Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KEPERCAYAAN MASYARAKAT
KEPADA PEMERINTAH
MENGENAI VAKSIN COVID-19

DISUSUN OLEH:

REGITA AULIA PUTRI


207310138
IP SEMESTER 3

FAKULTAS FISIPOL
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2021-2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT atas rahmat dan hidayahnya yang telah
diberikan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak / Ibu yang telah membimbing dalam membuat makalah
ini.
Akan tetapi, kami menyadari bahwa di dalam makalah ini, masih terdapat banyak
kekurangan yang tentunya mengakibatkan makalah ini masih dikatakan jauh dari sempurna.
Maka dari itu, kami harapkan pembaca dapat memaklumi serta memberi kritik dan saran yang
membangun demi terwujudnya makalah yang lebih baik di masa yang akan datang.

Pekanbaru, 11 November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN
A. Kepercayaan Terhadap Informasi dari Pemerintah di Masa Pandemi COVID-
19
B. Kepercayaan terhadap informasi pemerintah pusat

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah
daerah dinilai belum efektif. Hal itu misalnya disampaikan oleh Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Bambang Soesatyo, seperti
dilansir oleh media massa republika.co.id pada hari Selasa, 28 April 2020. Ia mengatakan
bahwa penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di kawasan Jakarta, Bogor,
Tangerang, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek) yang dinilai belum cukup efektif memutus
mata rantai penyebaran Covid 19. Sebab menurutnya, jumlah kasus positif Covid-19
masih tinggi di wilayah Jabodetabek (Soesatyo, 2020). Hal serupa juga diakui oleh Ketua
Tim Gugus Tugas Covid-19 DKI Jakarta, Catur Laswanto, yang menyatakan pelaksanaan
PSBB di Jakarta belum efektif menekan penyebaran infeksi covid-19. Menurutnya,
kepatuhan masyarakat selama PSBB rendah. Masih banyak warga ke luar rumah,
berkerumun, dan tidak menggunakan masker sehingga pertumbuhan kasus covid-19 terus
terjadi (Laswanto, 2020).
Dalam suasana darurat seperti ini, yang selalu dibutuhkan masyarakat adalah
kebijakan sebagai intervensi pemerintah. Di samping itu, rakyat butuh ketegasan dan
keteladanan pemerintah dalam implementasi di lapangan. Dimana pun kebijakan dibuat
tidak dalam ruang hampa, melainkan dalam ruang berkonteks kebudayaan, sejarah,
ekonomi, struktur sosial, hukum, dan kontestasi kepentingan. Tugas politik adalah
meramu berbagai unsur dan ragam kepentingan tersebut agar tujuan bernegara tercapai
(Satria, 2020). Tugas politik tersebut di antaranya dimiliki oleh negara melalui
pemerintah yang melekat dengan kekuasaan dan kewenangannya. Di sini pemerintah
sebagai kekuatan politik. Yaitu, kekuatan yang melekat dengan kekuasaan dan
kewenangannya untuk membuat kebijakan yang di dalamnya terdapat berbagai unsur
bermasyarakat dan bernegara serta ragam kepentingan masyarakat yang setiap saat
berkontestasi.
Oleh sebab itu, kebijakan berada dalam ruang politik. Lalu, bagaimana
kepercayaan publik bisa menjadi landasan pokok sebuah kebijakan? Memang
membendung pesatnya laju penyebaran pandemi virus corona (Covid-19) tidak bisa
dengan kebijakan biasa seperti parsial, sendiri-sendiri apalagi setengah-setengah. Namun
ia harus dengan kebijakan luar biasa yang menekankan komprehensif dan terpadu. Hal itu
mengingat Covid-19 telah menjadi pandemi dunia sejak kemunculan pertama kalinya
pada awal Desember 2019 di Wuhan, Provinsi Hubai, Tiongkok. Kebijakan
komprehensif artinya, permasalahan harus cepat dan terus dipetakan secara menyeluruh
mulai dari hulu hingga hilir. Dan, harus bisa ditemukan mata rantai dari episentrum
pemunculan, siklus penularan, pemetaan warga dan wilayah terpapar, proses penanganan
melalui memutus mata rantai penularan sampai pada menemukan vaksinnya. Sementara
kebijakan terpadu menunjukkan bahwa pihak-pihak pemangku kepentingan seperti
pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lembaga-lembaga negara terkait mesti satu alur
koordinasi. Tidak boleh ada yang melenceng sedikitpun dari komando yang telah
digariskan bersama. Namun sayang, sejauh ini kita lebih banyak dengar diskoordinasi
