Anda di halaman 1dari 10

PENYEBARAN AGAMA

KRISTEN DI DAERAH
SIMALUNGUN

KELOMPOK 4
GORGA HUTAJULUK
HARTANTI SINAGA
IMMANUEL SITOMPUL
INDAH KARTIKA PANJAITAN

Pembimbing : Bvr. Sihombing

Pemimpin : Ephorus pd rumanja P.M..SI


Didirikan : 1 september 1963,pemantang,sumatera utara
Masyarakat Simalungun 1903
Seperti banyak wilayah lainnya di Indonesia, daerah Simalungun masih banyak ditutupi hutanhutan lebat. Karena itu Pdt. August Theis pun harus membelah hutan dalam perjalanannya dari
daerah Toba menuju ke Pematang Raya. Menurut wawancara dia dengan A. Munthe, hutan
tersebut masih dipenuhi oleh hewan-hewan buas seperti harimau dan sejenisnya sehingga dia
harus mempertaruhkan nyawanya untuk memenuhi misinya ke Pematang Raya.
Masyarakat Simalungun masih bercocok tanam menggunakan ladang kering, yang memaksa
mereka berpindah-pindah. Setelah panen, mereka harus mencari lahan lain dan baru empat
tahun kemudian mereka dapat kembali menggunakan ladang yang sama secara optimal.
Dalam kesusahan tersebut sebagian besar masyarakat Simalungun berjudi untuk mencari
penghiburan, mereka menjual segala harta miliknya bahkan diri sendiri sebagai budak demi
memenuhi nafsu mereka untuk berjudi.

Penyebaran Injil August Theis

Pengiriman August Theis


Pada tanggal 3 Februari-8 Februari 1903 diadakan sebuah pertemuan di Laguboti yang diikuti
oleh para pendeta RMG yang memutuskan agar diadakan misi zending ke Simalungun.
Nommensen yang saat itu menjabat sebagai Ephorus dan berkantor di Sigumpar, Tapanuli
Utara, mengirimkan surat ke direktur RMG di Barmen, Jerman mengenai keputusan ini dan
merekomendasikan pengabaran injil ketiga daerah yaitu Samosir, Simalungun dan Dairi.
Pada tanggal 3 Maret 1903, diutuslah rombongan pertama RMG ke tanah Simalungun yang
beranggotakan Pdt. Guillaume, Pdt. Simon dan Pdt. Meisel dengan tujuan utama untuk menemui
raja-raja Simalungun. Rombongan kedua yang diberangkatkan RMG ke Simalungun terdiri dari
Pendeta August Theis, Guru Ambrocius dan Theopilus Pasaribu. Kedua rombongan tersebut
bertemu di Haranggaol dan di sana Nommensen berkesempatan untuk berkhotbah.
Dari Haranggaol, rombongan Pendeta August Theis menuju ke Pematang Purba dan kemudian
tiba di Pamatang Raya pada hari Rabu, 2 September 1903. Tanggal ini sampai saat ini
diperingati oleh GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) sebagai hari olob-olob (=sukacita
dalam bahasa Simalungun) sebagai tanda syukur atas masuknya Alkitabke Simalungun.
Saat tiba itulah Pendeta August Theis langsung membacakan ayat kutipan dari Yohanes 4:35,
"Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk

dituai." Dalam bahasa Simalungun ayat ini berbunyi: Mangkawah ma hanima, tonggor hanima
ma juma in, domma gorsing, boi ma sabion.
Beberapa sumber tradisional menyebutkan bahwa dalam perjalanannya dari Tigaras,
rombongan Pendeta August Theis sempat melewati daerah Urung Panei. Saat itu terdapat jalan
setapak dari Tigaras menuju Sipaga-paga hingga ke Urung Panei. Di sana August Theis bertemu
dengan Tuan Urung Panei (Tuan Marhali Purba) dan meminta petunjuk jalan menuju ke Dolok
Saribu. Tuan Marhali Purba kemudian mengantarkan rombongan tersebut melalui Nagori Silou
dan Aek Silopak (Sidamar) sebelum tiba di Dolok Saribu. Tidak tersedia sumber tertulis
mengenai informasi ini karena kemungkinan besar ikut terbakar pada kebakaran yang terjadi
pada tahun 1916. Di kemudian hari, putera dari Tuan Marhali Purba, Aristarkus Purba, menerima
Baptisan Kudus dari Pendeta August Theis.

