Anda di halaman 1dari 17

Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi Indonesia

BY MUHAMMAD TAUFIK AL-JUSTISIY JULY 28, 2013



Selama hampir tiga dekade terakhir, persisnya sejak publikasi Peter Noll yang
berjudul Gesetzgebungslehre pada tahun 1973, telah memberikan perhatian dan pengaruh
yang sangat besar terhadap studi keilmuan tentang fenomena legislasi. Sampai saat itu, Noll
melihat bahwa teori hukum telah secara eksklusif terfokus pada ajudikasi, sementara legislasi
tidak menjadi perhatian. Ilmu hukum (legal science) telah secara terbatas pada apa yang
disebut Noll sebagai a science of the application of rules (Rechtsprechungwissenschaft), yang
lebih banyak menfokuskan penerapan hukum oleh hakim. Padahal, menurutnya, kreasi para
hakim dan para legislator, atau judicial process dan legislative process, sesungguhnya
melakukan hal yang sama.
Prinsip legalitas sebagai dasar putusanputusan pengadilan dan keterbatasan hakim dalam
mengaplikasikan hukum, dalam perspektif yang demikian, jelas merupakan hal yang terkait
dengan otoritas atau kedaulatan pada legislator untuk membentuk aturanaturan hukum.
Perdebatan tentang hukum tidak cukup menggambarkan bagaimana negara dapat
menjalankan mandat hukum sebaikbaiknya, karena penerapan hukum tidak terpuaskan atau
sekedar mereduksi ilmu hukum sebagai ilmu dalam proses yudisial (rule application), yang
berkiblat pada aturan main hukum. Dalam konteks inilah, pendekatan ilmu hukum sebagai
suatu tatanan sistem dengan urgensi yang tidak perlu dipertanyakan lagi harus dikembangkan
terhadap teoriteori bagaimana hukum itu dibentuk (rule creation), terutama dalam kondisi
kekinian yang mana tantangan globalisasi dan intervensi kepentingan dalam dan luar negri
begitu aktif mencari celah setiap peluang dimana produk hukum dapat dipermainkan menurut
kepentingan masing-masing. Oleh sebab itu, diperlukan upaya mengembangkan atau
setidaknya memberikan gambaran lain tentang perspektif teoritik dalam legislasi.
Hingga kemudian pada giliranya para legislator dituntut wajib secara cermat mampu
berpandangan progresif dalam menjajaki kemungkinankemungkinan bagaimana pendekatan
teoriteori legislasi yang ada perlu direspon dengan pengembangan wacana legisprudence
secara kritis (critical legisprudence) guna menyesuaikan diri dengan iklim dunia perpolitikan
yang cenderung fluktuatif mengikuti selera pasar.
Sebagaimana telah dipahami bahwa ranah perpolitikan dalam jagad hukum dan kenegaraan
rentan dirasuki intervensi yang menghendaki segelintir kepentingan dengan mengabaikan
kaedah-kaedah kemanusian dan masyarakat banyak. Hal ini pula lah yang harus diwaspasdai
para pelaku pembentukan produk hukum suatu negara sebagai aktor penting yang
memainkan peran sebagai legislator yang berkuasa atas konstruksi undang-undang. Apalagi
bagi negara sekaliber Indonesia yang notabene merupakan negara kaya akan sumber daya
alam, tambang, pertanian, migas, kelautan dll yang mencengangkan setiap mata dan menjadi
iming-iming negara-negara adikuasa berpacu merebut sebidang kepentingan di tanah
Indonesia. Dalam salah satu segmentasi pembuktian dan kajian, globalisasi nyatanya turut
andil sebagai elemen yang memainkan peranan penting dalam mempengaruhi baik secara
terang-terangan maupun berdampak laten atas peta perpolitikan suatu bangsa.
Globalisasi merupakan tatanan sistem yang berkembang cepat dalam konteks kekinian yang
tidak saja berdampak positif namun juga membawa pengaruh negatif lainya apabila ketidak
mampuan dalam mengelola tatanan paradigma yang terbentuk mencapai tahap akut yang
mengkebiri setiap gerak laku dan pola kebijakan suatu negara.
Sejarah globalisasi sendiri dimulai ketika dunia dihadapkan pada tantangan zaman yang
menghendaki masing-masing negara bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi dalam
kondisi suhu perpolitikan yang semakin panas. Gerakan konstruktif pun berbalasan
dilancarkan saling serang antar negara yang berbentrokan kepentingan, mulai dari peta
kebijakan hingga peraturan perundang-undangan dalam negri pun disinyalir telah mendapat
serangan dari negara lawan. Dalam model perang generasi baru yang mengedepankan strategi
dan teknologi informasi berbagai upaya baru yang lebih canggih dan menghancurkan lawan
tidak hanya dari sisi luar namun juga dari dalam sendiri terus dikembangkan. Pelbagai kajian
dan penelitian model serangan ketatanegaraan semakin giat dilakukan demi mereduksi fungsi-
fungsi vital dan strategis yang pada giliranya akan melumpuhkan negara lawan bahkan dalam
tahap yang tidak disadarinya. Konsep globalisasi sendiri dapat dipahami dalam salah satu
segmentasinya sebagai kegiatan ekonomi, teknologi serta komunikasi. Revolusi informasi
mengarahkan kita ke dalam milenium ketiga yang tidak hanya menawarkan berbagai peluang
baru tetapi juga tantangan baru bagi umat manusia. Kondisi kehidupan telah mengalami
perbaikan, secara bersamaan telah menciptakan suatu jurang perbedaan yang dalam antara
orang-orang yang hidup di negara-negara maju dengan orang-orang yang hidup di negara yang
sedang berkembang dan negara-negara terbelakang (Levit dalam Dressler, G., 2006).
Ancaman bagi kedaulatan sebuah negara-bangsa dewasa ini menjadi semakin kompleks dan
rumit. Terorisme, misalnya, tidak dapat dikenali dalam terminologi perang simetrik. Ancaman
arus uang panas para spekulan juga dapat meruntuhkan fundamen ekonomi sebuah bangsa.
Para pengambil kebijakan baik dari kalangan sipil maupun militer perlu memahami jenis-jenis
ancaman baru dan cara terbaik untuk menangkalnya. Pemahaman baru tersebut perlu berpijak
pada paradigma atau model yang juga baru. Penelitian ini turut berupaya menjelaskan
pergeseran paradigma dalam memahami ancaman dan keamanan nasional dalam politik
legislasi Indonesia. Paradigma perang generasi ketiga bergeser menjadi perang generasi
keempat yang mana media, diplomasi dan think tank memainkan peranan penting.
Keamanan nasional pada umumnya dipahami dalam kerangka negara Westphalian yang
berfokus pada pengakuan resiprokal antara negara. Resiprositas tersebut pada gilirannya
menghasilkan konsep kedaulatan yang terbatas secara teritorial. Tulisan-tulisan lama tentang
keamanan nasional bersandar pada gagasan tentang perlindungan fisik terhadap teritori fisik
sebuah negara berdaulat. Sebab itu, monopoli terhadap penggunaan kekerasan yang absah
