Anda di halaman 1dari 14

Makalah Studi Kasus :

Tumpang Tindih Kebijakan antar Lembaga di Pemerintah RI


dalam Penanganan Wabah Covid-19 yang Meresahkan Publik
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah Opini Publik dan
Propaganda oleh dosen pengampuh mata kuliah Ibu Siti Mayasari Pakaya, S.Sos., M.I.Kom

Disusun Oleh :

Dini Salsabilah Gasim

NIM 291418045

Kelas C

Program Studi Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Gorontalo

Tahun Akademik 2019/2020


Kata Pengantar

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah dengan topik Tumpang Tindih Kebijakan antar
Lembaga di Pemerintah RI dalam Penanganan Wabah Covid-19 yang Meresahkan Publik tepat
pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Opini
Publik dan Propaganda. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari sepenuhnya bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saya berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Ibu Dosen mata kuliah
terkait yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.

Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif sangat saya harapkan dari para
pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki pembuatan makalah pada tugas yang lain
dan pada waktu mendatang.

Gorontalo, April 2020

Dini Salsabilah Gasim


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Opini publik dalam konteks komunikasi, merupakan hasil dari proses
penyampaian pesan yang secara kolektif di respon oleh publik karena perhatian yang
sama terhadap isi pesan atau isu yang disampaikan. Emory S. Bogardus dalam The
Making of Public Opinion mengatakan bahwa opini publik adalah hasil pengintegrasian
pendapat berdasarkan diskusi yang dilakukan dalam masyarakat demokratis.
Lantas mengapa manajemen Opini Publik dan Propaganda menjadi penting dalam
keberlangsungan sebuah pemerintahan khususnya pemerintah Republik Indonesia ?
Pemerintah adalah lembaga publik yang bertugas melaksanakan tujuan negara melalui
mandat wewenang untuk menetapkan dan memberlakukan undang-undang atau hukum,
serta kebijakan publik. Dari pemerintahlah segala kebijakan yang akan bermuara pada
cita-cita bangsa salah satunya kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia akan
ditentukan.
Oleh karena itu, opini yang terbentuk di publik merupakan refleksi dari
kepercayaan publik terhadap pemerintah. Apabila opini buruk yang terbentuk maka
kepercayaan masyarakat akan rendah terhadap pemerintah. Jika kepercayaan ini rendah
maka akan berujung pada ketidakpatuhan masyarakat terhadap apa yang diputuskan
maupun dihimbau pemerintah. Itulah mengapa proses manajemen Opini Publik dan
Propaganda sangat penting dalam keberlangsungan pemerintah Republik Indonesia.
Saat ini hampir seluruh negara di dunia tengah mengalami serangan pandemi
covid-19. Indonesia pun tak luput dari lajunnya jangkauan virus ini. Virus corona yang
terus menyebar dengan angka-angka yang juga terus bertambah di berbagai daerah.
Pandemi ini bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga menyangkut banyak sendi
kehidupan. Beragam masalah pun bermunculan di pemerintah yang akhirnya
menimbulkan gejolak opini di masyarakat. Mulai dari simpang siur data yang
dipermasalahkan hingga kesiapan ketahanan ekonomi sosial yang kerap menjadi
pertanyaan publik.
Hal yang tak kalah ramai menjadi sorotan di ruang publik selama masa pandemi
covid-19 ini yakni tarik ulur keputusan atau tumpang tindih kebijakan antar lembaga
pemerintah maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Beberapa persoalan
dalam isu ini sangat jelas terlihat. Mulai dari perbedaan kebijakan antara Permenkes dan
Pergub DKI yang tidak membolehkan ojek online mengangkut penumpang dan hanya
boleh membawa barang, namun kemudian keluar peraturan Kementrian Perhubungan
yang mengizinkan ojek online membawa penumpang.
Kasus lain yang juga santer diperbincangkan public saat ini adalah permohonan
kompak para kepala daerah Jabodetabek untuk menghentikan operasional KRL hingga 28
April. Permohonan ini didasari pada fakta di lapangan yang mana para penumpang
bertumpuk dan berdesak-desakan sehingga sulit untuk menjaga protokal pencegahan
penularan virus. Namun, permintaan ini ditolak oleh Kementerian Perhubungan. Hingga
fenomena pelarangan mudik yang tak kalah membuat publik bingung dan resah, karena
tarik ulur keputusan dan tidak sinkron dengan fakta yang sudah menjadi masalah di
lapangan.
Tiga contoh persoalan diatas, menjadi pemicu rendahnya kepercayaan publik pada
pemerintah. Ketidak tegasan pemerintah dalam berbagai keputusan atas berbagai
persoalan yang menjadi prioritas memunculkan opini yang buruk dimata publik.

