Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH RINGKAS PAPUA: SEBUAH ANALISIS KRITIS

Oleh : Tim Penulis Pusat Kajian Daerah dan Anggaran DPD RI

PROLOG: MAKNA SEBUAH NAMA


1. Dimulai dari Sriwijaya
Sejak abad ke-8 Papua sudah bersentuhan dengan dunia luar seperti Asia, Afrika, dan
Eropa. Kerajaan Sriwijaya yang dipimpin oleh Sri Indrawarman kerap mengirim burung
Cenderawasih dari pulau yang disebutnya "Janggi" kepada Kaisar Tiongkok.  Baru pada awal
tahun 700-an M, para pedagang dari Persia dan Gujarat mulai berdatangan ke Papua dan
menyebutnya sebagai Dwi Panta ataupun Samudrananta, yaitu sebutan mereka untuk ujung
samudra atau ujung lautan. Kerajaan Majapahit, di akhir tahun 1300-an M menyebutnya
sebagai Wanin dan Sram. Nama Wanin merujuk kepada Semenanjung Onin di daerah Fak-
Fak, sedangkan Sram adalah Pulau Seram di Maluku. Hal ini dikarenakan budak yang dibawa
untuk dipersembahkan kepada Kerajaan Majapahit berasal dari Onin, yang dibawa oleh
orang Seram, Maluku. Pada masa itu, Papua diyatakan sebagai wilayah ke delapan dari
Kerajaan Majapahit. Demikian pula nama Papua, bukan sekonyong-konyong diberikan oleh
Presiden Abdurrahman Wahid ketika berkunjung ke Irian Jaya pada 31 Desember 1999 lalu.
Tetapi nama Papua sudah disebut oleh para penjelajah atau petualang yang ingin
menjejakkan kakinya di pulau yang membentang di ujung timur Nusantara ini 1.

2. Portugal: Ilhas Dos Papua


Gubernur pertama Portugis di Maluku, Jorge de Meneses pada tahun 1528, ketika
mengunjungi pulau Waigeo di Kepulauan Raja Ampat, melihat penduduknya berkulit hitam
dan berambut keriting. Menyebut orang yang tinggal di wilayah itu dengan "Papua",
sedangkan wilayahnya disebut "Ilhas Dos Papua" yang artinya Pulau Papua. Sedangkan
pelaut Portugis Antonio d'Arbreu mengunjungi pantai wilayah yang disebutnya Papua pada
tahun 1551. Lalu apa arti Papua itu sendiri? Beberapa sumber ada yang menyebutkan bahwa
Papua berasal dari kata Melayu Kuno "pua-pua" yang artinya "keriting"2.

3. Spanyol: Nueva Guinea


Perubahan nama juga dilakukan oleh petualang dari Eropa yang hendak menguasai
Papua. Orang-orang Spanyol seperti Alvaro de Saveedra pada tahun 1528 dari Maluku sudah
mengincar untuk mendarat di pulau ini.  Disusul oleh nakhoda lainnya bernama Inigo Ortiz
de Retes dengan kapal Saint Juan dalam perjalanannya dari Tidore menuju Meksiko
melewati pantai utara dan memilih mampir di Mamberamo pada 20 Juni 1545 memberi
nama pulau ini dengan "Nueva Guinea" yang berarti "Guinea Baru". Alasan penyebutan
tersebut, karena pantai-pantai dan orang berkulit hitam di wilayah ini memberikan
1
Maylina Saragih. 2019. Heroisme PGT Dalam Operasi Serigala. Jakarta: Subdisjarah Dispenau. Hlm 7.
2
Koentjaraningrat. 1994. Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Djambatan. Hlm 4.
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 1
penampakan yang sama dengan Pantai Guinea di Benua Afrika. Berikutnya Louis Vaez de
Torez yang namanya diabadikan nama selat antara Papua dengan Australia, mendarat di
pantai selatan, kemudian menyatakan bahwa pulau tersebut bagian dari Kerajaan Spanyol 3.

4. Belanda: Netherlands Niuew Guinea 


Belanda resmi menduduki Papua pada 24 Agustus 1828 ketika meresmikan benteng
pertahanan Fort Du Bus dan perayaan Ultah Raja Willem I dari Belanda. Komisaris
pemerintah Belanda Van Dalden membacakan proklamasi atas kedaulatan wilayah yang
diberi nama Netherlands Niuew Guinea. Perhatian kolonial Belanda kepada Papua mulai
serius setelah orang-orang Jerman menduduki bagian utara dan Inggris menduduki bagian
selatan New Guinea. Belanda mebagi dua wilayah, bagian barat menjadi West New Guinea
(Papua) dan belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini sekararang atau East New
Guinea yang sepenuhnya dikuasai Inggris4.

