Anda di halaman 1dari 7

Paper ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan dan Manajemen

Kesehatan

Oleh:

MUHAMMAD LULU RIGALU TENRISILA


K012201050

PROGRAM PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
Tugas  Kuliah 7-1: 
•Sejumlah pakar kesehatan menyarankan pemerintah Indonesia
mempertimbangkan kemungkinan pembatasan wilayah yang lebih ketat alias
lockdown, demi mengantisipasi pertambahan jumlah kasus. Pemerintah memilih
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Permenkes No. 9 Tahun 2020.
[buku : Menakar Kemampuan Negara …..]
•Bagaimana peran interest group mendesak dan mengawasi pelaksanaan PSBB
yang sudah berkali-kali (bertahap). Apa yang salah ? Dapat menerangkan
pendekatan 3 Alur Penentuan Agenda dari John Kingdon?  Silahkan anda
diskusikan dengan memulai dari pemahaman  tentang penentuan agenda kebijakan
dan proses menjadi agenda
Jawaban TUGAS 7-1

Indonesia sudah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar


di beberapa daerah yang padat penduduk. Namun, angka yang terinfeksi masih
meningkat. Masih banyaknya masyarakat yang tidak mematuhi peraturan PSBB
dinilai sebagai salah satu penyebab.Generasi milenial Indonesia punya peran
penting agar Covid-19 tidak semakin meluas. Caranya, dengan menyebarluaskan
kegiatan mereka seluas-luasnya sebagai dukungan ikut mencegah merebaknya
virus tersebut.

Kaum milenial tentu juga ikut menghindari budaya nongkrong di tempat


keramaian, menjaga jarak, tidak melakukan kontak fisik ketika bertemu atau
berkenalan, menggunakan masker ketika keluar rumah.

Selain itu, rajin mencuci tangan dengan sabun selama 20 detik,


mengkonsumsi makanan bergizi dan multivitamin, serta rajin berolahraga untuk
menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Yang terpenting, jika tidak ada urusan
mendesak untuk keluar rumah, lebih baik berdiam diri dengan tetap #DirumahAja.

Pemerintah menghitung skenario Kegiatan milenial di atas dapat


disebarkan ke semua orang melalui media sosial. Misalnya, setiap milenial
melakukan anjuran tersebut dan mem-posting kegiatannya di media sosial yang
disaksikan ratusan bahkan ribuan orang.Aktivitas itu terlihat sepele tetapi dapat
memberikan influence kepada orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Terutama, dilihat dari banyaknya milenial yang saat ini memiliki berbagai macam
platform media sosial dan berprofesi sebagai influencer.Hal itu, secara tidak
langsung akan membantu pemerintah menyalurkan informasi-informasi dalam
mencegah penyebaran virus Covid-19 di Indonesia.

Milenial dikenal dengan kreativitas yang tinggi, bersikap optimistis, dan


memiliki kemampuan adaptif (fleksibel), sehingga mereka dapat mengambil peran
penting di tengah ancaman Covid-19. generasi milenial sangat akrab dengan
penggunaan teknologi.Mereka bisa berjam-jam menggunakan perangkat teknologi
seperti handphone ataupun laptop setiap harinya.di tengah penerapan kebijakan
PSBB sekarang ini, teknologi sangat berperan untuk melancarkan aktivitas sehari-
hari baik bagi anak sekolah, mahasiswa, UMKM, maupun pekerja kantoran yang
melakukan Work From Home (WFH). Demi melancarkan kegiatan selama PSBB
ini, mengungkapkan beberapa tip yang dapat dilakukan untuk menjaga
produktivitas para milennial.

Pertama, tetap biasakan belajar atau bekerja seperti di sekolah atau di


kantor dengan menggunakan meja dan kursi, bukan di tempat tidur atau sofa yang
hanya akan membuat malas.

Kedua, tetap disiplin, buatlah list pekerjaan atau tugas yang harus
diselesaikan sehingga tetap selesai tepat waktu.

