Peristiwa Rengasdengklok
Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945.
Berita tentang kekalahan Jepang ini masih dirahasiakan oleh Jepang. Namun demikian para
pemimpin pergeraakan dan pemuda Indonesia lewat siaran luar negeri telah mengetahui pada
tanggal 15 Agustus 1945. Untuk itu para pemuda segera menemui Bung Karno dan Bung
Hatta di Pegangsaan Timur No.56 Jakarta dan meminta agar mau memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia lepas dari pengaruh Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta tidak
menyetujui dengan alasan bahwa proklamasi perlu dibicarakan dalam rapat PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sehingga pada malam hari tanggal 15 Agustus 1945
mengadakan rapat di ruang Laboratorium Mikrobiologi di Pegangsaan Timur yang dihadiri
oleh Soekarni, Yusuf Kunto, Syodanco Singgih, dan Chaerul Saleh sebagai pemimpinnya.
Hasil rapat disampaikan oleh Darwis dan Wikana yaitu mendesak agar Soekarno-Hatta
memutuskan ikatan dengan Jepang. Muncul suasana tegang sebab Soekarno-Hatta tidak
menyetujuinya. Namun golongan muda tetap mendesak agar tanggal 16 Agustus 1945
diproklamasikan kemerdekaan. Prinsip golongan tua menekankan masih perlunya diadakan
rapat PPKI.
Kemudian dini hari tanggal 16 Agustus 1945, golongan muda mengadakan rapat di Asrama
Baperpi, Jalan Cikini 71 Jakarta dengan keputusan untuk membawa Bung Karno dan Bung
Hatta keluar kota agar tidak terkena pengaruh Jepang. Pada dini hari tanggal 16 Agustus
1945, Soekarno-Hatta diculik oleh Soekarni, Yusuf Kunto, dan Syodanco Singgih ke
Rangasdengklok. Pada sore harinya, Ahmad Soebarjo memberi jaminan bahwa selambat-
lambantnya esok hari tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta akan memproklamasikan
Kemerdekaan Indonesia, maka Cudanco Subeno (komandan kompi tentara PETA di
Rengasdengklok) memperbolehkan Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta.
2. Di Tingkat Daerah
Rakyat menyambut berita proklamasi dengan semangat perjuangan yang tinggi, dibuktikan
dengan pelucutan senjata tentara Jepang, pengambilan kekuasaan, semangat membara untuk
terus berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Disamping melalui siaran radio, surat selebaran, berita proklamasi secara resmi juga dibawa
oleh para utusan yang kebetulan menghadiri Sidang PPKI dan menyaksikan peristiwa
proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, yaitu :
Teuku Muhammad Hassan (diangkat menjadi Gubernur Sumatera)
Sam Ratulangi (diangkat menjadi Gubernur Sulawesi)
Ketut Pujo (diangkat menjadi Gubernur Nusa Tenggara)
P. Mohammad Noor (diangkat menjadi Gubernur Kalimantan)
Kedatangan para utusan di daerah masing-masing disambut dengan penuh kegembiraan dan
diikuti berbagai upacara yang meriah.
a. Perundingan Linggarjati
Masuknya AFNEI yang memboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan status
quo di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti
contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab
untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark
Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge
Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui
kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Madura, namun Belanda hanya mau mengakui
Indonesia atas Jawa dan Madura saja
Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk
menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946
bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda
dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan
senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai
tanggal 11 November 1946.
