Anda di halaman 1dari 8

PROBLEMATIKA BANTUAN SOSIAL DI INDONESIA:

DI ANTARA BAYANG-BAYANG POLITIK CITRA DAN KORUPSI YANG MERAJALELA

🙡 Arief Maulana 🙣

PROLOG

Mari ‘berpetualang’ sejenak ke akhir tahun lalu untuk melihat kembali sebuah realita yang
menyesakkan dada. Menteri Sosial, Juliari P. Batubara, menyerahkan diri kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 6 Desember 2020 jam 02.50 WIB dini hari (FM
Sidik, news.detik.com, 2020). Sebagaimana jamak diketahui bahwa penyerahan diri tersebut
merupakan ‘buah’ dari pengembangan operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap
beberapa pejabat PPK Kementerian Sosial (Kemensos). Dalam operasi tangkap tangan KPK,
diindikasikan ada gratifikasi senilai Rp17 miliar yang mengarah kepada Juliari P. Batubara
(DM Purnamasari, kompas.com, 2020). Dalam modusnya, Sang Menteri mendapatkan fee
sebesar Rp10.000/paket pengadaan bantuan sosial (bansos) yang diadakan oleh Kemensos
untuk membantu meringankan beban masyarakat akibat dampak Covid-19 yang berlangsung
sejak bulan Maret 2020 yang sampai sekarang belum tahu kapan akan berakhir.

Gratifikasi kepada Menteri Sosial tersebut diberikan oleh pihak swasta yang melaksanakan
paket pengadaan bansos untuk wilayah Jabodetabek senilai Rp5,4 triliun. Seandainya paket
bansos rata-rata satu paket nilainya Rp300 ribu, dan terdapat pengadaan paket bansos se-
Jabodetabek sejumlah 18 juta paket, maka kemungkinan uang bansos yang masuk ke
dompet Sang Menteri hampir Rp180 miliar (Zaking, jawapos.com, 2020). Sebuah angka yang
fantastis.

Terhadap peristiwa ini, banyak masyarakat yang merasa geram dan jengkel. Bayangkan,
dampak yang dirasakan dari Covid-19 telah meluluhlantakkan semua sendi kehidupan
bangsa. Fakta-fakta tersebut memang cukup menyesakkan dada, sekaligus membuka ‘kotak
pandora’ yang memperlihatkan kepada rakyat Indonesia betapa bobroknya pengelolaan
bansos di negara kita.

PENGELOLAAN BANSOS DAN SEGALA PERMASALAHANNYA

Merujuk pada berbagai literatur dan peraturan-peraturan yang berlaku, bansos secara
sederhana adalah pemberian uang, barang atau jasa oleh pemerintah pusat atau daerah
kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat guna melindungi mereka dari
kemungkinan terjadinya risiko sosial (SL Rahayu, 2012).

Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi yang tergolong cukup banyak, untuk
itu pemerintah melaksanakan berbagai program untuk menunjang peningkatan
pembangunan dalam rangka menopang kesejahteraan penduduk. Menurut UU Nomor 11
Tahun 2009, negara bertanggung jawab untuk melaksanakan pelayanan dan peningkatan
kesejahteraan sosial secara terarah, terencana dan berkelanjutan. Untuk itu, Pemerintah

1
terus berupaya menangani masalah ekonomi yang terjadi melalui berbagai pendekatan dan
strategi dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada dan direalisasikan lewat pemberian
dana bantuan sosial (Kantohe. et al., 2018).

Secara umum, mekanisme pengelolaan bansos dibagi dalam tiga tahap: penganggaran,
pelaksanaan, dan pelaporan. Dalam tahap penganggaran, kementerian/lembaga atau pemda
menetapkan daftar penerima bansos. Dalam konteks bansos Covid-19, Kemensos melakukan
penetapan berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang berisikan data 40%
penduduk termiskin di Indonesia (bdt.tnp2k.go.id, 2020)1 . Penetapan penerima juga dapat
dilakukan berdasarkan hasil seleksi atas usulan tertulis yang masuk dari calon penerima
bansos. Ini umumnya berlaku di pemda untuk bansos yang berbentuk barang/jasa.

