Anda di halaman 1dari 20

ASAS PROPOSIONALITAS

DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester

Mata kuliah Hukum Humaniter

Disusun Oleh :

RACHMAH OKTALIANI I.M.

1111143189 (5-E)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah tentang "Asas Proposionalitas dalam Hukum
Humaniter" ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan
kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan
menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang
menjadi tugas Ujian Akhir Semester Hukum Humaniter dengan judul " Asas
Proposionalitas dalam Hukum Humaniter ". Disamping itu, kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama
pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bisa
bermanfaat dan jangan lupa ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini agar
kedepannya bisa diperbaiki.

Serang , 11 Januari 2017

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................2

DAFTAR ISI ...........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ...........................................................................4

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................6

1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................6

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................7

2.1 Distinction Principle sebagai Bagian dari Hukum Humaniter


Internasional .....................................................................................7

2.2 Pengertian dan Pembahasan Asas Proposionalitas .....................12

2.3 Penerapan Asas Proposionalitas dalam Kedudukan Fasilitas Sipil


untuk Tujuan Militer ........................................................................15

BAB III PENUTUP ......................................................................................18

3.1 Kesimpulan dan Saran ...............................................................18

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................20

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dasarnya tujuan perang adalah mengalahkan musuh secepatnya
dengan cara yang seefisien mungkin dengan aksi militer. Namun peperangan tidak
boleh dilakukan dengan secara sembarangan oleh para pihak yang terlibat
didalamnya. Peperangan harus dilakukan dengan penghormatan terhadap HAM
dan prinsip-prinsip kelayakan lain yang berlaku dalam Hukum Humaniter. Ini lah
yang diatur lewat hukum humaniter, pada dasarnya Hukum Humaniter mengatur
mengenai dua hal paling mendasar yaitu, pertama tentang Ius ad bellum atau
hukum tentang perang dan kedua tentang Ius ad bello atau hukum yang berlaku
dalam perang.
Lebih jauh, dalam US Army Field Manual of Law of Landwarfare
disebutkan tujuan utama hukum humaniter yaitu:1
1. Melindungi baik kombatan maupun non-Kombatan dari penderitaan
yang tidak perlu
2. Menjamin hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan musuh
3. Memungkinkan dikembalikannya perdamaian
4. Membatasi kekuasaan pihak yang berperang

Untuk melaksanakan tujuannya ini makal salah satu hal paling penting
yang harus ditentukan adalah menggariskan pembedaan antara kombatan yang
aktif dalam pertempuran dan non-Kombatan yang wajib dilindungi. Pembagian ini
harus dilakukan karena dua kelompok besar ini masing-masing memiliki
priviliges-duries-disabikities yang berbeda. Prinsip pembagian ini kemudian
disebut sebagai Distinction Principle.

Pada prakteknya sendiri, Distinction Principle tidak dapat diberlakukan


secara mudah. Banyak faktor dalam peperangan yang menyulitkan untuk

1
Prof. KGPH Haryo mataram: Pengantar Hukum Humaniter. Penerbit RajaGrafindo Persada-
Jakarta

4
menentukan secara tepat yang mana termasuk dalam kelompok Kombatan dan
non-Kombatan. Segala sesuatu tidak hitam putih, selalu ada wilayah abu-abu
dimana batas antara Kombatan dan non-Kombatan menjadi semu. Inilah yang
kemudian memunculkan Asas Proposionalitas yang dalam praktiknya merupakan
satu bagian dengan Distinction Principle.

Salah satu isu yang hangat berkenaan mengenai hal ini adalah invasi Israel
ke Libanon dan Jalur Gaza pada awal 2006.2 Kasus serangan ini diawali oleh
penculikan dua tentara Israel oleh Milisi Hamas dan Fatah yang bermarkas di
Libanon. Aksi ini kemudian dilanjutkan dengan serangan roket membabi buta
oleh Milisi Hamas yang bermarkas di Libanon Selatan ke wilayah utara Israel.
Aksi Militan Palestina ini kemudian dianggap sebagai act of war dan
menyebabkan Israel melakukan ofensif besar-besaran terhadap Milisi Hamas dan
Fatah. Namun yang menjadi masalah adalah para Milisi Fatah dan Hamas
memiliki basis yang berintergrasi dengan penduduk sipil. Markas komando
mereka sering kali ditempatkan di tengah pemukiman padat, bahkan serangan
roket pun dilakukan dari tengah komplek pemukiman sipil.

