Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH KEWARGANEGARAAN

“STUDI KASUS KORUPSI DAN PEMILIHAN KEPALA


DAERAH 2017”

Disusun Oleh

Kelompok 3

CHRISTIAN KAWATASI (8)


INDAH PERMATA SARI (18)
JIHAN AFIFAH FAUZIYAH (19)
MEIDINA SARI (21)

Dosen Pengajar : Drs. Zulkifli Lubis, M.A

Kesehatan Lingkungan Tingkat 1 D-IV B


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA II
Jalan Hang Jebat III/F3 Kebayoran Baru Jakarta 12120
Telp. 021-7397641, 7397643 Fax. 021-7397769
Jakarta, Mei 2018
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam
melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan
mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan
terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang
terlibat sejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantara dua faktor
tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya. Indonesia merupakan salah satu negara
terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya,
Negara tercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan
sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin. Mengapa demikian? Salah satu
penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya
dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan
kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara
negara menyebabkan terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan
patologi social (penyakit sosial) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian
materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah
terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh
kalangan anggota legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya
di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi
hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa
malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya adalah
dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus
diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak mengurangi sampai
pada titik nadi yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar
ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena
korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke jurang
kehancuran.
Studi Kasus
KORUPSI DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2017
Menjelang dimulainya masa kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018
publik kembali dikejutkan dengan kasus korupsi kepala daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menetapkan dua orang kepala daerah menjadi tersangka. Pertama pada (2/2) lalu yakni
Gubernur Provinsi Jambi, Zumi Zola atas dugaan suap RAPBD Provinsi Jambi. Kedua, Bupati
Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada (4/2)
atas dugaan menerima suap terkait pengurusan jabatan.
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief mengungkapkan dalam kasus korupsi yang menjerat
Bupati Jombang, sebagian uang suap tersebut digunakan sebagai dana kampanye Pilkada 2018.
Kondisi ini menjadi sebuah ironi di saat harapan memilih pemimpin daerah yang berintegritas
dan berkualitas belum-belum sudah dinodai dengan praktik-praktik koruptif.
Korupsi kepala daerah dan pilkada dinilai memiliki keterkaitan yang cukup erat,
mengingat sejumlah kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah didorong oleh kebutuhan
untuk mengembalikan ongkos politik dalam kontestasi elektoral yang memakan biaya tinggi.
Dalam catatan Indonesia Corupption Watch (ICW), selama 2010-2017 tak kurang dari 215
kepala daerah menjadi tersangka korupsi, baik yang ditangani KPK, Kejaksaan maupun
Kepolisian. Perkara yang melibatkan kepala daerah terjadi dengan berbagai macam modus,
mulai dari permainan anggaran proyek, suap, hingga korupsi pengadaan barang dan jasa.
Jumlah tersebut menunjukkan dan menguatkan asumsi bahwa kepala daerah memiliki
kerentanan yang sangat tinggi terhadap korupsi. Sehingga, hal tersebut bukan tidak mungkin
terulang kembali di masa 5 tahun ke depan jika tidak diantisipasi sejak dini. Demikianlah,
demokrasi di Indonesia masih diwarnai dengan praktik korupsi.
Politik Uang Berdasarkan data Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem),
ada empat sumber pengeluaran yang menjadikan tingginya biaya politik. Yakni, biaya
pencalonan kepala daerah (mahar), dana kampanye politik, biaya konsultasi dan survei
pemenangan, dan praktik jual beli suara (politik uang). Dari keempat hal tersebut, salah satu
yang juga kerap menjadi permasalahan laten yakni politik uang.