5. Iryan, Irian Barat, Irian Jaya, Tanah Papua


Pada masa transisi integrasi tahun 1964, Frans Kaisiepo di dalam Konferensi Malino
mengusulkan nama "Iryan" menggantikan Papua. Iryan adalah bahasa Biak yang memiliki
nilai filosofi: "Sinar matahari yang menghalau kabut di laut, sehingga ada harapan bagi para
nelayan Biak untuk mencapai tanah daratan Irian".  Secara harfiah "Iryan" berasal dari dua
kata yaitu "Iri" berarti tanah, dan "Ryan" yang berarti panas sehingga dapat diartikan Irian
adalah tanah yang Panas. Masyarakat Pantai Selatan yaitu Suku Marind-Anim mengartikan
Irian dengan Tanah Air5.
Pada masa pemulihan keamanan di Papua, Presiden Soekarno dalam setiap
pidatonya mempopulerkan kata Irian sebagai akronim dari Ikut Republik Anti Nederland 6.
Sebelumnya pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai
Nugini Belanda (Nederlands Nieuw Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berintegrasi
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1969 berubah menjadi Provinsi
Irian Barat.
Pada tahun 1973 ketika Presiden Soeharto meresmikan tambang emas PT Freeport di
Tembagapura-Timika kembali mengganti Irian Barat menjadi Irian Jaya.  Perubahan Irian Jaya
kembali menggunakan nama Papua oleh Presiden Abdurahman Wahid setelah lahir dan
berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua pada tahun 2003.
Pada tahun 2004 Papua bagian barat (Kepala Burung) berusaha memekarkan diri menjadi
Irian Jaya Barat yang pada tahun 2006 berubah menjadi Provinsi Papua Barat. Sehingga
keseluruhan pulau Papua sering disebut Tanah Papua 7.
3
Mulyadi. 2019. Etnografi Pembangunan Papua. Yogyakarta: Deepublish. Hlm 49.
4
Ibid. Hlm 50.
5
Koentjaraningrat. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integritas Nasional. Jakarta: UI Press. Hlm 3.
6
Ibid. Hlm 4.
7
Provinsi Irian Jaya adalah perubahan dari nama Irian Barat yang dilakukan oleh Presiden Soeharto tahun 1973,
dan kemudian diganti menjadi Papua tahun 2000 dibawah Presiden Abdurrahman Wahid untuk menanggapi
tuntutan para nasionalis Papua. Di tahun 2003, Provinsi Irian Jaya Barat, yang kemudian diubah menjadi Papua
Barat dibentuk. Banyak nasionalis menggunakan istilah West Papua atau Papua Barat untuk menyebut seluruh
bekas daerah jajahan Belanda West New Guinea (Nugini Barat). Istilah lain yang tidak mengandung muatan
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 2
SEJARAH PEMERINTAHAN BELANDA DI PAPUA
Sejarah kolonisasi di Tanah Papua berawal pasca kedatangan bangsa Eropa, yaitu
pada tahun 1660, sebuah perjanjian disepakati antara Tidore dan Ternate di bawah
pengawasan Pemerintah Hindia Timur Belanda yang menyatakan bahwa semua wilayah
Papua berada di wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore. Perjanjian ini menunjukkan bahwa
pada awalnya Pemerintah Belanda sebenarnya mengakui Papua sebagai bagian dari
penduduk di kepulauan Nusantara8.
Sebelum Perang Dunia II, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan Papua dan
penduduknya di bawah Provinsi Maluku dengan Ambon sebagai ibukota pemerintahan.
Menyatunya Papua dengan wilayah lain di Nusantara dipertegas dengan peta Pemerintah
Belanda tahun 1931 yang menunjukkan bahwa wilayah kolonial Belanda membentang dari
Sumatera di sebelah barat sampai Papua di sebelah Timur. Papua juga tidak pernah
disebutkan terpisah dari Hindia Belanda. Fakta ini menunjukkan bahwa berdasarkan
sejarah, Papua merupakan bagian dari bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara yang
akhirnya membentuk Negara Indonesia9.
Sejarah Irian Jaya tidak bisa dilepaskan dari masa lalu Indonesia. Papua adalah
sebuah pulau yang terletak di sebelah utara Australia dan merupakan bagian dari wilayah
timur Indonesia. Sebagian besar daratan Papua masih berupa hutan belantara. Papua
merupakan pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Sekitar 47% wilayah pulau
Papua merupakan bagian dari Indonesia, yaitu yang dikenal sebagai West New Guinea,
Netherland New Guinea, Irian Barat, Irian Jaya, dan sekarang ini dikenal sebagai Papua.
Sebagian lainnya dari wilayah pulau ini adalah wilayah negara Papua New Guinea (Papua
Nugini), yaitu bekas koloni Inggris. Populasi penduduk diantara kedua negara sebetulnya
memiliki kekerabatan etnis, namun kemudian dipisahkan oleh sebuah garis perbatasan.
Sejak abad ke-18, pulau Pasifik Selatan Irian Jaya telah menjadi korban ambisi
penjajahan dan pernah dikuasai oleh Inggris, Jerman, Belanda dan Jepang. Separuh bagian
Barat Papua tetap berada di bawah pemerintahan Belanda, bahkan setelah kawasan lain
Hindia Belanda berada di dalam kedaulatan Republik Indonesia setelah kemerdekan tahun
1945. Baru pada tahun 1950-an, pemerintah Belanda mulai melepaskan kekuasaan atas
bagian akhir dari bekas kerajaannya di Asia Pasifik.
Orang-orang Belanda menjanjikan kemerdekaan kepada rakyat Irian melalui proses
dekolonisasi menuju kemerdekaan. Menurut Syamsudin Harris10, setelah kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda mempersiapkan diri untuk
mempertahankan kepentingan dan kontrolnya atas Irian Barat. Ada tiga kepentingan
Belanda di Irian Barat antara lain:

1. Menjadikan Irian Barat sebagai pusat penampungan atau “Tropical Holland” untuk
politik yang kadang dipakai untuk menyebut daerah ini yaitu “Tanah Papua”. Lihat: Asia Report N 232,
Indonesia, Dinamika Kekerasan di Papua. (Jakarta: International Crisis Group, 2012). Hlm 4.
8
John Dademo Waiko. 2007. Short History of Papua New Guinea. New York: Oxford University Press. Hlm
31.
9
Ibid, Hlm 37.
10
Syamsudin Haris. 1999. Indonesia di Ambang Perpecahan. Jakarta: Erlangga. Hlm 98.
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 3
keturunan Eurasia yang tidak dapat kembali ke Eropa.
2. Menjadikan Irian Barat sebagai tempat penampungan para wiraswastawan Belanda
yang meninggalkan Indonesia.
3. Menjadikan Irian Barat sebagai basis untuk kemungkinan intervensi militer Indonesia,
apabila republik yang baru berdiri tersebut runtuh.
Upaya Belanda untuk mencegah jatuhnya Irian Barat kepada Indonesia diwarnai pula
keinginan untuk memberikan hak untuk berpemerintahan sendiri kepada Irian Jaya dalam
tahun 1950-an. Oleh sebab itu Belanda merencanakan untuk memberikan status
pemerintahan sendiri kepada Irian Jaya selambat-lambatnya tahun 1970-an, dan status
pemerintahan itu pun tergantung pada proses kemajuan pemerintahan di Irian Barat 11.
Sejarah cikal bakal masuknya Irian Barat ke Indonesia merupakan jalan panjang dan
sangat rumit. Indonesia bukan saja menggunakan cara-cara diplomasi untuk mendapatkan
Irian Barat, tetapi juga menggunakan cara-cara militer. Pada fase pembebasan ini, yaitu
tahun 1949-1963, sudah muncul benih-benih separatisme di Irian Barat. Benih-benih
separatisme ini dipupuk dan dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak awal
tahun 1950-an. Belanda saat itu bukan saja mempercepat pembangunan ekonomi dan
administrasi di Irian Jaya, tetapi juga melakukan pembangunan politik 12.
Untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan pendidikan di Irian Barat, subsidi
Belanda untuk Irian Barat meningkat dari US$ 4,3 juta pada tahun 1950 menjadi US$ 28 juta
pada tahun 1962. Belanda membangun sekolah administrasi di Abepura, dan
memperbolehkan berdirinya partai politik sebagai bagian dari pembangunan politik di Irian
Barat. Sejak awal tahun 1950 Belanda memfokuskan diri pada pembangunan politik di Irian
Barat sebagai upaya untuk mencegah Indonesia mendapatkan dukungan dari luar negeri
atas persoalan Irian Barat, yaitu dengan cara meningkatkan persepsi bahwa wilayah Irian
Barat dapat merdeka sendiri13.
Sejak awal tahun 1960 hingga akhir tahun 1961 terdapat berbagai tahapan penting
tentang status Irian Jaya, yaitu14:
1. Tanggal 3-9 Maret 1960. Konferensi Belanda-Australia dilaksanakan di Kota Hollandia
(sekarang Jayapura) yang membahas tentang masa depan Papua, termasuk
perencanaan Belanda dalam membangun sisten parwakilan parlementer, serta
penggunaan mata uang Belanda di wilayah Papua.
2. Agustus 1960. Hubungan diplomatik dengan Belanda dihentikan sepihak oleh
Indonesia. Pada bulan itu mulai terbentuk partai-partai politik di New Guinea Barat,
seperti Parna (Partai Nasional) dan Partai Rakyat Dekmokratik.
3. Januari 1961. John F. Kennedy menjadi Presiden Amerika Serikat. Ia mengumumkan
kepada rakyat AS bahwa ia akan menghentikan bantuan dan intervensi Soviet di
wilayah Indonesia.