Walaupun bansos yang disalurkan berdasarkan data DTKS, bukan berarti bebas dari masalah.
Masalah pertama terjadi pada akurasi data acuan penetapan penerima bansos. Kemensos
sendiri mengakui bahwa DTKS terakhir diperbaharui secara masif pada 2015, sementara KPK
menemukan berbagai permasalahan terkait DTKS seperti data tumpang tindih, tidak
lengkap, dan duplikasi jutaan data (tempo.co, 2020).

Masalah kedua adalah bansos sangat rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis.
Ketidakakuratan data ditambah kewenangan kepala daerah yang besar dalam penentuan
penerima bansos mendorong kolusi terjadi dalam penyaluran bansos. Bansos dibagikan
berdasarkan pertimbangan politik elektoral ketimbang kebutuhan nyata masyarakat.

Studi Ward Berenschot –peneliti politik asal Belanda– mengenai politik klientelisme di
Indonesia menunjukkan bansos dan hibah sebagai salah satu sumber daya yang rawan
digunakan untuk kepentingan elektoral (Berenschot, 2018). Temuan ini diperkuat lewat
temuan studi tentang Pilkada Banten 2011 ketika gubernur petahana mengalokasikan
bansos dan hibah ke wilayah-wilayah yang menjadi kantong suaranya (Saragintan & Hidayat,
2016).

Pada tahap penyaluran, bansos dalam bentuk uang diberikan secara tunai maupun lewat
transfer ke rekening bank penerima bansos atau bank penyalur. Adapun penyaluran bansos
dalam bentuk barang didahului dengan proses pengadaan barang/jasa untuk kemudian
diberikan secara langsung kepada penerima bansos. Metode inilah yang digunakan
Kemensos untuk penyaluran bantuan bahan pokok bernilai puluhan triliun rupiah yang
kemudian bermasalah.

Dengan demikian, masalah ketiga pelaksanaan bansos adalah korupsi pengadaan. Dalam
korupsi bansos Covid-19, kontraktor pengadaan diduga memberikan “upah” kepada pejabat
di Kemensos atas penunjukannya sebagai penyedia paket-paket bansos pandemi. Selain itu,

1
Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk program perlindungan sosial adalah sistem data elektronik
yang memuat informasi sosial, ekonomi, dan demografi dari sekitar 99 juta individu dengan status
kesejahteraan terendah di Indonesia. Kementerian, pemerintah daerah, dan lembaga lain yang menjalankan
program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial dapat menggunakan data dari DTKS
berdasarkan Kepmensos No.8/HUK/2019.

2
proses penyaluran bansos juga menyimpan masalah lain. Misalnya, penyaluran kepada calon
penerima fiktif, atau penyaluran kepada kroni-kroni pejabat publik dengan tujuan agar dana
bansos masuk ke kantong pribadi atau kelompok tertentu.

Masalah politisasi dan korupsi bansos tidak semata-mata disebabkan oleh kelemahan
prosedural. Akarnya ada pada dua hal yang saling berkaitan, yaitu pola hubungan patron-
klien yang masih dominan dalam struktur masyarakat, dan politik berbiaya tinggi dalam
sistem demokrasi Indonesia. Pola hubungan patron-klien adalah satu karakteristik
masyarakat tradisional agraris. Dalam hubungan ini, seorang patron yang taraf sosio-
ekonominya lebih tinggi menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk memberikan
perlindungan atau manfaat kepada klien yang status sosio-ekonominya lebih rendah, dengan
timbal balik berupa dukungan personal kepada sang patron.

Pola yang informal timbal balik ini mengakar dan tidak lenyap dengan datangnya era
demokrasi elektoral. Ajang kompetisi demokrasi justru menjadi semacam sarana bagi
hidupnya politik klientelistik. Patron-patron baru, yaitu para politikus yang berkompetisi
dalam ajang pemilihan umum, berupaya untuk mendapatkan dukungan suara dari pemilih
(klien) lewat pemberian materi baik itu berupa uang, barang, maupun jasa. Politikus yang
memiliki akses ke sumber daya keuangan publik dapat menggunakan bansos untuk
memperoleh dukungan suara dari pemilih.