Akibatnya, serangan Israel terhadap Kelompok Militan Palestina ini sering


kali berdampak pada masyarakat sipil dan non-Kombatan yang seharusnya
dilindungi. Aksi Israel melakukan pemboman terhadap komplek perumahan dan
pemukiman padat yang menjadi basis peluncuran roket Hamas memakan banyak
korban jiwa yang hanya tidak dari Milisi Hamas sendiri namun juga dari
penduduk sipil yang tidak berdosa. Selain itu, tindakan Israel memutus jalur listrik
dan air ke pemukiman serta melakukan blockade dengan menyerang pelabuhan,
jembatan dan berbagai fasilitas sipil lainnya untuk mengisolasi kelompok Militan
Hamas dan Fatah berdampak buruk pada penduduk sipil dan menimbulkan
kecaman internasional.

Sekjen PBB Kofi Annan mengutuk serangan Israel itu yang dianggap
sebagai penggunaan kekuatan militer secara sembarangan (disproportionate use of
force). Aksi Israel dianggap sebagai penyimpangan terhadap Konvensi Jenewa
1949. Memang dalam perang wajib dibedakan antara Kombatan dan non-

2
Lionel Bechner; Israel and the Doctrine of Propotionality

5
Kombatan, fasilitas sipil dan fasilitas militer sesuai dengan Distinction Principle.
Masalahnya Ofensif Israel pada tahun 2006 ini bukan perang konvensional.
Banyak fasilitas publik yang diserang Israel juga digunakan oleh Hamas dan
Fatah untuk menyerang Israel. Akibatnya, Distinction Principle menjadi kabur.
Israel sendiri menganggap bahwa tindakannya sebagai suatu bentuk act of self
preservation dan tidak menyalahi Asas Proposionalitas. Sebab walaupun target
serangan adalah fasilitas sipil dan menimbulkan korban jiwa non-Kombatan,
namun fasilitas sipil tersebut dianggap memiliki nilai militer yang membahayakan
bagi Israel, dan korban sipil sulit dihindari dan dianggap sebagai kerusakan
sampingan (collateral damage).

2.2 Rumusan Masalah

Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam masalah ini meliputi:

1. Apa yang dimaksud dengan asas proposionalitas?


2. Bagaimana menentukan apakah satu aksi militer merupakan
pelanggaran terhadap asas proposionalitas atau tidak?
3. Bagaimana kedudukan fasilitas sipil yang digunakan untuk tujuan
militer dalam perang?

2.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian asas proposionalitas
2. Mengetahui cara menentukan satu aksi militer merupakan pelanggaran
terhadap asas proposionalitas atau tidak
3. Mengetahui pula kedudukan fasilitas sipil yang digunakan untuk
tujuan militer dalam perang

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Distinction Principle sebagai Bagian dari Hukum Humaniter


Internasional

Dalam praktiknya memang diketahui bahwa Distinction Principle secara


jelas membedakan antara Kombatan dan non-Kombatan. Antara fasilitas yang
digunakan untuk tujuan sipil dan fasilitasnya yang digunakan untuk tujuan militer.
Siapa yang boleh menjadi obyek kekerasan dan siapa yang wajib dilindungi,
sesuai definisi masing-masing yang diatur dalam Konvensi-konvensi Hukum
Humaniter serta Protokol-protokol yang menyertainya.

Dalam penjelasan Palang Merah Internasional (ICRC) atas Konvensi


Jenewa 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil Pada Waktu Perang pada
pasal 4 ayat 4 menegaskan bahwa:

[e]very person in enemy hands must have some status under international
law: he is either a prisoner of war and, as such, covered by the Third Convention,
a civilian covered by the Fourth Convention, or again, a member of the medical
personel of the armed forces who is covered by the Fisrt Convention. There is no
intermediate status, nobody in enemy hands can be outside the law. We feel that
this is a satisfactory solution not only satisfying to the mind, but also, and above
all, satisfactory solution not only satisfying to the mind, but also, and above all,
satisfactory from the humanitarian point of view.

