Anda di halaman 1dari 7

NAMA : DESY USMILA SARI

NIM :191110013509013
MATA KULIAH :SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA

Masalah korupsi dan politisasi bansos berakar pada budaya dan sistem
politik Indonesia

Di penghujung tahun 2020 yang lalu, masyarakat Indonesia dihadapkan


pada dua kenyataan yang pahit. Di satu sisi, jumlah kasus penularan virus
COVID-19 meningkat semakin tajam.
Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang
lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang
menular ke manusia. Virus ini bisa menyerang siapa saja, seperti lansia (golongan
usia lanjut), orang dewasa, anak-anak, dan bayi, termasuk ibu hamil dan ibu
menyusui.
Infeksi virus Corona disebut COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) dan
pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Virus
ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara,
termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberapa bulan.
Hal tersebut membuat beberapa negara menerapkan kebijakan untuk
memberlakukan lockdown dalam rangka mencegah penyebaran virus Corona. Di
Indonesia sendiri, diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) untuk menekan penyebaran virus ini.
Coronavirus adalah kumpulan virus yang bisa menginfeksi sistem
pernapasan. Pada banyak kasus, virus ini hanya menyebabkan infeksi pernapasan
ringan, seperti flu. Namun, virus ini juga bisa menyebabkan infeksi pernapasan
berat, seperti infeksi paru-paru (pneumonia).
Virus ini menular melalui percikan dahak (droplet) dari saluran
pernapasan, misalnya ketika berada di ruang tertutup yang ramai dengan sirkulasi
udara yang kurang baik atau kontak langsung dengan droplet.
Di sisi lain, ironisnya, ada dugaan bahwa bantuan sosial (bansos) yang
ditujukan untuk meringankan derita masyarakat akibat pandemi justru dikorupsi,
dan salah satu tersangkanya menteri sosial saat itu, Juliari Batubara.
Skandal tertangkapnya Menteri Sosial, Juliari Batubara karena korupsi
suap merupakan puncak batu es pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan
penyaluran bantuan sosial (bansos) selama pandemi.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance
(INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengakui bansos yang berbentuk
sembako (sembilan bahan pokok) memang rentan penyimpangan dalam
penyalurannya.
Selama bentuk bantuannya sembako, ini kasus ini sering berulang dan bukan hal
yang baru, sembako ini rentan karena dalam pengadaan barang dan jasa banyak
pihak yang bisa bermain, walau dari segi administrasi sudah sesuai, tapi
perusahaan yang bersangkutan bisa memiliki konflik kepentingan.
Berbagai laporan dugaan penyelewengan bansos pandemi juga telah
diterima oleh aparat penegak hukum di berbagai daerah di Indonesia.Dapatkan
catatan mingguan tentang isu penting politik dan masyarakat. Sebelum kasus
korupsi bansos COVID-19, sudah banyak kasus korupsi bansos terjadi, terutama
di level pemerintah daerah (pemda).Ini menunjukkan ada permasalahan struktural
dalam pengelolaan dana yang rawan politisasi dan korupsi ini. Masalah dalam
pengelolaan bansos Merujuk pada peraturan-peraturan yang berlaku, bansos
secara sederhana adalah pemberian uang, barang atau jasa oleh pemerintah pusat
atau daerah kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat guna
melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Secara umum, mekanisme pengelolaan bansos dibagi dalam tiga tahap
yaitu:
1. Penganggaran adalah penciptaan suatu rencana kegiatan yang dinyatakan
dalam ukuran keuangan. Penganggaran memainkan peran penting didalam
perencanaan, pengendalian, dan pembuatan keputusan. Anggaran juga
untuk meningkatkan kordinasi dan komunikasi .Agar semua berjalan
dengan lancar.
2. Pelaksanaan adalah sebagai suatu usaha atau kegiatan tertentu yang
dilakukan untuk mewujudkan suatu rencana atau program dalam
kenyataan.Dalam suatu rencana pemerintah tersebut.
3. Pelaporan adalah suatu bentuk penyampaiaan berita,keterangan,
pemberitahuan ataupun pertanggung jawaban baik secara lisan maupun
secara tertulis dari bawahan kepeda atasan sesuai dengan hubungan
wewenang pemuda pancasila.