mutlak berada di tangan negara dalam wujud angkatan bersenjata. Persoalannya, negara
berdaulat tidak sekedar hadir sebagai protektor teritori fisik melainkan untuk sebuah tujuan
yang lebih luas. Dalam tulisan filsuf-filsuf kontinental seperti Locke, Hobbes dan Adam Smith,
negara tidak hanya berfungsi sebagai penjaga malam melainkan membangun masyarakat yang
beradab.
Negara adalah sebuah proyek etis untuk (bahasa pembukaan UUD 1945) melindungi segenap
bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Negara bukan
sekadar makhluk politik melainkan juga kultural yang bersendikan nilai atau prinsip hidup
bersama secara berkeadaban. Negara-kultural biasa disebut sebagai bangsa. Konsep negara-
bangsa pun harus dibaca dalam kerangka fungsi ganda negara melindungi teritori fisik (batas
wilayah) dan non fisik (kultur, keadaban). Globalisasi sendiri adalah berkah sekaligus ancaman
terhadap negara-bangsa. Di satu sisi, globalisasi dianggap berkah karena berkat dialah warga
sebuah negara dapat menikmati produk murah buatan negara lain. Di sisi lain, globalisasi
sering dicap sebagai ancaman terhadap fungsi kultural negara sebab menghilangkan lapangan
pekerjaan dan meningkatkan kemiskinan bahkan mengintervensi penegakan hukum hingga
politik perundang-undangan suatu negara. Perang kurs antara Amerika Serikat dan Cina
bersandar pada kepentingan kultural masing-masing negara dalam melindungi keadaban
bangsanya dari kehancuran ekonomi. Perang sudah bergeser dari adagium lama Clausewitz
tentang perang sebagai kepanjangan politik. Dewasa ini, perang dan politik bukan dua hal
terpisah yang mana satu adalah kepanjangan dari yang lain. Perang dan politik harus disebut
dalam satu tarikan nafas. Perang bukan lagi subjek dari hukum internasional melainkan
pondasi hukum itu sendiri. Watak perang yang meregulasi dan membuat tertib sosial sebangun
dengan watak hukum. Ketika dulu perang disubordinasi oleh struktur legal, maka sekarang
perang justru menciptakan dan memaksakan kerangka legalnya sendiri. Perang seputar kurs
yang dilancarkan Amerika terhadap Cina berupaya menciptakan kerangka legal internasional
yang memaksa negara-negara mengambangkan nilai kurs-nya untuk perdagangan yang lebih
fair dan setara. Segenap perang revolusi anti kolonialisme (termasuk perang revolusi
kemerdekaan RI) adalah upaya menumbangkan rejim kolonial dan menancapkan kode legal
dan bentuk kehidupan baru.
Watak ancaman yang berubah menuntut perubahan dalam cara kita berperang. Ancaman baru
terhadap kesehatan, kecerdasan, nilai, dan kebudayaan sebuah negara-bangsa tidak dapat lagi
dihadapi dengan angkatan bersenjata. Perang sudah memasuki fase baru yang biasa disebut
generasi keempat (fourth generation warfare). Generasi pertama perang modern didominasi
oleh tenaga manusia (manpower) dalam skala masif dan mencapai puncaknya pada perang
Napoleon. Generasi kedua didominasi oleh persenjataan (firepower) dan berakhir pada perang
dunia pertama. Generasi ketiga didominasi oleh manuver, siasat dan taktik. Generasi keempat
adalah bentuk perang baru yang berhadapan dengan fenomena insurgensi yang
memanfaatkan kekuatan ekonomi, politik, sosial dan militer untuk melemahkan legitimasi
moral musuh. Insurgensi juga memanfaatkan berbagai modalitas yang ada untuk meyakinkan
musuh betapa tujuan strategis dari perang tak mungkin dicapai dan mahal yang pada akhirnya
akan memperlemah, mematikan, hingga pada keadaan yang lebih parahnya negara yang
dikalahkan akan menjadi budak dari negara yang memenangkan perperangan bahkan
terhadap hal hukum dan politik. Dapat dibayangkan bagaimana ketika sebuah negara yang
dalam keadaan setengah sadar, nanar dalam tekanan tinggi berada dibawah intervensi asing,
terkhusus terhadap politik hukum dan legislasi maka kedaulatan negara secara tak langsung
telah tergadaikan tinggal menunggu penyerahan kekuasaan secara terang-terangan dari
negara yang telah habis masanya.
Hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum suatu negara
cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik
terhadap pembangunan hukum. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek yaitu proses
pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius constituendum (hukum yang akan dan
harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut
Thomas Dye yaitu : whatever the government choose to do or not to do. Politik hukum juga
didefinisikan sebagai pembangunan hukum.
Hukum adalah hasil tarik-menarik dari pelbagai kekuatan politik yang kemudian
diejawantahkan kedalam sebuah produk hukum. Dalam hal ini Satjipto Raharjo menyatakan,
bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan
undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan
pembuatan undang-undang menjadi medan perbenturan dan pergumulan kepentingan-
kepentingan. Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan
kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan
pembuat undang-undang menjadi penting karena pembuatan undang-undang modern bukan
sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan
membuat putusan politik terlebih dahulu.
Disamping konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang,
intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang.
Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan,
baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Di Indonesia intervensi pemerintah dalam bidang
politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan
Belanda sampai saat ini pemerintah sangat dominan di dalam mewarnai politik hukum di
Indonesia. Menurut Mahfud MD, politik hukum juga mencakup pengertian tentang bagaimana
politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang
pembuatan dan penegakan hukum. Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil
tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang
bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam
suatu masyarakat.
Urgensi suatu lembaga legislatif dalam keberadaanya di sebuah negara menjadi hal yang tidak
diragukan lagi. Selama lebih dari 200 tahun terakhir, lembaga legislatif merupakan institusi
kunci (key institution) dalam perkembangan politik negara-negara modern. Menilik
perkembangan lembaga-lembaga negara, lembaga legislatif merupakan cabang kekuasaan
pertama yang mencerminkan kedaulatan rakyat.



