai pengganti harus mencantumkan tanggal penyerahan dan
tanggal penyerahan kembali (delivery & redelivery date) ;
- Muatan yang diangkut, yang dalam voyage charter dirinci bersama
jumlah yang akan diangkut, sedangkan untuk time chater tidak
diperlukan dan sebagai pengganti dimasukkan jarak pelayaran (radius of
trading) seperti “world-wide radius, ice – bound ports excepted” ;
- Posisi kapal, hanya untuk boyage charter melalui suatu pernyataan yang
tepat dan terinci, sesuai yang dikemudian hari dapat dituntut oleh
pencharter jika tidak benar, sedangkan untuk time charter diganti denga
tanggal dan tempat penyerahan ;
- Pembayaran, untuk voyage charter denganuang tambang berdasrkan
jumlah yang diangkut dan untuk time charter dengan sewa untuk jangka
waktu perjanjian ;
- Hari labuh dan cara perhitungannya, hanyu untuk voyage charter;

109
- Hari demurrage dan dispatch sert tarifnya, jika hari bongkar-muat
kurang dari yang ditetapkan, pemilik kapal membayar dispatch money
sebagai imbalan / hadiah untuk waktu yang diselamatkan, sedangkan
untuk hari bongkar-muat lebih demurrage dibayarkan kepada pemilik
kapal sebagai kompensasi untuk waktu hilang ;

- Brokerage clause, menentukan tarif untuk perantara ;


- Lien clause, memberikan kepada pemilik kapal hak menahan muatan
jika freight atau hire belum dibayar ;
- Act of god caluse, identik dengan clause yang tercantum dalam The
Hague Rules (konosemen) ;
- Exemptions from liability clause, mencakup sejumlah peristiwa dimana
pemilik kapal dan meminta pembebasan, seperti :
a.Barratry, tindakan penyelewengan nakhoda / awak kapal,
b.Capture and seizure, pengambil-alihan secara paksa dari kapal,
c.Restrain of princes, terganggunya pelayaran karena adanya
tindakan penguasaan seperti embargo, pembatasan muatan, dll,
d.Perils of the sea.
- Average clause, yang menentukan bahwa jika terjadi general average,
maka pembayaran dilakukan menurut York – Antwerp Rules ;
- Arbitration clause, menentukan ketentuan melaksanakan arbitrase jika
terjadi sengketa ;
- Penalty for non – fulfilment clause, menjabarkan jumlah yang harus
dibayar untuk penyimpangan dalam pelaksanaan perjanjian charter ;
- Sub – letting clause, jika terjadi sub – charter dalam charter party ;
- Deviation and salvage clause, pengaturan deviasi dan pertolongan.

Khusus untuk time charter clauses dimasukkan :


- Fuel and port charges, yang harus dibayar oleh pencharter ;
- Breakdown clause, juga disebut Off – hire clause (lihat hal. 79) ;
- Return of overpaid hire if vessels is lost ;

110
- Charter’s right to complain of master and chief engineer ;
- Charter’s obligation to provide master with full sailing directions;
- Banker clause, yang menentukan harga sisa bahan bakar menurut 2 cara
yaitu:
1. Cost price (harga beli) atau
2. Current price (harga pasar) ;
- Off – hire clause, merupakan salah satu syarat utama dalam time charter
dan adalah kebalikan dari kewajiban pencharteran untuk membayar
sewa.
Adalah kewajiban pencharter membayar sewa charter selama kurun
waktu charter.

Umumnya sewa charter didasarkan pada jumlah bobot mati kapal dan
dibayarkan dimuka :
* Untuk satu bulan penuh (Baltime) atau ;
* Untuk semi – bulanan (Produce), tetapi juga dengan cara ;
* Join venture dengan menggunakan “basic rate” (pembagian merata
jika pecharter menerima penghasilah lebih).

Persoalan yang timbul : apakah pencharter harus membayar sewa


untuk kurun waktu dimana kapal tidak melakukan tugasnya karena
mengalami hambatan (kerusakan mesin, kerusakan akibat tubrukan,
kandas atau karena ombak) ?

Sebagaimana diketahui, dunia pelayaran mengenal dua bentuk


perjanjian charter waktu yang banyak digunakan untuk muatan
kering :
1. Baltime dan
2.Produce.

111
Dokumen Baltime yang disusun oleh BIMCO lebih menguntungkan
bagi pihak pemilik kapal, dibandingkan dokumen Produce, rumus New
York Produce Exchange (lihat hal. 77).
Dalam dokumen Produce tercantum asas-asas tersebut melalui
ungkapan “That in the event or the loss of time from defiency of men
or stores, fire, breakdown or damages to hull, machinery or ……, the
payment of hire shall cease for the time thereby lost ; and if upon the
voyage the speed be reduced by defect in or breakdown of any part of
her hull, machinery or equipment, the time so lost, and cost of any
extra fuel consumed in consequence there of, and all extra expenses
shall be deducted from the hire”. Dengan demikian terganggunya
operasi kapal karena kerusakan, pihak pencharter tidak lagi
berkewajiban membayar sewa untuk waktu yang hilang.
Sedangkan dalam Baltime charter party diungkapkan:” ……
breakdown of machinery,damage to hull or other accident, either
hindering or preventing the working of the vessel and continuing for
more than twenty four consecutive hours, no hire to be paid in respect
of any time lost thereby during the period in which the vessel is unable
to perform the service…..”.
Salah perbedaan mengenai off – hire clause pada Produce dan Baltime,
menyangkut waktu yang hilang karena “kecelakaan muatan” 9 muatan
bergeser dan terancam akan jatuh ke laut ) yang memerlukan kapal
menyinggahi pelabuhan darurat untuk keperluan pemadatan kembali
( re stowage ). Menurut dokumen Produce : kapal terkena of – hire,
sedangkan menurut Baltime : beban adalah pada pencharter, yaitu
pihak pencharter tetap membayar sewa walaupun waktu yang hilang
itu disebabkan kecelakan tadi.
Daftar syarat-syarat ketiga merupakan syarat-syarat yang dapat
dimasukkan kedalam voyage charter :
- Lamination of liability clause, yang juga banyak dikenal sebagai
Casser clause yang mengatur bahwa tanggang-jawab pencharteran

112
berakhi pada saat barang-barang dimuat kedalam kapal serta
diselesaikannya tagihan-tagihan ;
- Dead Weight Aall Told (DWAT), dimaksudkan bahwa dalam
deadweight termasuk : muatan, bahan bakar dan perbekalan untuk
membedakan dari cargodeadweight ;
- Collect fregith, uang tambang dibayar di pelabuhan pembongkaran ;
- Full reach and burden, pencharter hanya dapat menggunakan ruang
muatan (termasuk geladak) untuk barang-barang yang akan diangkut ;
- Free alongside ship (fas), pencharter / pengirim barang membawa
barang-barangnya kesamping dekat lambung kapal sampai terkait pada
derek atas biayanya ;
- Free in and out, stowed and trimmed (fiost), biaya stuwador didalam
kapal untuk memadat dan meratakan menjadi beban pencharter ;
- Per like day, dimasukkan agar demurrage dihitung seperti demurrage
secra terus-menerus termasuk hari minggu/libur ;
- Laydays reversible, laydays di pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar
digabung perhitungannya ;
- Reporting day, hari mulai kapal melaporkan diri dimana Nakhoda
meyerahkan Notice of Readiness (NOR) beserta Certificate of
Delivery (C/D) kepada pencharter.

Penerbitan atas beberapa istilah hari :


* Ladays, pengertian hari untuk menyusun timesheet dan menentukan
demurrage dan dispatch ;
* Days, hari takwin yang lamanya 24 jam (0.00 – 24.00) ;
*Working days (WD), hari kerja diluar hari minggu/libur ;
* Running days, hari yang dihitung terus-menerus termasuk hari
minggu/libur, tidak dipersoalkan cuaca buruk ;
* Weather working days (WWD), hari bongkar-muat yang
dimungkinkan oleh cuaca ;
*Weather days of 24 consecutive hours Sunday and Holidays

113
excepted, hari bongkar-muat dalam 24 jam berturut-turut dan tidak
termasuk cuaca buruk serta pengecualian hari minggu/ llibur.

