Anda di halaman 1dari 3

Asymmetric Warfare dalam Keamanan Nasional

Dewasa ini, Globalisasi dan kemajuan teknologi telah memunculkan suatu fenomena
baru dalam melihat ancaman dan bentuk perang bagi suatu negara. Kini, ancaman tidaklah
lagi bersifat tradisional, namun meliputi berbagai dimensi yang mencakup bidang ekonomi,
sosial, budaya, ideologi, militer, dan lingkungan hidup hingga ancaman dalam bidang
teknologi dan informasi. Keberadaan ancaman juga tidak lagi bersumber dari satu pihak
(aktor) seperti pada konsep perang tradisional yaitu negara, akan tetapi juga bersumber pada
aktor non-negara hingga individu.
Keberadaan ancaman yang kompleks dan meliputi berbagai aspek ini tentunya dapat
memicu terjadinya suatu bentuk perang yang tidak lazim. Perang tersebut bukan seperti apa
yang dibayangkan setiap orang, yaitu dengan melakukan kontak fisik ataupun dengan adu
persenjataan yang hebat.

Namun dapat menimbulkan suatu bentuk peperangan dengan

spektrum yang sangat luas dan meliputi/melibatkan berbagai dimensi, contoh saja
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang kini menduduki peran utama dalam
kehidupan sehari-hari. Teknologi Informasi telah berubah menjadi sesuatu yang bernilai
sekaligus dapat menjadi senjata perusak. Bombardir informasi akan membentuk citra yang
tertanam di kawasan lawan dan mampu melemahkan posisi lawan. Dalam bentuk yang tidak
lazim ini, perang juga belum tentu melibatkan pihak yang memiliki intensitas kekuatan yang
sama atau sedikit berbeda, namun bisa juga sangat berbeda.
Fenomena perang dengan bentuk yang tidak lazim ini, sebenarnya bukanlah sesuatu
hal yang baru. Bentuk perang ini dapat dijumpai sejak berpuluh-puluh hingga ratusan tahun
yang lalu. Sebagai contoh, Perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada tahun
1980an yang berakhir bukan dengan kontak fisik dan senjata, namun berakhir ketika
kemunculan Glasnot dan perestroika yang berhasil menyerang ideologi komunis yang telah
lama menjadi perekat kesatuan Soviet.

Ini adalah suatu contoh bagaimana suatu negara

dapat menggunakan berbagai jenis strategi khususnya dalam bentuk ancaman dan perang
informasi yang lebih bersifat pshychological untuk dapat mempengaruhi dan menghancurkan
suatu negara.
Lalu bagaimana dengan Indonesia, sejumlah pendapat ahli menyebutkan bahwa
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki daftar panjang sebagai sasaran dalam bentuk perang
yang tidak lazim ini. Sejak Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia terus
mendapatkan perlawanan yang berasal dari penjajah, dan berbagai kelompok ataupun

pemberontak yang memiliki keseimbangan kekuatan yang berbeda, dan tentunya melibatkan
berbagai dimensi ancaman contoh saja pemberontakan yang dilakukan oleh Kartosuwiryo
melalui pemberontakan DII/TII pada tahun 1952.

Bentuk perang yang tidak lazim inilah

yang sering disebut oleh beberapa pakar sebagai perang Asimetris. Banyak teori dan contohcontoh yang mampu menjelaskan apa yang dimaksud dengan perang asimetris dan apa yang
penyebabnya.
Menurut David Grange, Asymmetric warfare is conflict deviating from the norm, or
an indirect approach to affect a counter-balancing of force. (Perang asimetri adalah konflik
yang menyimpang dari norma atau pendekatan yang tidak langsung untuk memberikan efek
melawan kekuatan lain).

Sedangkan, menurut Steven Metz dan Douglas Johnson,

peperangan asimetris adalah tindakan, mengorganisir, dan berpikir yang berbeda dengan
lawan dengan tujuan untuk memaksimalkan kelebihannya yang dia miliki, mengeksploitasi
kelemahan lawan, memperoleh keuntungan atau memperoleh kebebasan yang lebih banyak
dari aksinya.

Hal ini dapat berupa politik strategis, militer strategis, operasional atau

kombinasi dari ketiganya. Ini juga termasuk metode yang berbeda, teknologi, nilai-nilai,
organisasi-organisasi dan perspektif waktu atau kombinasi dari hal-hal tersebut. (Thorton,
Rob. Asymmetric Warfare. 2007. P.20)
Kini, perang yang tidak lazim tersebut menjadi semakin

nyata, terlebih dengan

keberadaan Indonesia yang sangat rentan dengan ancaman perpecahan, perang antar suku,
tindak terorisme dari yang lokal hingga internasional, fundamentalisme, pengaruh digital atau
penyebaran berita hingga hal-hal yang bersifat ideologi, teori atau paham dari asing yang
dapat mengancam keamanan nasional bangsa.
Menurut RUU Kamnas Bab I Pasal I (1), Keamanan Nasional merupakan kondisi
dinamis bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjamin keselamatan,
kedamaian, dan kesejahteraan warga negara masyarakat, dan bangsa, terlindunginya
kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional dari
segala ancaman.
Menurut permanent Representation of Russian Federation to The Council of Europe,
Strasbourg disebutkan bahwa kemanan nasional adalah sistem pemikiran tentang bagaimana
menjamin keamanan dalam Negara federasi Rusia yang meliputi individu, masyarkaat dan
Negara dari ancaman internal dan eksternal dalam segenap aspek dan aktifitas kehidupan.

Menurut mantan perdana menteri Australia Kevin Rudd dalam The First National
Security Statement to The Australian Parliement, 4 December 2008 keamanan Nasional
adalah Freedom from attack or the threat of attack to ; the maintenance of our political
sovereignty; the preservation of our hard won freedom; and the maintenance of our
fundamental capacity to advance economic prosperity for all Australian.
(bebas dari ancaman atau ancaman serangan menjaga integritas territorial, menjaga
kedaulatan politik, melestraikan kebebasan yahg telah diperoleh dengan susah payah,
memelihara kemampuan fundamental ekonomi untuk memajukan kesejahteraan ekonomi
seluruh rakyat Australia.)
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa peperangan asimetris merupakan
ancaman yang sulit diprediksi namun mmberikan dampak yang besar bagi keamanan
nasional.

Anda mungkin juga menyukai