Permasalahan dalam program bansos paling sering terjadi pada tahap


penganggaran dan pelaksanaan bansos - dua dari tiga tahap umum tersebut diatas.
Dalam tahap penganggaran, kementerian, lembaga atau pemda menetapkan daftar
penerima bansos.

Dalam konteks bansos COVID-19, Kementerian Sosial (Kemensos)


melakukan penetapan berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)
yang berisikan data 40% penduduk termiskin di Indonesia.
Penetapan penerima juga dapat dilakukan berdasarkan hasil seleksi atas
usulan tertulis yang masuk dari calon penerima bansos. Ini umumnya berlaku di
pemda untuk bansos berbentuk barang/jasa.
Masalah pertama terjadi pada akurasi data acuan penetapan penerima
bansos.Kemensos sendiri mengakui bahwa DTKS terakhir diperbaharui secara
masif pada 2015, sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan
berbagai permasalahan terkait DTKS seperti data tumpang tindih tidak lengkap,
dan duplikasi jutaan data.Masalah kedua adalah bansos rentan dimanfaatkan untuk
kepentingan politik. Ketidakakuratan data ditambah kewenangan kepala daerah
yang besar dalam penentuan penerima bansos mendorong kolusi terjadi dalam
pembagian bansos: bansos dibagikan berdasarkan pertimbangan politik dan
elektoral ketimbang kebutuhan nyata masyarakat.
Studi Ward Berenschot, peneliti politik asal Belanda, mengenai politik
klientelisme di Indonesia menunjukkan bansos dan hibah sebagai salah satu
sumber daya yang rawan digunakan untuk kepentingan elektoral.
Temuan ini diperkuat lewat temuan studi Pemilihan Kepala Daerah Banten
tahun 2011 ketika gubernur petahana mengalokasikan bansos dan hibah ke
wilayah-wilayah kantong dukungan suaranya. Pada tahap penyaluran, bansos
dalam bentuk uang diberikan secara tunai maupun lewat transfer ke rekening bank
penerima bansos atau bank penyalur.
Adapun penyaluran bansos dalam bentuk barang didahului dengan proses
pengadaan barang/jasa untuk kemudian diberikan secara langsung kepada
penerima bansos.
Metode inilah yang digunakan Kemensos untuk penyaluran bantuan
bahan pokok COVID-19 bernilai puluhan triliun rupiah yang kemudian
bermasalah.Dengan demikian, masalah ketiga pelaksanaan bansos adalah korupsi
pengadaan. Dalam korupsi bansos COVID-19, kontraktor pengadaan diduga
memberikan “upah” kepada pejabat di Kemensos atas penunjukkan sebagai
penyedia paket-paket bansos pandemi. Selain itu, proses penyaluran bansos juga
menyimpan masalah lain. Misalnya, penyaluran kepada calon penerima fiktif, atau
penyaluran kepada kroni-kroni pejabat publik dengan tujuan agar dana bansos
masuk ke kantong pribadi atau kelompok. Ini terjadi dalam kasus korupsi bansos
di Bandung tahun 2010. Baca juga: Peneliti berikan strategi untuk hindari
terjadinya korupsi Bansos yang berdampak negatif pada ekonomi
Bhima melihat rentannya bansos terhadap penyelewengan seharusnya
mendorong pemerintah untuk mengalihkan distribusi bantuan sosial melalui
Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLT lebih efektif karena transaksinya
menggunakan sistem keuangan atau bank, sehingga bisa dilacak dan kecil
kemungkinan terjadinya penyimpangan, jumlah yang diterima pun akan sama dan
tidak berubah.
BLT juga memberikan kepercayaan ke penerima, mau uangnya digunakan untuk
beli sembako atau bayar tagihan yang lain, karena tidak semua orang
kebutuhannya itu sembako.Dan pengawasan pemerintah harus ditingkatkan
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine
Kosijungan melihat kasus korupsi bantuan sosial ini sangat ironis sekali,
mengingat pada bulan Oktober lalu Menteri Keuangan menyampaikan bahwa
Kementerian Sosial menempati posisi pertama dari jajaran Kementerian/Lembaga
dalam hal penyerapan anggaran untuk tahun 2020.
Per Oktober 2020 angka realisasinya telah mencapai Rp116,2 triliun setara dengan
111,3% dari yang ditargetkan sebesar Rp104,4 triliun.