Pembuatan Timesheet
Tujuan dari pada penyusunan timesheet adalah untuk menentukan
demurrage / dispatch, mendapatkan gambaran perihal pemakaian
waktu tiap-tiap hari untuk pemuatan / bongkaran
Timesheet yang demikian disusun atas dasar waktu yang
sesungguhnya (actual time) yang dipergunakan (actual timesheet)
untuk tujuan Administrasi dan Analisa.
Adapun timesheet yang disusun untuk tujuan menentukan
demurrage/dispatch atas dasar time allowed tiap-tiap hari (allowed
timesheet), tujuan terakhirnya adalah untuk menentukan besarnya
demurrage/dispacth money.
Dengan membandingkan time allowed dengan actual time, maka
dapat diketahui apakah dialami demurrage atau dispatch :
 Actual time > time allowed, dialami demurrage ;
 Actual time < time allowed, dialami dispatch ;

Dalam pembuatan timesheet diperlukan data-data mengenai pekerjaan


dan keadaan lain yang dapat diperoleh dari :
- Kejadian yang sebenarnya, yaituj tibanya kapal penyodoran NOR dan
pekerjaan yang dilakukan (statemen of facts) ;
- Surat perjanjian charter dengan lampiran-lampiran (backletters)
Ikhtisar kejadian (statemen of facts) menyediakan data-data untuk
timesheet :
* tibanya kapal (setelah diserahkannya NOR),
* pekerjaan bongkar-muat yang dilakukan hingga selesai,
* mengenai waktu-waktu mesin derek macet dan hujan turun, dicatat
tanggal dan jamnya masing-masing dengan teliti, teratur dan
sistematis.

114
Kejadian-kejadian yang sebenarnya diatas dihubungkan dengan syarat-
syarat yang tercantum didalam surat perjanjian charter sehingga dapat
disusun time allowed untuk tiap hari.

Data-data untuk menyusun timesheet :


* tanggal/ jam kapal tiba di pelabuhan,
* didermagakan,
* diajukan NOR,
* banyaknya muatan,
* kecepatan bongkar muat,
* mulainya laydays dan jumlah,
* memulainya pekerjaan bongkar-muat,
* waktu macetnya mesin derek,
* waktu turunnya hujan dan
* tanggal/jam beberapa berakhirnya pekerjaan bongkar-muat.

Pada umumnya pencharteran, atau penerima barang/ wakilnya yang


penyusun timeshet yang tentunya diikuti dengan seksama oleh
Nakhoda atau wakilnya, bahkan agen kapal turut dalam penyusunan
tersebut.
Setelah timesheet selesai disusun, maka dokumen ini dapat mengikuti
kedua belah pihak yang bersangkutan setelah ditanda-tangani oleh :
- Nakhoda dan dan agen kapal, dan
- Pencharteran atau wakilnya
Dalam hal penyusunan timesheet diserahkan kepada kantor pusat dan
kantor cabang yang menyiapkan statement of facts, maka timesheet
yang disusun pihak lain, belum mengikat perusahaan.

115
F. Istilah – Istilah Charter
- Always safety afloat, untuk mencegah kapal dikirim ke tempat yang –
tidak aman (dangkal) ;
- Arrival ship, jika kapal telah tiba ditempat bongkar-muat, siap dan para
pengirim / penerima barang diberitahu serta laydays menurut C/P mulai
berlaku ;
- Berth charter, kapal dicharter untuk pemuatan “on the bearth” (tempat
standar kapal) ;
- Certificate of delivery / redelivery, dokumen yang ditanda-tangani oleh
Nakhoda/pemilik kapal yang mencantumkan tanggal penyerahan dan
sisa bahan bakar ;
- Clean charter, dimaksudkan untuk C/P yang tidak mencantumkan hal-
hal yang luar biasa (unusual terms) ;
- Consignment clause, penunjukan agen pemilik atau agen pencharteran
yang mengurus “inward and outward business” ;
- Convenient speet, dalam voyage charter untuk menghilangkan
kontroversi mengenai kecepatan kapal selama pelayaran ;
- Customof the port, nakhoda memperhatikan kebiasaan setempat ;
- Deadfreight, uang tambang yang dibayar untuk muatan yang tidak
dikapalkan ;
- Notice of readiness, informasi dari nakhoda untuk pencharter bahwa
kapal siap untuk memulai pemuatan / pembongkaran ;
- On hire survey – off hire survey, dalam time charter sebagai syarat
untuk penyerahan kapal dalam keadaan yang baik (good order and
condition) ;
- Open charter, suatu C/P yang tidak mencantumkan jenis muatan
maupun pelabuhan tujuan ;
- Prompt ship, kapal yang siap untuk membuat dalamjangka waktu yang
reltif singkat ;
- Safe berth – safe port, tempat yang dapat didatangi dengan aman
dari re – charter, namun tetap bertanggung-jawab kepada nautis ;

116
G. Kedudukan Konosemen dalam angkutan kapal dicharter
Nakhoda bekerja untuk kepentingan pencharteran dalam mengoperasikan
kapal yang bertindak sebagai Pengangkut sehingga tanggung-jawabnya
adalah sebagai mana pertanggung-jawaban pengangkut yang diatur dalam
konosemen.
Dokumen terakhir merupakan suatu pernyataan dari Pengangkut bahwa
barang telah diterima dan akan diserahkan di pelabuhan tujuan.
Sedangkan mengenai syarat pengangkutannya, konosemen menundjukkan
kepada charter-party yang bersangkutan.

XVI. ASURANSI LAUT


A. Dasar Hukum Asuransi di Indonesia
Penutupan asuransi di Indonesia didasarkankepada hukum dagang
KUHD :
- Buku Kesatu – asuransi secara umum ;
- Buku Kedua – asuransi laut.
Dengan perkembangan asuransi dewasa ini, dimana penutupan-
penutupan yang besar perlu disebarkan melalui reasuransi diluar pasaran
Indonesia, maka didalam prakteknya soal-soal asuransi perlu disesuaikan
dengan hukum-hukum yang digunakan dinegara lain.Hukum asuransi
laut Inggris masih dianggap yang paling lengkap.
Pasal 246 KUHD : “Asuransi adalah suatu perjanjian dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada pihak tertanggung dengan
menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena
suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan
yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak
tertentu”.

117
Selanjutnya menurut pasal 250 KUHD, asuransi hanyalah dapat ditutup
jika pihak tertanggung mempunyai kepentingan atas hak milik yang
disasuransikan (insurable interest). Perjanjian asuransi dibuat dalam
polis asuransi dan hanya pihak penanggung yang menanda-tangani polis
tersebut sehingga merupakan suatu perjanjian unilateral, namun
memiliki kekuasaan mengikat kedua belah pihak.
Pengertian Asuransi :
- Dari sudut ekonomi, suatu cara pemindahan risiko dari seseorang
kepada orang lain ;
- Dari sudut hukum, suatu perjanjian antara dua pihak tentang
penggantian kerugian.
B. Polis Asuransi
Sebelum polis dibuat biasanya dibuat terlebih dahulu nota sementara
penutup asuransi (provisional cover note) yang walaupun bersifat
sementara, berlaku sah sebagai perjanjian asuransi menurut pasal 258
KUHD.
Formulir nota penutupan disediakan oeh pihak penanggung dan
berisikan :
- Pernyataan kesediaan penanggung untuk menanggung kepentingan
yang diajukan oleh pihak tertanggung ;
- Nama dan alamat tertanggung ;
- Kepentingan (barang) yang ditanggung ;
- Harga dan periode pertanggungan ;
- Kondisi pertanggungan dan janji tertanggung (warranty)
- Besarnya (%) premi pertanggungan.
Penanggung menyediakan formulir permintaan penutupan asuransi yang
diisi dan ditanda-tangani oleh tertanggung.
Dengan adanya tertanggung, maka dalam satu set dokumen perjanjian
asuransi terdapat tanda-tangan kedua belah pihak (penanggung dan
tertanggung), sehingga memenuhi kebiasaan mengenai surat perjanjian
antara dua pihak. Polis yang luas digunakan dalam perjanjian asuransi

118
laut adalah polis-polis bursa : polis Lloyd (Inggris), Polis bursa
Amsterdam.