dan disharmoninya. Satu daerah misalnya pernah menyatakan kebijakan lockdown,
sementara daerah sekitanya tidak lockdown.
Demikian juga pemerintah pusat sejauh ini tetap bergeming tidak akan ada
lockdown, dan akhirnya penetapkan PSBB. Selain itu, kebijakan terpadu juga dibutuhkan
tidak hanya dengan para pemangku kepentingan dalam negeri, namun juga dengan para
pemangku kepentingan di negara-negara lain dan organisasi internasional karena sifatnya
yang sudah pandemi. Di sini dibutuhkan kerja sama global. Demikian juga, kebijakan
terpadu tidak hanya antara para pemangku kepentingan penyelenggara negara, namun
juga dengan masyarakat. Kebijakan terpadu itu misalnya, bisa ditunjukkan dalam bentuk
partisipasi masyarakat untuk senantiasa disiplin mengikuti 3 himbauan-himbauan otoritas
yang khusus ditunjuk oleh otoritas negara. Seperti untuk tinggal di rumah (stay at home),
ibadah di rumah (pray at home), bekerja dari rumah (work from home), studi dari rumah
(study from home), penjarakan sosial (social distancing), dan sebagainya.
Di sinilah dibutuhkan adanya kepercayaan masyarakat untuk mewujudkannya.
Kebijakan terpadu yang disebutkan terakhir dikenal sebagai pencegahan Covid-19
berbasis masyarakat. Ini artinya, menurut Arif Satria, bahwa masyarakat akan menjadi
garda depan dalam pencegahan (Satria, 2020). Sedangkan dalam portal resmi Gugus
Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 disebut dengan “Melawan Covid-19 Berbasis
Masyarakat”. Masyarakat menjadi garda terdepan karena belum adanya ketidakpastian
kapan Covid19 berakhir. Sejauh ini, memang belum ada sains atau hasil penelitian ilmiah
yang bisa memprediksi secara akurat kapan puncak pandemi Covid-19, yang kemudian
bisa menganalisis tren penurunan dan penanda akhir dari pandemi. Karena itu,
masyarakat harus terlibat dalam pencegahan melalui peningkatan solidaritas sosial dan
kerja sama seperti gotong royong atau pun sabilulungan. Selain itu, negara pun, dalam hal
ini pemerintah, memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu dalam penanganan Covid-19.
Di antaranya keterbatasan sumber daya tenaga dan sarana kesehatan, dan juga
keterbatasan sumber daya finasial. Kita tahu bahwa memilih kebijakan PSBB bukan
karantina wilayah, selain pertimbangan filosofis dan politis seperti stabilitas keamanan
dan pertahanan negara, juga karena pertimbangan kemampuan finansial. Jika PSBB
hanya himbauan moral perlu adanya Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net), maka
karantina wilayah menurut UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ada
himbauan normatif yang mewajibkan negara untuk menyediakan kebutuhan dasar
manusia selama karantina wilayah diberlakukan, termasuk ternak-ternak peliharaannya.
Di atas semua itu, bentuk penanganan Covid-19 dalam masa ketidakpastian
adalah pencegahan. Bentuk penanganan ini senantiasa melibatkan semua lapisan
masyarakat. Dan, bentuk penanganan yang mengutamakan tindakan memutus mata rantai
pergerakan penularan Covid-19. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam penanganan
Covid-19 adalah bagian dari aktivitas masyarakat perihal kebijakan. Menurut Randall B.
Ripley (Ripley, 1985), sebagimana dikutip Ramlan Surbakti, aktivitas masyarakat yang
menyangkut kebijakan, saling mempengaruhi dengan aktivitas pemerintah. Pemerintah
menetapkan kebijakan, masyarakat mendapatkan dampak dalam arti siapa yang terlibat
dalam pelaksanaan kebijakan dan siapa saja yang memetik manfaat dari kebijakan
(Surbakti, 1992). Pemerintah berinteraksi dengan masyarakat dalam konteks lingkungan
tertentu untuk menyusun kebijakan umum. Seperti, apa yang dilakukan pemerintah dalam
penanganan Covid-19 turut ditentukan oleh apa yang dilakukan masyarakat dalam segala
aktivitas pada masa pandemi Covid-19. Keterlibatan masyarakat sebagai bentuk lain dari
partisipasi politik, menurut Jeffry M. Paige (1971), berhubungan dengan kepercayaan
(dan kesadaran).
Menurutnya, kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi (dan kesadaran politik
tinggi) maka partisipasi politik cenderung aktif. Sebaliknya, bila kepercayaan kepada