Ada beberapa alasan mengapa klientelisme bertahan –bahkan berkembang– di tengah


perubahan sosial yang sangat masif. Salah satunya adalah kemiskinan. Masyarakat miskin
lebih cenderung menerima materi yang tidak seberapa dari para politikus ketimbang
menuntut kebijakan yang lebih komprehensif atas permasalahan hidup yang mereka hadapi.

Sementara itu, iklim politik berbiaya tinggi di Indonesia menuntut modal besar dari politikus
untuk membiayai pencalonan dan kampanye politik. Korupsi anggaran publik –termasuk
bansos– menjadi suatu jalan untuk memenuhi tuntutan ini. Mahalnya biaya politik di
Indonesia disebabkan antara lain oleh mahar tinggi yang diminta partai politik sebagai salah
satu syarat pencalonan, biaya kampanye yang tinggi karena kandidat harus menggerakkan
mesin politik pribadi, dan lemahnya pelembagaan pembiayaan politik.

POLITIK CITRA DALAM BANTUAN SOSIAL

Laporan Charity Aid Foundation 2019 menempatkan rakyat Indonesia sebagai negara paling
dermawan. Laporan yang memuat The World Giving Index 2019 ini mengukur perilaku warga
negara untuk membantu orang yang tidak dikenal, berdonasi uang, dan ikut berpartisipasi
dalam gerakan kesetiakawanan sosial (liputan6.com, 2019)2.

2
Indonesia menempati posisi puncak Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2018 dengan skor 59
persen. Pada tahun 2017, Indonesia berada di posisi kedua CAF World Giving Index. Berdasarkan buku
laporan CAF World Giving Index 2018, A Global View of Giving Trends, yang dipublikasikan pada Oktober
2018, skor Indonesia untuk membantu orang lain sebesar 46 persen, berdonasi materi 78 persen, dan
melakukan kegiatan sukarelawan 53 persen. Lihat: https://www.cafonline.org/about-us/publications/2019-
publications

3
Ketika badai pandemi Covid-19 mulai menerjang Indonesia, kelompok masyarakat sipil pun
ikut tergerak. Di sana tak ada kepentingan pencitraan. Sejumlah pengusaha, rakyat biasa,
dan media menggalang dana untuk membantu sesama. Ikatan emosional sesama
manusialah yang membuat gerakan voluntarisme itu bergerak leluasa, tanpa batas dan sekat
partai.

Kekuatan masyarakat sipil yang luar biasa inilah yang harus terus dirawat dan
dikembangkan. Itulah modal kekuatan utama yang bergerak atas dasar kemanusiaan dan
kebangsaan. Kekuatan masyarakat sipil itulah modal sosial yang bisa memperkuat daya
tahan sosial Indonesia sebagai sebuah bangsa. Tulisan The Diplomat oleh Shane Preuss
(thediplomat.com, 2020), mendeskripsikan bagaimana kekuatan masyarakat sipil Indonesia
yang luar biasa dan membuat bangsa ini berdaya tahan tinggi.

Namun demikian, kedermawanan masyarakat jangan sampai dirusak oleh politisi murahan
yang memanfaatkan bansos korban pandemi untuk kepentingan elektoralnya. Sebenarnya,
kultur politisasi bansos sudah terjadi sejak lama di dunia politik tanah air. Di Indonesia,
praktik ini marak dilakukan setidaknya sejak era pemerintahan Presiden SBY meluncurkan
bantuan langsung tunai (BLT). Politisasi bansos merupakan salah satu trik kampanye dalam
dunia politik. Eropa lebih mengenalnya dengan istilah pork barrel atau gentong babi. Trik ini
masuk dalam kategori money politic yang serupa dengan serangan fajar jelang pencoblosan
ketika pemilu. Perbedaannya, pork barrel selalu ‘berbalut’ kewenangan pemerintah dalam
mengelola anggaran sosial.

Membaca laporan harian Kompas, Kamis 28 April 2020, Bupati Klaten Sri Mulyani cukup
mendapat sorotan. Dia menempelkan foto dirinya dalam bantuan hand sanitizer kepada
warganya. Bahkan, stiker itu ditempelkan menutupi stiker sebelumnya yang tertulis
Kemensos. Sejumlah daerah lainnya juga memanfaatkan bantuan sosial untuk kepentingan
elektoral di tengah pilkada. Itulah cermin ketidakjujuran seorang pejabat demi menuai
simpati dari konstituen (kompas.com, 2020).