Rabu, 09 Januari 2013
PERANG ASIMETRIK ABAD 21 DI INDONESIA

STRATEGI PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN KOMPONEN KEKUATAN NASIONAL
DALAM MENGHADAPI PERANG ASIMETRIK ABAD 21 DI INDONESIA

Sigit Sasongko

Komponen kekuatan nasional Indonesia yang akan dibahas dalam tulisan ini terdiri dari diplomasi,
informasi, militer, dan ekonomi. Keempat unsur ini berkaitan satu sama lain dan saling membutuhkan,
militer yang kuat tentunya akan menimbulkan efek gentar strategis atau "strategicdeterrent effect"
(informational) kepada negara-negara di kawasan sehingga akan dapat menjadi daya tangkal
terhadap ancaman dari luar. Selain itu, militer yang kuat tentunya dapat mendukung upaya
diplomasi (diplomatic-political) agar memperoleh bargaining position yang memadai dalam setiap
penyelesaian suatu konflik dengan negara lain. Dengan bargaining yang kuat maka secara otomatis
militer akan melindungi momentum kemajuan ekonomi dari gangguan pihak luar maupun dalam
negeri, terutama dengan cara menciptakan stabilitas dalam negeri serta melindungi aset-aset
ekonomi. Hubungan seperti ini yang pada dasarnya belum optimal diaplikasikan dalam sistem
pertahanan negara Indonesia dalam menghadapi perang asimetris.
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai karakteristik perang asimetris abad 21 untuk
Indonesia kemudian strategi pembinaan dan pengembangan komponen kekuatan nasional
Indonesia untuk mengatasi perang asimetrik abad 21. Mengingat Indonesia mempunyai
posisi strategis diantara dua samudera dan dua benua tidak menutup kemungkinan banyak
ancaman yang harus dihadapi. Khususnya ancaman asimetris, Indonesia menghadapi dua
dimensi yang berbeda, di mana Indonesia berada di posisi yang kuat dalam menghadapi
aktor non-negara seperti terorisme dan separatisme di dalam negeri, namun dilain pihak
Indonesia berada di posisi yang lemah ketika berhadapan dengan negara besar seperti
halnya China.
Karakteristik Perang Asimetris Abad 21 untuk Indonesia
Di era globalisasi sekarang ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat
baik jarak maupun waktu menjadi sedemikian dekat. Globalisasi juga telah menciptakan
ruang baru dimana negara tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dalam percaturan ekonomi
maupun politik global. Fenomena ini juga telah menciptakan spectrum ancaman yang
sedemikian unik, suatu ancaman terhadap kehidupan manusia yang semakin luas dan
beragam. Ancaman tersebut bukan hanya berasal dari aktor-aktor negara berupa ancaman
agresi seperti timbulnya perang-perang besar. Namun fenomena yang terjadi sekarang ini
muncul ancaman-ancaman yang berasal dari aktor-aktor non-negara yang
perkembangannya lebih mengancam kedaulatan negara. Penguasaan terhadap suatu
negara dengan cara-cara lama melalui jalan perang secara langsung sudah mulai
ditinggalkan berganti dengan strategi perang secara tidak langsung dengan menguasai
kehidupan secara multidimensi. Tentara dan persenjataan canggih bukan lagi pemegang
monopoli kekerasan terhadap kemanusiaan, tetapi justru dari perangkat-perangkat sipil yang
tidak dibayangkan sebelumnya[1]. Fenomena-fenomena inilah yang kemudian muncul istilah
yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Asimetris.
Perang Asimetris lebih sering disebut sebagai perang generasi keempat yang merupakan
sebuah bentuk perang dengan menggunakan cara berpikir yang tidak lazim dan diluar
aturan peperangan yang berlaku karena berakar dari ketidakmampuannya menghadapi
kekuatan musuh yang lebih kuat. Rod Thornton dalam bukunya Asymmetric
Warfare mengemukakan bahwa Peperangan Asimetris adalah sebuah aksi kekerasan yang
dilakukan oleh si lemah melawan si kuat, dimana si lemah dapat berupa aktor negara atau
aktor non-negara, mencoba untuk menghasilkan pengaruh yang mendalam disemua level
peperangan dengan mengerahkan keunggulan yang dipunyai dan memanfaatkan
kerawanan-kerawanan dari pihak yang lebih kuat[2]. Globalisasi dan kemajuan teknologi
telah membuka sebuah era baru dalam peperangan yang melibatkan multi aktor. Indonesia
sebagai negara berdaulat menghadapi berbagai ancaman baik yang berasal dari luar
maupun dari dalam negeri, sadar atau tidak sadar ancaman dari dalam negeri terus
meningkat seiring dengan munculnya aktor-aktor non-negara yang bertujuan untuk
mempersempit ruang gerak pemerintahan, penyebaran terhadap ajaran-ajaran radikal,
eksistensi kelompok, dan tujuan politik untuk mengganti ideologi negara dengan sebuah
ideologi tertentu.
Munculnya aksi-aksi teror yang terjadi di Indonesia, menandakan hadirnya aktor non-negara
yang menginginkan tujuan tertentu dan bertentangan dengan negara. Gerakan terorisme di
Indonesia hampir seumur dengan berdirinya republik ini[3], kemudian menjadi sorotan dunia
internasional setelah terjadinya Bom Bali I dan Bom Bali II. Selain gerakan terorisme,
muncul pula berbagai kelompok separatisme seperti di Aceh oleh Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dan Papua oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Berbagai media digunakan oleh
kelompok-kelompok tersebut dengan memanfaatkan teknologi dan informasi untuk dijadikan
isu-isu yang dapat menggoyang dominasi negara dan penyelenggaraan pemerintahan.
Perlawanan ini dilakukan secara sistemik guna mendapatkan hati dan pikiran rakyat serta
lambat laun dapat menghancurkan negara dari dalam. Disinilah terjadi Asimetris yang
merujuk kepada kata ketidakseimbangan, dimana posisi aktor-aktor negara tersebut berada
di pihak yang lemah berusaha melakukan perlawanan terhadap aktor negara, yaitu
Indonesia sebagai pihak yang lebih kuat. Para aktor non-negara baik gerakan terorisme
maupun separatisme berusaha memanfaatkan kelemahan dan kerawanan yang dimiliki
bangsa Indonesia untuk dapat mewujudkan tujuan politiknya sehingga dapat memisahkan
diri dari Negara Indonesia.
Disamping menghadapi ancaman-ancaman dari keberadaan aktor-aktor non-negara yang
mempunyai keinginan untuk memisahkan diri, Indonesia sebagai bangsa berdaulat juga
menghadapi ancaman dari aktor-aktor negara yang berada di kawasan Asia Pasifik,
walaupun secara prediksi ke depan bangsa indonesia tidak akan mengalami agresi atau
invasi militer secara besar-besaran dari suatu negara. Namun yang perlu diwaspadai adalah
munculnya pengaruh-pengaruh negara-negara besar yang dapat mempengaruhi kebijakan
dan tata kelola pemeritahan dari tingkat lokal hingga global sehingga tidak dapat
melaksanakan fungsi pemerintahan dan negara secara baik. Konflik-konflik perbatasan,
konflik wilayah mengenai Sumber Daya Alam (SDA) menjadi trend ancaman yang terjadi
antar negara. Berbagai kepentingan muncul dengan wujud klaim-klaim wilayah yang
cenderung memiliki SDA yang diyakini dapat menjadi investasi negara di masa depan.
Contoh nyata adalah konflik Laut China Selatan yang menyangkut beberapa negara
tetangga Indonesia seperti Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina menghadapi klaim
wilayah yang dilakukan China. Indonesia yang secara tidak langsung ikut dalam konflik
tersebut, tetapi antara Indonesia dan China masih terdapat tumpang tindih teritorial di
sebagian wilayah perairan timur laut Kepulauan Natuna. Di Perairan tersebut terdapat tiga
blok eksplorasi minyak dan gas bumi milik Indonesia[4] yang memang menjadi klaim China
