Anda di halaman 1dari 9

BENTENG OTANAHA

belum ada hasil penelitian sejarah yang pasti mengenai pembangunan


Benteng Otanaha. Namun setidaknya hingga saat ini terdapat dua versi
cerita yang dipercayai masyarakat Gorontalo.

Menurut sejarah Gorontalo, abad 15 berdiri Kerajaan Pinohu (Pinogu) yang


diperintah seorang Raja bernama Wadipalapa berasal dari Langit, yang
oleh orang Bugis-Makassar dikenal dengan nama "Remmang Ri Langi". Ketika
raja ini mangkat, kerajaan Pinohu berubah nama menjadi Tuwawa (Suwawa).
Pada tahun 1481 berubah lagi dengan nama kerajaan Bune (Bone). Sekitar
tahun 1585, muncul salah seorang keturunan raja yang digelari rakyatnya
dengan Wadipalapa II, di tangan Wadipalapa II kemudian muncul gagasan
untuk memperluas kerajaan Bune dengan cara damai. Maka diperintahkanlah
rakyatnya mencari lahan baru dengan membagi warganya menjadi dua
rombongan. Jalur utara dari Suwawa, Wonggaditi terus ke Huntu Lo Bohu
dipimpin Hemeto. Sedang jalur selatan mulai dari Potanga, Dembe, terus
ke Panipi diserahkan kepada Naha. Jalur Utara yang dinakhodai Naha,
akhirnya tiba di Dembe dan menemukan benteng tersebut berada di atas
bukit.

Literatur lainnya berbeda dalam menceritakan sosok Naha. Kononnya tokoh


ini adalah anak dari Raja Ilato dan Permaisuri Tilangohula yang
memerintah Kerajaan Gorontalo pada abad 15. Naha memiliki dua saudara,
Ndoba dan Tiliaya. Ketika dirinya remaja, ia memilih merantau negeri
seberang. Sampai suatu masa, Ndoba dan Tiliaya memimpin perlawanan
mengusir Portugis yang dianggap memperalat mereka dalam mengusir para
bajak laut. Padahal, sebelumnya Portugis meminta bantuan dan sepakat
dengan pihak kerajaan Gorontalo, setelah pelayaran mereka terganggu oleh
cuaca buruk dan bajak laut serta kehabisan makanan. Kesepakatan dengan
kerajaan gorontalo adalah guna memperkuat pertahanan dan keamanan
negeri, maka dibuatlah 3 benteng di Kelurahan Dembe sekarang.
Pertempuran mengusir Portugis, Ndoba dan Tiliaya dibantu oleh angkatan
laut yang dipimpin 4 orang, yakni, Apitalao Lakoro, Apitalao Lagona,
Apitalao Lakadjo, dan Apitalao Djailani. Sekitar 1585, Akhirnya Naha
kembali dan menemukan benteng tersebut, dan kemudian memperisteri
seorang perempuan bernama Ohihiya. Dari pasangan lahirlah dua putera,
Paha (Pahu) dan Limonu.

Makam nani wartabone

Latar Sejarah

Nani Wartabone lahir pada tanggal 30 April 1907 dan wafat 3 Januari
1986. Tahun 1923 mendirikan organisasi "Jong Gorontalo" di Surabaya, dan
menjadi ketua pertama dari Partai Nasional Indonesia cabang Gorontalo
pada 1928. Pada bulan Desember 1941 mendirikan organisasi rahasia
"Komite 12". Tanggal 23 Januari 1942 memimpin perlawanan terhadap
Belanda dan memproklamirkan Gorontalo dan sekitarnya telah merdeka dan
mengibarkan bendera merah putih di halaman kantor Pos dan Telegraf
Gorontalo. Tahun 1942 menjadi Kepala Pemerintahan Daerah merangkap
Panglima Komando Pertahanan Rakyat. Desember 1943 ditangkap Polisi
Militer Jepang atas tuduhan sebagai spionase untuk melawan pendudukan
Jepang. Ia ditahan di Manado. Tanggal 16 Agustus 1945 memimpin upacara
pengibaran bendera merah putih di halaman kantor Kenkantikan. Tanggal 28
Agustus 1945 memimpin penyerbuan untuk menguasai stasiun radio milik
Jepang, dan mengumumkan kepada rakyat Gorontalo bahwa Bung Karno dan
Bung Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Tanggal 1 September 1945 membentuk Dewan Nasional yang beranggotakan 17
orang untuk melaksanakan pemerintahan sementara daerah Gorontalo.
Dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri
dengan SK Presiden No. 085/TK/2006 tanggal 6 November 2006