Akar masalah .

Masalah politisasi dan korupsi bansos tidak semata-mata disebabkan oleh


kelemahan prosedur.
Akarnya ada pada dua hal yang saling berkaitan, yaitu pola hubungan
patron-klien yang masih dominan dalam struktur masyarakat, dan politik biaya
tinggi dalam sistem demokrasi Indonesia. Pola hubungan patron-klien adalah satu
karakteristik masyarakat tradisional agraris. Dalam hubungan ini, seorang patron
yang taraf sosio-ekonominya lebih tinggi menggunakan pengaruh dan sumber
dayanya untuk memberikan perlindungan atau manfaat kepada klien yang status
sosialnya lebih rendah, dengan timbal balik berupa dukungan personal kepada
sang patron.

Pola yang informal dan timbal-balik ini mengakar dan tidak lenyap dengan
datangnya era demokrasi elektoral.
Ajang kompetisi demokrasi justru menjadi semacam sarana bagi hidupnya
politik klientelistik. Patron-patron baru, yaitu para politikus yang berkompetisi
dalam ajang pemilihan umum, berupaya untuk mendapatkan dukungan suara dari
pemilih (klien) lewat pemberian materi baik itu berupa uang, barang, maupun
jasa. Politikus yang memiliki akses ke sumber daya keuangan publik dapat
menggunakan bansos, misalnya, untuk memperoleh dukungan suara dari pemilih.
Ada beberapa alasan mengapa klientelisme bertahan - bahkan
berkembang - di tengah perubahan sosial.
Salah satunya adalah kemiskinan. Masyarakat miskin lebih cenderung
menerima pemberian materi yang tidak seberapa dari para politikus ketimbang
menuntut kebijakan yang lebih komprehensif atas permasalahan yang mereka
hadapi. Sementara itu, iklim politik biaya tinggi di Indonesia menuntut modal
besar dari politikus untuk membiayai pencalonan dan kampanye politik. Korupsi
anggaran publik, termasuk bansos, menjadi satu jalan untuk memenuhi tuntutan
ini.Mahalnya biaya politik di Indonesia disebabkan antara lain oleh mahar tinggi
yang diminta partai politik sebagai salah satu syarat pencalonan, biaya kampanye
yang tinggi karena kandidat harus menggerakkan mesin politik pribadi, dan
lemahnya pelembagaan pembiayaan politik.
Baca juga: Riset dampak PSBB: meski menerima bantuan pemerintah,
warga hanya mampu bertahan seminggu .Upaya perbaikan pengelolaan bansos
Kuatnya aspek politik menegaskan pentingnya solusi yang tidak berkutat pada
aspek teknis prosedur saja.

Selain penyempurnaan berkelanjutan atas DTKS sebagai salah satu dasar


alokasi bansos dan pengadopsian penyaluran berbasis digital/transfer ketimbang
tunai, terdapat dua hal yang penting untuk dilakukan.
1. membangun pengetahuan masyarakat terkait dengan penganggaran publik
(budget literacy) guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses
penganggaran.
Pencerdasan ini penting tidak hanya untuk menyadarkan mayarakat akan
hak-hak terkait anggaran, namun juga menumbuhkan sikap kritis mereka
selaku pemilih sehingga menghindari pembelian dukungan suara lewat
penyalahgunaan anggaran publik.
Masyarakat perlu diajak turut serta mengawal anggaran publik lewat
inisiatif seperti citizen audit yang memungkinkan masyarakat terlibat dalam
proses pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh lembaga pemeriksa
negara.
2. perlu ada upaya serius untuk menciptakan sistem pembiayaan politik yang
efektif, transparan, dan akuntabel sehingga penyalahgunaan anggaran untuk
membiayai kegiatan politik dapat diminimalisir.Studi menunjukkan bahwa
pengaturan pembiayaan politik di Indonesia saat ini tidak berfungsi karena
partai politik mengabaikan peraturan-peraturan tersebut, dan maraknya donasi
gelap dan perilaku korupsi untuk mendanai kegiatan politik. Ke depan,
kerangka pembiayaan politik melalui donasi masyarakat atau pembiayaan
negara perlu diterapkan secara lebih efektif.
Anwar Musadat - analis di Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah,
Kementerian Dalam Negeri - berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Anda mungkin juga menyukai