pemerintah rendah (dan kesadaran politik rendah) maka partisipasi politik cenderung
pasif-tertekan atau apatis (Surbakti, 1992) dan (Gatara, 2009). Karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui sejauhmana kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam
penanganan Covid-19. Publik di sini adalah civil society, partai politik, pengusaha,
Aparatur Sipil Negara (ASN), dan masyarakat umum. Kajian spesifik mengenai
hubungan kepercayaan dan kebijakan publik pada masa Covid19 pernah dilakukan oleh
Felix Nathaniel dengan fokus perhatian pada dampak tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah pada laju kasus corona. Nathaniel melihat bahwa kepercayaan
publik adalah modal, tetapi bukan jaminan.
Hal itu, ia buktikan dengan menunjukkan Indonesia yang masyarakatnya memiliki
tingkat kepercayaan yang baik terhadap 4 pemerintah, tapi kasus Covid-19 terus
meningkat. Survei tersebut misalnya dikerjakan oleh Organisation for Economic Co-
operation and Development (OECD), yang rutin menurunkan laporan tentang kebijakan
negara-negara dunia dalam bidang kesejahteraan dan keuangan. Kajian terbaru berjudul
Government at Glance 2019 turut membahas aspek kepercayaan (trust) pada pemerintah
(Nathaniel, 2020). Hasilnya menunjukkan Indonesia memiliki tingkat kepercayaan
mencapai 84%. Pertanyaan penting yang menjadi patokan penilaian adalah "Apa Anda
percaya dengan pemerintah pusat?" Catatan OECD menunjukkan peningkatan yang baik.
Hasil survei yang sama dilakukan Litbang Kompas, masyarakat juga percaya bahwa
pemerintah telah bekerja dengan baik dan melakukan antisipasi terhadap penyebaran
virus Corona. Survei yang dilakukan pada tanggal 10 Maret 2020 ini tidak berbanding
lurus dengan penambahan kasus Corona di Indonesia. Waktu 10 Maret, Indonesia hanya
punya 10 kasus. Sekarang jumlah sudah meningkat berkali-kali lipat. Meski dikatakan
tinggi, angkanya lebih kecil daripada survei yang dilakukan Gallup dan OECD, hanya
58,5 % (Nathaniel, 2020) . Kajian tersebut memiliki relevansi dengan kajian yang
dilakukan peneliti. Relevasi terletak pada topik yang sama mengenai kepercayaan publik
dan kebijakan pemerintah. Selain itu, memiliki kasus yang sama dalam penanganan krisis
Covid-19. Meski demikian, ada perbedaan dalam konteks basis yang digunakan dalam
pelaksanan kebijakan. Basis penanganan Covid-19 yang diperhatikan Felix adalah masih
berbasis aparat negara, sedangkan penelitian ini pada penangnanan Covid-19 berbasis
masyarakat, baik sebagai wacana maupun sebagai praktik. Penelitian ini berasumsi
kepercayaan yang tinggi kepada pemerintah akan berdampak terhadap penurunan kasus
Covid-19 yang penanganannya berbasis masyarakat. Model penanganan ini
mengandaikan masyarakat menjadi garda depan dalam pencegahan kasus Covid-19.
Sebenarnya terdapat langkah-langkah nyata yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam
penanganan Covid-19 melalui PSBB. Di antaranya, terus mensosialisasikan gerakan
tinggal di rumah, peyembuhan orang-orang yang positif terinfeksi, pemetaan Pasien
Dalam Pengawasan (PDP) dan Orang Dalam Pematauan (ODP), penegakan hukum
dalam kerangka pemberlakuan PSBB, relaksasi pajak dan angsuran kredit bagi para
pelaku bisnis, dan pembagian bantuan sosial seperti sembako dan uang tuani bagi warga
terdampak. Kendati demikian, kasus Covid-19 di wilayah-wilayah yang telah
memberlakukan PSBB, paling tidak sampai saat artkel ini disusun, masih menunjukkan
grafik naik. Kalau pun ada grafik penurunan, seperti di DKI Jakarta, angkanya belum
signifikan dan masih fluktuatif dari hari ke harinya sebagimana secara real-time
ditayangkan pada website resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19(Covid-
19, 2020). Hal itu diduga kuat karena basis penangananya belum berbasis masyarakat.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Kepercayaan Terhadap Informasi dari Pemerintah di Masa
Pandemi COVID-19 ?
b. Bagaimana Kepercayaan terhadap informasi pemerintah pusat ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kepercayaan Terhadap Informasi dari Pemerintah di Masa Pandemi


