1. Menjadikan Irian Barat sebagai pusat penampungan atau “Tropical Holland” untuk
politik yang kadang dipakai untuk menyebut daerah ini yaitu “Tanah Papua”. Lihat: Asia Report N 232,
Indonesia, Dinamika Kekerasan di Papua. (Jakarta: International Crisis Group, 2012). Hlm 4.
8
John Dademo Waiko. 2007. Short History of Papua New Guinea. New York: Oxford University Press. Hlm
31.
9
Ibid, Hlm 37.
10
Syamsudin Haris. 1999. Indonesia di Ambang Perpecahan. Jakarta: Erlangga. Hlm 98.
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 3
keturunan Eurasia yang tidak dapat kembali ke Eropa.
2. Menjadikan Irian Barat sebagai tempat penampungan para wiraswastawan Belanda
yang meninggalkan Indonesia.
3. Menjadikan Irian Barat sebagai basis untuk kemungkinan intervensi militer Indonesia,
apabila republik yang baru berdiri tersebut runtuh.
Upaya Belanda untuk mencegah jatuhnya Irian Barat kepada Indonesia diwarnai pula
keinginan untuk memberikan hak untuk berpemerintahan sendiri kepada Irian Jaya dalam
tahun 1950-an. Oleh sebab itu Belanda merencanakan untuk memberikan status
pemerintahan sendiri kepada Irian Jaya selambat-lambatnya tahun 1970-an, dan status
pemerintahan itu pun tergantung pada proses kemajuan pemerintahan di Irian Barat 11.
Sejarah cikal bakal masuknya Irian Barat ke Indonesia merupakan jalan panjang dan
sangat rumit. Indonesia bukan saja menggunakan cara-cara diplomasi untuk mendapatkan
Irian Barat, tetapi juga menggunakan cara-cara militer. Pada fase pembebasan ini, yaitu
tahun 1949-1963, sudah muncul benih-benih separatisme di Irian Barat. Benih-benih
separatisme ini dipupuk dan dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak awal
tahun 1950-an. Belanda saat itu bukan saja mempercepat pembangunan ekonomi dan
administrasi di Irian Jaya, tetapi juga melakukan pembangunan politik 12.
Untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan pendidikan di Irian Barat, subsidi
Belanda untuk Irian Barat meningkat dari US$ 4,3 juta pada tahun 1950 menjadi US$ 28 juta
pada tahun 1962. Belanda membangun sekolah administrasi di Abepura, dan
memperbolehkan berdirinya partai politik sebagai bagian dari pembangunan politik di Irian
Barat. Sejak awal tahun 1950 Belanda memfokuskan diri pada pembangunan politik di Irian
Barat sebagai upaya untuk mencegah Indonesia mendapatkan dukungan dari luar negeri
atas persoalan Irian Barat, yaitu dengan cara meningkatkan persepsi bahwa wilayah Irian
Barat dapat merdeka sendiri13.
Sejak awal tahun 1960 hingga akhir tahun 1961 terdapat berbagai tahapan penting
tentang status Irian Jaya, yaitu14:
1. Tanggal 3-9 Maret 1960. Konferensi Belanda-Australia dilaksanakan di Kota Hollandia
(sekarang Jayapura) yang membahas tentang masa depan Papua, termasuk
perencanaan Belanda dalam membangun sisten parwakilan parlementer, serta
penggunaan mata uang Belanda di wilayah Papua.
2. Agustus 1960. Hubungan diplomatik dengan Belanda dihentikan sepihak oleh
Indonesia. Pada bulan itu mulai terbentuk partai-partai politik di New Guinea Barat,
seperti Parna (Partai Nasional) dan Partai Rakyat Dekmokratik.
3. Januari 1961. John F. Kennedy menjadi Presiden Amerika Serikat. Ia mengumumkan
kepada rakyat AS bahwa ia akan menghentikan bantuan dan intervensi Soviet di
wilayah Indonesia.
11
Nazarudin Syamsudin. 1989. Integrasi Politik di Indonesia. Jakrta: PT. Gramedia. Hlm 94.
12
Saafroedin Bahar & Andreas B. Tangdililing. 1996. Integrasi Nasional. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm 220.