Deskripsi

Bangunan makam bentuknya sederhana. Pada kedua nisannya tidak ditemukan


adanya ragam hias dan ornamen-ornamen yang memberi sentuhan artistik
seperti layaknya makam seorang tokoh besar dalam sejarah. Jiratnya
ditinggikan dengan menggunakan bata yang diplester dengan semen.
Keseluruhan badan makam diberi atap, di sisi makam terdapat lahan kosong
yang sengaja dipersiapkan untuk menjadi lokasi upacara terutama pada
setiap peringatan Hari Pahlawan 10 November. Pada salah satu batu
nisannya tertulis sebuah inskripsi tentang tanggal kelahiran dan
wafatnya.

Pernah mendengar Proklamasi Kemerdekaan tanggal 23 Januari 1942? Mungkin


tidak, sebab Proklamasi Kemerdekaan Indonesia baru dikumandangkan pada
tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Siapa
sangka, tiga tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu, ribuan
kilo jauhnya dari Jakarta, di Kota Gorontalo telah diproklamirkan
kemerdekaan lepas dari belenggu penjajahan Belanda. Tentu bukan oleh
Soekarno dan Hatta, melainkan oleh Nani Wartabone, seorang patriot
pejuang kelahiran Kampung Suwawa, Gorontalo. Untuk mengenang jasa dan
perjuangan Nani Wartabone itulah, pada tahun 1987 Drs. A. Nadjamudin,
Walikota Gorontalo ketika itu, membangun Monumen Nani Wartabone yang
terletak di tengah Alun-alun Gorontalo, tepat di depan rumah Dinas
Gubernur Provinsi Gorontalo saat ini. Kisah perjuangan Nani Wartabone
memang cukup panjang, membentang dari jaman penjajahan Belanda,
penjajahan Jepang, hingga penumpasan berbagai pemberontakan di daerah
Gorontalo, seperti pemberontakan PRRI/Permesta dan G 30 S/PKI. Menurut
Taufik Polapa (dalam www.gorontalomaju2020.blogspot.com), perjuangan
Nani Wartabone dimulai sejak usia 16 tahun, ketika ia menjadi sekretaris
Jong Gorontalo di Kota Surabaya pada tahun 1923. Lima tahun kemudian,
Nani Wartabone dipercaya menjadi Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI).
Sebagai aktivis, Nani Wartabone dikenal sebagai pejuang anti-penjajah.
Oleh sebab itu, setelah mengetahui rencana Belanda yang akan
membumihanguskan Gorontalo pada 28 Desember 1941 (karena Belanda
mengetahui kekalahan pihak Sekutu dari Jepang pada perang Asia-Pasifik),
bersama warga Gorontalo Nani Wartabone kemudian melakukan perlawanan
rakyat. Setelah hampir satu bulan melakukan perlawanan di pinggiran
kota, akhirnya pada 23 Januari 1942 Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo
bergerak mengepung kota. Pukul lima subuh, Komandan Detasemen Veld
Politie WC Romer dan beberapa kepala jawatan yang ada di Gorontalo
menyerah. Setelah para petinggi Belanda tersebut ditangkap, pukul 10
pagi tanggal 23 Januari 1942, Nani Wartabone memimpin langsung upacara
pengibaran bendera merah putih yang diiringi dengan lagu Indonesia Raya
di halaman Kantor Pos Gorontalo. Usai proklamasi tersebut, Nani
Wartabone kemudian memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan
Pemerintahan Gorontalo (PPPG), dan ia terpilih sebagai ketuanya. Sekitar
satu bulan setelah proklamasi tersebut, pada tanggal 26 Februari 1942,
Jepang mulai mendarat di Pelabuhan Gorontalo. Sebagai Ketua PPPG, Nani
Wartabone menyambut baik kedatangan Jepang dengan harapan mereka akan
membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan Gorontalo. Namun, pada
kenyataannya Jepang tidak lebih baik dari Belanda, sehingga Nani
Wartabone harus menyingkir ke kampung halamannya di daerah Suwawa. Nani
Wartabone lalu difitnah, bahwa ia sedang melakukan pemberontakan
terhadap Jepang. Akibatnya, pada tanggal 30 Desember 1943 ia ditangkap
dan dibawa ke Manado. Nani Wartabone baru dilepaskan pada 6 Juni 1945,
saat tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu mulai tampak.
Dua bulan kemudian, saat Jepang benar-benar kalah dari Sekutu, pada
tanggal 16 Agustus 1945 (sehari sebelum Proklamasi Kemerdekaan di
Jakarta), kekuasaan Jepang di Gorontalo diserahkan kepada Nani
Wartabone. Sejak saat itulah bendera Merah Putih kembali berkibar di
tanah Gorontalo. Karena minimnya peralatan telekomunikasi ketika itu,
berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta baru sampai
di Gorontalo pada 28 Agustus 1945. Selain sebagai pejuang kemerdekaan,
Nani Wartabone juga dikenal sebagai pemimpin daerah, antara lain pada
tahun 1950-an ia dipercaya menjabat sebagai Kepala Pemerintahan di
Gorontalo, menjabat sebagai Kepala Daerah Sulawesi Utara, dan pernah
pula menjadi anggota DPRD Sulawesi Utara. Selepas memangku berbagai
jabatan penting itu, Nani Wartabone memilih tinggal di kampungnya, di
Desa Suwawa sebagai petani. Nani Wartabone meninggal pada tanggal 3
Januari 1986, dan dikebumikan di Desa Bube Baru, Kecamatan Suwawa.