Pelayanan August Theis


Satu tahun setelah tiba di Pematang Raya, ia mendirikan sekolah walaupun belum jelas siapa
yang akan dididik saat itu. Setelah Pematang Raya, ia mendirikan sekolah di Raya Usang,
Buluraya, Sipoldas dan juga Raya Tongah.
Walaupun pendidikan ini akhirnya diterima oleh masyarakat Simalungun, masyarakat pada
umumnya masih memeluk agama tradisional. Setelah empat tahun, sudah berdiri 7 sekolah
yang menampung 183 murid, namun hanya 19 orang saja yang memeluk agama Kristen, karena
memang tidak ada paksaan bagi murid untuk memeluk agama Kristen. Kebaktian Minggu yang
diadakan pun hanya diikuti oleh anggota keluarga Guru Ambrosius dan 19 murid itu saja.
Pada 26 Desember 1909 dilakukan baptisan pertama oleh Pdt. Theis atas sejumlah orang
Simalungun. Mereka yang dibaptiskan itu adalah Musa Damanik bersama istrinya
Marianna Saragih, Sanna Damanik, Marinus Damanik, Hulda Damanik, Nonna Damanik, Petrus
Damanik, Salomo Sinaga, Abina Saragih, Hormainim Sinaga, Marthe Sinaga, Lamina Sinaga,
Andreas Sinaga, dll.

Meninggalkan Simalungun
Pendeta Jaulung Wismar Saragih

Pada tahun 1919, mertua dari August Theis meninggal dunia. Pada saat itu sudah banyak orang
Simalungun yang dapat membantu August Theis dalam pelayanannya seperti J. Wismar
Saragih yang melayani di Raya Usang dan Tuan Anggi (saudara dari raja Raya). Pada tahun ini
juga August Theis mengirimkan 2 puterinya kembali ke Belanda untuk bersekolah.

Pada tahun 1921, permohonan cutinya untuk kembali ke Belanda dikabulkan dan diadakanlah
perpisahan di Pematang Raya pada 4 April 1921yang acaranya dipimpin oleh salah seorang
murid August Theis, yaitu J. Wismar Saragih.
Sekembalinya August Theis dari Belanda, ia ditempatkan di Dolok Sanggul, dan posisinya di
Pematang Raya dilanjutkan oleh Pendeta Guillaume (sebelumnya di Saribudolok). Setelah
melayani di Dolok Sanggul, ia berkedudukan di Medan sampai habis masa pelayanannya dan
kembali ke Eropa dan meninggal dunia pada 1968.
Sebagai salah satu cara mengenang jasa August Theis, Gereja Kristen Protestan
Simalungun (GKPS) pada bulan September 2003 membentuk Dana August Theis yang
merupakan dana yang awalnya dikumpulkan oleh GKPS dan mitra-mitranya di Jerman untuk
menyediakan beasiswa bagi anak-anak GKPS yang masih bersekolah di bangku SLTA.Waktu
inisiasi ini dipilih bertepatan dengan peringatan Jubileum 100 tahun sejak tibanya rombongan
August Theis di Pematang Raya (yang dianggap sebagai pusatnya Simalungun) untuk
menyebarkan ajaran Kristen. Selanjutnya dana ini juga bersumber dari anggota GKPS yang
berada di Indonesia atau tempat lain.

Masuknya Injil ke Simalungun


Pengabaran Injil di daerah Simalungun sedikit terlambat dibandingkan daerah-daerah
tetangganya seperti Karo (1899) dan Tapanuli (1861). RMG menjadikan Simalungun sebagai
daerah penginjilan setelah Angkola, Mandailing dan Tapanuli Utara.
Awalnya RMG mengenal Simalungun dari laporan ekspedisi pejabat-pejabat kolonial Belanda.
Laporan-laporan tersebut rata-rata mengkhawatirkan resistensi suku Simalungun dan derasnya
pengaruh Islam ke daerah Simalungun Bawah (Asahan Hulu dan Tanah Djawa) yang
sebenarnya dipicu oleh proses aneksasi Belanda terhadap wilayah dalam kerajaan-kerajaan
Simalungun yang menciptakan sentimen negatif dari orang Simalungun terhadap orang Eropa.
Kontak pertama RMG dengan Simalungun dilakukan melalui Henri Guillaume yang ditempatkan
RMG di Kuta Bukum, Karo (1899). Selama masa tugasnya ia sering berinteraksi dengan rakyat
hingga penguasa tradisional Simalungun terutama dalam perjalanannya ke Tapanuli untuk
menghadiri rapat-rapat tahunan missionaris. Atas pengalamannya itu, Guillaume mengusulkan
kepada L.I. Nommensen (pimpinan RMG di Sumatera Utara) agar Simalungun diinjili.
Usaha penginjilan kongkrit pertama pada orang Simalungun justru dilakukan oleh Pardongan
Mission Batak (PMB), lembaga pengabaran Injil Batak Toba yang terdiri dari penginjil-penginjil
Batak Toba. Pada tanggal 12 Februari 1900 Pendeta Samuel Panggabean dan
Friederich Hutagalung diutus ke daerah-daerah sekitar Danau Toba yang belum diinjili, dan tiba
di Sipolha pada tanggal 14 Februari namun dilarang untuk masuk oleh Tuan Sipolha Damanik.