Disini kita ketahui bahwa dalam perang semua pihak harus memiliki status yang
jelas. Dalam penjelasan selanjutnya, Palang Merah Internasional menegaskan
bahwa penduduk sipil yang bukan anggota militer, namun terlibat aktif dalam
permusuhan, maka mereka tidak dapat dianggap sebagai non-Kombatan. 3

3
The relevance of IHL in the contest of terrorism of official statement by the ICRC 21 July 2005

7
Pengertian kombatan sendiri telah diatur pada Pasal 4 Konvensi Jenewa
1949 yang menyebutkan bahwa seseorang sudah dapat dikategorikan sebagai
kombatan dan terikat pada hukum dan kebiasaan perang (lawful combatant) yang
terdiri atas:4

a. Prisoners of war, in the sense of the present Convention, are persons


belonging to one of the following categories, who have fallen into the
power of the enemy:
1. Members of the armed forced of a Party to the conflict as well as
members of militias or volunteer corps forming part of such armed
forces.
2. Members of the other militias and members of other volunteer
corps, including those of organized resistance movements,
belonging to a Party to the conflict and operating in or outside
their own territory, even if this territory is occupied, provided that
such militias or volunteer corps, including such organized
resistance movement, fulfil the following conditions:
(a) That of being commanded by a person responsible for his
subordionates:
(b) That of having a fixed distinctive sign recognizable at a
distance:
(c) That of carrying arms openly
(d) That of conductuing their operations in accordance with the
laws and customs of war.
3. Members of regular armed forces who profess allegiance to a
goverment or an authority not recognized by the Detaining Power.
4. Persons who accompany the armed forces without actually being
members thereof, such as civilian members of military aircraft
crews, war correspondents, supply contractors, members of labour
units or of services responsible for the welfare of the armed forces,

4
Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War:
http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/91.htm

8
provided that they have received authotization from the armed
forces which the accompany, who shall provide them for that
purpose with an identity card similar to the annexed model.
5. Members of crews, including masters, pilots and apprentices, of the
merchant marine and the crews of civil aircraft of the Parties to the
conflict, who do not benefit by more favourable treatment under
any other provisions of international law.
6. Inhabitants of a non-occupied territory, who on the approach of
the enemy spontaneously take up arms to resist the invading forces,
without having had time to form themselves into regular armed
units, provided they carry arms openly and respect the laws and
customs of war.

Dari sini kita dapat ketahui bahwa Kombatan adalah orang yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Anggota angkatan bersenjata regular yang aktif dalam dinas
kemiliteran negara yang terlibat dalam konflik
2. Anggota milisim sukarelawan dan gerakan perlawanan yang
terorganisir, yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Dipimpin oleh komandan yang bertanggungjawab pada
bawahannya
b) Memiliki simbol tetap yang dapat dikenali
c) Secara terbuka menggunakan senjata
d) Beroperasi dan tunduk pada hukum dan kebiasaan perang
3. Orang sipil yang mendampingi anggota angkatan bersenjata dalam
bertugas. Termasuk didalamnya orang sipil yang bertugas untuk
kepentingan militer, contohnya wartawan perang, kru sipil dalam
perang, dsb.
4. Kru dari kapal dan pesawat sipil dari negara yang terlibat dalam
konflik, bilamana tidak ada hukum lain yang melindungi mereka.

9
5. Masssa/ penduduk suatu wilayah yang mengangkat senjata untuk
membela diri dari serbuan musuh tanpa sempat membentuk unit militer
yang terorganisir.