Ketiga, komunikasi dan koordinasi dengan teman, guru, dosen


pembimbing, atau rekan sekantor harus tetap dijaga. Harus dipastikan penggunaan
perangkat dan jaringan internet yang cepat dan stabil untuk mendukung
komunikasi berjalan lancar.

Apa kah sudah sesuai dengan alur penentuan agenda menurut john
kingdon?jawabannya adalah sudah .Karna ada peran publik, peran pemerintah
dan juga peran media didalamnya dimana pemerintah yang membuat kebijakan
mengeluarkan aturan aturan yang ditaati kemudian publik terutama anak muda
mengikutinya dan anak muda yang paham teknologi menyebarkan pesan positif
mengenai pencegahan covid19 disitulah bisa dikatakan kalau kebijakan bisa
berhasil dan bisa mengurangi pertambahan kasus jika ditaati semua masyarakat.

Tugas  Kuliah 7-2:


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Perppu No.1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
COVID-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekenomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem keuangan menjadi Undang-
Undang.
Dalam konteks ini, bgmn seharusnya peran interest group dalam memantau,
mengawasi pelaksanaan UU ini, terutama dominannya pertambahan dana PEN
dibanding sektor dengan tiga sektor lainnya dalam stimulus dana COVID-19
[buku : Menakar Kemampuan Negara…..?]
Jawaban 7-2
Kita harus melihat sedikit perubahan sikap elite dalam penanganan
pandemi dibandingkan dengan perubahan iklim.Meskipun demikian, penanganan
COVID-19 pun tidak lepas dari struktur ekonomi politik yang timpang.

Kelas menengah ke atas bisa bekerja dari rumah atau work from home,
namun banyak pekerja yang tetap harus mengambil risiko untuk tetap bekerja
karena tidak diliburkan atau karena mereka memiliki penghasilan harian.

Dengan fasilitas yang terbatas, mereka dengan koneksi elite yang kuat
segera ditangani, sementara masyarakat biasa sering tidak mendapatkan kejelasan.

Pemerintah bahkan tidak berkenan menetapkan karantina wilayah, salah


satunya karena pemerintah berkeberatan untuk menanggung biaya hidup warga
dan ternak selama masa karantina. Hal ini membuat banyak pekerja miskin atau
informal tetap harus berjuang mencari nafkah di tengah pandemi.

Perselisihan para elit juga membuat penyaluran sumber daya negara


menjadi lamban. Birokrasi negara terpecah-pecah dengan koordinasi yang buruk
karena mereka berada pada jatah lingkaran elite yang berbeda.

Mengalihkan sebagian sumber daya yang telah didistribusikan antar elite


sebagai komitmen setelah pemilihan umum juga membutuhkan proses negosiasi
yang lebih lama lagi, karena akan mempengaruhi keseimbangan kekuasaan dan
pembagian sumber daya.

Bahkan, dalam kondisi pandemi pun, elite politik masih ngotot


mengesahkan RUU kontroversial seperti RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan
RUU Minerba.

Tentu saja bukan tidak ada tren positif sama sekali. Perpu Nomor 1
tahun 2020tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan dan
ekonomi untuk Penanganan Pandemi COVID-19 memberikan fleksibilitas fiskal
yang memang dibutuhkan.

Sayangnya Perppu itu juga rawan disalahgunakan, seperti pasal 27 yang


menyatakan bahwa pejabat tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata
untuk kebijakan yang diambil dan bahwa tindakan yang diambil berdasar Perppu
ini bukan objek gugatan PTUN.

Yang perlu kita lakukan adalah

Memahami realitas ekonomi politik tersebut bukan berarti kita sebagai warga
negara cukup pasrah saja dalam menghadapi krisis kesehatan ini. Memahami
bahwa negara bukanlah institusi yang netral dan berisi konflik kepentingan
membuat kita perlu mengupayakan setidaknya tiga hal.

Pertama, kita harus berhenti bersikap naif dengan mengandalkan elite


politik dan negara untuk menyelesaikan masalah kesehatan publik ini. Masyarakat
harus membangun inisiatif perlindungan kesehatan masyarakat secara mandiri
dengan semangat gotong royong.