C. Kepentingan yang ditanggung


Dalam Asuransi laut, kepentingan yang ditanggung terdiri dari kapal dan
muatan.
1. Kepentingan yang berhubungan dengan kapal
a.Yang langsung diderita pemilik kapal :
1). Kapal sendiri, seperti kerusakan atas lambung dan mesin kapal,
kepentingan mana dapat diasuransikan dalam penutupan “Hull
& Machinery” ;
2). Uang tambang (freight), jika dibayar dimuka dan barang tiba
dalam keadaan rusak atau dibayar di pelabuhan bongkar dan
barangnya rusak (penerima barang tidak mau membayar
freight).
3). Disbursement, untuk mengatasi harga kapal yang sesungguhnya
lalu menutup asuransi, untuk menjaga kepentingannya
Jika terjadi total loss selama periode yang diasuransikan ;

b.Yang berhubungan dengan tanggung-jawab pemilik kapal :


1).Tubrukan dengan kapal lain, dimana kapalnya sendiri dianggap
bersalah, maka kerugian kapal lain ditanggung pihak yang
dinyatakan salah dan penutupan asuransi ad kalanya dibatasi
hanya ¾ bagian , sedangkan yang ¼ bagian dikecualikan (yang
dapat ditutup dalam protection & idemnity club) ;
2).Karena pengangkutan, sebgai akibat kelalaian pemilik kapal
melakukan pegawasan terhadap barang yang diangkut
(berdasarkan hukum, pemilik kapal yang bertanggung-jawab) ;
3).Karena pelanggaran hukum setempat, dapat dibebankan kepada
protection & indemnity club ;

119
4).Tanggung-jawab terhadap anak buah kapal, karena kecelakan
dan lain-lain (P & I).

2.Kepentingan yang berhubungan dengan muatan


- Harga beli barang itu sendiri, diasuransikan untuk menjaga
kemungkinan rusaknya barang selama perjalanan ;
- Biaya pengiriman atau ongkos kapal diadakan jika ongkos kapal
dibayar lebih dahulu (freight pre-paid) dan dikhawatirkan oleh
pemilik barang akan kehilangan ongkos apabila barangnya tiba
dalam keadaan rusak atau hilang ;
- Ongkos pembongkaran dan penerusan barang (forwarding expenses),
yang harus dibayar oleh pemilik barang, walaupun barang diterima
pemilik dalam keadaan rusak ;
- Premi asuransi, sebagai imbalan tidak dikembalikannya premi untuk
barang yang hilang ;
- Keuntungan yang diharapkan, diasuransikan mengingat
kemungkinan terjadi barang tidak sampai sehingga keuntungan
yang diharapkan semula tidak diperolehnya ;
Kelima kepentingan tersebut diatas dapat diasuransikan menjadi satu
pertanggungan dalam asuransi barang.

Kepentingan-kepentingan lain yang tidak merupakan bagian dari


muatan, namun erat hubungan dengan muatan adalah :
- Komisi diasuransikan oleh orang yang akan menerimanya jika
komisi didasarkan atas sampainya barang dan kemungkinan tidak
tibanya ;
- Tanggung-jawab untuk angkutan barang berbahaya yang tanggung-
jawabnya dibebankan kepada pemilik barang atas kemungkinan
kerusakan yang ditimbulkan ;
- Defeasible dan contingent, diasuransikan untuk kerugian pihak
penjual jika pihak pembeli menolak menerima barang dengan alasan

120
terlambat dan ongkos pengembalian barang ke tempat penjual
menjadi tanggungan pihak penjual (defeasible interest), jika hal ini
terjadi dan pihak pembeli sudah menjual barang tersebut sebelum
tiba, maka pembelipun akan menderita kerugian yang dapat
diasuransikan (contingent interest).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang menjadi pokok
pertanggungan dalam asuransi laut adalah segala kepentingan yang
dapat mengakibatkan kerugian bagi pemiliknya karena terjadinya suatu
bahaya laut. Diadakannya asuransi oleh pemilik kepentingan tersebut
adalah untuk menjaga-jaga agar apabila bahaya itu datang dan
mengakibatkan kerugian, pemiliknya medapatkan ganti kerugian

D. Resiko – resiko Laut


Polis asuransi laut tidak bertujuan untuk menutup semua kerugian
yang diderita tertanggung dan polis hanya menyebutkan resiko-resiko
yang dijamin.
Jika kerugian terjadi akibat resiko tersebut, maka asuransi memberi
penggantian.
Menurut pasal 637 KUHD, resiko-resiko yang dijamin , antara lain :
“Angin topan, hujan lebat, pecahnya kapal, terdamparnya kapal,
menggulingnya kapal, penubrukan, karena kapal dipaksa mengganti
haluan atau perjalanan, karena pembuangan barang ke laut, karena
kebakaran, paksaan, banjir, perampasan, bajak laut atau perampok,
penahanan atas perintah atasan, pernyataan perang, tindakan
pembalasan, kerusakan karena kelalaian, kealpaan atau kecurangan
nakhoda / awak kapal atau pada umumnya karena segala malapetaka
yang datang dari luar yang bagaimanapun juga, kecuali apabila oleh
ketentuan undang-undang atau oleh sesuatu janji didalam polisnya,
penanggung dibebankan dari pemikulan sesuai dari bahaya tadi”.

121
Jika diteliti resiko-resiko dalam pasal 637 KUHD (maupun Marine
Insurance Act Inggris dan Lloyd’s S.G. Policy), maka dapat dibagi
dalam 2 golongan :
-Resiko-resiko laut dan
-Bukan resiko laut (lebih dikenal dengan nama War Risks atau resiko
Molest).

Resiko-resiko yang dikecualikan dari penutupan :


- Wilful misconduct dari tertanggung
Kerugian akibat kesengajaan / kelalaian tertanggung (karyawan
kecuali nakhoda/awak kapal) tidak dijamin oleh polis, sehingga tidak
akan mendapatkan penggantian dari asuransi (untuk nakhoda dan awak
kapal berlaku beberapa kebebasan sesuai HK Laut) ;
- Delay . Kerusakan barang akibat delay tidak dijamin muatan buah-
buahan diasuransi.
Akibat mengalami bahaya laut, mesin rusak dan kapal tiba di
pelabuhan tujuan terlambat dan karenanya buah-buahan menjadi
busuk.
Penanggung tidak bertanggung – jawab karena kerusakan adalah
akibat “delay”) ;
- Inherent vice
Sifat kerusakan sendiri (buah-buahan, bibit kentang) ;
- Wear & Tear
Kerusakan karena pemakaian (aus) karena resiko sudah pasti akan
terjadi ;
- Ordinary leakage dan breakage (kerusakan yang bukan accidental)
merupakan natural less untuk muatan tertentu (tepung terigu,
beras) ;
- Rat or vermin
Kerusakan barang karena dimakan oleh tikus / serangga.

122
E. Pertanggungan atas Kapal
Pertanggungan yang diperlukanoleh pemilik kapal sebagai alat
pengangkut muatan adalah asuransi sebagai berikut :
1.Hull & Machinery Insurance, hanya berhubungan dengan
kapal, mesin dan semua perlengkapan kapal. Juga menjamin
tanggung-jawab terhadap pihak ketiga (tubrukan). Umumnya
yang dijamin adalah terhadap kerugian total los, partial loss,
kontribusi sgeneral average dan salvage.
2.Disbursement Insurance (Increased Value Insurance), pemilik
kapal menutup asuransi untuk kerugian akibat total loss dimana
telah terjadi perubahan-perubahan harga kapal di pasaran dunia
dan biasanya dinyatakan dengan suatu persentase (%).
3.Freight insurance, untuk melindungi pemilik kapal atas
kehilangan penghasilan (freight) akibat kerusakan.
4.Protection and Indemnity, menjamin kerugian yang tidak
dijamin oleh pihak asuransi (underwrite) dan diberikan
berdasarkan prinsip perlindungan dan jaminan.

