KRISTEN DI DAERAH
SIMALUNGUN
KELOMPOK 4
GORGA HUTAJULUK
HARTANTI SINAGA
IMMANUEL SITOMPUL
INDAH KARTIKA PANJAITAN
dituai." Dalam bahasa Simalungun ayat ini berbunyi: Mangkawah ma hanima, tonggor hanima
ma juma in, domma gorsing, boi ma sabion.
Beberapa sumber tradisional menyebutkan bahwa dalam perjalanannya dari Tigaras,
rombongan Pendeta August Theis sempat melewati daerah Urung Panei. Saat itu terdapat jalan
setapak dari Tigaras menuju Sipaga-paga hingga ke Urung Panei. Di sana August Theis bertemu
dengan Tuan Urung Panei (Tuan Marhali Purba) dan meminta petunjuk jalan menuju ke Dolok
Saribu. Tuan Marhali Purba kemudian mengantarkan rombongan tersebut melalui Nagori Silou
dan Aek Silopak (Sidamar) sebelum tiba di Dolok Saribu. Tidak tersedia sumber tertulis
mengenai informasi ini karena kemungkinan besar ikut terbakar pada kebakaran yang terjadi
pada tahun 1916. Di kemudian hari, putera dari Tuan Marhali Purba, Aristarkus Purba, menerima
Baptisan Kudus dari Pendeta August Theis.
Meninggalkan Simalungun
Pendeta Jaulung Wismar Saragih
Pada tahun 1919, mertua dari August Theis meninggal dunia. Pada saat itu sudah banyak orang
Simalungun yang dapat membantu August Theis dalam pelayanannya seperti J. Wismar
Saragih yang melayani di Raya Usang dan Tuan Anggi (saudara dari raja Raya). Pada tahun ini
juga August Theis mengirimkan 2 puterinya kembali ke Belanda untuk bersekolah.
Pada tahun 1921, permohonan cutinya untuk kembali ke Belanda dikabulkan dan diadakanlah
perpisahan di Pematang Raya pada 4 April 1921yang acaranya dipimpin oleh salah seorang
murid August Theis, yaitu J. Wismar Saragih.
Sekembalinya August Theis dari Belanda, ia ditempatkan di Dolok Sanggul, dan posisinya di
Pematang Raya dilanjutkan oleh Pendeta Guillaume (sebelumnya di Saribudolok). Setelah
melayani di Dolok Sanggul, ia berkedudukan di Medan sampai habis masa pelayanannya dan
kembali ke Eropa dan meninggal dunia pada 1968.
Sebagai salah satu cara mengenang jasa August Theis, Gereja Kristen Protestan
Simalungun (GKPS) pada bulan September 2003 membentuk Dana August Theis yang
merupakan dana yang awalnya dikumpulkan oleh GKPS dan mitra-mitranya di Jerman untuk
menyediakan beasiswa bagi anak-anak GKPS yang masih bersekolah di bangku SLTA.Waktu
inisiasi ini dipilih bertepatan dengan peringatan Jubileum 100 tahun sejak tibanya rombongan
August Theis di Pematang Raya (yang dianggap sebagai pusatnya Simalungun) untuk
menyebarkan ajaran Kristen. Selanjutnya dana ini juga bersumber dari anggota GKPS yang
berada di Indonesia atau tempat lain.
Keesokannya mereka tiba di Siboro (Partuanan Purba) dan sempat berkhotbah di Pasar yang
ada di daerah itu. Pada hari Jumat, 16 Februari 1900 mereka berkeliling di sekitar Tiga
Langgiung mengabarkan Injil pada masyarakat yang sedang berbelanja di pekan (pasar
mingguan). Selanjutnya mereka pergi ke Pematang Purba untuk menemui Tuan
Rahalim Purba Pakpak (Raja Purba) dan baru berhasil menemuinya keesokan harinya, 17
Februari, setelah menanti semalaman. Di sini mereka menyampaikan maksud mereka untuk
mengabarkan Injil dan membacakan nats Alkitab bagi Raja Purba. Walaupun belum mendapat
tanggapan positif darinya namun para penginjil tersebut menemui sikap bersahabat dari Raja
Purba Usaha selama 4 hari ini kurang berhasil terutama karena penggunaan bahasa Toba
sebagai pengantar yang kurang dipahami oleh masyarakat Simalungun.
Setelah menerima permintaan dari Guillaume, RMG mengutus G.K. Simon bersama beberapa
penginjil Toba dari PMB untuk melakukan peninjauan ke Simalungun. Karena melihat pengaruh
Islam yang sudah masuk hingga Siantar, G.K. Simon meminta agar RMG secepat mungkin
menginjili Simalungun
Laporan G.K. Simon dan Guillaume ditambah laporan dari pejabat-pejabat Belanda dibahas
pada rapat missionar RMG di Laguboti, Tapanuli pada 21-25 Januari 1903 yang dihadiri 42
penginjil RMG, dengan keputusan
1. Pemberitaan Injil di Simalungun harus segera dilaksanakan.
2. Segera dikirim surat ke Direktur RMG Schreiber di Barmen untuk meminta persetujuan
dan rekomendasi RMG dalam memperluas lapangan penginjilan ke Simalungun.