Jika elite politik tidak mau mengalokasikan penerimaan pajak yang


dibayarkan warga untuk membiayai hidup warga yang terdampak oleh upaya
pencegahan penyebaran coronavirus ini, kita harus bahu membahu membangun
jaring pengaman sosial berbasis lokal.

Kedua, kita harus terus menekan para elite politik untuk mengambil
tanggung jawab mereka karena kepentingan mereka pun akan terdampak kalau
pandemi ini semakin parah. Inisiatif publik untuk turut menanggulangi COVID-19
ini tidak boleh membuat negara lepas tangan. Masyarakat harus terus mendesak
para elite politik menggunakan berbagai mekanisme yang memungkinkan. Catat
dan umumkan kebijakan-kebijakan buruk serta mereka yang memutuskannya.
Beri apresiasi kebijakan-kebijakan yang baik.

Ketiga, rakyat dan masyarakat sipil harus mengkonsolidasikan diri dengan


kokoh supaya kepentingan publik dapat lebih tercerminkan di dalam negara, saat
pandemi dan setelah pandemi ini berakhir nanti.

Tugas  Kuliah 7-3:


Dalam konteks PILKADA DI TENGAH PANDEMI COVID-19, Apakah harus
dilakukan sebagai hak konstitusi, apakah perlu pemerintah terbitkan PERPPU ?
Bgmn sikap KPPU dengan ketegasannya mengenai pelaksanaan Pilkada
Serentak ? Bgmn peran interest group dalam konteks ini ?
JAWABAN 7-3

Secara teknis sebagai antisipasi penyebaran covid-19, Komisi Pemilihan


Umum telah mengeluarkan kebijakan yang tertuang di dalam Keputusan KPU
Nomor 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 tentang Penundaan Tahapan Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau WaliKota dan
Wakil WaliKota Tahun 2020.

Keputusan tersebut secara garis besar terdapat 4 tahapan penyelenggaraan


pemilihan kepala daerah yang ditunda meliputi pelantikan panitia pemungutan
suara, verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Panitia
Pemuktahiran Data Pemilih, serta pemuktahiran dan penyusunan daftar pemilih.
Melihat kedalam muatan materinya, keputusan tersebut hanya terbatas kepada
penundaan penyelenggaraan teknis pilkada sampai tahap penetapan daftar
pemilih, namun tahapan penyeleggaran pilkada serentak tetap akan dilaksanakan
pada September 2020.

Ketentuan tersebut disandarkan kepada maklumat yang tertuang dalam


Pasal 201 ayat (6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan
kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota. Penundaan dalam persepktif Undang-Undang Pilkada Apabila
menganalisis dalam ketentuan peraturan perundangundangan yang termaktub
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU
No. 1 Tahun 2015 tentang ‘Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan, Vol. 4, No. 1
(2020) - 124 – Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, sejatinya terdapat
mekanisme yang dapat dilakukan apabila terdapat kondisi yang memaksa atau
memungkinkan tahapan pemilihan kepala daerah harus ditunda. Pilihan tersebut
berupa dilakukan pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan.

Pasal 120 Undang-Undang Pilkada menyebutkan bahwa pemilihan


lanjutan adalah sebuah mekanisme penundaan pilkada yang nanti melanjutkan
tahapan yang terhenti, adapun syarat ditetapkan pemilihan lanjutan, tertuang
dalam pasal 120 ayat (1) berbunyi: “Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah
Pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan
lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan tidak
dapat dilaksanakan maka dilakukan Pemilihan lanjutan.”