Lebih lanjut, sepanjang perhelatan Pilkada serentak 2020, cara ini lazim diterapkan kandidat
petahana jelang pemilu. Namun tak tertutup kemungkinan cara ini dilakukan juga oleh
kepala daerah atau pejabat negara yang sudah tidak akan berkompetisi lagi. Tujuannya
adalah demi mempertahankan approval rate guna mempertahankan dukungan warga
terhadap era kepemimpinannya.

Di sisi lain, politisasi bansos bertentangan dengan asas tata kelola good governance dan
clean government karena mengabaikan transparansi. Pencitraan lewat bansos dilakukan
karena pemerintah tidak transparan, sehingga seolah-olah bantuan itu diberikan langsung
oleh sang kepala daerah. Politisasi bansos di tengah krisis pandemi tak akan membawa
dampak positif bagi pemerintahan. Manuver tersebut justru lebih banyak berdampak buruk
bagi pengambil kebijakan, karena kesan yang muncul jadi kontraproduktif yakni persepsi
publik menjadi menurunkan citra, menandakan ketidakpekaan terhadap kondisi publik, dan
pada akhirnya melukai hati publik.

4
Para elite politik layak mencontoh bagaimana voluntarisme masyarakat sipil bekerja. Para
pejabat di pusat maupun di daerah jangan hanya berteriak melalui media sosial agar tampak
bersimpati kepada rakyat yang menderita. Menjadi tugas pejabatlah menyelesaikan
‘pekerjaan rumah’ yang ada. Kekuasaan yang dimiliki saatnya didedikasikan untuk
kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pencitraan dirinya.

Pemanfaatan simbol politik dikhawatirkan bisa menggerus sentimen kebersamaan yang kini
diperjuangkan. Padahal, pandemi Covid-19 tidak mengenal kasta, aliran politik, agama, suku
dan profesi. Politisasi bansos akan menghancurkan semuanya. Daripada terus mengecam
kegelapan, kita harus terus mendorong sesama warga negara untuk berbuat sekecil apa pun
untuk kemanusiaan, tanpa sekat dan simbol apa pun.

MENCEGAH POLITISASI BANSOS ADALAH KENISCAYAAN

Bansos sebagai instrumen strategis yang menyasar empat elemen besar sektor terdampak
sebagaimana diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan diimplementasikan ke desa-
desa di seluruh Indonesia, diharapkan bersih dari kepentingan politik jangka pendek dan
penyalahgunaan wewenang atau iktikad menguntungkan diri sendiri dan kelompok. Jika
bansos ditarik-tarik ke ranah politik praktis, maka akan mengundang sengkarut pelaksanaan
yang tidak menguntungkan banyak pihak, terutama masyarakat yang terdampak.

Penyalahgunaan bansos untuk memperoleh dukungan politik sangatlah berbahaya. Pertama,


ini bukan hanya bansos, tetapi juga bantuan untuk mengatasi bencana kemanusiaan. Ini
adalah ikhtiar suci dengan mengorbankan beberapa kepentingan pembangunan di sektor
lain. Kedua, kebijakan strategis ini harus terhindar dari penyalahgunaan, salah kelola dan
kepentingan politik apapun karena akan mendegradasi fungsi luhurnya. Ketiga,
penyalurannya rawan penyalahgunaan. Politisasi bansos tak hanya dilakukan elite politik dan
pemerintahan. Politisasi juga dilakukan aktor politik di luar pemerintahan. Keterlambatan
pemerintah mengambil langkah di awal pandemi menjadi topik jamak di media arus utama
maupun medsos.

Dalam kaitan beban pemerintah yang berat, penting dilakukan penguatan pengawasan
terhadap proses dan mekanisme bantuan sampai ke sasarannya. Presiden Joko Widodo
dalam pertemuan dengan jajaran kabinet dan pimpinan lembaga negara selalu menekankan
asas ketepatan, ketertiban, dan keamanan distribusi bantuan serta pencegahan agar bansos
tak jadi alat politik kepala daerah atau calon untuk menarik simpati masyarakat.