Penutupan pertanggungan kapal


Pertanggungan untuk Hull & Machinery merupakan segi
pertanggungan utama karena berhubungan langsung dengan fisik
kapal, terdiri dari :
1. Total Loss Only (TLO), syarat yang digunakan jika kerugian
berupa total loss (actual, constructive atau presumed).
2. Free from Particular Average (FPA), syarat penutupan ini tidak
menanggung kerugian berupa particular average atau partical loss,
kecuali dalam beberapa peristiwa tertentu. Pada dasarnya syarat
penutupan FPA menanggung kerugian berupa total loss, tubrukan,
kandas, kebakaran, kontribusi general average dan salvage.
3. All risks (AR), syarat penutupan yang menanggung risiko-risiko
yang luas/banyak, tetapi bukan semua risiko : kerugian akibat

123
tubrukan, kerusakan akibat pemuatan, ledakan, pecahnya ketel,
kerusakan mesin, kelalaian nakhoda/awak kapal, gempa bumi.
4. Port risks (PR), syarat ini menanggung risiko selama kapal berada
di pelabuhan : tubrukan, bongkar-muat, dll.
Syarat-syarat baku penutupan, yaitu institute standard TLO Clause
(Hull), Institute Time Clause-Hull atau standar Indonesia Hull from
atau standard Dutch Hull form, institute War & Strikes Clause
(tertanggung tinggal memilih syarat mana diperlukan, kemudian syarat
yang terpilih dilekatkan pada polis).

F. Pertanggungan Barang
Harga pertanggungan (insured value) barang yang diangkut
ditentukan sebesar harga barang ditambah biaya-biaya pemuatan dan
biaya-biaya lain dan laba “yang wajar”.
Harga pertanggungan diperlukan untuk menentukan besarnya premi
asuransi yang harus diperlukan untuk menentukan besarnya premi
asuransi yang harus dibayar oleh tertanggung, dapat berupa :

-Harga yang sesungguhnya (real value) ;


-Harga yang disetujui bersama (agreed value)

Penutupan Pertanggungan Barang


Pihak pengangkut akan mengangkut barang jika untuk pengiriman
barang tersebut ditutup pertanggungan.
Syarat² baku (standard clauses) penutupan pertanggungan barang :
1. Total loss only, yang ditanggung adalah barang yang mengalami
total loss (dari jumlah barang 30 koli yang mengalami kerusakan
penuh hanya 10 koli, tidak akan diganti).
Actual total loss : kerusakannya tidak ada lagi kegunaannya ;
Constructive total loss : biaya mencari dan memperbaikinya lebih
besar dari harga jual barang.

124
2. Free from particular average, syarat ini menanggung barang atas
dasar dari gudang ke gudang untuk risiko-risiko :
- Tidak menanggung kerugian sebagian (particular average)
kecuali kerugian diakibatkan kapal kandas, tenggelam atau
kebakar;
- Kerugian total yang terjadi sewaktu bongkar-muat;
- Kerugian akibat tubrukan;
- Kontribusi general average dan salvage.
3. With perticular average, menanggung kerugian sebagian, tetapi
ganti rugi minimal dibatasi oleh “memorandum” polis : kerugian
dibawah ……% (franchise) tidak mendapat ganti rugi.
Besarnya franchise biasanya 3% atau 5%.
4. All risks, menanggung semua kerugian akibat bahaya / risikoyang
secara kebetulan terjadi (accidentally caused) kecuali kerugian
akibat kelambatan (delay), cacad, sifat busuk atau pembawaan
barang itu sendiri.

G. Kerugian total dan partial


Dalam pertanggungan laut, kerugian dibagi dalam kerugian total (total
loss) dan kerugian partial (partial loss).
Kerugian dapat diakibatkan oleh bencana-bencana kapal tenggelam,
kebakaran, kandas dan tubrukan. Dari segi keadan dan tingkat
kerusakan, kerugian total dapat dibagi dalam kerugian total
sesungguhnya, kerugian total konstruktif dan kerugian total dugaan.
1. Actual total loss
Jika kapal mengalami kerusakan demikian rupa sehingga tidak
dapat lagi digunakan sebagai alat angkutan atau barang hancur
sehingga kehilangan arti komersialnya, maka kerugian demikian
merupakan kerugian total sesungguhnya.

125
2. Constructive total loss
Jika kapal / barang masih dapat diperbaiki, namun biaya
perbaikan/penyelamatan lebih besar dari harga kapal, maka
kerugian demikian merupakan kerugian total konstruktif. Menurut
KUHD, kapal dianggap mengalami CTL jika biaya perbaikan lebih
besar dari ¾ harga pertanggungan kapal.
3. Presumed total loss
Jika kapal hilang dan salah jangka waktu tertentu tidak ada berita,
maka keadaan demikian dianggap (persumed) kapal mengalami
kerugian total. Untuk pelayaran didalam wilayah Indonesia, pasal
667 KUHD menetapkan jangka waktu 6 bulan.

Abandonmen.
Abandonmen atau pelepasan hak milik terjadi jika penanggung telah
membayar ganti rugi kepada tertanggung atas interest yang mengalami
total loss.
Abandonmen merupakan hak dari tertanggung untuk memperoleh
ganti rugi dari penanggung atas interestnya yang telah merupakan total
loss, juga merupakan kewajiban tertanggung untuk meyerahkan sisa
dari interest tersebut kepada penanggung (kalau masih ada sisanya,
misalnya kerangka kapal).
Dalam ATL, abandonmen dapat dilakukan oleh tertanggung tanpa
membuat notice of abandonmen, sedangkan untuk constructive total
loss harus dibuat notice of abandonment.
Kapal yang mengalami CTL dapat diperlakukan sebagai total loss, jika
notice of abandonment telah diterima dan disetujui (tertulis) oleh
penanggung.
Kalau telah dipenuhi syarat-syarat total loss dan bahaya yang
mengakibatkan total loss adalah bahaya yang ditanggung oleh polis,
maka tertanggung dapat menyerahkan hak milik (abandonment) atas
kapal tersebut kepada penanggung dan menuntut ganti rugi (claim).

126
Dalam mengajukan tuntutan ganti rugi, tertanggung harus
menyediakan dokumen-dokumen : polis asli dan surat subrigasi, kisah
kapal (Note of Protest), Notice of Abandonment (untuk CTL), surat
keterangan dengan sumpah (kejadian-kejadian), sertifikat kelaikan dan
bukti-bukti. Tanpa Notice of Abandonment kerugian akan dianggap
sebagai partial loss (kapal tetap milik tertanggung).

H. Protection and Indemnity Club


Oleh karena tidak semua peristiwa yang mengakibatkan kerugian dapat
ditutup pertanggungannya, mengingat penanggung tidak bersedia
menanggung risiko atas beberapa peristiwa tertentu, sehingga pada
polis beberapa syarat membebaskan penanggung dari kewajiban
membayar ganti rugi.
Untuk menghadapi keadaan demikian para pemilik kapal membentuk
suatu perkumpulan antara sesama mereka yang berfungsi menanggung
kerugian yang tidak mendapat ganti rugi dari penanggung
(underwriter) dengan nama perkumpulan perlindungan dan jaminan
(P & I Club).

1. Untuk Perlindungan (Protection)


Tubrukan kapal. Biasanya yang diganti oleh penanggung hanya ¾
bagian dari kerugian (RDC ¾). SISA KERUGIAN DIGANTI OLEH P
& I Club ;
1. Korban jiwa dan kecelakaan orang ;
2. Perawatan awak kapal ;
3. Pengankutan kerangka kapal ;
4. Benturan dengan dermaga ;
5. Kerusakan pada muatan akibat kesalahan navigasi ;
6. Pencemaran minyak, khususnya utuk tanker ;
7. Biaya-biaya lain yang tidak diberikan ganti rugi oleh penanggung ;
(underwrite).