13
Samsudin. 1995. Pergolakan di Perbatasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm 182-183.
14
Diana Glazebrook. 2008. Permissive Resident: West Papuan Refugee Living in West Papua. Melbourne:
ANU Publishing. Hlm 21-24.
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 4
4. Februari 1961. Pemilu dilaksanakan di New Guinea Barat untuk memilih 16 anggota
Dewan New Guinea Barat. Belanda memilih 12 orang untuk mewakili daerah-daerah
yang dinilai belum siap melaksanakan Pemilu secara benar. Di dalam Pemilu itu,
orang-orang asli New Guinea merebut 22 dari 28 kursi.
5. 5 April 1961. Dewan New Guinea diresmikan.
6. September 1961. Sejumlah infiltrator Indonesia ditangkap oleh tentara Belanda dan
orang-orang asli Papua.
7. 26-27 September 1961. Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns, mengajukan
usulan ke Majelis Umum PBB tentang masa depan New Guinea Barat. Rencana Luns
itu berisi diakhirinya kedaulatan Belanda dan pembentukan pemerintahan PBB di
New Guinea Barat untuk mengawasi dan melaksanakaan suatu plebisit untuk
menentukan status akhir wilayah ini.
8. 24 November 1961. Majelis Umum PBB mendukung proposal `kompromi’ tentang
New Guinea Barat yang mengakui hak-hak orang-orang asli Papua untuk menentukan
nasib sendiri (self-determination), dan menyerukan agar Belanda-Indonesia
melakukan perundingan langsung atas masalah tersebut. Walaupun didukung dengan
pilihan 53 menyetujui dan 41 tidak menyetujui, tetapi hasil pemungutan suara itu
tidak mencapai angka 2/3 mayoritas agar dapat diterima dan disahkan oleh Majelis
Umum. Resolusi lain yang disponsori Indonesia, yang tidak mencantumkan perihal
penentuan nasib sendiri, menerima 41 suara menyetujui dan 40 suara tidak
menyetujui. Sesudah ini, Belanda mengumumkan bahwa Rencana Luns tidak akan
diusulkan kembali dalam persidangan Majelis Umum PBB yang berikut.
9. 1 Desember 1961. Sesudah dilakukan pemungutan suara oleh Dewan New Guinea,
wilayah ini dinamakan Papua Barat dan memiliki lagu kebangsaan (Hai Tanahku
Papua) dan bendera (Bintang Kejora) yang dikibarkan bersebelahan dengan bendera
triwarna Belanda. Selain itu, Dewan New Guinea merespon pemungutan suara yang
dilakukan di Majelis Umum PBB beberapa waktu sebelumnya dengan menghasilkan
sejumlah resolusi berturut-turut yang mendukung Rencana Joseph Luns dan
mendesak seluruh bangsa di dunia untuk menghargai hak orang Papua untuk
menentukan nasib sendiri.
10. 19 Desember 1961. Sukarno mengumumkan TRIKORA, singkatan dari Tri Komando
Rakyat, dan memerintahkan dilakukannya mobilisasi umum untuk menghancurkan
Negara Papua yang disponsori pendiriannya oleh Belanda, mengibarkan bendera
Merah Putih di Irian Barat, dan bersiap melaksanakan perang merebut Irian Barat.
Beberapa partai politik pada saat itu ada yang pro-Indonesia dan sebagian lainnya
pro-Belanda. Di antara gerakan politik pro-Indonesia adalah gerakan pemuda Iryan (bukan
Irian) yang dianggap disusupi oleh pemimpin nasional Indonesia di Irian Barat, maka dilarang
oleh Belanda pada tahun 1961. Pada bulan Januari Belanda menyetujui berdirinya delapan
partai politik di Irian Barat. Partai politik itu antara lain:
1. Partai Rakyat Demokratik, Ketua: Arnold Runtubuy; Sekretaris: Mozes Rumainum;
15
Samsudin. 1995. Op Cit. 184
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 6
tertampung dalam Dewan Nieuw Guinea merupakan badan dengan fungsi-fungsi legislatif
yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran “nasional” Papua dengan memperkenalkan
proses demokrasi. Belanda mendirikan Dewan Nieuw Guinea dengan harapan dapat
menjauhkan perhatian orang-orang Papua terhadap Indonesia dan sebaliknya
mendekatkannya kepada Papua New Guinea yang pada waktu itu masih dikuasai oleh
Australia (dibawah naungan Persemakmuran Inggris). Secara garis besar Nieuw Guinea Raad
memiliki kekuasaan legislatif bersama dengan pemerintah dan melaksanakan beberapa
pengawasan terhadap anggaran belanja.