11
Nazarudin Syamsudin. 1989. Integrasi Politik di Indonesia. Jakrta: PT. Gramedia. Hlm 94.
12
Saafroedin Bahar & Andreas B. Tangdililing. 1996. Integrasi Nasional. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm 220.
13
Samsudin. 1995. Pergolakan di Perbatasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm 182-183.
14
Diana Glazebrook. 2008. Permissive Resident: West Papuan Refugee Living in West Papua. Melbourne:
ANU Publishing. Hlm 21-24.
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 4
4. Februari 1961. Pemilu dilaksanakan di New Guinea Barat untuk memilih 16 anggota
Dewan New Guinea Barat. Belanda memilih 12 orang untuk mewakili daerah-daerah
yang dinilai belum siap melaksanakan Pemilu secara benar. Di dalam Pemilu itu,
orang-orang asli New Guinea merebut 22 dari 28 kursi.
5. 5 April 1961. Dewan New Guinea diresmikan.
6. September 1961. Sejumlah infiltrator Indonesia ditangkap oleh tentara Belanda dan
orang-orang asli Papua.
7. 26-27 September 1961. Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns, mengajukan
usulan ke Majelis Umum PBB tentang masa depan New Guinea Barat. Rencana Luns
itu berisi diakhirinya kedaulatan Belanda dan pembentukan pemerintahan PBB di
New Guinea Barat untuk mengawasi dan melaksanakaan suatu plebisit untuk
menentukan status akhir wilayah ini.
8. 24 November 1961. Majelis Umum PBB mendukung proposal `kompromi’ tentang
New Guinea Barat yang mengakui hak-hak orang-orang asli Papua untuk menentukan
nasib sendiri (self-determination), dan menyerukan agar Belanda-Indonesia
melakukan perundingan langsung atas masalah tersebut. Walaupun didukung dengan
pilihan 53 menyetujui dan 41 tidak menyetujui, tetapi hasil pemungutan suara itu
tidak mencapai angka 2/3 mayoritas agar dapat diterima dan disahkan oleh Majelis
Umum. Resolusi lain yang disponsori Indonesia, yang tidak mencantumkan perihal
penentuan nasib sendiri, menerima 41 suara menyetujui dan 40 suara tidak
menyetujui. Sesudah ini, Belanda mengumumkan bahwa Rencana Luns tidak akan
diusulkan kembali dalam persidangan Majelis Umum PBB yang berikut.
9. 1 Desember 1961. Sesudah dilakukan pemungutan suara oleh Dewan New Guinea,
wilayah ini dinamakan Papua Barat dan memiliki lagu kebangsaan (Hai Tanahku
Papua) dan bendera (Bintang Kejora) yang dikibarkan bersebelahan dengan bendera
triwarna Belanda. Selain itu, Dewan New Guinea merespon pemungutan suara yang
dilakukan di Majelis Umum PBB beberapa waktu sebelumnya dengan menghasilkan
sejumlah resolusi berturut-turut yang mendukung Rencana Joseph Luns dan
mendesak seluruh bangsa di dunia untuk menghargai hak orang Papua untuk
menentukan nasib sendiri.
10. 19 Desember 1961. Sukarno mengumumkan TRIKORA, singkatan dari Tri Komando
Rakyat, dan memerintahkan dilakukannya mobilisasi umum untuk menghancurkan
Negara Papua yang disponsori pendiriannya oleh Belanda, mengibarkan bendera
Merah Putih di Irian Barat, dan bersiap melaksanakan perang merebut Irian Barat.

Beberapa partai politik pada saat itu ada yang pro-Indonesia dan sebagian lainnya
pro-Belanda. Di antara gerakan politik pro-Indonesia adalah gerakan pemuda Iryan (bukan
Irian) yang dianggap disusupi oleh pemimpin nasional Indonesia di Irian Barat, maka dilarang
oleh Belanda pada tahun 1961. Pada bulan Januari Belanda menyetujui berdirinya delapan
partai politik di Irian Barat. Partai politik itu antara lain:
1. Partai Rakyat Demokratik, Ketua: Arnold Runtubuy; Sekretaris: Mozes Rumainum;

Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 5


Bendahara: Petrus Moabuay. Partai ini didirikan pada tahun 1957 dan mempunyai
tujuan untuk bersatu dengan Papua Niugini dalam Federasi Melanesia.
2. Partai Nasional, Ketua: Herman Wajoi; Wakil Ketua: Amos Indey; Sekretaris: Martin
Bela dan Frits M. Kirihio. Partai ini mempunyai tujuan untuk mempersiapkan orang-
orang papua menuju penentuan nasib sendiri dibawah pengawasan dan petunjuk
Belanda.
3. Partai New Guinea Bersatu, Ketua: Ludwijk Mandatjan; Wakil Ketua: H.F.W.
Gosewisch. Partai ini mempunyai tujuan untuk mencapai kemerdekaan politik
sebelum tahun 1975 dalam kaitannya dengan Belanda, Antilles dan Suriname.
4. Partai Serikat Pemuda Papua, Ketua: Johan Wamaer, anggota terbatas pada orang-
orang Papua dan partai ini mempunyai tujuan untuk mencapai kemerdekaan Papua
dibawah pengawasan PBB.
5. Partai Persatuan Orang New Guinea, Ketua: Johan Ariks. Partai ini mempunyai tujuan
untuk merdeka tanpa target tanggal dan anggotanya terbatas juga pada orang-orang
Papua.
6. Partai Kekuatan Menuju Persatuan, Ketua: Ezau Itaar; Wakil Ketua: Anas Kereuta;
Bendahara: Willem Ossoway. Partai ini mempunyai tujuan menuju kemerdekaan
sesudah itu bekerja dalam kaitan yang erat dengan Belanda.
7. Partai Rakyat, Ketua: Husain Warwey; Wakil Ketua: Luis Rumaropen; Sekretaris:
Moses Ongge. Partai ini mempunyai tujuan menuju penentuan nasib sendiri.
8. Persatuan Kristen-Islam Raja Ampat, Ketua: Muhammed Nur Majalibit; Sekretaris:
J. Rajar; Penasehat Pertama: Abdullah Arfan. Partai ini bekerja sama dengan Belanda
untuk mencapai kemakmuran di New Guinea Belanda, dan bersandar pada hasil-hasil
daerah.
Puncak tuntutan rakyat Papua Barat terjadi sekitar tahun 1960-an. Pada saat itu
banyak tuntutan yang datang kepada pemerintah Belanda sebagai pihak yang memegang
kendali administratif dan politik di Papua Barat, agar Papua Barat diberi kemerdekaan
sebagai negara yang berdaulat. Upaya Belanda terhadap tuntutan itu adalah Belanda mulai
memperkenalkan suatu bentuk demokrasi yang datang dari atas ke bawah. Bentuk
demokrasi itu adalah Belanda membentuk sebuah badan yang merupakan perwujudan dari
demokrasi di wilayah Papua Barat yang diberi nama Nieuw Guinea Raad atau Dewan Nieuw
Guinea. Perencanaan berdirinya organisasi ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1946
dengan jumlah 21 orang, tetapi tidak bisa terealisir karena kondisi masyarakat Papua yang
tidak memungkinkan untuk diselenggarakan pemilihan umum. Pada bulan Februari 1961
Belanda melangsungkan pemilihan umum baik pemilihan langsung maupun tidak langsung
untuk membentuk sebuah parlemen Dewan Nieuw Guinea. Menurut Van Der Veur, sekitar
54.000 orang Papua berpartisipasi dalam pemilihan umum dan ketika Dewan Nieuw Guinea
diresmikan pada tanggal 5 April 1961, orang-orang Papua menduduki 22 kursi dari 28 kursi
yang tersedia15.
Dominasi masyarakat Papua terhadap saluran-saluran politik pada masa itu