Keesokannya mereka tiba di Siboro (Partuanan Purba) dan sempat berkhotbah di Pasar yang
ada di daerah itu. Pada hari Jumat, 16 Februari 1900 mereka berkeliling di sekitar Tiga
Langgiung mengabarkan Injil pada masyarakat yang sedang berbelanja di pekan (pasar
mingguan). Selanjutnya mereka pergi ke Pematang Purba untuk menemui Tuan
Rahalim Purba Pakpak (Raja Purba) dan baru berhasil menemuinya keesokan harinya, 17
Februari, setelah menanti semalaman. Di sini mereka menyampaikan maksud mereka untuk
mengabarkan Injil dan membacakan nats Alkitab bagi Raja Purba. Walaupun belum mendapat
tanggapan positif darinya namun para penginjil tersebut menemui sikap bersahabat dari Raja
Purba Usaha selama 4 hari ini kurang berhasil terutama karena penggunaan bahasa Toba
sebagai pengantar yang kurang dipahami oleh masyarakat Simalungun.
Setelah menerima permintaan dari Guillaume, RMG mengutus G.K. Simon bersama beberapa
penginjil Toba dari PMB untuk melakukan peninjauan ke Simalungun. Karena melihat pengaruh
Islam yang sudah masuk hingga Siantar, G.K. Simon meminta agar RMG secepat mungkin
menginjili Simalungun
Laporan G.K. Simon dan Guillaume ditambah laporan dari pejabat-pejabat Belanda dibahas
pada rapat missionar RMG di Laguboti, Tapanuli pada 21-25 Januari 1903 yang dihadiri 42
penginjil RMG, dengan keputusan
1. Pemberitaan Injil di Simalungun harus segera dilaksanakan.
2. Segera dikirim surat ke Direktur RMG Schreiber di Barmen untuk meminta persetujuan
dan rekomendasi RMG dalam memperluas lapangan penginjilan ke Simalungun.
3. Segera dilakukan langkah-langkah penginjilan ke Simalungun.
Sebelum rapat ini Nommensen juga telah mengirim permohonan tenaga penginjil baru ke
pimpinan RMG di Jerman sehubungan rencananya memperluas daerah penginjilan ke Samosir,
Dairi dan Simalungun, namun secara strategi, Simalungun dijadikan prioritas utama dari ketiga
daerahPada tanggal 16 Maret 1903, Dr. Schreiber dari RMG secara resmi mengirim telegram
singkat yang merekomendasikan pengabaran Injil keTimorlanden (sebutan bagi
Simalungun) Setelah menerima telegram yang berisi Tole den Timorlanden das
Evangelium (perintah menyebarkaninjil di tanah Timur) maka pada tanggal 2 September 1903
sekelompok penginjil dari RMG yang dipimpin oleh Pendeta August Theis tiba diPematang
Raya untuk menyebarkan Injil.
Tanggal 2 September sampai saat ini diperingati setiap tahunnya oleh anggota GKPS di seluruh
dunia sebagai hari olob-olob (bahasa Simalungun untuk "suka cita") untuk mensyukuri
masuknya ambilan na madear (bahasa Simalungun untuk Firman-Firman Alkitab/ajaran Kristen)
di Simalungun.
Pada 1 Januari 1904 dimulailah Zending Simalungun yang bertempat tinggal di Pematang
Raya dan Pdt. Guilllaume berada di Purba Saribu (1905) untuk melayani pemberitaan injil di