Dalam prakteknya dilapangan, sangat sulit membedakan antara penduduk


sipil dan milisi. Seringkali dalam konflik bersenjata karena sifat khusus dari
situasi dan strategi yang digunakan tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam
Pasal 4 Konvensi Jenewa 1949. Contohnya adalah gerislyawan HAMAS yang
menggunakan pakaian sipil dan membaur dengan kerumunan sipil dalam beraksi.
Pertanyaannya apakah mereka dapat digolongkan sebagai Kombatan atau mereka
tetap digolongkan sebagai penduduk sipil?
Dalam kasus seperti ini, diatur bahwa selain dalam Pasal 4 Konvensi
Jenewa 1949, kriteria Kombatan juga diatur dalam Protokol 1 Konvensi Jenewa
1949 atau Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949,
and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict, dimana
kriteria Kombatan meliputi:5
44.3. In order to promote the protection of the civilian population from the
effect of hostilities, combatants are obliged to distinguish themselves from
the civilian population while they are engaged in an attack or in a military
operation preparatory to an attack. Recognizing however, that there are
situations in armed conflict where, owing to the nature of the hostilities an
armed combatant cannot so distinguish himself, he shall retain his status
as a combatant, provided that, in such situations, he carries his arms
openly:
a) During each military engagement, and
b) During such time as he is visible to the adversary while he is engaged in
military deployment preceding the launching of and attack in whick he is
to participate.
Dari sini kita ketahui bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai kombatan
apabila ia secara terang-terangan memegang senjata dalam pertempuran.

5
Wikipedia: Unlawful combatant http://en.wikipedia.org/wiki/unlawful.combatant

10
Lebih lanjut mengenai kombatan yang tidak jelas statusnya, diatur dalam
Pasal 5 Konvensi Jenewa 1949: 6
...
Should any doubt arise as to whether persons, having committed a
beliigerent act and having fallen into the hands of the enemy, belong to
any of the categories enumareted in Article 4, such persons shall enjoy the
protection of the present Convention until such time as their status has
been determined by a competent tribunal.
(Pasal 5 Konvensi Jenewa 1949)

Dengan adanya pasal ini, maka digariskan bahwa jika seseorang tidak dapat
dipastikan statusnya sebagai kombatan atau bukan, maka ia wajib diperlakukan
sebagai tawanan perang hingga adanya kejelasan status yang diputuskan lewat
Pengadilan yang kompeten.

Maka dari sini dapat dijabarkan bahwa orang yang dikategorikan sebagai
non-Kombatan adalah orang yang tidak termasuk dalam kategori kombatan yang
dijelaskan diatas. Ternasuk didalamnya warga sipil yang wajib dilindungi dalam
perang.

Selanjutnya juga diatur mengenai obyek militer yang dapat dijadikan


target serangan. Pengaturannya dapat ditemui dalam Protokol tambahan 1
Konvensi Jenewa Pasal 52 ayat 2 yang menyatakan bahwa:

Attack shall be stricly limited to those objects which by their nature,


location, pupose or use make an effective contribution to military action
and whose total or partial destruction, capture or neutralization in the
circumtances ruling at the time, offers a difinite military advantage.

6
Wikipedia: Unlawful combatant http://en.wikipedia.org/wiki/unlawful.combatant

11
Disini dinyatakan jelas bahwa objek militer adalah obyek yang digunakan untuk
kepentingan militer dan memiliki fungsi militer efektif, hingga segala usaha
mengahncurkan, menawan atau menetralkan akan memberi keunggulan militer.

2.2 Pengertian dan Pembahasan Asas Proposionalitas


Asas proposionalitas ditunjukan agar perang atau penggunaan senjata tidak
menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak
berkaitan dengan tujuan-tujuan militer unnecessary sufferings muncul atau tidak
dalam suatu perang, terutama dalam hal ini terhadap fasilitas sipil dan non-
Kombatan, maka dapat dikaitakan dengan konsep Military Necessity yang
menentukan bahwa suatu tindakan militer layak dilakukan atau tidak. Military
Necessity meliputi: 7
1. Lawful combatants can only use such force as is reasonably necessary
to achieve a military objective.
2. The use of such force cannot be prohibited by LOAC
3. The use of such force must result in the least expenditure of life and
damage to property, as is possible under the prevailing circumstances
4. The force used is regulated by the user
Dapat disimpulkan bahwa Military Necessity memberi batas tentang adanya
unnecessary sufferings atau tidak
Dalam protokol 1 Konvensi Jenewa Pasal 51 ayat 5 (b) dijelaskan bahwa
dalam konteks perlindungan terhadap non-Kombatan, serangan yang dilarang
adalah termasuk segala jenis serangan yang: ... which may be expected to cause
incidental loss of civilian life... which would be excessive in relation to the
concrete and direct military advantage anticipated. Dapat disimpulkan pula
bahwa Military Necessity telah dilanggar dan terjadi unnecessary sufferings yang
bertentangan dengan asas proposionalitas apa bila keunggulan militer yang
dicapai tidak berimbang (proposional) dengan korban dan kerusakan yang
ditimbulkan, terutama dalam hal ini terhadap obyek sipil.
Maka asas proposionalitas dapat di definisikan sebagai prinsip bahwa
serangan militer dapat yang menimbulkan korban non-Kombatan dan non-Militer
7
Rakyat Australian Air Force; Operations Law For RAAF Commanders

