HALAMAN
Disusun Oleh :
Nim : 1111143189
Kelas : 7 - A
FAKULTAS HUKUM
2017
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah tentang “Kejahatan Internasional Statuta Roma –
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna
dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat
dan jangan lupa ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
menjamin eksistensinya dalam kehidupan. Tetapi, kita harus mengaku secara jujur
bahwa dari mulai masa kemerdekaan sampai dengan era reformasi saat ini,
implementasi HAM masih sekedar cita-cita, belum menjadi kenyataan.
Begitu banyaknya kekerasan yang terjadi di Indonesia namun, tidak ada
satupun dari kekerasan tersebut hingga kini dapat diungkap. Sebut saja kekerasan dari
mulai tahun 1965, dimana jutaan orang mati dibunuh dan dipenjara tanpa proses
peradilan yang fair, dan belum lagi perampasan tanah serta properti yang diambil
paksa. Selain itu hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi
pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang pelakunya
dapat dituntut berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando dalam peristiwa
Aceh pasca pelaksanaan Daerah Operasi Militer (selanjutnya disingkat DOM),
Tanjung Priok (1984), kerusuhan Mei (1998), Trisakti (1998), Semanggi I (1998) dan
Semanggi II (1999), Timtim (1999), dan ratusan kasus lainnya hingga kini belum ada
satupun yang diangkat ke meja hijau ataupun ada pelaku yang diadili sesuai dengan
keadilan para korban.
Terkait dengan hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut, menurut F.S.
Suwarno terjadinya pelanggaran HAM berat, antara lain disebabkan karena adanya
sentralisme kekuasaan, adanya absolutisme kekuasaan, dan adanya dominasi
militerisme. Sedangkan menurut Muladi, ada empat hal pokok sebagai pedoman
untuk menentukan telah terjadinya pelanggaran HAM berat kategori kejahatan
terhadap kemanusiaan, sehingga pelakunya dapat dituntut dan diadili berdasarkan
prinsip pertanggungjawaban komando, yaitu :
a) adanya “abuse of power” dalam kerangka asosiasi dengan pemerintah,
termasuk didalamnya delik omisi (violation by omission);
b) kejahatan tersebut dianggap merendahkan harkat maupun martabat manusia
dan pelanggaran atas asas-asas kemanusiaan yang paling mendasar;
c) perbuatan tersebut dikutuk secara internasional sebagai hostis humanis
generis;
d) kejahatan tersebut dilakukan secara sistematik dan meluas. Perlindungan
terhadap pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan,
2
kondisi serta realitas diberbagai belahan dunia selama ini masih menunjukkan
kuatnya penerapan praktik impunitas bagi para pelakunya.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
negaranya. Hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM adalah menjaga
keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui keseimbangan, yaitu
keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan umum.
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan seperti Pelanggaran Hak Asasi Manusia
adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Undang-Undang No. 39
tahun 1999 tentang HAM).
Dalam Peradilan HAM Internasional dibentuk ICC (International Crime Court)
pada 17 Juni 1998 di Roma. Dalam konferensi/sidang Unitet Nations Diplomatic
Conference On Criminal Court, disepakati bahwa kejahatan-kejahatan adalah:
a) The Crime Of Genocide (permusuhan masal terhadap kelompok etnis atau
agama tertentu.
b) Crime Against Humanity (kejahatan melawan kemanusiaan)
c) War Crimes (kejahatan perang)
d) The Crimes of Agression (penyerangan suatu bangsa atau negara terhadap
negara lain).
Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia menyebutkan kejahatan terhadap kemanusiaan, bersama-sama dengan
kejahatan genosida, sebagai pelanggaran HAM berat.
1. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a) pembunuhan;
b) pemusnahan;
c) perbudakan;
5
d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang;
f) penyiksaan;
g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara;
h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional;
i) penghilangan orang secara paksa; atau
j) kejahatan apartheid.
k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja
menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental
atau kesehatan fisik.