COVID-19

Pandemi COVID-19 adalah krisis multi-faset dengan risiko kesehatan masyarakat yang
sangat tinggi. Kesulitan menangani krisis ini menjadi berganda karena, sebelum ada vaksin dan
obat untuk virus ini, satu-satunya cara menghadapinya adalah dengan mengubah perilaku
masyarakat (behavior modification).

Namun, meminta masyarakat dalam skala besar dan secara serentak untuk mengubah
perilaku dengan perilaku baru yang berbeda, bahkan kadang bertentangan, dengan kebiasaan
adalah pekerjaan yang sangat sulit. Kebijakan, intervensi, dan pesan-pesan yang sinkron dan
ketat terintegrasi secara vertikal lintas tingkatan pemerintahan dan secara horizontal lintas
lembaga menjadi kunci keberhasilan upaya ini

Lebih dari itu, upaya ini harus dipersepsi sebagai konsisten, kompeten, fair, obyektif,
berempati, dan tulus, selain juga harus mudah dimengerti dan disampaikan oleh orang-orang dan
saluran yang dipercaya. Persyaratan di atas menekankan pentingnya dua hal: kredibilitas
informasinya dan kredibilitas otoritas yang menyampaikan.

Untuk mengetahui seperti apa kepercayaan publik terhadap informasi yang disampaikan
pemerintah, pada pertengahan April lalu kami mengadakan focus group discussion (FGD)
kepada para praktisi komunikasi dan jurnalis yang telah bekerja sekurangnya tiga tahun di
bidang mereka.

FGD ini dilakukan secara online kepada tiga kelompok yang keseluruhannya terdiri dari
60 partisipan. Ada tiga pertanyaan utama yang kami ajukan, yakni apakah partisipan
mempercayai informasi yang disampaikan oleh pemerintah pusat, informasi apa saja yang
menurut partisipan reliable, dan strategi pembingkaian pesan seperti apa yang mendominasi
informasi terkait COVID-19.
B. Kepercayaan terhadap informasi pemerintah pusat

Mayoritas partisipan diskusi mengatakan bahwa mereka tidak percaya dengan informasi
yang disampaikan oleh pemerintah pusat terkait kasus COVID-19. Dalam diskusi partisipan
mengatakan bahwa sejak awal pemerintah pusat terkesan menyepelekan pandemi COVID-19 dan
tidak segera menutup akses bandara International. Hal ini mengakibatkan akses keluar dan
masuk orang, dari dalam atau luar negeri, masih berjalan normal seperti biasanya. Pemerintah
terkesan seperti tidak waspada dan bersiap dari awal akan dampak COVID-19.

Hal ini berlanjut saat ada pasien pertama yang positif COVID-19. Meski telah
menyiapkan fasilitas layanan Kesehatan seperti rumah sakit rujukan, wisma atlet, alat pelindung
Kesehatan, dan alat tes, namun hal tersebut dinilai terlambat. Pasalnya, penyebaran virus dan
jumlah pasien yang positif meningkat lebih cepat dibanding ketersediaan fasilitas tersebut.

Faktor kedua yang membuat partisipan tidak percaya dengan pemerintah pusat adalah
data yang tidak transparan. Mayoritas partisipan menganggap data ODP, PDP, dan pasien yang
dinyatakan positif tidak reliabel. Selain itu, mereka juga memandang bahwa pemerintah
menutupi jumlah kasus COVID-19 di Indonesia. Salah satu event yang memperkuat
ketidakpercayaan atas data pemerintah adalah pemberitaan mengenai kasus pasien di Cianjur,
Jawa Barat, yang diduga positif COVID-19.