Museum Pendaratan Pesawat Ampibi Soekarno

Museum Pendaratan Pesawat Ampibi Soekarno terletak di Desa Iluta,


Kecamatan Batudaa, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Lokasi
berada tepat di tepi bagian selatan Danau Limboto, dan sekitar 2
kilometer dari Taman Purbakala Benteng Otanaha. Trayek angkot yang
melintasi lokasi tersebut adalah jurusan Kota Gorontalo ke Kecamatan
Batudaa, dan sebaliknya.

Awalnya, bangunan musem ini merupakan rumah yang dibangun semasa


pemerintahan kolonial Belanda menguasai Gorontalo dengan ukuran 5 x 15
meter, dan diperkirakan dibangun pada tahun 1936.

Dahulu kala, Soekarno pernah menjejakkan kaki di Bumi Gorontalo pada


tahun 1950 dan tahun 1956. Soekarno datang ke Gorontalo melalui jalur
udara yang mendarat di Danau Limboto. Kedatangan pertamanya, ia
menggunakan pesawat Ampibi. Lalu, saat kedatangan keduanya di tahun 1956
ia memakai pesawat Catalina. Soekarno datang bersama ajudannya dengan
pilot bernama Wiweko Supono. Kala itu, pesawat Ampibi masih bisa
mendarat dan berlabuh di Danau Limboto karena memang ketika itu, debit
airnya masih memungkinkan hal itu dengan pantai pasir putihnya.

Menurut sejarawan Gorontalo, BJ Mahdang, mengatakan bahwa kedatangan


Soekarno ke Gorontalo saat itu adalah untuk melakukan inspeksi guna
meyakinkan bahwa Gorontalo masih tetap setia kepada Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Pada tahun-tahun itu, Indonesia sedang didera
pemberontakan. Kelompok separatis Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
bergema di Sulawesi Utara. Soekarno hanya ingin memastikan, saat itu
tidak terjadi perpecahan di Gorontalo kendati ada beberapa kelompok atau
dewan yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

Berangkat dari kisah tersebut, bangunan rumah mungil di tepi Danau


Limboto ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya/Situs Rumah Pendaratan
Soekarno oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala Gorontalo. Rumah tersebut menjadi
saksi kedatangan Soekarno di Gorontalo. Selanjutnya, pada 29 Juni 2002
rumah itu direnovasi dan diresmikan oleh Presiden RI yang kelima,
Megawati Soekarnoputri, sebagai museum.

Museum Pendaratan Pesawat Ampibi didirikan untuk mengenang semangat


juang Soekarno mempertahankan NKRI seperti yang tercantum dalam papan
nama museum.

