Anda di halaman 1dari 37

BAB IV

KABUPATEN JAYAPURA DALAM KONTEKS PAPUA

Bab ini akan mendiskusikan situasi umum Kabupaten


Jayapura yang menjadi lokasi penelitian, meliputi penjelasan
mengenai posisi geografis, keadaan demografis serta kondisi
kehidupan sosial, politik serta ekonomi sebagai subjek penelitian.
Gambaran tersebut, pada gilirannya, berguna dalam memahami
pola-pola interaksi antar sesama migran maupun antara migran
dengan Orang Asli Papua. Meski demikian, membicarakan
Kabupaten Jayapura tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks
Papua keseluruhan. Oleh karena itu, sebelum membahas
gambaran umum Kabupaten Jayapura, maka disertasi ini juga
akan memaparkan sekilas mengenai tahapan-tahapan penting
sejarah Papua, yang berdampak signifikan dalam perubahan
masyarakat, baik secara struktural maupun kultural.

4.1. Papua dari Masa ke Masa


4.1.1. Masa Sebelum Kolonialisme
Sebelum memasuki era modern, masyarakat di wilayah
Papua pada umumnya adalah pemburu dan peramu (Boelars,
1986: 3). Mereka hidup dari mengambil apa yang sudah
disediakan oleh alam sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.
Alam Papua sangat kaya, sementara kebutuhan hidup waktu itu
amatlah sederhana. Hal ini memunculkan sikap hidup bersahaja,
mengutamakan kebersamaan dan saling percaya. Sikap-sikap
luhur itu pula yang membuat masyarakat Papua di masa lalu
mudah menerima dan mempercayai pihak-pihak luar yang masuk
ke wilayah mereka.
Banyak penjelajah dan peneliti membuktikan bahwa
interaksi masyarakat “asli” Papua dengan para migran
sesungguhnya sudah terjadi sejak lama. Kitab Negara Kertagama
karya Mpu Prapanca dari Majapahit menyebutkan bahwa pada
abad ke 14 Majapahit sudah menguasai wilayah Wwunin (Onim),

49
Fak-Fak. Wilayah yang dimaksud itu terletak di barat daya
Kepala Burung (Muller, 2008: 85; Mealey, 1996:42). Kemudian
Tahun 1663 Nicolaes Vinck, seorang penjelajah dari Eropa,
menyaksikan komunitas di pesisir barat daya Papua telah
berhubungan dengan komunitas yang ada di bagian barat Berau
(Teluk Bintuni). Demikian pula dengan John MacCluer yang
berlayar sampai di Kepala Burung dan Teluk Berau pada tahun
1791. Dia menyebutkkan masyarakat setempat sudah melakukan
transaksi dagang antara sesama penduduk yang berada di
sepanjang pesisir pantai selatan Kepala Burung sampai ke barat
laut Inanwatan dan ke arah pegunungan Ayamaru (Timmer dan
Ballard, 2003).
Catatan sejarah bangsa-bangsa luar yang datang ke Papua
pada umumnya karena motif untuk mencari hasil bumi berupa
rempah-rempah. Sejalan dengan pencarian hasil bumi tersebut,
ternyata kemudian wilayah Papua juga menyimpan banyak
kelebihan mulai keindahan alam sampai pada hasil tambang
emas, gas alam dan sejumlah hasil bumi lainnya, sehingga para
orang luar tertarik bahkan sampai memberi tanda bagi Papua
atau nama. Sepanjang sejarah nama “Papua” telah tercatat pada
tahun 200 setelah Masehi )1800 tahun yang lalu) ada seorang ahli
Geografi yang bernama Ptolemy dari Yunani, dan menamai
“Labadios”, artinya pulau yang indah. Tahun 600-an sesudah
Masehi, para pelaut Persia, Gujarat dan India menyebutnya
Dwipanta” atau “Samudra” yang berarti “Ujung Samudra”, akhir
tahun 600 sesudah masehi (1400 tahun lalu) Sriwijaya
menamakan Papua sebagai “Janggi”, Orang tiongkok pada tahun
800 Masehi memberi nama “Tungki”, demikian pula orang hindu
menamai Papua “Negara Ujung lautan”(Wally: 2018, 56).
Pada tahum 1528 seorang komandan armada Spanyol
yang bernama Alvaro de Saavedra, sebagai gubernur, utusan
spayonl di Tidore. Kedatangan mereka terutama untuk mencari
rempah-rempah (Djafaar, 2006). Disamping karena misi Gold,
Gospel dan Glory. Papua dianggap pula sebagai milik Spanyol
sejak tahun 1554 hingga tahun 1663 (Bachtiar, 1963:56). Dan

50
diberi nama Nueva Guinea, artinya milik mahkota Spanyol
sampai penguasaan Spanyol diserahkan ke pihak Kolonial
Belanda dan berubah nama menjadi Nieuw Guinea dan pada
tahun 1956 menjadi Nederland Nieuw Guinea (Wally, 2018: 57).
Pada abad ke16 Kesultanan Tidore juga menyatakan
wilayah Papua di bawah kekuasaannya tepatnya tahun 1816.
Tidore kemudian mengirimkan armada perdagangan dan tentara
untuk monopoli di wilayah tersebut (Mealey,1996:43).
Selanjutnya Tidore mengirimkan armada-armada (hongi)
pemungut pajak hasil bumi dari warga pesisir (Bachtiar, 1994:
49). Wilayah Papua diberi nama Papu Ua, yang artinya negeri
dengan penduduk berkulit hitam, berambut kriting, yang belum
mempunyai pemimpin atau raja. Ada pula yang menyebutnya
“Papa Ia” yang artinya tidak bergabung dan tidak bersatu (wally,
2018).

4.1.2. Dari Kolonisasi hingga Dekolonisasi


Klaim Belanda atas wilayah Papua (Irian Barat) sebagai
daerah koloni dimulai sejak tahun 1823. Secara de facto
kekuasaan Belanda ditandai dengan pendirian benteng Fort Du
Bus pada 24 Agustus 1828. Namun akibat serangan penyakit
tropis dan beberapa kali serangan penduduk setempat membuat
Belanda meninggalkan Papua pada tahun 1836 (Materay, 2012:
7). Saat wilayah Tidore mengakui kekuasaan kerajaan Belanda
tahun 1872, duapuluh enam tahun kemudian tepatnya tahun 1898
Belanda kembali lagi ke Papua. Saat itu menurut Baidjo
(2013:31), Papua dibagi oleh Para penjajah, Belanda menempati
Papua bagian barat, Jerman bagian utara Papua bagian timur dan
Inggris bagian selatan Papua timur. Sejak itu Papua bagian barat
dikenal sebagai Nuigini Belanda atau Nederlands New Guinea
(Dustch New Guinea) dan merupakan bagian dari Hindia
Belanda.
Akhir kekuasaan Belanda setelah tentara Jepang
menguasai Indonesia pada tahun 1942. Kehadiran Jepang tidak
bertahan lama, di tengah janji Jepang akan memberikan

51
kemerdekaan kepada Indonesia yang disampaikan langsung oleh
Marsekal Terauchi kepada Soekarno, Moh. Hatta, dan Radjiman
Wediodiningrat ternyata Jepang lebih dulu jatuh di tangan sekutu.
Hiroshima dijatuhi bom atom pada tanggal 6 Agustus 1945 dan
Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Jepang menyerah, semua
wilayah jajahannya harus ditinggalkan termasuk Hindia Belanda.
Keadaan tersebut di atas membuat pihak Indonesia tidak
berharap banyak atas kemerdekaan dari Jepang. Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merupakan bentukan
Jepang diharap dapat melakukan langkah-langkah kongrit lewat
Soekarno, ternyata banyak mendapat tantangan dari para pemuda
yang berkeinginan untuk segera merebut kemerdekaan tanpa
syarat. Melalui usaha perjuangan yang tidak mudah dengan
situasi saat itu Seokarno dan Mohammd Hatta akhirnya
memproklamasikan Indonesia sebagai negara merdeka dan
berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945 tepatnya pukul 10.00
WIB di Pegansaan Timur 56 Jakarta (sekarang Jalan proklamasi).
Pada tanggal 23 Agustus 1945, enam hari setelah proklamsi
kemerdekaan, Soekarno mendeklarasikan kesatuan Indonesia
“dari Sabang Sampai Merauke”.
Pasca proklamasi pengambilalihan beberapa objek vital
yang masih berada kekuasaan Jepang disaat itu pula sekutu
AFNEI (Allied Force Netherlands East Indies) datang untuk
melucuti kekuasaan tentara Jepang sebagai posisi penengah di
bawah komando Letnan Jenderal Sir Philip Christison yang
semula tugas utamanya adalah tugas-tugas kemeliteran dialihkan
ke tugas-tugas administratif (Baidjo, 2013:33). Kehadiran sekutu
di Indonesia dalam rangka tugas tersebut ternyata Belanda
berkeinginan membangkitkan semangat kolonialisme, yakni
NICA (Netherlands Indies Civil Administration) berada
dibelakang keinginan kolonial tersebut. Kondisi ini membuat
ketegangan dan penolakan keberadaan sekutu. Aksi meliter tidak
dapat dielakkan. Pertempuran hebat diberbagai tempat, di
Surabaya, Ambarawa, Sumatra Utara, padang, Bandung, dan
beberapa daerah lainnya.