Simalungun Raya di bagian Barat. Sebagai hasil pertama dari pemberitaan injil di Simalungun
baru pada tanggal 19 September 1909 diadakan permandian suci (Pandidion na parlobei) di
Pematang Raya oleh Pdt. Theis, kemudian di Parapat juga ada 38 orang yang menerima
permandian suci.Sampai 1910, sudah berdiri 17 Gereja di daerah Simalungun yang menjadi
cikal bakal GKPS saat ini
Penyebaran Injil oleh para Misionaris RMG dilakukan menggunakan bahasa pengantar
bahasa Toba dengan anggapan bahwa Simalungun merupakan bagian dari sub EtnikToba. Hal
ini menyebabkan perkembangan penyebaran injil di Simalungun kurang pesat. Resistansi
Masyarakat Simalungun terhadap Kaum Barat dan kekurang-mengertian mereka terhadap
bahasa Toba mengurangi efektifitas kegiatan RMG. Seorang Zendeling RMG, Bregenstroth,
pada akhirnya menyadari bahwa orang Simalungun bukanlah bagian dari Batak.
tersebut karena sudah derasnya pengaruh Islam di daerah ini hingga ke Sianta

Pekabaran Injil oleh Orang Simalungun

Jubileum 25 Tahun Injil di Simalungun: Comite Na Ra Marpodah


Simalungun
Pada 1 September 1928 di Pematang Raya diadakan pesta peringatan 25 tahun pemberitaan
injil di Simalungun. Momen ini dijadikan tonggak untuk meningkatkan pengabaran Injil di
Simalungun. Sebagai salah satu caranya adalah dengan melakukan pengabaran Injil
menggunakan pengantar bahasa Simalungun, bukan bahasa Toba yang digunakan oleh para
Misionaris RMG. Beberapa Guru dan Sintua bersepakat untuk membentuk sebuah komite
bernama Comite Na Ra Marpodah Simalungun yang bekerja untuk membuat Agenda Gereja,
buku nyanyian "Haleluya", dan Alkitab dalam bahasa Simalungun (yang diterbitkan pertamakali
pada 16 Januari 1977) dilengkapi dengan sebuah buku renungan harian "Manna."
Rintisan pendirian lembaga ini diadakan pada tanggal 13 Oktober 1928 dalam suatu pertemuan
di rumah Djaoedin Saragih di Pematang Raya yang dihadiri oleh 14 tokoh-tokoh Kristen
Simalungun Dalam pertemuan inilah disepakati pendirian badan yang memiliki tujuan untuk
melestarikan dan memberdayakan bahasa Simalungun dengan nama di atas
Secara resmi 3 tujuan dari lembaga ini yaitu:didasari pada Alkitab, I Pet 2:17
1. Mengasihi sesama manusia (mangkaholongi hasoman jolma).
2. Takut pada Tuhan (pengkabiari Naibata).
3. Menghormati Raja/Pemerintah (pasangapkon Raja).

Dj. Wismar Saragih menerangkan bahwa penggunaan kata "Comite" memiliki makna bahwa
organisasi ini bersifat nirlaba. "Na Ra Marpodah" bermakna bahwa tiap pengurus/anggota
memiliki rasa tanggungjawab dan kewajiban untuk mendukung kelangsungan comite dengan
kontribusi dana, pengetahuan dan lain-lain secara sukarela demi kemajuan orang Simalungun
baik dalam kekristenan maupun pendidikan. Anggaran Dasar lembaga ini disahkan oleh asisten
Resident G.W. Meindersma pada tanggal 5 Februari 1929. Tanggal 2 September 1928
ditetapkan sebagai hari kelahiran comite.
Dukungan terhadap Comite ini antara lain terwujud dalam bentuk bantuan dana dari pemerintah
swapraja Simalungun melalui landschapskas Simaloengoen sebesar 300 gulden, dari rakyat,
pengusaha dan pegawai pemerintah melalui taken-list, dari Raja-raja Simalungun sebesar 400
gulden, dan dari penyelidik bahasa Simalungun (taalambtenaar, ditugaskan oleh pemerintah
Belanda atas permintaan raja-raja Simalungun), P. Voorhoeve, sebesar 5 gulden tiap tahunnya.
Akhirnya pada tanggal 15 Desember 1929 ditahbiskanlah seorang Pendeta yang pertama dari
suku Simalungun yaitu Pdt. Djaulung Wismar Saragih, yang tetap memperkuat
perjuangan Comite ini.
Perjuangan Comite untuk menggunakan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar di
sekolah-sekolah zending di seluruh daerah yang didiami suku Simalungun mengalami banyak
tantangan, terutama karena derasnya arus imigrasi suku Toba ke Simalungun sehingga domisili
suku Simalungun semakin terbatas. J. Warneck menjelaskan pada suratnya ke Raja-raja
Simalungun bahwa tuntutan tersebut juga sulit dipenuhi karena terbatasnya jumlah pengajar
yang mengerti bahasa Simalungun dan rendahnya minat orang Simalungun untuk masuk ke
sekolah guru yang telah dibuka sejak 1931 di Kota Pematangsiantar.Tetapi gencarnya
tuntutan Comite Na Ra Marpodah Simalungun ini, disertai dengan usaha mereka dalam
menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku pelajaran berbahasa Simalungun memaksa RMG
untuk menyesuaikan pelayananannya dengan menggunakan bahasa Simalungun