Di museum ini, Anda akan diajak untuk sejenak kembali ke masa lampau
dengan mengamati berbagai dokumentasi kedatangan Presiden Pertama RI Ir.
Soekarno ke Gorontalo pada masa itu, juga di museum ini disimpan barang-
barang kuno dan bersejarah. Karena museum ini terletak tepat di tepian
Danau Limboto yang memiliki keindahan alam yang sejuk dan tenang,
sehingga dapat sekaligus dinikmati pemandangan indah sambil memancing
ikan di pondok-pondok tepi danau yang telah disediakan

WALIMA GORONTALO
Yotama

Minggu, 06 April 2008

MAULID NABI MUHAMMAD SAW DI DESA WISATA RELIGIUS BUBOHU BONGO


BATUDAA PANTAI KABUPATEN GORONTALO

Setiap tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Hijriah masyarakat muslim di


Indonesia mengenal perayaan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW
dengan istilah Maulid, di Gorontalo Maulid Nabi dirayakan dengan membuat
Walima (Kreasi Seni Kue Tradisional) pada bulan Rabiul Awal dimulai pada
tanggal 12 setiap Masjid-masjid diseluruh pelosok Gorontalo diramaikan
oleh umat islam yang berzikir dimulai setelah isya sampai jam 11 pagi
atau sekitar 15-16 jam. Pada akhir doa zikir Pengunjung dan Pezikir
mendapatkan kue Walima.
Disalah satu Desa di Kabupaten Gorontalo yaitu Desa Bongo Kecamatan
Batudaa Pantai pada Hari Minggu Tanggal 23 Maret 2008 perayaan Maulid
Nabi Besar Muhammad SAW dirayakan dengan membuat dan mengarak Walima
secara kolosal ke Masjid. Desa yang telah ditetapkan sebagai Desa Wisata
Religius ini menjadi tujuan Wisatawan Lokal yang mencapi puluhan ribu
untuk menyaksikan Parade Walima yang tahun ini untuk tujuan Pariwisata
dikemas dalam bentuk acara Parade dan Festival Walima I Se-Provinsi
Gorontalo.

Kue tradisional yang dikreasi Tahun ini lebih kurang mencapai 700.000
biji kue. Acara ini dikemas menjadi Parade dan Festival Walima adalah
membantu Program Pemerintah dalam hal melestaraikan budaya untuk
penunjang pariwisata, dan lebih terpenting lagi ikut serta memikirkan
budaya nusantara menjadi identitas diri untuk membangun Indonesia.

CATATAN :

Dalam acara Parade dan Festival Walima Se-Provinsi Gorontalo selain


Walima dari masyarakat Bongo dan masyarakat lainnya di seluruh Provinsi
Gorontalo juga banyak terdapat Walima dari masyarakat Gorontalo yang
berada di Jakarta.

Wisata religi di Gorontalo ini berada di Desa Bongo yang terletak di


Kecamatan Batuda"a Pantai Kabupaten Gorontalo. Desa ini adalah desa di
sebuah pesisir pantai selatan Provinsi Gorontalo. Desa ini sering
disebut sebagai kampung nelayan karena penduduk di desa religi Gorontalo
ini banyak yang berprofesi sebagai nelayan.

Penduduk di desa religi Gorontalo ini dominan beragama muslim, mereka


sengaja membangun desa Bongo sebagai desa religi yang bertujuan menarik
perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara untuk datang dan
menyaksikan wisata religi di Gorontalo ini. Jika berkunjung ke desa
religi Gorontalo ini, Anda akan disambut dengan senyum ramah penduduk
setempat. Lingkungan desa religi ini asri dan nyaman dengan pemandangan
alam yang ada dapat menyejukan mata Anda.

Desa wisata Religi Bongo, menyimpan banyak sejarah religi yang bisa anda
lihat dan pelajari di Desa religfi Gorontalo seperti :

Masjid Walima Emas yang terletak di puncak bukit. Dengan kubah masjid
berbentuk Walima yang terang dan bersinar ketika menjelang malam.
Kalender Islam atau Kalender Hijriah terbesar di dunia yang terdapat di
Masjid Walima Emas.
Kolam Miem, Sebuah kolam dengan air pegunungan alami, yang dingin dan
sejuk. Kolam yang terletak di puncak bukit dan bersebalahan dengan
Masjid Walima Emas.