3. Segera dilakukan langkah-langkah penginjilan ke Simalungun.
Sebelum rapat ini Nommensen juga telah mengirim permohonan tenaga penginjil baru ke
pimpinan RMG di Jerman sehubungan rencananya memperluas daerah penginjilan ke Samosir,
Dairi dan Simalungun, namun secara strategi, Simalungun dijadikan prioritas utama dari ketiga
daerahPada tanggal 16 Maret 1903, Dr. Schreiber dari RMG secara resmi mengirim telegram
singkat yang merekomendasikan pengabaran Injil keTimorlanden (sebutan bagi
Simalungun) Setelah menerima telegram yang berisi Tole den Timorlanden das
Evangelium (perintah menyebarkaninjil di tanah Timur) maka pada tanggal 2 September 1903
sekelompok penginjil dari RMG yang dipimpin oleh Pendeta August Theis tiba diPematang
Raya untuk menyebarkan Injil.
Tanggal 2 September sampai saat ini diperingati setiap tahunnya oleh anggota GKPS di seluruh
dunia sebagai hari olob-olob (bahasa Simalungun untuk "suka cita") untuk mensyukuri
masuknya ambilan na madear (bahasa Simalungun untuk Firman-Firman Alkitab/ajaran Kristen)
di Simalungun.
Pada 1 Januari 1904 dimulailah Zending Simalungun yang bertempat tinggal di Pematang
Raya dan Pdt. Guilllaume berada di Purba Saribu (1905) untuk melayani pemberitaan injil di
Simalungun Raya di bagian Barat. Sebagai hasil pertama dari pemberitaan injil di Simalungun
baru pada tanggal 19 September 1909 diadakan permandian suci (Pandidion na parlobei) di
Pematang Raya oleh Pdt. Theis, kemudian di Parapat juga ada 38 orang yang menerima
permandian suci.Sampai 1910, sudah berdiri 17 Gereja di daerah Simalungun yang menjadi
cikal bakal GKPS saat ini
Penyebaran Injil oleh para Misionaris RMG dilakukan menggunakan bahasa pengantar
bahasa Toba dengan anggapan bahwa Simalungun merupakan bagian dari sub EtnikToba. Hal
ini menyebabkan perkembangan penyebaran injil di Simalungun kurang pesat. Resistansi
Masyarakat Simalungun terhadap Kaum Barat dan kekurang-mengertian mereka terhadap
bahasa Toba mengurangi efektifitas kegiatan RMG. Seorang Zendeling RMG, Bregenstroth,
pada akhirnya menyadari bahwa orang Simalungun bukanlah bagian dari Batak.
tersebut karena sudah derasnya pengaruh Islam di daerah ini hingga ke Sianta
Dj. Wismar Saragih menerangkan bahwa penggunaan kata "Comite" memiliki makna bahwa
organisasi ini bersifat nirlaba. "Na Ra Marpodah" bermakna bahwa tiap pengurus/anggota
memiliki rasa tanggungjawab dan kewajiban untuk mendukung kelangsungan comite dengan
kontribusi dana, pengetahuan dan lain-lain secara sukarela demi kemajuan orang Simalungun
baik dalam kekristenan maupun pendidikan. Anggaran Dasar lembaga ini disahkan oleh asisten
Resident G.W. Meindersma pada tanggal 5 Februari 1929. Tanggal 2 September 1928
ditetapkan sebagai hari kelahiran comite.
Dukungan terhadap Comite ini antara lain terwujud dalam bentuk bantuan dana dari pemerintah
swapraja Simalungun melalui landschapskas Simaloengoen sebesar 300 gulden, dari rakyat,
pengusaha dan pegawai pemerintah melalui taken-list, dari Raja-raja Simalungun sebesar 400
gulden, dan dari penyelidik bahasa Simalungun (taalambtenaar, ditugaskan oleh pemerintah
Belanda atas permintaan raja-raja Simalungun), P. Voorhoeve, sebesar 5 gulden tiap tahunnya.
Akhirnya pada tanggal 15 Desember 1929 ditahbiskanlah seorang Pendeta yang pertama dari
suku Simalungun yaitu Pdt. Djaulung Wismar Saragih, yang tetap memperkuat
perjuangan Comite ini.