melalui nine dash lines policies-nya. Tumpang tindih teritorial ini harus menjadi tempat
khusus bagi Indonesia dengan tetap menjaga kewaspadaan terhadap kedaulatan dan
kepentingan nasional yang harus tetap dibela. Selain menghadapi permasalahan klaim
territorial, Indonesia China juga menghadapi suatu permasalahan asimteris dalam
menghadapi perdagangan bebas sebagai dampak dari penerapan ASEAN China Free
Trade Area (ACFTA), dimana terdapat keasimterisan dalam bidang ekonomi antara
Indonesia dan China yang bila dibiarkan akan menjajah Indonesia secara ekonomi.
Berhadapan dengan negara besar seperti China menempatkan Indonesia sebagai negara
yang lebih lemah dari China sehingga perlu strategi-strategi tertentu sebagai bentuk
peperangan asimetris.
Bersumber dari beberapa dimensi yang berbeda dimana Indonesia sebagai aktor negara
berhadapan dengan aktor non-negara (separatisme dan terorisme), Indonesia
memposisikan diri sebagai pihak yang lebih kuat seharusnya bisa mengoptimalkan
strateginya dengan Positive Asymmetric. Di lain sisi berhadapan dengan negara besar
seperti China, Indonesia harus mampu mengoptimalkan strategi dengan
menerapkan Negative Asymmetric sebagai bentuk strategi dari Peperangan Asimetris. Inilah
karakteristik perang Asimetris Indonesia dalam menghadapi ancaman dari aktor negara dan
aktor non-negara dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Komponen Kekuatan Nasional Indonesia Untuk Menghadapi Perang Asimetris
Dalam tulisan ini komponen kekuatan nasional yang dibahas dalam menghadapi Perang
Asimetris yang dilakukan oleh Indonesia adalah Diplomasi, Informasi, Militer, dan Ekonomi.
Diplomasi
Bertolak dari permasalahan ancaman asimetris terhadap Indonesia, sudah menjadi
kewajiban bagi pemerintah untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut sebagai potensi
ancaman bagi keselamatan dan kedaulatan NKRI. Ancaman asimetris tersebut dapat
dimanfaatkan oleh aktor-aktor baik negara maupun non-negara sebagai titik-titik rawan yang
dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
Pemerintah RI perlu berkomitmen bersama untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI
dari ancaman terorisme, separatisme atau disintegrasi yang dilakukan oleh sekelompok
aktor-aktor non-negara. Salah satunya adalah dengan menguatkan peran diplomasi, karena
diplomasi merupakan faktor terpenting dari segenap faktor yang menyebabkan suatu negara
menjadi kuat. Kualitas diplomasi dalam melaksanakan hubungan luar negeri dalam suatu
negara oleh para diplomatnya untuk kekuatan nasional dalam masa damai, sama artinya
dengan siasat dan taktik militer oleh pemimpin militernya untuk kekuatan nasionalnya dalam
masa perang[5]. Diplomasi Indonesia pada abad 21 dihadapkan pada berbagai perubahan
dan pergeseran kekuatan dalam lingkungan strategis global dan regional sebagai dampak
pada aspek hubungan antarnegara[6]. Dengan kualitas diplomasi yang bagus, pemerintah
RI dapat mempunyai suatu pengaruh maksimum atas masalah-masalah dalam situasi
internasional yang langsung menyangkut kepentingan negara.
Informasi
Informasi memegang peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan. Di era modern
sekarang informasi sangat mudah untuk diakses melalui media, baik media cetak maupun
elektronik. Kebebasan pers yang digaungkan oleh masyarakat menjadi batu loncatan bagi
para penyaji informasi di Indonesia untuk menggerakan bisnisnya semenjak pasca
reformasi. Namun kebebasan tersebut disamping mempunyai banyak manfaat positif juga
menjadi suatu kerawanan tersendiri bagi Negara RI.
Kerawanan informasi harus mendapat sorotan yang besar dari pemerintah. Banyak contoh
sudah terjadi akibat kebebasan informasi, karena informasi dapat dijadikan sebagai
kekuatan untuk melancarkan sebagaimana disebut sebagai perang informasi, seperti yang
terjadi di negara-negara Arab. Peristiwa Arab Spring seperti yang terjadi di Mesir, Libia, dan
Suriah, konflik yang terjadi di negara-negara tersebut berasal dari akses informasi melalui
media sosial sepertifacebook dan twitter yang berhasil dimanfaatkan oleh aktor-aktor non-
negara yang berkedudukan sebagai oposisi pemerintah untuk menggalang perlawanan
terhadap pemerintah yang syah. Akibat perang informasi yang sangat efektif dan dapat
dengan cepat merebut hati maupun pikiran rakyat maka dengan waktu yang relative singkat
timbul gejolak perlawanan yang besar terhadap pemerintahan.
Melihat peristiwa yang terjadi di negara-negara arab tersebut, sudah menjadi kewajiban
pemerintah memperhatikan peran informasi yang disampaikan atau diberitakan oleh media
sebagai sarana pembentukan opini publik dan menjadi strategi asimetrik bagi para aktor
non-negara. Tak luput dari itu semua juga perlu memperhatikan peranan LSM-LSM yang
berada di Indonesia yang memang keberadaannya terkadang menyudutkan pemerintahan
RI khususnya keberadaan aparat TNI dan Polri seperti yang berada di Papua sehingga
apabila dibiarkan akan dapat mengancam kedaulatan RI. Di era sekarang informasi sangat
mudah menyebar dan diakses oleh semua lapisan masyarakat. Media massapun dijadikan
sebagai sarana untuk melancarkan perang-perang informasi sebagai bentuk dari perang
urat syaraf dalam rangka merebut hati dan pikiran rakyat dengan harapan rakyat dapat
memberikan dukungan kepada aktor-aktor non-negara tersebut untuk memberikan
perlawanan terhadap pemerintah RI.
Militer
Perkembangan dunia militer saat ini tidak terlepas dari dinamika globalisasi. Globalisasi
menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam perikehidupan manusia yang pada
gilirannya membuat pola-pola konflik kepentingan bergeser sehingga bila konflik-konflik
tersebut tidak dapat dikelola dengan baik akan muncul beberapa ancaman terhadap
keamanan nasional suatu negara[7]. Terkait dengan ancaman separatisme yang ada di
Indonesia seperti halnya di Papua, dikarenakan kelompok separatis di Papua dalam
memperjuangkan kemerdekaan telah menggunakan peperangan asimetris dengan
melakukan cara menguatkan jalan diplomasi melalui ILWP (International Lawyer West
Papua) dan IPWP (International Parlementary West Papua). Kedua organisasi ini berusaha
meyakinkan dunia internasional untuk dapat mendukung perjuangan kemerdekaan di
Papua. Perlu suatu pendekatan khusus dalam menggunakan kekuatan militer sebagai salah
satu elemen kekuatan nasional, karena bila pemerintah RI terprovokasi untuk menggunakan
kekuatan militer secara besar-besaran dalam mengatasi permasalahan berupa separatisme
di Papua maka akan memberikan dampak negatif terhadap cara pandang dan opini
internasional terhadap perjuangan kelompok separatis yang menginginkan kemerdekaan
Papua.
Terkait dengan permasalahan dalam konflik Laut China Selatan, keberadaan militer menjadi
sangat diperlukan karena memegang peranan sebagai pemberi efek penangkal (detterent
effect) bagi negara-negara lainnya. Namun kondisi militer Indonesia khususnya TNI masih
jauh dari standar, baik kesejahteraan anggotanya maupun alutsista yang dimilikinya. Dalam
hal konflik Laut China Selatan kita perlu mengetahui kekuatan alutsista khususnya kekuatan
laut masing-masing negara yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Komparasi Kekuatan Laut di Kawasan Laut China Selatan 2012