GORONTALO, KOMPAS.com -
Ribuan orang memadati puncak peringatan Walima (kelahiran Nabi Muhammad)
di desa wisata relijius Bongo, Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo.

Sejak pagi mereka memadati jalan-jalan di tepi bukit gersang dari desa-
desa sekitar dan luar kota, Minggu (3/1/2016) kemarin.

Iring-iringan Tolangga (usungan kayu menyerupai perahu atau menara)


dipenuhi kue kolombengi dan toyopo (wadah ayaman janur berisi ayam
panggang atau ikan) sudah mulai diarak penduduk ke masjid At-Taqwa.

Satu keluarga menyediakan satu tolangga untuk diantar ke masjid. Namun,


bagi yang mampu, beberapa tolangga bisa membuat lebih dari satu.

Prosesi membawa tolangga dari rumah ke masjid ini adalah atraksi yang
ditunggu masyarakat yang memadati desa yang dihuni nelayan tradisional
ini.

Membawa tolangga bukan perkara mudah, karena besarnya tolangga dan


banyaknya kue yang menghias. Diperlukan minimal dua orang atau lebih
untuk bisa membawanya, bahkan ada yang tingginya mencapai empoat meter,
sehingga dibutuhkan kendaraan gerobak.

Puji-pujian dan doa syukur dllafalkan masyarakat saat mengarak tolangga.


Inilah wujud rasa cinta masyarakat Gorontalo atas kelahiran Nabi
Muhammad.

Di masjid, ratusan masyarakat melantunkan dikili, syair-syair yang


berisi sejarah kelahiran nabi dalam bahasa Arab dan Gorontalo.

Sejak semalam dikili dikumandangkan tanpa henti, hingga menjelang siang


saat tolangga tiba di masjid. Inilah prosesi unik walima di Gorontalo
yang paling banyak dikunjungi orang.

Tradisi walima adalah tradisi tua semasa kerajaan-kerajaan Islam ada,


yang dilaksanakan turun-temurun antar generasi. Diperkirakan mulai ada
sejak Gorontalo mengenal Islam, pada abad XVII.

Menurut Alex Bobihoe, Ketua Lembaga Adat Limboto, walima merupakan


tradisi lama yang hingga kini masih terpelihara dengan baik.

Tanpa diperintah, setiap masjid di seluruh Gorontalo melaksanakan


tradisi ini, dan masyarakatnya menyiapkan kue-kue tradisional seperti
kolombengi, curuti, buludeli, wapili, pisangi.

Sejak tahun 1673, saat kerajaan Gorontalo menetapkan semboyan adat


bersendikan syara dan syara bersendikan kitabullah, sejak itu tradisi
walima mulai ramai dilaksanakan masyarakat, kata Alex Bobihoe.

Salah satu yang khas di Bongo ini adalah sikap tulus dan ikhlas
masyarakat dalam menyambut tamu, termasuk yang tidak dikenal sekalipun.
Tamu-tamu tersebut akan dipersilakan menikmati hidangan yang telah
disiapkan. Makan minum dan membawa oleh-oleh kule kolombengi sudah
disiapkan oleh tuan rumah.

Saya sudah sebulan lalu menyiapkan kolombengi untuk walima, sebagian


dikirim ke masjid dalam bentuk hiasan tolangga, dan sebagian lagi
dikemas dalam plastik untuk dijadikan oleh-oleh pengunjung, ungkap
Abdullah Nihe.

Hingga sore, Bongo masih riuh dengan kemeriahan walima. Lalu lalang
kendaraan mengular memenuhi jalan, kemacetan tidak terelakkan, namun
semua puas, pulang membawa oleh-oleh kolombengi.

Dapus

http://walimagorontalo.blogspot.co.id/

http://aboutgorontalo.blogspot.co.id/2012/09/benteng-otanaha-peninggalan-
bersejarah.html
http://regional.kompas.com/read/2016/01/04/13335081/Ribuan.Orang.Hadiri.Walima.di.
Bongo.Gorontalo

http://www.pulsk.com/299184/
https://id.wikipedia.org/wiki/Benteng_Otanaha
aboutgorontalo.blogspot.com/2012/09/

Anda mungkin juga menyukai