52
Pada 15 - 25 Juli 1946 berlangsung Konferensi Malino
atas prakarsa Hubertus Johannes Van Mook dengan agenda
pembentukan Negara-Negara di wilayah Indoensia sebagai
bagian negara federal (Abdullah,2012), termasuk pembentukan
negara yang meliputi daerah-daerah di Indoensia bagian timur.
Tindak lanjut konferensi Malino dilanjutkan dengan konferensi
Denpasar pada 18- 24 Desember 1946 dengan terwujudnya
Negara Indonesia Timur. Tidak termasuk Irian Barat di
dalamnya. Kejadian ini membuat Indoensia protes dan berhasil
diredam oleh Van Mook dengan bujukan bahwa Irian Barat akan
menjadi menjadi wilayah Indonesia Timur yang akan diatur
kemudian. Menurut Van Mook, Belanda tidak menginginkan
Irian Barat terpisah dari wilayah Indonesia. Apa yang
disampaikan oleh wakil Belanda tersebut ternyata kemudian tidak
sejalan dengan kebijakan Parlemen Belanda, dan semakin jelas
siasat Belanda untuk memisahkan Irian Barat dari Indonesia
dengan memasukkan dalam organisasi South Pasific Commission
yang berkantor pusat di Noumea (Samoa) pada 6 Februari 1947
(Djamhari dkk, 2000: 5).
Pemerintah Indonesia berusaha menempuh jalan
diplomasi, melalui perundingan ke perundingan. Perjanjian
Renville (1948) dan Perjanjian Roem-Roijem (1949) tidak
membahas status Papua, maka pada Konferensi Meja Bundar
yang berlangsung di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus 1949
Indonesia berusaha terus mendesak Belanda. Dalam perjanjian itu
disepakati bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah
Republik Indonesia, kecuali Papua Barat akan dikembalikan
Belanda ke pangkuan NKRI setelah 2 (dua) tahun kemudian.
Kesepakatan yang dituangkan dalam Konferansi Meja
Bundar pada kenyataannya diingkari oleh Belanda sendiri.
Belanda tidak hanya sekedar bertahan di Papua, tetapi lebih dari
itu, mempersiapkan langkah-langkah untuk memisahkan Tanah
Papua dari NKRI. Dewan nasional Papua dibentuk oleh Belanda
(cikal bakal Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan dimerdekakan
secara tergesa-gesa lalu dilanjutkan pendeklarasian negara

53
boneka buatan Belanda ini pada tanggal 1 Desember 1961. Taktik
Belanda membentuk negara boneka di Papua itu, membuat pihak
Indonesia berang. Maka pada tanggal 19 Desember 1961 dari
Alun-alun Utara Jogjakarta, Presiden Indonesia Soekarno
mengumumkan Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk
mengembalikan Irian Barat kepangkuan Negara Republik
Indonesia. Konfrontasi dengan Belandapun tak terhindarkan.
Periode 1952-1962 dikenal dengan periode dekolonisasi.
Pada periode ini Belanda melakukan pembangunan infrastruktur
secara besar-besaran. Anggaran pemerintah Belanda untuk Papua
meningkat lima kali lipat antara tahun 1950 sampai 1961
(McGibbon, 2004:11). Belanda mencoba menarik simpati warga
dengan memberi perhatian pada layanan publik dan kesejahteraan
orang Papua. Perubahan kebijakan politik Belanda ini ditempuh
untuk memperbaiki citra mereka di mata orang Papua. Bagi
pemerintah Belanda, kebijakan ini jauh lebih penting daripada
berperang dengan Indonesia. Amtenar Belanda, misionaris dan
penjelajah alam mulai berdatangan untuk melakukan perubahan-
perubahan diberbagai bidang. Jumlah orang-orang Belanda yang
tinggal di Papua pun meningkat dua kali lipat, dari 8500 orang
pada tahun 1950 (Garnaut dan Manning, 1979:13), menjadi
15000 orang pada tahun 1961 (Osborne, 1985:19).
Periode dekolonisasi membawa orang Papua dalam proses
perubahan dan pembentukan identitas baru. Para misionaris,
pegawai kolonial, penjelajah hutan dan kaum naturalis yang
tekun dan fanatik, mulai menjelajah dari wilayah dataran rendah
sampai daerah pegunungan yang terjal. Dengan berbagai cara
mereka berusaha mendekati orang Papua (Mealey, 1996:47).
Mereka juga memperkenalkan bahasa Melayu dan ide-ide barat
kepada orang Papua (Meteray, 2012: 31). Pemerintah kolonial
menerapkan aturan-aturan untuk menjaga ketertiban sosial dan
memungkinkan berlangsungnya penjelajahan. (Akhmad, 2016).
Pemerintah Belanda menempatkan orang–orang kulit
putih pada lapisan atas pemerintahan. Lapisan menengah
ditempati orang Indonesia dari luar Papua, seperti Ambon, Key,

54
dan Manado yang berperan guru dan karyawan perusahaan.
Lapisan bawah adalah Orang Asli Papua. Diskriminasi tersebut
tentu menimbulkan rasa rendah diri dan tertekan bagi warga asli.
Akan tetapi hal itu juga memunculkan inspirasi gerakan kultus
barang lkan (cargo cult) di Papua. Cargo cult merupakan suatu
jawaban masyarakat suku di Papua untuk mengobati trauma yang
diakibatkan oleh kontak mereka dengan orang-orang Eropa
(Strelan. G, dan Jan A Godschalk. 1989). Gejala seperti ini juga
bagian dari cara mengobati rasa tertekan dan rendah diri ketika
mereka membandingkan identitas mereka dengan para pendatang
(Akhmad, 2016).
Demi mempertahankan kekuasaanya di Papua, Belanda
kemudian mengeluarkan kebijakan yang memberi perhatian pada
pendidikan bagi anak-anak Papua, khususnya anak-anak kepala
suku. Mereka dikirim ke OSIBA atau Sekolah Pamong Praja
Papua dan setelah itu mereka ditempatkan menjadi bestir. Bahkan
ada di antara orang Papua yang memiliki pengalaman menjadi
asisten yang diperbantukan HPB (Hoofd Plaaststelijk). Kebijakan
menempatkan orang Papua pada posisi penting di pemerintahan
tersebut tidak lain untuk menentang klaim Indonesia atas wilayah
Papua (McGibbon, 2004: 11).
Melalui upaya diplomasi yang alot yang
difasilitasi Perserikatan Bangsa-bangsa,
Belanda akhirnya mau menandatangani New York Agreement
bersama Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1962.
Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh
Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann (Wihardyantie
dkk, 2018). Isi kesepakatan itu intinya memuat road
map penyelesaian sengketa atas wilayah Papua/Irian Barat.
Perserikatan Bangsa-bangsa kemudian membawa Persetujuan
bilateral New York Agreement ini ke dalam forum sidang
Perserikatan Bangsa-bangsa, yang kemudian diterima dan
dikukuhkan menjadi Resolusi Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-bangsa Nomor 1752 yang mulai berlaku 21 September
1962. Agar pihak Belanda tidak merasa dipermalukan dan

