Anda di halaman 1dari 116

Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si.

TERORIS(ME):
AKTOR & ISU GLOBAL
ABAD XXI

i
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian
atau seluruh isi buku ini, serta memperjualbelikannya
tanpa mendapat izin tertulis dari Penerbit.

©2015, Penerbit Alfabeta, Bandung


(x + 106) 14,5 x 20,5 cm
Judul Buku : Teroris(Me) Aktor & Isu Global Abad XXI
Penulis : Dr. Agus Subagyo, S.IP., M.Si.
Penerbit : ALFABETA, cv
Telp. (022) 200 8822 Fax. (022) 2020 373
Email: alfabetabdg@yahoo.co.id
Website: www.cvalfabeta.com
Cetakan Kesatu : April 2015
ISBN :
Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)

ii
PENGANTAR PENULIS

Konstelasi politik internasional selalu mengalami


perubahan dari waktu ke waktu dan dari masa ke masa,
tergantung dari pola, interaksi, dan tata hubungan antar
negara. Pada masa Perang Dingin, konstelasi global diwarnai
dengan perebutan pengaruh antara Blok Barat (blok
liberalisme kapitalisme, Amerika Serikat, Eropa Barat) versus
Blok Timur (blok sosialisme komunisme, Uni Soviet dan
Eropa Timur), dimana penentuan kawan atau lawan
ditentukan oleh faktor ideologi. Pasca Perang Dingin,
konstelasi politik global mengalami perubahan dimana
dinamika global diwarnai oleh isu HAM, Demokrasi dan
Lingkungan Hidup. Penentuan kawan atau lawan dalam masa
itu ditentukan oleh nilai-nilai HAM dan demokrasi.
Demokrasi dan HAM menjadi penentu siapa kawan dan siapa
lawan dalam hubungan internasional.

Namun demikian, hal ini tidak berlangsung lama karena


terjadi tragedi WTC dan Pentagon, 11 September 2001, dimana
muncul isu terorisme yang mewarnai kebijakan politik antar
negara dalam konteks global. Penentuan kawan atau lawan
saat ini ditentukan oleh, apakah negara tersebut mendukung
perang global melawan terorisme atau tidak. Pola konstelasi
global dan kebijakan global sangat dipengaruhi oleh perang
global melawan terorisme yang dikumandangkan oleh
Amerika Serikat. Sebagai negara yang mengalami

iii
penyerangan oleh kaum teroris, maka Amerika Serikat
melakukan berbagai kampanye dan perang memberantas aksi,
gerakan dan organisasi teroris di seantero dunia.

Negara-negara di dunia, mau tidak mau, suka tidak


suka, harus melakukan pemihakan, apakah mendukung
Amerika Serikat melawan terorisme atau tidak. Negara-negara
yang mendukung Amerika Serikat melawan terorisme, maka
akan mendapatkan berbagai “hadiah” berupa bantuan dana
yang berlimpah dan berbagai “fasilitas” menarik lainnya dari
Amerika Serikat. Bagi negara-negara yang menolak perang
global Amerika Serikat melawan terorisme, maka Amerika
Serikat akan menjadikannya sebagai lawan yang harus
dicermati, diwaspadai, dan bahkan harus dihancurkan, seperti
yang menimpa Afghanistan (2001) dan Irak (2003), yang
hancur berkeping-keping diserang oleh tentara Amerika
Serikat.

Dinamika hubungan internasional sekarang ini terbelah


menjadi dua zona, yakni zona teroris dan zona anti teroris.
Semua negara di dunia terpengaruh oleh munculnya isu dan
aktor global abad 21, yakni teroris dan terorisme. Berbagai
organisasi internasional, seperti PBB juga setiap tahunnya
mengeluarkan daftar hitam nama-nama organisasi terorisme
internasional yang patut untuk dihancurkan. Berbagai
organisasi regional, seperti Asean dan Uni Eropanya misalnya,
mengeluarkan berbagai konvensi atau kesepakatan yang
menentang keberadaan terorisme dan melakukan langkah aksi
bersama untuk melawan terorisme.

iv
Sebagai negara yang terbuka terhadap dunia luar,
Indonesia terkena imbas dari perang global melawan
terorisme. Terlebih lagi di saat hampir berdekatan dengan
tragedi WTC dan Pentagon, 11 September 2001, Indonesia
mengalami serangan teroris dari para kaum teroris yang
diduga dilakukan oleh jaringan Jamaah Islamiyah (JI), dengan
adanya Bom Bali 1 pada bulan Oktober 2002. Disusul
kemudian dengan Bom Bali II tahun 2005, pengeboman
beberapa kedubes asing di Jakarta, obyek vital asing, hotel JW
Marriot, dan berbagai pengeboman yang terjadi secara
sporadis di beberapa wilayah Indonesia sampai dengan
sekarang ini.

Amerika Serikat, didukung oleh Australia


berkepentingan terhadap pemberantasan terorisme yang ada
di Indonesia. Oleh karena itu, berbagai cara dilakukan, mulai
dengan bantuan dana yang mengalir deras ke Indonesia untuk
membiayai pemberantasan terorisme sampai dengan
pembentukan Detasemen Khusus Anti Teror (Densus 88 AT)
Polri, yang sangat kental akan nuansa dan bentukan dari
Amerika Serikat dan Australia. Munculnya JCLEC yang
berpusat di Akpol Semarang sebagai tempat pendidikan,
pelatihan dan simulasi anti teror Polri dengan dukungan dan
bantuan teknis dan ahli dari Australia dan Amerika Serikat,
maka Polri sekarang ini memiliki kemampuan yang mumpuni
dan kompeten untuk menangani terorisme.

Amerika Serikat dan Barat berkepentingan terhadap


upaya pemberantasan terorisme di Indonesia mengingat
Indonesia adalah negara demokratis terbesar di Asia

v
Tenggara, sebagian besar penduduknya beragama muslim/
Islam, dan memiliki keragaman agama, etnis, dan budaya
yang komplek sehingga Barat sangat menginginkan agar
supaya kaum teroris di Indonesia dapat ditekan ruang
geraknya dan diberantas sampai ke akar-akarnya, agar supaya
kepentingan Barat di Indonesia dapat terjamin keamanannya
dengan kondusif. Amerika Serikat menyadari bahwa jaringan
terorisme di Indonesia memiliki tautan dan relasi dengan
jaringan terorisme internasional, Al Qaeda, sehingga
penguatan Densus 88 AT menjadi prioritas bagi kepentingan
Barat. Terlebih lagi, Amerika Serikat khawatir apabila kaum
teroris berhasil merebut pemerintahan dan mengubah ideologi
Pancasila menjadi Ideologi Islam, maka sudah pasti Barat akan
ketakutan karena akan sangat membahayakan keamanan
regional dan global.

Buku ini mengulas tentang aktor dan isu global abad


XXI yang banyak mendapatkan sorotan oleh publik
internasional, yaitu terorisme. Terorisme merupakan salah
satu aktor dalam hubungan internasional dan menjadi isu
global yang mewarnai konstelasi hubungan internasional
dewasa ini. Buku ini mengulas tentang terorisme yang dilihat
dari perspektif global dan hubungan internasional. Selain itu,
dibahas pula bagaimana dinamika aksi terorisme di Indonesia
dan upaya yang dilakukan oleh Polri, dan juga TNI, dalam
melakukan pemberantasan terhadap terorisme di Indonesia.

Buku ini sebenarnya berasal dari coretan-coretan penulis


sebagai bahan kuliah dalam mengajar mata kuliah “Terorisme
Internasional”, pada mahasiswa jurusan Hubungan

vi
Internasional, Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi.
Sebagai hand out kuliah, maka buku ini kemudian dilakukan
perbaikan dan pengeditan sana sini sehingga berhasil menjadi
sebuah buku yang layak dibaca oleh berbagai pihak yang
berkepentingan terhadap penanganan terorisme di Indonesia,
khususnya para dosen, mahasiswa, kalangan TNI, Polri dan
pengamat terorisme. Semoga buku ini dapat menambah
khazanah pustaka tentang terorisme di Indonesia. Amin.

Cimahi, 18 April 2015

Agus Subagyo (AS)

vii
DAFTAR ISI

Pengantar Penulis ................................................................. iii


Daftar Isi.................................................................................. viii

BAB 1
Hubungan Internasional dan Terorisme ......................... 1
A. HAM dan Hubungan Internasional................................ 4
B. Terorisme: Kembali Ke High Politics? ............................. 5
C. HAM versus Terorisme:
“Global Antiterrorism Governance” .................................... 12
D. Konteks Domestik Indonesia .......................................... 15

BAB 2
Dunia dan Terorisme ............................................................ 19
A. Amerika Serikat dan Ideologi “Politik Realis” ............. 19
B. Terorisme: Konstelasi Baru dalam Politik
Internasional....................................................................... 29
C. Global Antiterrorism Governance ........................................ 35
D. Aktor dan Isu Global Abad XXI ...................................... 42

BAB 3
Osama Bin Laden dan Terorisme ....................................... 49
A. Osama Bin Laden: Pahlawan atau Teroris? ................... 49
B. Osama Bin Laden: Dalang Tragedi WTC
dan Pentagon? .................................................................... 51

viii
BAB 4
Indonesia dan Terorisme .................................................... 55
A. Reformasi: Radikalisme, Terorisme dan Civil Society ... 55
B. Relasi Islam dan Negara Pasca Tragedi Bom Bali ....... 59
C. Relasi Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah ........................ 68

BAB 5
TNI dan Terorisme ............................................................... 73
A. TNI, Terorisme dan Perkembangan Lingkungan
Strategis .............................................................................. 74
B. TNI, Terorisme, dan Stabilitas Nasional ........................ 78
C. Daya Dorong TNI Terlibat Dalam Penanganan
Terorisme ........................................................................... 81
D. Peluang dan Kendala TNI ............................................... 84

BAB 6
Polri dan Terorisme .............................................................. 89
A. Polri, Densus 88 AT, dan Terorisme ............................... 89
B. Intelijen Polri dan Terorisme ........................................... 95

Daftar Pustaka ....................................................................... 101


Tentang Penulis .................................................................... 104

ix
x
BAB 1
HUBUNGAN INTERNASIONAL
DAN TERORISME

“Dua burung besi akan jatuh dari angkasa di atas metropolis.


Angkasa akan terbakar panas dengan suhu empat puluh lima
derajat. Kobaran api mendekati kota baru itu. Tak lama
kemudian sebuah jilatan api raksasa yang berserakan,
membumbung ke atas. Dalam waktu beberapa bulan setelah
itu, sungai-sungai akan dibanjiri darah” (Nostradamus).1

Peristiwa Selasa, 11 September 2001, yang menewas-


kan sekitar 6.000 orang warga sipil memang sangat dahsyat.
Mungkin, inilah peristiwa terdahsyat di awal abad ke-21.
Dampaknya kepada dunia, luar biasa. Meski hanya dialami
oleh AS, tak urung tragedi WTC dan Pentagon telah menjadi
“teror” bagi seluruh dunia. Dunia yang semula “tertidur
lelap”, sontak terbangun dan kini terus menerus berada dalam

1
Nama asli Nostradamus, sang peramal kontroversial ini, adalah Michel de
Notredame, lahir pada tanggal 14 Desember 1503 di sebuah kota kecil St. Remy di
Perancis. Ia meninggal tahun 1966, tepat seperti yang diramalkannya sendiri. Tentang
ramalannya terhadap tragedi WTC dan Pentagon ini dikutip dari Tim Redaksi Hot
Copy, Osama Bin Laden: Teroris atau Mujahid?, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2001), hlm. 72 - 74

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 1


deraan kekhawatiran dan kecemasan akan terjadinya
serangan serupa.

Hampir tak seorang pun meramalkan, serangan teroris


dengan modus “baru” seperti yang terjadi tanggal 11
September 2001. Sebuah pesawat langsung ditabrakkan di
menara kembar WTC, New York, pada pagi hari, di saat
jantung kota itu belum lagi berdetak. Selang beberapa menit
kemudian, sebuah pesawat ditabrakkan di gedung yang sama,
sehingga menara kembar itu benar-benar runtuh. Dan dalam
waktu yang bersamaan, sebuah pesawat dijatuhkan di
lambang kedigdayaan dan pusat kekuatan militer AS,
Pentagon. Disusul dengan satu pesawat lagi yang dijatuhkan
di Shanksville, Pensylvania. Dalam hitungan detik dan menit,
seluruh lambang kedigdayaan ekonomi dan militer AS hancur
lebur.2

Kepanikan dan ketakutan mewarnai AS. Presiden AS,


George W. Bush, segera mengumumkan kepada dunia bahwa
AS diserang teroris biadab. Dan tanpa didukung oleh data dan
fakta yang akurat, Bush menuduh Osama bin Laden dan
jaringan Al Qaeda sebagai dalang di balik tragedi kamikaze
itu. Rezim Taliban di Afghanistan yang tetap ngotot
melindungi Osama bin Laden dan kelompok Al Qaeda
dihancurkan oleh pasukan koalisi pimpinan AS,3 meskipun
tidak berhasil menangkap Osama bin laden.

2
Laporan kronologis-komprehensif mengenai tragedi serangan 11 September 2001 ini
dapat dibaca pada Adian Husaini, Jihad Osama versus Amerika, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), hlm. 30 - 35
3
Dikutip dari ZA. Maulani, Perang Afghanistan: Perang Menegakkan Hegemoni
Amerika di Asia Tenggara, (Jakarta: Dalancang Seta, 2002)

2 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Pasca tragedi Selasa kelabu dan runtuhnya rezim
Taliban oleh pasukan koalisi, AS segera mencanangkan
program perang melawan terorisme global. Tampilan politik
luar negeri AS cenderung agresif dan ofensif dalam
mengkampanyekan perburuan menghancurkan sel-sel Al
Qaeda dan jaringan terorisme global di seantero dunia.4
Prinsip-prinsip hak asasi manusia (selanjutnya disebut HAM)
dan kedaulatan negara, yang seharusnya dijunjung tinggi
dalam arena internasional, mulai tidak diindahkan demi
membasmi terorisme global.

Politik “bumi hangus”, yang sebenarnya telah


mengakar dalam realisme politik AS, telah menjadi ancaman
tersendiri bagi eksistensi dan implementasi HAM
internasional. Betapa tidak, dalam rangka menggelar perang
melawan terorisme global, cara atau metode yang
dipergunakan oleh AS sangat bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan kedaulatan negara. AS secara sembarangan
menuduh kelompok-kelompok Islam militan sebagai teroris
dan negara-negara yang sebelumnya membangkang atas
hegemoninya sebagai negara atau sarang teroris.

Tuduhan AS terhadap Irak, Iran, dan Korea Utara


sebagai poros kejahatan, dilanjutkan dengan rencana
penyerangan ke Irak, dan klaim bahwa kelompok-kelompok
pejuang Palestina sebagai teroris merupakan rangkaian
pernyataan yang sama sekali tidak menghormati prinsip hak
asasi manusia. Intervensi AS di Afghanistan, kehadiran

4
Mengenai politik luar negeri AS pasca tragedi WTC dan Pentagon dapat dilihat
dalam laporan Fokus Kompas, Minggu, 14 Oktober 2001, hlm. 25 – 34.

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 3


pasukan militer AS di negara-negara yang disinyalir menjadi
basis terorisme, dan embargo ekonomi bagi negara yang
dipandang mendukung terorisme global adalah contoh-
contoh bahwa AS – yang sebelumnya menggembar-
gemborkan HAM – malah dengan sendirinya melanggar
HAM dan kedaulatan negara.

Dari alur cerita di atas, tulisan sederhana ini ingin


mengupas eksistensi HAM dalam konteks hubungan
internasional, khususnya jika dikaitkan dan di fokuskan pada
rentetan perubahan tata politik global pasca tragedi WTC dan
Pentagon. Agar alur penulisan tulisan ini sistematis dan logis,
proses pemaparannya akan dituangkan dalam beberapa
pertanyaan berikut ini: Apa yang dimaksud dengan hak asasi
manusia dan bagaimana implementasinya dalam konteks hubungan
internasional? Bagaimana posisi dan eksistensi HAM dalam tragedi
WTC dan Pentagon yang dilanjutkan dengan perang AS melawan
terorisme global? Bagaimana pula cara ideal penanganan masalah
terorisme yang tetap berpegang teguh pada prinsip HAM? Dan
dalam konteks Indonesia, bagaimana pilihan kebijakan strategis yang
harus diambil?. Pertanyaan-pertanyaan kritis inilah yang akan
dicoba untuk dijawab dalam makalah ini.

A. HAM dalam Hubungan Internasional

Dalam literature Ilmu Politik, hak asasi adalah hak yang


dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya
bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam
kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu
dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama

4 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


atau kelamin, dan karena itu bersifat asasi serta universal.
Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia harus
memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan
bakat dan cita-citanya.5

Secara historis-empiris, tonggak-tonggak penting


pemikiran dan gerakan hak asasi manusia dapat dilacak
kembali pada lahirnya Magna Charta 1215, Glorius Revolution
1688, Deklarasi Kemerdekaan AS, pemikiran Trias Politika,
dan Kontrak Sosial. Isu pokoknya adalah bahwa kewenangan
negara harus mewujudkan dan sekaligus memberikan
perlindungan atas hak-hak individu, hak-hak politik, sipil
maupun hak-hak ekonomi.6

Diilhami oleh kepahitan Perang Dunia I dan Perang


Dunia II yang menginjak-injak HAM, PBB, yang dibentuk oleh
negara-negara pemenang perang, memperjuangkan apa yang
dalam piagamnya disebut sebagai penghormatan atas HAM
dan kebebasan fundamental (respect for human rights and for
fundamental freedom). Badan Dunia itu kemudian
memproklamirkan Universal Declaration of Human Rights pada
tahun 1948 yang dalam perkembangannya dijabarkan dalam
dua perjanjian: International Covenant on Civil and Political
Rights dan International Covenant on Social, Economic, and

5
Lihat Mirriam Budiadrjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993), hlm. 120
6
Banyak dikutip dari Edy Prasetyono, Hak Asasi Manusia dalam Hubungan
Internasional, (Jakarta: CSIS, Maret 1992), hlm. 2 – 3. Sub Bab ini banyak mengutip
dari buku Edy Prasetyono sehingga penulis memohon ijin secara tertulis dalam
catatan kaki ini untuk mengutipnya mengingat tulisan beliau sangat bagus sekali dan
patut untuk disebarluaskan kepada khalayak dunia akademis agar supaya dapat
dibaca dan dipahami oleh semua pihak tentang nilai-nilai HAM dalam konteks global.

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 5


Cultural Rights. Tonggak HAM yang lain adalah perjanjian
Helsinki (Final Act of Helsinki) 1975.7

Dalam konteks hubungan internasional, upaya


implementasi HAM mengalami benturan dan perdebatan.
Kisaran perdebatan terletak pada masalah bagaimana
interaksi antara implementasi nilai HAM yang bersifat
universal-internasional dengan kedaulatan negara.
Dimanakah domain masalah hak asasi, apakah ini merupakan
masalah domestik suatu negara yang kedaulatannya tidak
dapat diganggu gugat ataukah ia sebagai masalah yang
melampaui batas-batas kedaulatan negara.

Secara garis besar, perdebatan itu dapat dirangkum


dalam dua pandangan berikut. Pertama, Autonomy of States.
Pandangan ini menekankan pada pengakuan atas prinsip
kedaulatan negara dalam hubungan internasional. Masalah
yang muncul pada negara tertentu, termasuk masalah hak
asasi, dilihat sebagai masalah domestik. Pandangan ini
didasarkan pada prinsip tidak campur tangan (non-
intervention) urusan dalam negara lain.8

7
Edy Prasetyono, Ibid., Meskipun sejak berakhirnya Perang Dunia II, diformulasikan
hak asasi manusia yang dicetuskan melalui pernyataan hak asasi sedunia 1948,
Internasional Bill of Rights 1966, dan Perjanjian Helsinki 1975, dalam
implemenatsinya banyak mengalami kegagalan. Sebab umumnya adalah karena
perhatian internasional terfokus pada isu high politics perang Dingin yang dalam
beragam kasus telah menenggelamkan isu-isu HAM. Bahkan AS misalnya, yang
menamakan dirinya sebagai pelindung HAM dan demokrasi, selama perang Dingin
harus bekerjasama dengan pemerintah militer di banyak negara sebagai koordinasi
globalnya menghadapi Uni Soviet. Uraian tentang ambivalensi AS dalam
melaksanakan HAM dapat dibaca pada Sidik Jatmika, AS Penghambat Demokrasi,
(Yogyakarta: Tarawang Press, 2000) dan Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia
dalam Tata Dunia Baru: Menggugat Dominasi Global Barat, (Bandung: Mizan, 1995).
8
Edy Prasetyono, Ibid. Pendukung utama pandangan ini adalah Michael Walzer, Just
and Unjust Wars, (New York: Basic Books, 1977).

6 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Pandangan Autonomy of States bersumber dari pemikiran
klasik Thomas Hobbes, yaitu bahwa dalam hubungan
internasional, masing-masing negara mempunyai kedudukan
yang sama; dalam keadaan states of nature. Karena itu,
kedaulatan negara tidak dapat disubordinasi terhadap hukum
yang lebih tinggi; suatu hukum internasional. Karena asas
kedaulatan negara, hubungan internasional harus
menghormati hak-hak menentukan nasib sendiri (the rights of
self-determination) suatu negara.9

Kedua, cospolitan perspective. Pandangan ini bertumpu


pada pengakuan HAM pada tingkat individu secara universal.
Karena itu, masalah hak asasi pada hakekatnya melampaui
bats-batas nasional negara bangsa. Dalam dunia yang
mengalami saling ketergantungan, tidak relevan membatasi
prinsip keadilan dalam batas-batas nasional yang sempit.10

Dengan kata lain, langkah intervensi politik dan


ekonomi diperlukan untuk menciptakan keadilan dunia,
termasuk di dalamnya HAM. Agak lebih ekstrem, argumen-
argumen universal-kosmopolitan mentolerir kemungkinan
intervensi militer ke negara yang dianggap melanggar HAM

9
Edy Prasetyono, Ibid. Uraian lebih lanjut tentang logika berpikir Thomas Hobbes ini
dapat dilihat dalam Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung: Mizan,
1993), hlm. 73 – 80. dan juga dapat dilihat dalam Harwanto Dahlan, Al qur’an dan
Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Fisipol UMY, 1996), hlm. 36 –37.
10
Edy Prasetyono, Ibid. Lebih jauh tentang hal ini, baca Charles Beitz, Political Theory
and International Relations, (Princeton: Princeton University Press, 1979), hlm. 97 -
102

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 7


atau yang pemerintahannya tidak absah (illegitimate) atau
tidak demokratis.11

Meskipun Autonomy of States dan Cosmopolitan


Perspective saling bertolak belakang baik dilihat dari asumsi-
asumsi yang mendasari maupun pemikiran yang
dikembangkan, terdapat kesamaan yang mendasar, yakni
keduanya mengklaim HAM sebagai masalah fundamental
dari demokrasi. Ironisnya, kesamaan klaim ini tidak dapat
mencegah pertentangan seputar pengaplikasian isu HAM
secara internasional atau proses internasionalisasi HAM.12

B. Terorisme: Kembali ke High Politics?

Bagaimana posisi dan eksistensi HAM dalam konteks


politik global pasca serangan teroris, 11 September 2001?.
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu kiranya dipaparkan
terlebih dahulu perubahan besar dalam konteks ekonomi
politik internasional pada masa perang Dunia II dan perang
Dingin.