Politik uang merupakan jalan pintas yang kerap terjadi dalam pemilihan umum dan sudah
berlangsung sejak lama. Suka atau tidak cara ini nampaknya masih jadi pilihan menarik
digunakan demi mendulang banyak suara dari masyarakat. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
menemukan ada 600 dugaan politik uang yang terjadi pada Pilkada Serentak 2017 lalu.
Begitu masifnya praktik politik uang dalam Pilkada 2017 memperlihatkan bahwa tidak
sedikit calon kepala daerah mencari dukungan dengan jalan pintas memberikan atau menjanjikan
uang atau pun materi lainnya kepada masyarakat. Dengan harapan mereka mengikuti permintaan
dan instruksi dari pemberi uang. Hal tersebut sangat mencederai upaya membangun demokrasi
melalui pemilu yang bersih di negeri ini.
Namun kini sejak 2017 regulasi terkait dengan praktik politik uang telah diperbarui.
Sehingga jika merujuk pada aturan UU Pilkada terbaru No. 10 Tahun 2016, sanksi politik uang
yang tertuang dalam pasal 73 mengatakan bahwa jika terbukti melakukan pelanggaran dapat
dikenakan sanksi mulai dari administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU. Selain
itu UU Pilkada dalam Pasal 187 A ayat 1 dan 2 juga telah mengatur bahwa pemberi dan
penerima politik uang sama-sama akan dikenakan sanksi.
Sehingga, jika melihat pada regulasi yang telah ada saat ini, pengaturan mengenai pilkada
terutama soal praktik politik uang semakin diperketat. Di sisi lain Bawaslu sebagai lembaga yang
bertugas dan berwenang mengawasi Pemilu juga harus berani tanpa ragu untuk menindaklanjuti
jika ada temuan praktik politik uang dan memberikan sanksi tegas sesuai ketentuan. Baik
berdasarkan laporan masyarakat, atau pun temuan langsung oleh Bawaslu.
Selain itu pada kontestasi elektoral ditingkat lokal kali ini, upaya untuk melawan praktik
politik uang semakin diperkuat dengan adanya Satgas Politik Uang yang melibatkan KPK dan
Polri. Jika selama ini muncul kendala bagi Bawaslu karena keterbatasan dalam mengusut dugaan
pelanggaran praktik politik uang, dengan adanya Satgas diharapkan semakin mendorong
terlaksananya pemilu yang bersih.
Pilkada Serentak 2018 ini dapat dikatakan yang terbesar sepanjang sejarah demokrasi
Indonesia, karena diikuti oleh 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Ini merupakan kali ketiga
setelah 2015 dan 2017 lalu Indonesia juga telah melaksanakan Pilkada langsung secara serentak.
Sehingga pertaruhan besar masa depan setiap daerah sangat ditentukan oleh pemilihan yang akan
dilaksanakan tahun ini. Oleh karena itu sebagai upaya mendukung pencegahan korupsi dan
mendorong Pilkada bersih, paling tidak ada dua hal yang bisa publik lakukan.
KESIMPULAN
Pertama, publik harus berpartisipasi aktif dalam mengawasi Pilkada dan menolak segala
bentuk politik uang. Keberadaan Bawaslu bahkan kini Satgas Politik Uang bukan berarti mampu
menghilangkan begitu saja praktik politik uang. Akan tetapi peran masyarakat sebagai pemilih
lah dan penerima manfaat langsung yang ikut memastikan lembaga tersebut bekerja. Masyarakat
juga harus berani melaporkan jika menemukan adanya praktik-praktik jual beli suara yang
terjadi. Sehingga partisipasi publik menjadi keharusan, baik dalam mengawasi dan memastikan
Pilkada berlangsung dengan bersih, jujur, dan berintegritas.
Kedua, memilih calon kepala daerah berdasarkan aspek kompetensi, integritas, program
kerja dan rekam jejak. Masyarakat harus cerdas dalam memilih, memastikan siapa calon yang
akan mereka pilih. Seperti calon bukan tersangka atau mantan terpidana korupsi, memiliki
kompetensi dan komitmen yang kuat dalam membangun daerah, serta berintegritas. Hal tersebut
penting dan harus menjadi perhatian khusus masyarakat ketimbang dengan pemberian atau janji
uang untuk memilih calon tertentu.
Pilkada merupakan momentum penting dalam mengkonsolidasikan demokrasi di tingkat
lokal. Penentuan maju atau tidaknya masa depan daerah termasuk masyarakatnya dalam lima
tahun ke depan akan ditentukan dalam pertaruhan politik elektoral yang akan berlangsung
beberapa bulan mendatang. Untuk sanksi politik uang yang tertuang dalam pasal 73 mengatakan
bahwa jika terbukti melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi mulai dari administrasi
pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU. Selain itu UU Pilkada dalam Pasal 187 A ayat 1
dan 2 juga telah mengatur bahwa pemberi dan penerima politik uang sama-sama akan dikenakan
sanksi.
Daftar Pustaka

https://m.detik.com/news/kolom/d-3886191/korupsi-dan-pemilihan-kepala-daerah-2018

Anda mungkin juga menyukai