15
Samsudin. 1995. Op Cit. 184
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 6
tertampung dalam Dewan Nieuw Guinea merupakan badan dengan fungsi-fungsi legislatif
yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran “nasional” Papua dengan memperkenalkan
proses demokrasi. Belanda mendirikan Dewan Nieuw Guinea dengan harapan dapat
menjauhkan perhatian orang-orang Papua terhadap Indonesia dan sebaliknya
mendekatkannya kepada Papua New Guinea yang pada waktu itu masih dikuasai oleh
Australia (dibawah naungan Persemakmuran Inggris). Secara garis besar Nieuw Guinea Raad
memiliki kekuasaan legislatif bersama dengan pemerintah dan melaksanakan beberapa
pengawasan terhadap anggaran belanja.
Dalam memperkuat perjuangan dalam bidang politik, elemen masyarakat Papua juga
menjalankan konsolidasi fisik, dimana pada tahun 1960 telah dibentuk sebuah batalyon
sukarelawan Papua (Papua Vrijwillegers Korps) dan berkedudukan di Arfai-Manokwari. Maka
setelah pembentukan Nieuw Guinea Raad, pada awal tahun 1962 dilanjutkan dengan
pembentukan dewan daerah (streekraad). Menurut Nazarudin Syamsudin16, upaya Belanda
dalam rangka penanaman rasa anti-Indonesia di kalangan masyarakat Papua, Belanda
menempuh tiga cara yaitu:
1. Mengalihkan orientasi dari Indonesia pada wilayah Pasifik, meskipun sebelumnya
Belanda telah ikut memperkuat orientasi Papua kepada Nusantara.
2. Berusaha mendekatkan Papua kepada Papua Nugini yang dikuasai Australia dengan
harapan dapat menggabungkan semuanya dalam suatu negara.
3. Merencanakan suatu negara Papua
Selain itu, Dewan Nieuw Guinea yang didirikan oleh Belanda sebagai upaya untuk
mendirikan negara boneka Papua, dapat dianggap sebagai “boom waktu” yang sengaja
ditinggalkan oleh pemerintah Belanda di Irian Barat. Beberapa tokoh Irian Barat yang pro-
Belanda pada saat itu antara lain adalah Nicolaas Jouwe, P. Torey, Marcus Kaisiepo, Nicolaas
Tangahma, dan Elieser Jan Bonay17. Di samping itu Belanda juga mendirikan lembaga baru
untuk mempersiapkan orang-orang Irian Barat menghadapi “kemerdekaan”. Selain itu
Belanda juga memberikan pendidikan untuk para calon Pamong Praja, Belanda mendirikan
polisi Papua dan Batalyon Papua18.
Pada tanggal 19 Oktober 1961 Belanda membentuk Komite Nasional yang
beranggotakan 21 orang. Komite Nasional ini bertugas untuk merencanakan pembentukan
sebuah negara Papua yang merdeka, yang dilengkapi 70 putra Papua yang berpendidikan
dan berhasil melahirkan manifesto yang isinya:
1) Menentukan nama negara: Papua Barat;
2) Menentukan lagu kebangsaan: Hai Tanahku Papua (Oh Mijn Land Papoea);
3) Menentukan bendera: Bintang Kejora;
4) Menentukan lambang negara: Burung Mambruk, dengan semboyan One People One
Soul.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1961 Bendera Bintang Kejora dikibarkan di
Holladia (Jayapura) dan Lagu Kebangsaan Hai Tanahku Papua dinyanyikan secara resmi
16
Nazarudin Syamsudin. 1989. Op Cit. Hlm 95.
17
Saafroedin Bahar & Andreas B. Tangdililing. 1996. Op Cit. Hlm 220.
18
Nazarudin Syamsudin. Op Cit. Hlm 92.
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 7
bersamaan dengan lagu Wilhelmus19. Kegiatan pengibaran dan menyanyikan lagu
kemerdekaan Papua Barat dilakukan terus menerus selama satu minggu sampai dengan
dimulainya pemerintahan United Nations Temporary Execitive Asosiations (UNTEA) pada
tanggal 1 Oktober 196220.
Upaya Belanda untuk menanamkan perasaan anti-Indonesia di kalangan masyarakat
Irian mulai menunjukkan hasilnya, yaitu menjelang akhir kekuasaan Belanda. Pada tanggal 1
Desember 1962 terjadi demonstrasi besar-besaran anti-Indonesia dibeberapa tempat. Para
demonstran membawa bendera Papua Merdeka dan menyebarkan pamflet-pamflet.
Sebelum demonstrasi terjadi, di beberapa tempat telah berlangsung rapat-rapat
pendahuluan yang dikoordinasi oleh anggota Dewan Nieuw Guinea21.
Berdasar pada paparan di atas maka dapat dipahami bahwa pasca kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945 ternyata persoalan tentang status Papua belum dapat
terselesaikan secara mendasar. Banyak pihak Papua menganggap kehadiran Indonesia akan
mengganggu masa depan Papua. Kemudian di pihak Belanda juga dengan sengaja berupaya
menjadikan Papua sebagai wilayah otonom yang diharapkan dapat merdeka, termasuk
dengan mengajak Australia untuk mewujudkan hal itu. Kemudian Belanda juga dengan
sengaja berupaya menerapkan platform/landasan agar pengaruhnya di Papua akan terus
ada. Hal ini penting karena Papua dipandang memilik sumber daya alam yang sangat besar
dan belum dapat terkelola secara maksimal. Inilah yang menjadi pertimbangan utama bagi
Belanda untuk terus mengontrol Papua.
Melalui uraian di atas maka dapat dipahami bahwa antropologis masyarakat Papua
ternyata banyak dipengaruhi kebudayaan Austronesia yang kemudian membedakannya
dengan kehidupan sosial di beberapa wilayah Indonesia lainnya pada umumnya. Kemudian
pendudukan Belanda di wilayah Papua memberikan pengaruh terhadap kehidupan
masyarakat Papua, khususnya pada kelas menengah pada masa itu untuk berupaya
memperjuangkan berbagai kepentingan daerahnya.

