Anda di halaman 1dari 6

Apa itu OPM?

Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah istilah umum bagi gerakan


prokemerdekaan Papua yang mulanya adalah reaksi orang Papua atas sikap
pemerintah Indonesia sejak 1963.

Perlawanan secara bersenjata pertama kali diluncurkan di Manokwari pada 26 Juli


1965.

"Dari sejak itu OPM berjuang terus," cetus Sebby kepada BBC News Indonesia pada
Rabu (12/12).

Dalam perkembangannya, laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC)


berjudul The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement yang
diterbitkan 24 Agustus 2015 menyebut organisasi ini 'terdiri dari faksi yang saling
bersaing'.

Sejarah

Selama Perang Dunia II, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) dipandu


oleh Soekarno untuk menyuplai minyak demi upaya perang Jepang dan langsung
menyatakan merdeka dengan nama Republik Indonesia pada 17 Agustus
1945. Nugini Belanda (Nugini Barat) dan Australia yang menjalankan pemerintahan
di teritori Papua dan Nugini Britania menolak penjajahan Jepang dan menjadi sekutu
pasukan Amerika Serikat dan Australia sepanjang Perang Pasifik.

Hubungan Belanda dan Nugini Belanda sebelum perang berakhir dengan diangkatnya


warga sipil Papua ke pemerintahan[3] sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan tahun
1963. Meski sudah ada perjanjian antara Australia dan Belanda tahun 1957 bahwa
teritori milik mereka lebih baik bersatu dan merdeka, ketiadaan pembangunan di
teritori Australia dan kepentingan Amerika Serikat membuat dua wilayah ini
berpisah. OPM didirikan bulan Desember 1963 dengan pengumuman, "Kami tidak
mau kehidupan modern! Kami menolak pembangunan apapun: rombongan pemuka
agama, lembaga kemanusiaan, dan organisasi pemerintahan. Tinggalkan kami
sendiri!

Nugini Belanda mengadakan pemilu pada Januari 1961 dan Dewan Nugini dilantik


pada April 1961. Akan tetapi, di Washington, D.C., Penasihat Keamanan
Nasional McGeorge Bundy melobi Presiden A.S. John F. Kennedy untuk
menegosiasikan transfer pemerintahan Nugini Barat ke Indonesia. Perjanjian New
York dirancang oleh Robert Kennedy dan ditandatangani oleh Belanda, Indonesia,
dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Agustus 1962.

Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan nasib
sendiri sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB dengan
nama "Act of Free Choice", Perjanjian New York memberikan jeda tujuh tahun dan
menghapuskan wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta tersebut.
[6]
 Kelompok separatis mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat pada
tanggal 1 Desember setiap tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap sebagai hari
kemerdekaan Papua. Kepolisian Indonesia berspekulasi bahwa orang-orang yang
melakukan tindakan seperti ini bisa dijerat dengan tuduhan pengkhianatan yang
hukumannya berupa kurungan penjara selama 7 sampai 20 tahun di Indonesia.

Deklarasi Republik Papua Barat

Protes "Bebaskan Papua Barat" di Melbourne, Australia, Agustus 2012


Menanggapi hal tersebut, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth
Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan kemerdekaan Papua
pada tahun 1971. Tanggal 1 Juli 1971, Roemkorem dan Prai
mendeklarasikan Republik Papua Barat dan segera merancang konstitusinya.

Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM menjadi
dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin Roemkorem.
Perpecahan ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu pasukan tempur
yang terpusat.

Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia sering


menerima surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta bantuan dalam
rencana pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan
OPM. Mulai 23 Juli sampai 7 September 1977, milisi OPM melaksanakan ancaman
mereka terhadap Freeport dan memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar, memutus
kabel telepon dan listrik, membakar sebuah gudang, dan meledakkan bom di
sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport memperkirakan kerugiannya mencapai
$123.871,23.

Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah kepemimpinan
Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui kampanye diplomasi
internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan internasional untuk
kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum internasional seperti PBB, Gerakan
Non-Blok, Forum Pasifik Selatan, dan ASEAN.

Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi dan kota
yang didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini langsung diredam
militer Indonesia dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini
menciptakan eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke kamp-kamp
di Papua Nugini.
Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa OPM
kembali aktif di daerah mereka dan sejumlah karyawan Freeport adalah anggota atau
simpatisan OPM. Tanggal 18 Februari, sebuah surat yang ditandatangani "Jenderal
Pemberontak" memperingatkan bahwa "Pada hari Rabu, 19 Februari, akan turun
hujan di Tembagapura". Sekitar pukul 22:00 WIT, sejumlah orang tak dikenal
memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar dengan gergaji, sehingga "banyak slurry,
bijih tembaga, perak, emas, dan bahan bakar diesel yang terbuang." Selain itu,
mereka membakar pagar jalur pipa dan menembak polisi yang mencoba mendekati
lokasi kejadian. Tanggal 14 April 1986, milisi OPM kembali memotong jalur pipa,
memutus kabel listrik, merusak sistem sanitasi, dan membakar ban. Kru teknisi
diserang OPM saat mendekati lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta
bantuan polisi dan militer.

Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan
sejumlah orang Eropa dan Indonesia; pertama dari grup peneliti, kemudian dari kamp
hutan. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan.

Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak di
pulau Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer Indonesia
membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang yang ditangkap.

Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia,


ditembak oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian
Indonesia menduga sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian serangan
terhadap polisi Indonesia memaksa mereka menerjunkan lebih banyak personel di
Papua.

Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM
menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia adalah
transmigran asal Sumatra Barat.
Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang
mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera.

Tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram


obat-obatan terlarang di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut
diduga akan dijual di Jayapura.

Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air setelah
mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan
bersenjata OPM tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat
kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu orang tewas, yaitu Leiron
Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak di leher. Pilot
Beby Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan peluru. Yanti Korwa,
seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4
tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan mundur
ke hutan sekitar bandara. Semua korban adalah warga sipil.

Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan
seorang warga sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat yang ditembak di
bagian kepala dan perut. Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca.

Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu
korban adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah berusia
8 tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada.

1.Latar Belakang : DAYAK VS MADURA Penduduk asli Kalimantan Barat adalah


Suku Dayak yang hidup sebagai petani dan nelayan Selain suku asli, suku lainnya
yang juga telah masuk ke bumi Kalimantan adalah Melayu, Cina, Madura, Bugis,
Minang dan Batak. Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di
bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan
dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia.Tahun 2000, transmigran membentuk 21%
populasi Kalimantan Tengah.

3. 2.PERMASALAHAN :

 Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa


Indonesia atau Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat pendidikan
mereka rendah, kebanyakan mereka memakai bahasa daerahnya masing-masing.
Dengan demikian seringkali ditemui kesalah pahaman di antara mereka. Terlebih jika
umumnya orang Madura berbicara dengan orang Dayak, gaya komunikasi orang
Madura yang keras ditangkap oleh Orang Dayak sebagai kesombongan dan
kekasaran.

 Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang satu-satunya terjadi, karena
telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik
besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan
600 korban tewas.Salah satu insiden yang terjadi adalah kebakaran yang disebabkan
oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar
rumah-rumah di permukiman Madura. Sedikitnya 100 warga Madura dipenggal
kepalanya oleh suku Dayak selama konflik ini. Suku Dayak memiliki sejarah praktik
ritual pemburuan kepala (Ngayau).

4.  Ditambah lagi muncul persoalan bahwa suku Dayak merasa tidak puas dengan
persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif. Hukum-
hukum baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap
banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan
perkebunan

Anda mungkin juga menyukai