B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana gambaran Pemerintah Republik Indonesia dilihat dari kacamata
permasalahan tumpang tindih kebijakan dalam penanganan virus covid-19 ?
2) Apa bukti di media massa terkait masalah tumpang tindih kebijakana antar
lembaga pada Pemerintah Republik Indonesia ?
3) Bagaimana keterkaitan antara masalah tumpang tindih kebijakan pemerintah
dalam penaganan covid-19 dengan kajian faktor ekonomi yang mempengaruhi
opini

C. Tujuan Studi Kasus OPP


1) Mengetahui gambaran Pemerintah Republik Indonesia dilihat dari kacamata
permasalahan tumpang tindih kebijakan dalam penanganan virus covid-19.
2) menunjukkan bukti di media massa terkait masalah tumpang tindih kebijakan
antar lembaga pada Pemerintah Republik Indonesia.
4) Mengetahui keterkaitan antara masalah tumpang tindih kebijakan pemerintah
dalam penanganan covid-19 dengan kajian konsep faktor ekonomi yang
mempengaruhi opini
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Konsep
Persoalan tumpang tindih kebijakan antar lembaga pemerintah di Indonesia ini
sangat meresahkan publik. Publik dibuat bingung, sebenranya harus mengikuti keputusan
yang mana. Terlebih di masa pandemi covid-19 ini, keputusan-keputusan ini harus lebih
memprioritaskan factor keselamatan dan kesehatan disbanding factor-faktor lainnya
seperti ekonomi. Namun pada hakikatnya, pemerintah tetap dituntut untuk
mensinkronkan berbagai keputusan dari berbagai dimensi lembaga. Karena sejatinya
pergerakan publik ini ditentukan oleh arah kebijakan yang dibuat. Jika berbagai elemen
kebijakan memiliki output yang sinkron, maka peluang Indonesia untuk menang
melawan pandemi covid-19 juga akan lebih besar dan terlihat jelas.
Kajian konsep yang dapat menggambarkan situasi persoalan ini adalah konsep
hubungan antara faktor ekonomi dan opini. Dalam perspektif yang lebih luas lagi,
faktor ekonomi ini juga berpengaruh pada pengambilan kebijakan yang dilakukan
pemerintah. Kaum Marxis setelah tahun 1930, Charles A. Beard dan Harold Laski
menyatakan adanya ketergantungan politik pada ekonomi. Hal ini juga dideklarasikan
oleh para teoritis kontrak-sosial, Hobbes, Locke, dan Rousseau bahwa ada indikasi
ketergantungan kebijakan public pada faktor ekonomi. Kebijakan ini secara otomatis
akan diimplementasikan kepada publik sebagai sasaran. Setiap tindakan pemerintah atas
kebijakan ini pun akan menuai opini dari publik.

