Perang di kawasan Asia Pasifik telah mengubah keadaan secara global, baik di kawasan Asia
maupun Eropa. Jepang sebagai wakil dari negara Asia yang terlibat dalam perang tersebut tentu
mempengaruhi keadaan di kawasan Asia lainnya, termasuk Indonesia. Menyerahnya Jepang kepada
Sekutu tanpa syarat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk segera memproklamasikan kemerdekaannya.
Kekalahan Jepang telah diketahui oleh Indonesia yaitu pada tanggal 10 Agustus 1945.
Sutan Syahrir mendengar berita lewat radio bahwa Jepang menyerah kepada Sekutu, sehingga
para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI dan menolak bentuk
kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Mereka pun segera mengadakan rapat di salah satu
ruangan Laboratorium Bakteriologi di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1945,
pukul 20.30. Hadir pada rapat, antara lain, Chaerul Saleh, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto,
Margono, Wikana, dan Alamsyah. Rapat itu dipimpin oleh Chaerul Saleh dan menghasilkan keputusan
tuntutan-tuntutan golongan pemuda yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak dan
masalah rakyat Indonesia sendiri. Yang mendapat kepercayaan dari golongan muda untuk menemui
Soekarno adalah Wikana dan Darwis.
Pada waktu itu, Soekarno dan Moh. Hatta lebih memilih agar proklamasi dilakukan melalui
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sementara golongan pemuda menginginkan agar
proklamasi dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan bentukan Jepang.
Akibat adanya perbedaan pandangan tersebut, maka golongan pemuda memutuskan untuk mengasingkan
Soekarno-Hatta yang dianggap sebagai "golongan tua" ke suatu daerah yaitu Rengasdengklok dengan
tujuan agar Soekarno dan Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para golongan pemuda khawatir
apabila kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia, seolah-olah
akan menjadi pemberian dari Jepang.
Golongan muda gigih berusaha meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para
pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda (Wikana) dan
golongan tua (Mr. Ahmad Soebardjo) melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar
Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke
Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru
memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing.
Mengingat bahwa Hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan
untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan
rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi), sebagai tempat rapat PPKI, diterima
oleh para tokoh Indonesia.
Selanjutnya, perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di
ruang makan rumah Laksamana Tadashi Maeda, Jl. Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi
itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh
Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah, Sayuti Melik, Sukarni, dan Soediro. Sukarni
mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas
nama bangsa Indonesia. Adapun teks Proklamasi Indonesia diketik oleh Sayuti Melik.
Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur No. 56 telah hadir, antara
lain, Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani, dan Trimurti.
Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung
pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati,
dikibarkan serta disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, Wakil Walikota Jakarta dan Moewardi,
pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan
pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu, ditunjuklah Latief
Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi
muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang
dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Kemudian dikibarkanlah bendera dengan diiringi lagu
Indonesia Raya.
Berita tentang proklamasi Indonesia mendapat pertentangan dari pasukan Jepang yamg ada di
Indonesia. Mereka, misalnya, melakukan penyegelan pemancar pada Kantor Radio Domei dengan tujuan
agar berita proklamasi tersebut tidak dapat disebarluaskan kepada rakyat Indonesia. Tapi, dengan jiwa
nasionalisme yang tinggi, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio
Domei) ternyata mampu membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya, Sukarman,
Sutanto, Susilahardja, dan Suhandar.
Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK1. Dari sinilah
selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.Usaha dan perjuangan para pemuda dalam
penyebarluaskan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir
seluruh harian di Jawa dalam terbitan tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi.
Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers, antara lain, B.M. Diah, Sayuti Melik, dan
Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan
plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan
Respect Our Constitution, August 17!!! (Hormatilah Konstitusi Kami, 17 Agustus!!!).
Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan hingga mancanegara. Di samping melalui media massa,
berita proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI.
Para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi, yaitu Teuku Mohammad Hassan (Aceh),
Sam Ratulangi (Sulawesi), Ketut Pudja (Bali), dan A. A. Hamidan dari Kalimantan.
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan tonggak perjuangan
merebut kekuasaan dari tangan penjajah. Dengan adanya proklamasi, berarti bangsa Indonesia memiliki
hak untuk menentukan nasib sendiri dan terlepas dari intervensi asing. Momentum proklamasi tersebut
merupakan perjuangan seluruh komponen bangsa. Namun, ada beberapa nama yang menjadi aktor atau
tokoh utama di balik proklamasi kemerdekaan RI. Adapun tokoh-tokoh tersebut adalah :
4. B.M. Diah
Beliau merupakan wartawan yang berperan dalam menyiarkan kabar berita kemerdekaan Indonesia ke
seluruh penjuru tanah air.
Tanggal 7 Agustus 1945 -- BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia).
Tanggal 9 Agustus 1945 -- Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Vietnam
untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran
tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.
Tanggal 10 Agustus 1945 -- Sementara itu, di Indonesia, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat
radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap
memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah
Jepang. Syahrir memberitahu penyair Chairil Anwar tentang dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan
bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari Sekutu untuk menyerah. Syahrir mengetahui hal itu melalui
siaran radio luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian tersebar di lingkungan para pemuda
terutama para pendukung Syahrir.
Tanggal 11 Agustus 1945 -- Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada
Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat dilaksanakan dalam
beberapa hari.
Tanggal 14 Agustus 1945 -- Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat (250 km
di sebelah timur laut dari Saigon), Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan
kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu busuk Jepang, karena Jepang
setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu
nasionalis, antara yang anti dan pro dengan Jepang. Hatta menceritakan kepada Sjahrir tentang hasil
pertemuan di Dalat.
Sementara itu Syahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus
siap menghadapi bala tentara Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan. Syahrir telah
menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak dan dibagi-bagikan.
Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu
dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang
Indonesia belum siap, Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan
kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Tanggal 15 Agustus 1945 -- Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih
berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke
tangan Belanda. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, Soekarno dan Hatta
mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di
Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam
Bonjol. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat.
Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang
dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada pukul 10 malam 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2
guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan UUD yang sehari sebelumnya telah
disiapkan Hatta.
Tanggal 16 Agustus 1945 -- Gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh
Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Syahrir. Pada siang hari mereka berkumpul di
rumah Hatta, dan sekitar pukul 10 malam di rumah Soekarno. Sekitar 15 pemuda menuntut Soekarno
segera memproklamasikan kemerdekaan melalui radio, disusul pengambilalihan kekuasaan. Mereka juga
menolak rencana PPKI untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus.
Peristiwa Rengasdengklok
Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul.
Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok. Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul
Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16
Agustus 1945 mereka menculik Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan
Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap
untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Sebelumnya para pemuda mengusulkan agar naskah proklamasi menyatakan semua aparat pemerintahan
harus dikuasai oleh rakyat dari pihak asing yang masih menguasainya. Tetapi mayoritas anggota PPKI
menolaknya dan disetujuilah naskah proklamasi seperti adanya hingga sekarang. Para pemuda juga
menuntut enam pemuda turut menandatangani proklamasi bersama Soekarno dan Hatta dan bukan para
anggota PPKI. Para pemuda menganggap PPKI mewakili Jepang. Kompromi pun terwujud dengan
membubuhkan anak kalimat atas nama Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta. Rancangan naskah
proklamasi ini kemudian diketik oleh Sayuti Melik.