PROSES INTEGRASI IRIAN BARAT KE DALAM NKRI


1. Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949 - 2 November 1949)
Bila dirunut kebelakang dalam perspektif sejarah, maka salah satu peristiwa penting
yang mendasari permasalahan terkait proses integrasi Irian Barat kedalam NKRI adalah
terkait perbedaan pandangan antara pihak Indonesia dan Belanda dalam konferensi meja
bundar. Konferensi Meja Bundar (KMB) disamping menetapkan soal penyerahan kedaulatan
dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), juga mengatur soal Irian Barat. Namun
fakta menunjukan bahwa KMB tidak bisa menjadi rujukan yang baik bagi penyelesaian
masalah Irian Barat. Hal ini asumsinya disebabkan dokumen ataupun hasil KMB tidak
mengatur secara eksplisit mengenai status politik Irian Barat.

19
“Wilhelmus” atau nama resminya “Wilhelmus van Nassouwe”, adalah lagu kebangsaan Kerajaan Belanda.
“Wilhelmus” berasal dari masa perang pemberontakan Belanda, sebuah perang untuk mencapai kemerdekaan
dari Kekaisaran Spanyol. Bercerita tentang Bapak Bangsa Belanda, William of Orange.
20
Yakobus F Dumupa. 2006. Berburu Keadilan di Papua. Yogyakarta: Pilar Media. Hlm 31.
21
Nazarudin Syamsudin. Op Cit. Hlm 94.
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 8
Sebagai tindak lanjut dari hasil KMB, dalam butir ke 6, Perjanjian KMB 1949
menyatakan bahwa “kedudukan Irian Barat akan dirundingkan antara kerajaan Belanda dan
Republik Indonesia Serikat (RIS) setahun setelah perundingan”. Tindak lanjut perundingan
terkait status wilayah Irian Barat dilaksanakan di Jakarta bulan Maret 1950 pada “Konferensi
Uni Indonesia-Belanda”, namun perundingan ini gagal mencapai kesepakatan terkait status
Irian Barat. Selanjutnya dalam rangka melanjutkan perundingan tersebut, maka pada bulan
Desember tahun 1950, Belanda dan Indonesia menyelenggarakan “Konferensi Khusus” di
Den Haag, namun baik Indonesia maupun Belanda tidak mendapatkan suatu titik temu
kesepakatan dan saling mempertahankan kepentingannya masing-masing, dan Belanda juga
semakin memantapkan status quonya di Irian dan mempersiapkan pembentukan Irian
sebagai sebuah negara dan kemudian mendeklarasikan kemerdekaan Negara Papua pada
tanggal 1 Desember 1961 di Hollandia (kini Jayapura).

2. Trikora (Tiga/Tri Komando Takyat)


Trikora adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan
wilayah Irian Barat (Papua). Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia)
mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Kota Yogyakarta. Soekarno juga
membentuk Komando Mandala dengan Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai
panglimanya. Tugas komando ini adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan
menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia.
Trikora merupakan ajang bagi terciptanya serangan-serangan militer terbatas dari
Indonesia terhadap Belanda di Irian Barat pada 19 Desember 1961 sampai dengan 15
Agustus 1962, sehingga mempercepat proses pencapain Perjanjian New York antara
Indonesia dan Belanda mengenai status Irian Barat. Trikora memuat 3 isi, yaitu:
1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.
2) Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.
3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan tanah air dan bangsa.

3. New York Agreement


Berkat dukungan modernisasi perlengkapan militer dari Uni Soviet, Indonesia sangat
serius melakukan pembebasan Irian Barat dengan melakukan persiapan serangan-serangan
militer terbatas terhadap Belanda di Irian yang mengakibatkan konflik antara kedua negara
semakin meruncing. Ketegangan antara Belanda dan Indonesia yang mana Indonesia pada
saat itu didukung persenjataan militer Uni Soviet (Blok Timur) berhasil mencuri perhatian
Amerika Serikat (Blok Barat).
Amerika Serikat melalui Elsworth Bunker, mengajukan usulan kepada PBB mengenai
penyelesaian persoalan Irian. Oleh karena tekanan dari Amerika Serikat terhadap Belanda
inilah maka Belanda menerima seluruh rumusan dalam usulan Bunker, namun dengan syarat
harus memperhatikan hak-hak dan jaminan bagi rakyat Irian. Rumusan itu disepakati pada
tanggal 18 Juli 1962. Pada tanggal 15 Agustus 1962 sesuai dengan usulan Bunker, maka di

Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 9


markas besar PBB New York berhasil ditandatangani sebuah perjanjian antara pemerintah
Indonesia dan pemerintah Belanda yang dikenal dengan “Perjanjian New York (New York
Agreement)” yang langsung disaksikan langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB U Thant. Pada
perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman
van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Adapun isi dari Persetujuan New York adalah:
1) Belanda akan menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada United Nations
Temporary Executive Authority (UNTEA), yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal PBB.
UNTEA kemudian akan menyerahkan pemerintahan kepada Indonesia.
2) Bendera PBB akan dikibarkan selama masa peralihan.
3) Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur oleh perjanjian antara
Sekretaris Jenderal PBB dan masing-masing pemerintah.
4) UNTEA akan membantu polisi Papua dalam menangani keamanan. Tentara Belanda
dan Indonesia berada di bawah Sekjen PBB dalam masa peralihan.
5) Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk Irian
Barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui:
a) Musyawarah dengan perwakilan penduduk Irian Barat.
b) Penetapan tanggal penentuan pendapat.
c) Perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak
penduduk Papua untuk:
 tetap bergabung dengan Indonesia; atau
 memisahkan diri dari Indonesia
d) hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, untuk ikut serta dalam
penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan standar internasional
6) Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969.
Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada
Indonesia. Ibu kota Hollandia dinamai Kota Baru22, dan pada 5 September 1963, Irian Barat
dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua
dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini ditentang oleh
banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1965.