Konstelasi politik internasional pasca perang Dunia II


mengalami perubahan yang besaran, luasan, dan
kedalamannya luar biasa. Munculnya AS dan US sebagai

11
Edy Prasetyono, Ibid. Lebih jauh tentang hal ini, baca Carol C. Gould, Rethinking
Democracy: Freedom and Social Cooperation in Politics, Economy, and Society, (New
York: Cambridge University Press, 1988), hlm. 354 – 356.
12
Edy Prasetyono, Ibid. Perdebatan ini kemudian mengundang dua penafsiran yang
berbeda tentang HAM. Pertama, bahwa isu ham adalah alat negara-negara Barat
untuk mengejar kepentingan sendiri sekaligus strategi untuk melakukan intervensi ke
negara lain. Kedua, bahwa isu ham adalah suatu keharusan sejarah manusia yang
tak terelakkan. Lebih jauh untuk bahan bacaan tentang hal ini, baca Morton H.
Halperin dan Jeane M. Woods, “Ending the Cold War at Home”, dalam Foreign Policy,
No. 81 (Winter 1980-1991), hlm. 141.

8 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


negara adidaya, kemerosotan dan kebangkitan kembali Eropa
dan Jepang sebagai aktor ekonomi politik utama, peningkatan
ketegangan Utara-selatan, dan munculnya negara-negara
Dunia Ketiga yang baru saja terbebas dari belenggu
kolonialisme-imperialisme adalah rangkaian realitas
perubahan-perubahan besar itu. Orientasi dan isu yang
13

mewarnai tata politik global dan menjadi karakteristik perang


Dingin saat itu adalah high politics (ideologi, militer dan
keamanan).

Namun, berakhirnya perang Dingin, dunia mengalami


perubahan-perubahan cepat dan mendasar diberbagai bidang
yang pada gilirannya mengakibatkan berlanjutnya proses
transformasi luas pada peta politik dan ekonomi global serta
pada pola hubungan antar negara. Paling tidak terdapat
empat perubahan mendasar yang akan turut menentukan
wujud tatanan politik dunia.14

Pertama, kecenderungan ke arah perubahan dalam


konstelasi politik global dari suatu kerangka bipolar
mengarah ke kerangka multipolar. Kedua, menguatnya gejala
saling ketergantungan (interdependensi) antar negara dan
saling keterkaitan (interlink age) antar masalah global
diberbagai bidang, politik, keamanan, ekonomi, dan

13
Mengenai dinamika perubahan sistem internasional pasca perang Dunia II beserta
dampak ikutannya ini dapat dilihat secara mendalam dalam Walter S. Jones, Logika
Hubungan Internasional: Kekuasaan, Ekonomi Politik Internasional dan Tatanan
Dunia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 47 – 54 dan S.L. Roy
Diplomasi, terjemahan Harwanto& Mirsawati, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm.
104 – 110.
14
Dikutip dari Ali Alatas, Tatanan Politik Dunia Abad XXI”, dalam Kompas, 28 Juni
2000; Mari Elka Pangestu, “Tatanan Ekonomi Dunia Abad Ke-21 dan Implikasinya
bagi Indonesia”, Kompas, 28 Juni 2000, hlm. 30.

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 9


lingkungan hidup. Seiring dengan itu, semakin menguat pula
dampak globalisasi dengan segi implikasinya, baik yang
positif maupun yang negatif.

Ketiga, meningkatnya peranan-peranan aktor non


pemerintah dalam tata hubungan antar negara. Keempat,
munculnya isu baru dalam agenda internasional, seperti
masalah HAM, intervensi humaniter, demokrasi, good
governance, civil society, lingkungan hidup dan pemberantasan
korupsi.

Dengan demikian, perubahan tata politik global pasca


perang Dingin telah menggeser isu high politics menjadi low
politics. Bahkan, pada dasawarsa 1990-an, semakin menguat
gejala baru dalam tata hubungan internasional, yaitu
kecenderungan ke arah apa yang disebut dengan “intervensi
humaniter”.15 Kemelut yang terjadi di Somalia, Rwanda, Haiti,
Kosovo, dan Kongo merupakan kasus yang sangat kental
bernuansa intervensi humaniter.

Belum selesai dunia menyaksikan perubahan tata


ekonomi politik global yang mengarah pada kecenderungan
isu low politics, masyarakat internasional dikejutkan oleh
serangan teroris ke gedung WTC dan Pentagon, AS, 11
September 2001. Tragedi kemanusiaan yang meluluhlantak-
kan simbol-simbol kedigdayaan AS telah mengubah skenario
politik global.

Segera setelah itu, AS segera menghancurkan rezim


Taliban di Afghanistan yang dianggap melindungi Osama bin

10 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Laden dan jamaah Al Qaeda. Tidak itu saja, AS secara getol
mengkampanyekan gerakan dan perang melawan terorisme
global dengan cara apapun. Sejak itu, AS mengubah politik
luar negerinya menjadi agresif, ofensif, dan represif dengan
prioritas utama membasmi terorisme global.16 Presiden Bush
pun menggalang “koalisi millenium” untuk menghukum
kelompok dan negara yang melindungi teroris.17

Ideologi politik luar negeri pasca tragedi WTC dan


Pentagon bersumber pada Doktrin Bush, yang berbunyi,
“kalau anda bukan teman saya, pastilah anda musuh saya.
Saya tidak membedakan teroris dengan negara yang
melindungi teroris”.18 Doktrin Bush inilah yang menjadi
pijakan baru bagi AS dalam memberantas terorisme global.

Dari perspektif politik global, Doktrin Bush telah


membentangkan garis demarkasi yang membelah dunia
menjadi dua: Teroris atau bukan teroris. Masyarakat
internasional seolah-olah diberi pilihan, yaitu ikut AS
mendukung pemberantasan terorisme global atau
mendukung terorisme yang berarti melawan AS. Isu terorisme
telah menjadi semacam alat bagi AS untuk menentukan siapa
kawan dan lawan. Hal ini persis dengan istilah “komunis

15
Agus Subagyo, Modernitas, Humanisme dan Krisis Kemanusiaan, Kompas, 18
Januari 2001, hlm. 4
16
Agus Subagyo, Amerika Serikat dan Ideologi Politik Realis, Radar Jogja (Group
Jawa Pos), 24 Oktober 2001, hlm. 4
17
Terorisme telah menjadi isu utama di awal millennium ketiga dan teroris sebagai
aktor global abad XXI. Terorisme telah menggeser isu HAM dalam politik
internasional. Lihat Agus Subagyo, Teroris, Aktor Global Abad XXI, Kompas, 16
November 2001, hlm. 4
18
Lebih lanjut tentang langkah-langkah Bush pasca tragedi WTC dan Pentagon
melawan terorisme global, lihat Agus Subagyo, Doktrin Bush, Terorisme, dan
Anarkisme Internasional, Pikiran Rakyat, 12 Desember 2001.

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 11


versus kapitalis” dalam perang dingin dan “intervensi
humaniter” pasca perang Dingin.19

Begitu pula yang dilakukan AS saat ini. Pemikiran dan


langkah politik luar negerinya didasarkan pada ideologi
“antiterorisme”. Gerakan antiterorisme ini digelar melalui
politik “stick and carrot” yang merupakan wujud politik belah
bambunya.20 padahal, jika itu dilakukan akan cenderung
melanggar prinsip HAM internasional.

Demikianlah, tragedi WTC dan pentagon yang disusul


dengan balas dendam AS terhadap terorisme global telah
mengubah isu politik global dari low politics menjadi high
politics kembali. Isu-isu mengenai militer, persenjataan nuklir,
keamanan, dan antiterorisme semakin mengemuka kembali.
Isu “intervensi humaniter” yang menggejala pad dasawarsa
1990-an telah bergeser menjadi “intervensi antiterorisme”.
Bahkan, AS telah membangun opini dunia untuk mendukung
upaya AS menyerang negara-negara yang dianggap
melindungi teroris tas nama intervensi antiterorisme. Padahal,
timbul kekhawatiran bahwa langkah itu akan menginjak-injak
dan tidak mengindahkan prinsip HAM internasional.

C. HAM versus Terorisme: “Global Antiterrorism


Governance”

Dalam konstruk teoritik, istilah HAM dan terorisme


merupakan istilah yang berlawanan. HAM sangat menjunjung

19
Agus subagyo, HAM versus Terorisme, Bernas, 9 Desember 2001, hlm. 4
20
Adian Husaini, Op cit. Dan juga dapat dibaca pada Noam Chomsky, Maling Teriak
Maling: Amerika Sang Teroris?, cetakan II, (Bandung: Mizan, 2001).

12 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


tinggi nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, keadilan, dan
perdamaian. Sedangkan terorisme seringkali disinonimkan
dengan penggunaan atau ancaman kekerasan fisik namun
berdampak psikologis tinggi karena ia menciptakan ketakutan
dan kejutan.21 singkatnya, terorisme sangat dekat dengan
anarkisme, brutalisme, dan kekerasan.

Yang menjadi masalah kemudian adalah bagaimana cara


menangani dan mencegah tindak terorisme itu. Kesulitan
yang dihadapi adalah kenyataan bahwa kegiatan terorisme
telah melintas batas antar negara. Masalah “metode”
penanganan terhadap terorisme global inilah yang terus
menerus menimbulkan pro kontra. Substansi dari masing-
masing negara terhadap terorisme global sama, yakni harus
dicegah dan diberantas karena sangat bertentangan dan
mengancam perdamaian, stabilitas, dan keamanan
internasional. Namun, cara atau metode yang harus ditempuh
belum ada kesepakatan yang bersifat global.

Bahkan, perdebatan ini semakin memuncak ketika AS


secara sembarangan menuduh negara-negara yang dulunya
membangkang terhadap hegemoninya, dengan sebutan
teroris, poros kejahatan, dan sarang teroris.22 Rencana AS

21
Dikutip dari Encyclopedia Americana, (USA: Glorier Incorporated, 1993), hlm. 34
dan juga dapat diperiksa dalam Grant Wardlaw, Political Terrorism: Theory, Tactic,
and Counter-Measures, (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), hlm. 1 – 2.
22
Perburuan terorisme global tanpa mengindahkan prinsip-prinsip HAM oleh AS ini
menimbulkan ketegangan-ketegangan di kawasan Asia. Di Asia Tenggara, isu
kehadiran militer AS telah memancing ketegangan intra negara ASEAN. Di Timur
Tengah, Irak dan Iran direncanakan untuk diserang AS dengan dalih melindungi
terorisme. Di Asia Timur, ketegangan di semenanjung Korea makin menghangat
karena dipicu oleh pernyataan-pernyataan kontroversial AS. Isu terorisme dan
manuver-manuver Bush telah berimplikasi kritis terhadap stabilitas kawasan. Lihat
Rene L. Pattiradjawane, Terorisme Global: Berdampak Kritis bagi Kerjasama
Kawasan, Kompas, 24 Februari 2002, hlm. 3

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 13


menyerang negara-negara yang dianggap melindungi teroris
atas nama “intervensi antiterorisme” merupakan pemikiran
yang melanggar HAM internasional dan kedaulatan negara.
Nampaknya, AS akan menanggalkan prinsip HAM dan lebih
menonjolkan adagium “intervensi antiterorisme” dalam
memburu terorisme global.23 Kecenderungan ini semakin kuat
mengingat AS adalah komandan perang melawan terorisme
global sehingga bisa berbuat apa saja terhadap negara-negara
kecil dengan dalih intervensi antiterorisme.

Oleh karena itu, agar supaya perang melawan terorisme


global ini tidak mematikan prinsip-prinsip HAM, diperlukan
suatu kerangka konseptual, yang harus dirumuskan oleh
seluruh negara-negara di dunia, yang dapat dijadikan batu
pijakan dalam memberantas terorisme global sekaligus
sebagai pengontrol bias-bias HAM politik luar negeri AS. PBB
seharusnya merumuskan “Global Antiterrorism Governance”,
yakni suatu sistem pengelolaan dan penanganan masalah
terorisme secara global-universal.24 Jika ini disepakati oleh
masing-masing negara, upaya pemberantasan aksi terorisme
global tidak akan menimbulkan perdebatan panjang.

Di samping itu, PBB juga harus mengambil alih tongkat


komando perang melawan terorisme. Semua langkah yang
berkaitan dengan terorisme harus didiskusikan lewat forum
PBB sehingga akan tercipta sinergi positif-efektif dalam
memerangi terorisme global. Konsep “global antiterrorism

23
Agus Subagyo, Dari Intervensi Humaniter menuju Intervensi Antiterorisme, Pikiran
rakyat, 6 Januari 2002, hlm. 4.
24
Agus Subagyo, “Global Antiterrorism Governance”, Radar Jogja (Group Jawa Pos),
27 Februari 2002, hlm. 6

14 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


governance” juga harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip
HAM baik berskala nasional maupun internasional.25 Dengan
begitu, ancaman pelanggaran HAM oleh AS dalam
memberantas terorisme dapat dicegah seminimal mungkin.

D. Konteks Domestik Indonesia

Perubahan global diawal milenium ketiga ini, tentu saja


mendorong setiap negara dan lembaga internasional, untuk
menyesuaikan diri pada konstelasi global tersebut. Dan dalam
konteks Indonesia, berbagai perubahan itu memunculkan
aneka ragam tantangan sekaligus peluang baru bagi Indonesia
di masa mendatang. Terlebih lagi, pasca tragedi WTC dan
Pentagon, Indonesia banyak mendapat sorotan dunia
internasional berkait dengan penangkapan Agus Budiman di
AS, Faturohman Al Ghozi dan Tamsil Linrung di Filipina, dan
Tuduhan Lee Kuan Yew bahwa Indonesia sebagai sarang
teroris.26

Meski dalam posisi sulit, Indonesia mendukung


Resolusi DK PBB No. 1373 untuk memberantas terorisme
global dengan cara-cara yang manusiawi dan berpegang
teguh pada prinsip HAM. Hal itu penting bagi politik luar
negeri Indonesia mengingat adanya realitas bahwa negara-
negara Barat akan memberikan bantuan dana bagi pemulihan
ekonomi apabila Indonesia mendukung perang melawan
terorisme global.

25
Ibid
26
Kompas, 21 dan 22 Maret 2002, hlm. 1 - 2

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 15


Upaya Indonesia dalam memerangi terorisme global
yang terdiri dari tiga lapis strategi terekam dalam laporan
yang disampaikan kepada komite kontra terorisme (Center
Terrorism Committee/CTC) DK PBB berikut ini.27

Pertama, dalam skala internasional, Indonesia berupaya


memperluas kerjasama dengan ASEAN, Gerakan Non Blok
(GNB), Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan negara-negara
Pasifik. Kedua, dalam skala regional, Indonesia juga terlibat
secara intensif melawan terorisme bersama Filipina,
Singapura, dan Malaysia. Bahkan, Indonesia juga menanda-
tangani sebuah Memorandum of Understanding untuk
memberantas terorisme bersama Australia. Ketiga, dalam skala
nasional, Indonesia secara intensif menggodog RUU
antiterorisme, RUU money laundering, dan memperbaiki sistem
keimigrasian.

Berkait dengan RUU antiterorisme, masih menimbulkan


perdebatan oleh berbagai kalangan. Sebagian besar kalangan
mengkritisi RUU antiterorisme sebagai anti prinsip HAM dan
nilai demokrasi.28 Pasal-pasal dalam RUU itu mengarah pada
kembalinya security approach dalam mengelola politik nasional
sebagaimana diterapkan rezim Orde baru. Oleh karena itu,
RUU itu harus memerlukan peninjauan kembali secara
mendalam.29

27
Rien Kuntari, Indonesia dan Terorisme: Upaya Indonesia, Kompas, 17 Februari
2002, hlm. 3
28
Agus Subagyo, Menyoal RUU Antiterorisme, Bernas, 9 Maret 2002, hlm. 4
29
Bambang Cipto, “Mempersoalkan Urgensi Penerapan dan Kandungan Pelanggaran
HAM dalam RUU pemberantasan Terorisme”, Makalah disampaikan dalam seminar
”RUU Pemberantasan Terorisme”, yang diselenggarakan LBH Yogyakarta – PKBH
UMY, 11 Maret 2002.

16 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Demikianlah, Indonesia harus melakukan proses-proses
penyesuaian diri dalam berinteraksi dengan negara-negara
lain di dunia. Para pemikir dan perumus kebijakan luar negeri
menyadari bahwa konteks global pasca serangan 11
September 2001 telah mengalami perubahan-perubahan
mendasar. Isu HAM sudah bergeser menjadi isu terorisme.
Perang melawan terorisme global yang dilakukan oleh AS
berimplikasi pada terpasungnya prinsip HAM. Oleh karena
itu, konsep “global antiterrorism governance” harus segera
dirumuskan oleh masing-masing negara melalui prosedur
organisasi internasional, yakni PBB.

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 17


18 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI
BAB 2
DUNIA DAN TERORISME

A. Amerika Serikat dan Ideologi “Politik Realis”

Pasca 11 September 2001, perhatian Dunia internasional


tersedot pada isu seputar aksi terorisme. Peristiwa
penghancuran gedung World Trade Center di New York dan
gedung Pentagon, Kantor Departemen Pertahanan AS, di
Washington, oleh pesawat komersial yang diduga dibajak
kelompok terorisme pada tanggal 11 September yang lalu,
membelalakkan mata setiap orang. Dua gedung yang
merupakan “icon-icon” penting AS ini telah rata dengan tanah
dalam waktu yang relatif singkat. AS pun panik dan cemas
sembari mencari tahu siapa yang berada di belakang aksi teror
tersebut. Kemarahan AS semakin menjadi-jadi ketika melihat
kenyataan bahwa korban meninggal mencapai 5.700 orang
penduduk sipil.

Di tengah suasana kekalutan dan berkabung atas tragedi


bersejarah itu, presiden AS, George W. Bush, membuat
pernyataan kontroversial bahwa yang menjadi “dalang” atas
tragedi WTC dan Pentagon adalah Osama Bin Laden beserta

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 19


jaringan Al Qaeda yang saat ini bermarkas di Afghanistan.
Dalam perkembangannya, AS dibantu dengan Inggris mulai
melakukan serangan udara atas basis-basis militer dan
instalasi persenjataan tentara Taliban yang dianggap
melindungi Osama Bin Laden. Sebelum menyerang, Presiden
Bush menggalang dukungan internasional untuk memerangi
aksi terorisme dan mencanangkan slogan gerakan anti
terorisme. Serangan AS ke Afghanistan adalah bagian dari
gerakan anti terorisme. Serangan udara AS yang dimulai sejak
7 Oktober lalu inipun, kontan saja mengalihkan perhatian
dunia internasional dari AS ke Afghanistan.

Pengeboman bertalu-talu militer AS terhadap basis-basis


kekuatan Taliban dan Al Qaeda baik yang ada di kabul
maupun Kandahar dan Masar I Sharif menimbulkan reaksi pro
kontra dari berbagai negara di dunia. Di sebagian besar
negara-negara Islam, muncul gerakan dan aksi demonstrasi
anti Amerika yang kemudian bermuara pada isu sensitif, yaitu
jihad Islam. Di Amerika serikat pun, muncul demonstrasi
yang menolak serangan AS terhadap Afghanistan. Tapi,
berbeda dengan rakyatnya, pemerintahan Pakistan, Tajikistan,
dan Uzbekistan setuju atau mendukung serangan AS tersebut.
Bahkan, ketiga negara ini memperbolehkan wilayahnya
digunakan sebagai pangkalan militer untuk pasukan AS.

Kendati demikian, sebagian besar negara-negara di


dunia sepakat bahwa perlu suatu kesepakatan untuk mem-
bentuk suatu gerakan dalam memerangi terorisme. Semua
menyetujui bahwa gerakan terorisme adalah bertentangan
dengan hak asasi manusia dan kemanusiaan. Semua juga

20 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


mendukung upaya AS dalam memerangi terorisme. Namun,
banyak negara yang tidak setuju cara-cara yang dilakukan AS
menghancurkan terorisme dengan menyerang Afghanistan
sebagai sebuah negara yang berdaulat.

Tindakan serangan membabi buta pasukan AS yang


pada kenyataannya kerapkali salah sasaran, melukai dan
menghujami sasaran-sasaran sipil sehingga menimbulkan
korban jiwa di kalangan rakyat biasa, dinilai oleh sebagian
besar kalangan tidak memperhatikan dan mengindahkan
beberapa pertanyaan berikut: Apakah benar sudah terbukti secara
hukum bahwa Osama Bin Laden dan jaringan Al Qaedanya terlibat
atas hancurnya gedung WTC dan Pentagon? Mengapa AS lebih
memilih pendekatan militer ketimbang upaya-upaya diplomasi dan
negosiasi? Apa ada motif lain, AS menyerang Afghanistan selain
menangkap dan menghukum Osama Bin Laden? Bagaimana pula
dengan perlunya mediator untuk menengahi dan mencari jalan
keluar terhadap konflik AS-Afghanistan tersebut?.