55
kehilangan muka di forum internasional tersebut, penyerahan
kekuasaan dari Belanda atas Irian Barat (Papua) dilakukan secara
tidak langsung. Pihak Belanda menyerahkannya kepada
Perserikatan Bangsa-bangsa, baru setelah itu pihak Perserikatan
Bangsa-bangsa menyerahkanya ke pemerintah Indonesia melalaui
referendum (PEPERA) (Pamungkas, 2015).
Referendum atau PEPERA secara resmi dimenangkan
pihak Indonesia. Akan tetapi pelaksanaan Pepera ini pula yang
banyak menuai protes oleh sebagian masyarakat dan elit-elit
Papua. Semakin tahun semakin banyak orang Papua yang
menggugat keabsahan Pepera. Bahkan ada yang menganggap
pelaksanaan Pepera di bawah tekanan militer (Meteray, 2012;
Kartikasari dkk, 2012, Pogau, 2012). Legitimasi Pepera yang
diragukan itu telah merong-rong legitimasi Indonesia atas Papua.
Pada 1 Oktober 1962, wakil gubernur jenderal Belanda H.
Veldkamp menyerahkan kekuasaannya atas Irian Barat kepada
sebuah badan Perserikatan Bangsa Bangsa yang khusus dibentuk
untuk masalah Papua. Badan itu bernama UNTEA (United
Nations Temporary Executive Authority). Pada acara
penyerahan itu, H. Veldkamp mengatakan :
“Mulai saat ini, akibat persetujuan Indonesia akibat
persetujaun Internasional yang berhubungan dengan itu,
maka tanah dan bangsa Nieuw Guenea Barat telah
ditempatkan di bawah kepemerintahan yang baru :
Penguasa sementara perserikatan bangsa-bangsa.
Kedaulatan Netherlands atas tanah ini telah berakhir.
Tibalah suatu jangka waktu yang baru, jangka mana
berlangsung sampai pada saat pertanggunganjawab atas
pemerintahan diserahkan kepada Indonesia sepenuhnya.”
(Sihombing, 2005:32).
UNTEA lalu mempersiapkan referendum. Pada tanggal 1 Mei
1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat
kepada Indonesia. Hollandia yang tadinya menjadi pusat
kekuasaan kerajaan Belanda di Papua, diubah namanya
menjadi Kota Baru (Jayapura).

56
4.1.3. Era Integrasi
Pengintegrasian wilayah Papua ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia penuh dengan sejarah panjang sejak
tahun 1940-an sampai dengan tahun 1960-an menguras energi,
banyak jiwa yang melayang baik dari pihak Belanda maupun
Indonesia. Strategi diplomasi, ekonomi dan politik dilancarkan
oleh Indonesia untuk merebut Papua dari keinginan Belanda
mempertahankan sebagai negara boneka ditentang oleh Sukarno
dengan memaklumkan Trikora. Dari alun-alun Utara Yogyakarta
pada tanggal 19 Desember 1961 mengistruksikan kepada Mayor
jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Militer
Trikora yang bermarkas di Makassar dengan melakukan
penerjunan tentara sukarelawan (wally, 2018: 78). Sampai Papua
dikuasai kembali oleh Indonesia pada tahun 1 Mei 1963 dan
dengan lewat jajak pendapat penentuan pendapat rakyat
(PEPERA) 1969.
Momentum 1 Mei ini hingga kini diperingati
sebagai Hari kembalinya Papua ke dalam NKRI. Tiga hari
kemudian, tepatnya 4 Mei 1963 Soekarno menjejakkan kakinya
di Tanah Papua. Di hadapan ribuan orang Papua di Kota Baru
(Jayapura), Soekarno dengan semangat berapi-api berorasi
menyampaikan pidato:
“Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam
wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang
berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu
Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu
sudah masuk ke dalam wilayah Republik
Indonesia…” (Subandrio, 2001: 14)
Perjuangan merebut Irian Barat menunjukkan konsistensi
Indonesia untuk mempertahankan wilayah kedaulatannya dengan
keterlibatan segenap para pejabat sipil dan meliter. Untuk
mengenang perjuangan tersebut Presiden Soekarno membangun
Patung pembebasan Irian Barat di lapangan Banteng Jakarta
(Saksono, 1992). Oleh karena letaknya di jalan lapangan Banteng
maka patung tersebut dikenal dengan Patung Lapangan Banteng.
Pengakuan dunia internasional atas kedaulatan Indonesia di

57
Papua beriringan dengan penggantian nama nama Irian diganti
menjadi Irian Barat sejak 1 Mei 1963.
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1973 sesuai dengan
peraturan Nomor 5 tahun 1973 nama Irian Barat resmi diganti
oleh Presiden Soeharto menjadi nama Irian Jaya (Kurniawan,
2016). Peralihan penuh Papua dari tangan Belanda ke Republik
Indonesia, terjadi pula perubahan orientasi kebijakan, dari
pembangunan ekonomi rakyat pribumi ke pembangunan ekonomi
migran sebagaimana di kemukakan Aditjondro dalam (Akhmad,
2005). Pemerintah pusat dan provinsi melakukan kebijakan
pembangunan dengan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan
cara membuka kawasan-kawasan yang potensial di seluruh
Papua. Wilayah tersebut makin terbuka untuk kedatangan orang
luar. Kota-kota seperti Jayapura, Sorong, Timika, Merauke,
Biak dan Nabire dan lainnya segera dipenuhi pendatang dengan
profesi beragam. Ada Pegawai Negeri Sipil, Tentara, Polisi,
pedagang, dan lain-lain. Sebagian besar para migran tersebut
adalah mereka yang dari suku Bugis-Makassar dan Jawa-Madura
yang identik dengan etnis muslim. Komunitas-komunitas Bugis-
Makassar dengan mudah dapat ditemui di pasar-pasar dan sentra-
sentra bisnis.
Oleh karena penduduk asli masih berorientasi pada kultur
berburu dan meramau, maka sektor ekonomi seperti perdagangan
dan jasa, termasuk pertanian, banyak dimasuki dan dikuasai oleh
para migran tersebut. Akibatnya, penduduk asli seperti hidup
dalam dunia mereka yang telah diubah oleh para pendatang.
Budaya berburu dan meramau tidak lagi compatible dengan dunia
yang sudah berubah itu. Kalau dahulu mereka tidak memerlukan
uang tunai karena segala sesutau diambil langsung dari alam,
maka sekarang uang menjadi penting karena segala sesuatau
harus dibeli. Selian itu bermunculan kebutuhan yang memang
tidak bisa diambil dari alam, seperti kebutuhan bahan bakar,
biaya pendidikan, listrik, telekomunikasi, dll yang semua harus
dibeli dengan uang. Budaya berburu dan meramau tidak memiliki
tradisi berdagang dan menjadi pegawai, maka mereka tidak

58
mampu bersaing dengan migran.Terjadilah kesenjangan sosial
dan ekonomi antara penduduk asli dan migran.

4.1.4. Era Otonomi Khusus Papua


Berakhirnya rezim Orde Baru yang ditandai berhentinya
Presiden Seoharto pada tanggal 21 Mei 1998, telah melahirkan
dinamika baru bagi konstalasi politik tanah air dari Sabang
sampai Merauke. Komponen masyarakat Papua merespon
moment tersebut dengan menyampaikan aspirasi secara terbuka
atas ketidakpuasan, rasa ketidakadilan, ketimpangan ekonomi
serta pelanggaran HAM sejak bersama dengan Republik
Indonesia. Melalui “Tim 100”, tokoh-tokoh elit Papua diterima
oleh Presiden B.J. Habibie pada tanggal 26 Februari 1999. Salah
satu point penting dari pertemuan tersebut adalah permintan
secara terbuka untuk memisahkan diri dari bagian Republik
Indonesia (Maniagasi, 2001:33).
Respon balik pemerintah terhadap tuntutan tersebut
disikapi dengan melakukan langkah-langkah kongkrit. Dalam
rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan negara
hadir di tengah rakyat dibentuk dua Provinsi tambahan dari yang
ada oleh Presiden B.J. Habibie yaitu Provinsi Irian Jaya Tengah
dan Irian Jaya Barat dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 1999
tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya
Barat yang sepekan kemudian Gubernurnya diangkat melalui
Dekrit Presiden No. 327/1999. Namun besarnya arus demonstrasi
penolakan terhadap pembentukan Provinsi tersebut akhirnya
tanggal 16 Oktober 1999 DPRD Irian Jaya menolak keputusan
tersebut (Muryantini, 2016). Undang-Undang dan Dekrit tersebut
dibatalkan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid.
Pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid
muncul aspirasi untuk mengembalikan nama Papua dari nama
Irian Jaya. Atas pertimbangan kultural dan akomodasi terhadap
keingianan masayarakat Papua, akhirnya permintaan tersebut
dapat disetujui oleh Pemerintah Pusat pada tanggal 1 Januari
2000. Presiden sendiri saat berkunjung ke Papua menyampaikan