PEPERA 1969: KISAH MASA LALU YANG TAK PERNAH BERLALU


1. Selintas Penyelenggaraan Act Of Free Choice (Pepera) Tahun 1969
Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dilaksanakan di Irian
dimulai dari Merauke pada tanggal 14 Juli dan berakhir di Jayapura pada tanggal 2 Agustus
1969. Pepera dilaksanakan di delapan wilayah di Irian, yakni: Merauke, Jayawijaya, Paniai,
Fakfak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih, dan terakhir di Kota Jayapura. Pelaksanaan

22
Dari tahun 1910 s.d. 1962, kota ini dikenal sebagai Hollandia dan merupakan ibukota distrik dengan nama
yang sama di timur laut pulau Papua bagian barat. Kota ini sempat disebut Kota Baru pada 1963 dan berganti
nama menjadi Sukarnopura pada 1964, sebelum akhirnya menyandang nama Jayapura pada tahun 1968
hingga sekarang. Arti literal dari Jayapura, sebagaimana Kota Jaipur di Rajasthan-India, adalah “Kota
Kemenangan” (Bahasa Sanskerta: Jaya yang berarti "Kemenangan", Pura berarti "kota").
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 10
Pepera dihadiri oleh utusan PBB Dr. Fernando Ortiz- Sanz (Duta Besar dari Bolivia untuk PBB)
yang oleh Sekretaris Jenderal PBB U Thant ditunjuk untuk menyelenggarakan tugas yang
berkaitan dengan pelaksanaan Pepera di Irian tahun 1969.
Dewan Musyawarah Pepera (Utusan/Perwakilan) yang dipilih oleh pemerintah
Indonesia untuk ikut menentukan nasib bangsa Papua atau Irian pada saat itu berjumlah
1025 orang dari total jumlah penduduk yang pada waktu itu berjumlah sekitar 815.906 jiwa.
Hasil akhir dari Pepera melalui Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang berjumlah 1025
orang secara aklamasi menyatakan untuk bergabung dengan Indonesia. Namun disisi lain,
selama pelaksanan Pepera tersebut, dibeberapa kota sempat diwarnai dengan aksi
demonstrasi sebagian masyarakat. Demonstrasi tersebut di pimpin oleh Herman Wayoi dan
Permenas Torrey.
Hasil pelaksanaan Pepera yang berlangsung di delapan kabupaten dari tanggal 14 Juli
sampai dengan 2 Agustus 1969 melalui para wakil atau utusan dan secara bulat menyatakan
bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak serta merta diterima oleh
sebagian warga papua lainnya pada saat itu, yang hingga kini pun masih terdengar.

2. Protes terhadap Pepera


Sudah pasti rakyat Indonesia yang berada di luar Papua bingung dan terus bertanya:
mengapa banyak penduduk asli Papua yang tidak pernah mengakui dan menerima hasil
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, dan terus melakukan perlawanan terhadap
integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia? Apakah rakyat dan bangsa Papua yang beretnis
Melanesia ini keliru dalam memahami sejarah?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah mudah untuk dijawab tapi dibutuhkan
pergumulan dan perjalanan panjang. Istilah LIPI adalah Papua Road Map atau Peta
Perjalanan Papua. Buku yang diterbitkan LIPI tahun 2017 dengan judul: Papua Road Map:
Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future adalah penemuan-
penemuan akar masalah yang sesungguhnya dialami dan dipertanyakan rakyat Papua
selama ini. Buku ini menemukan dan merumuskan empat masalah pokok di Papua, yaitu:
a) Sejarah dan status politik Papua;
b) Kekerasan Negara dan Pelanggaran HAM;
c) Marjinalisasi; dan
d) Pembangunan yang diskriminatif. 
Tetapi, keempat masalah tersebut sesungguhnya bersumber dari satu akar masalah
saja yaitu: sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui proses
Pepera 1969.
Pepera 1969 telah dilaksanakan di Tanah Papua bagian Barat sesuai dengan sistem
Indonesia, yaitu musyawarah. Pelaksanaan dengan cara Indonesia ini sangat berlawanan
dengan isi Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang disetujui oleh PBB, Amerika, Belanda
dan Indonesia bahwa Pepera 1969 dilaksanakan dengan sistem dan mekanisme
internasional, yaitu one man one vote. Tetapi itu benar-benar diabaikan bahkan dihancurkan
oleh Pemerintah Indonesia saat itu melalui kekuatan militernya. Adapun yang menjadi

Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 11


protes terkait Pepera 1969 adalah sebagai berikut :
a) Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa :“The Eligibility of all
adults, male and female, not foreign national to participate in the act of self-
determination to be carried out in accordance with international practice….”, aturan
ini berarti bahwa penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa
(perkiraan 600.000 orang dewasa) baik pria maupun wanita yang merupakan
penduduk Papua pada saat penandatangan New York Agreement. Tapi faktanya,
pelaksanaan pepera tidak menggunakan prinsip ”one man one vote” (satu orang satu
suara) atau setiap orang datang dan memberikan suaranya tetapi malah
menggunakan prinsip perwakilan khas Indonesia berdasarkan “musyawarah untuk
mufakat”.
b) Diserahkannya administrasi pelaksanaan Pepera 1969 kepada pemerintah Republik
Indonesia seperti yang diatur dalam New York Agreement, sesungguhnya dianggap
sebagai suatu keputusan yang sewenang-wenang serta merupakan sumber utama
pelanggaran hak-hak politik dan hak-hak asasi manusia bangsa Papua. Sebagai pihak
yang terlibat masalah, Indonesia tidak patut menjadi penyelenggara Penentuan Nasib
Sendiri Bangsa Papua, dan yang seharusnya urusan itu dipegang oleh pihak ketiga
(penengah) yang netral.
c) Keterlibatan pihak militer Indonesia pada pelaksanaan Pepera tidak saja pada
intimidasi terhadap penduduk, tetapi militer juga terlibat dalam pengaturan
pelaksanaan Pepera. Misalnya, surat rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego
Soemarto, No: R – 24/1969, Perihal: Pengamanan Pepera, tanggal 8 Mei 1969 yang
ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida Kabupaten Merauke. Isi
surat tersebut antara lain menyatakan: “apabila pada masa polling tersebut
diperlukan adanya penggantian anggota Dewan Musyawarah, penggantiannya
supaya dilakukan jauh sebelum musyawarah Pepera. Apabila alasan-alasan secara
wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedangkan di lain pihak dianggap mutlak
bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan Pepera,
harus berani mengambil cara yang tidak wajar untuk menyingkirkan anggota yang
bersangkutan dari persidangan pepera sebelum dimulainya sidang demus PEPERA”.
Dibagian lain surat tersebut, Komandan Korem 172 menginstrusikan bahwa “sebagai
kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa Pepera secara mutlak harus kita
menangkan, baik secara wajar atau secara tidak wajar”. Mengingat bahwa wilayah
kerja komandan korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten Jayapura dan
Jayawijaya maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga
dikirimkan ke bupati-bupati yang lain. Salah satu bukti lainnya adalah Surat Telegram
Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih, Nomor: TR-
20/PS/PSAD/196, tertanggal 20 Februari 1967, berdasarkan Radio Gram
MEN/PANGAD Nomor: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi
referendum di Irian Barat tahun 1969. Dikatakan di sana, “Mempergiatkan segala
aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan

Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 12


material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan darat
maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA
tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital
yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan
mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan.
Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR.”. (Sumber:
Dutch National Newspaper: NRC Handdelsblad, March 4, 2000)23.