Faktor ketiga yang membuat partisipan tidak mempercayai pemerintah pusat adalah
gagalnya pemerintah menangkap aspirasi dari masyarakat. Di masa awal pandemi, ada keinginan
yang disuarakan berbagai kalangan agar pemerintah mengambil kebijakan lockdown. Akan
tetapi, pemerintah lebih memilih kebijakan social distancing (Pembatasan Sosial Berskala
Besar/PSBB) dan itu pun dinilai partisipan sangat terlambat. Pemerintah dianggap lebih
mementingkan aspek ekonomi dan investasi yang selama ini menjadi fokus pemerintah sebelum
adanya COVID-19. Partisipan juga beranggapan bahwa mereka tidak bisa mempercayai
pemerintah yang lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi ketimbang mencegah penyebaran
pandemi.
Faktor selanjutnya, yang menjadi penekanan partisipan dari kelompok praktisi
komunikasi adalah disonansi informasi yang disampaikan pemerintah. Disonansi ini tidak hanya
antara pemerintah pusat dan daerah, namun juga antara sesama pemegang kebijakan di
pemerintah pusat. Informasi yang tidak satu pintu dan sering berubah bahkan disampaikan oleh
otoritas tertinggi, juru bicara, dan presiden. Disonansi informasi ini membuat partisipan merasa
pemerintah tidak paham potensi dampak pandemi dan kebijakan yang diambil untuk
menanganinya.

Hingga saat ini, partisipan baik dari kalangan jurnalis dan praktisi komunikasi, sepakat
bahwa belum ada representasi pemerintah pusat yang mereka anggap sebagai komunikator andal.
Di masa awal pandemi, publik telah menyaksikan sendiri betapa Menteri Kesehatan
menyepelekan kasus positif COVID-19. Tak lama berselang, juru bicara pemerintah juga
menyampaikan informasi yang keliru tentang peran “si kaya” dan “si miskin” dalam mencegah
penyebaran COVID-19

Faktor terakhir yang mempengaruhi ketidakpercayaan partisipan adalah penunjukan


Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai bagian untuk pencegahan COVID-19. Partisipan menilai
bahwa penanganan pandemi bukanlah kompetensi BIN. Sebagaimana yang dilakukan
pemerintah Inggris dan Amerika, sebaiknya pemerintah pusat menggandeng institusi pendidikan
atau riset ketimbang badan intelijen.

Meski mayoritas partisipan tidak percaya terhadap informasi dari pemerintah, ada
sebagian kecil partisipan yang percaya akan keterandalan informasi pemerintah. Salah satu
partisipan dari praktisi komunikasi mengatakan bahwa adanya subsidi informasi rutin (dalam
bentuk konferensi pers dan rapat terbatas) merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah
dalam penanganan pandemi. Selain itu terdapat juga partisipan yang percaya dengan update
informasi pemerintah, namun tidak percaya akan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam
penanganan krisis ini.

Dari semua informasi yang disampaikan oleh pemerintah, mayoritas partisipan


menganggap bahwa informasi yang paling dapat diandalkan adalah informasi yang sifatnya
edukasi kesehatan. Sementara itu, mayoritas partisipan menganggap informasi pemerintah pusat
tentang data pasien—positif, ODP, PDP, dan yang meninggal dunia karena COVID-19—tidak
dapat dipercayai. Meski kelompok praktisi komunikasi dan jurnalis sama-sama menekankan
tentang data yang tidak reliabel, namun hampir semua partisipan dari kelompok jurnalis
menekankan tentang data pasien ini.

Berikut adalah jenis informasi yang dianggap reliable dan tidak reliable oleh partisipan FGD:

Informasi yang reliable Informasi yang tidak reliable

Penyediaan fasilitas kesehatan bagi pasien dan Data penyebaran pasien (positif, sembuh,
tenaga dan
medis. meninggal dunia).

Kebijakan pemerintah pusat terkait kompensasi


Kebijakan pemberlakuan karantina wilayah dan
relaksasi pembayaran angsuran kredit
bagi
pengemudi ojek online dan taksi online.

Peta penyebaran virus yang sudah


mencakup 34 Kebijakan transportasi dan mudik
provinsi di Indonesia

Edukasi Kesehatan yang diadopsi dari WHO Keterandalan alat rapid test dan jumlah orang
seperti yang
physical distancing, kebiasaan mencuci
tangan, telah melakukan tes tersebut.
membersihkan diri ketika habis bepergian,
memakai
masker, mengonsumsi makanan bergizi, Manfaat jamu untuk mencegah virus corona.
dan
Informasi dari pemerintah tentang angka
melakukan isolasi mandiri. kematian
Karena berbeda
terkait COVID-19. dengan
pemberitaan pada media seperti korban
meninggal
karena COVID-19 yang ternyata belum
sempat
dirawat di RS rujukan karena tidak
cukupnya
kapasitas RS.