59
bahwa nama Provinsi Irian Jaya diubah menjadi Provinsi Papua.
Pada Mei 2000 nama Papua secara resmi dipertegas dalam
Kongres Rakyat Papua sebagai bentuk kebanggaan identitas
kepapuaan (Maniagasi, 2001: 34).
Serangkaian dinamika politik Papua pasca Orde Baru di
tingkat lokal yang semakin panas membuat pemerintah pusat dan
Pemerintah daerah berinisiatif untuk mengambil langkah-langkah
penyelamatan integritas kedaulatan NKRI di Papua dengan
mendorong model pemerintahan dengan status Otonomi Khusus
bagi Papua. Konsep otonomi khusus dianggap sebagai tawaran
yang paling realistis saat itu untuk mengakhiri perdebatan antara
pihak pemerintah pusat dan masyarakat Papua. Melalui berbagai
forum kajian dan proses perdebatan yang intens termasuk
mengakomodir draf akademik yang diserahkan ke pusat, akhirnya
pada tanggal 20 Oktober 2001 DPR-RI menetapkan Rancangan
Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi
Undang-Undang. Presiden Megawati saat itu pada tanggal 21
November 2001 menandatangani Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua (Solossa, 2006). Otonomi khsusus Papua
diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat untuk mengatur dan
mengurus sendiri pemerintahannya dengan mendapatkan
kewenangan yang lebih besar, mengatur dan mengelola dan
mengatur segenap sumber daya yang dimiliki dengan tidak
meninggalkan tanggung jawab untuk memberikan kontribusinya
kepada kepentingan nasional. (Nasution, 2010: 45-46).
Era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencoba
menindaklanjuti kekhususan Papua dengan langkah-langkah
kongkrit sebagaimana amanat otonomi khusus. Majelis Rakyat
Papua (MRP) sebagai representasi kultural Orang Asli Papua pun
disahkan oleh Presiden pada tanggal 23 Desember 2004 dengan
sejumlah kewenangan khsusus yang ada pada lembaga tersebut
yang dibagi dalam tiga bagian, adat, perempuan dan agama.
Lembaga ini yang mengawal berbagai pelaksanaan kebijakan di

60
Papua agar mengarah kepada keberpihakan dan sebagai bentuk
perlindungan terhadap hak-hak dasar Orang Asli Papua.
Perjalanan Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Papua
tahun 2001 sampai saat ini tentu terdapat banyak kekurangan,
banyak yang menilai belum optimal, bahkan ada yang menilai
gagal dalam mesejahterakan rakyat Papua. Meski demikian,
Gubernur Papua Lukas Enembe menyatakan bahwa “Otsus Papua
tidak gagal” (Enembe, 2016: 62). Baginya bagaimanapun Papua
telah mampu menjalalankan pembangunan yang bermanfaat bagi
masyarakat. Meski demikian Enembe menilai situasi saat ini jauh
berbeda dengan saat dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi
Khusus Papua Tahun 2001 silam. Pada saat itu hanya satu
provinsi di Papua, sedangkan sejak tahun 2007 Papua telah
berkembang menjadi dua provinsi dengan dibentuknya Propinsi
Papua barat. Implikasinya adalah banyak kebutuhan masyarakat
Papua terus berkembang. Hal itu menurutnya mengharuskan
adanya revisi terhadap undang-undang Otonomi Khusus tersebut.
Dengan gagasan tersebut di atas, Gubernur Papua Lukas
Enembe, pada tanggal 29 April 2013 menemui Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Presiden menyetujui wacana revisi
tersebut dengan mencari point-point yang belum ada untuk
ditambahkan dalam perubahan termasuk memberikan bobot
kewenangan yang lebih luas yang bersifat khusus bagi Papua.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengistilahkan Otonomi
Khusus Plus (Otsus plus). Sejak itu draf revisi disiapkan untuk
dibahas oleh pemerintah dan DPR. Akan tetapi pembahasan draf
revisi tidak dapat berlanjut karena berkahirnya masa keanggotaan
legislatif tahun 2009-2014. Usaha untuk memasukkan agenda
perubahan undang-undang Otsus dalam Prolegnas Prioritas di
periode selanjutnya juga menemui kegagalan.
Status Otonomi Khusus lahir melalui proses tarik ulur
kepentingan yang kompleks. Oleh karena berawal dari tawaran
(bargaining) masyarakat Papua kepada Pemerintah Pusat maka
Otonomi Khusus membuka ruang manuver orang asli untuk
menegaskan identitas mereka. Di sisi lain otonomi khusus dan

61
pemekaran provinsi dan kabupaten/kota ternyata membawa
Papua pada masalah integrasi politik yang lebih rumit. Sampai
pada tahun 1996 di Papua hanya ada 13 Kabupaten. Pada tahun
2008, jumlah daerah kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat
telah mencapai 36 kabupaten. Sembilan kabupaten di Propinsi
Papua Barat dan 27 di Propinsi Papua dan kedua Provinsi tersebut
terus melakukan pemekaran. Pemekaran tersebut bukan cuma di
tingkat kabupaten, tetapi juga di tingkat distrik, dan kampung.
Sampai hari ini wacana pemekaran di Papua masih berlanjut.

Gambar : 4.1
Peta Provinsi Papua

Sumber : demokrasiindonesia.blogsop.com

4.2. Mengenal Kabupaten Jayapura


4.2.1. Letak Geografis, Topografi dan Demografi
Kabupaten Jayapura merupakan kabupaten yang
hanya berjarak kurang lebih 33 kilometer dari ibu kota
Provinsi Papua dengan ibukota Sentani. Kabupaten Jayapura
adalah daerah yang penyanggah sebagian kebutuhan Kota
Jayapura disamping kabupaten terdekat lainnya seperti
Kabupaten Keerom. Secara geografis, Kabupaten Jayapura
luasnya saat ini adalah 17.516.6 Km² yang terbagi dalam 19
Distrik 139 Kampung dan 5 Kelurahan sebagaimana telah
disebutkan terletak diantara 1390-1400 Bujur Timur dan 20 -

62
30 Lintang Utara. Distrik Kaureh dengan luas Wilayah
4.537,9 Km2 merupakan distrik terluas di Kabupaten
Jayapura atau sekitar 24,88 % dari keseluruhan luas
Kabupaten Jayapura dan distrik Sentani Barat merupakan
distrik yang luasnya terkecil dengan luas wilayah 129,2 Km2
atau sekitar 0,74 % dari luas wilayah Kabupaten Jayapura
sebagaimana pada gambar di bawah ini.

Gambar: 4.2
Luas Wilayah Kabupaten Jayapura Menurut Distrik

Sumber : Pemerintah Kabupaten Jayapura, tahun 2017

Sedangkan batas-batas wilayah Kabupaten Jayapura


adalah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara Samudera Pasifik dan Kabupaten
Sarmi.
b. Sebelah Selatan Kabupaten Pegunungan Bintang,
Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Tolikara.
c. Sebelah Timur dengan Kota Jayapura dan Kabupaten
Keerom.
d. Sebelah Barat dengan Kabupaten Sarmi.

63
Kabupaten Jayapura dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 12 tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi
Irian Barat dan kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.
Penetapan Kabupaten Jayapura sebagai daerah tingkat II
bersamaan dengan 8 (depalan) Kabupaten Otonom lainnya, yakni
Biak Numfor, Manokwari, Sorong, Fak-Fak Merauke,
Jayawijaya, Paniai dan Yapen Waropen. Selanjutnya Kabupaten
Jayapura dibentuk enam wilayah pemerintahan yang meliputi
wilayah Pemerintahan setempat Jayapura, Nimboran,
Membramo, Keerom, Sarmi, dan Dafonsoro dengan pusat
pemerintahan daerah berkedudukan di Jayapura (Saat ini Kota
Jayapura).

Gambar 4.3 :
Peta Kabupaten Jayapura

Sumber: Perda Nomor 21 Tahun 2009 Rencana Tata


Ruang Wilayah tahun 2008-2028 Kabupaten Jayapura.