12
dapat dilegalkan apabila keunggulan militer yang diperoleh keunggulan militer
yang diperoleh lebih besar dan signifikan dibanding kerugian yang timbul. Tidak
ada korban dan kerusakan berlebihan yang melanggar unnecessary sufferings.
Selanjutnya mengenai asas proposionalitas dalam prakteknya ditengah
peperangan, ditegaskan kembali dalam Legal Opinion dari Luis Moreno-Ocampo,
Jaksa Penuntut International Criminal Court mengenai kasus sangkaan kejahatan
perang dalam serangan militer Amerika ke Irak pada tahun 2003. Dalam Legal
Opinion-nya, Moreno-Ocampo menyatakan bahwa:
Under international humanitarian law and the Rome Statue, the death of
civilians during an armed conflict, no matter how grave and regrettable,
does not in itself constitute a war crime. International humanitarian law
and the Rome Statue permit belligerents to carry out proportionate attack
against military objectives, even when it is known that some civilian deaths
or injuries will occur. A crime occurs if there is an intentional attack
directed against civilians (principle of distinction) (Article 8(2)(b)(i)) or
an attack is launched on a military objective in the knowledge that the
incidental civilian injuries would be clearly excessive in realtion to the
anticipated military advantage (principle of proportionality) (Article
8(2)(b)(iv)).

(Article 8(2)(b)(iv)) criminalizes:


Intentionally launching an attack in knowledge that such attack will cause
incidental loss of life or injury to civilians or damage to civillians objects
or widespread, long-term and severe damage to the natural environment
which would be clearly excessive in realtion to the concrete and direct
overall military advantage anticipated;

(Article 8(2)(b)(iv)) draws on the principles on Articles 51(5)(b) of the


1977 Additional Protocol 1 to the 1949 Geneva Conventions, but restricts
the criminal prohibiton to cases that are clearly excessive. The
appication of (Article 8(2)(b)(iv)) requires, inter alia, an assessment of:
(a) The anticipated civilian damage or injury

13
(b) The anticipated military advantage
(c) And whether (a) was clearly excessive in realtion to (b)

-Luis Moreno-Ocampo8
Dari sini dapat diketahui bahwa dalam prakteknya, serangan terhadap
obyek sipil dan non-Kombatan dapat diizinkan apabila memang tak dapat
dihindari. Kejahatan perang baru terjadi apabila serangan itu secara sengaja
diarahkan ke target sipil tanpa ada keuntungan militer atau serangan itu tetap
dilakukan walaupun sebelumnya telah diketahui akan timbul dampak kerusakan
yang berlebihan dan tak perlu.
Menurut studi yang dilakukan oleh ahli dari ICRC, dalam praktek
penerapannya, ada beberapa aturan tak tertulis yang berlaku saat dilakukan
serangan atas obyek sipil. Pelaksanaan aturan ini menjadi barometer apakah
serangan tersebut bersifat serampangan atau tidak, yang kemudian dapat menjadi
dasar apakah asas proposionalitas dipatuhi. Aturan itu meliputi antara lain: 9
Rule 7. The parties to the conflict must at all times distinguish between
civilian objects and military objectives. Attacks may only be directed
against military objectives
Rule 8. Insofar as objects are concerned, military objectives are limited to
those objects which by their nature, location, purpose or use make an
effective contribution to military action and whose partial or total
destruction, capture or neutralisation, un curcumstances ruling at the
time, offers a definite miliraty advantage.
***
Rule 11. Indiscriminate attacks are prohibited.