Perjuangan Comite untuk menggunakan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar di
sekolah-sekolah zending di seluruh daerah yang didiami suku Simalungun mengalami banyak
tantangan, terutama karena derasnya arus imigrasi suku Toba ke Simalungun sehingga domisili
suku Simalungun semakin terbatas. J. Warneck menjelaskan pada suratnya ke Raja-raja
Simalungun bahwa tuntutan tersebut juga sulit dipenuhi karena terbatasnya jumlah pengajar
yang mengerti bahasa Simalungun dan rendahnya minat orang Simalungun untuk masuk ke
sekolah guru yang telah dibuka sejak 1931 di Kota Pematangsiantar.Tetapi gencarnya
tuntutan Comite Na Ra Marpodah Simalungun ini, disertai dengan usaha mereka dalam
menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku pelajaran berbahasa Simalungun memaksa RMG
untuk menyesuaikan pelayananannya dengan menggunakan bahasa Simalungun
Kongsi Laita
Kesuksesan Comite Na Ra Marpodah Simalungun dalam meningkatkan penyebaran Injil bagi
orang Simalungun dengan digunakannya penggunaan bahasa Simalungun sebagai bahasa
pengantar, turut menumbuhkan semangat seluruh orang Kristen Simalungun di berbagai daerah
untuk turut menyebarkan Injil, dan untuk itu diperlukan komunitas yang terorganisir.
Seusai kebaktian minggu pada tanggal 15 November 1931, beberapa orang Kristen-Simalungun
dari Sondi Raya sepakat untuk mengadakan rapat di rumah Gomar Saragih untuk membentuk
suatu organisasi pekabaran Injil. Malam itu juga didirikanlah Kongsi Laita dengan susunan
kepengurusan:
Komisaris:
Melanthon Saragih
Mailam Purba
Selanjutnya pekan kelahiran Kongsi Laita ini diperingati sebagai "Minggu Bapa," di mana seluruh
pelayanan di Gereja pada hari Minggu itu ditangani oleh anggota Seksi Bapa. Nama Kongsi
Laita juga diabadikan sebagai nama salah satu GKPS di Sondi Raya.
Kemandirian GKPS
HKBP di Simalungun
Pada tahun 1929 dibentuk badan pengurus sinode HKBP yang anggotanya berasal dari wakil
tiap distrik HKBP yang mewakili etnis penghuni distrik tersebut. Namun karena hingga tahun
1933 Simalungun tidak memiliki wakil dalam badan ini, Sinode Distrik Simalungun-Pesisir Timur
mengajukan tuntutan agar suku Simalungun memiliki wakil dalam badan pengurus sinode HKBP
agar dapat lebih mengetahui dan mewakili daerah asalnya. Selanjutnya Djaoedin Saragih
(Pangulubalei -pejabat kerajaan, kakak dari Dj. Wismar Saragih) juga mengirimkan surat pada
Ephorus HKBP, Landgrebe, yang menekankan perlunya terpelihara identitas etnis dan budaya
Simalungun dalam lingkungan gereja. Tuntutan ini tidak dipenuhi dengan dipilihnya J. Hutapea
dari HKBP Pematang Siantar sebagai wakil Distrik Simalungun-Pesisir Timur.
Seiring semakin tingginya populasi Kristen-Simalungun di Pematang Siantar, Djaoedin Saragih
juga menuntut agar diadakan kebaktian khusus berbahasa Simalungun, yang dikabulkan RMG
dengan diadakannya kebaktian tersendiri di gedung sekolah Jl. Toba No. 35, dilayani oleh Gr.
Djahia Simandjuntak atau Pasman Panggabean yang memahami bahasa Simalungun. Ibadah
ini berlangsung hingga terhenti pada tahun 1941 karena kedatangan tentara penjajahan Jepang.
HKBP Simalungun
Pada tanggal 5 Oktober 1952 anggota Sinode Distrik Simalungun bersidang agar Simalungun
berdiri sendiri dan terpisah dari HKBP, serta mengangkat pengurus harian dan majelis Gereja di
HKBPS. Pemisahan ini dilakukan secara sepihak oleh HKBP distrik Simalungun, dan baru diakui
oleh wakil-wakil HKBP pada rapat bersama antara delegasi HKBP dan Pengurus Harian HKBP
Simalungun tentang pandjaeon (pemisahan) HKBP Simalungun di Pematang Siantar, 21-22
Januari 1953 yang keputusannya ditandatangani pada tanggal 22 Januari 1953. Untuk
memudahkan urusan Gereja ini pada 30 November 1952 HKBPS dibagi menjadi tiga Distrik dan
Kantor pusat GKPS didirikan di Pematang Siantar. Kantor pusat bermula menumpang dalam
satu rumah sewa di Jl. Pantuan Nagari Martoba, Pematang Siantar. Setelah mendapat sebidang
tanah di Jl. Sudirman maka Kantor pusat HKBPS berdiri sendiri (20 September 1955).
Pimpinan Pusat
Sesuai Peraturan Rumah Tangga GKPS, pimpinan pusat terdiri atas Ephorus dan Sekretaris
Jendral.Pimpinan GKPS berada di tangan seorang Ephorus yang didampingi oleh seorang
Sekretaris Jenderal.
Pada masa peralihan dari HKBP distrik Simalungun menjadi HKBP Simalungun (HKBPS),
HKBPS tidak memiliki seorang Ephorus. Jabatan tertinggi saat itu adalah seorang Wakil
Ephorus, yang didampingi oleh seorang Sekretaris Jendral.
Selama periode 2015-2020, GKPS dipimpin oleh Ephorus Pdt. Rumanja Purba, M.Th. dan
Sekjennya Pdt. Paul Ulrich Munthe