Porsi anggaran pemerintah dan alokasinya


untuk
penanganan
pandemi

Kebijakan pemerintah tentang tarif listrik 450


VA
dan diskon 50% tarif listrik 900 VA.

Protokol penanganan ODP dan PDP

Pemodelan BIN

Selain tentang keterandalan informasi, kami juga menanyakan strategi pembingkaian


pesan (framing) yang mendominasi dalam penyajian informasi pemerintah. Strömbäck dan
Kiousis (2011) dalam Political Public Relations and Strategic Framing menyatakan bahwa
setidaknya ada tujuh strategi framing yang biasa ditemui, yakni framing situasi, atribut, risiko,
argumen pengambilan kebijakan, isu, tanggung jawab, dan cerita. Dengan memahami strategi
pembingkaian pesan, kita dapat memahami informasi apa yang sebenarnya ingin ditekankan oleh
pemerintah dan informasi apa yang kurang menjadi fokus mereka

Berdasarkan hasil diskusi, partisipan mengidentifikasi setidaknya empat strategi


framing yang digunakan oleh pemerintah: yakni framing situasi, risiko, tanggung jawab, dan
argumen pengambilan kebijakan. Framing risko, di mana fokus pesan ada alternatif aksi dan
risikonya, adalah jenis framing yang dianggap paling mendominasi.

Adapun informasi yang menggunakan framing ini di antaranya mengenai 1) aturan work
from home, school from home, dan isolasi mandiri, 2) kebijakan ekonomi, dan 3) keengganan
pemerintah melakukan lockdown. Adapun framing situasi dibangun dengan aktivitas berupa
update informasi data pasien dan upaya menunjukkan kinerja pemerintah mengatasi pandemi
dengan cara melakukan kunjungan ke lapangan.

Sementara itu, framing berupa penekanan pada argumen-argumen dari pengambilan


sebuah kebijakan terlihat pada 1) kebijakan tentang rapid test, 2) penunjukan rumah sakit khusus
penanganan pasien corona, 3) keringanan pajak, pembayaran kredit dan tagihan listrik, 4)
kebijakan transportasi dan mudik, dan 5) kebijakan social distancing sebagai solusi terbaik.
Terakhir, strategi framing tanggung jawab yang menekankan pada “siapa pihak yang
bertanggung jawab” atas sebuah kejadian atau kebijakan terlihat pada informasi tentang 1) dari
mana asal virus, 2) upaya pemerintah pusat berkoordinasi pemerintah pusat dengan TNI dan
Polri dalam penanganan pandemi, dan 3) otoritas yang dapat memberikan perkembangan data
terkait pasien positif, ODP, PDP, dan pasien yang meninggal dunia.
BAB IIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari analisis tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam penanganan
Covid19 menunjukkan bahwa umumnya tingkat kepercayaan yang cukup rendah atau kurang
percaya. Namun demikian, masyarakat partai politik, Aparatur Sipil Negara (ASN) dan
masyarakat umum menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi atau percaya. Faktor yang turut
menjadi determinasi tingkat kepercayaan tersebut adalah peran dan kemampuan pemerintah, baik
pusat maupun daerah, sebagai aktor politik pengambil sekaligus pelaksana kebijakan yang dipilih
untuk menghentikan pandemi Covid-19. Berdasarkan itu, penelitian ini merekomendasikan
perlunya peguatan penanganan Covid-19 melalui peningkatan kepercayaan publik terhadap
pemerintah sebagai kekuatan politik. Kekuatan yang bertugas meramu atau mengelola berbagai
unsur dalam masyarakat dan ragam kepentingan, serta mengintervensi dengan kebijakan efektif
agar tujuan percepatan penanganan Covid-19 tercapai. Upaya tersebut dengan menunjukkan
kinerja pemerintah yang baik dalam pelaksanaan PSBB. Kinerja pemerintah yang baik akan
menghasilkan kepercayaan publik yang tinggi. Dan, kepercayaan yang tinggi kepada pemerintah
akan menghasilkan keterlibatan atau partisipasi masyarakat yang tinggi. Partisipasi masyarakat
yang tinggi akan membuat implementasi kebijakan publik efektif.
DAFRAR PUSTAKA
http://digilib.uinsgd.ac.id/31704/1/Kel%209_FISIP_KTI%202020_2_OK.pdf
http://eprints.stainkudus.ac.id/433/5/05%20BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai