Judul yang disajikan masih terlalu umum, saran dibuat lebih spesifik agar lebih mengerucut
dalam pembahasannya. Saran Judul " TANTANGAN PERANG MASA DEPAN
DIHADAPKAN DENGAN TEORI DAN SPEKTRUM ANCAMAN ".
Pasis wahyu yunus sama dengan pasis Zein setuju dengan saran JUDUL dari Pasis Jenris
" TANTANGAN PERANG MASA DEPAN DIHADAPKAN DENGAN TEORI DAN
SPEKTRUM ANCAMAN
Kami sependapat dengan saran JUDUL dari Pasis Jenris " TANTANGAN PERANG MASA
DEPAN DIHADAPKAN DENGAN TEORI DAN SPEKTRUM ANCAMAN "
Berkaiatan dengan pokok pokok persoalan yang akan di bahas, yang ada pada TOR /LT
A. Pada 2030, Angkatan Laut Cina diproyeksikan bertransformasi dari pasukan sederhana
yang berorientasi pada pertahanan pesisir (brown water) dan pertahanan regional (green
water) menjadi armada ekspansi secara global (blue water) seperti Amerika Serikat ; dan
B. Armada perang laut Cina akan lebih digdaya ketimbang AS pada 2030. Pada 2000, Cina
hanya punya 163 kapal perang, berbanding jauh dengan AS yang memiliki 226 kapal.
Selang enam tahun kemudian, selisih itu menipis jadi 183 kapal milik Cina, berbanding 188
kapal AS . Data dan fakta diatas menunjukan bahwa Cina memperluas dan
mengembangkan kekuatan armada laut demi melindungi kepentingan ekonominya yang
sedang mekar, terutama memperkuat pertahanan di Samudera Pasifik dan Hindia. (pasis
ritonga)
Pertama, Antara 1648 (Perjanjian Westphali) sampai 1789 (revolusi Perancis) bisa
dianggap sebagai jaman keemasan sistem balance of power klasik yang pertama. Kedua,
pada tahun 1815 – 1914 bisa dianggap sebagai jaman keemasan kedua sistem balance of
powerklasik. Perancis, dengan berdirinya kembali dinasti Bourbon, diijinkan tetap
menduduki peringkat negara besar. Negara-negara tersebut. Antara lain Inggris, Prusia,
Austria – Hongaria, dan Rusia. Ketiga, Masa perang dunia di abad 20, bisa dianggap
sebagai abad revolusioner. Kekuatan-kekuatan yang mendestabilisasi pada abad ke 20,
terutama berasal dari nasionalisme imperialis yang dirasionalisasikan dalam ideologi-
ideologi yang bersifat eksklusivis. Pada awal abad tersebut terdapat paling tidak 3 macam
pergerakan yaitu: Fasisme Italia dan Jerman di bawah kepemimpinan Mussolini dan Hitler.
Komunisme Uni Soviet dan China, serta kapitalisme perdagangan bebas pasca Perang
Dunia II yang dipimpin oleh Asbe serta sekutu-sekutu utamanya. Keempat, Masa Perang
Dingin, kedahsyatan senjata nuklir sejak perang dunia II sangat berpengaruh dalam
meredam konflik Perang Dingin. AS – US yang sudah diambang perang nuklir global (krisis
rudal Kuba – 1962) .(pasis syamsul)
Secara sederhana, konsep balance of power adalah sebuah konsep dimana negara akan
berusaha menyeimbangkan dan menyetarakan kekuatan mereka sehingga dapat
menciptakan sebuah kerja sama antar negara di tengah situasi yang kompetitif. Ralph
Pettman dalam karyanya yang berjudul The Balance of Power menjelaskan bahwa balance
of power merupakan konsep dasar yang digunakan dalam teori negara konvensional untuk
menjelaskan situasi dan kondisi perpolitikan internasional (Pettman, 1991). Konsep ini
muncul ketika sistem internasional yang anarki kemudian mendorong negara untuk selalu
bersifat agresif dalam mengejar akumulasi power. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan
situasi security dilemma yang menempatkan negara di antara dua pertimbangan yang sulit
yaitu di satu sisi mereka harus menjaga kestabilan sistem internasional dengan membatasi
akumulasi power mereka namun di lain sisi mereka juga perlu meningkatkan power yang
mereka miliki agar dapat mencapai kepentingan mereka (Paul et.al, 2004). Ketika negara-
negara menghadapi dilema tersebut, konsep balance of power kemudian ditawarkan oleh
para pemikir realis sebagai salah satu win-win solution bagi negara-negara dalam sistem
internasional karena di satu sisi stabilitas sistem dapat dijaga dan di sisi lain ketakutan-
ketakutan negara akan peningkatan power negara lain dapat diredam. (pasis zainullah)
Balance of power adalah salah satu teori yang menekankan pada efektivitas kontrol
terhadap kekuatan sebuah negara oleh kekuatan negara-negara lain. Terminologi balance
of power merujuk pada distribusi kapabilitas negara pesaing maupun aliansi yang ada.
Semisal, Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memiliki perseimbangan kekuatan yang
sama selama masa Perang Dingin tahun 1970 an - 1980 an. Persaingan kedua adidaya
tersebut semasa itu, membentuk sebuah keberlangsungan control terhadap
perseimbangan kekuatan militer internasional.
Adapun teori balance of power memiliki asumsi dasar bahwa ketika sebuah negara
meningkatkan atau mengunakan kekuatannya secara lebih agresif, negara-negara yang
merasa terancam akan merespons dengan meningkatkan kekuatan mereka. Hal ini dikenal
dengan istilah counter balancing coalition. Contoh kasus seperti munculnya kekuatan
Jerman menjelang Perang Dunia I (tahun 1914-1918). Yang memicu formasi koalisi anti-
Jerman yang terdiri dari Uni Sovyet, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan beberapa
negara lain.
Signifikasi balance of power dalam Hubungan Internasional Berlandaskan kepada teori
balance of power. Negara hendaknya merespons ancaman yang muncul terhadap
pertahanan dan keamanannya dengan jalan meningkatkan kapabilitas kekuatan militer
sambil melakukan aliansi. Kebijakan sebuah negara dalam usaha membangun aliansi
berbasis geo-strategi guna mempertahankan teritorial dari ancaman ekspansi dikenal
dengan istilah containment policy. Hal ini dapat dilihat secara kongkrit ketika Amerika
Serikat menerapkan containment policy terhadap ancaman sosialisme komunis Uni Soviet.
AS melakukan aliansi dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah, Eropa, dan Asia.
Berikut juga upaya Amerika Serikat yang meningkatkan kapasitas kekuatan militer dan
persenjataannya selama Perang Dingin.
Secara teoritis, balance of power menganggap bahwa perubahan status dan kekuatan
internasional. Khususnya upaya sebuah negara yang hendak menguasai sebuah kawasan
tertentu, akan dapat menstrimulir aksi counter-balancing dari satu negara atau lebih. Dalam
keadaan yang demikian, proses perseimbangan kekuatan dapat mendorong terjaganya
stabilitas hubungan antar negara yang beraliansi alias merasa terancam. (passis ely)
Balance of power adalah konsepsi untuk mengatur dunia, meminimalisir konflik dengan
cara memberikan distribusi kekuatan kepada negara-negara di dunia dengan proporsi
tertentu. Ada yang menerjemahkannya dengan “pure balance” yang berarti benar-benar
seimbang adalah keadaan ideal untuk meredam konflik. Selain itu, ada pula yang
berpendapat bahwa keseimbangan yang ideal adalah imbalance, dimana ada yang kuat
dan yang lemah. Kondisi ini memaksa yang lemah untuk mengakui yang kuat dan
“menghormati”-nya, sehingga konflik dapat diredam. (pasis masykur)
bentuk perang masa depan yang mencakup semua aspek maka perang antara kedua
negara tersebut meluas sampai dengan perang dagang. Hal ini sejalan dengan beberapa
model balance of power pada abad 21 sebagaimana dijelskan T. V. Paul dalam bukunya
yang berjudul “Balance of Power and Practice in 21st Century” menyatakan Balance of
Power pada dasarnya terbagi atas 3 jenis, yaitu: Hard Balancing, Soft Balancing dan
Asymmetric Balancing. (Pasis imam)
kami lebih sependapat dengan data dan fakta yang disampaikan oleh Pasis Samsul
dikarenakan data yang disajikan oleh Penyaji lebih bersifat ke teori yang sebaiknya
digunakan sebagai poin analisa untuk menganalisa bagaimana teori balance of power ini
dihadapkan dengan konsep perang pada masa depan. (pasis jenris)
ANALISA
Dari uraian di atas dapat diambil suatu analisa bahwa di era kontemporer, terciptanya
kondisi perimbangan kekuatan yang berdampak bagi keamanan Asia tidak dapat
dilepaskan dari pergeseran peta politik internasional pasca Perang Dingin dimana dunia
memasuki tren multipolaritas. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya kekuatan-
kekuatan baru dalam menyaingi pengaruh Amerika Serikat di kawasan Asia, terutama di
wilayah timur. Akan tetapi sejauh ini, realitas masih menyatakan bahwa pergesaran
pengaruh Amerika Serikat di Asia masih sulit untuk dipatahkan, karena terdapat beberapa
negara di Asia yang masih bergantung pada bantuan Amerika Serikat, seperti Jepang dan
Korea Selatan yang membutuhkan bantuan dari Amerika Serikat dengan adanya ancaman
dari Korea Utara, kemudian Taiwan dan Filipina yang berlindung dari ancaman Tiongkok.
Meski pengaruh Amerika Serikat di Asia, terutama di wilayah Asia Timur masih dapat
dikatakan kuat, namun hal tersebut tidak menyurutkan kemunculan pandangan-pandangan
yang menyatakan bahwa poros kekuatan dunia mulai bergerak ke wilayah Asia. Pemikiran
tersebut didasarkan pada sikap dan pernyataan Tiongkok dan India yang menganggap
Amerika Serikat tidak dapat mewujudkan tujuan internasional dalam bidang politik, ekonomi
dan militer (Goldstein, 2003). Kedua negara tersebut dipandang sebagai dua emerging
power Asia yang dianggap akan mampu secara perlahan menggeser hegemoni Amerika
Serikat yang telah berlangsung sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. Munculnya
Tiongkok dan India dianggap mencerminkan konsep balance of power di kawasan Asia
namun di sisi lain juga mendorong terciptanya balance of power di kawasan Asia Selatan
dan Asia Timur mengingat keduanya dianggap sebagai ‘ancaman’ bagi tetangga-
tetangganya. Lebih jauh, ada tiga hal yang dapat mendorong terjadinya balance of power
di kawasan Asia, yaitu perkembangan teknologi, kondisi geografi dan kekuatan nuklir.
Perkembangan teknologi modern dapat menciptakan kesimbangan perilaku dalam periode
kontemporer karena dapat mengubah pandangan dari negara-negara untuk merumuskan
ulang kepentingan yang hendak dicapainya di era kontemporer dewasa ini. Sedangkan dari
sisi geografis, ukuran negara, konflik perbatasan, serta kedekatan dengan negara hegemon
Amerika Serikat mendorong Asia untuk melakukan perimbangan kekuatan. Pengembangan
senjata nuklir juga menjadi isu tersendiri di Asia yang menyebabkan semakin tingginya
security dilemma di kontinen tersebut sehingga balance of power dipandang sebagai salah
satu solusi terhadap permasalahan tersebut (Goldstein, 2003) (pasis zainullah)
Bentuk perang yang akan dihadapi di masa datang dihadapi dengan teori Balance of Power
adalah perang dimana ketika sebuah negara meningkatkan atau menggunakan
kekuatannya secara lebih agresif, negara – negara yang merasa terancam akan merespons
dengan meningkatkan kekuatan mereka khususnya di bidang teknologi. Merespons
ancaman disini adalah dengan jalan mengkatkan kapabilitas kekuatan militernya di bidang
teknologi sambil melakukan aliansi dengan negara lain. upaya sebuah negara yang hendak
menguasai sebuah kawasan tertentu, akan dapat menstrimulir aksi counter- balancing dari
satu negara atau lebih. Dalam keadaan yang demikian, proses perseimbangan kekuatan
dapat mendorong terjaganya stabilitas hubungan antar negara yang beraliansi alias merasa
terancam. (pasis rangkuti)
berdasarkan tulisan dari Davids Dickend, Direktur pusat kajian strategis Universitas Victoria
di Wellington memiliki pandangan bahwa ada 4 faktor utama yang menjadi indikator yang
mendukung terjadinya proses revolusi peperangan masa depan yaitu : 1) C4ISR
(Command, Control, Communication, Computer, Intelligence, Surveillance,
Reconnaissance). 2) Kerjasama antar matra, 3) Teknologi militer modern dan 4) Doktrin
pertempuran modern. Kemampuan suatu Negara untuk mengoptimalkan aspek-aspek
tersebut akan memberikan keunggulan dalam pembentukan Doktrin Militer/ pertempuran
yang memadai dihadapkan dengan tantangan perang masa depan. (pasis dhanu)
Paradigma perang yang mengemuka di berbagai belahan dunia saat ini dan ke depan
adalah timbulnya fenomena abstract war atau asymmetric warfare. Perang ini terjadi tanpa
mobilisasi pasukan, tanpa perang terbuka namun cukup dengan mengerahkan kemampuan
dan kecanggihan teknologi, informasi dan komunikasi yang dimiliki oleh suatu pihak dalam
menaklukan pihak lawan. Perang pada masa depan akan cenderung menggunakan
keunggulan teknologi, informasi dan komunikasi. Bentuk-bentuk perang tersebut, antara
lain :
• Perang Hibrida (Hybrid Warfare).
• 'Network Centric Warfare’ (NCW).
• 'Perang berbasis teknologi ‘robotic’ dan ‘nano-technology’.
• Perang Siber (Cyber Warfare). (pasis Masykur)
Apabila merujuk pada konsep perang masa depan sebagaimana dijelaskan dalam
pendahuluan di atas, bahwa pemanfaatan dan pengerahan kemampuan dan kecanggihan
teknologi, informasi dan komunikasi dalam lingkup sasaran di segala bidang, maka konsep
perimbangan kekuatan tidak lagi hanya terkonsentrasi pada satu sektor kekuatan saja.