Seiring dengan perkembangan daerah Papua, maka pada


tahun 1993 berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1993,
wilayah Kabupaten Jayapura dimekarkan menjadi dua yaitu
Kabupaten Jayapura (Kabupaten Induk) dan Kotamadya
Jayapura. Ibukota Kabupaten Jayapura kemudian dipindahkan ke
Sentani berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun
2000. Terlepas dari berbagai pertimbangan namun dipilihnya

64
Sentani sebagai ibu kota Kabupaten Jayapura didasarkan pada
tujuan peningkatan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan.
Tanggal 10 Maret 2010 merupakan tonggak awal sejarah kota
Sentani ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Jayapura yang
diperingati setiap tahun oleh masyarakat Kabupaten Jayapura hari
jadi Kota Sentani.
Perpindahan ibu kota Kabupaten Jayapura ke Sentani
sudah barang tentu mengharuskan berbagai fasilitas perkantoran
untuk dapat menjalankan berbagai aktifitas pelayanan
pemerintahan. Bertepatan dengan pelantikan Bupati Jayapura
Habel Melkias Suwae dan Wakil Bupati Tunggul Simbolon
periode 2001-2006 pada tanggal 12 Oktober 2001, Kabupaten
Jayapura telah memiliki kawasan perkantoran terpadu dalam satu
kompleks yang diresmikan penggunaanya oleh Gubernur provinsi
Papua Yaap Salossa. disamping kantor-kantor pemerintah lainnya
seperti kantor Kementerian Agama Kabupaten Jayapura, kantor
Badan Pertanahan, kantor Pengadilan Agama, kantor-kantor
satuan di bawah POLDA seperti POLRES, POLSEK serta
kantor-kantor angkatan satuan dibawah KODAM seperti
Batalyon 751 Raider serta LANUD Jayapura yang telah ada lebih
dulu, demikian pula terdapat kantor-kantor cabang perbankan
baik, bank pemerintah maupun swasta dan kantor dunia usaha
lainnya dalam rangka ikut serta membangun Kabupaten Jayapura
untuk lebih maju, dan lebih lengkap lagi dalam hal fasilitas
pelayanan publik.
Pemisahan secara administratif dari Kota Jayapura dan
perkembangan wilayah yang mengharuskan pihak pemerintah
daerah Kabupaten Jayapura mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat, dibutuhkan pemekaran pemerintahan pada tingkat
distrik. Tahun 2003 dilakukan pemekaran distrik berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 12 Tahun 2003
tentang pembentukan distrik Ebungfauw, distrik Waibu, distrik
Namblong, distrik Yapsi dan distrik Airu. Selanjutnya pada tahun
2005 kembali dilakukan pemekaran distrik berdasarkan Peraturan

65
Daerah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pembentukan distrik
Raveni Rara, distrik Gresi Selatan dan distrik Yokari. Sehingga
secara administratif, wilayah Kabupaten Jayapura bertambah dari
16 Distrik menjadi 19 Distrik.
Pemekaran distrik tersebut diiringi dengan pemekaran
kampung, yang tujuannya tentu untuk kepentingan dekatnya
layanan dan rantan kendali pemerintah kepada masyarakat. Tahun
2007 dilakukan pemekaran kampung tersebut sehingga jumlah
kampung yang sebelumnya berjumlah 127 Kampung menjadi 137
Kampung melalui Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor
2 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kampung Benggwin Progo,
Kampung Aib, Kampung Hyansip, Kampung Sumbe, Kampung
Hanggaiy Hamong, Kampung Nandali, Kampung Bundru,
Kampung Doromena, Kampung Bambar dan Kampung Yahim.
Pada tahun 2009, kembali dilakukan pemekaran kampung
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 13
Tahun 2009 tentang pembentukan Kampung Kamikaro dan
Kampung Naira. Sehingga Kabupaten Jayapura saat ini terdiri
dari 19 (sembilan belas) distrik, 5 (lima) Kelurahan telah
terbentuk 139 (seratus tiga puluh sembilan) Kampung.
Sementara keadaan topografi Kabupaten Jayapura
memiliki dari dataran rendah, dataran tinggi, daerah perbukitan
serta pegunungan dan lereng umumnya relatif terjal dengan
kemiringan 5%-30% serta mempunyai ketinggian aktual 0,5
mdpl- 1500 mdpl dimana letak Kabupaten Jayapura yang persis
berada pada kaki pegunungan Cycloops, sehingga wilayahnya
lebih banyak dataran tingginya dibandingkan dataran rendah.
Daerah pesisir pantai utara berupa dataran rendah yang
bergelombang dengan kemiringan 0%-10% yang ditutupi dengan
endapan alluvial. Secara fisik, selain daratan juga terdiri dari rawa
(13.700 Ha). Sebagian besar wilayah Kabupaten Jayapura
(72,09%) berada pada kemiringan diatas 41%, sedangkan yang
mempunyai kemiringan 0-15% berkisar 23,74%.
Secara demografi, Jumlah penduduk Kabupaten Jayapura
sebanyak 228.558 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki

66
sebanyak 123.831 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak
104.727 jiwa dengan 62.198 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar
di 19 Distrik dan 139 kampung serta 5 kelurahan. Penyebaran dan
Perkembangan penduduk Kabupaten Jayapura terlihat lebih
banyak di distrik Sentani sebagai ibukota dan pusat pemerintahan
serta bertemu berbagai suku, etnis ras dan agama. Untuk dapat
mengetahui tentang data presentase jumlah penduduk Kabupaten
Jayapura berdasarsakan pada wilayah Distrik maka dapat dilihat
bagaimana kepadatan penduduk masing-masing yang dapat
membedakan baik dari aspek suku, ras dan agama yang ada,
dapat dilihat pada grafik sebagaimana pada grafik berikut.

Grafik : 4.1
Presentase Jumlah Penduduk
Kabupaten Jayapura Menurut Distrik

Sumber Data : Diolah dari data BPS Kabupaten Jayapura Tahun


2017
Penduduk Kabupaten Jayapura yang beragam dari latar
belakang seperti yang telah dijelaskan, bila disederhanakan dapat
diklasifikasikan menjadi suku penduduk Orang Asli Papua
sebanyak 160.063 jiwa atau 65,66 % dari total penduduk,
sedangkan penduduk migran sebanyak 78.495 jiwa atau 34 %.

67
Sebagaimana pada data yang terlihat pada presentase jumlah
penduduk berdasarkan distrik. Maka distrik Sentani menjadi
daerah yang melebihi jumlah distrik lain karena disamping
sebagai ibukota kabupaten sebagaimana telah dijelaskan, juga
kerena bertemunya beragam macam suku, etnis ras dan agama.
Keragaman ini yang dapat melahirkan banyak kompleksitas
dalam suatu komunitas yang harus selalu dikelola dengan baik
oleh berbagai pihak terutama pemerintah daerah dan segenap
stake holder tentang arti dari suatu keragaman. Dapat sebagai
potensi kemajuan daerah dan disisi lain dapat pula menjadi
potensi konflik. Peta etnik di Kabupaten Jayapura bila
disederhanakan menjadi etnik Papua dan migran dapat dilihat
pada grafik berikut

Grafik . 4.2
Presentase Jumlah Penduduk Menurut Suku Bangsa
Kabupaten Jayapura

80,00 65,66

60,00
34,34
40,00

20,00

0,00
PAPUA MIGRAN

Sumber Data : Diolah dari data BPS Kabupaten Jayapura Tahun


2017
4.2.1. Pola Pemukiman Penduduk
Pola pemukiman masyarakat Kabupaten Jayapura yang
heterogen dapat dikatakan tidak merata. Hal ini disebabkan oleh
karena kontur wilayahnya yang lebih banyak perbukitan dan
gunung-gunung, sehingga pusat pemukiman terpusat pada

68
daerah-daerah yang datar seperti distrik Sentani. Dalam
perkembangan selanjutnya wilayah tersebut selain berisi
pemukiman penduduk, juga banyak dibangun fasilitas umum dan
perkantoran pemerintah dan swasta. Ada pula perkantoran-
perkantoran yang dibangun di daerah perbukitan, misalkan
Kantor Bupati di area Gunung Merah dan Rumah Sakit Umum
Youwari, Doyo sebagaimana yang telah dipaparkan tersebut di
atas mempengaruhi tempat pemukiman penduduk yang ada
demikian pula pada wilayah-wilayah lainnya yang terkait dengan
sarana dan prasarana.
Distrik Waibu memiliki daerah datar yang cukup luas, dan
berbatasan dengan Distrik Sentani. Distrik ini dinilai memiliki
prospek yang bagus untuk pemukiman di masa depan. Para
pengembang perumahan telah melakukan pembangunan di distrik
tersebut, baik perumahan bersubsidi maupun yang tidak
bersubsidi, pembangunan pasar dan rumah tokoh, sehingga para
migran baru juga mulai melirik dan bermukim di sekitar wilayah
tersebut.
Sementara wilayah distrik lainnya yang ada di Kabupaten
Jayapura, seperti distrik Nimbokrang, Yapsi, Dosai, Kemtuk, dan
Kemtuk Gresi, tingkat kepadatan penduduknya masih kurang.
Daerah-daerah tersebut dahulunya merupakan daerah
transmigrasi sehingga lahannya lebih banyak digunakan untuk
bercocok tanam. Para transmigran dari jawa waktu itu
memperoleh 11/4 Ha lahan (1Ha untuk lahan pertanian dan 1/4Ha
untuk rumah tinggal. Dengan berkembangnya Kabupaten
Jayapura, terutama pada distrik Sentani, maka prospek ke depan
pembangunan telah mengarah ke daerah distrik lain di luar
Sentani. Wilayah-wilayah cukup luas tersebut perlahan tapi pasti
mulai dijadikan tempat pemukiman.
Sementara bagi penduduk Orang Asli Papua,
pesebarannya dapat dikatakan tidak merata. Mereka mendiami
kampung-kampung mereka yang ada di pinggiran danau Sentani
dan di dataran rendah. Di pinggiran danau Sentani mereka
berkumpul membentuk perkampungan dengan pola tertentu