Untuk tujuan itu, setelah dikeluarkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang mengatur
kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan dalam menangani Covid-19, sejumlah
kementerian terkait, lembaga negara dan gubernur/bupati/wali kota menerbitkan peraturan
pelaksanaannya.

Dalam rangka percepatan pelaksanaan dan jaminan hukum kepada pengambil keputusan,
Pasal 27 Ayat 1, 2, dan 3 Perppu ini menjamin pejabat negara terkait pelaksanaan Perppu ini
tak dapat dituntut perdata ataupun pidana jika melaksanakan tugas dengan iktikad baik

5
karena alasan kondisi sekarang adalah kondisi kritis yang membutuhkan keputusan yang
cepat. Pengertian iktikad baik adalah keadaan dimana mereka dalam melaksanakan
tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, atau
tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Namun, apabila terdapat fakta sebaliknya lalu ditemukan iktikad tidak baik dan bukti formal
kuat, hukuman diperberat dengan alasan dalam masa pandemi seperti ini obyektivitas dan
kehati-hatian perlu dijaga bersama. Bansos bukan hanya dilihat sebagai komitmen
pemerintah mengatasi Covid-19 dan dampaknya, melainkan juga peranti strategis keamanan
negara dalam arti luas agar tak terjadi kepanikan massa dan gejolak sosial sekaligus
menjawab persoalan pelik di bidang sosial ekonomi yang muncul di desa dan kota.

Para kritikus pemerintah mempertanyakan transparansi, keabsahan jumlah penerima


bantuan, data yang belum terintegrasi, tumpang tindihnya penerima bantuan dan
terlantarnya orang miskin terdampak yang belum tercatat dan keterlambatan pemerintah
menangani pandemi. Di level daerah, untuk beberapa kasus di daerah, beberapa kelompok
masyarakat juga menggunakan momentum penyaluran bantuan ini sebagai bahan serangan
kepada lawan-lawan politiknya.

Instrumen hukum percepatan implementasi kebijakan dan jaminan keamanan dari ancaman
jerat hukum dikeluarkan untuk memastikan distribusi bansos berjalan lancar, sekaligus
melindungi pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah, dengan dikeluarkannya Surat
Edaran KPK Nomor 8/2020 untuk mencegah penyalahgunaan wewenang penggunaan
anggaran untuk pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan
penanganan Covid-19. Di kala kondisi ekonomi dan keuangan negara dalam kontraksi hebat
dan pengaruh masyarakat terdampak kian terasa, maka langkah-langkah pengawasan
berjenjang menjadi begitu menentukan.

EPILOG: PERBAIKI PENGELOLAAN BANTUAN SOSIAL!

Kuatnya aspek politik dalam pengelolaan bansos menegaskan pentingnya solusi yang tidak
berkutat pada aspek teknis administratif dan prosedur semata. Selain penyempurnaan
berkelanjutan atas DTKS sebagai salah satu dasar alokasi bansos dan pengadopsian
penyaluran berbasis digital/transfer ketimbang tunai, terdapat dua hal yang penting untuk
dilakukan.

Pertama adalah membangun pengetahuan masyarakat terkait dengan penganggaran publik


(budget literacy) guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran.
Pencerdasan ini tidak hanya untuk menyadarkan masyarakat akan hak-hak terkait anggaran,
namun juga menumbuhkan sikap kritis mereka selaku pemilih sehingga menghindari
pembelian dukungan suara lewat penyalahgunaan anggaran publik. Kedua, perlu ada upaya
serius untuk menciptakan sistem pembiayaan politik yang efektif, transparan, dan akuntabel
sehingga penyalahgunaan anggaran untuk membiayai kegiatan politik dapat diminimalisir.

6
Banyak hasil studi menunjukkan bahwa pengaturan pembiayaan politik di Indonesia saat ini
tidak berfungsi karena partai politik mengabaikan peraturan-peraturan tersebut, dan
maraknya donasi gelap dan perilaku korupsi untuk mendanai kegiatan politik. Ke depan,
kerangka pembiayaan politik melalui donasi masyarakat atau pembiayaan negara perlu
diterapkan secara lebih efektif dan menjunjung tinggi transparansi.

