Disusun Oleh :
1111143189 (5-E)
FAKULTAS HUKUM
2017
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah tentang "Asas Proposionalitas dalam Hukum
Humaniter" ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan
kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan
menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang
menjadi tugas Ujian Akhir Semester Hukum Humaniter dengan judul " Asas
Proposionalitas dalam Hukum Humaniter ". Disamping itu, kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama
pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bisa
bermanfaat dan jangan lupa ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini agar
kedepannya bisa diperbaiki.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk melaksanakan tujuannya ini makal salah satu hal paling penting
yang harus ditentukan adalah menggariskan pembedaan antara kombatan yang
aktif dalam pertempuran dan non-Kombatan yang wajib dilindungi. Pembagian ini
harus dilakukan karena dua kelompok besar ini masing-masing memiliki
priviliges-duries-disabikities yang berbeda. Prinsip pembagian ini kemudian
disebut sebagai Distinction Principle.
1
Prof. KGPH Haryo mataram: Pengantar Hukum Humaniter. Penerbit RajaGrafindo Persada-
Jakarta
4
menentukan secara tepat yang mana termasuk dalam kelompok Kombatan dan
non-Kombatan. Segala sesuatu tidak hitam putih, selalu ada wilayah abu-abu
dimana batas antara Kombatan dan non-Kombatan menjadi semu. Inilah yang
kemudian memunculkan Asas Proposionalitas yang dalam praktiknya merupakan
satu bagian dengan Distinction Principle.
Salah satu isu yang hangat berkenaan mengenai hal ini adalah invasi Israel
ke Libanon dan Jalur Gaza pada awal 2006.2 Kasus serangan ini diawali oleh
penculikan dua tentara Israel oleh Milisi Hamas dan Fatah yang bermarkas di
Libanon. Aksi ini kemudian dilanjutkan dengan serangan roket membabi buta
oleh Milisi Hamas yang bermarkas di Libanon Selatan ke wilayah utara Israel.
Aksi Militan Palestina ini kemudian dianggap sebagai act of war dan
menyebabkan Israel melakukan ofensif besar-besaran terhadap Milisi Hamas dan
Fatah. Namun yang menjadi masalah adalah para Milisi Fatah dan Hamas
memiliki basis yang berintergrasi dengan penduduk sipil. Markas komando
mereka sering kali ditempatkan di tengah pemukiman padat, bahkan serangan
roket pun dilakukan dari tengah komplek pemukiman sipil.
Sekjen PBB Kofi Annan mengutuk serangan Israel itu yang dianggap
sebagai penggunaan kekuatan militer secara sembarangan (disproportionate use of
force). Aksi Israel dianggap sebagai penyimpangan terhadap Konvensi Jenewa
1949. Memang dalam perang wajib dibedakan antara Kombatan dan non-
2
Lionel Bechner; Israel and the Doctrine of Propotionality
5
Kombatan, fasilitas sipil dan fasilitas militer sesuai dengan Distinction Principle.
Masalahnya Ofensif Israel pada tahun 2006 ini bukan perang konvensional.
Banyak fasilitas publik yang diserang Israel juga digunakan oleh Hamas dan
Fatah untuk menyerang Israel. Akibatnya, Distinction Principle menjadi kabur.
Israel sendiri menganggap bahwa tindakannya sebagai suatu bentuk act of self
preservation dan tidak menyalahi Asas Proposionalitas. Sebab walaupun target
serangan adalah fasilitas sipil dan menimbulkan korban jiwa non-Kombatan,
namun fasilitas sipil tersebut dianggap memiliki nilai militer yang membahayakan
bagi Israel, dan korban sipil sulit dihindari dan dianggap sebagai kerusakan
sampingan (collateral damage).
6
BAB II
PEMBAHASAN
[e]very person in enemy hands must have some status under international
law: he is either a prisoner of war and, as such, covered by the Third Convention,
a civilian covered by the Fourth Convention, or again, a member of the medical
personel of the armed forces who is covered by the Fisrt Convention. There is no
intermediate status, nobody in enemy hands can be outside the law. We feel that
this is a satisfactory solution not only satisfying to the mind, but also, and above
all, satisfactory solution not only satisfying to the mind, but also, and above all,
satisfactory from the humanitarian point of view.