69
seperti yang diungkapkan oleh Sanderson: terdapat dua ciri
kekerabatan yang paling penting adalah : Aturan tempat tinggal
(recidence), dan aturan keturunan (descent). Terdapat aturan
tempat tinggal dengan siapa, menetapkan kelompok lokal,
kelompok anggota kerabat yang bekerjasama dalam melakukan
kegiatan rumah tangga (Stephen, 2000 : 428).
Namun dari sebagian dari mereka penduduk asli
Kabupaten Jayapura ada pula yang telah berbaur dengan para
migran. Mereka mendiami perumahan-perumahan seperti KPR
BTN. Ada juga penduduk asli membangun rumah sendiri di tanah
adat yang dimilikinya, yang tanah tersebut bersebelahan dengan
tanah yang telah dijual kepada para migran. Dengan demikian
muncul kehidupan bertetangga antara orang asli dengan para
migran yang berasal dari luar Kabupaten Jayapura.

4.3. Kondisi Kehidupan Sosial-budaya, Politik, Ekonomi


Kabupaten Jayapura
4.3.1. Sosial-budaya
4.3.1.1.Kesehatan
Faktor pelayanan kesehatan merupakan hal yang sangat
penting bagi suatu daerah yang digambarkan dengan ketersediaan
sarana dan prasarana kesehatan termasuk tenaga medis dan
paramedis pada seluruh sarana kesehatan dasar. Terdapat 1 unit
Rumah Sakit Umum Daerah, 19 Puskesmas yang tersebar di 19
Distrik serta 58 Puskesmas Pembantu yang ada di kampung-
kampung. Dalam hal ketersediaan Puskesmas Pembantu terjadi
peningkatan sebanyak 5 unit dari tahun sebelumnya.
Dari segi tenaga kesehatan yang tersebar di Kabupaten
Jayapura, terdapat tenaga Dokter Umum sebanyak 51 orang,
tenaga perawat sebanyak 307 orang dan tenaga Bidan sebanyak
95 orang. Tenaga jasa kesehatan ini lebih banyak di kalangan
migran yang mendominasi karena faktor sumber daya manusia
dari kalangan Asli Papua.

70
Grafik. 4.3
Jumlah Sarana Kesehatan di Kabupaten
Jayapura

Sumber Data : Diolah dari data BPS Kabupaten Jayapura


Tahun 2017

Demikian pula indikator derajat kesehatan masyarakat


suatu wilayah dilihat dari tingginya umur harapan hidup
seseorang, angka kematian bayi dan angka kematian ibu maternal
serta menurunnya angka prevalensi gizi kurang pada anak balita.
Angka harapan hidup penduduk Kabupaten Jayapura yang
diperoleh dari data statistik terkahir pada tahun 2014 mencapai
67,74 tahun, sementara angka kematian bayi sebesar 8/1000
KLH, angka kematian ibu 73/100.000 KLH dan prevalensi gizi
kurang pada anak balita 2,0% pada tahun 2015. Dengan demikian
kontribusi bidang kesehatan terhadap peningkatan IPM sangat
dipengaruhi oleh Angka Harapan Hidup (AHH), yang sangat erat
kaitannya dengan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka kematian
Balita (AKABA) dan Angka Kematian ibu (AKI).

71
Tabel. 4.1
Angka Harapan Hidup Kabupaten Jayapura
Angka Harapan Hidup
Kabupaten
2013 2014 2015 2016 2017

Merauke 66,48 66,49 66,5 66,53 66,56

Jayawijaya 57,71 57,79 58,29 58,48 58,67

Jayapura 66,01 66,02 66,32 66,4 66,47

Nabire 67,23 67,24 67,44 67,5 67,55

Kepulauan Yapen 68,63 68,63 68,67 68,69 68,71

Biak Numfor 67,84 67,85 67,86 67,86 67,87

Paniai 65,13 65,15 65,45 65,58 65,7

Puncak Jaya 63,74 63,77 64,17 64,29 64,41

Mimika 71,85 71,87 71,89 71,9 71,93

Boven Digoel 57,6 57,64 58,24 58,51 58,77

Mappi 63,51 63,52 64,02 64,16 64,3

Asmat 54,91 55 55,5 55,9 56,32

Yahukimo 64,54 64,56 65,06 65,19 65,32

Pegunungan Bintang 63,56 63,58 63,78 63,84 63,9

Tolikara 64,64 64,66 64,86 64,98 65,1

Sarmi 65,46 65,49 65,69 65,76 65,82

Keerom 65,97 65,99 66,09 66,13 66,18

Waropen 65,71 65,72 65,73 65,77 65,82

Supiori 65,15 65,15 65,25 65,29 65,33

Mamberamo Raya 56,37 56,37 56,57 56,74 56,9

Nduga 53,54 53,6 53,6 54,5 54,6

Lanny Jaya 64,82 64,85 64,86 65,63 65,65

72
Mamberamo Tengah 62,59 62,62 62,72 62,82 62,92

Yalimo 64,83 64,85 64,86 64,9 64,94

Puncak 64,98 64,98 65,08 65,1 65,13

Dogiyai 64,34 64,36 64,86 64,99 65,12

Intan Jaya 64,87 64,88 64,98 65,04 65,09

Deiyai 64,25 64,27 64,47 64,55 64,63

Kota Jayapura 69,95 69,95 69,97 69,99 70

Provinsi Papua 64,76 64,84 65,09 65,12 65,14

Sumber : BPS Papua, 2017


Meskipun angka harapan hidup tersebut di atas masih di
bawah standar menurut MDGs (Millenium Deveploment Goals)
sebesar 70,6 tahun, namun dari angka pada tabel tersebut di atas
masyarakat Kabupaten Jayapura mengalami peningkatan angka
harapan hidup yang terus meningkat dari tahun-tahun.

4.3.1.2. Pendidikan
Betapa pentingnya sarana dan prasarana yang ada dalam
suatu wilayah, begitu pula halnya dengan Kabupaten Jayapura
yang selalu berbenah setiap tahunnya untuk dapat melengkapi
sarana umum yang ada. Sarana umum yang tersedia yang
difasilitasi oleh pemerintah dalam hal ini dinas yang membawahi
urusan pendidikan yaitu dinas pendidikan itu sendiri. Sebagai
urusan wajib Pemerintah dalam pelayanan kebutuhan dasar
masyarakat telah menfalistasi sarana pendidikan mulai dari
TK/PAUD, SD/MI dan sederajat, SLTP/MTs dan sederajat,
SLTA/SMK dan sederajatnya baik negeri maupun swasta,
Universitas swasta, Sekolah Tinggi Negeri maupun Swasta,
tersebar di Kabupaten Jayapura.
Kondisi pendidikan di Kabupaten Jayapura dapat
digambarkan melalui ketersediaan sarana dan prasarana
pendidikan yang tersebar di 19 distrik terutama dalam mendorong
peningkatan program Pendidikan Dasar Wajib Belajar 9 Tahun

73
dan Pendidikan Menengah. Jumlah prasarana pendidikan di
Kabupaten Jayapura terdiri dari jumlah Sekolah Dasar (SD)
sebanyak 128 unit, SMP sebanyak 43 unit dan SMU/SMK
sebanyak 23 unit, serta Perguruan Tinggi sebanyak 6 unit.

Tabel.4.2
Jumlah Sekolah menurut Jenis/Jenjang
di Kabupaten Jayapura
NO JENJANG PENDIDIKAN JUMLAH

1 SD 128 UNIT

2 SLTP 43 UNIT

3 SMU 23 UNIT

4 PT 6 UNIT

JUMLAH 200

Sumber: Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten


Jayapura.
Sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Jayapura terus
dibenahi dan usaha peningkatan sumberdaya terus dilakukan
dengan dukungan pemerintah daerah. Sementara bagi pengelola
pendidikan swasta lebih banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga
atau yayasan keagamaan. Seperti lembaga pendidikan yang
dikelola oleh Kristen (YPK), Yayasan Katolik (YPPK) dan Islam
(YPKP dan YAPIS, Insan Cendikia Jayapura) dan lainnya. Bagi
migran di Kabupaten Jayapura ada kecenderungan untuk
menyekolahkan anak-anak mereka di lembaga-lembaga
keislaman dengan alasan bahwa ada tambahan materi yang
berupa pengetahuan agama yang relatif cukup porsinya yang
didapat di lembaga tersebut sehingga ada nilai plus yang
didapatkan dibandingkan dengan menyekolahkan anak-anak
mereka di sekolah-sekolah negeri di bawah naungan dinas
pendidikan kabupaten.