Pandangan dan tindakan AS yang positivistik dalam


menangani permasalahan-permasalahan internasional telah
mengabaikan nilai-nilai hukum dan aturan-aturan demokratis
yang selama ini ia junjung tinggi. Betapa tidak, belum ada
bukti-bukti kuat dan kongkret mengenai keterlibatan Osama
Bin Laden dalam tragedi WTC dan Pentagon, AS sudah buru-
buru mengecam, menuduh, dan menetapkan Osama Bin
Laden sebagai tersangka. Tatkala ditanya bukti-bukti
kongkret, Presiden Bush tidak pernah mau memberikan dan
membeberkan bukti-bukti atau data-data keterlibatan Osama
Bin Laden, dengan alasan informasi itu sangat rahasia (top
secret) dan bisa membahayakan cara kerja dinas intelijen AS.

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 21


Yang justru sangat berbahaya sebenarnya adalah
bagaimana kalau kelak diketahui bahwa yang menabrakkan
pesawat ke WTC dan Pentagon itu ternyata kelompok teroris
lain, bukan Osama Bin Laden dan jaringan Al Qaedanya.
Banyak kalangan menilai bahwa serangan yang dilancarkan
AS ke Afghanistan tidak lebih dari tindakan balas dendam
dan ambisi pribadi presiden Bush terhadap pemerintahan atau
rezim Taliban. Sebagaimana diketahui, rezim Taliban selalu
melindungi Osama Bin Laden ketika terjadi peristiwa
pengeboman Kedutaan Besar AS di Kenya dan Tanzania
tahun 1998 lalu yang menewaskan 250 orang penduduk. Atas
hancurnya Kedutaan Besar AS tersebut, AS Menuduh dan
berusaha menangkap Osama Bin Laden, tapi berkat
perlindungan rezim Taliban, AS tidak berhasil
menghukumnya.

Sejak saat itu, AS pun melakukan “black list” terhadap


rezim Taliban dan menjadikannya sebagai sasaran gerakan
anti terorisme. Tragedi 11 September lalu kemudian dijadikan
momentum bagi AS untuk menangkap dan menghukum
Osama Bin Laden hidup atau mati. Nampaknya, Penetapan
Osama Bin laden sebagai tersangka dan dalang aksi terorisme
11 September lalu didasari oleh motivasi subyektif, tendensius
dan balas dendam, bukan atas dasar asas praduga tak
bersalah. AS lebih mengedepankan asas praduga bersalah
sehingga dapat menurunkan citranya sebagai negara yang
menjunjung tinggi aturan-aturan hukum dan demokrasi.

Hans J. Morgenthau (1978), seorang pelopor realisme


politik internasional, mengatakan bahwa salah satu asumsi

22 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


realisme politik adalah kemampuannya mempengaruhi
negara lain melalui penggunaan kekuasaan, kekuatan, dan
kekerasan tanpa mengindahkan nilai-nilai moral dan etika.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa politik luar negeri AS
selalu bernafaskan ideologi “realisme politik”. Berbagai
tindakan AS, khususnya pada masa perang Dingin sangat
kental akan nuansa realisme politik. Dalam menyelesaikan
masalah-masalah internasional, AS cenderung senang
menggunakan kekuatan militer ketimbang negosiasi dan
diplomasi.

Inilah yang merupakan jawaban sekaligus penjelasan


atas tindakan AS melakukan pengeboman terhadap
Afghanistan. AS tidak mau melakukan negosiasi untuk
mencapai kompromi. Negosiasi dilakukan setelah upaya
penyerangan berhasil dilakukan. Dengan kata lain, AS lebih
mengedepankan diplomacy of violence. Upaya penyelesaian
masalah secara realistis, praktis, cepat dan mudah ini selalu
menjadi kebiasaan buruk militer AS sejak dahulu. Secara
historis, ini dapat dilihat mulai dari penjatuhan bom atom di
Hiroshima dan Nagasaki, Invasinya terhadap Haiti, Operasi
“carpet bombing” di Vietnam dan Kamboja, pemboman AS
terhadap Libya tahun 1998, serangan dan embargo atas Irak
sampai dengan penyerangan AS atas Afghanistan “hanya”
untuk menangkap seorang yang bernama Osama Bin Laden.

Realisme politik yang selalu ditampilkan oleh AS ini


sebenarnya tidak dapat menyelesaikan persoalan secara
komprehensif dan tuntas. Bahkan, penggunaan kekuatan dan
daya paksa semacam itu hanya akan menimbulkan resistensi

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 23


dan perlawanan yang keras dari rezim Taliban. Dan yang
dikhawatirkan lagi adalah timbulnya solidaritas dari umat
Islam di seluruh dunia yang mengancam akan melakukan
jihad Islam, meskipun hal itu bukan dalam konteks perang
agama.

AS seharusnya mulai menghapuskan realisme politik


yang selama ini di praktekkan pada negara-negara yang dia
anggap sebagai “pembangkang dan teroris”. Para pengambil
keputusan AS seyogyanya mengedepankan manajemen
konflik yang proporsional dalam mengatasi rezim Taliban dan
menangkap Osama Bin Laden. Sebagai negara yang mengaku
campiun demokrasi, AS harus memprakarsai sendiri upaya-
upaya penyelesaian konflik dengan rezim Taliban melalui
prosedur-prosedur demokratis dan mekanisme negosiasi
untuk mencapai kompromi. Semua tentu sependapat dan
yakin apabila para pemimpin Taliban diajak bernegosiasi dan
saling memberikan konsesi-konsesi, kompromi akan tercapai
dan konflik AS-Afghanistan akan cepat berakhir. Namun,
semua juga tidak tahu apa maksud lain AS menyerang
Afghanistan.

Presiden AS, George W. Bush, mengatakan bahwa


serangan dan pemboman yang dilakukan oleh Pasukan militer
AS dan dibantu dengan Inggris mempunyai tiga tujuan
utama. Pertama, untuk menangkap Osama Bin Laden sebagai
otak dari tragedi 11 September atau Selasa kelabu yang
dianggap berada di negeri “orang bersorban” ini. Kedua, untuk
menghancurkan jaringan Al Qaeda beserta jaringan-jaringan

24 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


terorismenya diseluruh dunia. Ketiga, untuk menggulingkan
rezim Taliban yang dia anggap melindungi Osama Bin Laden.

Namun, beberapa kalangan mensinyalir bahwa selain


ketiga tujuan di atas, AS mempunyai motivasi lain dalam
menyerang Afghanistan. Motivasi itu adalah motivasi
geografis dan ekonomis. Secara geografis, serangan balasan
militer AS atas Afghanistan saat ini yang dilakukan secara
sepihak, memunculkan kecurigaan akan kemungkinan adanya
ambisi AS ingin menguasai kawasan Asia Tengah dan Laut
Kaspia yang merupakan wilayah yang sangat strategis bagi
sistem pertahanan globalnya. Letak dan posisi Afghanistan
yang berada di sebelah timur Iran sangat kondusif untuk
“mematai-matai” setiap perkembangan yang terjadi di Iran,
Irak, dan negara-negara di kawasan Timur Tengah lainnya.
Apabila AS dapat mendudukkan pemerintahan yang pro
Washington di Afghanistan, hegemoninya atas Asia Tengah
dan Timur Tengah akan semakin kuat dan besar.

Secara ekonomis, disinyalir bahwa kawasan Asia


Tengah dan Laut Kaspia dikenal menyimpan cadangan
minyak bumi terbesar kedua setelah kawasan Arab Teluk. Jika
AS berhasil menancapkan kukunya di Afghanistan, negara
adidaya ini akan dengan mudah menguasai sumber-sumber
ekonomi dan potensi mineral yang sangat melimpah dan
belum tergarap di kawasan ini. Selama ini, kepentingan-
kepentingan ekonomi AS di Asia Tengah hanya berfokus pada
India dan Pakistan. Kepentingan-kepentingan ekonomi AS di
Afghanistan terganggu sejak naiknya rezim Taliban
menduduki pemerintahan dengan menggulingkan presiden

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 25


Burhanudin Rabbani tahun 1996. Oleh karena itu, jika
serangan udara yang kemudian dilanjutkan dengan serangan
darat AS terhadap Afghanistan ini berhasil menggulingkan
rezim Taliban, secara otomatis hegemoni ekonomi AS di
kawasan ini akan berjalan dengan mulus tanpa tantangan.

Indikasi adanya motif geografis-ekonomis ini tentunya


membuat gerah negeri kaum Mullah, Iran. Sebagai negara
yang berpengaruh di kawasan ini dan adanya kepentingan
Iran atas Afghanistan, membuat Iran mempunyai kecurigaan
yang besar atas motivasi lain AS dibalik penyerangannya
terhadap Afghanistan. Kepentingan Iran akan terancam jika
AS hadir secara dominatif di kawasan Asia Tengah dan Laut
Kaspia. Memang, Iran bermusuhan dengan rezim Taliban
semenjak peristiwa penyanderaan dan pembunuhan 8
Diplomat Iran oleh orang-orang Taliban tahun 1998. Namun,
Iran juga tidak menginginkan adanya intervensi dan
hegemoni AS atas Afghanistan.

Serangan udara dengan membombardir basis-basis


kekuatan rezim Taliban dan instalasi militernya sejak 7
Oktober lalu yang dilakukan oleh Aliansi Internasional
pimpinan AS membuat rezim Taliban semakin terjepit.
Dikatakan demikian karena rezim Taliban juga menghadapi
serangan domestik oposisi yang tergabung dalam Aliansi
Utara. Aliansi Utara ini terdiri dari etnis minoritas Tajik dan
Uzbek. AS pun secara diam-diam juga mendukung dan
membiayai perlawanan yang dilakukan oleh Aliansi Utara ini
menggulingkan rezim Taliban.

26 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Dampak destruktif dari konflik dan peperangan ini
tentunya sangat dirasakan oleh penduduk sipil Afghanistan
yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Lebih dari 2 juta
pengungsi Afghanistan membanjiri perbatasan Pakistan
dengan kondisi yang sangat menegaskan. Belum lagi yang ada
di kota-kota Afghanistan seperti Kabul, Kandahar dan Masar I
Sharif dimana mereka telah menjadi korban dari serangan
salah sasaran rudal-rudal pasukan militer AS. Kaum
perempuan, Ibu-ibu dan anak-anak kecil telah menjadi korban
dari sebuah tragedi perang yang tidak adil.

Melihat kondisi warga sipil yang terlunta-lunta menjadi


korban perang dan adanya kekhawatiran akan serangan darat
pasukan AS terhadap Afghanistan, seharusnya mendorong
setiap negara dan organisasi internasional untuk mencari jalan
keluar yang terbaik dalam mengatasi konflik AS-Afghanistan.
Diperlukan suatu mekanisme mediasi yang dapat memper-
temukan dan menyelaraskan kepentingan-kepentingan AS
dan Afghanistan. Mekanisme militer yang dilakukan AS saat
ini tentunya tidak dapat menuntaskan permasalahan pelik ini.

Permasalahnnya, siapa dan dalam kerangka apa


mekanisme mediasi itu dilaksanakan? Jawaban atas
pertanyaan ini tentu sulit untuk dijawab dan kalaupun
dijawab tentu akan sangat beragam jawabannya. Meski begitu,
konflik AS-Afghanistan yang dipandang dari perspektif
hubungan internasional melibatkan nation state, maka
alangkah lebih baiknya jika PBB mengambil peran strategis
untuk menyelesaikan dan menghentikan serangan AS atas
Afghanistan melalui mekanisme mediasi multilateral. Resolusi

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 27


DK PBB No. 1373 yang mewajibkan negara-negara anggota
PBB untuk mencari, menghukum, atau mengekstradisi teroris
merupakan resolusi yang dapat dijadikan batu pijakan untuk
menghadapi terorisme global.

Sebagai sebuah organisasi internasional dengan jumlah


anggota 189 negara, PBB harus memprakarsai dan mengambil
terobosan-terobosan guna mendudukkan pihak-pihak yang
bertikai dalam meja perundingan di bawah naungan
multilateral PBB. Pihak –pihak yang seharusnya diundang
dalam perundingan untuk mencari solusi damai itu adalah
AS, Afghanistan, Al Qaeda, dan Pakistan. Alasan melibatkan
Pakistan dalam mediasi multilateral ini adalah bahwa
Pakistan merupakan satu-satunya negara di dunia yang masih
mempunyai hubungan diplomatik dengan Afghanistan.

Sekjen PBB, saat itu Kofi Annan, seyogyanya dapat


bersikap cepat, lugas, cekatan, responsif, fleksibel dan obyektif
meyakinkan AS dan Afghanistan bahwa cara-cara militer
tidak akan menyelesaikan masalah. Mungkin saja, cara-cara
militer dengan membombardir wilayah Afghanistan dapat
berhasil menangkap Osama Bin Laden. Tapi, dampak sosial –
ekonomisnya sangat besar bagi Afghanistan dan Asia Tengah.
Dengan terselenggaranya mekanisme mediasi multilateral
melalui wadah PBB akan tercipta suatu kesepakatan dan
kompromi yang pada akhirnya dapat melahirkan konsesi-
konsesi dan solusi komprehensif secara damai. Sampai disini,
peran PBB untuk memainkan posisi strategisnya sangat
ditunggu-tunggu.

28 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Dengan demikian, yang patut dijadikan catatan disini
adalah semua sepakat bahwa aksi-aksi terorisme harus
dihancurkan. Tapi, cara-cara militer dengan menyerang
negara berdaulat untuk mencari tokoh dan kelompok
terorisme global patut disesalkan karena melanggar
kedaulatan sebuah negara. Cara-cara militer yang merupakan
bagian besar dari praktek-praktek ideologi “politik realis”
politik luar negeri AS sebaiknya diubah. Sebagai campiun
demokrasi, AS seharusnya menerapkan ideologi “humanisme
dan moralisme politik” dalam mempraktekkan politik luar
negerinya. Tragedi WTC dan Pentagon merupakan
momentum yang tepat untuk mentransformasi dan
mereposisinya politik luar negeri AS.

B. Terorisme: Konstelasi Baru Dalam Politik Internasional

“Kalau anda bukan teman saya, pastilah anda musuh saya.


Saya tidak membedakan terorisme dengan negara yang melindungi
terorisme”. Itulah kira-kira pemikiran yang saat ini bercokol
dibenak presiden AS kala itu, George W. Bush, dalam
menghadapi kelompok-kelompok terorisme global dan
negara-negara yang dianggap melindungi dan memberikan
fasilitas bagi praktek-praktek terorisme global. Pemikiran
yang sangat subyektif ini telah mengkristal menjadi sebuah
doktrin dan dijadikan sebagai patokan dalam upaya
memerangi aksi terorisme global.

Tampilan politik luar negeri AS pasca tragedi WTC dan


Pentagon memang menunjukkan perubahan yang sangat
mendasar. AS sangat represif, ofensif dan reaktif terhadap

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 29


negara-negara yang dianggap membahayakan bagi
perdamaian. Atas nama gerakan antiterorisme global, AS
kerapkali menuduh, mencap, dan menetapkan negara-negara
yang terlibat dalam jaringan terorisme global sebagai musuh
yang harus diperangi. Ini bisa dilihat dari rentetan pernyataan
Bush yang cenderung menyudutkan beberapa negara seperti
Irak, Iran dan Korea Utara yang dituduh sebagai poros
kejahatan, serta Russia, Cina, Korea Utara, Irak, Iran, Libia dan
Suriah yang dituduh telah mengembangkan senjata pemusnah
massal.

Bukan itu saja, kampanye antiterorisme AS yang disertai


tekanan-tekanan politik telah menciptakan ketidakharmonisan
kawasan. Di Asia Tenggara, kehadiran pasukan AS di
Philipina, pernyataan menteri Senior Singapura, Lee Kuan
Yew, yang menuduh Indonesia sebagai sarang teroris, dan isu
kehadiran pasukan AS di Indonesia telah memunculkan
ketegangan-ketegangan baru masing-masing negara. Di Asia
Timur, proses reunifikasi dua Korea juga mengalami
hambatan karena berbagai pernyataan Bush yang
mendiskreditkan Korea Utara. Di Timur Tengah, Rencana AS
menyerang Irak dan konflik berkepanjangan antara Israel-
Palestina telah menciptakan keresahan di kawasan paling
panas di dunia ini. Doktrin Bush telah membelah dunia
menjadi dua bagian yang terpisahkan, yakni antara ikut kubu
AS memerangi terorisme Global atau ikut mendukung
terorisme Global. Negara-negara di dunia dihadapkan pada
pilihan itu dan mau tidak mau harus memilih diantara
keduanya. Suasana politik yang demikian mengingatkan kita
pada masa perang Dingin dimana dunia terbelah menjadi dua

30 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


blok: Komunis dan Kapitalis. Batas dan ukuran suatu negara
dianggap teman atau musuh ditentukan oleh dua ideologi
tersebut. Saat ini pun, hubungan antar bangsa dikondisikan
oleh doktrin Bush pada batas-batas terorisme global. Doktrin
Bush telah membentangkan garis pembatas antara zona anti
teroris dan zona teroris.

Doktrin Bush yang memprioritaskan pada upaya


memerangi terorisme global dalam setiap langkah kebijakan
politik luar negeri AS, secepat kilat mendorong isu terorisme
menjadi isu global di awal abad ke-21 ini, mengalahkan isu-
isu yang sebelumnya mendominasi tatanan politik global
seperti demokrasi, hak asasi manusia, good governance, dan
lingkungan hidup. Isu terorisme telah mencuat ke permukaan
sehingga sangat mempengaruhi konstelasi politik dunia.

Sebagai sebuah isu global masa kini, terorisme


membawa isu-isu ikutan lainnya yang sebelumnya telah
terbenam seiring dengan berakhirnya perang Dingin. Isu-isu
ikutan itu adalah militerisme, senjata nuklir, dan perang.
Peran militer sangat dibutuhkan untuk menumpas terorisme
global. Senjata nuklir yang sangat membahayakan
keselamatan umat manusia mulai diperbincangkan untuk
menghancurkan kelompok terorisme global dan negara yang
melindunginya. Perang mulai dikobarkan dengan legitimasi
melawan aksi terorisme global. Isu-isu seputar terorisme
global yang mengemuka akhir-akhir ini tentunya sangat
membahayakan kemanusiaan, perdamaian, dan stabilitas
internasional.

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 31


Makna yang bisa diambil dari perubahan-perubahan
besar politik dunia ini adalah terjadinya arus balik orientasi
dan isu high politics yang mencakup kajian militer, keamanan,
dan perang. Pada masa perang Dunia II dan perang Dingin,
orientasi dan isu high politics sangat menonjol. Namun,
berakhirnya perang Dingin bergeser menjadi low politics yang
mencakup ekonomi, lingkungan hidup, hak asasi manusia,
dan demokrasi. Di awal abad ke-21 ini, kembali ke high
politics. Hal ini dipicu oleh serangan teroris ke Gedung WTC
dan Pentagon, 11 September tahun lalu. Ditambah lagi dengan
doktrin Bush yang sangat kontroversial itu.

Realisme politik yang selama ini menjiwai kebijakan


politik luar negeri AS mulai mendapatkan penantangnya yang
baru. Terorisme global telah membangkitkan kembali ideologi
politik realis AS. Sebagai polisi Dunia, AS pun ingin
menunjukkan bahwa dirinya memang benar-benar sebagai
penjaga perdamaian dunia dengan menggalang koalisi
internasional memerangi terorisme global. Bahkan akhir-akhir
ini, Presiden Bush melakukan lawatan ke negara-negara Eropa
Barat dalam rangka menghadiri KTT NATO-Rusia untuk
menyampaikan pesan akan pentingnya penggalangan
dukungan untuk membasmi terorisme bersama dengan Rusia.
AS mengajak Rusia untuk menghilangkan masa lalu dan
kemudian bergandeng tangan untuk memerangi terorisme
global sebagai musuh bersama (common enemy).

Oleh karena itu, berbagai cara dilakukan untuk


membasmi basis-basis terorisme global, termasuk menyerang
negara yang dinilai memberikan fasilitas pada aksi-aksi

32 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


terorisme global sebagaimana yang telah dilakukannya pada
rezim Thaliban di Afghanistan yang melindungi Osama bin
Laden dan jaringan Al Qaeda. Tentu saja, kebijakan
kontroversial ini kerapkali memancing kemarahan negara-
negara yang merasa dipojokkan, dan menilai AS sangat
arogan karena kebijakannya itu dapat melanggar kedaulatan
negara dan mengancam nilai-nilai hak asasi manusia.

Derasnya kritikan dan kecaman terhadap langkah AS


dalam memerangi tindakan terorisme global menunjukkan
keresahan sebagian besar negara-negara di dunia. Mereka
menilai bahwa gerakan antiterorisme global yang dicanang-
kan AS sangat bias akan kepentingan nasionalnya sendiri.
Kekhawatiran terhadap langkah AS ini sangat beralasan
mengingat ada kecenderungan bahwa AS memanfaatkan
gerakan antiterorisme untuk menghajar musuh-musuh
bebuyutannya, seperti Irak, Iran, Korea Utara, dan Libia. Di
samping itu, cara-cara yang dilakukan AS menangani
terorisme sangat tidak mengindahkan nilai-nilai hak asasi
manusia dan cenderung menekankan pendekatan militer
ketimbang upaya-upaya dialog.

Apabila hal ini terjadi secara terus menerus, niscaya


akan terjadi anarkisme internasional. Artinya, arogansi AS
akan menimbulkan resistensi dan radikalisasi kelompok-
kelompok massa di negara-negara yang dirugikan. Dan jika
negara-negara tersebut melakukan perlawanan, yang terjadi
kemudian hanyalah kekacauan dunia. Dalam situasi yang
serba anarkis, setiap negara adalah serigala bagi negara-
negara lain alias homo homini lupus, yang kemudian

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 33


mendorong masing-masing negara melakukan self preservation.
Upaya mempersenjatai diri inilah yang akan melahirkan
anarkisme internasional.

Gejala ini sangat jelas mewarnai perilaku negara-negara


di dunia. Beberapa negara yang anti AS telah mengembang-
kan senjata pemusnah massal dan mencoba meramu senjata
kimia dan biologi. AS pun kebingungan dan ketakutan
menghadapi hal tersebut. Karenanya, AS menuduh mereka
sebagai teroris. Padahal, definisi terorisme masih mengalami
perdebatan dan kerancuan. Sentimen anti AS pun
bermunculan dimana-mana.