China Indonesia Thailand Singapura Malaysia Philipina Vietnam
Submarines
SSBN
3

Tactical
(SSK)
68 2

5 2

2
Principal Surface Combatan (PSC)
Destroyer
13

Frigate
65 11 10 6 10 1 2
Patrol and
Coastal
combatant
(PCC)
211 67 83 35 37 63 62
Mine Warfare
73

Mine Counter
Measure
88 11 19 4 4

13
Mine Layer
1

Log &
Support
205 32 14 2 13 7 25
Landing
Aircraft
151 54 56 34 115 26 30
Landing
Ships
87 26 8

7 6
Amphibious
vessel
1 5

Aircraft
Carrier

1

Sumber : Military Balance 2012
Berdasarkan data tersebut Indonesia berada di posisi bawah setelah China, dan memiliki
keseimbangan dengan negara-negara lainnya, namun perlu disadari bahwa keberadaan
alutsista atau kekuatan laut Indonesia masih merupakan jumlah keseluruhan bukan
kekuatan yang sudah terbagi berdasarkan lokasi-lokasi tertentu, sehingga hal tersebut
menjadi penting bahwa kekuatan laut Indonesia belum cukup dalam menghadapi konflik di
Laut China Selatan apabila memang terjadi suatu pertempuran. Kondisi asimetris kekuatan
laut inilah supaya dijadikan menjadi bahan penting untuk tidak terlena dalam menghadapi
ancaman-ancaman dari aktor negara khususnya dalam konflik Laut China Selatan.
Berdasarkan tabel 1 diatas kondisi alutsista TNI AL masih berada di bawah rata-rata dari
jumlah ideal. Seperti halnya kapal selam TNI AL hanya memiliki 2 kapal selam dengan
kategori tactical submarine memiliki jenis patrol submarine (SSK)masih di bawah rata-rata
jumlah negara yang terlibat konflik yaitu 12 kapal selam. Jumlah kapal perang TNI AL
gabungan PSC dan PCC (78 unit) masih dibawah jumlah rata-rata kapal perang negara-
negara di kawasan Laut China Selatan (97 unit). Demikian juga dengan kapal pendukung
TNI AL (amphibious, logistic, dan support) dengan jumlah 112 unit masih berada di bawah
nilai rata-rata jumlah kekuatan kapal pendukung (128 unit) yang ada di kawasan Laut China
Selatan. Merujuk data perbandingan diatas perlu dirumuskan jumlah kekuatan laut yang
ideal sebagai bagian dari strategi penggunaan militer khususnya kekuatan TNI AL dalam
menghadapi konflik di Laut China Selatan sebagai ancaman asimetris yang dapat
mengganggu kedaulatan NKRI.
Ekonomi
Beragam kemajuan di bidang pembangunan ekonomi telah dialami Indonesia. Transformasi
ekonomi Indonesia telah membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan
bermula berbasis ekonomi yang berasal dari kegiatan pertanian tradisional lambat laun
bergeser menjadi negara dengan mengandalkan industri manukfatur dan jasa.
Indonesia juga memainkan peran yang makin besar di perekonomian global. Saat ini
Indonesia menempati urutan ekonomi ke -17 terbesar di dunia[8]. Perekonomian Indonesia
saat ini sedang diakui oleh dunia karena keberhasilannya dalam melewati krisis ekonomi
global tahun 2008, dan perbaikan peringkat hutang. Tantangan Indonesia di bidang ekonomi
ke depan sangatlah besar dan tidak mudah untuk ditangani. Salah satu tantangan ke depan
adalah penerapan ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) dimana terdapat penerapan
pembebasan bea masuk dan Meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui
pengurangan serta penghapusan tarif. Apakah Indonesia siap menghadapi tantangan dalam
bidang ekonomi ini, dimana terdapat perimbangan ekonomi dengan China yang masih
asimteris? Dan bagaimana strategi ekonomi Indonesia dalam menghadapi asimetris dalam
bidang ekonomi ini dengan China?
Strategi Pembinaan dan Pengembangan Komponen Kekuatan Nasional di Indonesia
Strategi Diplomasi
Dalam penggunaan kekuatan diplomasi perlu melihat situasi dan kondisi kawasan baik
regional maupun secara global khususnya di wilayah Asia Pasifik.Menghadapi ancaman
berkaitan dengan Peperangan Asimetris, Indonesia harus menyikapinya dengan dua
pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah dengan memperkuat penataan sistem politik
dalam negeri yang dapat memberikan stabilitas politik dalam negeri yang dinamis sehingga
menimbulkan efek penangkal yang tinggi. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan
keluar yang diarahkan untuk mendinamisasikan strategi dan upaya diplomatik melalui
peningkatan peran instrumen politik luar negeri dalam membangun kerja sama dan saling
percaya dengan negara-negara lain sebagai kondisi untuk mencegah atau mengurangi
potensi konflik antarnegara, yang dimulai dari tataran internal, regional, supraregional,
hingga global[9].
Melihat indikasi keterlibatan internasional, perlu suatu kerjasama berupa public
diplomacy[10] bilateral maupun multilateral diplomacy sebagai suatu strategi dalam soft
power yang meliputi negara-negara kawasan Asia Pasifik terkait dengan dinamika geopolitik
dan geostrategi yang diusung oleh masing-masing negara tersebut. Dengan meningkatkan
kerjasama diplomatik secarainterrelationship sesuai dengan kapasitas kepentingan nasional
Indonesia dengan pula memantapkan wawasan nusantara dan ketahanan nasional,
diharapkan memperoleh dampak yang positif dalam mempertahankan kedaulatan RI dari
ancaman terorisme, separatisme di Papua maupun dalam menghadapi negara besar seperti
China terkait permasalahan klaim territorial yang terdapat tumpang tindih.
Kegagalan-kegalan masa lalu Bangsa Indonesia dalam menghadapi tekanan dunia
internasional menjadi pelajaran tersendiri untuk dijadikan pedoman dalam mengambil
langkah di masa depan. Perlunya suatu hubungan baik antar negara baik di kawasan
regional maupun global dapat ditingkatkan dengan melaksanakan kerjasama
diplomatik secara aktif. Peran serta aktif lembaga-lembaga yang terlibat sebagai pengambil
keputusan harus dilaksanakan secarainterrelationship dalam mengambil langkah-langkah
dalam optimalisasi penggunaan kekuatan diplomasi sebagai bagian dari upaya
mempertahankan kedaulatan RI dari ancaman-ancaman asimetris yang datang dari baik
dari aktor negara maupun non-negara.