Linggarjati adalah kota kecil yang berda disekitar 21 km sebelah barat Cirebon. Perundingan
Linggarjati dilaksanakan pada tanggal 10-15 November 1946. dalam perundingan Linggarjati
delegasi Indonesia dipimpin perdana Menteri Sutan Syahrir, sedangkan delegasi Belanda
diwakili oleh Prof. S. Schemerhorn dan Dr. H,J. Van. Mook. Penengah dan pemimpin
perundingan dari pihak Inggris, yaitu Lord Killeam. Hasil perundingan diumumkan pada
tanggal 15 November 1946 dan telah tersusun sebagai naskah persetujuan yang terdiri atas 17
pasal, antara lain berisi sebagai berikut:
1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah
kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan
wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara
Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu
bagiannya adalah Republik Indonesia
3. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia -
Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Hasil perundingan Linggarjati menimbulkan berbagai pendapat pro dan kontra di kalngan
partai politik di Indonesia. Perundingan Linggarjati merugikan pihak Reopublik Indonesia
krena wilayahnya semakin sempit, yaitu hanya meliputi Jawa, Madura dan Sumatera. Hal ini
menyebababkan terjadinya pergolakan di Bali Novmber 1946 dibawah pimpinan Letnan
Kolonel Gusti Ngurah Rai, dengan perang puputan/ perang habis-habisan (puputan Margarana
) dan pertempuran Manado dipimpin Letkol Taulu yang dibantu oleh Residen Lapian
melawan tentara KNIL (Belanda).
Perundingan Linggarjati bagi Belanda hanya dijadikan alat untuk mendatangkan pasukan
yang lebih banyak dari negerinya. Untuk memperoleh dalil guna menyerang Republik
Indonesia mereka mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. Supaya dibetuk pemerintahan federal sementara yang akan berkuasa di seluruh
Indonesia samapai pembentukan Republik Indonesia Serikat. Hal ini berarti Republik
Indonesia ditiadakan.
2. Pembentukan gendermeri (pasukan Keamanann) bersama yang akan masuk ke
daerah Republik Indonesia.
Republik Indonesia menolak usul itu karena berarti menghancurkan dirinya sendiri.
Penolakan itu menyebabakan Belanda melakukan agresi militer terhadap wilayah Republik
Indonesia. Serangan belanda dimulai tanggal 21 Juli 1947 dengan sasaran kota-kota besar di
Pulau Jawa dan sumatera. Menghadapi militer Belanda yang bersenjata lengkap dan modern
menyebabakan satuan-satuan tentara Indonesia terdesak ke luar kota. Selanjutnya, TNI dan
lascar rakyat melakukan serangan balasan dan taktik perang gerilya.
Adanya agresi Militer Belanda I menimbulkan simpati dan reaksi keras dari dunia
Internasional. Bentuk simpati dunia Internasional ditujukan dengan tindakan sebagai berikut:
1. Palang Merah Malaya (Malaysia) dan India mengirimkan bantuan obat-obatan
yang diangkut oleh pesawat Dakota dari Singapura. Namun, ketika akan mendarat di
Yogyakarta pesawat itu ditembaki jatuh oleh tentara Belanda.
2. Australia dan India bereaksi keras dengan mendesak Dewan Keamanan PBB
agar segera membahas masalah Indonesia.
Pada tanggal 4 Agustus 1947 pemerintah republic Indonesia dan Belanda mengumumkan
mulai berlakuknya gencatan senjata. Sejak pengumuman gencatan sebnjata tersebutlah, secara
resmi berakhirnya agresi milter Belanda I. akan tetapi, kenyataannya Belanda masih terus
memperluas wilayahnya samapi dengan dibentuk garis demakrasi yang jauh ke depan ( garis
Van Mook ). Indonesia menolak, dengan demikian gencatan senata yang diserukan oleh PBB
belum berlakuk secara efektif. Berkat perjuangan diplomasi di forum PBB, banyak negara
yang mendukung perjuangan bangsa Indonesia dan membantu mencari jalan penyelesaian
secara damai. Dalam upaya penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda secara damai
dan mengawasi gencatan senjata yang telah disepakati bersama maka Dewan Keamanan PBB
membentuk Komisi Tiga Negara (KTN). Negara yang duduk dalam KTN adalah hasil
tunjukan Republik Indonesia, Belanda dan sebuah negara lagi yang bersifat netral negara
tersebuat adalah:
1. Australia (tunjukan Indonesia), diwakili oleh Richard Kirby.
2. Belgia (tunjukan Belanda), diwakili oleh Paul Van Zeeland
3. Amerika Serikat (tunjukan Australia dan Belgia), diwakili Dr. Frank Graham
c. Perjanjian Renville
Atas usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara Indonesia
dan Belanada di atas kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia
terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh.
Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir
Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran Kartanagara dan Zulkarnain.
Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasala dari bangsa Indonesia sendiri yang pro
Belanda. Dengan demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar Indonesia
mudah dikuasainya. Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan
17 Januari 1948 maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville.
Pokok-poko isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut :
1. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia samapi kedaulatan
Indonesia diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk.
2. Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara
Belanda dalam uni Indonesia-Belanda.
3. Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS
4. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagain kekuasaannya
kepada pemerintahan federal sementara.
5. Pasukan republic Indonesia yang berda di derah kantong haruns ditarik ke
daerah Republik Indonesia. Daerah kantong adalah daerah yang berada di belakang
Garis Van Mook, yakni garis yang menghubungkan dua derah terdepan yang diduduki
Belanda.
Perjanjian Renville ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. adapun
kerugian yang diderita Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville adalah sebagai
berikut :
1. Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalaui
masa peralihan.
2. Indonesia kehilangan sebagaian daerah kekuasaannya karena grais Van Mook
terpaksa harus diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda.
3. Pihak republik Indonesia harus menarik seluruh pasukanya yang berda di derah
kekuasaan Belanda dan kantong-kantong gerilya masuk ke daerah republic Indonesia.
Penandatanganan naskah perjanjian Renville menimbulkan akibat buruk bagi pemerinthan
republik Indonesia, antra lain sebagai berikut:
1. Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikururung oleh
daerah-daerah kekuasaan belanda.
2. Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin republic Indonesia
yang mengakibatkan jatuhnya cabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual
negara kepada Belanda.
3. Perekonomian Indonesia diblokade secara ketata oleh Belanda
4. Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari
daerah-daerah gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang
berdekatan.
5. Dalam usaha memecah belah Negara kesatuan republic Indonesia, Belanda
membentuk negara-negara boneka, seperti; negara Borneo Barat, Negara Madura,
Negara Sumatera Timur, dan Negara jawa Timut. Negara boneka tersebut tergabung
dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overslag).
d. Agresi Militer Belanda II
Melihat situasi Republik Indonesia yang kacau akibatnya meletus pemberontakan PKI di
Madiun maka pada tanggal 18 Desember 1948, Belanda secara sepihak membatalkan
persetujuan gencatan senjata esok harinya (19 Desember 1948 dini hari) tentara Belanda
langsung menyerbu Lapangan Udara Maguwo, Yogyakarta. Serangan Belanda yang tiba-tiba
berhasil dengan gemilang sehingga pada jam 16.00 WIB seluruh Yogyajarta sudah jatuh di
tangan Belanda. Presiden dan Wakil Presiden memutuskan untuk tetap tinggal di Ibu kota,
meskipun mereka akan ditawan oleh musuh. Alasanya, supatya mereka mudah ditemui oleh
KTN dari kegiatan diplomasi dapat berjalan terus Tentara Belanda berhasil memasuki istana
keprisidenanan dan para pejabat tinggi negara ditawan, semuanya ada 150 orang. Pagi harinya
tanggal 22 Desember 1948, Presiden Soekarno, Haji agus salim dan Sutan Syahrir diasingkan
ke Berastagi, kemudian dipindahkan ke Prapat di tepi danau Toba, Sumatera Utara.
Moh.hatta, Moh Roem, Mr. A.G Pringgodigdo, Mr.Assaat dan Komandor S. suyadayrman
diasingkan ke Montok di Pulau Bangka. Pada bulan Januari akhir, Presiden Sukarno dan Ahji
Agus salim dipindahkan ke Muntok sehingga berkumpul dengan Moh. Hatta dan kawan-
kawan.
