Anda di halaman 1dari 6

Ancaman Disintegrasi Bangsa

Nampaknya masalah separatisme di Indonesia tidak dapat hanya ditangani oleh satu lembaga
atau satu departemen saja. Perlu adanya kerja sama antar aparat pemerintah baik sipil maupun
militer dalam menangani separatisme, termasuk para tokoh adat, tokoh agama dan tokoh
masyarakat. Di Papua, masalah separatisme akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan.

Bila situasi keamanan terus memburuk, banyak pengamat yang memperkirakan Papua bakal
lepas dari NKRI. Tanda-tanda Papua akan segera lepas dari NKRI sudah sangat jelas. Mereka
saat ini ditengarai sudah memiliki sponsor yang siap mendukung kemerdekaan wilayah di timur
Indonesia ini, bahkan Papua saat ini sudah sangat siap untuk lepas dari Indonesia.

Maraknya aksi penembakan dan penghadangan oleh kelompok separatis Papua telah
meresahkan masyarakat Papua. Sasaran tembak kini tidak hanya kepada aparat TNI dan Polisi,
namun masyarakat umum serta karyawan Freeport kini dijadikan target. Sehingga tak
mengherankan bila hampir tiap hari terjadi penghadangan dan penembakan oleh orang tak
dikenal (OTK) yang diyakini banyak orang adalah separatis Papua. Hal ini telah menambah
keyakinan kita bahwa kelompok separatis kini sudah menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Pada
hari Selasa pagi sekitar pukul 09.30 WIT tgl 20/10 insiden penembakan terjadi lagi. Dua orang
karyawan PT Tembagapura menjadi korban luka akibat berondongan peluru oleh sekelompok
orang tak dikenal.

Saya hanya berharap agar kepolisian tidak menganggap remeh situasi ini, yang hanya
menganggap mereka adalah pelaku kriminal. Kekuatan dan kemampuan mereka tidak pernah
kita ketahui, untuk itu kewaspadaan dan antisipasi harus terus dijaga. Karena disinyalir kini
mereka cukup terorganisir dengan rapi dan memiliki sponsor serta dana yang cukup besar pula.
Dana itu diperkirakan berasal dari dana otonomi khusus yang hingga saat ini tidak sampai pada
masyarakat. Data yang kami terima, pemerintah telah mengucurkan dana trilyunan rupiah kepada
masyarakat Papua, tapi dana itu ternyata tidak dikelola dengan baik dan tidak dirasakan secara
langsung oleh masyarakat Papua, kemungkinan besar dana tersebut disimpan untuk digunakan
pada saat yang tepat.
Selain itu Intelijen asing diyakini memiliki andil yang besar munculnya gerakan separatis
akhir-akhir ini. Banyak warga Papua yang sebenarnya tidak tahu apa-apa, telah dipengaruhi dan
dimanfaatkan oleh pihak asing untuk kepentingan mereka. Ancaman lepasnya Papua sebenarnya
sudah di depan mata dan siap meledak kapan saja sehingga bisa kita ibaratkan bagai api dalam
sekam. Kita sebagai masyarakat awam hanya bias berharap agar aparat kepolisian tidak
bertindak ceroboh dan lemah dalam menangani aksi-aksi brutal yang dilakukan oleh para
separatis-separatis tersebut, bekerja samalah dengan aparat TNI dan tokoh-tokoh masyarakat
setempat sehingga dalam penanganannya bias cepat dan tepat sasaran dengan demikian Papua
tetap dalam bingkai NKRI.

Ribet [ribet_ledeng@plasa.com](mbs)

https://news.okezone.com/read/2009/10/23/230/268533/kekerasan-di-papua-ancaman-
disintegrasi-bangsa. Jum'at 20 Oktober 2010 10:32 WIB

Organisasi Papua Merdeka

https://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Papua_Merdeka

Halaman ini terakhir diubah pada 25 Juni 2019, pukul 12.03.

Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965
untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang
sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya, dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan bagi provinsi
tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan.] Sejak awal OPM telah menempuh jalur dialog
diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan
sebagai bagian dari konflik Papua. Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora
dan simbol lain dari kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang
negara, yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia dimulai pada Mei
1963 di bawah Perjanjian New York.