74
4.3.1.3.Keagamaan
Papua sebagaimana dengan wilayah-wilayah lainnya
adalah wilayah dengan yang mempunyai tingkat heteroginitas
agama yang tinggi yang telah diakui negara. Kabupaten Jayapura
sejak berdirinya telah ada agama yang dibawa oleh para
misionaris dan pendakwah. Keragaman penduduk Kabupaten
Jayapura yang multi religius bisa dilihat dari beberapa agama
yang dianut, yaitu Kristen yang menempati urutan terbanyak
sebesar 80.384 jiwa (65.43%) dan paling sedikit adalah agama
Hindu sebanyak 144 jiwa (0,12). Data yang diambil dari BPS
Kabupaten Jayapura, tahun 2017 memperlihatkan prosentase
jumlah penduduk menurut pemeluk agama yang ada sebagaimana
pada (tabel 4.3) Keragaman dalam suatu daerah perlu
diperhatikan oleh pemerintah daerah dan stake holder lainnya,
sebab kadang dinamika interaksi antar kelompok agama yang
ada, pada satu sisi dapat berpotensi meningkatkan solidaritas dan
integrasi sosial kelompok. Tetapi pada sisi lain dapat terjadi
gesekan karena faktor sosial, ekonomi bahkan politik.

Tabel. 4.3
Jumlah dan Persentasi Pemeluk Agama Tahun 2017
AGAMA JUMLAH %

Islam 35.970 29.28

Kristen 80.384 65.43

Katolik 6.063 4.94

Hindu 144 0.12

Budha 285 0.23

Dll - -

TOTAL 122.846 100

75
Sumber Data : Diolah dari data BPS Kabupaten Jayapura Tahun
2017
Upaya agama-agama untuk membina umatnya, maka
didirikanlah rumah ibadah dan sebagai wadah untuk aktifitas
rutin keagamaan yang biasanya diramaikan dengan banyak
prosesi keagamaan menurut tata cara masing-masing
pemeluknya. Masing-masing ada gereja bagi agama Protestan dan
Katolik, masjid dan mushala bagi pemeluk agama Islam, pura
bagi penganut agama Hindu, serta wihara bagi penganut agama
Budha. Rumah ibadah tersebut terbanyak adalah gereja Protestan
yang memiliki banyak umat dan denominasi atau sekte/aliran.
Masing-masing denominasi atau sekte/aliran tersebut mendirikan
gereja sebagai bentuk pelayanan kepada umatnya. Kemudian
masjid dan mushala juga banyak berdiri seiring dengan jumlah
umat Islam kian hari kian bertambah sehingga membutuhkan
tempat peribadatan yang mampu menampung jamaahnya dalam
melaksanakan ibadah lima kali sehari semalam.

Tabel 4.4
Jumlah Tempat Ibadah Penduduk Kabupaten Jayapura
AGAMA 2014 % 2015 % 2016 %

ISLAM 43 10,19 43 10,19 73 12,46

KRISTEN 361 85,55 361 85,55 495 84,47

KATOLIK 14 3,32 14 3,32 14 2,39

HINDU 1 0,24 1 0,24 1 0,17

BUDHA 3 0,71 3 0,71 3 0,51

TOTAL 422 100 422 100 586 100

Sumber : BPS (Jayapura dalam angka tahun 2016)

76
Pendirian rumah ibadah dimaksudkan pemeluknya dapat
mengiplementasikan nilai-nilai agama dan membumi pada
berbagai bidang kehidupan sosial keagamaan serta kegiatan –
kegiatan lain yang dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-
hari. Di sanalah fungsi dari rumah ibadah yang sesungguhnya,
yang kemudian para migran juga banyak menggunakan sebagai
sarana untuk memperkuat modal (sosial, budaya dan simbolik)
dan agama-agama tersebut mempertahankan eksistensi mereka
dalam menghadapi dinamika yang terjadi di sekitar. Dari sana
pula mereka dapat memperoleh informasi yang penting untuk
kepentingan soliditas mereka.

4.3.2. Kondisi Politik


Kabupaten Jayapura sebagaimana dengan daerah-daerah
lain di Indonesia adalah wilayah yang warganya beragam Partai
politik. Konsekuensi dari keragaman partai diikuti oleh
keragaman masyarakatnya dalam afiliasi di alam demokrasi.
Masyarakat diberi hak kebebasan dalam mentukan pilihan
kepada partai mana yang diinginkan untuk dijadikan saluran
aspirasi politik baik yang berhaluan nasionalis maupun partai
yang berdasarkan ideologi agama. Setiap lima tahunan partai-
partai berhasil berkontestasi dengan hasil anggota legislatif yang
mewakili konsituennya masing-masing.
Mengacu pada pemilu tahun 2014 yang diikuti 12 partai
politik dan pemilu lima tahun sebelumnya tahun 2009 yang
diikuti oleh 17 partai politik, memperlihatkan posisi partai
masing-masing dalam perolehan kursi legislatif. Hasil ini
merupakan bagian dari gambaran dari keadaan refresentasi politik
lokal daerah dan aspirasi masyarakat kepada calon yang
dipilihnya untuk menjadi anggota di legislatif seperti pada tabel
berikut.

77
Tabel. 4.5
Partai Politik dan Perolehan Suara Anggota DPRD
Kabupten Jayapura Hasil Pemilu Tahun 2014-2019

PARTAI DAPIL DAPIL DAPIL DAPIL JUMLAH JUMLAH


NO I II III IV SUARA (%) KURSI
POLITIK

PARTAI
1 NASIONAL 9.572 2.579 3.043 2.071 17.265 18,84 6
DEMOKRAT

PARTAI
2 KEBANGKITA 3.772 1.099 981 1.949 7.801 8,51 2
N BANGSA

PARTAI
3 KEADILAN 2.833 652 663 1.163 5.311 5,79 1
SEJAHTERA

PARTAI PDI
4 2.914 1.585 1.430 1.658 7.587 8,28 4
PERJUANGAN

PARTAI
5 GOLONGAN 6.235 1.949 1.412 1.448 11.044 12,05 3
KARYA

PARTAI
6 2.840 1.367 1.628 1.656 7.491 8,17 3
GERINDRA

PARTAI
7 4.172 1.393 1.928 1.754 9.247 10,09 4
DEMOKRAT

PARTAI
8 AMANAT 2.816 1.180 1.478 1.576 7.050 7,69 1
NASIONAL

PARTAI
PERSATUAN
9 1.556 1.163 583 688 3.990 4,35 1
PEMBANGUNA
N

PARTAI HATI
10 NURANI 3.332 1.125 1.342 1.545 7.344 8,01
RAKYAT

PARTAI
11 BULAN 794 306 534 1.106 2.740 2,99
BINTANG

78
PARTAI
KEADILAN
12 DAN 1.929 876 816 1.158 4.779 5,21
PERSATUAN
INDONESIA

JUMLAH 42.765 15.274 15.838 17.772 91.649 25

Sumber : KPUD Kabupaten Jayapura, 2015

Hasil pemilu tahun 2014-2019 memperlihatkan dari 12 kontestan


partai politik yang ada hanya 9 partai politik yang berhasil
menduduki 25 kuota kursi legislatif Kabupaten Jayapura dari 4
daerah pemilihan, sementara pada pemilu sebelumnya periode
tahun 2009 – 2014 dari 17 partai politik peserta pemilu yang
bersaing semuanya dapat memperoleh kursi di legislatif dari 25
kuota yang ada sebagaimana pada (tabel. 4.5; 46).