Untuk menghindari serangan Belanda dan agar selalu tetap bersama-sama dengan TNI,
Panglima Besar jenderal Sudirman memimpin perang gerilya dengan berpindah-pindah
tempat. TNI melakukan serangan umum terhadap kota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949
yang dipimpin oleh Letnan Kolonel suharto, Komado Brigade 10 Daerah Wehrkereise III
yang membawahi daerah Yogyakarta. Serangan umum pada tanggal 1 Maret dilakukan
serentak dari berbagai jurusan kota sehingga tentara Belanda sangat terkejut dan tidak mampu
menguasi keadaan. Mulai pukul 6.00 WIB hingga 12.00 WIB, TNI berhasil menguasai
Yogyakarta. TNI walaupun hanya enam jam menduduki kota Yogyakarta, seranganya
mempunyai arti yang sangat penting yaitu:
1. Meningkatkan moral rakyat dan TNI yang sedang berjuang
2. Mematahkan moral pasukan Belanda
3. Menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan
untuk menyerang dan menunjukan bahwa Indonesia masih ada atas eksis.
Dunia mengutuk agresi Belanda dan mendukung perjuangan bangsa Indonesia. Negara
Indonesia Timur dan Negara Pasundan sebagai negar boneka bentukan Belanda juga
mengecam berlangsungnya Angresi Militer Belanda II. Atas prakarsa Burma ( Myanmar) dan
India maka terselenggaralah Konferensi Asia di New Delhi, India pada tanggal 20-23 Januari
1949. konferensi dihadiri oleh beberapa negara Asia, Afrika dan Ausralia menghasilkan
resulusi mengenai masalah Indonesia yang kemudian disampaikan kepada Dewan Keamanan
PBB. Agresi Militer Belanda II juga mengundang reaksi dari PBB karena Belanda secara
terang-terangan melanggar Perjanjian Renville di depan Komisi Tiga Negara yang
ditugaskkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tanggal 4 Januari 1949, Dewan
Keamanan PBB mengeluarkan resulusi agar Republik Indonesia dan Belanda menghentikan
permusuhan. Kegagalan Belanda dalam berbagai pertempuran dan tekanan dari dunia
Internasional, terutama Amerika Serikat memaksa Belanda kembali ke meja perundingan.
Akibat agresi Militer Belanda II, Presiden dan Wakil Presiden beserta beberapa pejabat tinggi
dapat ditawan oleh Belanda. Namun, ketika masih berlangsung Agresi Militer Belanda II para
pemimpin republic tersebut sempat sempat bersidang dan menghasilkan tiga keputusan
penting antara lain sebagai berikut:
1. Pemberian kuasa penuh kepada Syarifudin Prawiranegara untuk membentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
2. Kepada Marimis, L.N Palar, dan Dr. Sudarsono sedang berda di India agar
membentuk pemerintahan RI di pengasingan.
3. Presiden dan wakil Presiden RI memutuskkan tidak mengungsi, tetap tinggal
di kota dengan kemungkinann ditawan dan dekat dengan KTN.
Hasil keputusan sidang para pemimpin RI itu segera dikirim kepada Syarifuddin
Prawiranegara di Bukittinggi, Sumatera Barat yang ditandatangani oleh Presiden sukarno dan
wakil Presiden Moh hatta. Apabila tugas itu gagal agar segera dibentuk pemerintahan RI di
pengasingan oleh tokoh Indonesia yang ada di India, yaitu Marimis, L.N Palar, dan Dr.
Sudarsono. Berita tersebut ternyata tidak pernah samapi ke Bukittingi karena seluruh
hubungan telepon keluar Yogyakarta telah diputus oleh Belanda.
Terbentuknya PDRI sendiri pada tanggal 19 Desember 1948 pada jam 18.00 WIB atas
inisiatif Mr. Syarifudin dan beberapa pemuka pemerintahan di Sumatera. Alasannya, mereka
ikut meras bertanggung jawab atas kelangsungan hidup republic Indonesia dan untuk
keselamatan perjuangan. Dengan terbentuknya PDRI, perjuangan masih tetap dilaksanakan
dan dikoordinir melalaui peamncar yang dilaksanakan oleh Angkatan Udara Republik
Indonesia.