Hubungan Belanda dan Nugini Belanda sebelum perang berakhir dengan diangkatnya warga
sipil Papua ke pemerintahan,sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan tahun 1963. Meski sudah
ada perjanjian antara Australia dan Belanda tahun 1957 bahwa teritori milik mereka lebih baik
bersatu dan merdeka, ketiadaan pembangunan di teritori Australia dan kepentingan Amerika
Serikat membuat dua wilayah ini berpisah. OPM didirikan bulan Desember 1963 dengan
pengumuman, "Kami tidak mau kehidupan modern! Kami menolak pembangunan apapun:
rombongan pemuka agama, lembaga kemanusiaan, dan organisasi pemerintahan. Tinggalkan
kami sendiri! [sic]"

Nugini Belanda mengadakan pemilu pada Januari 1961 dan Dewan Nugini dilantik pada
April 1961. Akan tetapi, di Washington, D.C., Penasihat Keamanan Nasional McGeorge Bundy
melobi Presiden A.S. John F. Kennedy untuk menegosiasikan transfer pemerintahan Nugini
Barat ke Indonesia. Perjanjian New York dirancang oleh Robert Kennedy dan ditandatangani
oleh Belanda, Indonesia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Agustus 1962.

Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan nasib sendiri sesuai
piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB dengan nama "Act of Free Choice",
Perjanjian New York memberikan jeda tujuh tahun dan menghapuskan wewenang PBB untuk
mengawasi pelaksanaan Akta tersebut. Kelompok separatis mengibarkan bendera Bintang Kejora
Papua Barat pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap sebagai
hari kemerdekaan Papua. Kepolisian Indonesia berspekulasi bahwa orang-orang yang melakukan
tindakan seperti ini bisa dijerat dengan tuduhan pengkhianatan yang hukumannya berupa
kurungan penjara selama 7 sampai 20 tahun di Indonesia,

Deklarasi Republik Papua Barat

Protes "Bebaskan Papua Barat" di Melbourne, Australia, Agustus 2012

Menanggapi hal tersebut, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth Roemkorem
dan Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan kemerdekaan Papua pada tahun 1971.
Tanggal 1 Juli 1971, Roemkorem dan Prai mendeklarasikan Republik Papua Barat dan segera
merancang konstitusinya. Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada
perpecahan OPM menjadi dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin
Roemkorem. Perpecahan ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu pasukan
tempur yang terpusat.

Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia sering menerima surat
dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta bantuan dalam rencana pemberontakan
musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan OPM. Mulai 23 Juli sampai 7 September
1977, milisi OPM melaksanakan ancaman mereka terhadap Freeport dan memotong jalur pipa
slurry dan bahan bakar, memutus kabel telepon dan listrik, membakar sebuah gudang, dan
meledakkan bom di sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport memperkirakan kerugiannya
mencapai $123.871,23. Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah
kepemimpinan Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui kampanye
diplomasi internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan internasional untuk
kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum internasional seperti PBB, Gerakan Non-Blok,
Forum Pasifik Selatan, dan ASEAN.

Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi dan kota yang
didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini langsung diredam militer Indonesia
dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini menciptakan eksodus
pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke kamp-kamp di Papua Nugini.

Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa OPM kembali
aktif di daerah mereka dan sejumlah karyawan Freeport adalah anggota atau simpatisan OPM.
Tanggal 18 Februari, sebuah surat yang ditandatangani "Jenderal Pemberontak" memperingatkan
bahwa "Pada hari Rabu, 19 Februari, akan turun hujan di Tembagapura". Sekitar pukul 22:00
WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar dengan gergaji,
sehingga "banyak slurry, bijih tembaga, perak, emas, dan bahan bakar diesel yang terbuang."
Selain itu, mereka membakar pagar jalur pipa dan menembak polisi yang mencoba mendekati
lokasi kejadian. Tanggal 14 April 1986, milisi OPM kembali memotong jalur pipa, memutus
kabel listrik, merusak sistem sanitasi, dan membakar ban. Kru teknisi diserang OPM saat
mendekati lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta bantuan polisi dan militer.[1]

Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan sejumlah orang
Eropa dan Indonesia; pertama dari grup peneliti, kemudian dari kamp hutan. Dua sandera dari
grup pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan.

Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak di pulau Biak.
Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer Indonesia membubarkan mereka.
Filep Karma termasuk di antara orang-orang yang ditangkap.[8]

Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia, ditembak oleh
orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian Indonesia menduga sang penembak
adalah anggota OPM. Rangkaian serangan terhadap polisi Indonesia memaksa mereka
menerjunkan lebih banyak personel di Papua.[9]

Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM menembak
mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia adalah transmigran asal Sumatra
Barat.

Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang mengakibatkan
kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera. Tanggal 31 Januari 2012,
seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram obat-obatan terlarang di perbatasan
Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut diduga akan dijual di Jayapura. Tanggal 8 April
2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air setelah mendarat yang akan parkir di
Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan bersenjata OPM tiba-tiba melepaskan
tembakan ke pesawat, sehingga pesawat kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan.
Satu orang tewas, yaitu Leiron Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak
di leher. Pilot Beby Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan peluru. Yanti
Korwa, seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4 tahun,
Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan mundur ke hutan sekitar
bandara. Semua korban adalah warga sipil. Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang
diserang OPM mengakibatkan seorang warga sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat
yang ditembak di bagian kepala dan perut. Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca.
Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban adalah
anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah berusia 8 tahun. Bocah tersebut
ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada.[15]

Hierarki organisasi dan otoritas pemerintahan

Organisasi internal OPM sulit untuk ditentukan. Pada tahun 1996 'Panglima Tertinggi' OPM
adalah Mathias Wenda.[16] Juru bicara OPM di Sydney, John Otto Ondawame, mengatakan telah
lebih atau kurang dari sembilan titah kemerdekaan.[16] Jurnalis lepas Australia, Ben Bohane,
mengatakan telah ada tujuh titah kemerdekaan.[16] Tentara Nasional Indonesia mengatakan OPM
memiliki dua sayap utama, 'Markas Besar Victoria' dan 'Pembela Kebenaran'. Mantan yang lebih
kecil, dan dipimpin oleh ML Prawar sampai ia ditembak mati pada tahun 1991. Terakhir ini jauh
lebih besar dan beroperasi di seluruh Papua Barat.[16]

Organisasi yang lebih besar, atau Pembela Kebenaran (selanjutnya PEMKA), yang diketuai
oleh Jacob Prai, dan Seth Roemkorem adalah pemimpin Fraksi Victoria. Selama pembunuhan
Prawar, Roemkorem adalah komandannya.

Sebelum pemisahan ini, TPN/OPM adalah satu, di bawah kepemimpinan Seth Roemkorem
sebagai Komandan OPM, kemudian menjadi Presiden Pemerintahan Sementara Papua Barat,
sementara Jacob Prai menjabat sebagai Ketua Senat. OPM mencapai puncaknya dalam
organisasi dan manajemen (dalam istilah modern) karena sebagai struktural terorganisasi.
Selama ini, Pemerintah Senegal mengakui keberadaan OPM dan memungkinkan OPM untuk
membuka Kedutaan di Dakhar, dengan Tanggahma sebagai Duta Besar.

Karena persaingan, Roemkorem meninggalkan markasnya dan pergi ke Belanda. Selama ini,
Prai mengambil alih kepemimpinan. John Otto Ondawame (waktu itu ia meninggalkan sekolah
hukum di Jayapura karena diikuti dan diancam untuk dibunuh oleh ABRI Indonesia siang dan
malam) menjadi tangan kanan dari Jacob Prai. Itu inisiatif Prai untuk mendirikan Komandan
Regional OPM. Dia menunjuk dan memerintahkan sembilan Komandan Regional. Sebagian
besar dari mereka adalah anggota pasukannya sendiri di kantor pusat PEMKA, perbatasan
Skotiau, Vanimo-Papua Barat.

Komandan regional dari mereka , Mathias Wenda adalah komandan untuk wilayah II
(Jayapura – Wamena), Kelly Kwalik untuk Nemangkawi (Kabupaten Fakfak), Tadeus Yogi
(Kabupaten Paniai), Bernardus Mawen untuk wilayah Maroke dan lain-lain. Komandan ini telah
aktif sejak itu. Kelly Kwalik ditembak dan dibunuh pada 16 Desember 2009. Pada tahun 2009,
sebuah kelompok perintah OPM yang dipimpin oleh Jenderal Goliat Tabuni (Kabupaten Puncak
Jaya) sebagai fitur pada laporan menyamar tentang gerakan kemerdekaan Papua Barat

Anda mungkin juga menyukai