B. Teori/Analisis Pendukung
1. Teori Agenda Setting
Gagasan teori agenda setting diperkenalkan oleh McCombs dan Shaw. Dua guru
besar jurnalisme dari Universitas North Carolina ini berhasil membuktikan kinerja
agenda setting secara empiris. Teori ini menyatakan bahwa media mempunyai
pengaruh dalam menentukan apa yang dianggap penting oleh publik. Secara
sederhana, melalui penonjolan (salience) suatu isu, media dapat memengaruhi apa
yang dipandang penting oleh publik.
Dewasa ini, kehadiran new media mengubah banyak asumsi-asumsi teori agenda
setting. Weimann dan Brosius (2016,2017) membuat sebuah tinjauan yang menarik
dan komprehensif terkait asumsi teori agenda setting yang mengalami perubahaan
akibat melesatnya laju digital. Salah satu asumsi tersebut adalah media memilih isu
tertentu untuk dihadirkan kepada public. Di era digital ini, asumsi tersebut mengalami
perubahan secara teoritis. Lingkungan media yang baru lebih terdiversifikasi,
menghadirkan agenda yang lebih beragam dan banyak jumlahnya dibandingkan era
sebelumnya. Kompetisi antar media dalam menghadirkan agenda serta sikap mereka
dalam mendukung agenda tertentu dengan mengutip atau menyebarkan isu tersebut.
Persoalan tumpang tindih kebijakan yang dibuat antar lembaga di pemerintahan
serta tidak sinkronnya keputusan pelarangan mudik dengan fakta yang ada di
lapangan, juga tak luput dari agenda media. Selama masa pandemi covid-19 ini ada
banyak sekali agenda yag berusaha ditonjolkan oleh media. Terutama isu terkait soal
kebijakan publik. Wabah virus corona yang tak luput menyerang Indonesia menuntut
pemerintah untuk memilih kebijakan-kebijakan secara cepat dan tegas berdasarkan
prioritas faktor kesehatan. Sehingga berbagai media dengan frekuensi yang tinggi
menempatkan persoalan ini sebagai agenda utama karena dinilai penting dalam
sinergi dengan aktivitas publik.

2. Teori Framing
William A. Gamson melihat framing sebagai konstruksi makna dari suatu
peristiwa yang berkaitan dengan objek (isu yang dipersoalkan). Selain dimaknai
sebagai gugusan ide-ide atas suatu peristiwa, framing juga berkaitan dengan cara
public melihat atau memaknai suatu isu, dan penonjolan adalah konsekuensi dari
pemahaman atau cara melihat tersebut.
Dalam persoalan tumpang tindih kebijakan antar lembaga di pemerintah yang
terlihat dalam contoh kasus KRL dan kebijakan ojek online, serta tidak sinkronnya
keputusan presiden terkain persoalan mudik dengan realita yang terjadi di lapangan,
dalam teori framing ini pemerintah sebagai objek dipahami publik sebagai lembaga
yang plinplan dan tidak tegas. Karena atribut pemerintah yang berusaha ditonjolkan
media pada masa pandemi ini, adalah pemerintah yang tidak serius dan tanggap
dalam menangani pencegahan virus covid-19.

3. Teori Priming
Teori priming secara sederhana menggambarkan kekuatan media yang mampu
mengarahkan pikiran publik dengan cara menghubungkan dengan peristiwa-peristiwa
yang tersimpan dalam memori manusia. Priming bisa didefinisikan sebagai efek yang
terjadi akibat dari adanya stimulus atau peristiwa sebelumnya yang akan
memengaruhi bagaimana kita bereaksi, tindakan yang kita ambil serta penilaian kita
terhadap hal tersebut (Roskos-Ewoldsen, 2009:74). Dari perspektif media, priming
merujuk kepada isi media yang memengaruhi perilaku atau penilaian seseorang akan
peristiwa terkait isi media tersebut (Roskos-Ewoldsen, 2002:97).
Terkait dengan contoh kasus yang menggambarkan isu tumpang tindih kebijakan
antar lembaga pemerintah (KRL dan kebijakan ojek online) serta tidak sinkronnya
keputusan presiden dengan realita di lapangan, dalam perspektif priming hal ini
memicu penilaian publik terhadap pemerintah selama pandemi ini. Isu ini
menstimulus keputusan publik untuk memiliki rasa percaya yang rendah dan
keraguan yang besar terhadap pemerintah.