f. Perundingan Roem-Royen
Belanda terus-menerus mendapat tekanan dari dunia internasional, terutama Amerika Serikat
sehingga bersedia berunding dengan Indonesia. Perundingan antra Indonesia dan Belanda
diawasi oleh komisi PBB untuk Indonesia atau United Nations Commision fotr Indonesia
(UNCI). Perundingan akan diselenggarakan di Den Haag, Belanda yang disebut Konferensi
Meja Bundar (KMB)
Sebelum itu, diadakan perundingan pendahuluan di Jakarta yang diselenggarakan pada
tanggal 17 April samapi dengan 7 Mei 1948. Perundingan yang dipimpin oleh Marle Cochran
wakil Amerika serikat dalam UNCI. Delegasi Indonesia yang diketuai oleh Moh. Roem
dengan anggotanya Ali Sastro Amijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo, dan
Latuharhary. Bertindak sebagai penasihat adalah Sutan syahrir, Ir.Laok, dan Moh Natsir.
Delegasi Belanda diketuai oleh Dr. J.H. Van royen dengan anggota Bloom, Jacob, dr. Van dr
Vede, Dr. P.J Koets, Van Hoogstratendan Dr Gieben. Akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949
tercapai Roem Royen Statement. Pernyataan pemerintah RI dibacakan oleh ketua delegasi
Indonesia, Moh Roem yang berisi, antara lain sebagai berikut :
1. Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian
perang gerilya
2. Pemerintah RI turut serta dalam konferensi meja bundar dengan tujuan
mempercepat penyerahan kedaulatan yang lengkap dan tidak bersyarat kepada
Negara Republik Indonesia serikat.
Delegasi Belanda Kemudian membacakan pernyataan yang dibacakan oleh Dr. J.H Van
Royen yang berisi antara lain sebagai berikut:
1. Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah Ri harus bebas dan leluasa
melakukan kewajiban dalam suatu daerah yang meliputi keprisidenanan
Yogyakarta
2. Pemerintah Belanda membebaskan secara tidak bersyarat para pemimpin
Republik Indonesia dan Tahananpolitik lain yang ditawan sejak tanggal 19
Desember 1948.
3. Pemerintah Belanda setuju Republik Indonesia akan menjadi bagian dari
Republik Indonesia Serikat
4. Konferensi meja Bundar akan diadakan secepatnya di Den Haag sesudah
Republik Indonesia dikembalikan di Yogyakarta.
Dengan tercapinya kesepakatan dalam prinsip-prinsip perundingan Roem-Royen, pemerintah
Darurat Republik Indonesia di Sumatera memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
untuk mengambil alih memerintah Yogyakrta dari pihak Belanda. Pihak TNI masih menaruh
kecurigaan terhadap hasil persetujuan Roem-Royen, tetapi Panglima Besar Jenderal
Sodierman memperingatkan seluruh komando kesatuan agar tidak memikirkan maslah politik.
Pada tanggal 22 Juni 1949, diselenggarakan perundingan segitiga antar Republik Indonesia,
BFO, dan Belanda. Perundingan itu diawasi PBB yang dipimpin oleh Chritchley
menghasilkan tiga keputusan yaitu:
1. Pengembalian Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakrta yang
dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 1949.
2. Pemerintah menghentikan perang gerilya.
3. KMB akan diselenggarakn di Den Haag.
Pada tanggal 1 Juli 1949 pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke Yogyakrta
disusul dengan kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dari medan gerilya. Panglima
Jenderal Soedirman tiba kembali di Yogyakrta tanggal 10 Juli 1949. Setelah pemerintah
Republik Indonesia kembali ke Yogyakrta, pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang
cabinet Republik Indonesia yang pertama. Pada kesempatan itu Mr. Syafrudin Prawiranegara
mengembalikan mandatnya kepada wakil presiden, Moh.Hatta. dalam sidang cabinet juga
diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjadi Menteri Pertahanan
merangkap Ketua Koordinator Keamanan. Tindak lanjut Persetujuan Roem Royen adalah:
1. Seluruh tentara Belanda harus segera dilantik di Yogyakarta
2. Setelah kota Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda, pada tanggal 29
Juni 1949 TNI mulai memasuki kota. Keluarnya tentara Belanda dan
masuknya TNI diawasi oleh UNCI. Panglima Besatr Jenderal Sudirman
beserta para pejuang lainnya baru tiba di Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949
dengan tandu.