Strategi Informasi
Perlu suatu strategi khusus guna mengeliminir penyebaran informasi atau
untukmengounter perang informasi yang dilancarkan oleh aktor-aktor non-negara dalam
rangka menyudutkan pemerintah. Menghadapi peperangan informasi pemerintah
melalui Kementerian Pertahanan dan Kementerian Komunikasi dan Informasi perlu
mengadakan kerjasama secara interrelationship dan merumuskan kebijakan nasional untuk
mewujudkan keunggulan informasi dalam rangka pertahanan negara. Kebijakan nasional ini
berfungsi sebagai dasar hukum bagi pelaksanaan Operasi Informasi di seluruh jajaran
pertahanan militer dan nirmiliter melalui beberapa lembaga pemerintahan seperti TNI, Polri,
Pemda, BUMN maupun swasta untuk bersama-sama mencegah terjadinya penyebaran
informasi yang dapat menyudutkan pemerintah khususnya dalam rangka mencari dukungan
untuk memisahkan diri dari NKRI. Melaksanakan pemonitoran terhadap situs-situs di
internet yang mengarah terhadap provokasi dan ancaman separatisme maupun yang
berisikan penyebaran ajaran radikal yang dapat mengarah ke terorisme. Mengaktifkan
komunikasi antara pemerintah dengan rakyat seperti diadakannya program TMMD,
posyandu, pengobatan masal dan sebagainya yang bertujuan untuk meraih hati rakyat guna
mengantisipasi penyebaran paham terorisme dan separatisme yang dapat mengancam
kedaulatan negara RI.
Strategi Militer
Melihat kondisi yang ada maka penggunaan kekuatan militer sebagai polasecurity
approach dalam menghadapi permasalahan di Papua berupa ancaman separatisme harus
terus dikaji dengan menimbang berbagai faktor baik internal, regional maupun global.
Mengedepankan kerjasama pertahanan di kawasan merupakan cara berdiplomasi terbaik
dalam bidang militer guna meyakinkan dan menggalang opini dunia internasional untuk
menekan ancaman separatisme di Papua.
Adapun penggunaan kekuatan militer difokuskan sebagai pendukung dalam mengatasi
ancaman tekanan dari kelompok separatis bersenjata OPM dengan tetap
mengedepankan smart power yaitu menerapkan operasi intelijen berupa penyelidikan
maupun penggalangan sebagai langkah terbaik yang bersinergis dengan pemberdayaan
wilayah, ekonomi lokal dan komponen pembangunan lainnya. Dalam melaksanakan
strategi smart power ini, pemerintah perlu memberikan dukungan terhadap kebutuhan
masyarakat di Papua, seperti yang dikemukakan oleh David Galula bahwa salah satu cara
mengatasi pemberontakan adalah dengan mendukung kebutuhan penduduk[11].
Pemerintah harus jeli dalam menggunakan kekuatan militernya, yang terpenting disini
adalah bagaimana to win the heart and mind of people, sehingga bilapun pemerintah
menggunakan kekuatan militernya harus melalui strategi pemberdayaan kewilayahan sesuai
dengan karakter daerah dan penduduk seperti halnya di Papua guna merangkul masyarakat
untuk tetap mempertahankan kedaulatan RI dari ancaman separatisme.
Dalam menghadapi ancaman asimetris yang merupakan bagian dari konflik di kawasan Laut
China Selatan, maka pemerintah perlu mengoptimalkan keberadaan kekuatan militer
khususnya armada TNI AL dalam rangka perimbangan kekuatan guna menghadapi
ancaman di kawasan Laut China Selatan tersebut, perlu beberapa kajian dari pemerintah
seperti halnya rencana pemerintah menambah armada lautnya. Kekuatan angkatan laut
secara prinsip berbasis pada kekuatan Alutsista bukan pada kekuatan personel seperti
halnya angkatan darat[12]. Mengingat wilayah laut Indonesia sangat luas dan memiliki lokasi
strategis yang dijadikan sebagai lalu lintas kapal-kapal internasional sehingga memiliki
potensi terjadinya konflik yang sangat besar terutama di kawasan Laut China Selatan,
dengan dasar tersebut dapat dijadikan sebuah pertimbangan untuk membangun TNI AL
yang modern dan berwibawa.
Berdasarkan perbandingan di tabel 1 di atas, maka dalam merumuskan jumlah kekuatan
TNI AL khususnya kapal perang dapat berdasarkan perimbangan kekuatan militer negara-
negara di kawasan Laut China Selatan serta konsepsi gelar kekuatan TNI AL yang ideal.
Mengingat pula bahwa Grand Strategymiliteristik menekankan Postur TNI yang kuat secara
internasional[13], maka nilai rata-rata kawasan Laut China Selatan dapat digunakan sebagai
patokan jumlah kekuatan laut yang harus dimiliki oleh TNI AL. Merujuk perbandingan tabel
diatas maka dapat di rumuskan bahwa kekuatan laut untuk menghadapi ancaman dan
mengantisipasi terjadinya konflik di kawasan Laut China Selatan, maka idealnya kekuatan
TNI AL harus mempunyai jumlah kekuatan laut diatas rata-rata negara-negara kawasan
tersebut. Contohnya adalah TNI AL akan ideal bila memiliki 10 unit kapal selam
kategori tactical dengan tipe minimal SSN (attack submarine nuclear powered) dan 4 unit