Dalam memperkuat perjuangan dalam bidang politik, elemen masyarakat Papua juga
menjalankan konsolidasi fisik, dimana pada tahun 1960 telah dibentuk sebuah batalyon
sukarelawan Papua (Papua Vrijwillegers Korps) dan berkedudukan di Arfai-Manokwari. Maka
setelah pembentukan Nieuw Guinea Raad, pada awal tahun 1962 dilanjutkan dengan
pembentukan dewan daerah (streekraad). Menurut Nazarudin Syamsudin16, upaya Belanda
dalam rangka penanaman rasa anti-Indonesia di kalangan masyarakat Papua, Belanda
menempuh tiga cara yaitu:
1. Mengalihkan orientasi dari Indonesia pada wilayah Pasifik, meskipun sebelumnya
Belanda telah ikut memperkuat orientasi Papua kepada Nusantara.
2. Berusaha mendekatkan Papua kepada Papua Nugini yang dikuasai Australia dengan
harapan dapat menggabungkan semuanya dalam suatu negara.
3. Merencanakan suatu negara Papua
Selain itu, Dewan Nieuw Guinea yang didirikan oleh Belanda sebagai upaya untuk
mendirikan negara boneka Papua, dapat dianggap sebagai “boom waktu” yang sengaja
ditinggalkan oleh pemerintah Belanda di Irian Barat. Beberapa tokoh Irian Barat yang pro-
Belanda pada saat itu antara lain adalah Nicolaas Jouwe, P. Torey, Marcus Kaisiepo, Nicolaas
Tangahma, dan Elieser Jan Bonay17. Di samping itu Belanda juga mendirikan lembaga baru
untuk mempersiapkan orang-orang Irian Barat menghadapi “kemerdekaan”. Selain itu
Belanda juga memberikan pendidikan untuk para calon Pamong Praja, Belanda mendirikan
polisi Papua dan Batalyon Papua18.
Pada tanggal 19 Oktober 1961 Belanda membentuk Komite Nasional yang
beranggotakan 21 orang. Komite Nasional ini bertugas untuk merencanakan pembentukan
sebuah negara Papua yang merdeka, yang dilengkapi 70 putra Papua yang berpendidikan
dan berhasil melahirkan manifesto yang isinya:
1) Menentukan nama negara: Papua Barat;
2) Menentukan lagu kebangsaan: Hai Tanahku Papua (Oh Mijn Land Papoea);
3) Menentukan bendera: Bintang Kejora;
4) Menentukan lambang negara: Burung Mambruk, dengan semboyan One People One
Soul.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1961 Bendera Bintang Kejora dikibarkan di
Holladia (Jayapura) dan Lagu Kebangsaan Hai Tanahku Papua dinyanyikan secara resmi
16
Nazarudin Syamsudin. 1989. Op Cit. Hlm 95.
17
Saafroedin Bahar & Andreas B. Tangdililing. 1996. Op Cit. Hlm 220.
18
Nazarudin Syamsudin. Op Cit. Hlm 92.
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 7
bersamaan dengan lagu Wilhelmus19. Kegiatan pengibaran dan menyanyikan lagu
kemerdekaan Papua Barat dilakukan terus menerus selama satu minggu sampai dengan
dimulainya pemerintahan United Nations Temporary Execitive Asosiations (UNTEA) pada
tanggal 1 Oktober 196220.
Upaya Belanda untuk menanamkan perasaan anti-Indonesia di kalangan masyarakat
Irian mulai menunjukkan hasilnya, yaitu menjelang akhir kekuasaan Belanda. Pada tanggal 1
Desember 1962 terjadi demonstrasi besar-besaran anti-Indonesia dibeberapa tempat. Para
demonstran membawa bendera Papua Merdeka dan menyebarkan pamflet-pamflet.