Semua sektor kehidupan suatu negara merupakan wahana untuk melancarkan perang
masa depan. Di era globalisasi multi dimensional, kecenderungan Negara bangsa berubah
drastis. Kekuatan militer tidak lagi menjadi sebuah perhatian utama. Faktor geo-strategi
yang dulu menjadi pertimbangan penting begitu memudar secara signifikan akibat
perkembangan teknologi informasi dan transportasi. Sebagai gantinya, Negara bangsa
lebih memperhatikan bagaimana membangun produktifitas ekonomi dan perdagangan
secara lebih terbuka. Jadi bukan lagi untuk menjadi yang terkuat secara militer, namun lebih
kepada yang terkuat secara ekonomi. Sebagaimana yang terjadi saat ini perang dagang
antara Amerika Serikat dan China. (pasis Imam)
1. Perang masa depan dapat dikatakan sebagai perang generasi ke lima. Akhirakhir ini
mulai muncul wacana tentang Generasi V Perang (Fifth Generation of Warfare) yang
disebut sebagai “Information Operations/Warfare” melalui mass media, internet (cyber
warrior) yang dapat menimbulkan kerusakan luar biasa di segala bidang (ekonomi,
pertahanan, transportasi, politik dll) . Dalam menghadapi Generasi IV dan Generasi V
perang ini, khususnya yang dikendalikan oleh “non-state actor” dan “rogue state” (states
considered threatening to the world’s peace, such as being ruled by authoritarian regimes
that severely restrict human rights, sponsor terrorism, and seek to proliferate weapons of
mass destruction) Amerika Serikat menerapkan “nontrinity war” (war fought not by an army
on behalf of a people nor directed by some form of government for one or both sides in the
war) yakni dengan menerapkan “anticipatory strike”. Bahkan saat ini bersama sekutu-
sekutunya AS menerapkan “Proliferation Security Initiatives”(PSI) yang memungkinkan
negara-negara pendukung PSI mencegat kapal-kapal asing dan kapal-kapal lainnya yang
berlayar di laut bebas dan di perairan nasional jika dicurigai membawa senjata pemusnah
massal (WMD) dan atau bahan-bahannya untuk mencegah penyebarannya, khususnya
dari atau ke negara-negara yang dicurigai mengembangkan senjata nuklir atau WMD
lainnya.
2. Indonesia saat ini memasuki perang generasi kelima, yaitu perang yang tidak terlihat
bentuknya secara fisik dan tidak menggunakan senjata. Melainkan, perang informasi dan
propaganda, ekonomi, dan cyber attack. Bahkan peperangan ini memanfaatkan warga lokal
untuk memberontak pemerintah pusat yang berujung perang terbuka. Negara bisa hancur
lebur tanpa tentara dari negara lain datang kepada kita. Aspek-aspek yang pembentuk
Perang Generasi V adalah Kemajuan teknologi khususnya kemajuan bidang Internet,
dampak peningkatan kemampuan, informasi sebagai pemberdayaan kekuatan dan
pemerataan kekuatan, media sebagai organ independen yang lebih kuat, lebih luas, dan
lebih mandiri dari sebelumnya, batas negara tidak lagi menjadi penghambat lalu lintas data.
3. itu untuk menghadapi ancaman dan bentuk perang dimasa mendatang harus segera di
siapkan. Kemajuan Iptek harus dimanfaatkan untuk mendukung terwujudnya pertahanan
negara yang kuat. Seiring derasnya arus globalisasi yang mempengaruhi segala aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara, berbagai negara telah berlomba-lomba dalam
penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pertahanan
negaranya. (pasis syamsul)
Terdapat dua keadaan dimana sistem balance of power dapat berfungsi secara efektif.
Pertama, sekelompok negara dapat membentuk perseimbangan kekuatan ketika aliansi
telah mencair. Dengan begitu relatif mudah untuk pecah maupun terbentuk kembali
tergantung pada landasan pragmatis masing-masing negara. Hal ini meski harus
menafikkan faktor nilai, agama, sejarah, hingga bahkan bentuk pemerintahan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa sebuah negara dapat memerankan peran dominan dalam counter-
balancing seperti Inggris pada abad XVIII hingga abad XIX. Kedua, yakni dua negara
berbeda dapat saling melakukan perimbangan kekuatan dengan cara menyesuaikan
kekuatan militer masing-masing. Kita dapat menilik bagaimana Amerika Serikat dan Uni
Soviet yang secara bersamaan melakukan peningkatan kapabilitas militer. Untuk saling
bersaing memperoleh posisi terkuat di dunia saat Perang Dingin berlangsung. (pasis ely)