Oleh karena itu, agar supaya tidak terjadi gesekan-


gesekan kepentingan masing-masing negara dalam
memberantas terorisme global, diperlukan sebuah formula
yang komprehensif. Artinya, dibutuhkan perumusan konsep
untuk menangkal terorisme global secara bersama-sama tanpa
bias kepentingan dan tidak bertentangan dengan hak asasi
manusia dan kedaulatan negara, serta berusaha menghindari
arogansi AS sebagai komandan gerakan antiterorisme.

Dengan demikian, masing-masing negara dengan


disponsori oleh PBB seharusnya mencetuskan sistem
penanganan dan pengelolaan yang dapat menangkal
terorisme global (Global Antiterrorism Governance). Setelah itu,
PBB harus mengambil alih tongkat komando dalam perang
melawan terorisme sehingga sepak terjang AS dapat dikontrol
alias dibatasi.

Selain itu, pengelolaan dan penanganan masalah


terorisme secara global harus bertumpu pada pendekatan

34 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


dialog dan kalaupun memakai cara-cara militer, harus
didiskusikan secara mendalam dalam forum PBB sehingga
tidak menimbulkan kritik dan resistensi dari berbagai pihak.
Dengan begitu, diharapkan gerakan anti terorisme global
mendapat dukungan semua negara dan pada akhirnya,
praktek-praktek terorisme global dapat dicegah sedini
mungkin.

C. Global Antiterrorism Governance

Tepat tanggal 11 September 2001, seluruh mata dunia


terbelalak melihat peristiwa maha dahsyat yang terjadi di AS.
Ketika itu, terjadi serangan teroris terhadap gedung WTC di
New York dan Pentagon di Washington DC yang menyebab-
kan kurang lebih 6000 penduduk sipil tewas mengenaskan
terbakar di kedua gedung lambang kedigdayaan ekonomi dan
militer AS. Segera setelah peristiwa itu, terjadi perubahan-
perubahan mendasar dalam konstelasi politik internasional.
Salah satu yang penting dicatat dari rentetan perubahan itu
adalah naiknya ke permukaan isu mengenai terorisme global.
Sebagai sebuah refleksi, tulisan ini akan meninjau ulang apa
saja implikasi dan konsekuensi dari peristiwa besar awal abad
ke-21 ini terhadap konteks tata hubungan antar negara serta
bagaimana formasi penyesuaian negara bangsa dalam
merespons perubahan global tersebut.

Dalam khazanah ilmu hubungan internasional,


organisasi terorisme adalah salah satu aktor atau pemain
dalam percaturan politik internasional, karena sifatnya yang
melintas batas antar negara. Namun, sebagai aktor global,

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 35


organisasi terorisme baru diakui secara luas setelah sepak
terjangnya pada masa perang dingin dan mencapai
klimaksnya ketika meletus tragedi WTC dan Pentagon, AS,
tanggal 11 September 2001 lalu. Pasca serangan bunuh diri
dengan menabrakkan pesawat komersial ke lambang
kedigdayaan ekonomi dan militer AS tersebut, telah
menyadarkan masyarakat dunia akan bahaya dan ancaman
terorisme global. Tragedi kemanusiaan yang menewaskan
lebih dari 6.000 orang ini membuat negara-negara di dunia,
terutama AS dan Inggris, merasa kesal dan geram sembari
menetapkan bahwa Osama bin Laden dan jaringan Al Qaeda
yang berbasis di Afghanistan sebagai pihak yang
bertanggungjawab atas peristiwa mengerikan tersebut.

Sejak itulah, AS selalu gencar melakukan serangkaian


persiapan untuk membasmi jaringan atau sel-sel Al Qaeda di
seluruh penjuru dunia dan melancarkan program gerakan anti
terorisme global. Setelah berhasil menaklukkan rezim Taliban
di Afghanistan yang dianggap melindungi Osama bin Laden,
AS memperluas kampanye dan operasinya ke negara-negara
Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Ketakutan
akan ancaman bayang-bayang terorisme global ini diwujud-
kan oleh langkah presiden AS, George W. Bush, dengan
membentuk pemerintahan bayangan di luar Gedung Putih,
pemberlakuan sistem keamanan dan pertahanan nasional
antiteroris, dan peningkatan anggaran guna membiayai
kampanye antiterorisme global

Disamping itu, politik luar negeri AS yang diperagakan


oleh George W. Bush cenderung mengalami arah yang bias

36 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


dan terkesan sangat ofensif. Hal ini bisa dilihat dari lontaran
pernyataannya tentang Iran, Irak dan Korea Utara yang
dianggap telah membangun poros kejahatan (Devil’s Axis)
tanpa disertai dengan bukti yang akurat. AS pun berencana
menyerang Irak dengan tujuan menurunkan kekuasaan
Sadam Husein. Berbagai persiapan untuk itu pun dilakukan
seperti melatih tentara Yaman dan Georgia, melakukan lobi
dengan negara-negara Arab untuk memperoleh dukungan,
dan mengirimkan kapal induk ke kawasan Timur Tengah.

Prioritas utama terhadap gerakan antiterorisme yang


mewarnai kebijakan politik luar negeri AS ini, praktis
mendorong isu terorisme menjadi isu global di awal abad ke –
21, mengalahkan isu-isu yang sebelumnya mendominasi
tatanan politik global, seperti demokrasi, hak asasi manusia,
good governance, dan lingkungan hidup. Terorisme global
telah menjadi isu yang mencuat ke permukaan dan tidak bisa
dipungkiri lagi bahwa setiap negara berkewajiban untuk
memberantasnya karena bagaimanapun tindakan terorisme
sangat bertentangan dengan kemanusiaan, perdamaian, dan
stabilitas keamanan internasional.

Al Qaeda, organisasi terorisme pimpinan Osama bin


Laden yang melambung namanya pasca tragedi Selasa kelabu
ini, mempunyai sel-sel di banyak negara, seperti Aljazair,
Suriah, Kosovo, Lebanon, Irak, Pakistan, Uzbekistan,
Chechnya, Filipina, dan juga konon disebut pula Indonesia.
Jika diamati secara historis-kronologis, sebenarnya Al Qaeda
telah lama dikaitkan dengan berbagai serangan teroris yang

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 37


sasarannya kebetulan adalah fasilitas milik AS atau paling
tidak negara yang pro AS.

Hal ini bisa dilihat dari rentetan peristiwa di awal tahun


1990-an, sebagai berikut: Tahun 1993, pemboman WTC, New
York, AS yang menyebabkan 6 orang tewas dan ratusan
korban luka; Tahun 1994, pemboman pesawat Philipina yang
mengakibatkan seorang tewas dan 10 orang terluka; Tahun
1995, terjadinya upaya percobaan pembunuhan presiden
Mesir, Hosni Mobarak, saat berkunjung ke Ethiopia; Tahun
1996, serangan terhadap komplek perumahan militer Al
Khobar Tower di Arab Saudi yang menewaskan 19 tentara AS
dan 377 lainnya luka berat; Tahun 1998, pemboman kapal
perang AS, USS Cole, di pelabuhan Yaman yang
menyebabkan 17 pelaut tewas dan 39 terluka; dan terakhir
tahun 2001, yakni pemboman menara kembar WTC dan
Pentagon.

Selain mempunyai jaringan di banyak negara, Al Qaeda


juga membangun hubungan dengan kelompok-kelompok
pergerakan pembebasan nasional (AS menyebutnya sebagai
organisasi teroris) seperti Abu Sayyaf di Pilipina, kelompok
Islam Bersenjata (GIA) di Aljazair, Al Jihad di Mesir, Islamic
Movement of Uzbekistan di Uzbekistan, Asbat Al Ansar di
Lebanon, Kelompok Perjuangan Islam di Libia, Al Ijtihad al
Islamiyah di Somalia, dan Tentara Islam Aden di Yaman.
Jaringannya yang luas dan melintas batas antar negara inilah
yang membuat Al Qaeda menjadi sangat ditakuti dan
menjadikan fobia bagi dunia Barat.

38 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Dalam melakukan langkah-langkah operasionalisasi, Al
Qaeda didukung oleh dana yang besar baik dana yang berasal
dari individu-individu maupun organisasi-organisasi amal.
Individu yang menyumbang dana terbesar adalah Osama bin
Laden, Moehammad Atef, Syaf al Adi, Shaikh Said, Abu Hafs,
dan Ibn Al Sahykh al libi. Sedangkan orgaisasi amal meliputi
Makhtab Al Khidamat, Wafa Humanitarian Organization, Al
Rashid Trust, dan Makmon Barkanzai Import. Di samping itu,
Al Qaeda juga memperoleh sumbangan dana dari individu
dan organisasi lain yang sifatnya rahasia.

Trauma psikologis yang amat mendalam terhadap


tragedi 11 September 2001 dan phobia sosial akan datangnya
peristiwa serupa mendorong masyarakat internasional untuk
menaruh perhatian yang besar tentang bagaimana upaya-
upaya yang harus dilakukan dalam mencegah praktek-
praktek terorisme global. PBB melalui Dewan Keamanannya
merumuskan Resolusi No.1373 yang mewajibkan negara-
negara anggota PBB untuk mencari, menghukum, atau
mengekstradisi teroris yang ditemukan di wilayahnya. Di
tambah lagi dengan keharusan negara-negara untuk saling
tukar-menukar informasi mengenai jaringan teroris dan
membekukan aset maupun memblokade aliran dana. Di
samping itu, resolusi ini juga bersepakat untuk membentuk
sebuah komite, terdiri dari 15 anggota Dewan Keamanan
untuk mengawasi pelaksanaan aturan-aturan tersebut.

Semangat untuk memerangi terorisme ini juga terlihat


pada KTT Uni Eropa di Brussel, Belgia, 21 September 2001 dan
pertemuan menteri-menteri Luar Negeri OKI di Doha, Qatar,

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 39


10 Oktober 2001. Setiap negara pun berkecenderungan untuk
membentuk undang-undang nasional yang berkait dengan
penanganan masalah terorisme global. Tampaknya, ada
semangat bersama diantara komponen masyarakat
internasional bahwa terorisme global merupakan ancaman
bersama dan karena sifatnya yang melintas batas antar negara,
maka diperlukan kerjasama antar negara untuk memerangi-
nya. Suatu kemustahilan apabila terorisme global dapat
diperangi oleh suatu negara secara sendirian. Tanpa bantuan
dan kerjasama dengan negara-negara lain niscaya upaya
memerangi terorisme tidak akan pernah berhasil.

Oleh karena itu, semangat dan perhatian besar dari


masyarakat internasional untuk memerangi terorisme global
ini harus digelar dan diwujudkan dalam tiga lapis. Pertama,
lapisan internasional yang dikoordinir oleh PBB sebagai
organisasi Dunia. Kedua, Lapisan regional yang tentunya
melibatkan organisasi–organisasi regional-kawasan. Ketiga,
lapisan nasional yang dikomandani oleh para pemimpin dari
masing-masing negara. Dengan begitu, implementasi dari
berbagai rumusan yang diputuskan oleh masyarakat
internasional tentang perlawanan terhadap terorisme global
akan menuai hasil yang konstruktif.

Terlepas dari suasana dan norma yang berkembang saat


ini, kita semua tentu melihat kondisi obyektif dan realitas
yang sekarang ini terjadi, dimana upaya untuk memerangi
terorisme global ini kerapkali disalahartikan oleh AS guna
mencapai kepentingan-kepentingan nasionalnya sendiri.
Sebagai komandan perang melawan terorisme global, AS

40 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


cenderung tidak mengindahkan kedaulatan setiap negara dan
mendahulukan cara-cara represif militer ketimbang upaya-
upaya dialog. Di samping itu, nilai-nilai hak asasi manusia
juga kurang mendapat perhatian dikalahkan oleh rasa balas
dendam yang membara.

Melihat kenyataan ini, perlu diupayakan suatu konsep


yang netral berkait dengan penyelesaian masalah terorisme.
Semua pihak sepakat bahwa terorisme global memang harus
dihancurkan, namun upaya untuk itu harus dilakukan dengan
cara-cara yang tidak bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan internasional. Karena itu, PBB seharusnya
merumuskan suatu pengelolaan dan penanganan terorisme
secara global (global antiterrorism governance). Setelah itu, PBB
harus mengambil alih tongkat komando dalam perang
melawan terorisme sehingga sepak terjang AS dapat dibatasi
alias dikontrol.

Di samping itu, pengelolaan dan penanganan masalah


terorisme secara global ini harus bertumpu pada pendekatan
dialog dan kalaupun memakai cara-cara militer harus
didiskusikan secara mendalam dalam forum PBB, sehingga
tidak menimbulkan kritik dan resistensi dari berbagai pihak.
Dengan begitu, diharapkan gerakan antiterorisme mendapat
dukungan semua negara. Dan pada akhirnya, praktek–
praktek terorisme global dapat dicegah sedini mungkin.

Nampaknya, terorisme Global akan menjadi isu sentral


dunia dan menjadikan teroris sebagai aktor global yang
mendominasi tatanan politik dunia abad XI. Hampir dapat
dipastikan, semua tindakan setiap negara dalam percaturan

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 41


politik internasional akan banyak dipengaruhi oleh dinamika
perkembangan terorisme global. Penentuan siapa lawan dan
kawan akan sangat digariskan secara tegas oleh demarkasi
terorisme global. Dengan demikian, terorisme global akan
terus menjadi wacana yang kembali mengubah mainstream
politik internasional dari yang sebelumnya “from high politics
to low politics” menjadi “from low politics to high politics”.

D. Aktor dan Isu Global Abad XXI

Awal abad ke-21 sekarang ini, dunia masih terus


menyaksikan rentetan perubahan cepat dan mendasar yang
pada gilirannya mempengaruhi proses transformasi pada
konfigurasi politik dan ekonomi global. Secara politik, muncul
gelombang demokrasi yang sarat akan nilai-nilai kebebasan
dan persamaan. Secara ekonomi, timbul gejala globalisasi
ekonomi pasar yang kental akan nuansa kapitalisme global
dan perdagangan bebas. Perubahan politik dan ekonomi
global tersebut telah memampatkan negara-bangsa pada pola
hubungan saling ketergantungan (inter-dependensi) dan saling
keterkaitan (inter-linkage).

Bersamaan dengan dinamika perubahan global ini, telah


lahir pula isu baru yang sangat besar pengaruhnya terhadap
tatanan politik ekonomi global saat ini. Isu baru ini adalah isu
seputar masalah terorisme. Meskipun isu mengenai terorisme
telah ada secara dominatif pada masa Perang Dingin dan
sesudahnya, namun klimaks dari menguatnya gejala ini
adalah meletusnya tragedi WTC dan Pentagon, AS, pada
tanggal 11 September 2001 lalu. Tragedi kemanusiaan yang

42 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


memakan korban ribuan orang ini telah menjadi titik tolak
lahirnya isu terorisme menjadi isu global masa kini. Isu
terorisme telah mampu menyamai – dan mungkin juga
menggeser – isu-isu dalam agenda internasional sebelumnya,
seperti masalah hak asasi manusia, intervensi humaniter,
demokratisasi, good governance, dan lingkungan hidup.

Konsekuensi dari mencuatnya isu terorisme ke


permukaan ini adalah lahirnya teroris sebagai aktor yang
sangat diperhitungkan di atas pentas internasional. Hal ini
sejalan dengan kecenderungan dalam hubungan internasional
bahwa aktor politik global tidak lagi terbatas pada pemerintah
(nation state), melainkan juga meliputi unsur-unsur non
pemerintah, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
Perusahaan Multinasional (PMN), Media Massa, dan
Organisasi Terorisme Internasional. Terorisme dan teroris
telah hadir secara nyata dalam kehidupan antar bangsa. Saat
ini, setiap negara, terutama AS dan negara-negara Eropa Barat
disibukkan oleh ulah para teroris yang siap mengancam
kehidupan umat manusia di dunia.

Dalam konteks ini, dunia telah terbelah menjadi dua


bagian yang terpisahkan, yakni antara ikut kubu AS
memerangi terorisme global atau ikut mendukung terorisme
Global. Negara-negara di dunia dihadapkan pada pilihan itu
dan mau tidak mau harus memilih diantara keduanya.
Suasana politik yang demikian mengingatkan kita pada masa
Perang Dingin dimana dunia terbelah menjadi dua blok:
Komunis dan Kapitalis. Batas dan ukuran suatu negara
dianggap teman atau musuh ditentukan oleh dua ideologi

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 43


tersebut. Saat ini pun, hubungan antar bangsa dikondisikan
pada batas-batas terorisme global. Hubungan internasional
telah dipetakan dalam bentangan garis pembatas antara zona
anti teroris dan zona teroris.

Makna yang bisa diambil dari perubahan-perubahan


besar politik dunia ini adalah terjadinya arus balik orientasi
dan isu high politics, yang mencakup kajian militer, keamanan,
dan perang. Pada masa Perang Dunia II dan Perang Dingin,
orientasi dan isu high politics sangat menonjol. Namun,
berakhirnya Perang Dingin bergeser menjadi low politics yang
mencakup ekonomi, lingkungan hidup, hak asasi manusia,
dan demokrasi. Di awal abad ke-21 ini, kembali ke high politics.
Hal ini dipicu oleh serangan teroris ke Gedung WTC dan
Pentagon, AS.

Isu terorisme global yang menggema di hampir seluruh


penjuru dunia telah menimbulkan stabilitas keamanan
regional menjadi kacau dan tidak harmonis. Hal ini diperkuat
lagi dengan tampilan politik luar negeri AS pasca tragedi
WTC dan Pentagon yang sangat represif, ofensif dan reaktif
terhadap negara-negara yang dianggap membahayakan bagi
perdamaian. Atas nama gerakan antiterorisme global, AS
kerapkali menuduh, mencap, dan menetapkan negara-negara,
yang diduga secara sepihak, terlibat dalam jaringan terorisme
global sebagai musuh yang harus diperangi. Ini bisa dilihat
dari rentetan pernyataan Bush yang cenderung menyudutkan
beberapa negara seperti Irak, Iran dan Korea Utara yang
dituduh sebagai poros kejahatan, serta Russia, Cina, Korea

44 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Utara, Irak, Iran, Libia dan Suriah yang dituduh telah
mengembangkan senjata pemusnah massal.

Akibat dari kampanye antiterorisme AS yang disertai


tekanan-tekanan politik itu telah menciptakan ketidak-
harmonisan kawasan. Di Asia Tenggara, kehadiran pasukan
AS di Philipina, pernyataan Menteri Senior Singapura, Lee
Kuan Yew, yang menuduh Indonesia sebagai sarang teroris,
dan isu kehadiran pasukan AS di Indonesia telah
memunculkan ketegangan-ketegangan baru di masing-masing
negara. Di Asia Timur, proses reunifikasi dua Korea juga
mengalami hambatan karena berbagai pernyataan Bush yang
mendiskreditkan Korea Utara. Di Asia Selatan, penghancuran
AS terhadap rezim Taliban di Afghanistan dan perubahan
politik luar negerinya terhadap Pakistan dan India juga ikut
meresahkan kawasan ini. Di Timur Tengah, aksi AS
menyerang Irak dan konflik berkepanjangan antara Israel-
Palestina telah menciptakan keresahan di kawasan paling
panas di dunia ini.

Pendek kata, konfigurasi politik kawasan telah


mengalami kegoncangan yang amat membahayakan. Masing-
masing negara dalam kawasan saling curiga dan menuduh
satu sama lain meskipun tidak ada bukti yang akurat.
Soliditas dan solidaritas telah terkoyak oleh isu terorisme
global dan kampanye perang AS melawan terorisme global.

Untuk merespons konteks global yang berubah tersebut,


masing-masing negara di dunia sebagai entitas politik yang
otonom melakukan proses-proses penyesuaian. Hal ini bisa
dilihat dalam kebijakan domestik masing-masing negara yang

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 45


terkesan hanya menanggapi dinamika eksternal yang terjadi.
Sebagai contoh adalah Indonesia yang mengeluarkan Perpu
Anti Terorisme dan penggodokan UU Antiterorisme. Hal
yang sama dilakukan oleh Australia yang mengeluarkan UU
Antiterorisme.

Selain itu, secara bersamaan ada semacam kesadaran


dari masing-masing negara untuk meningkatkan kerjasama
intelijen dan melakukan perjanjian ekstradisi. Latihan
kemiliteran gabungan yang bertujuan untuk menangkal
praktek-praktek terorisme global serta dan fenomena bantuan
militer dan peralatan teknis lainnya juga semakin merebak
mewarnai dinamika internal masing-masing negara di dunia.

Dalam kasus Indonesia, isu terorisme juga telah


merenggangkan hubungan antara pemerintah dengan
kelompok-kelompok Islam. Hal ini dipicu oleh tragedi bom di
Legian Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 lalu. Fenomena
yang demikian tentunya sangat memprihatinkan seluruh
elemen bangsa. Kekhawatiran selanjutnya adalah indikasi
menguatnya peranan militer dalam kancah politik nasional
sebagai sarana untuk menghancurkan kelompok-kelompok
terorisme global.

Logikanya, dalam memerangi terorisme global tentunya


pemerintah memerlukan kekuatan militer, khususnya
intelijen. Kondisi yang demikian tentu saja sangat riskan akan
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh rezim penguasa
untuk menjadikan militer sebagai alat kepentingannya sendiri.
Ditambah lagi dengan dikeluarkannya Perpu Antiterorisme

46 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


yang dipandang oleh berbagai kalangan sebagai pisau
bermata dua.

Melihat berbagai fenomena di atas, dapat dikatakan


bahwa formasi negara dalam interaksi domestik dan inter-
nasional mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian.
Proses penyesuaian ini sebenarnya hanya sekadar merespons
dinamika eksternal yang berkembang, khususnya
menanggapi kepentingan AS yang secara gencar
menggembar-gemborkan perang melawan terorisme global.
Oleh karena itu, kita semua harus mewaspadai kepentingan
asing yang sebenarnya ingin memecah persatuan bangsa.