Kongsi Laita
Kesuksesan Comite Na Ra Marpodah Simalungun dalam meningkatkan penyebaran Injil bagi
orang Simalungun dengan digunakannya penggunaan bahasa Simalungun sebagai bahasa
pengantar, turut menumbuhkan semangat seluruh orang Kristen Simalungun di berbagai daerah
untuk turut menyebarkan Injil, dan untuk itu diperlukan komunitas yang terorganisir.
Seusai kebaktian minggu pada tanggal 15 November 1931, beberapa orang Kristen-Simalungun
dari Sondi Raya sepakat untuk mengadakan rapat di rumah Gomar Saragih untuk membentuk
suatu organisasi pekabaran Injil. Malam itu juga didirikanlah Kongsi Laita dengan susunan
kepengurusan:

Ketua: Guru Williamar Sumbayak

Sekretaris/Bendahara: St. Parmenas Purba Tambak

Komisaris:

St. Jonas Purba

Melanthon Saragih

Mailam Purba

Selanjutnya pekan kelahiran Kongsi Laita ini diperingati sebagai "Minggu Bapa," di mana seluruh
pelayanan di Gereja pada hari Minggu itu ditangani oleh anggota Seksi Bapa. Nama Kongsi
Laita juga diabadikan sebagai nama salah satu GKPS di Sondi Raya.

Parguru Saksi Kristus


Pada tahun 1938 diadakan Fonds Saksi Kristus atau yang sering dikenal orang Simalungun
sebagai Parguru Saksi Kristus. Gerakan ini bertujuan untuk memperkenalkan Injil dari rumah ke
rumah, dan umumnya dijalankan oleh anggota jemaat dari kalangan pemuda. Parguru Saksi
Kristus sangat efektif dalam menghadapi larangan berkumpul yang diterbitkan pemerintahan
penjajahan Jepang selama menduduki Indonesia.

Kemandirian GKPS

HKBP di Simalungun
Pada tahun 1929 dibentuk badan pengurus sinode HKBP yang anggotanya berasal dari wakil
tiap distrik HKBP yang mewakili etnis penghuni distrik tersebut. Namun karena hingga tahun
1933 Simalungun tidak memiliki wakil dalam badan ini, Sinode Distrik Simalungun-Pesisir Timur
mengajukan tuntutan agar suku Simalungun memiliki wakil dalam badan pengurus sinode HKBP
agar dapat lebih mengetahui dan mewakili daerah asalnya. Selanjutnya Djaoedin Saragih
(Pangulubalei -pejabat kerajaan, kakak dari Dj. Wismar Saragih) juga mengirimkan surat pada
Ephorus HKBP, Landgrebe, yang menekankan perlunya terpelihara identitas etnis dan budaya
Simalungun dalam lingkungan gereja. Tuntutan ini tidak dipenuhi dengan dipilihnya J. Hutapea
dari HKBP Pematang Siantar sebagai wakil Distrik Simalungun-Pesisir Timur.
Seiring semakin tingginya populasi Kristen-Simalungun di Pematang Siantar, Djaoedin Saragih
juga menuntut agar diadakan kebaktian khusus berbahasa Simalungun, yang dikabulkan RMG
dengan diadakannya kebaktian tersendiri di gedung sekolah Jl. Toba No. 35, dilayani oleh Gr.
Djahia Simandjuntak atau Pasman Panggabean yang memahami bahasa Simalungun. Ibadah
ini berlangsung hingga terhenti pada tahun 1941 karena kedatangan tentara penjajahan Jepang.

