NIM :191110013509013
MATA KULIAH :SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA
Masalah korupsi dan politisasi bansos berakar pada budaya dan sistem
politik Indonesia
Akar masalah .
Pola yang informal dan timbal-balik ini mengakar dan tidak lenyap dengan
datangnya era demokrasi elektoral.
Ajang kompetisi demokrasi justru menjadi semacam sarana bagi hidupnya
politik klientelistik. Patron-patron baru, yaitu para politikus yang berkompetisi
dalam ajang pemilihan umum, berupaya untuk mendapatkan dukungan suara dari
pemilih (klien) lewat pemberian materi baik itu berupa uang, barang, maupun
jasa. Politikus yang memiliki akses ke sumber daya keuangan publik dapat
menggunakan bansos, misalnya, untuk memperoleh dukungan suara dari pemilih.
Ada beberapa alasan mengapa klientelisme bertahan - bahkan
berkembang - di tengah perubahan sosial.
Salah satunya adalah kemiskinan. Masyarakat miskin lebih cenderung
menerima pemberian materi yang tidak seberapa dari para politikus ketimbang
menuntut kebijakan yang lebih komprehensif atas permasalahan yang mereka
hadapi. Sementara itu, iklim politik biaya tinggi di Indonesia menuntut modal
besar dari politikus untuk membiayai pencalonan dan kampanye politik. Korupsi
anggaran publik, termasuk bansos, menjadi satu jalan untuk memenuhi tuntutan
ini.Mahalnya biaya politik di Indonesia disebabkan antara lain oleh mahar tinggi
yang diminta partai politik sebagai salah satu syarat pencalonan, biaya kampanye
yang tinggi karena kandidat harus menggerakkan mesin politik pribadi, dan
lemahnya pelembagaan pembiayaan politik.
Baca juga: Riset dampak PSBB: meski menerima bantuan pemerintah,
warga hanya mampu bertahan seminggu .Upaya perbaikan pengelolaan bansos
Kuatnya aspek politik menegaskan pentingnya solusi yang tidak berkutat pada
aspek teknis prosedur saja.