Protes terkait penyelenggaraan Pepera dan hasil Pepera seperti diuraikan diatas
berimplikasi pada tuntutan pemisahan diri yang mencapai klimaksnya pada penyelenggaraan
Kongres Papua II 2000 pada tanggal 21 Mei - 4 Juni dengan tema : “Mari Kita Luruskan
Sejarah Papua Barat”. Kongres ini adalah puncak dari pertemuan setiap faksi perjuangan
kemerdekaan Papua untuk menentukan konklusi kongrit terhadap perjuangan orang Papua
untuk melepaskan diri dari Indonesia. Tuntutan ini membuat heboh pemerintah Indonesia
dan berupaya menemukan strategi dan solusi bagi meredam eskalasi tuntutan rakyat Papua
yang menggemah seantero tanah Papua dan juga mendapatkan simpati Internasional.

3. Ke(tidak)legalan Pepera 1969?


J.P. Drooglever menemukan dalam penelitiannya: “menurut pendapat orang-orang
Papua yang bersuara mengenai hal ini, tindakan Pilihan Bebas berakhir dengan kepalsuan,
sementara sekelompok pemilih yang berada di bawah tekanan luar biasa tampaknya
memilih secara mutlak untuk mendukung Indonesia”24.
Dr. Hans Meijer, Sejarawan Belanda dalam penelitiannya yang berhubungan dengan
hasil Pepera 1969 di Papua Barat menyatakan bahwa “Pepera 1969 di Papua Barat benar-
benar tidak demokratis.” Dr. John Saltford, Akademisi Inggris yang menyelidiki hasil
pelaksanaan Pepera 1969 menyatakan: “tidak ada kebebasan dan kesempatan dalam
perundingan-perundingan atau proses pengambilan keputusan orang-orang Papua Barat
dilibatkan. Jadi, PBB, Belanda dan Indonesia gagal dan sengaja sejak dalam
penandatanganan tidak pernah melibatkan orang-orang Papua untuk menentukan nasib
sendiri secara jujur25” {John Saltford: United Nations Involvement With the Act of Free Self-
Determination in West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968 to 1969}.
Dr. George Junus Aditjondro mengatakan, “Dari kaca mata yang lebih netral, hal-hal
apa saja yang dapat membuat klaim Indonesia atas daerah Papua Barat ini pantas untuk
dipertanyakan kembali”26. Prof. Robin Osborne mengungkapkan, “… bahwa penggabungan
23
Socratez Sofyan Yoman. Sejarah Papua yang Dipalsukan. www.satuharapan.com/ read-detail/read/sejarah-
papua-yang-dipalsukan. Diakses 14 Desember 2018. (Socratez Sofyan Yoman adalah Putra Papua Asli yang
menjabat sebagai Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua).
24
J.P. Drooglever. 2010. Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (Terjemahan).
Yogyakarta: Kanisius: Hlm 783.
25
John Saltford . United Nations Involvement with the Act of Self-Determination in West Irian (Indonesian
West New Guinea) 1968 to 1969 (Journal Article). No. 69 (Apr, 2000), pp. 71-92. New York: Cornell
University
26
George Junus Aditjondro. 2000. Cahaya Bintang Kejora : Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya,
Ekonomi dan HAM. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Hlm 8.
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 13
daerah bekas jajahan Belanda itu ke dalam wilayah Indonesia didasarkan pada premis yang
keliru. Yaitu ketika 1.026 orang delegasi yang dipilih pemerintah Indonesia memberikan
suara mereka dibawah pengawasan PBB diartikan sebagai aspirasi politik dari seluruh
masyarakat Papua Barat. Kini, premis ini diragukan keabsahannya berdasarkan hukum
internasional”27.
Dr. Phil Karel Erari menyatakan: “Rakyat Papua merasa bahwa Pepera adalah
rekayasa Pemerintah RI, Belanda, Amerika Serikat dan PBB, di mana rakyat Papua tidak
dilibatkan sebagai subyek Hukum Internasional dan pelaksanaannya tidak dilakukan secara
demokratis sesuai dengan kebiasaan dan praktik yang berlaku dalam masyarakat
internasional”28. Erari menambahkan, “Sejarah Integrasi Papua ke dalam Indonesia adalah
suatu sejarah berdarah. Pelanggaran HAM yang diwarnai oleh pembunuhan kilat,
penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan kecurigaan.” Karel Erari dengan
tegas mengatakan, “secara hukum, integrasi Papua dalam NKRI adalah bermasalah”29.
Menurut buku terbitan  Pemerintah Daerah Tk.I Provinsi Irian Jaya tahun 1972
berjudul Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 menyebutkan bahwa Pepera terjadi
selama 19 hari, yakni pada 14 Juli s.d 2 Agustus 1969 di seluruh wilayah Irian Barat. Dewan
Musyawarah Pepera (DMP) sebanyak 1.025 anggota menjadi perwakilan penduduk Papua
yang saat itu berjumlah 815.904 penduduk. Komposisi anggota DMP yakni unsur tradisional
(Kepala Suku/Adat) sebanyak 400 orang, unsur daerah 360 orang dan unsur Orpol/Ormas
sebanyak 266 orang. Hasilnya menyatakan bahwa secara aklamasi wakil-wakil DMP memilih
untuk berada di dalam lingkungan NKRI.
Hingga saat ini, perdebatan akan legal atau tidaknya hasil Pepera 1969 terus menuai
pro dan kontra. Banyak pihak yang berpendapat bahwa Pepera itu ilegal karena terjadi
berbagai praktek yang tidak sesuai dengan HAM maupun standar hukum internasional (one
man one vote). Tapi, ketika itu hasil Pepera 1969 diakui oleh PBB dan dikeluarkan resolusi
yang isinya menyatakan bahwa Papua adalah wilayah bagian sah NKRI. Kemudian, Resolusi
nomor 1504 tersebut disetujui oleh 80 negara anggota PBB sedangkan 20 negara abstain.
Dalam hal ini tidak ada negara di dunia yang menolak masuknya Papua ke Indonesia.
Sehingga secara de jure Papua memang diakui dan sah menurut hukum menjadi bagian dari
wilayah kedaulatan NKRI. Negara-negara barat pemenang Perang Dunia II seperti Amerika
Serikat, Inggris, dll mengakui klaim Pemerintah Indonesia yang menggunakan peta Hindia
Belanda 1931 dimana Papua ditempatkan di bawah kendali dari pemerintah lokal Hindia
Belanda beribu kota di Ambon. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa klaim pemerintah
Indonesia tersebut legitimate secara hukum.