Sebelum demonstrasi terjadi, di beberapa tempat telah berlangsung rapat-rapat
pendahuluan yang dikoordinasi oleh anggota Dewan Nieuw Guinea21.
Berdasar pada paparan di atas maka dapat dipahami bahwa pasca kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945 ternyata persoalan tentang status Papua belum dapat
terselesaikan secara mendasar. Banyak pihak Papua menganggap kehadiran Indonesia akan
mengganggu masa depan Papua. Kemudian di pihak Belanda juga dengan sengaja berupaya
menjadikan Papua sebagai wilayah otonom yang diharapkan dapat merdeka, termasuk
dengan mengajak Australia untuk mewujudkan hal itu. Kemudian Belanda juga dengan
sengaja berupaya menerapkan platform/landasan agar pengaruhnya di Papua akan terus
ada. Hal ini penting karena Papua dipandang memilik sumber daya alam yang sangat besar
dan belum dapat terkelola secara maksimal. Inilah yang menjadi pertimbangan utama bagi
Belanda untuk terus mengontrol Papua.
Melalui uraian di atas maka dapat dipahami bahwa antropologis masyarakat Papua
ternyata banyak dipengaruhi kebudayaan Austronesia yang kemudian membedakannya
dengan kehidupan sosial di beberapa wilayah Indonesia lainnya pada umumnya. Kemudian
pendudukan Belanda di wilayah Papua memberikan pengaruh terhadap kehidupan
masyarakat Papua, khususnya pada kelas menengah pada masa itu untuk berupaya
memperjuangkan berbagai kepentingan daerahnya.
19
“Wilhelmus” atau nama resminya “Wilhelmus van Nassouwe”, adalah lagu kebangsaan Kerajaan Belanda.
“Wilhelmus” berasal dari masa perang pemberontakan Belanda, sebuah perang untuk mencapai kemerdekaan
dari Kekaisaran Spanyol. Bercerita tentang Bapak Bangsa Belanda, William of Orange.
20
Yakobus F Dumupa. 2006. Berburu Keadilan di Papua. Yogyakarta: Pilar Media. Hlm 31.
21
Nazarudin Syamsudin. Op Cit. Hlm 94.
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 8
Sebagai tindak lanjut dari hasil KMB, dalam butir ke 6, Perjanjian KMB 1949
menyatakan bahwa “kedudukan Irian Barat akan dirundingkan antara kerajaan Belanda dan
Republik Indonesia Serikat (RIS) setahun setelah perundingan”. Tindak lanjut perundingan
terkait status wilayah Irian Barat dilaksanakan di Jakarta bulan Maret 1950 pada “Konferensi
Uni Indonesia-Belanda”, namun perundingan ini gagal mencapai kesepakatan terkait status
Irian Barat. Selanjutnya dalam rangka melanjutkan perundingan tersebut, maka pada bulan
Desember tahun 1950, Belanda dan Indonesia menyelenggarakan “Konferensi Khusus” di
Den Haag, namun baik Indonesia maupun Belanda tidak mendapatkan suatu titik temu
kesepakatan dan saling mempertahankan kepentingannya masing-masing, dan Belanda juga
semakin memantapkan status quonya di Irian dan mempersiapkan pembentukan Irian
sebagai sebuah negara dan kemudian mendeklarasikan kemerdekaan Negara Papua pada
tanggal 1 Desember 1961 di Hollandia (kini Jayapura).
22
Dari tahun 1910 s.d. 1962, kota ini dikenal sebagai Hollandia dan merupakan ibukota distrik dengan nama
yang sama di timur laut pulau Papua bagian barat. Kota ini sempat disebut Kota Baru pada 1963 dan berganti
nama menjadi Sukarnopura pada 1964, sebelum akhirnya menyandang nama Jayapura pada tahun 1968
hingga sekarang. Arti literal dari Jayapura, sebagaimana Kota Jaipur di Rajasthan-India, adalah “Kota
Kemenangan” (Bahasa Sanskerta: Jaya yang berarti "Kemenangan", Pura berarti "kota").
