Anda di halaman 1dari 4

Nama:neli

Kelas:bs-1-22
Nim:2261201042

Masalah korupsi dan politisasi


bansos berakar pada budaya dan
sistem politik Indonesia
Di penghujung tahun 2020 yang lalu, masyarakat Indonesia dihadapkan pada
dua kenyataan yang pahit.Di satu sisi, jumlah kasus penularan virus COVID-
19 meningkat semakin tajam.Di sisi lain, ironisnya, ada dugaan bahwa
bantuan sosial (bansos) yang ditujukan untuk meringankan derita masyarakat
akibat pandemi justru dikorupsi, dan salah satu tersangkanya menteri sosial
saat itu, Juliari Batubara.Berbagai laporan dugaan penyelewengan bansos
pandemi juga telah diterima oleh aparat penegak hukum di berbagai daerah di
Indonesia. Sebelum kasus korupsi bansos COVID-19, sudah banyak kasus
korupsi bansos terjadi, terutama di level pemerintah daerah (pemda).Ini
menunjukkan ada permasalahan struktural dalam pengelolaan dana yang
rawan politisasi dan korupsi ini.

Masalah dalam pengelolaan bansos


Merujuk pada peraturan-peraturan yang berlaku, bansos secara sederhana
adalah pemberian uang, barang atau jasa oleh pemerintah pusat atau daerah
kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat guna melindungi
masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.Secara umum,
mekanisme pengelolaan bansos dibagi dalam tiga tahap: penganggaran,
pelaksanaan, dan pelaporan.Permasalahan dalam program bansos paling
sering terjadi pada tahap penganggaran dan pelaksanaan bansos - dua dari
tiga tahap umum tersebut diatas.Dalam tahap penganggaran, kementerian,
lembaga atau pemda menetapkan daftar penerima bansos.Dalam konteks
bansos COVID-19, Kementerian Sosial (Kemensos) melakukan penetapan
berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)  yang berisikan data
40% penduduk termiskin di Indonesia.Penetapan penerima juga dapat
dilakukan berdasarkan hasil seleksi atas usulan tertulis yang masuk dari calon
penerima bansos. Ini umumnya berlaku di pemda untuk bansos berbentuk
barang/jasa.Masalah pertama terjadi pada akurasi data acuan penetapan
penerima bansos.Kemensos sendiri mengakui bahwa DTKS terakhir
diperbaharui secara masif pada 2015, sementara Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menemukan berbagai permasalahan terkait DTKS seperti data
tumpang tindih tidak lengkap, dan duplikasi jutaan data.

Masalah kedua adalah bansos rentan dimanfaatkan untuk kepentingan


politik.
Ketidakakuratan data ditambah kewenangan kepala daerah yang besar dalam
penentuan penerima bansos mendorong kolusi terjadi dalam pembagian
bansos: bansos dibagikan berdasarkan pertimbangan politik dan elektoral
ketimbang kebutuhan nyata masyarakat.Studi Ward Berenschot, peneliti
politik asal Belanda, mengenai politik klientelisme di Indonesia menunjukkan
bansos dan hibah sebagai salah satu sumber daya yang rawan digunakan
untuk kepentingan elektoral.Temuan ini diperkuat lewat temuan studi
Pemilihan Kepala Daerah Banten tahun 2011 ketika gubernur petahana
mengalokasikan bansos dan hibah ke wilayah-wilayah kantong dukungan
suaranya.Pada tahap penyaluran, bansos dalam bentuk uang diberikan secara
tunai maupun lewat transfer ke rekening bank penerima bansos atau bank
penyalur.Adapun penyaluran bansos dalam bentuk barang didahului dengan
proses pengadaan barang/jasa untuk kemudian diberikan secara langsung
kepada penerima bansos.Metode inilah yang digunakan Kemensos  untuk
penyaluran bantuan bahan pokok COVID-19 bernilai puluhan triliun rupiah
yang kemudian bermasalah.Dengan demikian, masalah ketiga pelaksanaan
bansos adalah korupsi pengadaan.Dalam korupsi bansos COVID-19,
kontraktor pengadaan diduga memberikan “upah” kepada pejabat di
Kemensos atas penunjukkan sebagai penyedia paket-paket bansos
pandemi.Selain itu, proses penyaluran bansos juga menyimpan masalah
lain.Misalnya, penyaluran kepada calon penerima fiktif, atau penyaluran
kepada kroni-kroni pejabat publik dengan tujuan agar dana bansos masuk ke
kantong pribadi atau kelompok. Ini terjadi dalam kasus korupsi bansos di
Bandung tahun 2010.