8
Luis Moreno-Ocampo: OTP letter asender re Iraq 9 February 2006 dapat diperoleh pada
http://www.icc.cpi.int/library/organs/otp/OTP_letter_to_senders_re_iraq_9_february_2006.pdf

9
Jean-Marie Henckaerts&Lewis Doswald-Beck, Custumary International Humanitarian Law, Vol. I:
Rules (2005)

14
Rule 12. Indidcriminate attacts are those [which]... are of a nature to
stricke military ojective and civilians or civilian objects without
distinction.
Rule 13. Attacks by bombardment by any method or means which treats as
a single military objective a number of clearly separatedand distinct
military objectives located in a city, town, village or other area containing
a similiar concentration of civilia objects are prohibited.
Rule 14. Launching an attack which may be expected to cause incidental
loss of civilian life, injury to civilian, damage to civilian objects, or a
combination theorof, which would be excessive in realtion to the concrete
and direct military advantage anticipated, is prohibited.

2.3 Penerapan Asas Proposionalitas dalam Kedudukan Fasilitas Sipil


untuk Tujuan Militer

Telah dijelaskan dalam pendahuluan bahwa pada ofensif Israel ke Libanon


pada awal 2006, Militan Hamas dan Fatah menggunakan obyek-obyek sipil
sebagai basis serangan mereka ke Israel. Obyek sipil ini termasuk fasilitas umum
seperti perumahan, rumah sakit, sekolah dan tempat umum lainnya. Padahal
dalam prakteknya berdasarkan Hukum Humaniter baik yang tertulis maupun
kebiasaan, serangan terhadap obyek sipil jelas dilarang. Namun hal ini harus
dilakukan sebagai tindakan untuk mencapai keunggulan militer.

Cara penyelesaiannya dalam kasus seperti itu, maka serangan tersebut


dapat dilakukan dengan tunduk pada asas proposionalitas. Memang, pada
dasarnya bangunan pemukiman dan fasilitas umum lainnnya merupakan obyek
sipil. Namun jika dilihat dari definisi obyek militer pada Protokol I Konvensi
Jenewa Pasa 52 ayat 2, dijelaskan bahwa segala bentuk bangunan yang memiliki
fungsi militer secara efektif dan digunakan untuk tujuan militer merupakan obyek
militer dan dapat diserang.

15
Dalam penjelasan Palang Merah Internasional atas Protokol I Konvensi
Jenewa ini dijelaskan bahwa: [M]ost civilian objects can become useful objects
to the armed forces. Thus, for example, a school or a hotel is a civilian object, but
if theybare use to accommodate troops or headquartes staff, they become military
objectives. Namun dalam pasal 52 ayat 3 ada pengecualian bahwa jika suatu
bangunan atau fasilitas diragukan fungsinya apakah merupakan obyek sipil atau
digunakan sebagai maka haruslah diasumsukan bahwa bangungan tersebut adalah
obyek sipil dan tidak boleh diserang. Suatu fasilitas sipil hanya boleh diserang
apabila telah jelas dan tegas bahwa fasilitas itu digunakan untuk kepentingan
militer hingga dapat dianggap bukan lagi obyek sipil.

Diluar itu semua, RS merupakan obyek sipil yang memperoleh


perlindungan khusus berdasar pada Pasal 18 ayat 1 Konvensi Jenewa 1949
mengenai Perlindungan Orang Sipil Pada Masa Perang. Selanjutnya dalam pasa
19 dijelaskan bahwa RS dapat kehilangan status keistimewaannya jika mereka ...
used to commit, outside their hummanitarium duties, acts harmful to the enemy.
Rumah sakit yang dilindungi adalah rumah sakit yang berdasar ketentuan Pasal 18
ayat 1 memenuhi syarat tertentu yaitu: must have staff (including the
administrative staff) and the eqiupment required to fulfill its purpose. It must be
organized to give hospital care... The capacity of the establishment cannot be
used as a criterion for deciding whether or not is is a civilian hospital.

Berdasarkan pasal 19, perlindungan istimewa itu musnah setelah:

1. Peringatan lanngsung untuk menghentikan segala bentuk kekerasan telah


diberikan pada rumah sakit
2. Tenggat waktu yang diberikan untuk menanggapi peringatan dan
menghentikan serangan telah habis
3. Peringatan tidak ditanggapi

Apabila serangan terhadap obyek sipil dilakukan maka serangan itu haruslah
sesuai dengan asas proposionalitas yang menggariskan bahwa serangan itu tidak
dilakukan berlebihan dan serampangan serta berimbang dengan keunggulan
militer yang diperoleh. Apabila serangan itu dianggap melanggar atau dapat

16
melanggar ketentuan Pasal 51 Protokol 1 Konvensi Jenewa yang menyatakan
bahwa:

attack which may be expected to cause incidental loss of civilian life,


injury to civilians, damage to civilian objects, or a combination theorof, which
would be excessive in relation to the concrete and direct military advantage
anticipated.