127
2.Untuk Jaminan (Indemnity)
- Kesalahan penyerahan barang 9wrong, short or mixed delivery of
cargo) ;
- Tanggung-jawab kapal menyusul tubrukan yang tidak ditampung
oleh penanggung/asuransi ;
- Denda akibat pelanggaranperaturan pabean, imigrasi, dll ;
- Biaya menghadapi claim muatan ;
Biaya mengamankan dan menolak claim tidak ada kaitannya dengan
claim-claim komersial biasa, melainkan hanyalah menyangkut claim
yang bermanfaat bagi kepentingan semua pemilik kapal. Dalam
memperjuangkan perkara-perkara tersebut yang biasanya dijadikan
:test case”, tujuannya adalah dapatnya dilegalisir dalam bentuk
peraturan untuk digunakan di kemudian hari. Ganti rugi atas
kerusakan barang yang menjadi beban P & I Club terbatas pada
kontrak pengangkutannya. Pengeluaran yang melebihi kontrak
tersebut menjadi beban pihak pemilik. Satu dan lain hal karena dasar
tanggung-jawab yang diberikan oleh P & I Club kepada anggotanya
pada umumnya adalah berdasarkan Yuridis.

I. Tanker Owners Volunatry Agreement Concering Liability for Oil


Pollution (TOVALOP).
TOVALOP berawal dari inisiatif sejumlah pemilik tanker untuk
mengambil tindakan yang konstruktif sehubungan dengan pencemaran
minyak.
Para pemilik tanker ini menyadari bahwa kecelakaan-kecelakaan di
laut akan menyebabkan terjadinya pencemaran sepanjang garis pantai,
setidak-tidaknya jika minyak mentah (crude oil) dengan residunya
seperti aspal, bitumen, minyak bahan bakar, minyak disel kental atau
minyak pelumas tertumpah.

128
Dalam upaya untuk menentukan tanggung-jawab terhadap pemrintah
nasional sehubungan dengan masalah pencemaran serta menjamin
adanya kemampuan finansial melaksanakan tanggung-jawabnya serta
mengurangi kegawatan keadaan, para pemilik tanker menyepakati
suatu perjanjian yang dikenal dengan TOVALOP yang terbuka untuk
semua pemilik tanker di seluruh dunia.
TOVALOP mengatur agar jika terjadi penumpahan minyak dari kapal
tanker atau ancaman terjadinya tumpahan dan minyak ini
menyebabkan kerusakan pada pantai melalui pencemaran atau
menimbulkan bahaya besar dari kerusakan demikian, maka pemilik
peserta berkewajiban mengambil tindakan untuk mencegah kerusakan
karena pencemaran atau harus mengembalikan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah nasional untuk mencegah atau membatasi
kerusakan demikian.
Kapal tanker menyebabkan terjadinya tumpahan, dianggap lalai
(neigligent), kecuali jika pemiliknya dapat membuktikan bahwa
peristiwa itu bukanlah kesalahan kapal tankernya.
Pemilik peserta tidak dapat menggunakan dana TOVALOP untuk
membayar biaya-biaya pencegahan ataupun pembersihan oleh pihak-
pihak partikelir.
Namun jika suatu pemerintah nasional telah mengeluarkan uang untuk
memindahkan minyak dari pantai milik partikelir, maka dalam hal
penyebabnya adalah kelalaian tanker yang menumpahkannya,
pemerintah yang bersangkutan dapat meminta penggantian dari
pemilik tanker.
TOVALOP juga memuat ketentuan-ketentuan tentang penggantian
biaya-biaya pemilik tanker dalam rangka pencegahan atau
pembersihan pencemaran dari tumpahan minyak.
Ketentuan-ketentuan ini diadakan untuk mendorong pemilik tanker
mengambil tindakan-tindakan menghindari kerusakan akibat
pencemaran.

129
J. Averai Umum
Bahaya laut (marine perils) merupakan bahaya yang berasal dari laut
dan yang terjadi di laut.
Kerugian yang diakibatkan oleh bahaya laut disebut kerugian laut
(average) yang terbagi dalam :
-Particuolar Average, jika kerusakan atas kapal/barang terjadi melalui
suatu kecelakaan yang menjadi beban dari pemilik yang terkena
kecelakaan terebut (Act of God) ;
-General Average, penanggungan bersama demi penyelamatan
kapal/barang dari suatu bahaya umum (Act of Man).
Contoh : sebuah kapal terbakar
Kebakaran tergolong PA dan kerusakan pada kapal dan muatan
dibebankan kepada pemilik kapal dan pemilik muatan (melalui
asuransi masing-masing). Air digunakan untuk memadamkan api.
Akibat penyemprotan air terjadi kerusakan pada kapal maupun
muatan, kerusakan mana merupakan GA dan menjadi tanggungan
bersama pihak-pihak yang menikmati hasil penyelamatan.
Untuk memperoleh keseragaman dalam penyelesaian GA, maka
ketentuan-ketentuan yang digunakan diambilkan dari York –
Antwerp Rules yang terdiri dari Ules A s/d G dan Rules I s/d XXII.
Untuk dapat memanfaatkan general Average harus dipenuhi tiga
syarat : upaya penyelamatan harus berhasil, harus merupakan
bahaya umum yang menyangkut kapal, muatan dan uang tambang,
pengorbanan harus dilakukan secara suka-rela.
Jika terjadi peristiwa yang akan diselesaikan melalui GA, maka
nakhoda kapal mengamankan pihak-pihak yang tersangkut dengan
deposito melalui “Average Bond” (perjanjian antara pemilik kapal
dan pemilik barang tentang penyelesaian pembiayaan GA, berisikan
catatan-catatan konosemen).
Menurut York Antwerp Rules : “There is a GA act, when, and only
when, any extra ordinary sacrifice or expenditure is intentionally and

130
reasonably made or incurred for the common safety for the purpose
of preserving fromperil the property in a common maritime
adventure”.

GA expenditure antara lain adalah sebagai berikut :


-Biaya menarik kapal bermuata yang sedang dalam bahaya ;
-Biaya membongkar barang untuk meringankan kapal yang kandas ;
-Sewa gudang barang selama perbaikan kerusakan (akibag GA) ;
-Biaya pelabuhan darurat ;
-Biaya perbaikan tambahan setelah kapal lepas kandas ;
-Biaya lain akibat langsung peristiwa GA.

GA Sacrifice antara lain sebagai berikut :


-Barang – barang yang dibuang kelaut (jettison) ;
-Kerusakan barang yang dibongkar karena terpaksa ;
-Muatan yang sengaja dibakar sebgai pengganti bahan bakar kapal ;
-Kerusakan yang terjadi pada kapal dalam usaha memadamkan
kebakaran (lihat contoh hal. 92) ;
-Pengorbanan-pengobanan lain dalam rangka mengatasi bahaya yang
membahyakan kepentingan umum.

Dokumen-dokumen General Average


Untuk dapat menyusun penyelesaian GA (GA adjustment),
diperlukan semua dokumen yang dapat memberikan data dan
keterangan mengenai peristiwa GA yang bersngkutan, antara lain :
- Laporan nakhoda / agen ;
- Turunan logbook ;
- Laporan survey mengenai kerusakan / kehilangan ;
- Bukti – bukti pengeluaran biaya ;
Dokumen-dokumen lainnya, termasuk average bond dan cash
deposit.

131
Average Bond
Pemilik kapal sebagai penanggung-jawab atas pengumpulan
kontribusi para pemilik barang (yang barang-barangnya selamat),
menghadapi risiko tidak diterimanya kontribusi.
Selain itu ada kewajiban pemilik kapal memberi ganti rugi kepada
para pemilik barang yang barangnya tidak selamat.
Karena adanya risiko yang demikian, maka pemilik kapal
mempunyai hak gadai (lien) atas barang sehingga berhak menahan,
bahkan meggadaikan barang jika pemilik barang tidak memberikan
jaminan yang pantas, yaitu berupa average agreement atau average
bond ditambah dengan sejumlah uang (cash deposit) untuk menutupi
kontribusinya di kemudian hari setelah selesai dibuat GA adjustment.
Average agreement atau lazim disebut average bond merupakan
suatu perjanjian antara pemilik kapal dengan para pemilik barang
mengenai kontribusi setelah selesai dibuat GA ajustment dan
penyediaan uang jaminan yang diperlukan.
Cash deposit, disediakan para pemilik barang sebagai jaminan untuk
pembayaran kontribusi di kemudian hari berdasarkan suatu
persentase dari harga barang yang selamat, sedangkan untuk barang
yang tidak selamat tidak usah memberikan yang jaminan, tetapi
harus menanda-tangani average bond. Pada umumnya pemilik kapal
maupun pemilik barang tidak mampu menyelesaikan GA dan
mempercayakannya kepada average ajuster, tenaga akhli dalam
bidang general average.