Akar masalah
Masalah politisasi dan korupsi bansos tidak semata-mata disebabkan oleh
kelemahan prosedur.Akarnya ada pada dua hal yang saling berkaitan, yaitu
pola hubungan patron-klien yang masih dominan dalam struktur masyarakat,
dan politik biaya tinggi dalam sistem demokrasi Indonesia.Pola
hubungan patron-klien adalah satu karakteristik masyarakat tradisional
agraris.Dalam hubungan ini, seorang patron yang taraf sosio-ekonominya
lebih tinggi menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk memberikan
perlindungan atau manfaat kepada klien yang status sosialnya lebih rendah,
dengan imbal balik berupa dukungan personal kepada sang patron.Pola yang
informal dan timbal-balik ini mengakar dan tidak lenyap dengan datangnya
era demokrasi elektoral.

shidupnya politik klientelistik. Patron-patron baru, yaitu para politikus yang


berkompetisi dalam ajang pemilihan umum, berupaya untuk mendapatkan
dukungan suara dari pemilih (klien) lewat pemberian materi baik itu berupa
uang, barang, maupun jasa.Politikus yang memiliki akses ke sumber daya
keuangan publik dapat menggunakan bansos, misalnya, untuk memperoleh
dukungan suara dari pemilih.Ada beberapa alasan mengapa klientelisme
bertahan - bahkan berkembang - di tengah perubahan sosial.Salah satunya
adalah kemiskinan. Masyarakat miskin lebih cenderung menerima pemberian
materi yang tidak seberapa dari para politikus ketimbang menuntut kebijakan
yang lebih komprehensif atas permasalahan yang mereka hadapi.Sementara
itu, iklim politik biaya tinggi di Indonesia menuntut modal besar dari politikus
untuk membiayai pencalonan dan kampanye politik. Korupsi anggaran publik,
termasuk bansos, menjadi satu jalan untuk memenuhi tuntutan ini.Mahalnya
biaya politik di Indonesia disebabkan antara lain oleh mahar tinggi yang
diminta partai politik sebagai salah satu syarat pencalonan, biaya kampanye
yang tinggi karena kandidat harus menggerakkan mesin politik pribadi,
dan lemahnya pelembagaan pembiayaan politik.

Upaya perbaikan pengelolaan bansos


Kuatnya aspek politik menegaskan pentingnya solusi yang tidak berkutat pada
aspek teknis prosedur saja.Selain penyempurnaan berkelanjutan atas DTKS
sebagai salah satu dasar alokasi bansos dan pengadopsian penyaluran
berbasis digital/transfer ketimbang tunai, terdapat dua hal yang penting
untuk dilakukan.Pertama adalah membangun pengetahuan masyarakat
terkait dengan penganggaran publik (budget literacy) guna meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran.Pencerdasan ini penting
tidak hanya untuk menyadarkan mayarakat akan hak-hak terkait anggaran,
namun juga menumbuhkan sikap kritis mereka selaku pemilih sehingga
menghindari pembelian dukungan suara lewat penyalahgunaan anggaran
publik.Masyarakat perlu diajak turut serta mengawal anggaran publik lewat
inisiatif seperti citizen audit yang memungkinkan masyarakat terlibat dalam
proses pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh lembaga pemeriksa
negara.Kedua, perlu ada upaya serius untuk menciptakan sistem pembiayaan
politik yang efektif, transparan, dan akuntabel sehingga penyalahgunaan
anggaran untuk membiayai kegiatan politik dapat
diminimalisir.Studi menunjukkan bahwa pengaturan pembiayaan politik di
Indonesia saat ini tidak berfungsi karena partai politik mengabaikan
peraturan-peraturan tersebut, dan maraknya donasi gelap dan perilaku
korupsi untuk mendanai kegiatan politik.

Ke depan, kerangka pembiayaapolitik melalui donasi masyarakat atau


pembiayaan negara perlu diterapkan secara lebih efektif.

Anda mungkin juga menyukai