4. Teori Kajian Budaya


Teori kajian budaya berdasarkan penelitian Stuart Hall yang menyatakan bahwa
media merupakan alat bagi kaum elite. Media berfungsi untuk mengkomunikasikan
model berpikir yang dominan, tanpa memedulikan efektivitas pemikiran tersebut.
Dalam teori kajian budaya ini dikenal pula konsep hegemoni. Hegemoni
didefinisikan sebagai dominasi oleh sebuah kelompok terhadap yang lainnya,
biasanya kelompok yang lebih lemah.
Salah satu pendiri Partai Komunis Italia bernama Gramsci mengemukakan
penelitiannya terhadap hegemoni yang mempertanyakan mengapa begitu banyak
orang menyetujui dan memberikan suara untuk sebuah kebijakan politik yang jelas-
jelas merusak kesejahteraan publik itu sendiri. Jika dikaitkan dengan pernyataan
Gramsci, pada hakikatnya media juga memiliki kekuatan yang bisa merubah keadaan
dominasi ini menjadi keadaan yang netral. Keadaan yang mensejahterakan publik
serta keadaan yang meluruskan kebijakan pemerintah agar sesuai dengan cita-cita
bangsa.
Terkait dengan pernyataan Gramsci juga muncul istilah hegemoni tandingan
yang mana masa mulai memengaruhi kekuatan dominan. Perkembangan di era digital
yang menghadirkan new media ini semakin menopang kekuatan publik untuk
menyadari bahwasanya publik tidak selalu tertipu untuk menerima dan memercayai
apa pun yang digaungkan oleh dominasi pemerintah. Pada era digital ini, publik mulai
kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dimuat di media. Publik juga akan
menggunakan strategi dan praktik-praktik dominasi yang sama untuk menantang
dominasi yang ada. Ini menjadi pertanda bahwa public tidak selamanya diam dan
menurut.
Jika dikaitkan dengan persoalan tumpang tindih kebijakan antar lembaga di
pemerintahan serta tidak sinkronnya keputusan presiden terkait larangan mudik
dengan fakta yang ada di lapangan, publik sudah menunjukkan tanda-tanda tidak
pasrah terhadap dominasi kebijakan pemerintah tersebut. Keresahan dan kebingungan
yang menjadi polemic di publik, mengindikasikan bahwa publik juga menelaah dan
menaruh perhatian terhadap kebijakan yang akan menentukan kesejahteraan mereka
dalam menghadapi wabah virus covid-19 ini.
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Pemerintah Republik Indonesia dalam Menetapkan Kebijakan Selama


Pandemi Virus Covid-19
Selama masa pandemi virus covid-19 ini, pemerintah sebagai lembaga yang
memegang tampuk segala kebijakan dinilai plinplan oleh public dalam berindak.
Bagaimana tidak, pemberitaan yang terdiversikasi memperlihatkan banyak kebijakan
pemerintah yang tumpang tindih dan tidak sinkron dalam penanganan covid-19. Mulai
dari perbedaan aturan Permenkes dan Pergub DKI yang melarang ojek online membawa
penumpang (hanya mengizinkan mengangkut barang) dan kebijakan Kementerian
Perhubungan yang justru malah mengizinkan ojek online mengangkut penumpang di
tengah pandemic covid-19 ini. Kasus lain yang juga menjadi sorotan adalah penolakan
Kementerian Perhubungan atas permintaan para kepala daerah Jabodetabek untuk
mengehentikan operasional KRL hingga tanggal 28 April. Padahal permintaan para
kepala daerah Jabodetabek ini berdasarkan realita di lapangan yang menggambarkan
masih terjadi penumpukan penumpang yang membuat berdesak-desakan, sehingga
protokal pencegahan penularan virus covid-19 sulit dijaga.
Hingga keputusan presiden terkain mudik yang dinilai plinplan dan tidak tegas.
Keputusan presiden ini dinilai tidak sinkron dengan realita lapangan yang sudah
memunculkan peluang masalah yang terlanjur terjadi. Sontak ucapan Presiden terkait
perbedaan istilah antara “mudik” dan “pulang kampong” ramai diperbincangkan publik.
Inilah gambaran pemerintah yang terjadi. Pemerintah yang diharapkan bisa
mengoptimalkan berbagai strategi penanganan covid-19 secara tegas, justru malah
terkesan tidak serius dan lambat. Tarik ulur keputusan juga merepresentasikan citra yang
plinplan atas pemerintah di tengah pandemic ini.