Selain melalui mekanisme tersebut, adapun alternatif lain lain yaitu


pemilihan susulan yang sesuai dengan Pasal 121 ayat (2) mekanisme tersebut
dilakukan untuk seluruh tahapan dalam artian dimulai dari awal (Rohim, 2016).
Adapun syaratnya tertuang didalam Pasal 121 ayat (1) berbunyi: “Dalam hal di
suatu wilayah Pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan,
dan/atau gangguan lainnya yang mengakibatkan terganggunya seluruh tahapan
penyelenggaraan Pemilihan maka dilakukan Pemilihan susulan.” Dengan merujuk
keadaan saat ini akibat wabah pandemi covid-19, mekanisme pemilihan lanjutan
lebih tepat untuk diterapkan dan ditetapkan sebagai pilihan.

Namun yang menjadi kendala pilihan tersebut hanya merujuk kepada


suatu wilayah masingmasing. Menjadi dilematik bahwa undang-undang tersebut
tidak memaparkan terkait keadaan bahaya secara nasional, sehingga harus secara
serentak harus ditunda akibat semakin meluasnya penyebaran wabah ini dan demi
menjaga kesehatan rakyat. Namun sebagai upaya mitigasi resiko yang lebih besar,
perlu diapresiasi ketika Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan langkah ‘Adalah:
Buletin Hukum dan Keadilan, Vol. 4, No. 1 (2020) - 125 - untuk menunda 4
tahapan Pilkada 2020 sebagai Langkah tepat dan responsive menyikapi keadaan
saat ini untuk menekan penyebaran wabah pandemic covid-19 yang semakin luas.

Antisipasi Melalui Penundaan Pilkada Secara Total Melihat kondisi saat


ini, seluruh tahapan pemilihan kepala daerah seharusnya ditunda secara total.
Dalam lingkupannya tahapan hari pemilihan harus turut ditunda karena pondasi
dasar tahapan sudah ditunda dan perlu dipahami bahwa tidak mungkin
menyelenggarakan pilkada sesuai agenda yang tertuang dalam undangundang, jika
pandemi covid-19 belum selesai sepenuhnya.

Secara pertimbangan, seharusnya negara harus fokus terlebih dahulu ke


dalam hal-hal yang dasar dan fundamental yaitu upaya penanganan wabah
pandemi covid-19 yang menyerang Indonesia serta mengupayakan kesejahteraan
rakyatnya secara merata. Postulat tersebut sejalan dengan hasil rapat kerja yang di
lakukan oleh Komisi II DPR dengan Kementerian Dalam Negeri, Komisi
Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Penyelenggara
Pemilu pada tanggal 30 Maret 2020 berupa penundaan pemilihan kepala daerah
2020.

Secara komprehensif terdapat 4 kesimpulan dari rapat tersebut meliputi


penundaan pilkada serentak 2020, pelaksanaan pilkada lanjutin akan dilaksanakan
ber- ‘Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan, Vol. 4, No. 1 (2020) “Hukum harus
bisa dijadikan sarana untuk memecahkan problematika dalam penyelenggaraan
Negara” (Kusumaatmadja, 2002). - 126 - ‘Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan,
Vol. 4, No. 1 (2020) dasarkan persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah dan
DPR, kemudian meminta kepada kepala daerah untuk merelokasi dana pilkada
2020 yang belum terpakai untuk penanganan covid-19, dan yang terakhir
meminda kepada pemerintah untuk segera menetapkan payung hukum berbentuk
Peranturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Kemudian dalam pertimbangannya, Komisi Pemilihan Umum


menawarkan 3 opsi hari pemungutan surat sebagai konsekuensi logis pergeseran
agenda ketatangeraan ini ditundanya tahapannya pemilihan kepala daerah. Dalam
pemaparannya KPU menawarkan antara dilaksanakan pada rabu 9 Desember
2020, abu 17 Maret 2020, atau pada rabu 29 September 2020. Walaupun sudah
terdapat nota kesepaham dan kesepakatan antar Lembaga, hal tesebut bukanlah
produk hukum resmi melainkan kesepakatan politik antar lembaga. Dengan
mengingat Indonesi a adalah sebuah tatanan negara berbasis hukum sesuai Pasal 1
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka
ketentuan penundaan teragendakan dalam bentuk hukum yang resmi setingkat
undang-undang

Anda mungkin juga menyukai