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 47


48 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI
BAB 3
OSAMA BIN LADEN
DAN TERORISME

A. Osama Bin Laden: Pahlawan atau Teroris?

Dalam khazanah ilmu hubungan internasional, istilah


terorisme adalah sebuah isu dan wacana yang menarik dan
selalu diperdebatkan oleh berbagai ilmuwan. Hingga saat ini,
belum ada kesepakatan yang baku tentang apa definisi
terorisme. Masing-masing ilmuwan hubungan internasional
berbeda pendapat akan istilah terorisme. Kekaburan akan
istilah terorisme ini semakin mempersulit untuk meng-
identifikasi perbedaan antara terorisme dan gerakan
perjuangan kemerdekaan. Padahal, aksi-aksi terorisme
semakin merebak diawal abad ke-21 ini.

Tragedi WTC dan Pentagon yang terjadi pada 11


September 2001 yang menelan korban lebih dari 6.000 orang
disinyalir oleh sebagian besar pihak dilakukan oleh gerakan
terorisme. Presiden AS, George W Bush, tanpa didukung data
yang akurat menuding Osama Bin Laden dan Jamaah Al-
Qaeda sebagai pelakunya. Meskipun Osama Bin Laden
membantah tudingan itu, AS terus menggalang pembentukan

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 49


opini internasional dalam rangka gerakan anti terorisme.
Serangan pasukan militer AS ke Afghanistan dianggap
sebagai bagian dari gerakan anti terorisme tersebut.

Siapa sebenarnya dalang dibalik tragedi WTC dan


Pentagon? Apakah benar Osama Bin Laden pelakunya atau ia
hanya korban yang dikambinghitamkan? Apakah ada sebuah
grand opinion design atau hasil rekayasa licik AS-Israel dibalik
tragedi WTC dan Pentagon tersebut? Opini publik yang
berkembang di AS menunjukkan bahwa Osama Bin Laden
dan Jaringan Al-Qaeda-nyalah yang melakukan perbuatan
biadab tersebut. Hal itu didasarkan pada informasi dan
penemuan-penemuan yang dikembangkan oleh pemerintah
AS, diperkuat dengan berbagai kesaksian, seperti senator dari
Utah, Orrin Hatch, Badan Intelijen AS, CIA, dan penuturan
beberapa penumpang pesawat Boeing 757, seperti Jeremy
Glik, warga New Jersey.

Pernyataan AS yang spontan menuduh Osama Bin


Laden itu langsung dibantah oleh Osama. Menurut Osama,
teroris yang melakukan penyerangan itu dari kelompok
orang-orang AS sendiri. Ia sama sekali tidak memiliki apapun
untuk melakukan serangan dahsyat itu. Meski demikian,
Osama menyatakan bersyukur atas tragedi WTC dan
Pentagon sembari mengajak umat Islam untuk memperguna-
kan seluruh kemampuan mempertahankan invasi dari
pasukan perang salib AS di Pakistan dan Afghanistan.

Spekulasi-spekulasi bermunculan seperti teori


konspirasi bahwa pelaku utama dari tragedi WTC dan
Pentagon adalah Israel dan rakyat AS sendiri. Bukti dari

50 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


argumentasi itu adalah adanya laporan dari jaringan televisi
Al Mannar di Lebanon dan harian Al Wathon di Yordania
yang mengungkapkan bahwa saat tragedi 11 September
terjadi, 4.000 karyawan berkebangsaan Israel yang berkantor
di WTC tidak masuk kerja.

Menguatnya petunjuk keterlibatan jaringan Israel itu


juga dapat diketahui dari berita koran Israel, Yadiot Aharonot,
yang mengungkapkan bahwa Shabak mencegah Perdana
Menteri Israel, Ariel Sharon, berkunjung ke New York. Di
samping itu, Koran Israel lainnya, Haaretz, melaporkan
bahwa Biro Penyelidik Federal Amerika (FBI) menangkap
lima orang Israel yang sedang riang gembira setelah serangan
terhadap WTC dan Pentagon terjadi.

Kendati demikian, AS menafikkan indikasi-indikasi


tersebut dan selalu mengkampanyekan tuduhan bahwa
Osama, Al Qaeda, dan jaringan Taliban adalah pihak-pihak
yang bertanggungjawab atas tragedi WTC dan Pentagon, dan
sudah sepatutnyalah diberi hukuman dengan serangan
pasukan militer AS ke basis-basis pertahanan Afghanistan.
Legitimasi yang dipegang AS adalah resolusi DK PBB No.
1373 mengenai terorisme.

B. Osama Bin Laden: Dalang Tragedi WTC dan Pentagon?

Pada tanggal 11 September 2001, sebuah peristiwa


dahsyat diawal abad ke-21 terjadi. Tragedi hancurnya menara
kembar WTC di New York dan gedung Pentagon, Kantor
Departemen Pertahanan AS di Washington DC oleh pesawat
komersial yang diduga dibajak oleh kelompok teroris telah

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 51


mengubah skenario tatanan politik global. Kejadian dramatis
yang menewaskan lebih dari 6.000 ribu penduduk sipil ini
membuat Presiden AS, George W. Bush, menuding Osama bin
Laden dan Jamaah Al Qaeda sebagai pelakunya.

Tuduhan yang tanpa didukung data memadai dan


akurat ini dibantah secara keras oleh Osama bin Laden
sembari mengatakan bahwa yang melakukan itu adalah
orang-orang Amerika sendiri. Tidak peduli dengan bantahan
tersebut, AS secara tiba-tiba melakukan serangan militer
terhadap basis-basis pertahanan Taliban di Afghanistan yang
dianggap telah melindungi Osama bin Laden beserta jaringan
Al Qaeda. AS menetapkan Osama sebagai the most wanted man,
dead or alive. Kepalanya disayembarakan dan dihargai jutaan
dollar bagi siapapun yang dapat menangkapnya.

Tragedi yang melambungkan nama Osama bin Laden


ini menimbulkan pertanyaan: Siapa sebenarnya Osama bin Laden
ini? Bagaimana dia mengoperasikan aksinya dari pedalaman
Afghanistan? Darimana dia mendapatkan dana? Mengapa Pentagon
tidak berkutik? Dan apakah serangan AS ke Afghanistan akan
menyelesaikan masalah terorisme?

Osama bin Laden yang bernama asli Usamah bin


Muhammad Awad bin Laden, adalah anak ke-17 dari 50
bersaudara. Dia lahir di Riyadh tahun 1957, saat ayahnya,
Moehammad bin laden telah sukses menjadi konglomerat
Arab Saudi yang berkecukupan dalam segi ekonomi dan kasih
sayang.

Waktu Osama berusia 13 tahun, ayahnya meninggal


dunia. Kemudian, pada usia 17 tahun dia menikahi seorang

52 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


gadis Suriah yang masih famili dari pihak ibunya. Pendidikan
dasar sampai perguruan tinggi diperoleh Osama di Jeddah.
Tahun 1979, ia lulus dari fakultas Teknik Sipil Universitas
King Abdul Aziz Jeddah. Semasa bersekolah, Osama aktif
dalam gerakan Persaudaraan Islam (Ikhwanul Muslimin) dan
banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh terkenal seperti
Abdullah Azam dan Moehammad Quttub.

Hampir seluruh hidup Osama bin Laden diabdikan bagi


perjuangan melawan kejahatan dan kebhatilan. Perjuangan-
nya dimulai ketika ia berada di Afghanistan tahun1979 dan
langsung menyerukan jihad atas invasi tentara Soviet. Setelah
itu, pada tahun 1989, Osama kembali ke Arab Saudi, Pakistan,
dan Sudan. Pada tahun 1996, Osama kembali ke Afghanistan
dan bertemu dengan Mullah Omar untuk selanjutnya
membantu Taliban berperang melawan tentara Mujahidin.

Nama Osama mulai mencuat sejak keterlibatan Osama


dalam berbagai aksi terorisme anti Amerika, yang mencuatkan
namanya sejajar dengan pemimpin negara adikuasa dunia,
mulai dari peristiwa pemboman kedubes AS di Kenya dan
Tanzania tahun 1998, Peledakan Kapal Perang AS USS Cole di
pelabuhan Yaman tahun 2000, sampai dengan tuduhan atas
hancurnya menara kembar WTC dan gedung Pentagon, 11
September 2001.

Meskipun pihak pemerintah AS telah membekukan aset


dan aliran dana Osama yang ditaksir sekitar U$$ 300 juta itu,
ia tidak akan kekurangan dana untuk operasionalisasi
kegiatannya. Jauh sebelumnya, Osama telah mengadopsi
suatu sistem pengelolaan khusus untuk masalah keuangan-

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 53


nya. Disamping hanya melakukan investasi di negara-negara
Islam, yang menguntungkan Osama adalah sistem keuangan
keluarga yang menerapkan hukum Islam sehingga
memungkinkan dirinya mendapat warisan dari perusahaan
ayahnya di Arab Saudi. Sumber keuangan lainnya adalah
berupa sumbangan dari para donatur yang bersimpati dengan
perjuangannya.

Tragedi WTC dan Pentagon sempat menimbulkan


pertanyaan dan keraguan akan kemampuan sistem
pertahanan rudal nasional AS yang menelan biaya sekitar U$$
60 Milyar itu. AS yang dapat menguasai semua titik rawan di
seluruh dunia ternyata kecolongan di dalam negeri sendiri.
Ibarat pepatah, musuh diseberang lautan nampak, teroris di
pelupuk mata tidak terlihat. Mungkin kejadian ini dapat
menjadi shock therapy bagi AS untuk membenahi diri dan
mawas diri.

54 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


BAB 4
INDONESIA DAN TERORISME

A. Reformasi: Radikalisme, Terorisme, dan Civil Society

Pada masa awal-awal reformasi, radikalisme dan


militansi yang merebak di Indonesia adalah radikalisme etnik.
Hal ini ditandai dengan berbagai kekerasan kolektif dan
kerusuhan sosial di Sampit, Poso, dan Ambon. Selanjutnya,
radikalisme etnik ini kemudian menjalar pada radikalisme
kesukuan, golongan, dan agama. Akhirnya, gejala disintegrasi
bangsa menjadi fenomena penting yang mendapat perhatian
serius waktu itu. Bentuk-bentuk radikalisme etnik ini telah
menelan korban ratusan, dan bahkan ribuan nyawa melayang.

Saat ini, radikalisme etnik untuk sementara waktu


meredup digeser oleh radikalisme teroris. Menguatnya
radikalisme teroris ini dalam konteks Indonesia telah ada
secara dominatif sejak terjadinya rentetan peristiwa
pengeboman di berbagai Gereja pada malam Natal, peledakan
bom di Atrium Senin, pengeboman Masjid Istiqlal, dan bom di
Kedubes Filipina di Jakarta. Puncak dari rangkaian aksi
pengeboman ini adalah tragedi bom di Legian, Kuta, Bali, I2

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 55


Oktober 2002 lalu yang menewaskan lebih dari I80 orang
tewas dan 300 orang luka berat ringan.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan


dan keberagaman, sudah sepatutnya jika kita semua
mengutuk berbagai aksi radikalisme teroris yang selama ini
menghantui bangsa Indonesia. Biar bagaimanapun juga,
dampak dari radikalisme teroris yang menjangkiti berbagai
kelompok dan gerakan sosial sangat bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan norma-norma keagamaan.
Meskipun tujuan dari kelompok-kelompok radikalisme teroris
ini ingin menegakkan hukum dan keadilan Tuhan, tapi cara-
cara yang mereka pergunakan telah melanggar hukum dan
keadilan Tuhan itu sendiri.

Disamping itu, yang perlu dipegang teguh adalah


bahwa terorisme dan segala bentuknya jangan disangkut-
pautkan dengan agama. Kecenderungan radikalisme teroris
terletak pada individu atau personel masing-masing. Bahkan
secara lugas dapat dikatakan bahwa para pelaku tindak teroris
itu adalah manusia-manusia yang tidak beragama dan tidak
bertuhan. Sebab, manusia yang beragama tidak akan
melakukan perbuatan biadab seperti itu.

Semakin menguatnya gejala radikalisme teroris di


Indonesia saat ini tentunya akan berdampak pada terjadinya
benturan-benturan antar berbagai kelompok masyarakat
dengan pemerintah. Di samping itu, isu-isu terorisme telah
mempengaruhi proses penciptaan dan pengembangan
pluralitas budaya dan manusia. Tatanan sosial masyarakat,
yang ketika meletup reformasi bercerai-berai dan ingin

56 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


ditransformasi dalam wadah multikulturalisme, akan
mengalami hambatan serius apabila isu terorisme semakin
mempengaruhi struktur sosial masyarakat.

Konsepsi multikulturalisme yang intinya menekankan


pada pengakuan dan penghormatan terhadap kebhinekaan
dan perbedaan yang selama ini akan dikembangkan dalam
konteks kebangsaan Indonesia akan berhadapan secara tajam
dengan isu-isu terorisme yang berkembang akhir-akhir ini.
Dikatakan demikian karena radikalisme teroris yang disinyalir
menghinggapi sebagian kelompok-kelompok dan gerakan-
gerakan sosial masyarakat tidak mengenal akan perbedaan
dan kebhinekaan.

Perspektif terorisme tidak mengedepankan pada


kebersamaan dan pluralisme, melainkan hanya menekankan
pada uniformitas yang monolitik. Selain itu, terorisme tidak
memprioritaskan pada upaya-upaya dialog, melainkan
langsung pada tindak kekerasan yang membahayakan. Hal ini
sangat bertentangan dengan perspektif multikulturalisme
yang mendasarkan diri pada saluran dialog, kebersamaan,
kemanusiaan, penghormatan antar manusia, dan pengakuan
akan perbedaan.

Bagaimanapun juga, kita semua tidak menginginkan


bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki cap “Republik
Teror”. Oleh karena itu, tragedi bom Bali harus dijadikan
momentum yang tepat untuk menyadarkan kepada bangsa
Indonesia bahwa isu-isu terorisme akan sangat membahaya-
kan semangat multikulturalisme di tengah-tengah kehidupan

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 57


sosial masyarakat. Terorisme adalah musuh baru
multikulturalisme.

Melihat betapa bahayanya permasalahan terorisme di


Indonesia ini terhadap persatuan bangsa dan pengembangan
multikulturalisme yang sedang dibangun, maka perlu
diupayakan sebuah strategi untuk menangkalnya secepat
mungkin. Salah satu cara yang efektif untuk itu adalah
langkah penguatan masyarakat sipil (civil society) yang ada
dalam masyarakat Indonesia. Seluruh komponen masyarakat
sipil mulai dari partai politik, Lembaga Swadaya Masyarakat,
Organisasi Sosial, Organisasi Keagamaan, Komunitas
Intelektual Kampus, Masyarakat Pers dan komponen
masyarakat lainnya harus senantiasa bersatu padu, saling
berdialog, tukar informasi dan merapatkan barisan demi
cegah tangkal praktek terorisme.

Konsolidasi masyarakat sipil ini sangat penting


mengingat saat ini negara sebagai unit politik formal tidak
mampu lagi memberikan rasa aman dan kedamaian pada
rakyatnya dari ancaman terorisme. Struktur negara seperti
Eksekutif (Birokrasi dan aparat penegak hukum: Polri,
Kejaksaan, TNI), Legislatif (MPR/DPR) dan Yudikatif
(Lembaga Peradilan) telah gagal dalam menciptakan tertib
sosial masyarakat. Padahal, tujuan utama dibentuknya negara
adalah kontrak sosial dari seluruh elemen masyarakat untuk
secara bersama mendelegasikan kekuasaan kepada negara
untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi interaksi hak
dan kewajiban antar individu dalam masyarakat.

58 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Merebaknya aksi-aksi terorisme telah mengganggu dan
merampas hak hidup dan hak untuk aman dari rakyat. Sudah
selayaknya bagi rakyat menuntut rezim penguasa berkait
dengan terganggunya hak-hak mereka. Tidak berhenti di situ
saja, segenap elemen masyarakat harus mengonsolidasi diri
demi keamanan masing-masing dari ancaman terorisme.

Penguatan masyarakat sipil bisa dilakukan secara nyata


dengan saling tukar informasi, saling dialog, saling
bekerjasama sehingga akan tercapai suatu kesepakatan dan
gerakan moral sosial yang kuat sehingga persatuan dan
kesatuan bangsa bisa terjaga. Selain itu, dengan
ditumbuhkembangkan budaya dialog, diskusi, dan tukar
informasi masing-masing komponen masyarakat akan
mendorong percepatan timbulnya budaya multikulturalisme
yang selama ini ingin dikembangkan secara bersama.

B. Relasi Islam dan Negara Pasca Tragedi Bom Bali

Sebagai reaksi atas tragedi bom di Legian, Kuta, Bali


pada tanggal 12 Oktober 2002 yang menelan korban tewas
lebih dari 180 orang dan tidak kurang dari 300 mengalami
luka berat maupun ringan, pemerintah Indonesia melalui
Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra,
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang (Perpu) Anti Terorisme. Pemerintah berharap dengan
terbitnya Perpu Anti Terorisme tersebut dapat dijadikan dasar
legitimasi dan payung hukum bagi aparat hukum untuk
melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap
merebaknya praktek-praktek terorisme di Indonesia,

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 59


khususnya dalam menyelidiki dan mengusut dalang dan
pelaku peristiwa bom Bali.

Sementara itu, reaksi yang tak kalah hebatnya juga


ditampilkan oleh negara-negara yang selama ini sangat
berkepentingan dalam mengobarkan perang melawan
terorisme global, seperti AS dan Australia. Melalui loby-loby
di PBB, AS berhasil mendesak Dewan Keamanan (DK) PBB
untuk mengeluarkan Resolusi yang intinya mengutuk keras
para pelaku teror dibalik peristiwa bom Bali. Australia yang
dalam tragedi Bali paling banyak warganya yang menjadi
korban merasa terpukul dan segera menawarkan bantuan
intelijen untuk membantu pemerintah Indonesia mengatasi
persoalan terorisme. Bahkan, Menlu dan Perdana Menteri
Australia secara tidak bersamaan menyisihkan waktu untuk
mengunjungi lokasi kejadian.

Secara umum, masyarakat pasca tragedi bom Bali turut


prihatin atas peristiwa bom Bali yang menurut berbagai
kalangan merupakan aksi teror paling besar kedua di dunia
setelah tragedi WTC dan Pentagon di AS; dan juga merupakan
aksi teror paling besar dalam lembar sejarah terorisme di
Indonesia. Selain itu, diterbitkannya Perpu Antiterorisme oleh
pemerintah Indonesia menyusul tragedi bom Bali juga banyak
dipuji dan didukung oleh masyarakat internasional. Paling
tidak, hal ini tercermin dalam rangkaian pernyataan para
kepala negara dan pemerintahan di sidang APEC beberapa
waktu yang lalu.

Meskipun mendapat dukungan dari negara-negara di


dunia, khususnya AS dan sekutunya, Perpu Antiterorisme

60 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


dipandang secara bervariasi oleh publik domestik. Publik
menilai bahwa dikeluarkannya Perpu Antiterorisme telah
diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, Perpu
Antiterorisme memiliki urgensi positif dalam menangani
persoalan terorisme. Namun, di sisi lain, Perpu Antiterorisme
dikhawatirkan oleh publik akan disalahgunakan oleh
pemerintah dalam memberangus lawan-lawan politik atau
kelompok oposan.

Dalam konteks inilah, sebenarnya terdapat pro dan


kontra dalam masyarakat menyikapi Perpu Antiterorisme.
Bagi publik yang mendukung pemberlakuan Perpu
Antiterorisme, perangkat hukum berwujud Perpu ini sangat
penting baik secara hukum maupun secara politik. Secara
hukum, Perpu Antiterorisme dapat dijadikan payung hukum
bagi pemerintah dalam mengusut aksi-aksi terorisme. Perpu
Antiterorisme telah mengisi ruang kosong perundang-
undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme.
Kemudian secara politis, lahirnya Perpu Antiterorisme dinilai
telah menciptakan citra Indonesia di mata dunia internasional
bahwa Indonesia serius dalam menangani persoalan-
persoalan terorisme, khususnya dalam mencari pelaku aksi
bom Bali.

Sementara itu, bagi publik yang menolak Perpu


Antiterorisme berargumentasi bahwa proses lahirnya Perpu
Antiterorisme sarat dengan muatan kepentingan negara asing,
yakni AS. Artinya, dalam pandangan ini, Perpu Antiterorisme
merupakan sebuah produk hukum yang dibuat atas dasar
“pesanan” dari AS. Karena itu, Perpu Antiterorisme ini dinilai

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 61


hanya digunakan sebagai alat atau sarana bagi AS untuk
menjerat kelompok-kelompok Islam yang dianggapnya
sebagai kelompok teroris atau paling tidak mempunyai kaitan
dengan Al Qaeda. Di samping itu, sebagian besar publik
mencemaskan Perpu Antiterorisme akan diselewengkan oleh
rezim penguasa untuk merepresi rakyat sebagaimana UU
Subversi pada masa rezim Orde Baru.

Berbeda dengan AS yang bersatu padu merapatkan


barisan dalam satu komando memerangi terorisme global
setelah peristiwa 11 September 2001 lalu, Indonesia pasca
tragedi bom Bali menunjukkan kenyataan yang sebaliknya.
Teror bom Bali telah menciptakan benturan-benturan
membahayakan antara pemerintah dengan kelompok-
kelompok Islam, khususnya kelompok Islam garis keras dan
radikal. Benturan ini dipicu oleh langkah pemerintah
menangkap dan menetapkan status tersangka terhadap ketua
Majelis Mujahidin Indonesia, Abu Bakar Ba’asyir. Tuduhan
aparat kepolisian bahwa Ba’asyir terkait dengan teror bom
Natal, peledakan Atrium Senin, dan peristiwa Istiqlal disusul
dengan penangkapannya, yang dilakukan secara paksa di
RSU PKU Muhammadiyah Solo telah melukai hati kelompok-
kelompok Islam.

Padahal, sebenarnya jika dilihat jauh ke belakang,


benturan antara pemerintah dengan kelompok Islam radikal
ini telah ada bibit-bibitnya sebelum teror bom Bali terjadi. Hal
ini bisa dilihat dari penangkapan Panglima Laskar Jihad, Jafar
Umar Thalib, atas kasus Ambon dan ketua Front Pembela
Islam, Habib Rizieq. Mereka semua dianggap sebagai para

62 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


pemimpin kelompok Islam radikal yang membahayakan
pemerintah dan bangsa.