B. Lampiran Bukti di Media Massa Terkait Masalah Tumpang Tindih Kebijakan


antar Lembaga Pemerintah serta Tarik Ulur Aturan Soal Mudik
C. Keterkaitan antara Masalah Tumpang Tindih Kebijakan Pemerintah dalam
Penanganan Covid-19 dengan Kajian Konsep Hubungan antara Faktor Ekonomi
dan Opini
Kasus tumpang tindih kebijakan antar lembaga pemerintah dalam penanganan
covid-19 ini jika dipandang dalam perspektif konsep hubungan antara faktor ekonomi
dan opini, akan melahirkan beberapa penjabaran berdasarkan tiga kasus utama yang
diangkat dalam masalah ini, diantaranya :
a. Persoalan terkait penolakan Kementerian Perhubungan terhadap permintaan
para kepala daerah untuk menghentikan operasional KRL dimasa PSBB
memiliki hubungan yang tak terpisahkan dari faktor ekonomi. Setiap sector di
pemerintahan tentu memiliki indicator yang harus dipertahankan
operasionalnya. Dari perspektif Kementerian Perhubungan menekankan jika
operasional KRL diberhentikan maka akan menuai kerugian yang besar.
Sekitar 34% penduduk Ibu Kota yang hidup dari penghasilan perhari. Sumber
penunjuang tempat mencari nafkah itu ada pada lokasi KRL. Faktor ekonomi
yag dipertimbangkan pemerintah jika menghentikan operasional ini,
dikhawatirkan beberapa kelompok lemah tidak akan mendapat penghasilan.
Sehingga akan memunculkan problematika baru yang harus dihadapi di
tengah wabah covid-19 ini. Hal ini sangat merepresentasikan bahwa faktor
ekonomi sangat mempengaruhi opini dalam memberlakukan sebuah
kebijakan.
b. Polemic terkait ojek online yang memiliki perbedaan regulasi baik dari
Kemenkes dan Gubernur DKI dengan Kemenhub. Dari perspektif konsep
faktor ekonomi ini, Kemenhub mempertimbangkan bahwasanya
pemberlakuakn PSBB ini berdampak pada sunyinya penumpang ojek online.
Jika izin membawa penumpang dicabut oleh Kemenhub, maka penghasilan
para ojek online akan benar-benar turun. Penurunan penghasilan ini
dikhawatirkan akan memunculkan polemic baru. Sehingga Kemenhub
berusaha menghindari risiko tersebut. Faktor ekonomi ini mempengaruhi
opini kebijakan perizinan membawa penumpang bagi ojek online.
c. Persoalan terakhir yakni ketidak sinkronan keputusan presiden terhadap
larangan mudik lebaran. Presiden akan memberlakukan larangan mudik ini
karena khawatir akan semakin menyebarnya virus covid-19, yang di bawa dari
daerah rantau ke daerah asal masing-masing masyarakat. Public mendesak
presiden mengapa larangan tersebut tidak diberlakukan dari sekarang ?
padahal bukti di lapangan berdasarkan data dari Kemenhub bahwa ada sekitar
1 juta orang yang curi start untuk mudi, 900.000 masyarakat sudah berhasil
pulang kampong. Masalah ini juga menunjukkan potensi yang sama risiko
penularan virus yang tinggi. Sehingga faktor ekonomi ini menilai bahwa
pemerintah tidak jeli dalam memutuskan larangan mudik. Seharusnya
pemerintah menilai dari aspek waktu, tidak hanya dari aspek kegiatannya saja.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam membuat kebijakan ditengah pandemic virus covid-19 ini, pemerintah
tentu saja mempertimbangkan banyak hal. Namun tumpang tindih, simpang siur, dan
ketidaksinkronan kebijakan antar lembaga di pemerintahan saat ini menuai opini public.
Dalam keadaan krisis saat ini, berdasarkan opini public yang menyebar di masyarakat,
sinkronisasi narasi keputusan dari berbagai elemen dituntut masyarakat.

B. Saran
Sebagai mahasiswa, pandangan saya dalam krisis tumpang tindih kebijakan antar
lembaga pemerintah adalah polemic yang serius. Di tengah keadaan krisis saat ini yang
menuntut pemerintah jeli dan tanggap dalam mengambil keputusan sudah saatnya
Presiden lebih mempertegas sinkronisasi berbagai elemen pemerintah dalam menetapkan
kebijakan. Sehingga tidak memperparah opini yang merebak di public, yaitu rendahnya
kepercayaan terhadap pemerintah yang seharusnya solid dengan public ditengah keadaan
yang tidak ideal saat ini.

Anda mungkin juga menyukai