kelas strategic dengan dilengkapi SLBM (submarine Launch Balistic
Missile)[14]. Sedangkan untuk membangun Postur TNI Laut yang kuat dan berwibawa,
maka perlu menambah jumlah kapal perang berkategori PSC berjenis destroyer dan cruiser,
Aircraft Carrier (CV), Aircraft Carrier Nuclear Powered (CVN), Helicopter Carrier
(CVH)[15] dan untuk PCC TNI AL yang ideal berupa penambahan kapal corvette dengan
kemampuan serang yang dilengkapi dengan SAM (Surface to Air Missile), Torpedo, maupun
senjata dengan kaliber 57 mm.
Sejumlah penambahan kekuatan laut tersebut akan digunakan untuk mendukung
operasional di perairan yuridiksi Indonesia dengan prioritas di kawasan sekitar Laut China
Selatan, seperti selat malaka atau yang menjadi wilayah Armada Barat (Armabar) sekarang
ini dengan penambahan kekuatan laut dari yang sudah ada diharapkan mampu menambah
pengamanan dan dapat mencegah terjadinya konflik yang lebih besar atau setidaknya
Indonesia tidak menjadi bangsa yang menjadi korban apabila terjadi konflik di kawasan
tersebut. Selain penempatan alutsista TNI AL yang berorientasi pada letak strategis
diharapkan mampu dimobilisasi atau bermanuver secara cepat bila terjadi gangguan yang
menyangkut keamanan di territorial Indonesia.
Strategi Ekonomi
Strategi ekonomi dengan meningkatkan daya saing ekonomi disusun sebagai solusi untuk
menghindari dan mengatasi dampak negatif dari perdagangan atau pasar bebas yang
merupakan konsekuensi diberlakukannya ACFTA. Diharapkan strategi ini dapat
menyeimbangan neraca perdagangan antara Indonesia China yang masih terdapat
keasimetrisan dalam kegiatan ekspor dan impor. Konsekuensi dari akan
diimplementasikannya komunitas ekonomi ASEAN dan terdapatnya Asean China Free
Trade Area (ACFTA) mengharuskan Indonesia meningkatkan daya saingnya guna
mendapatkan manfaat nyata dari adanya integrasi ekonomi tersebut[16].
Indonesia harus siap dalam menghadapi kebijakan penerapan ACFTA tersebut, yaitu
dengan memposisikan terlebih dahulu sebagai basis ketahanan pangan dunia, pusat
pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan dan sumber daya mineral. Hal
tersebut harus dilaksanakan karena Indonesia memang memiliki potensi demografi,
kekayaan sumber daya alam, dan posisi geografis Indonesia, yang bilamana diolah dengan
baik akan memberikan suatu posisi yang menguntungkan secara ekonomi bagi Indonesia.
Sebagai penyiapan strategi ekonomi dalam menghadapi penerapan perdagangan bebas
khususnya dengan China membutuhkan perubahan dalam cara pandang dan perilaku
seluruh komponen bangsa. Strategi yang dapat dijadikan sebagai solusi dalam menghadapi
keasimterisan ekonomi dengan China sebagai dampak dari penerapan ACFTA yang juga
merupakan prinsip dasar keberhasilan pembangunan[17] adalah sebagai berikut; (1)
Perubahan pola pikir (mindset)dimulai dari Pemerintah dengan birokrasinya; (2) Perubahan
membutuhkan semangat kerja keras dan keinginan untuk membangun kerjasama dalam
kompetisi yang sehat; (3) Produktivitas, inovasi, dan kreatifitas didorong oleh Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menjadi salah satu pilar perubahan; (4) Peningkatan
jiwa kewirausahaan menjadi faktor utama pendorong perubahan; (5) Dunia usaha berperan
penting dalam pembangunan ekonomi; (6) Kampanye untuk melaksanakan pembangunan
dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan; dan (7)
Kampanye untuk perubahan pola pikir untuk memperbaiki kesejahteraan dilakukan secara
luas oleh
Penutup
Merujuk karakter perang asimetris abad 21, Indonesia menghadapi beberapa permasalahan
yang melibatkan negara sebagai aktor utama menghadapi beberapa aktor baik negara lain
maupun non-negara. Ancaman asimetris yang dihadapi oleh Indonesia menjadi
permasalahan sekaligus tantangan yang harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah
maupun juga pemangku kepentingan lainnya. Pada abad 21 ini ancaman asimetris yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia menempatkan posisi Indonesia yang saling berlawanan
yaitu Indonesia dalam posisi asimetris positif dimana Indonesia menghadapi ancaman
terorisme dan separatisme, di sisi lain Indonesia berada di posisi sebagai asimetris negatif
manakala berhadapan dengan negara besar seperti China dalam permasalahan klaim China
di kawasan Laut China Selatan dan permasalahan ekonomi sebagai dampak penerapan
ACFTA.
Melihat karakter perang asimetris di Indonesia, maka pemerintah perlu mengerahkan
komponen kekuatan nasionalnya dengan strategi-strategi seperti yang telah dibahas di atas,
kemudian merujuk kepada model yang diusung oleh Arreguin Toff, Indonesia harus dapat
menempatkan dirinya untuk menghadapi ancaman asimetris dari kedua sisi yang berbeda
yaitu positif dan negatif asimetris.