Langkah penangkapan terhadap tokoh-tokoh Islam oleh


pemerintah ini sebenarnya disebabkan karena upaya dari
tokoh-tokoh Islam tersebut untuk mengubah bentuk negara
dari (menurut mereka) sekuler menjadi negara agama (Islam)
dengan menjalankan syariat Islam secara konsisten. Bagi
mereka, negara Islam sangat cocok bagi Indonesia karena
mayoritas penduduknya beragama Islam. Islam dianggap
sebagai solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan
bangsa. Namun, pemerintah melihat hal ini secara berbeda.
Bagi pemerintah, Indonesia sangat heterogen dan plural
apabila ditinjau dari aspek etnik. Karenanya, Pancasila adalah
konsep yang tepat untuk mewadahi kemajemukan tersebut.
Pemerintah juga sangat “alergi” dengan cara-cara yang
ditampilkan oleh kelompok-kelompok Islam garis keras yang
cenderung radikal dalam menegakkan syariat Islam,
meskipun tujuannya sangat baik.

Berkaitan dengan tragedi bom Bali, masih diperdebat-


kan apakah penangkapan yang dilakukan oleh aparat
keamanan terhadap aktivis-aktivis gerakan Islam ini sebagai
bentuk dan upaya pemerintah Republik Indonesia untuk
memperoleh simpati dan dukungan dari AS, atau murni
penegakan hukum. Bahkan, spekulasi publik yang ber-
kembang sampai saat ini adalah bahwa langkah pemerintah
mulai dari penerbitan Perpu Anti Terorisme sampai dengan
penangkapan aktivis-aktivis gerakan Islam dianggap hanya
sebagai “pesanan” dari pemerintah AS yang notabene memang

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 63


memusuhi dunia Islam, walaupun dengan berbagai
propagandanya akhir-akhir ini pemerintah AS menunjukkan
kepada dunia bahwa AS tidak memusuhi Islam dengan
mempertontonkan masyarakat Islam yang hidup dengan
bebas dan dapat melaksanakan syariat Islam secara bebas di
AS. Sungguhpun begitu, saat ini umat Islam di Indonesia
berada pada posisi terjepit karena berdasarkan hasil
penyelidikan Tim Investigasi Tragedi Bom Bali terdapat
berbagai indikator yang mengarah pada lembaga dan
individu berlabel Islam, seperti Amrozi, Hambali, Amrozi,
Imam Samudera, dan lain-lain.

Nampaknya, rentetan ketegangan yang mempengaruhi


relasi Islam-negara ini harus dipahami sebagai mata rantai
yang saling berkaitan sehingga memerlukan perhatian yang
serius. Teror Bom Bali, keluarnya Perpu Antiterorisme dan
penangkapan Ba’asyir mempunyai keterkaitan yang sangat
erat. Pertanyaan kritis yang muncul kemudian adalah apakah
penangkapan Ba’asyir ini akan disusul dengan penangkapan
tokoh-tokoh dan aktivis-aktivis gerakan Islam radikal lainnya?
Kemudian apa dampaknya terhadap relasi Islam-negara di era
reformasi saat ini.

Jawaban sederhana tapi pasti adalah bahwa kemung-


kinan terjadi proses penangkapan besar-besaran terhadap
tokoh dan aktivis gerakan Islam radikal yang tentunya hal ini
akan menciptakan keretakan hubungan antara pemerintah
dengan kelompok Islam. Hal ini bisa dilihat secara jelas dari
perkembangan penyelidikan Tim Investigasi bom Bali yang
mempunyai kecenderungan mengarah pada “label” Islam,

64 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


seperti Pondok Pesantren dan aktivis-aktivisnya. Data dan
bukti yang ditampilkan oleh Tim Investigasi Bom Bali
memang sangat terkait dengan simbol-simbol Islam sehingga
umat Islam secara keseluruhan merasa berada pada posisi
dilematis.

Di satu sisi, umat Islam selalu menepis bahwa Islam


bukan teroris. Tapi, kenyataan menunjukkan bahwa orang-
orang yang disangka menjadi teroris adalah orang-orang atau
oknum-oknum yang terkait dengan lembaga-lembaga Islam.
Di sisi lain, berkembang analisis bahwa isu terorisme dan
berbagai teror bom di tanah air merupakan hasil dari skenario
pihak Barat, khususnya AS agar supaya pemerintah
membersihkan dan menghancurkan gerakan-gerakan Islam
yang dianggapnya akan membahayakan kepentingan-
kepentingan AS di Indonesia. Melihat dua sisi dilematis ini,
hendaknya kita secara arief dapat membedakan bahwa Islam
sebagai ajaran tidak mungkin membenarkan aksi-aksi teror
dan kekerasan. Kalaupun ada orang-orang yang beragama
Islam terkait dengan praktek-praktek teror, maka jangan
dilihat Islamnya, tapi harus dilihat pada personel atau
individunya.

Maraknya pembentukan Satuan Tugas (Satgas)


Antiterorisme oleh aparat pemerintah baik di pusat maupun
di daerah banyak dipahami sebagai pengimbang dari laskar-
laskar yang terdapat dalam Partai-partai Politik maupun
kelompok Islam. Dapat diprediksikan pula dengan mudah
bahwa jika ini berlarut-larut, maka akan terjadi konflik-konflik
dan benturan-benturan tajam yang membahayakan antara

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 65


kedua pihak yang tentunya hal ini akan melebar pada konflik
antara pemerintah dengan kelompok-kelompok Islam.

Makna yang dapat diambil dari rangkaian peristiwa ini


adalah bahwa teror bom Bali menjadi klimaks ketegangan
yang sebelumnya terselubung antara pemerintah dan
kelompok-kelompok Islam radikal. Padahal, apabila benturan
ini semakin memuncak dapat dipastikan bahwa proses
transisi menuju demokrasi yang saat ini tengah berlangsung
akan mengalami ancaman serius, karena kelompok Islam di
Indonesia adalah mayoritas. Meskipun dalam Islam sendiri
terdapat pluralitas antara kelompok Islam radikal maupun
kelompok Islam moderat, namun sedikit banyak akan
mempengaruhi stabilitas politik-keamanan yang pada
gilirannya akan berimbas pada upaya perbaikan ekonomi
yang sedang giat-giatnya dilaksanakan.

Terdapat tiga indikator yang dapat dipaparkan disini


sebagai argumentasi bahwa relasi non harmonis antara
kelompok-kelompok Islam dengan pemerintah akan mempe-
ngaruhi dan mengancam proses demokratisasi Indonesia.
Pertama, isu terorisme yang menjadi penyebab ketidak-
harmonisan relasi Islam-negara. Perang global melawan
terorisme global yang dikumandangkan oleh AS dan
persepsinya bahwa kelompok Islam radikal di Indonesia
sebagai teroris telah mempengaruhi kebijakan pemerintah
Indonesia terhadap kelompok-kelompok Islam radikal. Untuk
kepentingan ini, AS tidak menginginkan Indonesia
demokratis dulu demi mendukung perang melawan terorisme
global.

66 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Kedua, pemberlakuan Perpu Antiterorisme yang
terkesan diterbitkan secara terburu-buru dan tidak memung-
kinkan pemberian ruang publik bagi partisipasi publik
maupun public complain. Miskinnya partisipasi publik dalam
proses lahirnya Perpu Antiterorisme telah menciptakan suatu
perangkat hukum yang bias dan menimbulkan pro kontra
ditingkat publik sehingga mempengaruhi proses transisi
menuju demokrasi. Ketiga, pembentukan Satgas Antiterorisme
telah menciptakan kekhawatiran akan fungsinya yang dapat
diselewengkan oleh penguasa sebagaimana Kopkamtib di
masa rezim Soeharto. Kalau ini terjadi, maka akan berakibat
pada terancamnya proses transisi menuju demokrasi.

Oleh karena itu, melihat berbagai peristiwa secara


mendalam, perlu diciptakan wahana dialog antara berbagai
kelompok dan stake holders yang terkait dalam upaya
mendamaikan dan mengharmoniskan relasi Islam-negara.
Perlu kiranya diciptakan sarana mediasi untuk menjembatani
antara berbagai persepsi dan kepentingan masing-masing
pihak sehingga tercipta keharmonisan hubungan masing-
masing pihak. Kita semua tentu menginginkan sebuah
kerjasama dari seluruh komponen bangsa dalam memberantas
terorisme, termasuk kerjasama antara pemerintah dengan
kelompok Islam garis keras yang selama ini dituduh sebagai
kelompok teroris. Jika pemerintah berhasil menggandeng
kelompok-kelompok Islam ini, niscaya akan dapat dijadikan
modal yang kuat dalam mencegah praktek-praktek terorisme
tanpa mengganggu proses demokratisasi yang sedang
berlangsung dalam usaha membentuk tata pemerintahan
Indonesia baru. Dengan kata lain, pemerintah harus

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 67


kooperatif dan persuasif terhadap kelompok Islam, bukan
agresif sebagaimana yang selama ini dipertontonkan.

C. Relasi Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah

Tragedi WTC dan Pentagon, 11 September 2001, telah


menjadikan terorisme sebagai isu global dan menempatkan Al
Qaeda sebagai organisasi terorisme global yang harus
diberantas serta Osama Bin Laden sebagai pimpinan Al Qaeda
yang paling dicari oleh AS dan negara-negara Barat lainnya.
Kampanye perang melawan terorisme global yang
dikumandangkan oleh PBB dengan sponsor AS telah
mempengaruhi stabilitas keamanan internasional (Noam
Chomsky, 2002)

Sebagai negara yang terbuka terhadap perkembangan


lingkungan strategis, Indonesia sangat terpengaruh oleh isu
terorisme global. Keamanan dalam negeri Indonesia sangat
terancam oleh aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah
Indonesia, mulai dari Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Kuningan,
Bom JW Marriot, Bom Poso, Bom Atrium Senin, dan lain-lain
(Laporan Menkopolhulkam, 2006).

Berdasarkan data di lapangan, berbagai aksi terorisme


yang terjadi di Indonesia sangat terkait dengan jaringan
Jamaah Islamiyah pimpinan Abu Bakar Baasyir yang
mempunyai keterkaitan dengan jaringan Al Qaeda pimpinan
Osama Bin Laden. Keterkaitan antara Jamaah Islamiyah
dengan Al Qaeda merupakan sesuatu yang membahayakan
dan perlu diwaspadai mengingat adanya tokoh
penghubungan antar kedua organisasi ini, yakni Hambali.

68 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Al Qaeda adalah organisasi teroris internasional
pimpinan Osama Bin Laden yang berbasis di Afghanistan. Al
Qaeda memiliki sel-sel dan jaringan di seluruh wilayah dunia.
Al Qaeda mendukung dan mendanai setiap gerakan radikal
yang menentang hegemoni AS. Al Qaeda dituding oleh AS
sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam tragedi WTC
dan Pentagon, 11 September 2001 (Paparan Kadensus 88 AT
Mabes Polri).

Jamaah Islamiyah atau sering disebut pula dengan Al


Jamaah Al Islamiyah (JI) adalah organisasi keagamaan radikal
yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir
pada tahun 1993. Organisasi ini beroperasi di Malaysia,
Singapura, Indonesia, Philipina dan Thailand. Pada tahun
2001, JI di masukkan dalam daftar 10 organisasi teroris oleh
PBB atas desakan AS.

Terdapat keterkaitan antara Al Qaeda dan JI dalam


kasus-kasus aksi terorisme yang merebak di Indonesia setelah
era reformasi sehingga mengancam keamanan dalam negeri.
Keterkaitan Al Qaeda – JI adalah dalam hal: penyebaran
ideologi, pelatihan kemiliteran, dana operasi, senjata dan
amunisi, personil, dan pelatih. Hambali adalah tokoh yang
menjadi penghubung (liaison officer) antara Al Qaeda dan JI.

Dalam aspek ideologi, Al Qaeda merupakan sumber


inspirasi dan referensi religius JI, khusunya ideologi dalam
memerangi negara-negara Barat. Dalam aspek pelatihan
kemiliteran, banyak tokoh-tokoh JI yang dilatih oleh Al Qaeda
di kamp latihan militer Afghanistan. Dalam pendanaan,
operasi terorisme yang dilakukan oleh JI di wilayah Indonesia

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 69


didanai oleh Al Qaeda. Dalam aspek persenjataan dan
amunisi, Al Qaeda memasok senjata mutakhir beserta
amunisinya kepada tokoh-tokoh JI untuk mendukung
operasinya. Dalam aspek personil dan pelatih, sebagian besar
tokoh JI adalah alumni Afghanistan dan mendapatkan
mentoring dari para pelatih yang berasal dari tokoh Al Qaeda.

Keterkaitan antara Al Qaeda-JI ini tentunya sangat


berdampak pada aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.
Kelompok JI pimpinannya ada di wilayah Indonesia, yakni
Abu Bakar Baasyir, diduga kuat melakukan aksi terorisme di
wilayah Indonesia dengan dukungan dan bantuan dari
jaringan terorisme internasional, Al Qaeda.

Berdasarkan data resmi Kementerian Polhukam (2006),


dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, terdapat
serangkaian aksi teror yang diduga dilakukan oleh JI dengan
bantuan keuangan dan persenjataan dari Al Qaeda, yakni: (1)
Peledakan di gedung Atrium Senin, 1 Desember 1998; (2)
Peledakan di Plaza Hayam Wuruk, 15 April 1999; (3)
Peledakan di Masjid Istiqlal, 1999; (4) Peledakan di Gereja
(GKPI) Medan, 28 Mei 2000; (5) Peledakan di Gereja Katolik
Medan, 29 Mei 2000; (6) Peledakan di Rumah Dubes Filipina, 1
Agustus 2000; (7) Peledakan di gedung Atrium Senen, 1
Agustus 2001 dan 23 April 2001; (8) Peledakan di beberapa
Gereja di Malan Natal, 2000 dan 2001; (9) Peledakan di Kuta
Bali, 12 Oktober 2002; (10) Peledakan di Manado, 2002; (11)
Peledakan di McDonald Makasar, 5 Desember 2002; (12)
Peledakan di J.W. Marriott, 5 Agustus 2003; (13) Peledakan di
depan Kedubes Australia, Kuningan; (14) Peledakan Bom Bali

70 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


II, Jimbaran, 1 Oktober 2005; dan berbagai aksi Bom lainnya di
Poso dan Palu akhir-akhir ini serta di berbagai daerah di
Indonesia.

Berbagai aksi terorisme sebagai dampak keterkaitan


antara JI dan Al Qaeda tentunya berkonsekuensi pada
terganggunya kondisi keamanan dalam negeri Indonesia. Aksi
terorisme dapat menimbulkan ancaman stabilitas politik,
ekonomi dan sosial kemasyarakatan sehingga menghambat
proses pembangunan ekonomi dan jalannya demokratisasi di
Indonesia di era reformasi saat ini.

Sebagai salah satu contoh, aksi Bom Bali I dan II telah


berdampa negatif terhadap Indonesia di mata dunia
internasional. Pariwisata Bali menjadi menurun drastis, travel
warning diberlakukan negara-negara Barat, citra keamanan
Bali menjadi hancur, dan pada gilirannya akan mempengaruhi
keamanan dalam negeri karena adanya taruhan kredibilitas
bangsa Indonesia dalam menangani aksi terorisme.

Berdasarkan uraian analisis tersebut di atas, dapat


ditarik benang merah kesimpulan bahwa terdapat keterkaitan
antara terorisme global terhadap keamanan dalam negeri. Ada
keterhubungan antara Al Qaeda, JI dan aksi terorisme yang
terjadi di Indonesia. Keterkaitan Al Qaeda – JI dibuktikan
dengan adanya bantuan dana, persenjataan, amunisi, latihan
militer, pelatih, personil dan ideologi yang disebarkan.
Keterkaitan ini kemudian berdampak pada kekuatan dan
kemampuan JI dalam melakukan aksi terorisme di Indonesia
sehingga mengancam keamanan dalam negeri.

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 71


72 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI
BAB 5
TNI DAN TERORISME

Perkembangan lingkungan strategis yang ditandai


dengan adanya saling ketergantungan antar negara dimana
setiap perubahan yang terjadi pada satu negara akan
mempengaruhi negara lain merupakan gambaran kondisi
dunia yang telah menapaki era globalisasi, yang diakselerasi
oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya teknologi informasi dan komunikasi. Sebagai
negara yang telah masuk dalam lingkaran arus globalisasi,
Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh perkembangan
lingkungan strategis tersebut. Setiap perubahan yang terjadi
pada tataran global dan regional sangat mempengaruhi
kondisi nasional bangsa Indonesia, khususnya di era reformasi
saat ini.

Salah satu peristiwa yang merupakan dampak dari


perkembangan lingkungan strategis tersebut adalah merebak-
nya aksi terorisme yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
Aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok teroris diduga
kuat sangat terkait dengan jaringan terorisme internasional
yang beroperasi di berbagai negara. Upaya penanganan

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 73


terhadap terorisme sangat mendesak dilakukan untuk
menciptakan rasa aman dan mendorong stabilitas keamanan
nasional.

Kondisi inilah yang mendorong perlunya penyiapan


satuan khusus anti teror TNI, yang terdiri dari Densus 81 (TNI
AD), Den Jaka (TNI AL), dan Den Bravo (TNI AU), untuk
menghadapi aksi terorisme tersebut. Dalam perkembangan-
nya, upaya penyiapan satuan khusus anti teror TNI sangat
dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis, baik
ditingkat global, regional maupun nasional.

A. TNI, Terorisme, dan Perkembangan Lingkungan Strategis

Permasalahan pelanggaran HAM telah dijadikan oleh


negara-negara maju, termasuk AS untuk menekan dan
mengintervensi negara-negara berkembang dengan
melakukan embargo militer dimana Indonesia merupakan
salah satu negara yang terkena dampaknya. Sejak tahun 1999,
khususnya ketika terjadi kerusuhan pasca jajak pendapat di
Timor-Timur, Indonesia dituduh oleh negara-negara Barat
melanggar HAM sehingga dijatuhi embargo persenjataan
yang tentunya berdampak negatif terhadap sistem
persenjataan negara. Kondisi yang demikian tentunya sangat
berpengaruh terhadap satuan khusus anti terror TNI dalam
mengembangkan persenjataan modern guna menumpas aksi
terorisme yang saat ini marak di Indonesia. Aksi terorisme
yang menggunakan peralatan yang sangat canggih tentunya
membutuhkan satuan khusus anti terror yang canggih pula,
namun demikian hal ini sulit untuk diwujudkan karena

74 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


adanya embargo senjata yang dilakukan oleh AS terhadap
Indonesia.

Penerapan nilai-nilai demokrasi yang bersifat universal-


global yang diadopsi oleh setiap negara di dunia telah
menciptakan ruang kebebasan dalam berserikat dan
berkumpul bagi setiap warga negara yang sebenarnya sangat
bagus bagi perkembangan jalannya pemerintahan telah
dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk melakukan
tindakan terror yang melanggar hukum dan mengancam
stabilitas pemerintahan. Demokrasi telah dipahami oleh
pihak-pihak tertentu sebagai ekspresi kebebasan yang
berlebihan dan kebablasan sehingga menyebabkan kerugian
bagi kebebasan orang lain. Tindakan terror yang dilakukan
sekelompok orang merupakan gambaran nyata bahwa nilai-
nilai demokrasi telah salah dipahami. Dalam alam demokrasi,
ada kendala dimana satuan anti terror sulit untuk menangkap
orang atau kelompok yang diduga melakukan tindakan terror
karena bertentangan dengan prinsip demokrasi. Demokrasi
dijadikan tameng bagi kelompok teroris untuk menghindar
dari penangkapan satuan khusus anti terror. Di era demokrasi,
tidak mudah bagi negara untuk menangkap warga negara
yang diduga melakukan aksi terror sebelum ada bukti dan
saksi yang kuat. Kondisi demokrasi inilah yang menyulitkan
bagi satuan khusus anti terror untuk menangkap para teroris.

Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi


yang sangat mudah diakses oleh setiap warga negara di dunia
telah dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk mengadopsi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 75


untuk tujuan aksi terror. Perkembangan ilmu pengetahuan
yang ditandai dengan sangat mudahnya masyarakat
mempelajari bagaimana meracik bom, menggunakan
persenjataan modern, dan melakukan latihan telah
mendorong kelompok teroris untuk mempelajari ilmu-ilmu
tersebut dan mempraktekkannya dengan aksi terror tersebut.
Perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi dan
komunikasi telah dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk
mempermudah jalinan komunikasi antar sel-sel teroris
diberbagai negara termasuk Indonesia. Kondisi yang
demikian, tentunya membuat satuan khusus anti terror TNI
perlu memiliki kemampuan dan keterampilan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga dapat melacak
keberadaan jaringan teroris di Indonesia.

Terjadinya tragedi WTC dan Pentagon pada tanggal 11


September 2001 yang lalu telah mendorong AS untuk
menerapkan kampanye perang melawan teror di seluruh
negara di dunia. Tuduhan AS bahwa Indonesia merupakan
sarang teroris telah menciptakan kemarahan masyarakat
Indonesia sehingga menimbulkan kuatnya sentimen anti AS
yang pada gilirannya melahirkan aksi teror, berupa
pengeboman dengan sasaran dan target hal-hal yang berbau
AS. Namun demikian, perang global AS melawan terorisme
dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk meyakinkan AS
bahwa terorisme yang merebak di Indonesia tidak bisa hanya
ditangani oleh Polri semata, melainkan memerlukan
keterlibatan satuan khusus anti teror TNI sehingga dapat
dijadikan alasan untuk dicabutnya embargo senjata terhadap
militer Indonesia sehingga satuan khusus anti teror dapat

76 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


menangani aksi teror secara lebih memadai dengan peralatan
pesenjataan yang canggih.

Bantuan Uni Eropa terhadap Indonesia dalam


menangani aksi teror yang dikucurkan melalui lembaga donor
yang bernaung dibawah payung Uni Eropa telah
mempengaruhi upaya penanganan terorisme di Indonesia.
Uni Eropa berpandangan bahwa aksi teror yang merebak di
Indonesia dapat mengancam kepentingan dan aset vital yang
dimiliki negara-negara Uni Eropa sehingga Uni Eropa
berkepentingan terhadap bebasnya Indonesia dari ancaman
teroris. Satuan khusus anti teror TNI dapat memanfaatkan
peluang ini untuk mendapatkan dana dari pihak Uni Eropa
sehingga dapat memperbarui sistem persenjataannya yang
telah usang dan kalah dengan sistem persenjataan satuan
Densus 88 Polri yang didanai oleh AS dan Australia. Satuan
khusus anti teror dapat mengambil peluang dari kondisi
tersebut tanpa harus kehilangan jati diri sebagai prajurit
profesional yang tidak dapat didikte oleh kepentingan asing.