Maka serangan tersebut tidak boleh dilakukan karena dianggap serampangan dan
tidak berimbang dengan hasil yang diperoleh.10

10
Hummanitarian Law Research Initiative; What is the status of hospitals, schools or places of
worship of militans or insurgents are operating from within them

17
BAB III
PENUTUP

3.2 Kesimpulan dan Saran


Dalam prakteknya, memang jatuhnya korban sipil sulit dihindari dalam
peperangan, terutama ketika perang itu bukan lagi melibatkan antara Negara
melawan Negara namun Negara melawan kelompok bukan Negara (non-State
Party) seperti Israel melawan milisi Hamas dan Fatah pada tahun 2006. Namun
bukan pula berarti jatuhnya korban sipil dibiarkan begitu saja. Disinilah asas
proposionalitas berlaku. Tujuan utama asas proposionalitas adalah agar perang
atau penggunaan senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan
yang berlebihan yang tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan militer. Terutama
dalam hal ini kerusakan-kerusakan fisik yang berlebihan dan tidak perlu terhadap
obyek-obyek non-Militer dan non-Kombatan.
Asas proposionalitas didasarkan pada Pasal 51 Protokol 1 Konvensi
Jenewa, dan dari sana asas proposionalitas dapat didefinisikan sebagai prinsip
bahwa serangan militer yang dapat menimbulkan korban non-Kombatan dan non-
Militer dapat dilegalkan apabila keunggulan militer yang diperoleh lebih besar
dan signifikan dibanding kerugian yang timbul. Tidak ada korban dan kerusakan
berlebihan yang melanggar military necessity.
Dari pasal tersebut juga dapat diketahui bahwa serangan itu tidak boleh
bersifat serampangan serta secara sengaja diarahkan ke target sipil tanpa ada
keuntungan militer dilakukan walaupun sebelumnya telah diketahui akan timbul
dampak kerusakan yang berlebihan dan tak perlu. Dalam pelaksanannya
didasarkan pada hukum kebiasaan perang tak tertulis dan bergantung pada
keputusan komando.
Asas proposionalitas ini kemudian dapat diterapkan dalam kasus
penggunaan obyek sipil seperti fasilitas umum untuk tujuan militer. Penyerangan
terhadap obyek sipil dibatasi, antara lain dengan mengharuskan bahwa obyek sipil
yang akan diserang itu harus benar-benar secara tegas dan nhata digunakan untuk
kepentingan militer.

18
Penyerangan itu sendiri harus secara tegas memperhatikan asas
proposionalitas dengan artian korban dan kerusakan yang ditimbulkan harus
proposional dengan keunggulan militer yang diperoleh. Proposional dalam artian
bahwa kerugian militer lebih signifikan dibanding kerugian yang timbul.

19
DAFTAR PUSTAKA

Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War;


diperoleh dari http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/91.htm

Hummanitarian Law Research Initiative; What is the status of hospitals,


schools or places of worship of militans or insurgents are operating from within
them? Harvard Program on Humanitarian Policy and Conflict Research
International

ICRS; The relevance of IHL in the contest of terrorism 21 July 2005

Jean-Marie Henckaerts&Louise Doswald-Beck, Customary International


Hummanitarian Law Vol I : Rules (2005)

Lionel Beehner; Israel and the Doctrine of Proportionality. Diambil dari


CFR.org

Luis Moreno-Ocampo; OTP letter to senders re Iraq 9 February 2006


dapat diperoleh dari
http://www/icccpi.int/library/organs/otp/OTP_letter_to_senders_re_iraq_9_februa
ry_2006.pdf

Prof. KGPH Haryo mataram; Pengantar Hukum Humaniter. Penerbit


RajaGrafindo Persada-Jakarta

Royal Australian Air Force; Operations Law For RAAF Commanders

Wikipedia; Unlawful combatant artikel ini diperoleh dari


http://en/wikipedia.org/wiki/unlawful_combatant

20

Anda mungkin juga menyukai