K. Syarat-Syarat Pertanggungan Laut


Pada umumnya sebuah polis berisikan keterikatan-keterikatan baik
yang berlaku bagi pihak tertanggung maupun pihak penanggung,
antara lain terdiri dari syarat-syarat atau clause :

132
1. Adventure clause
Barang yang dibongkar di pelabuhan substitusi (terdekat) dan
akhirnya diangkut ke pelabuhan tujuan sesuai polis, tetap
ditanggung oleh penanggung, asalkan pemilik barang segera
memberitahukan kepada penanggung atas adanya kejadian
(adventure) dan membayar tambahan premi (pertimbangannya
adalah kejadian berada diluar pengawasan tertanggung).

2. Bailee clause
Premi untuk barratry sangat tinggi, karena merupakan perbuatan
salah nakhoda/awak kapal yang dengan sengaja merusak/
menghancurkan barang dan lain-lain perbuatan sengaja yang
melanggar hak pengangkut/pemilik kapal.

3. Barratry clause
Premi untuk barratry sangat tinggi, karena merupakan perbuatan
salah nakhoda/awak kapal yang dengan sengaja merusak/
menghancurkan barang dan lain-lain perbuatan sengaja yang
melanggar hak pengangkut/pemilik kapal.

4. Both to blame collision clause


Syarat ini menyangkut tubrukan kapal dan mengatur siapa yang
memikul kerugian yang timbul akibat tubrukan tersebut :
Di Indonesia, ditentukan tingkat kesalahannya masing-masing
(pasal 537 KUHD).
Di Amerika Serikat, kedua-duanya memikul kerugian yang sama
tanpa memperhatikan tingkat kesalahannya masing-masing.

5. Colision clause
Syarat ini mengatur ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh
kapal karena menubruk kapal lain.

133
6. Continuatio clause
Syarat ini menentukan waktu berlakunya pertanggungan, yang
diperlukan jika sekiranya waktu pertanggungan berakhir kapal
masih berada di laut.

7. Deductible clause
Syarat ini menentukan bahwa penanggung hanya mengganti rugi
bila kerugian jumlahnya diatas jumlah potongan (deduction).
Contoh : untuk harga pertanggungan Rp. 200.000,- dengan
potongan 3%, maka kerugian Rp. 4.000,- (2%) tidak mendapat
ganti rugi, sedangkan kerugian Rp. 6.600,- (3.3%) ada ganti
ruginya.

8. Disbursement clause
Syarat ini membatasi besarnya harga pertanggungan untuk :
PPI (policy proof of interest), polis membuktikan ats adanya
kepentingan (interest), yang ditanggung ;
FIA (full interest admitted), polis mengakui sepenuhnya atas
adanya kepentingan yang ditanggung, misalnya biaya yang
digunakan untuk berlayar, kenaikan dibursement, dll.
Yang biasanya berjumlah 10%.

9. Duration clause
Syarat ini menentukan jangka waktu berlakunya pertanggungan
(dalam time policy biasanya 12 bulan).

10. Franchise clause


Franchise adalah persentase atau jumlah dari nilai yang
ditanggung yang menjadi beban pihak tertanggung. Perhitungan

134
franchise dan deductable adalah menurut suatu perjalanan (bukan
dari setiap peristiwa).
Ranchise dan deductable clause disebut juga : warranted free
from particular average clause. Jika disebut “warranted ….
Under 3%, penanggung tidak mengganti kerugian jika jumlah
kerugian dibawah 3% dari harga pertanggungan dan penanggung
mengganti penuh (!) kerugian lebih 3% dari harga
pertanggungan, termasuk yang dibawah 3% (franchise clause).
Sedangkan jika disebut “warranted … og the first 3%”,
penanggung tidak megganti kerugian untuk kerugian hanya 3%
atau dibawahnya dan penanggung mengganti kerugian untuk
diatas 3%, jumlah yang diatas 3% saja (deductable clause).

11. Free of capture and seizure clause


Syarat ini menentukan bahwa utuk kapal yang mengalami
kerugian akibat perang dan peristiwa sejenis, tidak ada ganti rugi.

12. Inchmaree clause


Setelah terjadi peristiwa pada ss “inchmaree”, maka penanggung
menanggung kerugian/kerusakan pada kapal akibat :
Kelaikan nakhoda, perwira, abk atau pandu ;
Kecelakaan bongkar muat, ledakan, rusaknya mesin.

13. Institute clause


Syarat ini dimasukkan jika menggunakan sanksi-sanksi yang
ditetapkan “Technical and Cloauses Committee of the Institute of
London Underwriters”

135
14. Liberty clause
Syarat yang mengatur kebebasan (liberty) nakhoda untuk
menentukan pelabuhan pengganti dari pelabuhan yang dilanda
perang, kekacauan atau tertutup (karena es)

15. Location clause


Pengaturan tanggung-jawab atas barang menurut tempat
penyerahan (gudang atau samping kapal)

16. Negligence clause


Lihat Inchmaree clause

17. New Jason clause


Syarat yang dimasukkan dlamkonosemen untuk angkutan barang
ke/dari pelabuhan-pelabuhan Amerika (USA) yang mengatur
kewajiban pemilik barang untuk kontribusinya dalam GA.

18. Return clause


Syarat ini menentukan bahwa kapal yang tertahan di pelabuhan
lebih dari 30 hari dapat memperoleh kembali sebagian dari premi
yang telah dibayar (port risk policy).

19. Running down clause


Syarat ini berhubungan dengan tubrukan kapal yang mengatur
ganti rugi kepada yang ditanggung oleh penanggung :
Di Indonesia, telah ditetapkan syarat baku untuk pertanggungan
Hull & Machinery yang disebut “standar Indonesia Hull From” ;
Di Inggris, ganti rugi yang menjadi tanggungan penanggung
adalah sebesar ¾ sedangkan ¼ ditanggung sendiri oleh pemilik
kapal (dapat dibebankan pada P & I).

136
Contoh : kapal A dan B bertubrukan, dimana A diasuransikan
dengan jumlah pertanggungan Rp. 40 juta dan harga B (total
loss) Rp. 100 juta, dalam tubrukan ini A dinyatakan bersalah :
SIHF : pihak asuransi A membayar B dengan Rp. 40 juta dan
sisanya yang berjumlah Rp. 60 juta ditanggung sendiri oleh A ;
Institute Time clause : pihak asuransi A membayar B sebesar ¾ x
Rp. 40 juta = Rp. 30 juta dan yang Rp. 70 juta ditanggung sendiri
oleh A.

20. Seaworthinees admitted clause


Syarat ini yang dimasukkan dalam polis muatan, membebaskan
pemilik barang dari masalah kelaikan kapal dalam hubungan
degan pertanggugnan.

21. Sister ship clause


Tujuan dari syarat ini adalah agar kerugian yang diderita sebuah
kapal akibat tubrukan dengan kapal lain atau pertolongan kepada
kapal lain yang merupakan milik dari perusahaan yang sama
akan diperlakukan sebagai bukan milik perusahaan yang sama.

22. Sue and Labour clause


Untuk tindakan nakhoda/awak kapal mencegah atau mengurangi
kerusakan dapat diberikan imbalan dari penanggung (sebagai
dorongan mencegah/mengurangi kerusakan).

23. Time penalty clause


Syarat ini menentukan bahwa penanggung tidak bertanggung-
jawab atas kerugian yang menimpa kapal/barang yang
diakibatkan oleh penundaan (delay).