A. Kejahatan Kemanusiaan Di Indonesia
a) Peristiwa Daerah Operasi Militer Di Aceh
Sejak diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM)142 tahun 1989
s/d tahun 1998 di Propinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Nangroe
Aceh Darussalam) setidaknya telah terjadi 7.727 kasus pelanggaran HAM
berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada saat itu pemerintah
mengkampanyekan pentingnya memberantas Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK) untuk menjaga keamanan masyarakat, yang di sisi lain
melakukan legitimasi tindakan-tindakan represif yang bertujuan menjaga
kepentingan-kepentingan bisnis pemerintah pusat. Berbagai operasi
militer yang dilakukan TNI dan Polri dengan dalih menumpas GPK Aceh
(GAM) merupakan shock therapy untuk mematikan keberanian rakyat
Aceh melakukan koreksi, kritik atau upaya-upaya lain. Dampak operasi
militer tersebut membuat masyarakat didera ketakutan, tanpa alasan yang
jelas mereka diculik, dipukuli, disiksa bahkan dibunuh. Fenomena
6
semacam inilah yang merupakan awal dari bencana terjadinya kejahatan
terhadap kemanusiaan sebagai salah satu pelanggaran HAM berat di Aceh.
b) Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II
Perjuangan Orde Reformasi dimulai dengan adanya krisis ekonomi
yang melanda negara Indonesia pada tahun 1997. Gerakan reformasi yang
dipelopori oleh para mahasiswa terhadap ketidakadilan yang dilakukan
oleh rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang
berkuasa selama kurun waktu 32 tahun secara otoriter. Pergantian
pemerintahan dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi memberikan
harapan bahwa demokratisasi telah dimulai. Namun patut disayangkan,
usaha mengatasi krisis yang bersifat multidimensional tersebut belum
mampu menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Berbagai peristiwa
seperti tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II merupakan resultan
dari berbagai faktor dan keadaan yang kurang kondusif dan hilangnya
kepercayaan terhadap pemerintah. Peristiwa-peristiwa tersebut telah
melibatkan bentrokan fisik antara mahasiswa dan masyarakat dengan TNI
maupun Polri, yang mana dari ketiga peristiwa itu telah menimbulkan
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran
HAM berat.
c) Peristiwa Di Timor Timur (Timtim)
Setelah Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi tanggal 27 Januari
1999 menyangkut masa depan Timor-Timur (Timtim) untuk menerima
atau menolak otonomi khusus, pada tanggal 5 Mei 1999 di New York
ditandatangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Portugal dibawah payung PBB yang pada prinsipnya mengatur tentang
penyelenggaraan jajak pendapat dan pengaturan tentang pemeliharaan
perdamaian dan keamanan di Timtim.
Sejak opsi diberikan dan setelah diumumkannya hasil jajak
pendapat, berkembang berbagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
7
Komnas HAM tanggal 8 September 1999 menyebutkan bahwa
perkembangan kehidupan masyarakat di Timtim pada waktu itu telah
mencapai kondisi anarki dan tindakan-tindakan brutalisme dilakukan
secara luas baik oleh perseorangan maupun kelompok dengan kesaksian
langsung dan pembiaran oleh unsur-unsur aparat keamanan.
Terkait hal tersebut, Komisi HAM PBB di Geneva tanggal 23-27
September 1999 menyelenggarakan special session mengenai situasi di
Timtim. Special session menghasilkan Resolusi No. 1999/S-1/1, di
samping menuntut pemerintah Indonesia mengadili pelaku, juga meminta
Sekjen PBB untuk membentuk komisi penyelidik internasional atas
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran
HAM berat.
d) Kerusuhan Mei (1998)
TGPF, yang dibentuk oleh pemerintahan BJ Habibie saat itu, khusus
dibentuk dengan tujuan untuk menemukan dan mengungkap fakta dan
latar belakang terjadinya peristiwa kerusuhan Mei 1998, menyimpulkan
bahwa pada kerusuhan tersebut telah terjadi serangkaian peristiwa yang
mempunyai indikasi adanya pelanggaran HAM berat (gross violetion of
human rights), khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan
Sedangkan Tim Ad Hoc penyelidikan peristiwa Mei 1998 dibentuk
oleh Komnas HAM. Berdasarkan hasil penyelidikan oleh Tim Ad Hoc,
berikut ini beberapa poin dari kesimpulan yang dibuat:
1. Peristiwa kerusuhan Mei 1998 adalah sebuah peristiwa yang tidak
berdiri sendiri. Peristiwa tersebut merupakan bagian tak terpisahkan
dari cara-cara represif yang dipergunakan oleh rezim Orde Baru
dalam pengelolaan masalah bangsa yang bertujuan menghapus semua
potensi perlawanan murni dari kelompok masyarakat.
2. Melihat sifat meluasnya dan sifat sistematisnya kejadian, urutan
peristiwa dan skala waktu peristiwa maka tim Ad Hoc menarik
kesimpulan bahwa peristiwa tersebut tidak berlangsung secara
8
spontan, tapi lebih merupakan sebuah kerusuhan yang disengaja dan
atau dirancang.
3. Sifat meluasnya peristiwa terlihat dari kerusuhan yang terjadi
setidak-tidaknya di 88 lokasi diseluruh wilayah Jakarta, Bekasi, dan
Tangerang.