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 10
Pepera dihadiri oleh utusan PBB Dr. Fernando Ortiz- Sanz (Duta Besar dari Bolivia untuk PBB)
yang oleh Sekretaris Jenderal PBB U Thant ditunjuk untuk menyelenggarakan tugas yang
berkaitan dengan pelaksanaan Pepera di Irian tahun 1969.
Dewan Musyawarah Pepera (Utusan/Perwakilan) yang dipilih oleh pemerintah
Indonesia untuk ikut menentukan nasib bangsa Papua atau Irian pada saat itu berjumlah
1025 orang dari total jumlah penduduk yang pada waktu itu berjumlah sekitar 815.906 jiwa.
Hasil akhir dari Pepera melalui Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang berjumlah 1025
orang secara aklamasi menyatakan untuk bergabung dengan Indonesia. Namun disisi lain,
selama pelaksanan Pepera tersebut, dibeberapa kota sempat diwarnai dengan aksi
demonstrasi sebagian masyarakat. Demonstrasi tersebut di pimpin oleh Herman Wayoi dan
Permenas Torrey.
Hasil pelaksanaan Pepera yang berlangsung di delapan kabupaten dari tanggal 14 Juli
sampai dengan 2 Agustus 1969 melalui para wakil atau utusan dan secara bulat menyatakan
bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak serta merta diterima oleh
sebagian warga papua lainnya pada saat itu, yang hingga kini pun masih terdengar.
Protes terkait penyelenggaraan Pepera dan hasil Pepera seperti diuraikan diatas
berimplikasi pada tuntutan pemisahan diri yang mencapai klimaksnya pada penyelenggaraan
Kongres Papua II 2000 pada tanggal 21 Mei - 4 Juni dengan tema : “Mari Kita Luruskan
Sejarah Papua Barat”. Kongres ini adalah puncak dari pertemuan setiap faksi perjuangan
kemerdekaan Papua untuk menentukan konklusi kongrit terhadap perjuangan orang Papua
untuk melepaskan diri dari Indonesia. Tuntutan ini membuat heboh pemerintah Indonesia
dan berupaya menemukan strategi dan solusi bagi meredam eskalasi tuntutan rakyat Papua
yang menggemah seantero tanah Papua dan juga mendapatkan simpati Internasional.
27
New Internationalist. November 5, 1999. https://newint.org//features/1999/11/05/free/, Diakses tanggal 14
Desember 2019
28
Phil Karel Erari. 2006. Yubileum dan pembebasan menuju Papua baru : lima puluh tahun Gereja Kristen
Injili di Tanah Papua. Jakarta : Aksara Karunia. Hlm 23.
29
Ibid. Hlm 128.
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 14
Sehubungan ekskalasi tuntutan “Merdeka” yang semakin menggema oleh rakyat
Papua pada saat tumbangnya rezim orde baru, maka pada tahun 2001 pemerintah
mengeluarkan suatu produk kebijakan untuk meredam tuntutan pemisahan diri, yaitu UU
Nomor 21 tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Papua. Namun produk UU ini tidak serta
merta diterima begitu saja oleh kebanyakan masyarakat Papua, karena mereka menganggap
bahwa otonomi khusus tidak lain merupakan fase kedua dari Pepera tahun 1969. Bahkan
sejak dikeluarkannya UU otsus hingga saat ini, bagi mereka (orang papua) tidak membawa
dampak perubahan yang signifikan kepada kesejahteraan orang Papua, bahkan ada
kecenderungan pemikiran bahwa otsus hanya untuk mensejahterakan dan memperkaya
segelintir pejabat Papua dan para pejabat Jakarta, otsus identik dengan uang banyak tanpa
memiliki subtansi penyelesaian bagi masalah dan kesejahteraan orang Papua.
Keinginan politik (political will) Pemerintah Indonesia untuk menangani Papua secara
sungguh-sungguh dimulai sejak tahun 199930, yang ditandai dengan pemberian nama Papua
menggantikan Irian Jaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid dan memperbolehkan
mengibarkan bendera bintang kejora sebagai simbol kebudayaan orang Papua dan bukan
untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 31.