OTONOMI KHUSUS PAPUA

27
New Internationalist. November 5, 1999. https://newint.org//features/1999/11/05/free/, Diakses tanggal 14
Desember 2019
28
Phil Karel Erari. 2006. Yubileum dan pembebasan menuju Papua baru : lima puluh tahun Gereja Kristen
Injili di Tanah Papua. Jakarta : Aksara Karunia. Hlm 23.
29
Ibid. Hlm 128.
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 14
Sehubungan ekskalasi tuntutan “Merdeka” yang semakin menggema oleh rakyat
Papua pada saat tumbangnya rezim orde baru, maka pada tahun 2001 pemerintah
mengeluarkan suatu produk kebijakan untuk meredam tuntutan pemisahan diri, yaitu UU
Nomor 21 tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Papua. Namun produk UU ini tidak serta
merta diterima begitu saja oleh kebanyakan masyarakat Papua, karena mereka menganggap
bahwa otonomi khusus tidak lain merupakan fase kedua dari Pepera tahun 1969. Bahkan
sejak dikeluarkannya UU otsus hingga saat ini, bagi mereka (orang papua) tidak membawa
dampak perubahan yang signifikan kepada kesejahteraan orang Papua, bahkan ada
kecenderungan pemikiran bahwa otsus hanya untuk mensejahterakan dan memperkaya
segelintir pejabat Papua dan para pejabat Jakarta, otsus identik dengan uang banyak tanpa
memiliki subtansi penyelesaian bagi masalah dan kesejahteraan orang Papua.
Keinginan politik (political will) Pemerintah Indonesia untuk menangani Papua secara
sungguh-sungguh dimulai sejak tahun 199930, yang ditandai dengan pemberian nama Papua
menggantikan Irian Jaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid dan memperbolehkan
mengibarkan bendera bintang kejora sebagai simbol kebudayaan orang Papua dan bukan
untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 31.
Hal ini dirasakan penting karena dianggap sebagai bagian dari pengembangan jati diri
orang Papua yang seutuhnya yang ditunjukan dengan penegasan identitas dan harga dirinya
termasuk dengan dimilikinya simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera, dan lambang.
Selain itu, Pemerintah juga menetapkan Provinsi Papua sebagai daerah otonomi khusus,
yang secara eksplisit tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-
Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, Bab IV huruf G, butir 2. Menindaklanjuti
amanat TAP MPR tersebut, DPR pada tanggal 22 Oktober 2001 telah menyetujui dan
menetapkan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Keputusan DPR
tersebut disahkan pada tanggal 21 November 2001 sebagai UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 135.
Kehadiran UU No. 21 Tahun 2001 merupakan upaya perjuangan karena pada saat itu
harus diyakinkan segenap komponen masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua, yang
ketika itu menyuarakan M (baca: memisahkan diri dari NKRI) 10, bahwa Otsus merupakan
pilihan yang paling tepat. Tidak berhenti sampai di situ, dalam pembahasan RUU Otsus
Papua di DPR juga terdapat upaya perjuangan. Sebab, RUU yang merupakan usul inisiatif
DPR tersebut mendapat masukan dari Pemerintah dalam bentuk Daftar Inventarisasi
Masalah (DIM) sebanyak 471 masalah. Perjuangan meloloskan UU No. 21 Tahun 2001 pada
waktu itu juga ditambah dengan kasus tewasnya Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo

30
Pada masa Orde Baru Pasca Pepera, penanganan Papua dinilai masih setengah hati, bahkan cenderung hanya
penguasaan pusat terhadap wilayah strategis Papua. Sehingga menimbulkan gejolak dan polemik yang
berkepanjangan. Kekerasan dan pembunuhan hampir mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat Papua.
Masyarakat Papua dihadapkan pada dua pilihan yang tidak harus dipilih, karena kedua-duanya mengancam
keselamatan jiwa dan harta mereka, yaitu moncong senapan TNI di depan, serta panah dan tombak militan
OPM di belakang.
31
M. Ridha Saleh, “Saudara Presiden, Datanglah ke Papua, Kompas, 3 November 2011. Diakses melalui
Kompas.com tanggal 14 Desember 2019. (M. Ridha Saleh adalah Komisioner Komnas HAM 2007-2012).
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 15
Eluay, beberapa hari sebelum Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan UU No. 21
Tahun 2001.
Pada dasarnya istilah “otonomi” dalam Otonomi Khusus diartikan sebagai kebebasan
bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti
kebebasan untuk melaksanakan pemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan
alam Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan
tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan
daerah-daerah lain di Indonesia yang juga kekurangan. Hal lain yang tidak kalah penting
adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan
politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi
alam dan kebudayaan orang Papua.
Selain menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam
di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian
dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti
pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian
masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua
melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut
serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap
menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya
serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi
Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk
aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat,
masyarakat adat dan hukum adat.
Sedang istilah “khusus” lebih diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan
kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal
seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam
pengertian praktisnya, kekhususnya otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal berdasar yang
hanya berlaku di Papua dan tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal- hal yang
berlaku di daerah lain yang tidak diterapkan di Papua.
Otonomi Khusus oleh berbagai kalangan selama ini dianggap titik kunci penting untuk
menetapkan status politik, baik bagi pemerintah maupun masyarakat Papua. Sebagaimana
diketahui, melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, Papua
telah diberi kewenangan untuk mengatur pemerintahan sendiri berdasarkan peraturan
perundangan. Dengan Otonomi Khusus, pemerintah pusat menghendaki agar gerakan-
gerakan separatis dapat segera menghentikan aktivitasnya, dan Papua tetap menjadi bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Implikasi lebih lanjut adalah bahwa
perdamaian di Papua akan terus terjaga, tanpa ada pergolakan politik yang ingin
memerdekakan diri.
Pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Papua sedikit banyak telah dapat menjadikan
obat penenang bagi masyarakat Papua. Selama hampir 32 tahun, sejak Pepera diadakan
PBB, masyarakat Papua hidup dalam tekanan dari kekangan pemerintah pusat yang

Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 16


menggunakan pendekatan keamanan dalam menjaga integrasi wilayah yang penuh sumber
daya alam tersebut. Semasa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, rancangan UU
Otonomi Khusus Papua digodog, dan ketika masa Presiden Megawati Undang-Undang itu
disahkan, meskipun pada kenyataannya implementasi di lapangan dirasakan masih belum
maksimal hingga saat ini.

EPILOG: DIALOG DAMAI JALAN TERBAIK


Melihat akar permasalahan sejarah integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia dan
permasalahan-permasalahan lainnya hingga saat ini, jalan penyelesaian yang berprospek
damai, bermartabat dan manusiawi harus ditemukan antara Papua dengan pemerintah
Indonesia. Oleh karena itu, gagasan dialog damai Jakarta-Papua harus didukung semua
komponen. Dialog damai yang dimaksud adalah dialog tanpa syarat dan dimediasi oleh
pihak ketiga yang netral seperti halnya dialog Jakarta-Aceh.
Tanpa kerangka baru seperti ini, yakinlah bahwa paradoks ini tidak akan pernah
menemukan jalan penyelesaian yang menyeluruh dan bermartabat. Karena itu, diharapkan
dalam dialog harus melihat masalah Papua dengan nurani yang suci dan pikiran jernih dalam
rangka mencari penyelesaian untuk mewujudkan perdamaian permanen demi masa depan
Indonesia dan juga masa depan masyarakat Papua.

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu,
maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".

Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 17

Anda mungkin juga menyukai