4. Sifat sistematis peristiwa terlihat dari hal-hal seperti adanya serangan
terhadap kelompok etnis tertentu, khususnya Tionghoa, sebagai
akibat dari kebijakan Negara yang diskriminatif, adanya berbagai
macam tindakan kriminal yang berulang-ulang di berbagai tempat
dalam rentang waktu yang sama dengan pola yang sama, dan dipicu
oleh sekelompok orang yang memiliki karakteristik sejenis pada tiap
lokasi kerusuhan. Adanya pola pembiaran terjadinya kerusuhan yang
terlihat dari temuan fakta banyak terjadinya kekosongan aparat dan
atau tindakan aparat yang membiarkan kerusuhan terjadi.
5. Peristiwa kerusuhan Mei 1998 juga menunjukan warga bangsa tak
mendapat perlindungan hukum yang cukup dari aparat negara yang
bertugas dan berkewajiban untuk memberikan perlindungan.
6. Dengan terpenuhinya unsur meluas dan sistematis dari serangan yang
ditujukan terhadap penduduk sipil pada kerusuhan Mei 1998 sebagai
akibat kebijakan negara yang diskriminatif, tim menyimpulkan telah
terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristiwa tersebut
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM.
9
pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, antara lain
dilakukan dengan cara mengadili para pelakunya berdasarkan prinsip
pertanggungjawaban komando sebagaimana telah diatur dalam UU No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM. Hasil penelitian dan pembahasan penerapan prinsip
pertanggungjawaban komando menunjukkan bahwa pembentukkan pengadilan HAM
di Indonesia, tidak terlepas dari adanya Resolusi DK-PBB No. 1264 yang meminta
pada pemerintah Indonesia untuk segera mengadakan pengusutan dan mengadili
pelaku pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Timtim
pasca jajak pendapat.
Secara umum KPP HAM telah merekomendasikan penuntutan
pertanggungjawaban komando terhadap pelaku di lapangan, penanggung jawab
komando operasional yang membawahi teritorial termasuk aparat birokrasi seperti
Bupati, Gubernur yang tidak mampu antisipasi keadaan dan mengendalikan
pasukannya, dan para pemegang tanggung jawab kebijakan termasuk didalamnya
pejabat tinggi militer/polisi/sipil lainnya yang terlibat dan mengetahui telah terjadi
pelanggaran HAM berat tetapi tidak ambil bagian tindakan pencegahan. Selain itu
ada dua penyelesaian hukum yaitu melalui pengadilan HAM Ad Hoc dengan
mengacu pada pengadilan HAM atau melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi
dengan mengacu pada Undang-Undang KKR.
Namun demikian realitas menunjukkan bahwa hanya kasus Timtim, kasus
Tanjung Priok, dan kasus Abepura yang para pelakunya dituntut dan diadili
berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando dalam Pasal 42 UU No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM. Penegakkan hukum atas pelanggaran HAM berat
kategori kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan prinsip pertanggungjawaban
komando tidak hanya merupakan urusan domestik dari suatu negara, namun juga
menjadi perhatian “masyarakat internasional” untuk memutus mata rantai praktik
impunity. Oleh karena itu upaya menuntut pertanggungjawaban komando bagi para
pelaku yang nota bene terdiri dari para komandan militer, atasan polisi, maupun
10
atasan sipil lainnya atas pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap
kemanusiaan di Indonesia, merupakan persoalan hukum yang tidak dapat dihindari.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
12
komando atas pelanggaran HAM berat menyiratkan tentang adanya pengakuan telah
terjadi pelanggaran tersebut dalam batas wilayah kedaulatannya.
13
DAFTAR PUSTAKA
Abdul dkk. 2004. Jurnal HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jakarta:
Komnas HAM.
Adolf, H. 2000. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Anwar, C. 1990. Hukum Internasional. Jakarta: Djambatan.
Kittichaisaree, K. 2001. International Criminal Law. Oxford: Oxford University
Press.
Muladi. 2000. Prinsip-Prinsip Pembentukan Pengadilan HAM Di Indonesia dan
Pengadilan Pidana Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nickel, J. W. 1996. Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis Atas Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prayitno, K. P. dkk. 2013. Pendidikan Kewarganegaraan. Purwokerto: Penerbit
Universitas Jenderal Soedirman.
Rahayu. 2010. Hukum Hak Asasi Manusia (HAM). Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Semendawai, A. H. 2007. Genosida Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan. Jakarta: Elsam.
Suwarno, F. S. 2005. Pelanggaran HAM Yang Berat. Jurnal CSIS, Tahun XXIX/2005,
No. 2.
14