137
24. Waiver clause
“It is especially declared and agreed that no acts of the insure or
insured in recovering, saving or preserving the property insured
shall be considered as a waiver, or acceptance of abandonment”.
Pihak penanggung daapt berbuat sesuatu untuk menyelamatkan
kapal/barang yang ditanggungnya tanpa dapat dianggap bahwa
perbuatannya itu sebagai persetujuannya atas “abandomen”
9kapal kandas, kemudian penanggung menutup kontrak dengan
pihak ketiga untuk menyelamatkannya, hal mana oleh
tertanggung tidak boleh dianggap bahwa penanggung sudah
mengambil alih kapal tersebut dan dengan diam-diam menerima
abandonmen, menerima tanggung-jawab untuk total loss). Jika
tertanggung melakukan sesuatu untuk menyelamatkan harta
bendanya yang ditanggung : kapal terdampar dan pemiloik kapal
menutup kontrak dengan pihak ketiga untuk menyelamatkan,
maka usaha dari pemilik kapal itu tidak boleh digunakan oleh
penanggung sebgai alasan untuk menghindari abandonmen,
alasan yang dapat digunakan oleh penanggung untuk
menghindarkan abandonmen adalah bahwa syarat-syarat
abandonmen belum terpenuhi.

25. Warehouse to warehouse clause


Syarat ini menentukan batas berlakunya pertanggungan atas
barang-barang, berlangsung sejak dikeluarkan dari gudang di
pelabuhan muat sampai dimasukkan kedalam gudang di
pelabuhan tujuan dan jika perjalanan kapal melalui pelabuhan
transit, pertanggungan berlangsung terus selama berada di
pelabuhan transit sampai akhirnya dimasukkan kedalam gudang
di pelabuhan tujuan.

138
26. Waterborne clause
Syarat ditetapkan oleh para penanggung sehubungan dengan
kemungkinan timbulnya kerusakan besar atas barang yang
diakibatkan oleh peperangan (muncul menjelang perang dunia II
pada waktu mana dikhawatirkan para penanggung kemungkinan
tidak sanggup memenuhi kewajiban membayar ganti rugi).
Menurut syarat tersebut barang hanya ditanggung sejak dimuat
kedalam kapal sampai sat dibongkar dari kapal.

L. Pertolongan Terhadap Bahaya Laut


1. Ketentuan – ketentuan hukum
KUHD mengatur mengenai kapal karam, kapal terdampar dan
penemuan barang di laut yang terbagi dalam : kewenangan memberi
pertolongan, akibat pemberian pertolongan (upah tolong) dan
keterlibatan pemerintah. Persoalan-persoalan hukum dapat timbul
menyangkut : orang-orang yang berada diatas kapal yang ditolong,
barang-barang yang ditemukan, kapal yang pecah dan terdampar,
kapal yang sedang berlayar dalam keadaan bahaya.
Akibat hukum dari perbuatan pertolongan ada kewajiban untuk
mengembalikan orang ke tempat asalnya atau barangnya kepada
pemiliknya, sedangkan kapal / orang yang menolong berhak
memperoleh upah tolong.

2. Asas pemberian pertolongan


Dasar memberikan pertolongan adalah :
tanpa persetujuan dari orang yang ditolong, tiada seorangpun
berwenang memberikan pertolongan.
Untuk kapal yang berada dalam keadaan bahaya Nakhodalah yang
memberi izin pemberian pertolongan.
Hal sama berlaku bagi kapal yang terdampar dan barang yang
terapung di laut (jika Nakhoda ada disekitar tempat tersebut).

139
Jelaslah bahwa izin Nakhoda merupakan kunci dapat tidaknya
pertolongan dilakukan.
Apabila orang yang berwenang tidak ada ditempat atau tidak
diketahui alamatnya, kapal/barang dapat saja ditolong dan
diserahkan kepada pemerintah setempat.

3. Imbalan pertolongan
Menurut pasal 560 KUHD, upah tolong juga harus dibayar untuk
pertolongan yang tidak berhasil, kecuali jika ada perjanjian lain.
Pertolongan yang diberikan secara sukarela merupakan pertolongan
tanpa ikatan, namun demikian jika pertolongan berhasil, pemilik
interest yang ditolong wajib memberi balas jasa kepada pihak
penolong.
Besarnya balas jasa (salvage reward) ditentukan berdasarkan :
-Besar nilai interest yang diselamatkan ;
-Sulit dan lamanya usaha pertolongan ;
-Besarnya risiko yang dihadapi oleh penolong.
Dengan ketentuan bahwa besarnya salvage reward maksimal sebesar
nilai interest yang berhasil diselamatkan (pasal 562 KUHD).
Syarat “no cure pay” diperkenalkan secara nyata oleh Lloyd dengan
menerbitkan suatu bentuk perjanjian yang disebut “Lloyds form of
agreemant” (LOF) yang tidak menyinggung jumlah pembayaran,
jumlah mana akan ditentukan oleh arbitrase.
Seperti halnya dalam general average, jika akhirnya kapal dan
muatannya mengalami total loss, berarti tidak ada interest yang
selamat yang akan memikul kerugian GA(General Average).
Demikian juga halnya dalam salvage, jika kapal dan muatannya total
loss, berarti tidak ada salvage reward karena tidak ada interest yang
selamat yang akan memikul salvage reward.

140
4. Penyelesaian Salvage
Penentuan besarnya salvage reward dapat dilakukan sebelum
pertolongan diberikan, jika kapal yang berada dalam bahaya dapat
menunggu beberapa lama sampai perjanjian pertolongan
dirampungkan, bahaya yang mengancam tidak seberapa
mengakibatkan total loss (kandas, mesin rusak).
Jika bahaya laut sangat mengancam dan pertolongan harus segera
diberikan tanpa lebih dahulu membuat perjanjian, maka salvage
reward akan ditentukan sesudah ( ! ) pertolongan diberikan, berarti
penyelesaian pertolongan dilakukan sesudah rampung dilaksanakan.
Pekerjaan menyelesaikan pertolongan merupakan pekerjaan yang
sulit dan memerlukan waktu yang relatif lama serta memerlukan
keahlian khusus, hal mana dipercayakan kepada arbitrase dan pihak
penolong menunjuk ahli hukum (solicitor) sebagai wakilnya.

5. Pertanggungan Salvage charges


Salvage charges yang dibayar oleh pemilik interest kepada penolong
akan diganti oleh penanggung yang menanggung interest tersebut,
asalkan bahaya yang mengakibatkan kerugian ditanggung oleh polis.
Jika harga pertanggungan sama dengan atau lebih besar dari harga
interest, maka semua salvage charges diganti oleh penanggung ;
Jika harga pertanggungan lebih kecil dari harga interest, maka
besarnya ganti rugi sebanding dengan harga interest.

Contoh :
Harga pertanggungan Rp. 200 juta, harga sehat kapal Rp. 250
juta, kontribusi kapal (salvage charge) Rp. 50 juta, akan besarnya
ganti rugi : 200/250 x Rp. 50 juta = Rp. 40 juta dan sisanya Rp. 10
juta ditanggung sendiri pemilik kapal.

141
Untuk salvage adjustment setelah diberikan pertolongan, pemilik
interest memberikan uang jaminan (cash deposit) agar interest tidak
ditahan oleh pihak penolong.

XVII. LAUT, TERITORIAL DAN PERAIRAN INDONESIA


A. Perundang – Undangan Maritime
1. Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkugan Maritime 1939
Dalam ordonansi ini diatur laut wilayah 3 mil (sesuai dengan
hukum Internasional pada waktu itu), beberapa segi pertahanan /
keamanan dan segi ekonomi (penangkapan ikan).