Disini kita ketahui bahwa dalam perang semua pihak harus memiliki status yang
jelas. Dalam penjelasan selanjutnya, Palang Merah Internasional menegaskan
bahwa penduduk sipil yang bukan anggota militer, namun terlibat aktif dalam
permusuhan, maka mereka tidak dapat dianggap sebagai non-Kombatan. 3
3
The relevance of IHL in the contest of terrorism of official statement by the ICRC 21 July 2005
7
Pengertian kombatan sendiri telah diatur pada Pasal 4 Konvensi Jenewa
1949 yang menyebutkan bahwa seseorang sudah dapat dikategorikan sebagai
kombatan dan terikat pada hukum dan kebiasaan perang (lawful combatant) yang
terdiri atas:4
4
Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War:
http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/91.htm
8
provided that they have received authotization from the armed
forces which the accompany, who shall provide them for that
purpose with an identity card similar to the annexed model.
5. Members of crews, including masters, pilots and apprentices, of the
merchant marine and the crews of civil aircraft of the Parties to the
conflict, who do not benefit by more favourable treatment under
any other provisions of international law.
6. Inhabitants of a non-occupied territory, who on the approach of
the enemy spontaneously take up arms to resist the invading forces,
without having had time to form themselves into regular armed
units, provided they carry arms openly and respect the laws and
customs of war.
Dari sini kita dapat ketahui bahwa Kombatan adalah orang yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Anggota angkatan bersenjata regular yang aktif dalam dinas
kemiliteran negara yang terlibat dalam konflik
2. Anggota milisim sukarelawan dan gerakan perlawanan yang
terorganisir, yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Dipimpin oleh komandan yang bertanggungjawab pada
bawahannya
b) Memiliki simbol tetap yang dapat dikenali
c) Secara terbuka menggunakan senjata
d) Beroperasi dan tunduk pada hukum dan kebiasaan perang
3. Orang sipil yang mendampingi anggota angkatan bersenjata dalam
bertugas. Termasuk didalamnya orang sipil yang bertugas untuk
kepentingan militer, contohnya wartawan perang, kru sipil dalam
perang, dsb.
4. Kru dari kapal dan pesawat sipil dari negara yang terlibat dalam
konflik, bilamana tidak ada hukum lain yang melindungi mereka.
9
5. Masssa/ penduduk suatu wilayah yang mengangkat senjata untuk
membela diri dari serbuan musuh tanpa sempat membentuk unit militer
yang terorganisir.
5
Wikipedia: Unlawful combatant http://en.wikipedia.org/wiki/unlawful.combatant
10
Lebih lanjut mengenai kombatan yang tidak jelas statusnya, diatur dalam
Pasal 5 Konvensi Jenewa 1949: 6
...
Should any doubt arise as to whether persons, having committed a
beliigerent act and having fallen into the hands of the enemy, belong to
any of the categories enumareted in Article 4, such persons shall enjoy the
protection of the present Convention until such time as their status has
been determined by a competent tribunal.
(Pasal 5 Konvensi Jenewa 1949)
Dengan adanya pasal ini, maka digariskan bahwa jika seseorang tidak dapat
dipastikan statusnya sebagai kombatan atau bukan, maka ia wajib diperlakukan
sebagai tawanan perang hingga adanya kejelasan status yang diputuskan lewat
Pengadilan yang kompeten.
Maka dari sini dapat dijabarkan bahwa orang yang dikategorikan sebagai
non-Kombatan adalah orang yang tidak termasuk dalam kategori kombatan yang
dijelaskan diatas. Ternasuk didalamnya warga sipil yang wajib dilindungi dalam
perang.
6
Wikipedia: Unlawful combatant http://en.wikipedia.org/wiki/unlawful.combatant
11
Disini dinyatakan jelas bahwa objek militer adalah obyek yang digunakan untuk
kepentingan militer dan memiliki fungsi militer efektif, hingga segala usaha
mengahncurkan, menawan atau menetralkan akan memberi keunggulan militer.
12
dapat dilegalkan apabila keunggulan militer yang diperoleh keunggulan militer
yang diperoleh lebih besar dan signifikan dibanding kerugian yang timbul. Tidak
ada korban dan kerusakan berlebihan yang melanggar unnecessary sufferings.
Selanjutnya mengenai asas proposionalitas dalam prakteknya ditengah
peperangan, ditegaskan kembali dalam Legal Opinion dari Luis Moreno-Ocampo,
Jaksa Penuntut International Criminal Court mengenai kasus sangkaan kejahatan
perang dalam serangan militer Amerika ke Irak pada tahun 2003. Dalam Legal
Opinion-nya, Moreno-Ocampo menyatakan bahwa:
Under international humanitarian law and the Rome Statue, the death of
civilians during an armed conflict, no matter how grave and regrettable,
does not in itself constitute a war crime. International humanitarian law
and the Rome Statue permit belligerents to carry out proportionate attack
against military objectives, even when it is known that some civilian deaths
or injuries will occur. A crime occurs if there is an intentional attack
directed against civilians (principle of distinction) (Article 8(2)(b)(i)) or
an attack is launched on a military objective in the knowledge that the
incidental civilian injuries would be clearly excessive in realtion to the
anticipated military advantage (principle of proportionality) (Article
8(2)(b)(iv)).