REFERENSI

Berenschot, Ward. 2018. The Political Economy of Clientelism: A Comparative Study of


Indonesia’s Patronage Democracy. SAGE Journals: Comparative Political Studies.
Volume 51 Nomor 12. https://doi.org/10.1177/0010414018758756. Diakses 18 April
2021.
Bramasta, Dandy Bayu. 2020. Mengintip Jejak Bupati Klaten Sri Mulyani, dari Bagi-bagi
Nmax hingga Heboh Hand Sanitizer.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/28/ 093200965/mengintip-jejak-bupati-
klaten-sri-mulyani-dari-bagi-bagi-nmax-hingga-heboh?page=all. Diakses 13 April 2021.
Harsono, Fitri Haryanti . 2019. Indonesia Melesat Jadi Negara Paling Dermawan di Dunia.
https://www.liputan6.com/health/read/3987796/indonesia-melesat-jadi-negara-
paling-dermawan-di-dunia. Diakses 21 April 2021.
Kantohe, Anastasia J., Gloria S. Lumingkewas., Grace B. Nangoi. 2018. Ipteks Pemberian
Dana Bantuan Sosial Pada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD)
Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Ipteks Akuntansi bagi Masyarakat. Volume 02 Nomor
02. https://doi.org/10.32400/jiam.2.02.2018.21755
Preuss, Shane. 2020. Indonesia and COVID-19: What the World Is Missing.
https://thediplomat.com/2020/04/indonesia-and-covid-19-what-the-world-is-missing/
Purnamasari, Deti Mega. 2020. Diduga Terima Suap Bansos Covid-19 Rp 17 Miliar, Ini Harta
Kekayaan Mensos Juliari Batubara. https://nasional.kompas.com/read/2020/12/06/
09051901/diduga-terima-suap-bansos-covid-19-rp-17-miliar-ini-harta-kekayaan-
mensos?page=all. Diakses 18 April 2021.
Putri, Budiarti Utami. 2020. Kisruh Dana Bansos, Kemensos Akui Perbarui Data Terakhir
2015. https://nasional.tempo.co/read/1337414/kisruh-dana-bansos-kemensos-akui-
perbarui-data-terakhir-2015. Diakses 20 April 2021.
Rahayu, Sri Lestari. 2020. Bantuan Sosial di Indonesia. Bandung: Fokus Media
Rantau, Muhammad Ibrahim., Ahmad Murodi., Amin Fendi Rahmelan., Irvan Arif Kurniawan.
2020. Politik Distributif Dalam Kebijakan Hibah Provinsi Banten Tahun 2019. Jurnal
Ilmiah Ilmu Administrasi. Volume 10 Nomor 2. https://doi.org/10.33592/jiia.v10i2.755
Saragintan, Antonius., Syahrul Hidayat. 2016. Politik Pork Barrel di Indonesia: Kasus Hibah
dan Bantuan Sosial di Provinsi Banten Tahun 2011. Jurnal Politik UI. Volume 2 Nomor
1. https://doi.org/10.7454/jp.v2i1.85

7
Sidik, Farih Maulana. 2020. Serahkan Diri, Menteri Sosial Juliari Batubara Masih Diperiksa
KPK. https://news.detik.com/berita/d-5283424/serahkan-diri-menteri-sosial-juliari-
batubara-masih-diperiksa-kpk. Diakses 13 April 2021.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Sekretariat Wakil Presiden RI.
Tanya/Jawab Umum Basis Data Terpadu. http://bdt.tnp2k.go.id/tanyajawab/. Diakses
17 April 2021.
Zaking, Saifan. 2020. Unboxing Bansos Covid-19 Jabodetabek, Apa Betul Nilainya Rp 300
Ribu? https://www.jawapos.com/nasional/06/12/2020/unboxing-bansos-covid-19-
jabodetabek-apa-betul-nilainya-rp-300-ribu/. Diakses 17 April 2021.

BIODATA SINGKAT PENULIS


Arief Maulana, merupakan lulusan Ilmu Politik tahun 2012 di
FISIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Saat ini menjabat
sebagai Peneliti di Bidang Politik dan Pemerintahan pada Pusat
Kajian Daerah dan Anggaran Setjen DPD RI. Dapat dihubungi
melalui e-mail: maulana_arief@ymail.com.

Anda mungkin juga menyukai