Tabel. 4.6
Partai Politik dan Perolehan Suara
Anggota DPRD Kabupaten Jayapura
Periode 2009 – 2014

JUMLAH JUMLAH
NO PARTAI POLITIK DAPL I DAPIL 2 (%)
SUARA KURSI

1 PARTAI GOLKAR 4.249 4.519 8.768 26,95 4

PARTAI DEMOKRASI
2 INDONESIA 1.428 2.655 4.083 12,55 3
PERJUANGAN

3 PARTAI DEMOKRAT 1.884 2.119 4.003 12,31 2

PARTAI KEBANGKITAN
4 1.011 1.190 2.201 6,77 2
BANGSA

PARTAI DAMAI
5 928 1.048 1.976 6,07 2
SEJAHTERA

79
PARTAI NASIONAL
6 BENTENG 1.427 1.427 4,39 1
KERAKYATAN Indonesia

7 PARTAI PATRIOT 1.245 1.245 3,83 1

8 PARTAI BURUH 1.049 1.049 3,22 1

9 PARTAI HANURA 1.078 1.078 3,31 1

PARTAI INDONESIA
10 1.009 1.009 3,10 1
SEJAHTERA

PARTAI KEADILAN
11 938 938 2,88 1
SEJAHTERA

PARTAI NASIONAL
12 INDONESIA 910 910 2,80 1
MARHAENISME

PARTAI KEADILAN DAN


13 829 829 2,55 1
PERSATUAN Indonesia

PARTAI PERSATUAN
14 808 808 2,48 1
PEMBANGUNAN

PARTAI PERSATUAN
15 765 765 2,35 1
DAERAH

PARTAI N
16 723 723 2,22 1
KEDAULATAN

PARTAI PEDULI
17 718 718 2,21 1
RAKYAT NASIONAL

JUMLAH 13.822 18.708 32.530 25

Sumber : Diolah dari data Kesbang Pol Linmas Kabupaten Jayapura, 2009

Sementara dalam pemerintahan Kabupaten Jayapura


Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai aparatur pemerintah atau
eksekutif yang bertugas sebagai abdi negara dalam melayani
masyarakat menjadi pilar dari pelaksaaan pembangunan pada
suatu daerah. Data tahun 2018 jumlah Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang ada sebanyak 3997 orang. Jumlah ini bila
diklasifikasi berdasarkan Papua dan Migran di semua satuan

80
kerja, menunjukkan bahwa data di bawah ini mengalami banyak
dinamika dalam jumlah pegawai antara Orang Asli Papua dan
Migran di semua satuan kerja. Jumlah ini masih termasuk
pengawai yang diterima sebelum berlakunya otonomi khusus
Papua seperti pada tabel berikut.

Tabel. 4.7
Jumlah Pegawai pada Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) Kabupaten Jayapura

ASAL DAERAH
SATUAN
NO
KERJA
PAPUA (%) MIGRAN (%) JUMLAH

Sekretariat
1 52 40,63 76 59,38 128
Daerah

Sekretariat
2 13 38,24 21 61,76 34
DPRD

3 Dinas 1201 39,39 1848 60,65 3049

4 Badan 108 43,03 143 56,97 251

5 Distrik 320 69,36 144 31,03 470

6 Inspektorat 7 21,21 26 78,79 33

7 SATPOL PP 22 68,75 10 31,25 32

TOTAL JUMLAH 1.729 2268 3997

Sumber: Diaolah dari data kepegawaian tahun 2018


Semangat otonomi khusus kemudian banyak
mempengaruhi posisi-posisi yang strategis di pemerintahan.
Dapat dilihat pada posisi jabatan-jabatan struktural yang ada di
pemerintahan Kabupaten Jayapura yang menggambarkan
berbagai posisi strategis tersebut telah didominasi oleh Orang
Asli Papua seperti pada data tabel yang ada seperti berikut.

81
Tabel. 4.8
Jabatan Struktural, Pemerintah Kabupaten Jayapura
NO URAIAN PAPUA (%) MIGRAN (%) JUMLAH

1 Eselon I

2 Eselon II 20 62,5 12 37,5 32

3 Eselon III 79 46,20 92 53,80 171

4 Eselon IV 267 60,54 174 39,46 441

JUMLAH 366 278 644

Sumber: Diolah dari data kepegawaian tahun 2018


Data ini memperlihatkan Posisi strategis telah memberi ruang
bagi orang Papua untuk menjadi tuan di negeri sendiri,
sementara bagi migran harus mengkreasi dirinya dengan nilai-
nilai yang ada pada mereka untuk tetap bertahan dan
berhadapan dengan situasi birokrasi pemerintahan pasca
pemberlakukan otonomi khusus Papua.

4.3.3. Kondisi Ekonomi


Secara umum, kondisi ekonomi di Kabupten Jayapura
tergambar dari besaran capaian PDRB, baik PDRB menurut
lapangan usaha maupun PDRB Perkapita. Laju pertumbuhan
ekonomi di Kabupaten Jayapura sampai dengan tahun 2015
sebesar 11,74 % dengan nilai PDRB perkapita sebesar Rp.
57.112,53 rupiah atau dengan laju pertumbuhan sebesar 11,19
%. Kontribusi pertumbuhan ekonomi didominasi oleh sektor
Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, yang dikuti oleh Sektor
Kontruksi dan Sektor Perdagangan Besar dan Eceran serta jasa
lainnya.
Lapangan usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
memberi kontribusi terhadap PDRB atas dasar harga berlaku
sebesa 23,61 persen. Sub lapangan usaha Perikanan merupakan
penyumbang terbesar, yaitu sebesar 54,17 persen dari seluruh

82
nilai tambah lapangan usaha Pertanian, Kehutanan, dan
Perikanan. Nilai kontribusi rata-rata sub lapangan usaha
pertanian sebesar 52,47 persen selama kurun waktu lima tahun
terakhir.
Sementara sektor Perindustrian dan Perdagangan,
Koperasi dan UKM terlihat dari sejauhmana peran Pemerintah
dalam memfasilitasi pertumbuhan Industri, Perdagangan,
Koperasi dan UKM. Proporsi Industri Kecil dan Menengah
terbagi dalam 3 (tiga) jenis yaitu Industri Kerajinan, Industri
Logam dan Elektonik, Industri Pangan, Industri Sandang, serta
Industri Kimia dan Bahan Bangunan. Pertumbuhan industri
kecil dan menengah lebih didominasi sektor Pangan sebesar
29,49 %, diikuti dengan Kimia dan Bahan Bangunan, sementara
pertumbuhan terendah ada pada sektor Industri Kerajinan.
Gambar. 4.4
Proporsi Industri Kecil dan Menengah Menurut Jenis
di Kabupaten Jayapura Tahun 2017

Sumber : BPS Kab Jayapura, 2016


Dari proporsi Industri Kecil dan Menengah yang
ada, maka penyebaran kedua jenis industri tersebut lebih
banyak terpusat di Distrik Sentani, karena sebagai wilayah
perkotaan yang didominasi oleh Industri Pangan. Alasannya
tentu karena kepadatan jumlah penduduk dan
kecenderungan masyarakat untuk mencari makanan yang
cepat atau siap saji yang dilihat oleh pelaku usaha sebagai
pangsa pasar yang menarik keuntungan. Sementara Industri

83
dan UKM serta kopersai di Kabupaten Jayapura, menurut
data yang ada secara keseluruhan terhadap 979 sarana
usaha, baik berskala besar, menengah dan kecil dengan
proporsi kepemilikan masih didominasi oleh migran
(sebanyak 749 atau kurang lebih 76,51 %, dari total sarana
usaha), sedangkan jumlah sarana berdasrkan kepemilikan
untuk Orang Asli Papua sebanyak 230 atau kurang lebih
23,49 % dari total jumlah sarana usaha yang ada di
Kabupaten Jayapura. Bidang ini bila dilihat presentasenya
terlihat lebih dikuasai oleh para migran dari berbagai jenis
usaha.
Sementara itu, bila dilihat penguasaan pasar menurut
jenisnya, di wilayah Kabupaten Jayapura setidaknya
terdapat 5 (lima) jenis pasar dengan proprosi terbesar adalah
Pasar Desa 54,17 % dan proprosi terkecil adalah pasar
Modern dan Pasar Sentral 4,17 % seperti pada gambar
berikut.

Gambar 4.5
Data Pasar di Kabupaten Jayapura Tahun 2017

Sumber : BPS Kab. Jayapura, 2016


Pada (gambar 4.5) tersebut di atas, dari 5 jenis pasar yang
ada, maka 3 jenis pasar yang ada (pasar Desa, pasar daerah
terpencil dan swadaya) adalah pasar yang kebanyakan baik
penjual maupun pembeli dari kalangan Orang Asli Papua

84
dan waktu aktivitas pasarnya tidak setiap hari. Sementara
Pasar Sentral Phaara, modern adalah pasar yang berada
pada kota Sentani yang dikuasai oleh migran dan Orang
Asli Papua sebagai besar konsumen.

85

Anda mungkin juga menyukai