13
(b) The anticipated military advantage
(c) And whether (a) was clearly excessive in realtion to (b)
-Luis Moreno-Ocampo8
Dari sini dapat diketahui bahwa dalam prakteknya, serangan terhadap
obyek sipil dan non-Kombatan dapat diizinkan apabila memang tak dapat
dihindari. Kejahatan perang baru terjadi apabila serangan itu secara sengaja
diarahkan ke target sipil tanpa ada keuntungan militer atau serangan itu tetap
dilakukan walaupun sebelumnya telah diketahui akan timbul dampak kerusakan
yang berlebihan dan tak perlu.
Menurut studi yang dilakukan oleh ahli dari ICRC, dalam praktek
penerapannya, ada beberapa aturan tak tertulis yang berlaku saat dilakukan
serangan atas obyek sipil. Pelaksanaan aturan ini menjadi barometer apakah
serangan tersebut bersifat serampangan atau tidak, yang kemudian dapat menjadi
dasar apakah asas proposionalitas dipatuhi. Aturan itu meliputi antara lain: 9
Rule 7. The parties to the conflict must at all times distinguish between
civilian objects and military objectives. Attacks may only be directed
against military objectives
Rule 8. Insofar as objects are concerned, military objectives are limited to
those objects which by their nature, location, purpose or use make an
effective contribution to military action and whose partial or total
destruction, capture or neutralisation, un curcumstances ruling at the
time, offers a definite miliraty advantage.
***
Rule 11. Indiscriminate attacks are prohibited.
8
Luis Moreno-Ocampo: OTP letter asender re Iraq 9 February 2006 dapat diperoleh pada
http://www.icc.cpi.int/library/organs/otp/OTP_letter_to_senders_re_iraq_9_february_2006.pdf
9
Jean-Marie Henckaerts&Lewis Doswald-Beck, Custumary International Humanitarian Law, Vol. I:
Rules (2005)
14
Rule 12. Indidcriminate attacts are those [which]... are of a nature to
stricke military ojective and civilians or civilian objects without
distinction.
Rule 13. Attacks by bombardment by any method or means which treats as
a single military objective a number of clearly separatedand distinct
military objectives located in a city, town, village or other area containing
a similiar concentration of civilia objects are prohibited.
Rule 14. Launching an attack which may be expected to cause incidental
loss of civilian life, injury to civilian, damage to civilian objects, or a
combination theorof, which would be excessive in realtion to the concrete
and direct military advantage anticipated, is prohibited.
15
Dalam penjelasan Palang Merah Internasional atas Protokol I Konvensi
Jenewa ini dijelaskan bahwa: [M]ost civilian objects can become useful objects
to the armed forces. Thus, for example, a school or a hotel is a civilian object, but
if theybare use to accommodate troops or headquartes staff, they become military
objectives. Namun dalam pasal 52 ayat 3 ada pengecualian bahwa jika suatu
bangunan atau fasilitas diragukan fungsinya apakah merupakan obyek sipil atau
digunakan sebagai maka haruslah diasumsukan bahwa bangungan tersebut adalah
obyek sipil dan tidak boleh diserang. Suatu fasilitas sipil hanya boleh diserang
apabila telah jelas dan tegas bahwa fasilitas itu digunakan untuk kepentingan
militer hingga dapat dianggap bukan lagi obyek sipil.
Apabila serangan terhadap obyek sipil dilakukan maka serangan itu haruslah
sesuai dengan asas proposionalitas yang menggariskan bahwa serangan itu tidak
dilakukan berlebihan dan serampangan serta berimbang dengan keunggulan
militer yang diperoleh. Apabila serangan itu dianggap melanggar atau dapat
16
melanggar ketentuan Pasal 51 Protokol 1 Konvensi Jenewa yang menyatakan
bahwa:
Maka serangan tersebut tidak boleh dilakukan karena dianggap serampangan dan
tidak berimbang dengan hasil yang diperoleh.10
10
Hummanitarian Law Research Initiative; What is the status of hospitals, schools or places of
worship of militans or insurgents are operating from within them
17
BAB III
PENUTUP
18
Penyerangan itu sendiri harus secara tegas memperhatikan asas
proposionalitas dengan artian korban dan kerusakan yang ditimbulkan harus
proposional dengan keunggulan militer yang diperoleh. Proposional dalam artian
bahwa kerugian militer lebih signifikan dibanding kerugian yang timbul.
19
DAFTAR PUSTAKA
20