Perkembangan di wilayah Asia Tenggara menunjukkan


kondisi yang memanas dengan adanya aksi teror yang
semakin meningkat di negara Philipina dan Tahiland. Kuat
adanya dugaan bahwa terdapat jaringan antara kelompok
teroris yang ada di Thailand dan philipina yang mempunyai
hubungan dengan kelompok terorisme yang ada di Indonesia.
Bahkan ada sinyalemen yang menyatakan bahwa kelompok
teroris di Thailand Selatan dan Philipina dilatih dan dididik
oleh kelompok teroris dari Indonesia. Sedangkan gembong
aksi teroris di Indonesia, yakni Dr. Azahari yang telah

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 77


meninggal dunia dan Noordin M. Top yang masih diburu
berasal dari Malaysia. Kondisi yang demikian tentunya sangat
berpengaruh terhadap upaya satuan khusus anti teror TNI
untuk menangani aksi teror yang beraksi di wilayah
Indonesia.

Sepak terjang Australia di wilayah Pasifik Selatan dan


Indonesia dalam menangani aksi teror telah berpengaruh
terhadap aksi teror di Indonesia. Aksi teror dalam peristiwa
Bom Bali I dan II merupakan gambaran nyata kebencian
kelompok teroris terhadap Australia yang kemudian
mendorong negara Kanguru ini sangat berkepentingan untuk
menangani aksi teror di wilayah Indonesia. Bantuan dana
terhadap pembentukan dan pelatihan Densus 88 Polri,
pembentukan perwakilan polisi federal di Bali, dan bantuan
dana bagi kegiatan yang berkaitan dengan penanganan aksi
teror dilakukan oleh Australia. Kondisi ini tentunya
berpengaruh terhadap satuan khusus anti teror TNI yang
merasa diabaikan dalam penanganan aksi terror dan lebih
mengutamakan Densus 88 Polri dalam memberikan berbagai
bantuan dana, bantuan teknis dan bantuan managerial
lainnya.

B. TNI, Terorisme, dan Stabilitas Nasional

Menguatnya radikalisme, fundamentalisme, dan


militansi agama, khsususnya agama Islam yang dipraktekkan
secara keliru oleh sebagian kecil pemeluknya telah
mendorong adanya aksi terorisme yang mengatasnamakan
agama. Aksi teror dipahami secara salah kaprah sebagai

78 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


“jihad” dimana mati dalam aksi teror merupakan “syahid”.
Islam telah salah digunakan sebagai ideologi oleh sekelompok
orang melakukan aksi teror. Islam yang sebenarnya
merupakan ajaran agama yang tidak mengajarkan kekerasan
dan justru mengutamakan perdamaian antar umat manusia
telah menjadi “momok” dan “monster” yang menakutkan
hanya gara-gara sekelompok orang yang melakukan aksi teror
atas nama Islam. Kondisi yang demikian tentunya sangat
berpengaruh terhadap satuan khusus anti teror TNI dalam
menangani aksi teror tersebut. Penanganan aksi teror tentunya
harus dilakukan secara hati-hati agar supaya tidak melahirkan
benturan kepentingan yang dapat memposisikan satuan
khusus anti teror berhadapan dengan umat Islam.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang


penanganan terhadap aksi terorisme belum mewadahi secara
eksplisit unsur satuan khusus anti teror TNI. UU terorisme
tersebut masih sangat terbatas dan belum detail dalam
penanganan aksi teror di Indonesia. UU terorisme tersebut
belum dijabarkan dalam aturan perundang-undangan di
bawahnya seperti PP, Perpres atau peraturan di bawah
lainnya. UU terorisme belum memberikan peranan yang besar
terhadap satuan khusus anti teror TNI yang sebenarnya
sangat penting perannya dalam menangani aksi teror.
Pengalaman yang dimiliki oleh satuan khusus anti teror TNI
dapat dimanfaatkan dalam menangani aksi teror yang
merebak di Indonesia.

Kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang berada


dalam kondisi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 79


pendapatan sebenarnya merupakan akar penyebab terjadinya
aksi teror di Indonesia. Dari pengamatan yang dilakukan
selama ini terungkap bahwa aksi teror yang dilakukan
merupakan ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap
kondisi kesejahteraan masyarakat yang tak kunjung bangkit
dari belenggu kemiskinan sehingga mendorong mereka untuk
melakukan aksi teror sebagai bentuk perlawanan terhadap
keadaan yang serba terbatas tersebut. Satuan khusus anti teror
TNI yang bertugas menangani aksi teror perlu melihat akar
persoalan munculnya perilaku teror tersebut sehingga
pendekatan keamanan saja tidak cukup dalam menangani aksi
teror melainkan diperlukan pula pendekatan kesejahteraan.

Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang secara


umum relatif rendah sehingga menyebabkan lemahnya
kualitas sumber daya manusia telah mendorong masyarakat
Indonesia mudah untuk diprovokasi dan dipancing dengan
isu-isu yang dapat membahayakan stabilitas keamanan.
Pendidikan masyarakat yang rendah akan memudahkan para
pelaku teror melakukan indoktrinasi dan cuci otak agar
supaya bergabung menjadi bagian dari kelompok teroris.
Pemikiran masyarakat yang masih tradisional cenderung
dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk mencari pengikut
dan menyebarkan doktrin mautnya. Penegakan hukum yang
masih lemah juga menjadi faktor pendorong menguatnya aksi
teror di wilayah Indonesia. Proses penegakan hukum yang
masih jauh dari apa yang diharapkan membuat para pelaku
teror dapat dengan mudah melakukan teror tanpa takut
adanya jeratan hukum. Kondisi yang demikian, tentunya
berpengaruh terhadap satuan anti teror TNI dalam melakukan

80 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


penanganan terhadap aksi teror sehingga kondisi masyarakat
tersebut menjadi bahan perhatian dan perimbangan.

Belum adanya pembagian tugas yang jelas antara TNI,


Polri dan komponen bangsa lainnya terhadap penanganan
aksi teror telah mendorong satuan khusus tertentu yang
menonjol dibandingkan dengan satuan khusus lainnya. Dalam
kenyataannya, saat ini dirasakan bahwa penanganan aksi
teror sangat dominan diperankan oleh Densus 88 Polri
sehingga mengesankan bahwa aksi teror semacam apapun
sepertinya harus ditangani oleh Polri tanpa ada peran yang
berarti dari unsur TNI. Padahal, aksi terorisme merupakan
permasalahan yang komplek yang tidak dapat diselesaikan
hanya oleh satu institusi semata tanpa melibatkan institusi
yang lain. Dalam UU TNI disebutkan bahwa TNI melakukan
OMSP, yang salah satunya menumpas aksi terorisme, Namur
dalam kenyataannya TNI kurang difungsikan dalam
penanganan aksi teror. Penanganan aksi terorisme terkesan
sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi antara TNI dan Polri
sehingga masyarakat melihat kondisi ini sebagai superioritas
Polri terhadap TNI di era reformasi, sehingga penanganan
aksi teror menjadi kurang optimal karena tidak melibatkan
seluruh unsur terkait, termasuk TNI.

C. Daya Dorong TNI Terlibat dalam Penanganan Terorisme

Aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah


Indonesia telah membuat semua pihak sadar dan paham akan
pentingnya suatu mekanisme dan prosedur penanggulangan
aksi terorisme. Namun demikian, masih sangat terbatas pihak-

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 81


pihak yang menyadari bahwa dalam penanggulangan aksi
terorisme perlu melibatkan semua pihak, khususnya TNI.
Sebagai lembaga yang memiliki struktur organisasi paling rapi
dan disiplin dibandingkan dengan komponen masyarakat
lainnya, TNI merasa terpanggil untuk memberikan bantuan
kepada pemerintah ketika suatu wilayah, baik di pusat
maupun daerah, diserang oleh aksi terorisme.

Oleh karena itu, perlu dirumuskan sebuah gagasan


tentang pemberdayaan satuan penanggulangan teror TNI
untuk mengatasi aksi terorisme dalam rangka stabilitas
nasional. Diperlukan aturan pelibatan satuan penanggulangan
teror TNI ketika suatu wilayah mengalami goncangan akibat
aksi terorisme untuk membantu pihak Kepolisian RI. Sudah
saatnya dibuat skema dan skenario kapan dan sejauhmana
keterlibatan TNI diperlukan dalam mengatasi aksi terorisme.
Apalagi, dalam UU TNI diamanatkan secara tegas dan jelas
tentang tugas operasi TNI dalam bentuk OMSP, dimana salah
satunya memberantas aksi terorisme.

Dalam pasal 7 UU TNI dinyatakan bahwa ada dua


macam operasi TNI, yakni Operasi Militer Untuk Perang dan
Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Penanganan aksi
terorisme merupakan kategori dari OMSP. Untuk itu, OMSP
merupakan landasan yang dapat dipakai oleh TNI dalam
membantu pemerintah, baik di pusat maupun di daerah,
ketika pemerintah kesulitan dalam menangani aksi terorisme.
Dengan mempedomani UU TNI tersebut di atas, maka
pemberdayaan satuan penanggulangan teror TNI untuk
mengatasi aksi terorisme akan dapat mencapai sasaran-

82 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


sasaran yang telah ditetapkan sehingga dapat menjamin
Stabilitas Nasional dalam rangka keutuhan NKRI.

Berlandaskan UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI,


Kepolisian RI melalui Detasemen Khusus (Densus) 88 telah
melakukan perburuan terhadap para teroris. Meskipun
gembong teroris Dr. Azahari telah berhasil dibinasakan dan
sebagian tokoh sel-sel jaringan teroris telah ditangkap, namun
kinerja Polri masih dapat dikatakan belum optimal dan
bahkan terkesan kedodoran dalam penanganan aksi terorisme.
Polri tidak dapat secara sendirian melakukan tugas
pemberantasan terorisme, sehingga memerlukan bantuan dan
kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dari institusi TNI.
Mekanisme kerja Polri yang bersifat represif tanpa ada upaya
preventif terasa kurang optimal dalam penanganan aksi
teroris. Polri seolah-olah seperti pemadam kebakaran yang
baru bekerja saat kejadian telah berlangsung. Upaya preventif
dengan menciptakan sistem deteksi dini di masyarakat
sebagai mata dan telinga dalam mekanisme intelijen kurang
diberdayakan.

Sebagai alat pertahanan negara, keterlibatan TNI dalam


penanganan aksi terorisme sangat relevan mengingat adanya
payung hukum berupa Undang-Undang RI No. 34 tahun 2004
tentang TNI, khususnya pasal 9, dimana TNI memegang
amanat untuk melakukan tugas pokok dalam operasi militer
selain perang (OMSP), diantaranya membantu penanganan
aksi terorisme. Hal ini juga dikuatkan dengan amanat
Presiden RI pada peringatan Hari TNI, 5 Oktober 2005 agar

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 83


supaya TNI terlibat aktif dalam pemberantasan terorisme di
Indonesia.

Satuan penanggulangan teror TNI, seperti Densus 81


(TNI AD), Den Jaka (TNI AL), dan Den Bravo (TNI AU), yang
memiliki kekuatan, kemampuan dan gelar dalam penanganan
teror di wilayah darat, laut dan udara, perlu diberdayakan
untuk membantu Polri dalam pemberantasan aksi terorisme,
khususnya perumusan kapan dan sejauhmana aturan
pelibatan TNI tersebut. Tanpa bermaksud untuk mengambil
alih peran pihak lain, diperlukan perumusan tentang
pemberdayaan satuan penanggulangan teror TNI untuk
mengatasi aksi terorisme dalam rangka stabilitas nasional.

Satuan penanggulangan teror TNI adalah pasukan


khusus anti teror yang dimiliki oleh TNI, meliputi: TNI AD
(yang bernama Satgultor 81/Densus 81, mengatasi teror di
darat, bermarkas di Mako Kopassus Cijantung, dibentuk 31
Juni 1982); TNI AL (yang bernama Detasemen Jala
Mangkara/Den Jaka, mengatasi teror di laut, bermarkas di
Mako Marinir Jakarta, dibentuk 13 November 1984); TNI AU
(yang bernama Detasemen Bravo/Den Bravo, mengatasi teror
di udara, bermarkas di Korpaskhas Bandung, dibentuk 1990).

D. Peluang dan Kendala TNI

Dalam penanganan terorisme, TNI menghadapi


berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan sehingga akan
dapat mendorong stabilitas nasional, antara lain:

84 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Perang melawan terorisme yang dilakukan oleh AS
dapat dijadikan peluang bagi Indonesia untuk meyakinkan
dunia internasional, termasuk AS, bahwa penanganan aksi
teror tidak hanya bisa dilakukan oleh satuan tertentu semata,
melainkan memerlukan keterlibatan satuan khusus anti teror
TNI. Perhatian masyarakat internasional, khususnya AS
dalam penanganan aksi teror di dunia dapat dimanfaatkan
oleh Indonesia untuk meloby agar supaya AS sesegera
mungkin mencabut embargo senjata secara total sehingga
dapat memberikan kekuatan bagi satuan khusus anti teror
TNI dalam menangani aksi teror.

Citra positif masyarakat internasional terhadap


kepemimpinan nasional yang dinilai sangat komit terhadap
nilai-nilai demokrasi, HAM dan good governance menjadi
peluang bagi Indonesia untuk menggalang dukungan
internasional dalam menyelesaikan aksi teror secara mandiri
tanpa ada intervensi dari negara lain. Kepemimpinan nasional
yang berhasil menunjukkan kepada masyarakat internasional
merupakan modal yang sangat bagus bagi pemerintah
Indonesia untuk menangani aksi teror secara mandiri tanpa
didikte oleh negara lain. Masyarakat internasional percaya
terhadap kesungguhan pemerintah Indonesia dalam
menangani aksi teror. Kondisi yang demikian tentunya sangat
bermanfaat bagi Indonesia yang sering dianggap lamban
dalam menangani aksi teror.

Bantuan dana, teknis dan manajerial yang mengalir dari


lembaga internasional terhadap pemerintah Indonesia untuk
menangani aksi teror secara lebih optimal sehingga sangat

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 85


membantu pemerintah dalam menangani masalah terorisme
yang sangat komplek. Bantuan yang ditujukan kepada
masyarakat, khususnya masyarakat pesantren sangat
bermanfaat bagi civitas akademika pesantren dalam
memaknai ajaran Islam yang pluralis dan moderat sehingga
dapat mencegah masuknya doktrin-doktrin teror dalam
pesantren.

Adanya Resolusi DK PBB Nomor 1337 Tahun 2001 yang


menyatakan bahwa setiap negara di dunia harus memerangi
aksi teror di seluruh negara di dunia dan mewajibkan setiap
negara di dunia untuk membantu negara yang sedang
mengalami kesulitan dalam menangani aksi teror. Resolusi
DK PBB tersebut dapat dijadikan dasar bagi Indonesia untuk
tidak ragu-ragu dalam menangani aksi terror dan bimbang
akan adanya tuduhan melanggar HAM dalam penanganan
aksi teror.

Adanya UU Terorisme yang disahkan oleh pemerintah


dan DPR dimana aksi teror merupakan tindakan pelanggaran
pidana khusus yang sangat berat hukumannya. Dari UU
tersebut dapat dimaknai bahwa aksi teror bukan merupakan
tindakan kriminalitas semata melainkan merupakan tindak
pidana khusus yang dalam mengadilinya tentunya berbeda
dengan tindak kriminalitas biasa.

Sedangkan kendala yang dihadapi oleh TNI dalam


menghadapi aksi terorisme adalah sebagai berikut:

Kurang tegas dan kurang beraninya kepemimpinan


nasional dalam mengambil tindakan dan kebijakan untuk
menangani aksi teror secara terarah, terpadu dan terprogram.

86 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Pemerintah cenderung masih menerapkan penanganan aksi
teror yang berpola seperti “unit pemadam kebakaran” dimana
terjadi peristiwa teror baru melakukan tindakan, dan tidak
menerapkan kebijakan yang preventif untuk mencegah pelaku
teror sebelum melakukan teror. Pemerintah masih bersifat
reaktif dalam menangani aksi teror dan tidak menjalankan
kebijakan yang pro aktif dan responsif sehingga selalu
kecolongan dalam mengatasi aksi teror.

Perilaku pejabat publik yang masih diwarnai dengan


perilaku KKN, konflik antar elit politik, konflik antar partai
politik, konflik dalam memperebutkan kekuasaan, dan
tiadanya perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat telah
mempercepat tumbuh dan berkembangnya aksi teror di
Indonesia sehingga sulit untuk menanganinya secara tuntas
sampai ke akar-akarnya. Kekecewaan masyarakat merupakan
bom waktu dan seperti rumput kering yang sewaktu-waktu
dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh para pelaku teror
untuk melakukan upaya provokasi yang dapat membahaya-
kan keutuhan NKRI.

Belum disahkannya UU Keamanan Nasional yang


mengatur porsi kewenangan setiap institusi pertahanan dan
keamanan dalam menangani aksi teror. Sampai dengan saat
ini, masih terjadi tumpang tindih dalam penanganan aksi teror
sehingga berdampak tidak adanya kerjasama antar pihak
terkait dalam menangani aksi teror. Padahal, UU Keamanan
Nasional sangat mendesak untuk disahkan sehingga dapat
dijadikan payung hukum induk dalam menangani setiap

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 87


ancaman yang akan mengancam keutuhan NKRI, termasuk
aksi terorisme.

Masih adanya persepsi negatif sebagian kecil masya-


rakat yang menyatakan bahwa pemberian porsi yang besar
bagi satuan khusus anti teror TNI akan dapat mendorong
pelanggaran HAM. Kondisi yang demikian tentunya dapat
menjadikan hambatan bagi TNI untuk berperan serta aktif
dalam menangani aksi teror. Sebagian masyarakat belum tahu
dan belum paham bahwa keterlibatan TNI dalam penanganan
teror merupakan amanat UU TNI sehingga perlu ada
kecurigaan terhadap TNI dalam menangani aksi teror.

Kondisi masyarakat yang masih tradisional pola pikir


dan pola tindaknya sehingga menyulitkan bagi semua pihak
untuk menangani aksi teror secara komprehensif. Kondisi
masyarakat yang masih belum modern, belum matang, dan
belum mandiri membuat provokasi teror dapat dengan
mudah masuk di tengah masyarakat sehingga menyulitkan
penanganan terhadap aksi teror. Sentuhan agama merupakan
alat yang cukup jitu dan manjur dalam mempengaruhi
masyarakat untuk melakukan tindakan teror.

88 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


BAB 6
POLRI DAN TERORISME

A. Polri, Densus 88 AT dan Terorisme

Sejak peristiwa WTC dan Pentagon, 11 September 2001


silam, terorisme sebagai salah satu kejahatan transnasional
telah menjadi isu global yang mempengaruhi kehidupan antar
negara di dunia, termasuk Indonesia. Maraknya aksi terorisme
yang terjadi di wilayah Indonesia belakangan ini sangat
mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagai
negara yang terbuka terhadap perkembangan lingkungan
strategis, Indonesia sangat terpengaruh oleh isu terorisme
global. Keamanan dalam negeri Indonesia sangat terancam
oleh aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah
Indonesia.

Indonesia sangat rawan terjadinya aksi terorisme


sehingga harus ditanggulangi sedini mungkin. Sejarah
terorisme di Indonesia diawali dari adanya DI/TII
Kartosuwiryo yang kemudian terjadi berbagai pemberontakan
dengan tujuan mengubah dasar negara Pancasila menjadi
dasar agama Islam. Tindak pidana terorisme saat ini
mengalami perubahan modus operandi dari alat bom menjadi

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 89


senjata api, bom buku, dan dari sasaran asing menjadi sasaran
domestik, dimana Polri dianggap sebagai musuh yang harus
dibunuh. Aksi terorisme perlu dicegah melalui kebijakan
deradikalisasi terhadap keyakinan agama yang terlalu radikal,
militan, fundamentalisme sehingga rentan di cuci otak.

Serangkaian peristiwa peledakan Bom yang dilakukan


oleh para teroris diduga dilakukan oleh jaringan teroris
internasional yang memiliki sel-sel di wilayah Indonesia
dimana Jamaah Islamiyah (JI) terindikasi kuat sebagai aktor di
balik semua aksi teroris tersebut. Karakteristik masyarakat
Indonesia dianggap cocok untuk dimanfaatkan sebagai alat
bagi para teroris untuk melakukan indoktrinasi atas nama
“agama” tertentu, yang sebenarnya justru jauh menyimpang
dari agama manapun di dunia ini.

Para gembong teroris memanfaatkan keramahan dan


tenggang rasa yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia untuk
menciptakan sel-sel teroris sekaligus sebagai tempat
persembunyian/ basis dari kejaran aparat kepolisian. Sebagai
aparat keamanan, Polri berkewajiban untuk menangani aksi
terorisme yang membahayakan keamanan dan ketertiban
masyarakat. Peran serta masyarakat sangat penting dalam
menghadapi aksi terorisme.

Berbagai aksi terorisme yang marak di Indonesia


disinyalir dilakukan oleh kelompok Jama’ah Islamiyah (JI)
dengan tokohnya Dr. Azahari dan Noordin M. Top, yang
merupakan sel dari organisasi teroris internasional, Al Qaeda.
Keduanya tokoh teroris ini diidentifikasi berasal dari Malaysia
yang beroperasi di wilayah Indonesia karena kuatnya tekanan

90 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


pemerintah Malaysia terhadap aksi terorisme. Kelompok ini
diduga telah melakukan perekrutan anggota dan kaderisasi
organisasi dan “brain washing” anggota di seluruh wilayah
Indonesia agar tercipta semangat radikalisme dan
fundamentalisme sempit.

Wilayah Indonesia dianggap cocok untuk dimanfaatkan


sebagai alat bagi para teroris untuk melakukan indoktrinasi
atas nama “agama” tertentu, yang sebenarnya justru jauh
menyimpang dari agama manapun di dunia ini. Para
gembong teroris memanfaatkan keramahan dan tenggang rasa
yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia untuk menciptakan
sel-sel teroris sekaligus sebagai tempat persembunyian/ basis
dari kejaran aparat keamanan.