Hal ini dirasakan penting karena dianggap sebagai bagian dari pengembangan jati diri
orang Papua yang seutuhnya yang ditunjukan dengan penegasan identitas dan harga dirinya
termasuk dengan dimilikinya simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera, dan lambang.
Selain itu, Pemerintah juga menetapkan Provinsi Papua sebagai daerah otonomi khusus,
yang secara eksplisit tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-
Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, Bab IV huruf G, butir 2. Menindaklanjuti
amanat TAP MPR tersebut, DPR pada tanggal 22 Oktober 2001 telah menyetujui dan
menetapkan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Keputusan DPR
tersebut disahkan pada tanggal 21 November 2001 sebagai UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 135.
Kehadiran UU No. 21 Tahun 2001 merupakan upaya perjuangan karena pada saat itu
harus diyakinkan segenap komponen masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua, yang
ketika itu menyuarakan M (baca: memisahkan diri dari NKRI) 10, bahwa Otsus merupakan
pilihan yang paling tepat. Tidak berhenti sampai di situ, dalam pembahasan RUU Otsus
Papua di DPR juga terdapat upaya perjuangan. Sebab, RUU yang merupakan usul inisiatif
DPR tersebut mendapat masukan dari Pemerintah dalam bentuk Daftar Inventarisasi
Masalah (DIM) sebanyak 471 masalah. Perjuangan meloloskan UU No. 21 Tahun 2001 pada
waktu itu juga ditambah dengan kasus tewasnya Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo
30
Pada masa Orde Baru Pasca Pepera, penanganan Papua dinilai masih setengah hati, bahkan cenderung hanya
penguasaan pusat terhadap wilayah strategis Papua. Sehingga menimbulkan gejolak dan polemik yang
berkepanjangan. Kekerasan dan pembunuhan hampir mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat Papua.
Masyarakat Papua dihadapkan pada dua pilihan yang tidak harus dipilih, karena kedua-duanya mengancam
keselamatan jiwa dan harta mereka, yaitu moncong senapan TNI di depan, serta panah dan tombak militan
OPM di belakang.
31
M. Ridha Saleh, “Saudara Presiden, Datanglah ke Papua, Kompas, 3 November 2011. Diakses melalui
Kompas.com tanggal 14 Desember 2019. (M. Ridha Saleh adalah Komisioner Komnas HAM 2007-2012).
Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, 2019 | | 15
Eluay, beberapa hari sebelum Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan UU No. 21
Tahun 2001.
Pada dasarnya istilah “otonomi” dalam Otonomi Khusus diartikan sebagai kebebasan
bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti
kebebasan untuk melaksanakan pemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan
alam Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan
tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan
daerah-daerah lain di Indonesia yang juga kekurangan. Hal lain yang tidak kalah penting
adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan
politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi
alam dan kebudayaan orang Papua.
Selain menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam
di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian
dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti
pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian
masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua
melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut
serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap
menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya
serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi
Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk
aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat,
masyarakat adat dan hukum adat.
Sedang istilah “khusus” lebih diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan
kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal
seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam
pengertian praktisnya, kekhususnya otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal berdasar yang
hanya berlaku di Papua dan tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal- hal yang
berlaku di daerah lain yang tidak diterapkan di Papua.
Otonomi Khusus oleh berbagai kalangan selama ini dianggap titik kunci penting untuk
menetapkan status politik, baik bagi pemerintah maupun masyarakat Papua. Sebagaimana
diketahui, melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, Papua
telah diberi kewenangan untuk mengatur pemerintahan sendiri berdasarkan peraturan
perundangan. Dengan Otonomi Khusus, pemerintah pusat menghendaki agar gerakan-
gerakan separatis dapat segera menghentikan aktivitasnya, dan Papua tetap menjadi bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Implikasi lebih lanjut adalah bahwa
perdamaian di Papua akan terus terjaga, tanpa ada pergolakan politik yang ingin
memerdekakan diri.
Pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Papua sedikit banyak telah dapat menjadikan
obat penenang bagi masyarakat Papua. Selama hampir 32 tahun, sejak Pepera diadakan
PBB, masyarakat Papua hidup dalam tekanan dari kekangan pemerintah pusat yang
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu,
maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".