HKBP Distrik Simalungun


Seiring dengan meluasnya daerah tujuan imigrasi suku Toba hingga ke Dairi dan Aceh, tata
gereja HKBP tahun 1940 mengubah nama distrik Simalungun-Pesisir Timur (SimalungunOostkust) menjadi "Sumatera Timur, Aceh dan Dairi." Perubahan nama ini sebenarnya sudah
diprotes oleh J. Wismar Saragih dalam suratnya tanggal 27 Oktober 1937 ke penginjil H. Volmer
di Saribudolog, tetapi Tata Gereja tersebut tetap disahkan.
Keberatan yang secara berkelanjutan diajukan oleh komunitas Kristen-Simalungun akhirnya
membuahkan hasil ketika Sinode am HKBP yang diadakan pada tanggal 10-11 Juli 1940 di
Pearaja membicarakan keberatan mereka dan memutuskan agar Kerkbestuur HKBP
membicarakan hal tersebut dengan jemaat Simalungun. Pembicaraan tersebut kemudian
diadakan di Raya, Saribudolog dan Nagoridolog pada tanggal 26 September 1940 dan
memutuskan agar komunitas Simalungun diberi satu distrik tersendiri bernama Distrik
Simalungun dengan wakil orang Simalungun di sinode HKBP. Pada tanggal 22 Oktober 1940
Pdt. J.V. Mulywijk dari Kabanjahe dipilih menjadi Praeses pertama, yang kemudian digantikan
oleh Pdt. Kerpianus Purba (Pendeta HKBP Nagoridolog) sampai tahun 1952.

HKBP Simalungun
Pada tanggal 5 Oktober 1952 anggota Sinode Distrik Simalungun bersidang agar Simalungun
berdiri sendiri dan terpisah dari HKBP, serta mengangkat pengurus harian dan majelis Gereja di
HKBPS. Pemisahan ini dilakukan secara sepihak oleh HKBP distrik Simalungun, dan baru diakui
oleh wakil-wakil HKBP pada rapat bersama antara delegasi HKBP dan Pengurus Harian HKBP
Simalungun tentang pandjaeon (pemisahan) HKBP Simalungun di Pematang Siantar, 21-22
Januari 1953 yang keputusannya ditandatangani pada tanggal 22 Januari 1953. Untuk
memudahkan urusan Gereja ini pada 30 November 1952 HKBPS dibagi menjadi tiga Distrik dan
Kantor pusat GKPS didirikan di Pematang Siantar. Kantor pusat bermula menumpang dalam
satu rumah sewa di Jl. Pantuan Nagari Martoba, Pematang Siantar. Setelah mendapat sebidang
tanah di Jl. Sudirman maka Kantor pusat HKBPS berdiri sendiri (20 September 1955).

HKBP Simalungun menjadi GKPS


Pada tanggal 1 September 1963 HKBP Simalungun resmi berganti nama dengan GKPS.Surat
resminya ditandatangani Pdt. G.H.M. Siahaan (wakil HKBP) dan Pdt. Jenus Purba Siboro
(mewakili HKBPS) di HKBPS Jalan Sudirman Pematang-siantar.Setahun setelah itu didirikan
pusat pendidikan GKPS di Pematang Raya dan pembangunan Asrama Putra dan Putri dan
tahun 1964 itu juga GKPS menjadi anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

Pimpinan dan Organisasi Pusat GKPS

Pimpinan Pusat
Sesuai Peraturan Rumah Tangga GKPS, pimpinan pusat terdiri atas Ephorus dan Sekretaris
Jendral.Pimpinan GKPS berada di tangan seorang Ephorus yang didampingi oleh seorang
Sekretaris Jenderal.
Pada masa peralihan dari HKBP distrik Simalungun menjadi HKBP Simalungun (HKBPS),
HKBPS tidak memiliki seorang Ephorus. Jabatan tertinggi saat itu adalah seorang Wakil
Ephorus, yang didampingi oleh seorang Sekretaris Jendral.
Selama periode 2015-2020, GKPS dipimpin oleh Ephorus Pdt. Rumanja Purba, M.Th. dan
Sekjennya Pdt. Paul Ulrich Munthe

Anda mungkin juga menyukai