Meskipun gembong teroris Dr. Azahari, Noordin M Top,


Dulmatin, dan para pentolan JI lainnya telah ditembak mati
dan sebagian tokoh sel-sel jaringan teroris telah ditangkap,
namun diduga telah muncul jaringan-jaringan teroris baru
yang sedang melakukan konsolidasi diri. Terbongkarnya
tempat latihan/ kamp pelatihan teror di Aceh beberapa bulan
yang lalu menguatkan dugaan bahwa para sindikat terorisme
masih hidup dan sedang memanfaatkan kelengahan masya-
rakat dan aparat kepolisian untuk kemudian melakukan aksi
terorisnya.

Operasi perburuan teroris yang dilakukan oleh


Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88/AT) Polri
diberbagai wilayah sebenarnya telah mempersempit ruang
gerak para teroris. Tertangkapnya para teroris di
Temanggung, Aceh, Jakarta, Purwakarta, Solo, Sukoharjo, dan

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 91


Klaten beberapa waktu lalu telah menunjukkan bahwa Polri
benar-benar serius dalam memberantas aksi terorisme yang
membahayakan kamtibmas dan kamdagri. Mengingat aksi
terorisme merupakan aksi politis dan bukan hanya aksi
kriminalitas, karena digerakkan oleh ideologi, maka langkah
penanganannya memerlukan strategi dan taktik yang jitu.
Kerjasama antar berbagai instansi lintas sektoral sangat
penting dilakukan untuk melakukan langkah pencegahan
melalui program deradikalisasi di tengah masyarakat.

Sebagai aparat kamtibmas, Polri mempunyai tugas dan


wewenang untuk menanggulangi aksi terorisme sebagaimana
tertuang dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri dan UU
No. 15 Tahun 2003 Tentang Penanganan Tindak Pidana
Terorisme. Aksi terorisme yang merupakan pelanggaran
hukum dan tergolong tindak pidana harus ditanggulangi oleh
aparat Polri. Polri perlu membuat langkah-langkah
penanganan dan memberikan prioritas pada penanggulangan
tindak pidana terorisme mengingat dampak yang ditimbul-
kannya sangat besar bagi stabilitas politik, keamanan dan
pembangunan ekonomi nasional.

Polri perlu melakukan berbagai operasi penanganan


tindak pidana terorisme yang melibatkan semua satuan
kewilayahan dan satuan fungsional Polri di seluruh Indonesia.
Satuan Densus 88/AT Polri harus mendesain alat deteksi dini
dan alat peringatan dini bagi proses pencegahan aksi
terorisme. Penanganan aksi terorisme yang saat ini dilakukan
oleh Densus 88/AT Polri sudah berhasil dengan baik karena
didukung dengan suplai data informasi dari bagian/ unit

92 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


analis yang dimotori oleh para personil Polri yang kompeten
di bidang teknologi informasi komunikasi. Bagian Analis di
lingkungan Densus 88/AT Polri menempati posisi strategis
dalam memberikan informasi, data, masukan, dan keterangan
bagi unit/ bagian penindak dalam menangani tindak pidana
terorisme. Oleh karena itu, diperlukan optimalisasi
kemampuan analisis Densus 88/AT Polri dalam mendeteksi
jaringan terorisme di Indonesia.

Modus operandi terorisme yang sangat sulit untuk


dilacak mendorong satuan Densus 88 AT untuk meningkatkan
kemampuan analisis dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi sehingga berbagai jaringan,
komunitas dan sel-sel terorisme dapat dilacak dan dideteksi
secara dini untuk kemudian dilakukan penindakan.
Pengetahuan dan penguasaan terhadap berbagai perangkat
teknologi, aplikasi chart analisis, dan jaringan para pelaku
terorisme harus dimiliki oleh personil Densus 88 AT sehingga
segala informasi, data, dan fakta tentang keterkaitan pelaku
terror dengan pelaku lainnya serta siapa teroris yang paling
berpengaruh, siapa pemimpinnya, siapa kurirnya, siapa
agennya, dan siapa pendukung dananya akan dapat dideteksi
melalui komunikasi antar mereka pada saat mereka
melakukan sambungan telephone, komunikasi via
handphone, email, chatting, yahoo messenger, dan lain-lain.

Para pelaku terror yang sangat canggih modus


operandinya, khususnya dalam melakukan komunikasi antar
komunitasnya tentunya mendorong Densus 88 AT untuk
menguasai pengetahuan tentang analisa jaringan terorisme

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 93


yang diperoleh dari proses hubungan antar komunitas mereka
dan jaringannya sehingga para pelaku terror dapat dideteksi
dimana keberadaannya, apa perannya, bagaimana modus
operandinya, dan apa program dan kegiatan terror mereka
selanjutnya. Informasi, data, dan fakta yang dihasilkan dari
bagian analisis Densus 88 AT sangat penting diperlukan bagi
bagian penindakan Densus 88 AT sehingga menjadi bekal
utama bagi unit penindakan Densus 88 AT untuk melakukan
penyergapan, penangkapan, dan penindakan lainnya.

Kemampuan analisis Densus 88 AT selama ini


sebenarnya sudah cukup bagus terbukti dari terungkapnya
dan tertangkapnya berbagai jaringan dan pelaku terorisme
serta mengungkap berbagai rencana pengeboman yang
dirancang oleh para teroris sehingga dapat mencegah
terjadinya aksi terorisme. Keberhasilan ini sebenarnya tidak
terlepas dari kemampuan bagian/ unit analisis Densus 88 AT
yang dengan giat dan gigih melakukan verifikasi data, analisa
jaringan, dan membuat skema analisis jaringan sehingga
dapat terpetakan dimana pelaku teror berada, dimana
alamatnya, dan bagaimana kegiatannya selama ini. Hal ini
tentunya sangat membantu bagian/ unit penindakan Densus
88 AT dalam melakukan penangkapan. Dengan demikian,
bagian analisis merupakan penyuplai informasi dan
merancang pemetaan jaringan terorisme untuk kemudian
dijadikan pegangan bagi unit/ bagian penindakan untuk
melakukan penyergapan.

Tim analisa Densus 88 AT harus memiliki kemampuan


dalam membaca sms content, membuka CDR, membuka voice,

94 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


dan melakukan tracing IMEI yang ada dalam setiap hand
phone. Oleh karena itu, perlu optimalisasi kemampuan
analisis Densus 88 AT sehingga akan dapat mendeteksi
jaringan terorisme yang terjadi di tengah masyarakat, yang
pada akhirnya akan menghasilkan outcome berupa
terwujudnya harkamtibmas yang kondusif.

B. Intelijen Polri dan Terorisme

Perkembangan lingkungan strategis di tingkat global,


regional, nasional, dan lokal yang semakin dinamis
memerlukan kemampuan prediksi dan antisipasi yang
dilakukan oleh Polri sehingga setiap efek, dampak, dan
implikasi negatif dapat terdeteksi secara dini. Maraknya
kejahatan di tengah masyarakat yang mengganggu situasi dan
kondisi Kamtibmas, mulai dari kejahatan konvensional,
kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara,
dan kejahatan yang berimplikasi kontijensi, memerlukan
kemampuan satuan Polri yang terdidik, terlatih dan
berpengalaman. Peningkatan kemampuan satuan fungsional
Polri sangat mendesak untuk dilakukan sehingga akan
mampu mengantisipasi berbagai bentuk, jenis, dan modus
operandi kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat.

Satuan Polres senantiasa melaksanakan tugas pokok


Polri, khususnya dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat (Kamtibmas), dengan memberdayakan fungsi
teknis Intelkam yang diperankan oleh satuan Intelkam.
Perkembangan kamtibmas yang dinamis bila dilihat dari
aspek astagatra (tri gatra dan panca gatra) mendorong

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 95


pimpinan Polres untuk melakukan pemberdayaan fungsi
satuan Intelkam dalam memetakan wilayah berdasarkan
potensi kerawanan, jenis kerawanan, wilayah kerawanan, dan
antisipasi kerawanan.

Satuan Intelkam adalah unsur pelaksana utama Polres


yang berada di bawah Kapolres. Satuan Intelkam bertugas
menyelenggarakan/membina fungsi intelijen bidang
keamanan, termasuk persandian, dan pemberian pelayanan
dalam bentuk surat izin/keterangan yang menyangkut orang
asing, senjata api dan bahan peledak, kegiatan sosial/politik
masyarakat dan Surat Keterangan Rekaman Kejahatan
(SKRK/Criminal Record) kepada warga masyarakat yang
membutuhkan serta melakukan pengawasan/pengamanan
atas pelaksanaannya. Satuan intelkam dipimpin oleh Kepala
Satuan Intelkam, disingkat Kasat Intelkam yang bertanggung
jawab kepada Kapolres dan dalam pelaksanaan tugas sehari-
hari di bawah kendali Waka Polres. Satuan Intelkam terdiri
dari Urusan Administrasi dan Ketatausahaan serta sejumlah
unit.

Visi satintelkam adalah terwujudnya postur Intelijen


Keamanan yang profesional, bermoral dan modern dalam
memelihara Kamtibmas dan penegakan hukum, dengan
melaksanakan early warning dan early detection terhadap
ancaman dan gangguan keamanan guna mewujudkan
kewaspadaan dan stabilitas keamanan. Sedangkan misinya
adalah: (1) Mendeteksi potensi gangguan keamanan secara
dini yang bersumber dari dalam dan luar negeri; (2)
Mewujudkan kondisi keamanan yang mendukung

96 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


terselenggaranya kegiatan pemerintah dan kehidupan
masyarakat; (3) Mewujudkan Intelijen Keamanan sebagai
pusat informasi keamanan yang akurat dan aktual serta
bermanfaat dalam rangka mengamankan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (4) Membangun
kekuatan Intelijen Keamanan dengan infra strukturnya dalam
satu sistem terintegrasi dan tergelar dari tingkat pusat sampai
tingkat kewilayahan yang didukung oleh etika profesi
Intelijen; (5) Membangun dan mengembangkan kerjasama
dengan badan-badan Intelijen Instansi terkait dalam rangka
mewujudkan pemeliharaan keamanan.

Tugas pokok Satintelkam adalah: (1) Sebagai Mata dan


Telinga kesatuan Polri yang berkewajiban melaksanakan
deteksi dini dan memberikan peringatan masalah dan
perkembangan masalah dan perubahan kehidupan sosial
dalam masyarakat; (2) Mengidentifikasi ancaman, gangguan,
atau hambatan terhadap Kamtibmas; (3) Melaksanakan
pengamatan terhadap sasaran-sasaran tertentu dalam
masyarakat di bidang Ipoleksosbudhankam bagi kepentingan
yang membahayakan masyarakat khususnya dalam kegiatan
kontra intelijen; (4) Menciptakan kondisi tertentu yang
menguntungkan dalam masyarakat bagi pelaksanaan tugas
Polri.

Sedangkan fungsi satuan intelkam adalah pengamanan


dan penggalangan untuk keperluan pelaksanaan tugas dan
fungsi kepolisian, terutama penegakan hukum, pembinaan
kamtibmas, serta keperluan tugas bantuan pertahanan dan
kekuatan sosial. Dalam melaksanakan tugasnya Sat Intelkam

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 97


memiliki unit kerja sebagai berikut: Unit Bidang Sosial
Ekonomi, unit Bidang Sosial Budaya, Unit Bidang Keamanan,
Unit Bidang Politik, Unit Jihandak (Perijinan Senjata dan
Bahan Peledak), Unit Undercover, dan Unit POA
(Pengawasan Orang asing).

Namun demikian, dalam kenyataannya, pelaksanaan


petugas intelijen masih belum optimal dalam mencegah
tindak pidana terorisme. Aksi kejahatan terorisme yang marak
belakangan ini belum sepenuhnya dideteksi secara dini oleh
satuan intelkam, sehingga setiap gerakan, aksi, dan maneuver
para teroris ketika berada di tengah masyarakat kurang
optimal dicegah. Para teroris yang bersembunyi di tengah
masyarakat, melakukan aksi indoktrinasi ajarannya, dan
merekrut masyarakat untuk dijadikan anggotanya tidak
semuanya terdeteksi oleh satuan intelkam sehingga
memerlukan upaya optimalisasi pelaksanaan petugas intelijen
dalam mencegah aksi terorisme.

Dalam kaitan dengan sistem deteksi dini (early detection


system) dan sistem peringatan dini (early warning system)
terhadap aksi terorisme, Satuan Intelkam (Satintelkam)
sebagai salah satu satuan terdepan di tubuh Polri, merupakan
ujung tombak dalam menciptakan rasa aman masyarakat.
Satuan intelkam yang tersebar di tengah masyarakat harus
bekerja keras dalam mendeteksi, mengendus dan
mengumpulkan informasi intelijen terkait tindak kejahatan
terorisme sebelum operasi/ razia dilakukan. Satuan Intelkam
sangat menentukan efektifitas berbagai operasi yang digelar

98 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


oleh Polri, melalui peran penyelidikan, pengamanan, dan
penggalangan terhadap ruang gerak aksi terorisme.

Satuan Intelkam di tingkat KOD/ Polres yang


merupakan satuan strategis dan menempati posisi penting
dalam suatu operasi Kamtibmas perlu untuk diberdayakan
dan ditingkatkan sehingga akan mampu memerankan
fungsinya sebagai alat deteksi ini dan alat peringatan dini
dalam melacak, mengendus, dan merekam suatu potensi
tindak kejahatan. Sebagai mata dan telinga Polri, satuan
intelkam di tingkat Polres harus mampu masuk ke dalam
seluruh sendi, bidang, dan aktifitas kehidupan masyarakat
sehingga akan dapat mengumpulkan bahan dan keterangan
(pulbaket), mengolah fakta, dan menganalisis data untuk
kemudian disajikan dalam berbagai produk intelijen.

Berdasarkan Juklak Kapolri No. Pol.: Juklak/10/VI/1980


Tentang Penggunaan Intelijen Kepolisian, disebutkan bahwa
intelijen adalah pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan
dengan menggunakan metode-metode tertentu yang secara
terorganisir untuk mendapatkan pengetahuan tentang
masalah-masalah yang sudah, sedang, dan akan dihadapi,
kemudian disajikan kepada pimpinan sebagai bahan untuk
pengambilan keputusan/ tindakan atau perumusan
kebijaksanaan. Fungsi intelijen adalah melakukan
penyelidikan, pengamanan dan penggalangan di tengah
masyarakat. Dengan demikian, intelijen adalah segala upaya
dan kegiatan dalam mempelajari masa lalu kemudian
mengelola berbagai permasalahan masa kini dan
mengantisipasi masa depan. Fungsi Intelkam Polri diperankan

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 99


secara berjenjang oleh Baintelkam di tingkat Mabes Polri,
DirIntelkam di tingkat Polda, dan Kasat Intelkam di tingkat
Polres.

100 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Adian Husaini, Jihad Osama versus Amerika, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001),
Bambang Cipto, “Mempersoalkan Urgensi Penerapan dan
Kandungan Pelanggaran HAM dalam RUU
pemberantasan Terorisme”, Makalah disampaikan
dalam seminar ”RUU Pemberantasan Terorisme”,
yang diselenggarakan LBH Yogyakarta – PKBH
UMY, 11 Maret 2002.
Carol C. Gould, Rethinking Democracy: freedom and Social
Cooperation in Politics, Economy, and Society, (New
York: Cambridge University Press, 1988)
Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia dalam Tata Dunia
Baru: Menggugat Dominasi Global Barat, (Bandung:
Mizan, 1995).
Charles Beitz, Political Theory and International Relations,
(Princeton: Princeton University Press, 1979)
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung:
Mizan, 1993)
Edy Prasetyono, Hak Asasi Manusia dalam Hubungan
Internasional, (Jakarta: CSIS, Maret 1992)

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 101


Encyclopedia Americana, (USA: Glorier Incorporated, 1993)
Grant Wardlaw, Political Terrorism: Theory, Tactic, and
Counter-Measures, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1982)
Harwanto Dahlan, Al Qur’an dan Hubungan Internasional,
(Yogyakarta: Fisipol UMY, 1996)
Morton H. Halperin dan Jeane M. Woods, “Ending the Cold
War at Home”, dalam Foreign Policy, No. 81 (Winter
1980-1991)
Michael Walzer, Just and Unjust Wars, (New York: basic
Books, 1977).
Mirriam Budiadrjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993)
Noam Chomsky, Maling Teriak maling: Amerika Sang
Teroris?, cetakan II, (Bandung: Mizan, 2001).
S.L. Roy Diplomasi, terjemahan Harwanto & Mirsawati,
(Jakarta: Rajawali Press, 1993)
Sidik Jatmika, AS Penghambat Demokrasi, (Yogyakarta:
Tarawang Press, 2000)
Tim Redaksi Hot Copy, Osama Bin Laden: Teroris atau
Mujahid?, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)
Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan,
ekonomi Politik Internasional dan tatanan Dunia,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993)
ZA. Maulani, Perang Afghanistan: Perang Menegakkan
Hegemoni Amerika di Asia Tenggara, (Jakarta:
Dalancang Seta, 2002)

102 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


Surat Kabar:
Agus Subagyo, “Global Antiterorrism Governance”, Radar
jogja (Group Jawa Pos), 27 Februari 2002
Agus Subagyo, Amerika Serikat dan Ideologi Politik Realis,
Radar jogja (Group Jawa Pos), 24 Oktober 2001
Agus subagyo, Dari Intervensi Mumaniter Menuju Intervensi
Antiterorisme, Pikiran Rakyat, 6 Januari 2002
Agus Subagyo, Doktrin Bush, Terorisme, dan Anarkisme
Internasional, Pikiran Rakyat, 12 Desember 2001.
Agus Subagyo, Terorisme dalam Hubungan Internasional,
Pikiran Rakyat, 16 Desember 2002.
Agus Subagyo, Ham versus Terorisme, Bernas, 9 Desember
2001
Agus Subagyo, Menyoal RUU Antiterorisme, Bernas, 9 Maret
2002
Agus Subagyo, Modernitas, Humanisme dan Krisis
Kemanusiaan, Kompas, 18 Januari 2001
Agus Subagyo, Teroris, Aktor Global Abad XXI, Kompas, 16
November 2001
Ali Alatas, Tatanan Politik Dunia Abad XXI”, dalam Kompas,
28 Juni 2000
Mari Elka Pangestu, “Tatanan Ekonomi Dunia Abad Ke-21
dan Implikasinya bagi Indonesia”, Kompas, 28 Juni
2000
Rene L. Pattiradjawane, Terorisme global: Berdampak Kritis
bagi Kerjasama Kawasan, Kompas, 24 Februari 2002
Rien Kuntari, Indonesia dan Terorisme: Upaya Indonesia,
Kompas, 17 Februari 2002

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 103


TENTANG PENULIS

Agus Subagyo, lahir di Sukoharjo, 18 April


1978. Memperoleh gelar Sarjana (S.IP)
dalam Ilmu Hubungan Internasional di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
tahun 2000. Gelar Magister (M.Si.)
diperoleh dari Program Studi Ilmu Politik,
Program Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada tahun 2002. Gelar Doktor Ilmu Politik (Dr) diperoleh
dari FISIPOL UGM tahun 2013.

Semasa mahasiswa aktif dalam Study Club, seperti GEMAK


Study Club dan FELSIS Study Club. Di samping itu, pernah
menjadi Redaktur Pelaksana pada Buletin MERCUSUAR dan
TEROPONG yang mengkaji masalah–masalah Politik
Internasional. Tercatat sebagai Tentor Sejarah dan Geografi
pada Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia (LPPSDM) “Milenium” Yogyakarta tahun 2000-2001.
Pernah pula aktif pada Kelompok Kerja Pemberdayaan
Agrotani (KKPA) Pokja Segoro Gunung (2001).

Pengalaman penelitian yang dilalui penulis adalah Asisten


Peneliti di Pusat Studi Perubahan Sosial dan Politik (PS-PSP)
UMY (2000-2001), staf peneliti pada Center for Democracy and
Conflict Management Studies (CDCMS) Yogyakarta (2000-
2002), dan Wakil Direktur Pusat Studi Demokrasi dan
Masyarakat Sipil (PS-DMS) Yogyakarta (2001-2003), staf

104 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI


peneliti pada Pusat Studi Ilmu Pemerintahan, Magister Ilmu
Pemerintahan, UNJANI (2002– 2007), Ketua Pusat Kajian
Kepemerintahan dan Kemasyarakatan (PK3) FISIP UNJANI
(2006 – 2010).

Pengalaman mengajar di beberapa perguruan tinggi, antara


lain, mengajar di FISIP Universitas Langlang Buana (2007–
2009), Dosen Non Organik di Sesko TNI (2004–2007), Dosen
Non Organik di Pusdikintel Polri (2008 – 2010), Dosen Non
Organik di Seskoad (2003–2014), mengajar di Unhan Jakarta
dan Pascasarjana FISIP Unswagati Cirebon. Pengalaman
jabatan struktural yang pernah diemban adalah Ketua Jurusan
Hubungan Internasional FISIP UNJANI (2010-2011), Wakil
Dekan I FISIP UNJANI (2011-2013), dan Dekan FISIP UNJANI
(2012-2014). Saat ini penulis menjadi Dosen Tetap pada
Jurusan Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Jenderal
Achmad Yani (UNJANI).

Buku yang pernah ditulis adalah Restrukturisasi Ekonomi dan


Birokrasi: Kebijakan atas Krisis dalam Tinjauan Sistem Moneter
Internasional, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003;
Kontributor dalam buku: Bangsa Indonesia Terjebak Perang
Modern, Penerbit Seskoad, Bandung, 2004; Pancasila untuk
Mahasiswa Kedokteran, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2014; Bela
Negara: Peluang dan Tantangan Di Era Globalisasi, Penerbit Graha
Ilmu, Yogyakarta, 2015. Pernah menulis artikel yang dimuat di
harian Kompas, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Bernas
dan Radar Jogja. Penulis bisa dihubungi via email:
subagyoeti@yahoo.com.au dan subagyo@scientist.com

TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XXI 105


106 TERORIS(ME): AKTOR DAN ISU GLOBAL ABAD XI

Anda mungkin juga menyukai