2. Undang-undang No. 4 Tahun 1960 tentang perairan Indonesia:


- Perairan Indonesia adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan
pedalaman Indonesia,
- Laut wilayah Indonesia adalah lajur laut selebar 12 mil laut yang
garis titis pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pada garis rendah dari pada
pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar dalam wilayah
Indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya
tidak melebihi 24 mil laut dan negara Indoesia tidak merupakan
satu-satunya negara tepi, maka garis batas laut Indonesia ditarik
pada tengah selat ;
- Perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang
terletak pada sisi dalam garis dasar sebagai yang dimaksud pada
ketentuan diatas (laut wilayah) ;
- Lalu – lintas damai dalam perairan pedalaman Indonesai terbuka
bagi kapal asing ;
- Tidak berlaku lagi ketentuan-ketentuan ordonansi Laut Teritorial
& Lingkungan Maritime 1939 yang menyangkut laut teritorial,
daerah laut, perairan pedalaman dan daerah air Indonesia ;

142
3. Undang – undang No. 19 Tahun 1961 tentang persetujuan
Konvensi Jenewa Tahun 1958.
Pemerintah memberikan perustujuan atas 3 konvensi :
- Pengambilan ikan serta hasil laut dan pembinaan sumber-sumber
hayati laut bebas ;
- Dataran kontinetal ;
- Laut bebas
4. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1962 tentang Lalu-lintas
Laut Damai Kapal Asing dalam Perairan Indonesia
- Melintasi laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia :
* Dari laut bebas ke palabuhan dan sebaliknya ;
* Dari laut bebas ke laut bebas ;
- Tidak dibenarkan berhenti, berlabuh dan mudanr-mandir tanpa
alasan sah ;
- Dianggap damai selama tidak bertentangan dengan keamanan,
ketertiban umum, kepentingan dan /atau tidak mengganggu
perdamaian Negara Republik Indonesia :
- Kapal perang asing harus memberitahukan terlebih dahulu kepada
KSAL dan kapal selam harus berlayar dipermukaan.
5. Keputusan Presiden No. 103 Tahun 1963 tentang Lingkungan
Maritime.
Mencabut semua keputusan-keputusan Gubernur jenderal tentang
lingkungan maritime dan menyatakan seluruh bagian wilayah
perairan Indonesia sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 4
Tahun 1960, sebagai lingkungan Maritime.

6. Undang – undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen


Indonesia.
- Landas kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah dibawahnya
diluar wilayah RI sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana
masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi

143
kekayaan alam ;
- Kekayaan alam adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa di
dasar laut dan/atau didalam lapisan tanah dibawahnya.

7. Undang – undang No. 5 Tahun tentang Zona Ekonomi Eksklusif


Indonesia.
- ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut
wilayah Indoesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan
air diatasnya dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia ;
- Di ZEE Indonesia, Republik Indonesia mempunyai dan
melaksanakan; kedaulatan melaukan ekplorasi dan ekploitasi,
pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non
hayati dari dasar laut dan tanah dibawahnya serta air diatasnya
dan kegiatan-kegiatan
lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomi Zona tersebut,
seperti pembangkitan tenaga dari air, atau dan angin ;
- Sumber daya alam hayati adalah semua jenis binatang dan
Tumbuhan yang terdapat di dasar laut dan ruang air ZEE
Indonesia ;
- Sumber daya alam non hayuati adalah untus alam bukan sumber
Daya alam hayati yuang terdapa di dasar laut dan tanah
dibawahnya serta air ZEE Indonesia
- Kebebasan pelayaran diakui sesuai prinsip-prinsip hukum laut
internasional.

B. Konvensi Hukum Laut


1. Perairan Nusantara (archipelagic waters)
Mencakup laut yang terletak antara pulau-pulau Indonesia dan yang
ditutup oleh garis pangkal Nusantara yang ditarik sesuai ketentuan-
ketentuan konvensi.

144
2. Laut Wilayah
Selebar 12 mil yang mengelilingi Nusantara dan perairan
Nusantara.

3. Zona tambahan (contiguous zone)


Selebar 12 mil laut yang mengelilingi laut wilayah selebar 12 mil
laut dimana Indonesia dapat melaksanakan pengawasan atas
masalah-masalah bea cukai, fiskal, imigrasi atau kesehatan, zona
tambahan dapat ditarik 24 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar
laut wilayah diukur.

4. Zona Ekonomi Eksklusif


Selebar 200 mil laut garis pangkal dari mana lebar laut wilayah
diukur serta dimana Indonesaia melaksanakan kedaulatan diatas
sumber kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dan yurisdiksi
atas instalasi-instalasi, pulau buatan bangunan, pengaturan riset
ilmiah kelautan serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

5. Landas Kontinen
Selebar 200 mil laut dari garis pangkal atau hingga pinggiran luar
tepi kontinen. Pinggiran tepi kontinen dapat selebar 350 mil laut dari
garis pagkal atau tidak melebihi 100 mil laut dari garis batas
kedalaman air (isobath) 2.500 meter. Pinggiran laut tepi kontinen
dianggap sebagai batas dari kelanjutan alamiah wilayah daratan
pantai. Perbatasan-perbatasan ZEE dapat atau tidak perlu bersamaan
dengan batas landas kontinen karena kedua kosep – ZEE dan
landasan kontinen – sama sekali berlainan :
ZEE - Pada dasarnya hanya berlaku untuk kolom air serta sumber
kekayaan yang terkandung di dalamnya sehingga tidak terpengaruh
oleh topografi dan geomorfologi dasar laut.

145
Landas .Kontinen -Pada dasarnya mencakup wilayah dasar laut serta
tanah dibawahnya, dengan demikian sangat tergantung pada
perpanjangan alamiah dari wilayah daratan. Geologi dan
geomorfologi dasar laut, seperti halnya topografi adalah sangat
penting dalam mendefinisikan batas terluas dari landas kontinen
yang sah, yang dapat melampaui batas 200 mil laut ZEE.

6. Lintas Laut Damai (innocent passage)


Pelayaran yang melewati laut wilayah dengan tujuan salah satu
pelabuhan atau melintas dari luat bebas ke laut bebas tanpa
penyinggahan sebuah pelabuhan. Kapal asing yang menggunakan
lintas Damai tidak boleh melakukan tindakan-tindakan bermusuhan:
mengancam kedaulatan, menggunakan senjata, memata-matai,
propaganda terhadap keamanan, menyelundup, pencemaran minyak,
penangkapan ikan dan kegiatan lain yang tidak ada hubungannya
dengan pelayaran.

7. Jalur Laut (sea line)


Negara pantai dapat mensyaratkan kapal-kapal asing, khususnya
kapal-kapal tanker, kapal-kapal tenaga nuklir atau kapal-kapal lain
yang mengangkut muatan berbahaya, melintas laut wilayah lewat
jalur-jalur laut. Persyaratan ini ditetapkan demi keselamatan
pelayaran.

8. Laut Lepas (high seas)


- Kebebasan berlayar, penelitian, penangkapan ikan, dll ;
- Pemeriksaan oleh kapal perang terhadap kapal asing yang terlibat
dalam pembajakan,siaran gelap, tanpa kebangsaan, menolak
memperlihatkan bendera ;

146
- Pengejaran (hot porsuit) harus berawal dari laut wilayah, zona
tambahan atau air pedalaman dan dapat dilanjutkan keluar bats
wilayah serta memenuhi syarat segera dimulai, langsung dan
berlanjut.

C. Hukum Internasional
- Penyinggahan pelabuhan netral oleh kapal perang, hanya dapat
dilakukan untuk waktu tidak lebih dari 24 jam (kecuali jika
reparasi belum selesai atau cuaca buruk) dan jumlahnya
maksimum 3 kapal. Sedangkan untuk kapal perang yang sedang
bermusuhan tidak boleh berada di pelabuhan saat yang sama.
- Contraband, adalah barang yang diperuntukkan musuh, terbagi :
* Absout : digunakan khusus untuk keperluan perang ;
* Kondisional : untuk keperluan perang maupun damai.
- Blokade, adalah penutupan perdagangan daerah musuh oleh pihak
lawan dengan menempatkan kapal-kapal dimuka alur masuk
daerah musuh tersebut.
- Thalweg, pertengahan bagian yang dapat dilayari dari sebuah
sungai yang merupakan batas wilayah antara 2 negara.
- Karantina, suatu blokade angkatan laut yang terbatas dan terpilih
ditujukan kepada penyerahan senjata perang oleh pihak ketiga
kepada musuh (AS terhadap Kuba).

____!!!____

147

Anda mungkin juga menyukai