3. Setelah kota Yogyakarta sepenuhnya dikuasai oleh TNI maka Presiden dan
wakil Presiden RI beserta para pemimpin lainnya pada tanggal 6 Juli 1949
kembali ke Yogyakarta dari Bangka.
4. Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera yang dipimpin
oleh Syarifuddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya kepada
pemerintah pusat di Yogyakarta . penyerahan terjadi pada tanggal 13 Juli 1949,
saat berlangsungnya sidang kabinet.
g. Konferensi Inter-Indonesia
Untuk menghadapi Konferensi Meja Bundar (KMB), pemerintah Republik Indonesia perlu
menyamakan langkah BFO (Bijenkomst Voor Federal Overslag) Konferensi Inter Indonesia
berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 yang dipimpin oleh Wakil Presiden
Drs. Mohammad Hatta dengan keputusan:
1. Negara Indonesia serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat
(RIS) yang berdasrkan demokrasi dan federalisme.
2. RIS akan dipimpin oleh seorang presiden yang dibantu oleh menteri-menteri
3. RIS akan menerima kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun dari
Kerajaan Belanda.
4. Angkatan Perang RIS adalah angkatan perang nasional, Presiden RIS adalah
Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS
5. Pertahanan negara adalah semata-mata hak pemerintah RIS, negar-negra
bagian tidak akan mempunyai angkatan perang sendiri.
Sidang kedua Konferensi Inter Indonesia di selenggrakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli
dengan keputusan:
1. Bendera RIS adalah Sang Merah Putih
2. Lagu kebangsaan Indonesia Raya
3. Bahasa resmi RIS adalah Bahsa Indonesia
4. Presiden RIS dipilih wakil RI dan BFO. Pengisian anggota MPRS diserahkan
kepada kebijakan negara-negara bagian yang jumlahnya enam belas negara. Kedua
delegasi juga setuju untuk membentuk panitia persiapan nasional yang bertugas
mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan Konferensi Meja
Bundar.
Pengakuan Kedulatan
Pada tanggal 23 Desember 1949 delegasi RIS diketuai oleh Drs. Moh Hatta dengan anggota
Sultan Hamid Algadrie, Suyono Hadinoto, Dr. Suparmo, Dr. Kusumaatmaja dan Prof Dr.
Supomo berangkat ke Belanda. Pada tanggal 27 Desember 1949 pemerintah Belanda
menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat. Di dua tempat:
1. Negeri Belanda
Ratu Juliana, Perdana Menteri Willem Dress, dan Menteri Seberang Lautan, A.M.J.M.
Sassen menyerahakan kedaulatan kepada pemimpin delegasi Indonesia (RIS), Drs.
Moh. Hatta.
2. Jakarta
Wakil Tinggi Mahkota A.H.J Lovink menyerahkan kedaulatan kepada wakil
pemerintah RIS., Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Bersama dengan itu, di Yogyakrta
Presiden Sukarno menerima penyerahan kedaulatan Republik Indonesia ke dalam RIS
Pejabat Presiden Assaat. Dan tanggal 28 Desember 1949 pusat pemerintahan RIS
dipindahkan lagi ke Jakarta. Sebulan kemudian, yaitu pada tanggal 29 Januari 1950,
Jenderal Soedirman meninggal pada usia 32 tahun. Soedirman adalah pahlawan besar
bagi TNI dan rakyat Indonesia.
1. Perjuangan Diplomasi
Pasal 2 ayat 1 Piagam penyerahan Kedaulatan tentang wilayah Irian (Niuew-Guinea) dalam
status quo. Untuk sementara sambil berjalan dalam waktu satu tahun setelah tanggal
penyerahan kedaulatan kepada RIS akan diselesaikan dengan cara perundingan. Namun,
Belanda mulai mengingkari hasil KMB tersebut khususnya masalah irian Barat. Bangsa
Indonesia dengan diplomasi dan kekuatan militer yang ada merebut wilayah Irian barat yang
dikuasai Belanda.