Tabel 2. Arreguin Toff Model.
Ivan Arreguin Toff Model

Weak- Actor
Strategic approach

Direct Indirect
Strong-actor
Strategic
approach
Direct Strong - actor Weak - actor
Indirect Weak - actor Strong - actor

Berdasarkan model Arreguin Toff, seperti tabel yang di atas, bila Indonesia menempatkan
posisinya sebagai aktor yang kuat, dalam berhadapan dengan aktor yang lemah disarankan
untuk menggunakan dan menerapkan pendekatan strategis berupa indirect
approach manakala aktor yang lemah seperti halnya dalam kasus terorisme dan
separatisme menggunakan indirect approach juga sehingga berdasarkan model dalam tabel
2 maka Indonesia akan mengalami kemenangan. Pendekatan direct seperti penggunaan
militer, digunakan manakala aktor lemah menggunakan pendekatan direct juga berupa aksi
kekerasan menggunakan kekuatan bersenjata, yang intinya bahwa kemenangan tersebut
dapat tercapai bila pemerintah dapat merebut hati dan pikiran masyarakat atau rakyat
Indonesia itu sendiri.
Di sisi lain, pada saat Indonesia dalam posisi yang lemah, maka Indonesia harus
menguatkan pendekatan indirect-nya dengan menguatkan pilar-pilar komponen kekuatan
nasional Indonesia seperti halnya dalam diplomasi, informasi, militer maupun ekonomi
dengan memanfaatkan kerjasama-kerjasama baik bilateral maupun multilateral sehingga
mampu memberikan posisi tawar yang menguntungkan bagi Indonesia. Bilapun Indonesia
akan menggunakan pendekatan secara langsung, maka Indonesia harus bertransformasi
menjadi negara yang kuat dan memiliki komponen kekuatan nasional yang besar seperti
kekuatan diplomasi, informasi, militer, dan ekonomi yang kuat.
Demikian strategi-strategi yang ditawarkan dalam menghadapi ancaman asimetris sesuai
dengan karakter perang asimetris untuk Indonesia. Indonesia sangat perlu memperkokoh
komponen kekuatan nasionalnya. Keasimetrisan yang terjadi dari kedua sisi yang berbeda
harus mendapatkan perhatian serius bagi pemerintah, karena Indonesia harus siap
menghadapi segala kemungkinan ancaman asimetris yang dapat mengganggu kedaulatan
dan integritas bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka
Arreguin-Toft, Ivan. 2001.How the Weak Win Wars, dalam Jurnal International Security, Vol.26, No 1.

Bakrie, Connie R. 2007. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Dephan RI, 2008. Buku Putih Pertahanan RI 2008. Jakarta: Dephan RI.

Kementrian Koord Bid Ekonomi. 2011. Masterplan P3EI. Jakarta : Kementrian Koord Bid Ekonomi.

Kiras, James D. 2007. Irregular Warfare: Terrorism and Isurgency, dalam John Baylishlm, Strategy in the Contemporary World: An Introduction to
Strategic Studies, Second Edition, Oxford University Press.

Morgenthau, Hans J.. 1990. Politik Antar Bangsa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Muradi. 2012. Densus 88 AT Konflik, Teror, dan Politik. Bandung: Dian Cipta.

Octavian, Amarulla. 2012. Militer dan Globalisasi. Jakarta : UI Press.

Prabowo, J.S. 2010. Himpunan Catatan tentang Perang Gerilya Mao, Nasution, Che, Carlos, &
Crabtree.

Routledge. 2012. The Mililtary Balance 2012. UK: Routledge.

Thornton, Rod. 2007. Asymmetric Warfare. UK: Polity Press.

Winarno, Budi. 2011. Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Caps.

Internet

Sihombing, Denny L. 2010. Kekuatan Diplomasi dan Politik Luar Negeri Indonesia. Diakses
dari http://dennylorenta.wordpress.com/2010/05/05/kekuatan-diplomasi-dan-politik-luar-negeri%C2%A0indonesia/

Surat Kabar

Wisnu Dewabrata. 2012. Indonesia, ASEAN, dan Laut China Selatan dalam Kompas, Minggu 14
Oktober 2012



[1] Budi Winarno.2011. Isu-isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS, Hlm. 167.
[2] Rod Thornton.2007. Asymmetric Warfare. Cambridge: Polity Press. Hlm. 1.
[3] Muradi. 2012. Densus 88 AT Konflik, Teror, dan Politik. Bandung: Dian Cipta, hlm. 23.
[4] Wisnu Dewabrata. 2012. Indonesia, ASEAN, dan Laut China Selatan dalam Kompas, Minggu 14 Oktober 2012. Hal 10.
[5] Hans J. Morgenthau. 1990. Politik Antar Bangsa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, Hlm 213.
[6] Denny L. Sihombing. 2010. Kekuatan Diplomasi dan Politik Luar Negeri Indonesia. Diakses
darihttp://dennylorenta.wordpress.com/2010/05/05/kekuatan-diplomasi-dan-politik-luar-negeri%C2%A0indonesia/
[7] Amarulla Octavian. 2012. Militer dan Globalisasi. Jakarta : UI Press, Hlm 19
[8] Kementrian Koord Bid Ekonomi. 2011. Masterplan P3EI. Jakarta : Kementrian Koord Bid Ekonomi. Hlm. 14.
[9] Dephan RI, 2008. Buku Putih Pertahanan RI 2008. Jakarta: Dephan RI, hlm. 85.
[10] Diplomasi publik didefinisikan sebagai upaya mencapai kepentingan nasional suatu negara melalui understanding, informing, and
influencing foreign audiences. Jika proses diplomasi tradisional dikembangkan melalui mekanisme government to government relations,
maka diplomasi publik lebih ditekankan pada government to people atau bahkan people to people relations. Diplomasi Publik bertujuan
untuk mencari teman di kalangan masyarakat negara lain, yang dapat memberikan kontribusi bagi upaya membangun hubungan baik
dengan negara lain.
[11] James D.Kiras, Irregular Warfare: Terrorism and Isurgency, dalam John Baylishlm, Strategy in the Contemporary World: An
Introduction to Strategic Studies, Second Edition, Oxford University Press, 2007, hlm 177.
[12] Connie R. Bakrie. 2007. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm 178.
[13] Ibid. Hlm 190.
[14] Ibid. Hlm 182.
[15] Ibid. Hlm 187.
[16] Ibid. hlm 16.
[17] Ibid. hlm 28.

Anda mungkin juga menyukai